• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kop

WASHER PULPER

7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kop

Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair pengolahan kopi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan melalui proses anaerobik. Menurut Angelidaki et al. (2007), proses metabolisme anaerobik merupakan proses biokimia kompleks yang saling berkaitan antara grup mikrobial. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian tingkat biodegradabilitas limbah cair proses pengolahan kopi melalui potensi pembentukan metana (biogas) menggunakan komposit mikroorganisme yang berasal dari reaktor anaerobik. Gunaseelan (1997) menyatakan analisis biochemical methane assay (BMP) dapat dilakukan untuk menentukan output CH4 (metana) dari substrat organik dan untuk

memantau tingkat toksisitas anaerobik. BMP merupakan metode yang berharga, cepat dan tidak mahal untuk menentukan potensi dan laju pengembangan konversi biomassa dan limbah menjadi CH4.

Studi simulasi biodegradabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi konversi limbah cair kopi pada konsentrasi bahan organik tinggi yang diperoleh dari perlakuan minimisasi air proses pengolahan menjadi biogas dalam suasana anaerobik. Simulasi dilakukan pada berbagai tingkat konsentrasi limbah cair dan jenis konsorsium mikroorganisme dalam vessel berukuran 100 ml (Gambar 70).

Fluktuasi konsentrasi limbah cair kopi pada saat proses pengolahan dan masa panen kopi yang terbatas menyebabkan masa untuk mendapatkan limbah cair dengan konsentrasi tertentu juga terbatas. Sebagai pendekatan, penelitian ini menggunakan larutan kopi instan sebagai limbah cair kopi sintetik dengan mempertimbangkan karakteristik yang berbeda antara keduanya. Daoming dan Forster (1994) juga pernah menggunakan kopi instan sebagai bahan simulasi limbah cair kopi untuk menentukan pengaruh faktor penghambat dalam penanganan anaerobik termofilik.

Gambar 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik

Limbah cair kopi sintetik dibuat dari larutan kopi instan dengan pertimbangan ketersediaan bahan pada saat pelaksanaan penelitian dan kemudahan untuk membuat larutan limbah cair pada rentang konsentrasi COD tertentu. Pembuatan konsentrasi larutan disesuaikan dengan rentang konsentrasi COD terlarut yang diperoleh dari hasil perlakuan minimisasi air. Suhu dan pH proses dijaga pada kondisi optimum proses yaitu pada suhu 37oC dan pH netral (6,5 – 7,0) kecuali pada batch 1. Adapun komposisi limbah cair sintetik pada berbagai tingkat konsentrasi COD disajikan pada Tabel 27.

Komposisi kimia limbah cair kopi ditentukan oleh kandungan organik pada pulpa kopi dan biji kopi. Limbah cair kopi yang berasal dari proses pengolahan buah umumnya mengandung polisakarida cukup tinggi, sedangkan pada kopi

instan telah menurun hingga 50%. Degradasi pada kopi instan diduga terutama pada polifenol, mineral, protein dan gula-gula pereduksi yang ada.

Tabel 26 Rancangan simulasi biodegradabilitas (BMP test) kopi instan

Batch COD (g/L) Inokulum pH

1 a. 10 b. 20 c. 30 Campuran granular dan floccular sludge Tanpa penyesuaian pH 2 a. 10 b. 15 c. 20 d. 30 Granular sludge 6,5 – 7,0

Tabel 27 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan Komposisi

(gr)

Larutan kopi dengan tingkat COD

10 g/L 20 g/L 30 g/L Protein 0,077 0,115 0,153 Karbohidrat 0,459 0,688 0,918 Gula 0,076 0,114 0,153 Serat 0,382 0,574 0,765 Polifenol&melanoidin 0,275 0,413 0,551 Kafein 0,053 0,080 0,107 pH larutan 5,28 5,15 5,03

Granular sludge yang digunakan berasal dari komposit mikroorganisme (lumpur aktif) reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Sedangkan floccular sludge merupakan komposit mikrooganisme heterogen dalam bentuk lumpur tersuspensi yang berasal dari lumpur aktif reaktor anaerobik Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR).

Liu et al. (2002), menyatakan UASB dan CSTR merupakan bagian dari sistem anaerobik yang dapat digunakan untuk menangani limbah. UASB merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap aktifitas bakteri metanogenesis pada laju alir cepat. Adanya aliran ke atas yang cepat dalam reaktor UASB serta pola aktifitas bakteri metanogenesis untuk membentuk lapisan tersuspensi memacu perkembangan konsorsium metanogenik membentuk diri sendiri menjadi granule yang lebih kental daripada air melalui aliran limbah cair menuju bagian atas reactor. UASB dikembangkan terutama untuk menangani limbah cair yang berkonsentrasi tinggi. Densitas mikroorganisme granular yang tinggi memudahkan proses pemisahan efluen

limbah cair yang telah terpurifikasi dengan biomassa. Kelemahan UASB adalah padatan partikulat dalam limbah cair yang cenderung dapat menganggu sistem.

Reaktor CSTR diadaptasi dari reaktor aerobik untuk mengolah limbah organik yaitu menggunakan lumpur aktif hasil penanganan sekunder untuk mengolah langsung limbah cair. Adanya agitasi (pemutaran) mekanis pada tangki aerobik bertujuan untuk menjadi partikulat agar tetap dalam bentuk tersuspensi dan memudahkan memasukkan oksigen ke dalam larutan. Pemutaran mekanis pada tangki anaerobik mempengaruhi laju pertumbuhan konsorsium bakteri terhadap lingkungan pada kondisi asidogenesis dan metanogenesis. Dinamika bakteri cenderung tidak seragam pada reaktor CSTR.

Gambar 71 Komposit mikroorganisme (a) Flokular, (b) Granular

a. Uji Biodegradabilitas Batch 1.

Analisis biodegradabilitas batch 1 (Gambar 72) dilakukan pada tingkat konsentrasi COD 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L limbah cair untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme. Pengujian dilakukan secara triplikat dengan uji biodegradabilitas selulosa sebagai bagian dari komponen karbohidrat dilakukan sebagai kontrol perlakuan. Pengujian dilakukan tanpa penyesuaian pH untuk

mengetahui kemampuan komposit mikroorganisme gabungan dalam

mendegradasi limbah cair.

Kemampuan komposit gabungan mikroorganisme flokular dan granular dalam mendegradasi limbah cair sangat baik pada konsentrasi COD 10 g/L dan cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi COD. Kemampuan adaptasi komposit mikroorganisme cukup baik dimana proses degradabilitas dapat berlangsung meskipun pada konsentrasi COD tinggi. Aktifitas metanogenik yang

tinggi dari lumpur granular dan bakteri asetogenik dari lumpur flokular berkontribusi menjaga keberlangsungan proses degradasi pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Meskipun pada awal proses, reaksi pembentukan metana sangat dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan organik dalam suasana asam (kandungan gas hidrogen).

Gambar 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1.

Kestabilan proses pembentukan gas metana tergantung pada konsentrasi COD. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kestabilan. Pada sampel dengan konsentrasi 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L membutuhkan waktu berturut-turut 10 hari, 15 hari dan 25 hari

untuk mencapai kesetimbangan pembentukan gas metana. Fase awal dari proses anaerobik adalah hidrolisis yang terjadi pemecahan molekul berukuran besar dan kompleks menjadi molekul yang berukuran lebih kecil. Kandungan bahan organik yang tinggi pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi serta transformasi komponen selulosa dan hemiselulosa tentu membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan sampel dengan konsentrasi bahan organik lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan kumulatif pembentukan gas metana pada konsentrasi COD tinggi lebih besar dibandingkan pada konsentrasi COD rendah.

Pada awal proses anaerobik, sampel dengan konsentrasi tinggi (30 g/L) mengalami suasana asam yang mempengaruhi stabilitas proses. Tingginya persentase hidrogen hingga hari ke-10 diperkirakan terjadi pada fase bakteri asetogenesis dan formasi asam (asidogenesis). Pada fase ini terjadi oksidasi anaerobik yang merupakan penentu keberlanjutan proses anaerobik hingga fase metanogenesis. Apabila gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi dan mikroorganisme yang ada dalam reaktor tidak dapat bertahan, maka tidak akan terjadi fase berikutnya karena mikroorganisme yang ada mati. Meskipun tidak ada proses netralisasi limbah cair sebelum proses anaerobik, komposit mikroorganisme granular dan flokular dalam reaktor ternyata mampu bertahan menghadapi suasana asam. Setelah hari ke-10, proses pembentukan gas metan pada fase metanogenesis dapat berlangsung lancar dan menghasilkan komposisi biogas atau gas metan hingga 70%.

Berdasarkan hasil perlakuan, diperoleh komposisi rata-rata gas metana dan karbondioksida berturut-turut adalah 60 – 70% dan 30 - 40%. Menurut Borjesson dan Berglund (2006), komposisi biogas terutama terdiri atas CH4 (60 – 70%) dan

CO2 (30 – 40%), dengan kandungan uap air dan beberapa gas-gas nitrogen,

hidrogen sulfida dan ammonia.

Uji biodegradabilitas secara umum berlangsung baik pada batch 1 meskipun tanpa perlakuan netralisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Dinsdale et al. (1997) yang menggunakan reactor UASB dengan tahapan pre-asidifikasi. Netralisasi dengan NaOH pada pH 6,0 dan HRT (hydraulic retention time) 24 jam tidak dibutuhkan untuk efisiensi proses asidogenesis. Efluen dari tahapan asidogenik dengan pH 5,2 tidak membutuhkan netralisasi dengan NaOH sebelum

memasuki tahapan metanogenik. Tidak adanya netralisasi pada kisaran pH tersebut ternyata membantu meningkatkan performa reaktor UASB termofilik. Proses UASB 2 tahap (asidogenik dan metanogenik) memberikan peningkatan performa secara konsisten dibandingkan sistem 1 tahap. Tahap asidifikasi berperan dalam kemampuan reactor menerima laju beban tinggi.

Penelitian oleh Chen et al. (2008), menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar mikroorganisme bekerja pada rentang pH netral yaitu pada rentang pH 7,0 – 7,5 tetapi beberapa mikroorganisme tetap aktif pada pH rendah ataupun pH tinggi. Pada saat fermentasi, mikroorganisme penghasil asam (floccular sludge) mengelola hidupnya untuk hidup dalam suasana asam hingga pH 5,0. Sebaliknya, mikroorganisme penghasil metana (granular sludge) berkembang baik pada pH netral.

b. Uji Biodegradabilitas Batch 2.

Uji biodegradabilitas batch 1 yang menggunakan 2 jenis komposit mikroorganisme mampu mendegradasi limbah cair sintetik. Uji biodegradabilitas batch 2 hanya menggunakan komposit bakteri granular yang berasal dari reaktor UASB. Waktu degradabilitas batch 2 pada konsentrasi yang sama lebih singkat dibandingkan batch 1. Sludge granular yang telah mengandung bakteri metanogenesis memungkinkan kandungan metana berada dalam vessel sejak awal proses anaerobik.

Komposit bakteri granular tanpa komposit flokular ternyata tidak mampu untuk mendegradasi limbah cair pada konsentrasi 30 g/L. Proses anaerobik tidak berlangsung optimum dimana komposisi gas karbondioksida lebih besar (40-50%) daripada komposisi gas metana (20-30%). Komposisi gas metana mencapai puncaknya pada hari ke-2 kemudian cenderung stabil hingga 40 hari. Meskipun demikian komposit bakteri granular masih menunjukkan kemampuannya untuk mendegradasi komponen kompleks selulosa pada konsentrasi 1 g/L. Pereira (2009), waktu degradasi anaerobik untuk mencapai konversi COD bahan organik menjadi gas metana dipengaruhi oleh kualitas komposit bakteri dan kualitas lingkungan. Bakteri metanogenik yang dominan pada sludge granular diperkirakan tidak bekerja optimum pada kondisi asam fase asidogenesis.

Gambar 73 Komposisi gas yang dihasilkan dari proses anaerobik batch 2 Fase asidogenesis yang terjadi setelah fase hidrolisis diperkirakan tidak dapat berlangsung sempurna pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Pada fase ini, selain substrat, aneka mikroorganisme turut mempengaruhi kelancaran proses degradasi. Semakin banyak organisme yang aktif, semakin baik proses fermentasi hasil fase hidrolisis menjadi karbon organik, komponen molekul sederhana, hidrogen dan karbondioksida. Semakin tinggi konsentrasi COD, semakin besar pula dihasilkan hidrogen yang cenderung menyebabkan suasana asam.

Netralisasi pH limbah cair di awal proses ternyata tidak selalu mampu menjaga keseimbangan reaksi asam basa pada fase formasi asam (asidogenesis). Konsentrasi gas hidrogen dan pembentukan asam yang tinggi sebagai akibat dekomposisi bahan organik serta karakteristik bakteri granular yang hanya bekerja optimal pada fase metanogenesis, menyebabkan oksidasi anaerobik berhenti. Pada kondisi ini, mikroorganisme diperkirakan tidak memiliki lagi energi yang cukup untuk tumbuh dan akhirnya mati (Droste 1997). Sebagai akibatnya proses metanogenesis tidak dapat berlangsung sempurna dan sebagian besar komponen organik tidak dapat dikonversi menjadi metana. Produksi metana hanya dapat terjadi pada kondisi pH netral.

Metabolisme anaerobik merupakan proses konversi komponen organik dalam kondisi tidak adanya oksigen menjadi komponen karbon sederhana, karbondioksida dan intermediate lainnya. Ketiga tahapan penting dalam proses anaerobik adalah hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis. Stabilitas proses anaerobik tergantung pada komposisi mikroorganisme metabolik yang membentuk asam dan hidrogen, pH dan suhu lingkungan. Meskipun bakteri metanogenik memainkan peran penting dalam keseluruhan proses degradasi karena kemampuannya menghasilkan gas metan sebagai biogas. Akan tetapi grup metabolit lainnya seperti bakteri pembentuk asam pada proses hidrolisis, bakteri obligat yang menghasilkan asetogen pada fase asidogenesis juga berperan mempercepat proses metanogenesis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda di berbagai rentang pH menjadikan gabungan komposit mikroorganisme granular dan flokular pada batch 1 lebih baik daripada batch 2.

Pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L), gas metana terutama mulai diproduksi hari ke 23 pada batch 1 dan hari ke-3 pada batch 2. Setelah hari ke 23, hidrogen cenderung menghilang dengan meningkatnya persentase gas metana hingga masa stabilisasi yaitu pada hari ke-61 dimana persentase metana mencapai 70%. Sebaliknya pada batch 2, gas metana hanya mampu mencapai persentase tertinggi pada hari ke-3. Bakteri metanogenik yang merupakan komponen terbesar dalam komposit bakteri granular bekerja optimum selama masa itu dan terstabilkan hingga hari ke-40.

Proses degradasi konsentrasi bahan organic yang tinggi serta menghasilkan hidrogen dengan persentase besar menyebabkan bakteri granular tidak bekerja optimal karena suasana asam. Komposisi VFA (volatile fatty acids) menunjukkan kondisi lingkungan di dalam vessel (reaktor anaerobik sederhana). Tingginya komposisi VFA dapat menyebabkan proses degradasi organik hingga metanogenesis gagal (Tabel 28). Kombinasi inokulum dibutuhkan untuk mendegradasi limbah cair kopi sintetik berkonsentrasi tinggi meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan inokulum yang bersifat spesifik. Kemampuan adaptasi dan rentang tropis dari komposisi mikroorganisme dalam inokulum mampu mengatasi suasana asam dan organik kompleks dalam limbah cair kopi sintetik.

Tabel 28 Rata-rata komposisi biogas dan VFA pada konsentrasi COD 30 g/L

Komponen Satuan Batch 1 Batch 2

CH4 % 57,01 27,38 CO2 % 40,85 46,96 H2 % 0,00 8,54 acetic acid ppm 389,92 756,46 propionic acid ppm 80,84 117,98 iso-butyric acid ppm 27,89 31,40 butyric acid ppm 688,33 987,97 iso-valeric acid ppm 42,79 51,17 valeric acid ppm 21,24 24,67 hexanoic acid ppm 22,98 43,83

Limbah cair proses pengolahan kopi memiliki kandungan bahan organik tinggi terutama yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi limbah cair. Akan tetapi kandungan bahan organik yang tinggi menunjukkan potensi besar untuk menghasilkan biogas selama proses metabolisme anaerobik berjalan optimal. Hal ini didukung oleh Wilkie et al. (2004), bahwa produksi gas pada proses fermentasi besarnya proporsional dengan laju pemanfaatan substrat, formasi produk dan pertumbuhan microbial. Oleh karena itu agar proses degradasi anaerobik dapat berjalan optimal, kondisi lingkungan seperti pH dan suhu proses, serta komposit bakteri yang beragam perlu dijaga.