• Tidak ada hasil yang ditemukan

FEED STOCKS INLET

7.3.6. Proses Fisika Kimia Penanganan Limbah Cair

Proses penanganan limbah cair kopi yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi dengan digester anaerobik sistem campuran belum sepenuhnya menghasilkan efluen penanganan yang dapat dibuang ke badan air (BOD maksimum 100 mg/L dan COD maksimum 250 mg/L). Alternatif upaya penanganan limbah cair proses pengolahan kopi adalah proses kimia dan fisika. Proses kimia melalui koagulasi flokulasi merupakan salah satu proses yang dikaji untuk menangani limbah cair pengolahan kopi karena dianggap efektif, murah dan mudah dalam penanganan limbah cair (Edzwald 1993), sepanjang dilakukan pada kondisi optimum proses. Proses penanganan fisika melalui penyaringan merupakan proses penanganan limbah cair yang sejak dahulu telah diterapkan

untuk penanganan limbah cair proses pengolahan kopi di perkebunan besar Indonesia.

Alternatif penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dengan proses fisika dan kimia dilakukan untuk mengetahui efisiensi kedua proses tersebut jika diterapkan pada sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi. Perlakuan proses kimia dilakukan pada beberapa konsentrasi limbah cair kopi yang berasal dari efluen proses anaerobik dan limbah cair yang berasal dari UPK Desa Sidomulyo.

Koagulan yang digunakan merupakan jenis koagulan yang umum digunakan yaitu Al2(SO4)3, yang dikenal dengan nama alum, FeCl3 dan PAC

(Polyaluminimum chloride). Efektifitas proses koagulasi hanya dapat terjadi pada kondisi optimum proses. Kondisi optimum proses diantaranya adalah pH larutan dan dosis koagulan yang menentukan keberhasilan penurunan konsentrasi limbah cair. Penggunaan dosis yang berlebih akan menyebabkan restabilisasi kompleks partikel koloid pada limbah cair. Pada pra perlakuan telah ditentukan pH dan dosis optimum yang dapat diaplikasikan pada limbah cair kopi. Penggunaan koagulan pada pH dan dosis optimum akan menunjukkan penurunan konsentrasi polutan koloid maksimum. Larutan Ca(OH)2 ataupun CaCO3 dapat digunakan

untuk meningkatkan pH sekaligus berfungsi sebagai koagulan pendukung.

Tabel 33 Efisiensi proses pengolahan kimia dan fisika limbah cair kopi

Penanganan pH awal pH akhir COD awal (mg/L) pH:dosis optimum COD akhir (mg/L) ΔCOD (%) ΔWarna (%) Kimia: a. Alum b. FeCl3 c. Alum + Ca d. FeCl3 + Ca e. Alum f. PAC 4,5 4,5 4,5 4,5 7,12 7,12 5,5 4,3 6,0 5,5 6,0 6,5 5000a) 5000 a) 5000 a) 5000 a) 1960b) 1960b) 6,0:5g/L 5,0:7,5g/L 6,0:5g/L 6,0:7,5g/L 6,0:5g/L 7,0:5g/L 2453 1404 2121 1448,9 191,01 137,49 50,93 71,91 57,58 71,02 90,25 92,98 89,15 97,84 88,47 96,36 70,48 88,25 Fisika d) 4,64 7,12 4,80 7,50 1520 c) 1960 b) 618,08 622,33 59,34 68,25 45,08 40,15

a) limbah cair kopi

b) efluen proses anaerobik limbah cair di Puslitkoka, Kab. Jember c) limbah cair proses pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo, Kab. Jember d) kombinasi ijuk, silica, karbon aktif & zeolit

Penentuan koagulan berpengaruh nyata terhadap penurunan warna, TSS dan COD. Pada penelitian yang pernah dilakukan untuk limbah cair yang mengandung melanoidin, penggunaan feri klorida ataupun garam-garam besi lebih

efektif dibandingkan alum. Akan tetapi efluen yang dihasilkan cenderung di bawah pH netral sehingga membutuhkan penanganan lanjutan (Novita 2001).

Penggunaan koagulan FeCl3 pada penelitian ini juga menunjukkan

persentase penurunan yang lebih besar pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penggunaan alum (Gambar 78). Akan tetapi lumpur besi yang dihasilkan cukup besar serta pH larutan akhir yang cenderung asam akan menimbulkan permasalahan pada saat penanganan akhir. Kombinasi Ca pada perlakuan koagulasi dimaksudkan untuk menggantikan NaOH yang lebih mahal harganya sehingga mencapai pH optimum proses. Akan tetapi lumpur akhir cukup besar sehingga membutuhkan penanganan khusus setelah proses selesai. Lumpur proses koagulasi flokulasi dalam jumlah besar di beberapa industri telah banyak dimanfaatkan untuk pembuatan coneblock ataupun batako. Membutuhkan kajian lebih lanjut apabila akan dilakukan pemanfaatan lumpur proses koagulasi flokulasi.

Penurunan warna lebih signifikan terjadi pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penurunan COD. Hal ini diperkirakan karena proses koagulasi tidak mampu menggoyahkan partikel-partikel bahan organik kompleks limbah cair kopi. Akan tetapi proses koagulasi flokulasi cukup efektif dilakukan pada efluen proses anaerobik, karena bahan organik kompleks telah diurai oleh mikroorganisme anaerobik. Dengan demikian, penurunan konsentrasi bahan organik dapat terjadi seiring penurunan warna efluen anaerobik.

Menurut Stumm dan O’Melia (tanpa tahun) diacu dalam Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan pada proses koagulasi dibutuhkan cara penggoyahan partikel yang dapat dicapai melalui penekanan lapisan ganda listrik dan penyerapan untuk netralisasi. Penekanan lapisan ganda listrik dicapai melalui penambahan elektrolit bermuatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Selanjutnya penggoyahan partikel koloid juga akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral. Penyerapan elektrolit ini hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi cukup kuat mengadakan gaya tarik menarik antara partikel koloid dengan koagulan (Koenig 1987).

Reaksi alum dan feri klorida dalam air dapat berbeda sehingga kekuatan penggoyahan partikel koloid limbah cair juga berbeda. Menurut Eckenfelder (1986), reaksi alum dan feri klorida adalah sebagai berikut;

Al2(SO4)3 + 6HCO3- 2 Al(OH)3 + 3 SO4-2 + 6CO2

FeCl3 + 3 H2O  Fe(OH)3 + 3H+ + 3Cl-

Alum lebih stabil dalam penggunaannya dan flok aluminium hidroksida yang terbentuk bersifat gelatin sehingga akan mengabsorpsi partikel koloid. Sementara feri klorida bekerja dengan dua mekanisme, yaitu sebagian ion Fe3+ akan menetralkan muatan koloid dan sebagian ion Fe3+ mengalami hidrolisis. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum pada persamaan reaksi sebelumnya.

Proses koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan pada limbah cair kopi instan. Menurut Ean (2008), feri klorida menunjukkan kemampuan lebih baik dibandingkan aluminium sulfat untuk mengolah limbah cair kopi instan. Tingkat penurunan turbiditas dan TSS mencapai 95,38% dan 91,43% menggunakan feri klorida. Sedangkan aluminium sulfat menurunkan turbiditas dan TSS sebesar 87,65% dan 88,57%. Feri klorida juga mampu menurunkan warna dan COD sebesar 95% dan 66,45%. Aluminium sulfat mampu menurunkan warna dan COD sebesar 90% dan 66,45%.

Proses fisika dengan prinsip filtrasi dan adsorpsi dapat digunakan untuk menangani limbah cair kopi dan efluen anaerobik meskipun dengan efisiensi

rendah. Penanganan filtrasi pada penelitian ini menggunakan pasir halus silica, karbon aktif dan zeolit untuk proses adsorpsi dan penyaringan. Penggunaan ijuk pada awal proses dimaksudkan untuk menyaring polutan yang berukuran besar. Efisiensi penurunan polutan lebih besar pada efluen anerobik dibandingkan pada limbah cair kopi. Dengan demikian penanganan fisika lebih sesuai untuk penanganan sekunder daripada untuk penanganan primer limbah cair kopi.

Karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis karbon aktif granular yang umum digunakan pada proses adsorpsi limbah cair dan air minum. Karbon aktif digunakan untuk mengadsorpsi padatan terlarut hingga padatan tersuspensi/koloid. Meskipun dalam pemanfaatannya akan dipengaruhi oleh konsentrasi polutan, waktu kontak, pH dan dosis karbon aktif. Menurut Chaudhuri dan Khairi (2011), permukaan karbon aktif granular yang luas dengan mikro pori, mikro volume dan diameter rata-rata pori cenderung seragam cukup efektif menangani limbah cair yang terkontaminasi logam berat. Ukuran pori yang kecil akan memberikan waktu kontak lebih lama pada limbah cair sehingga mampu mengoptimalkan proses adsorpsi.

Gambar 79 Perbandingan efisiensi pengolahan fisika pada limbah cair kopi

Karbon aktif dapat dibuat dari limbah pertanian dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karbon aktif berbasis batubara. Salah satu contoh sumber karbon aktif adalah sabut kelapa yang merupakan residu pengolahan kelapa yang mudah diperoleh dan murah. Sabut kelapa kaya akan lignin (16– 45%), hemiselulosa (24–47%), dan pektin (2%) (Han dan Rowell 1996; Conrad dan Hansen 2007). Grup karboksilat dan fenolat dari lignin, hemiselulosa dan

pektin merupakan bagian penting dalam pengikatan logam-logam berat Conrad dan Hansen 2007).

Selain karbon aktif, zeolit juga umum digunakan dalam proses adsorpsi dan penyaringan. Zeolit memiliki kemampuan untuk tukar kation. Zeolit adalah aluminosilikat dengan rasio Si/Al yang memiliki kemampuan untuk adsorpsi selektif air, limbah cair, karbondioksida, hidrogen sulfida dan polutan lain. Adsorpsi sejauh ini merupakan metode yang cukup baik, efektif, murah dan mudah diterapkan untuk menurunkan konsentrasi polutan.

Pasir silica selain dapat menyaring padatan tersuspensi juga mampu mendekomposisi polutan terlarut. Dengan demikian pasir silica membantu mengurangi padatan tersuspensi pada limbah cair. Menurut El Taweel dan Ali (2000), penyaringan air menggunakan pasir silica juga dapat menurunkan total coliform, penurunan kekeruhan terutama bila dilakukan secara bertahap. Meskipun demikian secara estetika air yang terfilter tidak ada perbedaan berdasarkan parameter fisika dan kimia.