• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI BERSIH

7 Kerangka aturan dan kelembagaan

6.3.2. Analisis Mutu Biji Kop

Karakteristik bahan baku biji kopi yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, ukuran biji, mutu fisik dan cita rasa. Analisis mutu fisik biji kopi dilakukan pada 2 tahapan perlakuan penelitian, yaitu: (a) analisis mutu fisik hasil perlakuan tahap pertama yaitu minimisasi air proses pengupasan dan pencucian, (b) analisis mutu fisik dan cita rasa (cup test) hasil perlakuan tahap kedua yaitu minimisasi air proses pencucian dibandingkan dengan biji kopi olah kering dan biji kopi hasil pengolahan rakyat. Pengujian mutu fisik biji kopi mengacu pada SNI No.01-2907-2008 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional untuk menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu fisik biji kopi Robusta. Uji cita rasa kopi (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih yang telah berpengalaman dan bersertifikasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji kopi olah kering dan biji kopi olah basah dari Kebun Sidomulyo dianalisis sebagai kontrol perlakuan pengolahan yang dilakukan rakyat. Masing- masing sampel biji kopi HS dan gelondong kering diambil sebanyak ± 1,5 - 2 kg untuk pengujian mutu fisik dan uji cita rasa (cup test). Biji kopi HS dan gelondong kering yang telah melalui proses penjemuran dikupas menggunakan huller, kemudian masing-masing perlakuan diambil sampel sebanyak 300 kg untuk pengujian mutu fisik. Setelah dilakukan pemisahan biji cacat pada uji mutu fisik, biji kopi disangrai untuk seterusnya dilakukan uji cita rasa (cup test).

Berdasarkan hasil pengukuran, biji kopi yang berasal dari Kebun Kaliwining dan Kebun Rakyat Sidomulyo termasuk kategori kecil. Kadar air biji kopi hasil perlakuan minimisasi dan biji kopi olah basah yang berasal dari Kebun Sidomulyo diusahakan berada pada kisaran 12%. Kadar air merupakan salah satu sifat fisik yang akan mempengaruhi mutu kopi, berkaitan dengan daya simpan untuk mencegah perubahan warna, tumbuhnya jamur, dan mikroorganisme lainnya. Perlakuan minimisasi air tidak menunjukkan perbedaan kadar air secara signifikan.

Menurut Wibowo (1985), kadar air 12% dengan toleransi 1% merupakan batasan yang dapat menjamin keamanan selama penyimpanan karena pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur minimal. Kadar air aman untuk penyimpanan adalah 11,62% pada suhu 30oC atau 11,24% pada suhu 35oC (Atmawinata 1995).

Sebaliknya biji dengan kadar air lebih rendah daripada 9% (terlalu kering) akan menyebabkan kerusakan cita rasa dan warna (Sivetz dan Desrosier 1979). Dengan demikian, untuk menjamin kemantapan penyimpanan biji kopi, akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan hingga kadar air biji kopi maksimum sebesar 11%.

Berdasarkan SNI 01-2907-2008 (BSN 2008), cacat kopi adalah; (a) adanya benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti biji hitam, dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah disangrai dan diseduh. Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan, dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Adapun hasil penelitian ini disajikan pada uraian berikut.

a. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Tahap 1.

Minimisasi air proses pengupasan dan pencucian berpengaruh signifikan terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Volume air proses pengupasan sebaiknya dilakukan antara 0,731–0,784 m3/ton buah kopi (74%) karena berpengaruh terhadap jumlah biji dan proses pengupasan. Perlakuan minimisasi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah biji dan limbah padat yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap mutu biji kopi.

Minimnya air pada proses pengupasan diperkirakan mempengaruhi kinerja pulper untuk memisahkan pulp dan biji kopi sehingga jumlah biji cacat meningkat. Demikian pula pada proses pencucian dimana air sangat dibutuhkan untuk menghilangkan lendir yang menempel pada biji kopi. Apabila air yang digunakan sangat sedikit, lendir tidak sepenuhnya tercuci sehingga mempengaruhi kebersihan biji kopi. Dengan demikian apabila total air pengupasan dan pencucian semakin sedikit, akan memperbesar nilai cacat.

Mutu fisik biji kopi hasil perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian berada pada kelas mutu 4 dan 5 (SNI 01-2907-2008). Kelas mutu 4A memiliki jumlah nilai cacat maksimum 45 – 60. Kelas mutu 4B memiliki jumlah nilai cacat maksimum 61 – 80. Kelas mutu 5 memiliki jumlah nilai cacat

maksimum 81 – 150. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian menunjukkan terjadinya penurunan mutu pada persentase minimisasi air sebesar 77, 79, dan 85% (Gambar 47).

Tabel 17 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian

No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat

Persentase Minimisasi Air 58% 67% 72% 66% 73% 77% 72% 79% 85%

1 1 biji hitam 4 9 10 12 7 9 5 9 8

2 1 biji hitam sebagian 6,5 5 7,5 3 5 4 4 5 4,5

3 1 biji hitam pecah 0 4 8,5 1 5 6,5 6 7,5 9

4 1 kopi gelondong 10 10 20 8 11 27 11 16 28

5 1 biji coklat 1,75 1,25 1,75 3 3,5 5 5,5 5 8,75

6 1 kulit kopi ukuran besar 2 0 1 0 0 3 4 3 4

7 1 kulit kopi ukuran sedang 3 4 6 2,5 4 9 4 7,5 4

8 1 kulit kopi ukuran kecil 2,4 2,6 4 2,4 5,6 7 7,4 9 18

9 1 biji berkulit tanduk 5 5,5 6,5 4,5 7.5 12,5 12 12,5 17,5

10 1 kulit tanduk ukuran besar 0 0 0 0 0 0,5 0,5 0,5 4,5

11 1 kulit tanduk ukuran sedang 0 0 0 0 0,4 0,4 0,2 0,2 2,6

12 1 kulit tanduk ukuran kecil 0 0 0,1 0,4 0,2 0,5 0,2 0,6 1

13 1 biji pecah 6,8 7,4 7,6 10 11 14 13,6 15,6 21

14 1 biji muda 2 1,6 1,8 4 2 2 1,8 2 3,2

15 1 biji berlubang satu 0,2 0,1 0,1 0 0 0,1 0,3 0,2 0,1

16 1 biji berlubang lebih dari satu

0,2 0 0,4 0,2 0 0,4 0 0,2 0,2

17 1 biji bertutul-tutul 0 0,5 0,7 0 0,5 1,5 0 0,5 1,6

18 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar

0 0 0 0 0 0 0 0 0

19 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang

0 0 0 4 0 2 2 2 0

20 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil

1 1 2 1 2 1 1 1 2

Total Nilai 44,85 51,95 77,95 56,00 64,70 105,40 78,50 97,30 137,95

Kategori Mutu 4A 4A 4B 4A 4B 5 4B 5 5

Hasil análisis mutu fisik biji kopi menunjukkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan hasil análisis uji lanjut Duncan. Minimisasi air pada tahap pengupasan dan pencucian masih dapat dilakukan pada perlakuan K2 dan C2. Meskipun nilai mutu yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biji kopi dengan air maksimum, tetapi mutu biji kopi berada dalam kategori mutu sedang (4B).

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 58 66 67 72 72 73 77 79 85 To ta l A ir P ro ses (m 3/t o n ) To ta l N il a i C a ca t Persentase Minimisasi (%)

Nilai Cacat Total Air

4A 4B 4B 4B 4A 4A 5 5 5

Gambar 47 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu

Perlakuan minimisasi air mempengaruhi persentase cacat biji kopi karena pengolahan (Gambar 48). Berdasarkan kategori Wibowo (1985), kerusakan selama pengolahan yang dapat menimbulkan cacat biji kopi adalah biji pecah, biji bertutul-tutul, biji berkulit tanduk dan biji coklat. Biji pecah dikategorikan sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan. Nilai cacat biji pecah menempati persentase terbesar yang hampir terjadi di setiap perlakuan (Gambar 49). Cacat biji pecah dapat terjadi pada saat proses pengupasan kulit buah kopi (pulping) karena karakteristik fisik buah kopi yang beragam dalam bentuk dan ukuran (Wahyudi et al. 1999). Proses sortasi ukuran awal pada buah kopi sebelum pulping dapat membantu mengurangi cacat biji karena pengolahan.

0% 20% 40% 60% 80% 100% 58 66 67 72 72 73 77 79 85 Pe rse nt ase C ac at

Persentase Minimisasi Air

Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing

4B 4B 4B 5 5 5

4A 4A 4A

58 66 67 72 72 73 77 79 85

Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,96 0,90 0,00 0,77 1,42 0,51 1,16

Biji pecah 15,16 17,86 14,24 9,75 17,32 17,00 13,28 16,03 15,22

Biji berkulit tanduk 11,15 8,04 10,59 8,34 15,29 11,59 11,86 12,85 12,69

Biji coklat 3,90 5,36 2,41 2,25 7,01 5,41 4,74 5,14 6,34 Kopi gelondong 22,30 14,29 19,25 25,66 14,01 17,00 25,62 16,44 20,30 0 10 20 30 40 50 60 P e rs e nt a se c a ca t (% )

Persentase Minimisasi Air (%)

Gambar 49 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap 1

Cacat biji pecah juga dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk, sebagaimana cacat biji berkulit tanduk. Cacat ini dapat terjadi jika kerja huller tidak sempurna, karena kadar air biji kopi HS yang lebih dari 12%. Menurut Mulato et al. (2006), mesin pengupas biji kopi HS terutama dirancang untuk mengupas biji kopi HS dengan kadar air mendekati 12%. Jika kadar air makin tinggi, kapasitas pengupasan akan turun, dan jumlah biji pecah akan sedikit meningkat. Kadar air berpengaruh pada ukuran biji kopi. Makin tinggi kadar air biji kopi, ukuran bijinya semakin besar. Oleh karena itu, lebar celah, dan ukuran saringan perlu dimodifikasi jika mesin pengupas tersebut akan dipakai untuk mengupas biji kopi dengan kadar air yang masih tinggi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengupasan sebaiknya dilakukan pada biji kopi yang telah dingin karena sifat fisiknya telah stabil. Biji kopi hasil pengeringan sebaiknya dianginkan [tempering] dahulu selama 24 jam.

Cacat biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar, buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented) terutama ditemui pada biji kopi dengan perlakuan air pencucian paling minimum (C3). Hal ini diperkirakan terjadi karena lapisan lendir pada biji kopi perlakuan C3 tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian. Lendir terutama mengandung senyawa gula yang memiliki sifat higroskopis (menyerap air). Oleh karena itu

apabila biji kopi masih mengandung lendir yang tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian, biji kopi cenderung lembab yang dapat menghambat proses pengeringan. Gula juga menjadi media tumbuh bakteri yang sangat baik sehingga dapat merusak mutu biji kopi. Lendir juga dapat menyebabkan kotoran non kopi mudah lengket sehingga menghalangi proses pengeringan dan menyebabkan kontaminasi.

Menurut Von Enden dan Calvert (2002), konsep dasar pengolahan basah pada kopi adalah menghilangkan lapisan lendir buah kopi untuk meningkatkan mutu biji. Oleh karena itu, semakin minim air pencucian yang digunakan, akan mempengaruhi mutu biji kopi. Akan tetapi semakin besar air pencucian yang digunakan akan meningkatkan volume pencemaran. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan volume air proses yang optimum dalam perlakuan minimisasi air.

Menurut Yusianto dan Mulato (2002), kadar air awal biji yang beragam juga akan menyebabkan proses pengeringan tidak sempurna, sehingga terjadi cacat biji coklat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya biji coklat, sebaiknya kadar air biji kopi diseragamkan terlebih dahulu misalnya dengan melakukan pengeringan awal (pre-drying) sebelum dimasukkan ke pengering mekanis. Pengeringan dengan suhu tinggi yang terlalu lama sebaiknya dihindari, agar tidak menimbulkan warna permukaan biji kopi kecoklatan.

Cacat kopi gelondong cukup dominan terjadi yang diakibatkan proses pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan dapat menimbulkan rasa serat terbakar pada kopi seduhan.

b. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2.

Perlakuan minimisasi air tahap pertama pada proses pengolahan kopi menunjukkan pengaruh terhadap mutu fisik biji kopi. Batas minimisasi air pada tahap pengupasan buah kopi dari hasil penelitian berkisar antara 0,73 - 0,78 m3/ton buah kopi (74%). Adapun perlakuan minimisasi air pada proses pencucian menunjukkan perbedaan mutu fisik untuk volume air di bawah 1,54 – 1,81 m3/ton biji kopi (70%).

Tabel 18 Mutu fisik biji kopi perlakuan minimisasi air proses pencucian

No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat

Persentase

Minimisasi Air 38a 50a 67a 73a 27b 50b 64b 73b WPS mo DPK wg DPS mo 1 1 biji hitam 4 11 7 10 9 16 23 14 8 21 32

2 1 biji hitam sebagian 15 9 16 11 17 19,5 25,5 16 9 3 33

3 1 biji hitam pecah 0 2,5 0,5 8,5 4 4,5 3,5 6 8,5 3 9

4 1 kopi gelondong 12 12 11 10 30 26 21 14 0 44 0

5 1 biji coklat 5,75 6 5 1,75 3 5,25 4 8,5 3,5 0,5 7,5

6 1 kulit kopi ukuran

besar 0 4 0 6 0 0 0 7 1 0 0

7 1 kulit kopi ukuran

sedang 6,5 7 7 6 4 7,5 2,5 9,5 0 2 0,5

8 1 kulit kopi ukuran kecil 6,2 7,6 7,6 4,6 22,4 16,8 11 7,2 0,6 15,2 0,4

9 1 biji berkulit tanduk 7,5 6 4,5 6,5 6 1,5 8,5 4 9 0,5 0

10 1 kulit tanduk ukuran

besar 0 0,5 0 0 0 0,5 0 0 5 0 0

11 1 kulit tanduk ukuran

sedang 0 0,2 0 0 0 0,2 0 0 2,4 0 0

12 1 kulit tanduk ukuran

kecil 0 0,1 0,2 0,2 0 0,2 0 0 0,9 3,6 0

13 1 biji pecah 6,4 5 10,6 9 7,4 9 8 10 6,6 74,6 21,8

14 1 biji muda 7,2 5,8 7 5,8 6 7,2 12,2 7,4 1 8,2 4,6

15 1 biji berlubang satu 0,2 0 0 0 0,1 0,2 0,1 0 0 1,5 6,4

16 1 biji berlubang lebih

dari satu 0,2 0 0,4 0,6 0 0,4 0,4 0 0,2 5 12,6

17 1 biji bertutul-tutul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

18 1 ranting, tanah atau

batu berukuran besar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 20

19 1 ranting, tanah atau

batu berukuran sedang 0 2 0 0 2 0 0 0 0 10 0

20 1 ranting, tanah atau

batu berukuran kecil 0 1 2 0 0 1 0 1 0 2 4

Total Nilai 70,95 79,7 78,8 79,95 110,9 115,8 119,7 104,6 55,7 199,1 151,8

Kategori Mutu 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 6 6

Keterangan:

DP: Kopi olah kering WP : Kopi olah basah Kwg: Kebun Kaliwining (Puslitkoka) Smo: KUPK Sidomulyo WPSmo: penurunan air 26%

a: periode panen puncak b: periode panen rampasan

Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minimisasi air proses pencucian terhadap mutu biji kopi dilakukan analisis mutu fisik dan cita rasa biji kopi hasil perlakuan proses pencucian pada tahap minimisasi air kedua. Volume air proses pengupasan diupayakan konstan dengan persentase penurunan 74%. Volume air proses pencucian dengan persentase penurunan 57, 70, 0, dan 35 %. Penurunan 57 dan 70% diulang kembali pada minimisasi air tahap kedua.

Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan perlakuan minimisasi air untuk buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan. Buah kopi panen rampasan adalah buah kopi yang dipanen pada saat akhir panen, dimana buah tersisa di pohon dipanen seluruhnya untuk memutus siklus hama buah kopi. Menurut Ciptadi dan Nasution (1985) ; (Mulato et al. 2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Kopi olah kering dan olah basah dari KUPK Sidomulyo merupakan kontrol terhadap perlakuan.

Pada biji kopi hasil pengolahan basah di Kebun Sidomulyo (WP Smo) jumlah cacat yang ditemui lebih sedikit dibandingkan biji kopi dari Kebun Kaliwining (Gambar 50). Biji kopi yang berasal dari masa panen rampasan memiliki jumlah cacat lebih besar dibandingkan biji kopi yang berasal dari masa panen puncak. Hal ini karena mutu buah kopi dari Kebun Sidomulyo maupun Kebun Kaliwining pada masa panen puncak lebih baik dibandingkan mutu buah kopi masa panen rampasan.

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0 0 50 100 150 200 250 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo To ta l A ir P ro ses (m 3/t o n ) To ta l N il a i C a ca t

Persentase Minimisasi Air (%) Total Nilai Cacat Total Air Proses

4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 6 4A Kontrol 6

Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir)

Gambar 50 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen

Perlakuan air yang lebih besar tidak sepenuhnya dapat meningkatkan mutu biji kopi apabila bahan baku yang diolah memiliki mutu rendah. Mutu biji kopi dipengaruhi oleh mutu buah kopi sejak di kebun. Buah kopi pada perlakuan tahap kedua memiliki persentase cacat yang timbul dari kebun lebih besar dibandingkan

buah kopi pada perlakuan tahap pertama (Gambar 51). Mutu biji kopi perlakuan olah basah tahap kedua lebih rendah (4B) dibandingkan mutu biji kopi perlakuan olah basah pada perlakuan tahap pertama (4A). Meskipun demikian perlakuan modifikasi olah basah menghasilkan mutu biji kopi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah kering (Gambar 51). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya sortasi buah merah yang selektif, proses fermentasi dan tahapan proses yang tepat menjamin keseragaman mutu biji dan cita rasa kopi dari perlakuan olah basah.

0 20 40 60 80 100 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo P er sen ta se C a ca t (% )

Persentase Minimisasi Air (%)

Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing

4B 4B 4B 4B

5

5 5

5

6 6 4A

Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir) Kontrol

Gambar 51 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian

Biji kopi yang mendapat perlakuan olah basah memiliki pola cacat cenderung seragam dibandingkan biji kopi yang berasal dari proses pengolahan kering, meskipun berasal dari kebun kopi berbeda (Gambar 51). Sebaliknya pada kopi yang diolah menggunakan proses pengolahan kering, cacat biji kopi dapat memiliki pola berbeda. Hal ini dimungkinkan karena buah kopi yang diolah dengan proses olah basah melalui tahap sortasi awal untuk memilih buah kopi merah yang layak untuk diolah. Selanjutnya buah kopi yang tidak memenuhi syarat untuk diolah dengan proses basah, diolah dengan proses kering pada biji.

38 50 67 73 27 50 64 73 DKw g Dsm o Wsm o Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Biji pecah 9,02 6,27 13,45 11,26 6,67 7,78 6,68 9,56 37,47 14,36 11,85 Biji berkulit tanduk 10,57 7,53 5,71 8,13 5,41 1,30 7,10 3,82 0,25 0,00 16,16 Biji coklat 8,10 7,53 6,35 2,19 2,71 4,54 3,34 8,13 0,25 4,94 6,28 Kopi gelondong 16,91 15,06 13,96 12,51 27,05 22,46 17,54 13,38 22,10 0,00 0,00 0 10 20 30 40 50 60 70 P e rs e n ta se Ca ca t (% )

Persentase Minimisasi Air (%)

Panen Puncak Panen Akhir (Rampasan) Kontrol

Gambar 52 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap kedua

Cacat kopi gelondong, biji pecah, dan biji berkulit tanduk adalah cacat dominan yang ditemui pada buah kopi dengan perlakuan olah basah (Gambar 52). Mutu buah kopi dari Kebun Kaliwining yang dianalisis pada perlakuan ulangan kedua diperkirakan mengalami penurunan sejak dari kebun dibandingkan buah kopi pada perlakuan tahap pertama, sehingga nilai mutunya menurun. Buah kopi hasil pengolahan kering umumnya hanya didominasi oleh 2 jenis cacat yaitu cacat biji pecah dan kopi gelondong. Buah kopi olah kering dari Kebun Kaliwining sebagian besar merupakan buah kopi yang tidak lolos tahap sortasi awal untuk proses olah basah. Oleh karena itu mutu buah kopi ini jauh berbeda dengan mutu buah kopi olah basah. Adapun buah kopi olah kering KUPK Sidomulyo merupakan buah kopi hasil panen yang langsung diolah tanpa proses sortasi.

Karakteristik cacat biji kopi hasil olah kering dari Kebun Sidomulyo dan Kebun Kaliwining memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada biji kopi Kebun Kaliwining, buah kopi yang tidak layak diolah secara basah, diolah kering. Pengeringan terutama dilakukan di atas lantai jemur semen yang diberi alas plastik/terpal. Apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran, proses pengeringan dilanjutkan menggunakan pengering mekanis, sehingga kadar air biji kopi terkontrol.

Buah kopi dari Kebun Sidomulyo yang diolah dengan proses kering umumnya mengalami tahap pemecahan buah terlebih dahulu sebelum dijemur (buah pecah kulit). Proses pemecahan buah kopi menggunakan alat pemecah sederhana (kneuzer). Setelah dipecah, buah kopi dijemur di atas alas plastik/terpal atau lantai jemur semen. Lama penjemuran kopi pecah kulit ini biasanya antara 8

– 10 hari ter gantung cuaca. Pada tahap pengeringan, buah kopi yang dijemur di lantai jemur harus dibolak-balik atau digaruk agar kering merata.

Menurut Ismayadi dan Zaenudin (2003), proses pengolahan dengan pemecahan buah (kopi pecah kulit) lebih higienis dan cepat dibandingkan cara pengolahan biasa tanpa pemecahan buah. Akan tetapi pada daerah yang relatif basah atau sering terjadi hujan, proses pengeringan dengan pemecahan buah rawan terhadap kerusakan biji karena serangan jamur. Buah kopi yang telah dipecah tidak dapat dijemur di atas permukaan tanah karena akan menjadi kotor dan kusam. Selain itu kopi tidak dapat disimpan dalam bentuk masih berkulit. Oleh karena itu kopi hasil penjemuran biasanya langsung dikupas dengan mesin huller portabel atau yang dipasang pada rangka mobil.

Menurut Yusianto dan Mulato (2002), penilaian biji kopi berdasarkan sifat fisik tidak sepenuhnya dapat menjamin mutu seduhan, tetapi dapat mengantisipasi sebagian besar cacat citarasa seduhan kopi. Kesalahan-kesalahan prakiraan citarasa seduhan kopi berdasarkan sifat fisik dapat diperkecil dengan uji seduhan (cup test). Bagaimanapun, hasil olahan akhir kopi adalah berupa seduhan, sehingga uji seduhan merupakan pelengkap yang sangat penting dari semua cara uji yang telah ada meskipun masih belum dapat distandardisasi.

c. Analisis Cita Rasa (Cup Test) Kopi Perlakuan Minimisasi Tahap Kedua.

Biji kopi hasil pengolahan merupakan bahan dasar utama seduhan kopi. Uji seduhan atau cita rasa (cup test) kopi Robusta meliputi pengujian fragrance, aroma, flavor, body, bitterness, astringency, aftertaste, clean cup, balance, dan preference. Uji cita rasa terutama dilakukan oleh panelis ahli dan panelis terlatih. Uji cita rasa cenderung subyektif, tergantung pada keahlian panelis dan pelatihan yang telah dilakukan. Uji cita rasa terutama dilakukan untuk mengevaluasi profil aroma dan flavor dari kopi. Meskipun demikian uji cita rasa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya cacat pada kopi atau untuk membuat campuran kopi.

0 2 4 6 8 10 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo N il a i U ji

Persentase Minimisasi Air (%)

Q.Fragrance Q.Aroma I. Fragrance I.Aroma

Panen Puncak Panen Akhir (Rampasan) Kontrol

Gambar 53 Uji cita rasa untuk fragrance dan aroma kopi

Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas

Hasil uji cita rasa untuk masing-masing perlakuan minimisasi air tahap 2 disajikan pada Gambar 53, Gambar 54, Gambar 55, dan Gambar 56.

Fragrance adalah aroma kopi sangrai. Adapun aroma dinilai setelah kopi sangrai ditambahkan air panas ke dalam cangkir seduhan. Aroma kopi mempengaruhi semua atribut flavor kopi kecuali rasa di mulut, rasa manis, asin, pahit, dan asam yang dapat dirasakan langsung oleh lidah. Aroma kopi terutama muncul karena kandungan senyawa-senyawa volatil aromatik yang dapat dirasakan hidung (Moreno et al. 1995). Intensitas menunjukkan banyaknya rasa yang ada dalam cangkir kopi, yang berkisar sangat kuat hingga sangat ringan. Intensitas juga menunjukkan kuat lemahnya penginderaan terhadap rasa yang ada dalam cangkir kopi. Adapun kualitas menunjukkan perbedaan kualitas, keserasian ataupun keharmonisan rasa.

Fragrance dan aroma kopi Robusta dari musim panen raya cenderung meningkat karena perlakuan olah basah dibandingkan kopi yang berasal dari olah kering. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar perlakuan. Perlakuan minimisasi air menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas dan intensitas fragrance maupun aroma kopi sangrai kecuali pada buah kopi yang berasal dari panen rampasan. Perbedaan mutu fisik biji kopi ternyata mempengaruhi cita rasa kopi bubuk.

0 2 4 6 8 10 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo N il a i U ji

Persentase Minimisasi Air (%)