• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

i

SEKITAR KAWASAN PLTU-BATUBARA

(Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

SABAM PARSAORAN SITUMORANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU- Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

iii

Radionuclides U and Th in Waters Surrounding the Area of the Coal Fired Power Plant (Case Study Waters of Pulau Panjang and Coastal of Lada Bay, Banten). Under supervision of HARPASIS SELAMET SANUSI and JUNE MELLAWATI.

This study had been carried out by collecting sample of the surficial sediments, sea water, seaweeds, fishs (Stolephorus) and mussels (Codakia) from 4 locations in waters of Pulau Panjang and coastal of Lada Bay (as control/comparison site), Banten in June-July 2010. Natural radionuclide (238U and 232Th) concentrations in samples were measured using neutron activation analysis (NAA) method. The results showed that total radionuclide concentrations in sediment (238U: 18,6160– 35,0013 Bq/kg; 232Th: 11,2020-35,6685 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0790-0,1299 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 3,6735-4,8345 Bq/kg), natural seaweeds (238U: 3,6851-48,0430 Bq/kg; 232Th: 3,9941-9,0788 Bq/kg), Stolephorus (238U: undetected; 232Th: 3,3078 Bq/kg) and Codakia (238U: 6,8903 Bq/kg; 232Th: 3,6023 Bq/kg) in Pulau Panjang, Banten around Suralaya coal fired power plant (PLTU) higher than control site that were around the Labuan coal fired power plant, namely in sediments (238U: 10,4253 Bq/kg;

232

Th: 16,5952 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0671 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 2,3005 Bq/kg), natural seaweeds (238U:19,5367 Bq/kg; 232Th: 2,6729 Bq/kg) and Stolephorus (238U: undetected;

232

Th: 2,0603 Bq/kg). This means the coal fired power plant has an impact on natural radionuclides pollution in the waters. The internal radiation exposured (via consumed of Codakia and Stolephorus) that received by inhabitant who live in Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten are between range 0,00047-0,01984 mSv/year. This value was considered less than limitation of effective doses that recomended by IAEA for public (1 mSv/year).

(4)

iv

SABAM PARSAORAN SITUMORANG. Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian Di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten). Dibimbing oleh HARPASIS SELAMET SANUSI dan JUNE MELLAWATI.

Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang), bottom ash dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang. Radionuklida alam dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen, sehingga dengan adanya interaksi antara komponen biotik dengan abiotik dapat terjadi akumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan. Melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia sehingga dapat menimbulkan paparan radiasi interna dan pada tingkat konsentrasi tertentu menimbulkan kerusakan biologis misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Penelitian dengan topik tingkat cemaran unsur radionuklida alam di perairan sekitar kawasan PLTU-batubara ini bertujuan mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th dalam air laut (total, terlarut dan tersuspensi), sedimen, rumput laut (alami dan budidaya), ikan teri (Stolephorus dan Anchoa) dan kerang (Codakia) di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten, kemudian menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara, serta memperkirakan dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten.

Pengambilan contoh air, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 dari 4 stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang dan pesisir Teluk Lada (sebagai lokasi pembanding), Banten. Preparasi dan pengukuran kandungan radionuklida alam dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Proses aktivasi neutron contoh dan standar menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten. Pengukuran parameter muatan padatan tersuspensi total (TSS) dan identifikasi jenis kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB. Bahan organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIK-IPB sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia.

(5)

v

terdeteksi dan 0,0333 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0338 Bq/l; sedimen total: 10,4253 Bq/kg dan 16,5952 Bq/kg. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen biotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu rumput laut alami: 3,6851–48,0430 Bq/kg dan 3,9941–9,0788 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 3,6735–4,8347 Bq/kg; ikan teri (Stolephorus): tidak terdeteksi dan 3,308 Bq/kg; kerang (Codakia): 6,8903 Bq/kg dan 3,6023 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding berturut-turut yaitu rumput laut alami: 19,5367 Bq/kg dan 2,6729 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 2,3005 Bq/kg; ikan teri (Anchoa): tidak terdeteksi dan 2,0603 Bq/kg. Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami berturut-turut yaitu Gracilaria salicornia: 0,1397 dan 0,1221; Sargassum duplicatum: 0,9719 dan 0,1695; Padina australis: 0,4622 dan 0,1385; Ulva lactuca: 1,3750 dan 0,2598, dan pada biota yaitu ikan teri (Stolephorus) tidak teridentifikasi dan 0,7831; kerang (Codakia): 0,20 dan 0,32. Perkiraan dosis interna melalui konsumsi ikan teri (Stolephorus) dan kerang laut (Codakia) dari perairan Pulau Panjang, Banten yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten usia dewasa (≥18 tahun) yaitu 0,0025–0,0461 mSv/tahun.

(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vii

(Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)

SABAM PARSAORAN SITUMORANG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

(9)

ix Nama : Sabam Parsaoran Situmorang

NRP : C551080231

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc Ketua

Dr. June Mellawati, B.Sc, S.Si, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

x

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah (tesis) dengan judul “Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis Selamet Sanusi, M.Sc dan Ibu Dr. June Mellawati, S.Si, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan anggota pembimbing atas kesabaran, perhatian, bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi yang memberikan bantuan dan saran selama menempuh pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Kelautan IPB.

4. Pak Ali Arman Lubis, M.Sc, Pak Suripto dan Bu Niken, S.Si (Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta) atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama preparasi dan perhitungan radionuklida alam. Pak Kowkab (Center for Multiporpuse Reactor, BATAN, Puspiptek, Serpong) atas pelatihan singkat, penjelasan mengenai intalasi nuklir dan bantuan saat irradiasi sampel.

5. I. M. Royn S. Pasek, S.Pi, Synthesa P.Y.K, S.Pi, Lalu Aktidar Hakim, S.Pi, Ilham Rizki, S.Pi, Yohan Sony N., S.Pi, Abie Aryo D, S.Pi, Astrid S.P, Andhita Triwahyuni, S.Pi, Putri Mudhlika Lestarina, M.Si, Liston Siringo-ringo, M,Si dan Maria Ulfa, S,Kel atas bantuannya saat survey lapangan, pengambilan sampel maupun preparasi sampel.

6. Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah atas bantuan melalui beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran tahun 2010.

7. Rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Kelautan angakatan 2008 dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

xi

Penulis dilahirkan di Tumbang Jutuh (Kalimantan Tengah) pada tanggal 9 Oktober 1984 sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Marusaha Situmorang dan Setiara Manullang. Pendidikan dimulai di SDN

Palangka-4 Palangkaraya (1991-1998) dilanjutkan ke SMPN-3 Palangkaraya (1998-2000) dan SMUN-5 Plus Palangkaraya (2000-2003). Tahun 2003-2008 menempuh pendidikan S-1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)-IPB. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011.

Selama mengikikuti program S-2, penulis mengabdi sebagai asisten pada bagian Oseanigrafi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB sejak tahun 2008 sampai sekarang dan aktif dalam keanggotaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (Watermass-IKL) pada tahun 2008-2009. Penulis juga memperoleh Beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010.

(12)

xii

2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida ... 7

2.2 Unsur Radionuklida Alam ... 9

2.2.1 Uranium ... 10

2.2.2 Thorium ... 11

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara ... 12

2.3.1 Batubara ... 15

2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara ... 16

2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara ... 21

2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara ... 21

2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir ... 25

3.3 Komponen dan Parameter Lingkungan yang Diukur ... 39

3.4 Teknik Pengambilan dan Preparasi Contoh ... 40

3.4.1 Air laut ... 40

(13)

xiii

4.3 Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten .... 60

4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS ... 60

(14)

xiv

Halaman

1. Unit-unit dalam radiologi ... 9 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami ... 10 3. Jenis-jenis batubara ... 15 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya ... 22 5. Kandungan radionuklida dalam batubara... 22 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTU-batubara di beberapa negara ... 24 7. Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami ... 32 8. Komponen lingkungan, parameter, satuan dan metode pengukuran ... 40 9. Nilai dissolved transport indice (DTI) dan kapasitas adsorpsi (KA)

dari 232Th di lokasi pengamatan pada Juni-Juli 2010 ... 68 10. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut beberapa perairan Indonesia

dan kisaran rata-ratanya di dunia ... 69 11. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia ... 71 12. Rumput laut yang ditemukan di lokasi pengamatan ... 72 13. Rata-rata faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ... 75 14. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri (Stolephorus) dan

kerang (Codakia) serta nilai faktor konsentrasinya di perairan

Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ... 76 15. Konsentrasi 238U dan 232Th pada produk olahan hasil laut

(dodol rumpu laut dan ikan teri) di Pulau Panjang dan

Kampung Kemuning, Citeureup, Banten, Juni-Juli 2010 ... 77 16. Rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh

(15)

xv

1.Diagram kerangka pemikiran··· 6

2.Deret peluruhan radionuklida alam 238U ··· 13

3.Deret peluruhan radionuklida alam 232Th ··· 14

4.Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003 ··· 16

5.Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ··· 17

6.Lokasi PLTU-batubara di Indonesia ··· 20

7.Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia ··· 33

8.Peta lokasi penelitian ··· 37

9.Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ··· 48

10.Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaann (m/s) di Utara dan Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia (a. musim barat, b. musim peralihan 1, c. musim timur dan d. musim peralihan 2) ··· 51

11.Curah hujan bulanan (mm) dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang, Banten ··· 52

12.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 53

13.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 54

14.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim timur berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim timur di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 55

15.a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 2 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 2 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··· 56

16.Persentase arah dan kecepatan angin di perairan Pulau Panjang, Banten selama 10 tahun (Januari 2000-Desember 2009) ··· 57

17.Nilai salinitas (‰) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 61

18.Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 62

19.Nilai suhu perairan (oC) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 62

(16)

xvi

Juni-Juli 2010 ··· 65 23.Kandungan TOM (%) dalam sedimen pada stasiun pengamatan,

Juni-Juli 2010 ··· 66 24.Konsentrasi 232Th (Bq/l) total, tersuspensi dan terlarut dalam air laut

di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 67 25.Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) total dalam sedimen pada lokasi

pengamatan, Juni-Juli 2010 ··· 70 26.Konsentrasi 238U (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan,

Juni-Juli 2010 ··· 73 27.Konsentrasi 232Th (Bq/kg) tubuh rumput laut di lokasi pengamatan,

(17)

xvii

Halaman

1. Prosedur analisis muatan padatan tersuspensi/TSS ... 90

2. Prosedur analisis kandungan bahan organik total (TOM) sedimen ... 90

3. Analisis tekstur sedimen (metode pemipetan) ... 91

4. Peta lokasi stasiun 4 (lokasi pembanding) di Teluk Lada, Banten ... 93

5. Peta topografi Pulau Panjang, Banten ... 94

6. Data elevasi muka laut selama 15 hari dari Dishidros ... 95

7. Perhitungan bilangan Formzahl ... 96

8. Konversi satuan bobot (gram) ke aktivitas (Bq) ... 97

9. Batas deteksi alat (detection limits) dari 238U dan 232Th ... 98

10. Curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang ... 99

11. Tekstur sedimen ... 99

12. Rata-rata konsumsi kerang dan ikan teri oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten ... 100

13. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 238U melalui ingesti kerang ... 102

14. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti kerang ... 104

15. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti ikan teri ... 106

16. Total asupan radionuklida alam 238U dan 232Th... 108

17. Dosis efektif terikat (intakes of commited effctive dose) per tahun dari konsumsi kerang dan ikan teri ... 110

18. Gambar sampel rumput laut ... 112

(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut mempunyai peran yang sangat penting, baik ditinjau dari segi ekologis maupun ekonomis (Dahuri 2003). Lingkungan laut (pesisir dan estuaria) merupakan suatu ekosistem yang khas karena menjadi tempat akumulasi berbagai kontaminan (alami dan antropogenik). Sumber kontaminan tersebut ialah masukan dari daratan melalui sistem sungai, jatuhan dari atmosfir dan aktivitas di perairan itu sendiri (pelabuhan, wisata dan industri). Di era industrialisasi, kawasan pesisir menjadi prioritas utama untuk mengembangkan berbagai kegiatan industri sehingga wilayah tersebut beresiko tinggi untuk berbagai kasus pencemaran. Beberapa kegiatan industri “non-nuklir” seperti tambang timah, tambang batuan fosfat, tambang batuan bauksit, minyak dan gas bumi, tambang emas, pabrik pupuk fosfat, pabrik penyekat dinding dari fosfogipsum dan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara serta pemanfaatan hasil limbahnya, tanpa disadari akan menaikkan tingkat radionuklida alam di lingkungan dan pada tahap berikutnya akan menaikkan paparan radiasi alam terhadap kehidupan di lingkungannya. Dua industri dari beberapa industri “non-nuklir” tersebut menurut laporan UNSCEAR yang mempunyai potensi besar sebagai pencemar radionuklida ke lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998).

(19)

jumlahnya sangat berlimpah mencapai hampir puluhan milyar ton. PLTU menggunakan batubara sebagai bahan bakar yang berasal dari alam dan mengandung material radioaktif (NORM = Naturally Occuring Radioactive Material), sehingga dapat menimbulkan terjadinya pemekatan radionuklida alam yang dinamakan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring Radioactive Material).

Masalah perlindungan lingkungan hidup sekarang semakin banyak diperdebatkan dalam kaitannya dengan kesehatan manusia. Hal ini mendorong evolusi signifikan dalam bidang radioproteksi. Setelah sebelumnya penekanan ditempatkan langsung pada kesehatan manusia dan sukses, radioproteksi memperluas ruang lingkup dan perhatian untuk juga mempertimbangkan fauna, flora dan komponen abiotik lingkungan, dimana diketahui bahwa kesehatan manusia memerlukan lingkungan yang sehat pula.

(20)

dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Radionuklida alam dapat digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun, hal ini karena sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bapedal 1999). Jika unsur radionuklida alam terlepas ke lingkungan perairan, maka hasil interaksinya dengan komponen biotik perairan tersebut dapat menimbulkan keadaan abnormal dari biota perairan (ikan dan biota lain). Kontak langsung dengan komunitas tanaman juga menyebabkan penurunan produksi biomassa dan hambatan pertumbuhan serta kematian (Connel dan Miller 1995). Radionuklida alam sebagai unsur pencemar yang masuk ke dalam ekosistem akan mengikuti lintas rantai makanan dan dapat berujung pada jaringan tubuh manusia (Thayib 1990). Kasus pencemaran radionuklida alam di negara maju telah diketahui sejak lama, akan tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, kasus ini masih belum banyak diketahui sebagian besar masyarakat.

(21)

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu dilakukan kajian dampak lepasan radionuklida alam 238U dan 232Th dari PLTU-batubara ke lingkungan. Penelitian ini dimaksudkan menentukan status dan sebaran radionuklida alam 238U dan 232Th di kawasan pesisir sekitar industri non-nuklir.

1.2 Perumusan Masalah

Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ash, selain itu aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang juga memberikan kontribusi terhadap pelepasan radionuklida alam ke perairan. Adanya rencana pemerintah membangun PLTU-batubara guna memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dalam mendorong pembangunan nasional, secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya emisi radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya. Beberapa PLTU- batubara yang direncanakan kebanyakan berlokasi di pesisir. Radionuklida alam tersebut dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen sehingga dapat mempengaruhi kehidupan komponen biotik di perairan pesisir tersebut. Radionuklida alam tersebut akan terakumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan sehingga melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia. Asupan terhadap biota dan tumbuhan yang mengandung 238U dan 232Th oleh manusia dapat menimbulkan paparan radiasi interna dalam tubuh manusia. Kerusakan biologis yang timbul akibat terpapar radiasi ini misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

(22)

1.3 Kerangka Pemikiran

Pembangunan pembangkit listrik (PLTU-batubara) dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional guna mendorong peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan pelepasan sejumlah radionuklida alami 238U dan 232Th ke lingkungan perairan di sekitarnya. Pelepasan sejumlah radionuklida alam ke lingkungan dapat meningkatkan paparan radiasi yang membahayakan komponen di lingkungan.

Sebagai komponen abiotik perairan, air, padatan tersuspensi dan sedimen adalah media perantara berpindahnya radionuklida alam ke tanaman dan biota perairan, melalui mekanisme akumulasi. Dampak radiologi akibat kegiatan PLTU-batubara terhadap manusia yaitu meningkatnya paparan radiasi interna melalui konsumsi hasil laut (ikan, kerang dan rumput laut) yang terkontaminasi radionuklida alam. Skema alur kerangka pemikiran ditunjukkan pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan abiotik (air, padatan tersuspensi dan sedimen) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

2. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan biotik yaitu rumput laut, ikan teri (Stolephorus sp.) dan kerang (Codakia) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

3. Menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.

(23)

radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir. Informasi ini dapat digunakan sebagai pengetahuan bagi para pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan dengan mempertimbangkan masalah lingkungan (kemampuan lingkungan dalam menerima kontaminan radionuklida) dalam regulasi tentang zonasi atau rencana tata ruang kawasan, sehingga kegiatan-kegiatan yang tak terelakkan keberadaannya dalam pembangunan tersebut dapat ditata lebih baik dan tidak saling mempengaruhi untuk mengurangi dampak dan melestarikan lingkungan perairan.

Keterangan: = langsung

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran Pengoperasian PLTU-Batubara

Pelepasan Radionuklida Alam

238

U dan 232Th

Komponen Perairan Pesisir

Peningkatan Paparan Radiasi

Air Sedimen

Tersebar Terdeposisi

Hewan dan Tumbuhan Akumulasi

Laju pemanfaatan (konsumsi)

Manusia (Efek Kesehatan) Padatan tersuspensi

(24)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida

Dari lambang nuklida , dapat ditentukan jumlah proton dan neutron dalam inti atom, dan sekaligus juga jumlah elektron yang mengitari inti. Jumlah proton (nomor atom) adalah Z, jumlah neutron adalah massa atom (A) dikurangi dengan nomor atom (Z). Nuklida-nuklida dengan jumlah proton sama tetapi jumlah neutron berbeda disebut isotop. Menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran, radioisotop (radionuklida) adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan radiasi pengion, dimana radiasi pengion itu sendiri adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu meng-ionisasi media yang dilaluinya. Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency).

Proses peluruhan zat radioaktif sebenarnya adalah proses alami dari suatu zat radioaktif atau radioisotop dalam rangka keseimbangan menuju energi dasarnya. Peluruhan radioaktif (radioactive decay) adalah emisi partikel-partikel secara spontan atau radiasi elektromagnetik dari atom yang tidak stabil yang mengakibatkan transformasi (perubahan bentuk) dalam nukleus/intinya. Hasil dari transformasi ini yaitu alpha, beta dan partikel neutron dapat dikeluarkan dari inti, kadang-kadang disertai dengan emisi partikel positron, sinar gamma, dan sinar – X. Atom berubah menjadi elemen baru, yang dapat bersifat radioaktif atau stabil (Morrison dan Murphy 2006). Partikel alpha, beta dan positron memiliki waktu paruh yang sangat pendek dan tidak stabil di dalam lingkungan. Sinar gamma dan sinar – X merupakan foton (Morrison dan Murphy 2006).

(25)

A= λ N ... (1) dimana:

A = aktivitas (Bq)

λ = konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)

N = jumlah atom (1 × )

Aktivitas pada waktu tertentu diuraikan oleh persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006):

A = A0 e- λ t ... (2)

dimana:

A = aktivitas (Bq)

A0 = aktivitas awal pada t=0

λ = konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1) t = waktu sejak t = 0 (dalam detik)

Waktu paruh dari suatu isotop radioaktif adalah selang waktu yang dibutuhkan agar aktivitas radiasi berkurang setengah dari aktivitas semula. Waktu paruh juga dapat didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan agar setengah dari inti radioaktif yang ada meluruh. Ketika t = T1/2 maka =

sehingga waktu paruh kita peroleh dengan cara: A = A0 e- λ t

= e- λ t

= 0,5 atau 0,5 = e- λ t1/2

Ln 0,5 = - λt1/2 atau -0,693 = - λt1/2

sehingga, t1/2 =

,

(detik) (Morrison dan Murphy 2006).

(26)

Tabel 1. Unti-unit dalam radiologi

simbol Definisi Konversi data

Radioaktivitas

Becquerel

(Bq) peluruhan/detik Curie (Ci)

3,7 X 1010

Catatan: 1. Tera Becqurel (TBq) umum digunakan untuk buangan radioaktif: kimia tidak mantap, senantiasa meluruh sambil memancarkan radiasi α (alpha), β

(beta) dan γ (gamma). Berdasarkan sumbernya, unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur radionuklida kosmogenik dan unsur radionuklida primordial (dari dalam kerak bumi). Berbagai bahan yang berasal dari alam dan mengandung materi radioaktif dikenal dengan istilah Naturally Occuring Radioactive Materials (NORM).

Radionuklida alam primordial yaitu unsur radionuklida alam yang terbentuk dalam kerak bumi, yang telah ada sejak terbentuknya bumi beberapa milyar tahun. Unsur tersebut terdapat dalam mineral-mineral batuan dan tanah, dapat terkonsentrasi atau meningkat kadarnya akibat penggunaan ada kegiatan industri (Mellawati 2004). Radionuklida alam primordial terdiri atas 2 kelompok, yaitu radionuklida alam primordial yang tidak membentuk deret (singly occuring

primordial radionuclida) seperti 40K, 87Rb, dan 204Pb dan yang membentuk deret

(27)

thorium (232Th) (Gambar 3) (UNSCEAR 1993 dan Bennet 1995 in Mellawati 2004).

2.2.1 Uranium

Uranium adalah salah satu unsur radioaktif yang terjadi secara alami di lapisan kerak bumi. Uranium merupakan logam dengan densitas yang tinggi (18,9 g/cm3). Radionuklida uranium termasuk kelompok aktinida yang mempunyai nomor atom 92, bobot massa 238,02891, titik cair 1135 oC dan titik didih 4131 oC. Uranium dalam bentuk murninya adalah logam berat berwarna perak dengan densitas hampir dua kali timbal (Pb). Batuan bumi mengandung rata-rata 3 ppm (= 3 mg/kg) uranium, dan di air laut diperkirakan 3 ppb (= 3 µg/kg). Kathren (1998) menyebutkan bahwa hampir semua jenis batuan mengandung uranium rata-rata 33 Bq/kg. Uranium yang berasal secara alami terdiri dari tiga isotop yang semuanya merupakan zat radioaktif yaitu 238U, 235U, dan 234U (Tabel 2).

238

U dan 235U merupakan nuklida induk (parent) yang memiliki deret luruh sendiri, sedangkan 234U merupakan produk peluruhan dari deret 238U (Argonne National Laboratory 2005). Uranium yang terdapat dalam perairan alami adalah uranium heksavalen, berupa ion uranil (UO22-).

Tabel 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami

Isotop Uranium

(28)

tempat, biasanya dalam batuan keras atau batuan pasir, depositnya biasanya ditutupi oleh tanah dan vegetasi (Argonne National Laboratory 2005).

Selama bertahun-tahun, uranium digunakan untuk mewarnai gelas keramik, menghasilkan warna yang berkisar dari merah jingga sampai kuning lemon. Uranium juga digunakan untuk pewarnaan pada masa awal fotografi. Sifat radioaktif uranium tidak diketahui sampai tahun 1896, dan potensinya untuk digunakan sebagai sumber energi tidak pahami sampai pertengahan abad ke-20. Dalam reaktor nuklir, uranium berfungsi baik sebagai sumber neutron (melalui proses fisi) dan bahan target untuk menghasilkan plutonium. Plutonium-239 dihasilkan ketika uranium-238 menyerap neutron. Saat ini, penggunaan utamanya adalah sebagai bahan bakar pada reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir. Uranium juga digunakan dalam reaktor nuklir kecil untuk memproduksi isotop untuk keperluan medis dan industri. Pengayaan uranium yang tinggi merupakan komponen utama senjata nuklir tertentu (Argonne National Laboratory 2005). Dalam kondisi alami, uranium terbentuk sebagai bijih oksida, U3O8. Senyawa

tambahan yang mungkin terdapat juga di dalamnya oksida yang lain (UO2, UO3)

maupun fluorida, karbida atau karbonat, silikat, vanadates, dan fosfat. USEPA menetapkan tingkat kontaminan maksimum (MCL) untuk uranium dalam air minum yaitu 0,030 miligram per liter (mg/l) atau setara dengan sekitar 27 picocuries (pCi) per liter (Argonne National Laboratory 2005).

2.2.2 Thorium

Thorium adalah salah satu unsur radioaktif yang terbentuk secara alami di lapisan kerak bumi dan tanah dengan konsentrasi rendah, dimana kelimpahannya sekitar tiga kali lebih banyak daripada uranium. Tanah pada umumnya mengandung thorium dengan rata-rata sekitar 6 ppm. Peluruhan Thorium-232 (232Th) sangat lambat (waktu paruhnya sekitar tiga kali usia bumi) tetapi isotop thorium yang lain terbentuk dari hasil peluruhan dan berada dalam rantai peluruhan uranium. Sebagian besar dari uranium tersebut berumur pendek dan lebih radioaktif daripada 232Th, walaupun jika didasarkan pada massanya mereka tidak berbeda signifikan (World Nuclear Association 2009).

(29)

terkontaminasi oleh oksida, thorium akan memudar dengan perlahan-lahan di udara, menjadi berwarna abu-abu dan dapat menjadi hitam. Thorium oksida (ThO2), yang disebut juga thoria, memiliki titik didih tertinggi dari semua jenis

oksida yang lain (3300 oC). Ketika dipanaskan di udara, logam thorium akan kembali terbakar dan terbakar sempurna dengan sinar putih. Karena sifat-sifat tersebut, thorium ditemukan pada aplikasinya yaitu elemen bola lampu, pembungkus lentera, arc-light lamp, sambungan (las) elektroda, dan keramik tahan panas. Gelas (kaca) yang mengandung thorium oksida memiliki indeks refraksi dan penyebaran yang tinggi dan digunakan dalam lensa yang berkualitas tinggi untuk kamera dan peralatan ilmiah (World Nuclear Association 2009). Sumber utama thorium adalah mineral fosfat (monazite), yang mengandung sampai 12% thorium fosfat, dengan rata-rata 6-7%. Monazite ditemukan pada hasil solidifikasi magma (igneous) dan batuan lainnya tetapi konsentrasi terbesar dalam deposit sedimen yang mengandung mineral-mineral berharga (placer deposit), terkonsentrasi oleh gaya gelombang dan arus bersama logam berat yang lain. Sumber monazite di bumi diperkirakan sekitar 12 juta ton. Thorium dibebaskan dari monazite biasanya melibatkan proses leaching menggunakan

sodium hydroxide pada suhu 140 oC diikuti dengan proses kompleks untuk

mengendapkan ThO2 murni. Mineral lain yang mengandung thorium yaitu torite

(ThSiO4) (World Nuclear Association 2009).

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara

(30)

menghasilkan uap air. Uap air, pada tekanan yang tinggi, mengalir menuju turbin, yang mana akan memutar generator untuk menghasilkan tenaga listrik. Uap air kemudian menjadi lebih dingin, dan dikembalikan ke boiler untuk memulai proses seperti di atas.

(31)
(32)

2.3.1 Batubara

Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, dengan komposisi utama terdiri dari cellulosa. Proses pembentukkan batubara dikenal sebagai proses coalification. Faktor fisik dan kimia yang ada di alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut (Sukandarrumidi 2009):

5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO ... (3)

Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan terendah) yaitu: antrasit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Penggolongan tersebut menekankan pada kandungan relatif antara kandungan unsur C dan H2O yang

terdapat dalam batubara.

Tabel 3. Jenis-jenis batubara

Jenis

batubara Penampakan dan karakteristik

Kadar C dan H2O

(%)

Antrasit

Warna hitam sangat mengkilat (luster) metalik, berat jenis tinggi, kandungan abu rendah, mudah dipecah, nilai kalor sekitar 8300 kkal/kg

Kadar C 86 - 98%, kadar air (H2O) <

8% Bituminus

Warna hitam mengkilat, kandungan abu rendah, nilai kalor antara 7000-8000 kkal/kg

Kadar C 68 - 86%,

Warna coklat, sangat lunak, bila dibakar menghasilkan kalor 1500-4500 kkal/kg

Kadar H2O 35 -

75%

Gambut Berpori, nilai kalor 1700-3000 kkal/kg Kadar H2O > 75%

Sumber: Sukandarrumidi (2009); Mellawati (2009)

Perkiraan jumlah dan lokasi cadangan sumberdaya alam batubara di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 4 (Mellawati 2009). Jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik adalah yang berkualitas tinggi maupun rendah. Umumnya batubara yang kualitasnya tinggi menghasilkan sedikit sekali unsur pengotor (impurities) yang bersifat berbahaya, sehingga tidak begitu mencemari lingkungan, sedangkan yang berkualitas rendah menghasilkan banyak

gas metan

(33)

unsur pengotor (Mellawati 2009). Bila jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU-batubara tergolong batubara muda atau brown coal (lignite) yang memiliki kadar air diatas 55% maka perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan alat pengering (Pre-Drying System) seperti yang dilakukan pada PLTU Mulut Tambang Simpang Belimbing.

Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil yang penting bagi Indonesia, karena jumlahnya berlimpah mencapai jutaan ton. Akan tetapi perlu penghematan pemaikaiannya sehingga juga dapat menekan lepasan polutannya (CO2, SO2, NOx, CxHy, logam berat, dan radionuklida) ke lingkungan

(Mellawati 2009).

Gambar 4. Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003

2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara

(34)

Gambar 5. Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik Keterangan:

1. Suplai/pasokan batubara

§ Batubara dari pertambangan dikirim ke gerbong/kontainer batubara, dimana batubara tersebut digiling/dihancurkan sampai berukuran 5 cm (2 inch).

§ Batubara diproses dan dikirim menggunakan ban berjalan (conveyor belt) menuju instalasi pembangkit.

2. Mesin penghancur/penggiling (pulverizer)

§ Batubara kemudian dihancurkan sampai menjadi bubuk yang halus, dicampurkan dengan udara dan dialirkan menuju ketel uap (bioler), atau tungku (furnace) untuk pembakaran.

3. Ketel uap (boiler)

§ Campuran batubara/udara dibakar pada boiler.

§ Jutaan liter air murni dipompa melewati pipa di dalam boiler.

§ Panas yang sangat kuat dari hasil pembakaran batubara mengubah air murni dalam tabung boiler menjadi uap, yang akan memutar turbin (lihat nomor 4) untuk menghasilkan energi listrik.

4. Presipitator, tiang silinder (stack)

§ Pembakaran batubara menghasilkan gas karbondioksida (CO2), sulfur

oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).

(35)

§ Abu dasar, yang membentuk fragmen-fragmen kasar yang jatuh ke dasar boiler, dibuang/dibersihkan.

§ Abu terbang, yang sangat ringan, keluar dari boiler bersama dengan gas-gas bersuhu panas.

§ Presipitator elektrostatik (saringan udara yang sangat besar) memisahkan 99,4% abu terbang sebelum gas-gas dalam cerobong disebar ke atmosfer. 5. Turbin, generator

§ Air dalam tabung boiler membawa panas dari boiler dan bergerak dalam bentuk uap.

§ Uap dengan tekanan tinggi dari boiler dilewatkan ke dalam turbin (drum pejal dengan ribuan lempeng baling-baling).

§ Ketika uap menabrak plat baling-baling, maka akan mengakibatkan turbin berputar dengan cepat.

§ Putaran turbin mengakibatkan tongkat rotating silinder panjang bergerak/menyala di dalam generator, menghasilkan arus listrik.

6. Kondensor (pendingin uap) dan sistem pendingin air

§ Air pendingin dibawa (dialirkan) ke dalam pembangkit dan disirkulasikan melewati kondensor , dimana uap dingin dilepaskan dari bagian turbin.

§ Uap dari bagian turbin juga dilewatkan melewati kondensor dalam pipa yang terpisah dari air pendingin.

§ Air dingin dipanasakan dengan penguap, dimana uap kembali ke dalam air murni dan disirkulasikan kembali ke boiler untuk memulai proses pembangkitan energi listrik kembali.

§ Air pendingin, yang telah menjadi hangat karena pertukaran panas di kondensor, dilepas/dibuang dari pembangkit.

7. Instalasi pengelolaan air (water treatment plant): pemurnian air

§ Untuk mengurangi korosi, air harus benar-benar murni untuk dapat digunakan dalam tabung boiler.

(36)

§ Air limbah dipompa ke luar dari instalasi/pembangkit dan menuju kolam penampungan.

8. Presipitator, sistem pengelolaan abu

§ Abu yang terbentuk pada lempengan presipitator dibersihkan/dijatuhkan dan dikumpulkan dalam bak besar.

§ Abu terbang dan abu dasar dibuang dari pembangkit dan dipindahkan dengan truk ke lokasi pembuangan (ash lagoon).

§ Tergantung pada permintaan pasar, abu terbang yang dihasilkan dari TransAlta's three plants dijual kepada industri semen untuk bahan konstruksi.

9. Substasiun, transformer, kabel transmisi

§ Ketika energi listrik dibangkitkan, transformer meningkatkan volt/tegangan listrik sehingga energi listrik dapat dibawa melalui kabel transmisi.

§ Ketika energi listrik terkirim ke substasiun di kota-kota, volt/tegangan yang ada dalam kabel transmisi dikurangi, dan dikurangi lagi ketika energi listrik didistribusikan ke pelanggan.

PLTU-batubara kini menjadi sumber daya energi pembangkit listrik alternatif yang akan dikembangkan di Indonesia. PLTU juga merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU. Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005, penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun (Tim Kajian Batubara Nasional 2006).

(37)

lebih murah dibandingkan minyak dan cadangan yang tersedia di Indonesia masih relatif banyak (Mellawati 2009; Sutarman 2007).

Hingga tahun 2005 telah dibangun sebanyak 11 unit PLTU yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yaitu PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU Tanjung Enim, PLTU Tarahan, PLTU Suralaya, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati, PLTU Paiton, PLTU Asam-Asam, PLTU Lati, dan PLTU Amurang seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Mellawati 2009).

PLTU Suralaya berkapasitas 3.400 MW, berfungsi untuk menyediakan energi listrik 50% produksi PT. Indonesia Power atau 25% dari kebutuhan energi listrik se Jawa - Bali. Untuk membangkitkan energi listrik tersebut PLTU Suralaya memerlukan batubara kurang lebih 32.000 ton/hari. Batubara tersebut sebanyak 50% berasal dari daerah Sumatera Selatan dan 50% lagi berasala dari Kalimantan. PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).

(38)

2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara

Berbagai industri “non nuklir” memakai bahan baku yang mengandung bahan radioaktif alam, terutama bahan baku yang berasal dari perut bumi. Pada Tabel 4 disajikan jumlah radionuklida alam yang terkandung di dalam hasil proses industri “non-nuklir”, antara lain industri timah, fosfat, minyak dan gas, semen, PLTU-batubara, dan bauksit, sekaligus termasuk limbahnya. Dari beberapa industri “non-nuklir” tersebut ada 2 industri yang menurut laporan UNSCEAR mempunyai potensi yang besar sebagai pencemar lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Pengoperasian PLTU- batubara memiliki konsekuensi yaitu dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan berupa gas beracun (SOx, NOx, COx) yang dapat menyebabkan hujan asam, abu terbang (fly ash) yang mengandung logam-logam berat (Pb, Hg, Ag, dan Cd) dan radionuklida alam yang berasal dari kerak bumi, yaitu deret uranium (238U), thorium (232Th), dan potasium-40 (40K) (Sutarman 2007).

2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara

Mineral batubara tersusun dari sekitar 1% elemen kelumit dan radionuklida. Menurut UNSCEAR (2000), rata-rata konsentrasi radionuklida alam dalam batubara adalah untuk 238U sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 16–110 Bq/kg), 226Ra sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 17–60 Bq/kg), 232Th sebesar 30 Bq/kg (kisaran: 11–64 Bq/kg) dan 40K sebesar 400 Bq/kg (kisaran: 140–850 Bq/kg).

(39)

Tabel 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non

Tabel 5. Kandungan radionuklida dalam batubara.

No. Radionuklida Lambang Jenis radiasi

(40)

Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu yang cukup besar jumlahnya. Abu hasil pembakaran batubara dikenal sebagai ash content (kandungan abu). Abu ini tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau yang dioksidasi oleh oksigen. Laju produksi abu batubara pada sistem PLTU kira-kira 10% dari volume batubara (Susiati 2006). Kadar abu batubara Indonesia berkisar 5% - 20% (Sukandarrumidi 2009).

Apabila batubara dipakai untuk PLTU, abu yang ada akan terpisah menjadi abu dasar/abu tinggal (bootom ash) (10-20%) yang terkumpul di dasar tungku dan abu terbang (fly ash) (80-90%) yang keluar melalui cerobong asap (Sukandarrumidi 2009). Abu dasar biasanya terkumpul di dasar atau di sekitar tungku pembakar karena terlalu berat untuk dibawa oleh gas buang. Abu dasar biasanya berwarna gelap dan ukuran butirannya bervariasi dari ukuran pasir hingga kerakal. Dermata dan Meng (2003) in Jumaeri et al. (2007) menyatakan abu terbang/layang adalah residu halus yang dihasilkan dari pembakaran batu bara gilingan (grounded) atau serbuk (powdered) yang dipindahkan dari tungku pembakaran melalui boiler oleh aliran gas buang. Abu terbang/layang adalah abu batubara yang berupa serbuk halus yang tidak dapat terbakar dengan distribusi ukuran 1-100 μm dan relatif homogen (Maulbetch dan Muraka 1983 in Jumaeri et al. 2007) dan berwarna lebih terang (keabu-abuan) bila dibandingkan dengan abu dasar. Berat jenisnya berkisar antara 1,95–2,95 g/cm3. Abu terbang ditangkap dengan menggunakan presipitator elektrostatik, filter atau silikon. Efisiensi dari penyaringan abu terbang dapat mencapai 99,9% (dengan presipitator elektrostatik) dan sisanya, berupa butiran yang sangat halus, terbang ke udara (Prijatama 1996). Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batubara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3).

(41)

tahun (sebagai impurities) akan keluar bersama-sama dengan hasil emisi batubara lainnya melalui fly ash dan bottom ash (Mellawati 2009). Lepasnya zat radioaktif melalui abu ketika batubara dibakar akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi radioaktivitas per unit berat sehingga dapat meningkatkan paparan radiasi di lingkungan (Meij dan Winkel 2001). PLTU Suralaya menghasilkan abu layang ± 750.000 ton per tahun (Nasrul dan Utama 1995 in Jumaeri et al. 2007). Konsentrasi unsur radioaktif dalam abu terbang yang dihasilkan dalam pengoperasian PLTU-batubara di beberapa negara (Bq/kg) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTU- batubara di beberapa negara.

(42)

2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir

PLTU-batubara di Indonesia sebagian besar berlokasi di daerah pesisir sehingga radionuklida alam primordial seperti 238U dan 232Th yang terlepas dari proses pengoperasiannya dapat masuk ke perairan laut (pesisir) salah satunya melalui jatuhan abu terbang dari atmosfer. Radionuklida tersebut akan tersebar dalam ekosistem perairan dan yang tidak melarut secara cepat (senyawa karbonat) akan terakumulasi pada sedimen di sekitar instalasi pembangkit (Connel dan Miller 1995). Peningkatan radionuklida di perairan laut mengakibatkan perubahan dalam latar (beckground) lingkungan laut, di air laut, padatan tersuspensi, sedimen, dan biota (Strezov dan Nonova 2009).

Secara umum, perairan pesisir laut memiliki kedalaman yang lebih dangkal dan beban materi tersuspensi yang lebih besar, bila dibandingkan dengan di laut lepas. Oleh karena itu, proses scavenging dari radionuklida atau unsur-unsur lain melalui asosiasi dengan materi partikulat dan deposisi ke dasar perairan dapat terjadi dengan lebih intensif dalam kawasan pesisir. Massa air fluvial dan materi partikulat yang keluar melalui sistem sungai dapat mempengaruhi persediaan dan distribusi radionuklida di wilayah pesisir (Nagaya dan Nakamura 1992).

2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan sedimen perairan

(43)

biologis (biological uptake), hal ini dapat didefinisikan dengan koefisien distribusi (Kd) yang diperkenalkan oleh NEA/ OECD (1983) in Warner dan Harrison

(1993).

=

... (4)

Keterangan:

As = ℎ ℎ ( / )

c = ℎ ℎ ( / )

Penggunaan Kd secara umum adalah untuk menggambarkan parameter

sederhana yaitu distribusi padatan/larutan untuk tujuan pemodelan distribusi biogeokimia radionuklida. Konsep Kd menggambarkan keseimbangan

(equilibrium) dan reversible. Karakteristik kimia air penting dalam penentuan perilaku radionuklida dan Kd. Spesiasi radionuklida dalam larutan mungkin

tergantung pada komposisi ionik dan ionic strength dalam air, kehadiran ligan organik, potensial redoks (Eh) dan keasaman (pH); perbedaan penting dalam perilaku radionuklida adalah pengamatan pada kondisi air yang aerobik dan non aerobik. Perbedaan utama komposisi ionik dan kekuatan ionik (ionic strength) ada antara air asin dan air tawar, dan di antara air basa dan asam, memainkan peran penting dalam menentukan spesiasi dan perilaku radionuklida (Warner dan Harrison 1993). Akan tetapi, kelarutan beberapa jenis radionuklida alam dalam air sangat rendah, sehingga biasanya mudah tersedimentasi. WHO (2001) menyatakan bahwa ada potensi ion-ion 238U dengan densitas 19 g/cm3 dan 232Th dengan densitas 11 g/cm3 membentuk senyawa tidak terlarut dan akan berada pada fase padat yang kemudian turun ke dasar perairan.

Migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen dan sebaliknya merupakan proses yang kompleks melibatkan interaksi antara fase terlarut dan padat dari kontaminan dan sedimantasi dan resuspensi materi partikulat. Proses interaksi radionuklida terlarut dengan partikel padat yang tersuspensi maupun terdeposit, biasanya dimodelkan berdasarkan konsep Kd. Nilai Kd untuk beberapa

(44)

- Fluks kontaminan dari kolom air ke dasar sedimen:

Fws = vws Cw ; ... (5)

- Fluks kontaminan dari dasar sedimen ke kolom air:

Fsw = Ksw Ds. ... (6)

Dimana vws adalah kecepatan migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen; Ksw

adalah tingkat migrasi radionuklida dari sedimen ke kolom air; Cw adalah

konsentrasi radionuklida di kolom air; Ds adalah radionuklida yang terdeposisi ke

sedimen (Bq/m2) (Monte et al. 2009).

Beberapa hasil investigasi melaporkan bahwa radionuklida lebih banyak terkonsentrasi dalam sedimen dengan ukuran butiran halus (fine-grained) daripada di sedimen dengan ukuran butiran lebih kasar (coarse-grained). Radionuklida di sedimen juga berasosiasi dengan komponen geokimia sedimen seperti karbonat, Mn dan Fe oksida, dan berikatan kuat dengan clay mineral tertentu. Proses-proses yang menyebabkan penyerapan radionuklida di partikel sedimen dipengaruhi oleh fisik-kimia dan kondisi biologi sedimen seperti pH, kondisi redoks, zeta-potensial, dan aktivitas bakteri (Duursma dan Gross 1971).

Baku mutu yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir untuk aktivitas 238U yaitu 104 Bq/L dan 232Th yaitu 700 Bq/L sebagai senyawa terlarut (BATAN 1995). Kandungan uranium yang dianggap dapat menimbulkan dampak pada organisme perairan laut adalah 1,24 Bq/L.

2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan tumbuhan)

(45)

dalam komponen biotik perairan pesisir melalui mekanisme penyerapan air, sedimen atau organisme lain secara ingesti (Michael 1994 in Mellawati 2004), dan ditransfer sebagai elemen-elemen dalam rantai makanan (Strezov dan Nonova 2009).

Uptake radionuklida oleh biota terjadi oleh sejumlah mekanisme dari fase larutan dan partikulat. Uptake oleh produsen utama, contohnya fitoplankton, terjadi dari larutan melalui adsorpsi permukaan dan metabolisme. Kontaminasi permukaan oleh partikulat dapat juga terjadi dengan makro-algae. Mekanisme uptake utama untuk organisme invertebrata dan vertebrata adalah melaui konsumsi makanan (pencernaan). Namun, untuk beberapa invertebrata yang detrital filter/sedimen-feeder, pada umumnya, secara langsung melibatkan partikel radionuklida. Respirasi juga melibatkan intake radionuklida fase larutan (dan partikel). Kontaminasi radionuklida pada organisme darat dapat juga terjadi dengan memakan organisme perairan (Warner dan Harrison 1993).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa zat kimia tertentu (misalnya radionuklida) memiliki kemampuan terkonsentrasi dalam tubuh organisme (biokonsentrasi) secara langsung dari air laut, dan akan dibioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, mengakibatkan organisme pada trofik level lebih tinggi menjadi terkontaminasi zat kimia pencemar dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada mangsanya (Hall 2002). Biokonsentrasi adalah pengambilan zat kimia pencemar melalui jaringan epitel atau insang organisme, dan konsentrasi zat kimia pencemar berikutnya dalam jaringan organisme ke tingkat yang melebihi konsentrasi ambient lingkungan. Bioakumulasi adalah proses dimana konsentrasi zat kimia pencemar dalam organisme meningkat dengan umur dan ukuran organisme. Biomagnifikasi adalah proses dimana konsentrasi zat kimia pencemar meningkat dalam organisme secara berturut-turut pada trofik level lebih tinggi, atau secara ringkas yaitu peningkatan konsentrasi zat kimia pencemar ke level lebih tinggi dari rantai makanan (Campbell et al. 1988; Hall 2002).

(46)

hidrofobik, lifofilik, dan resistensi terhadap degradasi), faktor lingkungan (salinitas, suhu, konsentrasi zat kimia organik yang lain, dan potensial redoks), faktor biotik (tipe makan organisme, posisi pada trofik level, konsentrasi lemak, dan metabolisme), dan ketersediaan secara biologis (bioavailability) (masukan zat kimia, mekanisme transport, derajat kontaminasi) (Hall 2002).

Model linier sederhana faktor konsentrasi (CF) adalah suatu model dua bagian

(two-compartment) yang umumnya digunakan oleh ahli ekologi untuk menggambarkan bahan pencemar yang masuk dalam suatu ekosistem. Bagian donor (misalnya air laut) menyediakan radionuklida ke bagian penerima (misalnya tulang dan daging ikan) (Pyle dan Clulow 2008). Perbandingan antara konsentrasi aktivitas dalam organisme dan lingkungan perairan didefinisikan sebagai faktor konsentrasi (CF) (Warner dan Harrison 1993). Persamaan linier sederhana CF dihitung dengan rumus (Pyle dan Clulow 2008):

= ... (7) Keterangan:

Rj = konsentrasi radionuklida dalam jaringan

Rl = konsentrasi radionuklida di lingkungan

Faktor biomagnifikasi (BMF) adalah rasio konsentrasi bahan pencemar pada satu trofik level ke trofik level berikutnya yang dihitung berdasarkan berat lemak (Hall 2002).

Faktor konsentrasi biota laut jenis moluska untuk beberapa jenis unsur radioaktif adalah relatif tinggi, yaitu mencapai 200, sedangkan pada ikan 5. Masuknya radionuklida alam primordial ke jaringan organisme akan mengakibatkan kerusakan gen-gen dalam kromosom. Hal ini terjadi karena adanya perubahan genetik dan deformasi pada kromosom dan menyebabkan kanker atau kelainan fungsi organ (Michael 1994 in Mellawati 2004). Ikan yang menyukai tinggal pada permukaan dasar perairan akan menerima dosis radiasi lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di permukaan perairan.

a. Kerang

(47)

pada pengukuran terhadap kelimpahan dan kemampuan menyerap radionuklida dalam organisme perairan tertentu. Bioakumulasi bahan pencemar bersifat isotop oleh jaringan dan organ organisme perairan telah dan terus dipelajari secara luas dan mengantarkan pada adobsi konsep bioindikator untuk memperkirakan kualitas lingkungan (Florou et al. 2004). Keberhasilan pemanfaatan kerang untuk monitoring pencemaran laut telah ditunjukkan dalam U.S. Mussel Watch

Programs di tahun 1970an dan 1980an (Tkalin et al. 1998). Kerang-kerangan

dikenal secara luas sebagai organisme bioindikator pencemaran karena dapat mengakumulasi bahan pencemar dalam jaringannya pada elevasi tingkatan yang berhubungan dengan bahan pencemar yang tersedia secara biologi dalam lingkungan perairan. Dengan kata lain, mereka digunakan untuk menunjukkan respon yang cepat terhadap kontaminasi radionuklida yang masuk (penambahan) ke ekosistem (Florou et al. 2004).

Bivalvia deposit feeder berhubungan langsung dengan sedimen, dan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi bahan pencemar dari interstitial water melalui penyaringan makanan pada sedimen. Faktor konsentrasi dalam kaitan dengan sedimen pada umumnya lebih tinggi untuk makro-invertebrata yang sessile daripada organisme akuatik lain, karena pergerakannya terbatas, sehingga makro-invertebrata sering digunakan sebagai monitoring secara biologi terhadap pencemaran logam berat maupun radionuklida (Campbell et al. 1988). Transfer radionuklida dari sedimen ke organisme dan ke manusia merupakan jalur penting dimana radionuklida dapat mencapai manusia. Spesies kerang yang umumnya digunakan untuk monitoring radioaktivitas lingkungan di lokasi sumber radionuklida (PLTU dan fasilitas nuklir) adalah Mytilus edulis (untuk habitat estuari) dan Septifer virgatus (ditemukan di habitat laut terbuka) (Tateda dan Koyanagi 1986).

b. Rumput laut

(48)

jumlah yang banyak, sehingga banyak studi yang telah dikerjakan di seluruh dunia untuk mendeskripsikan karakteristik spesies algae untuk kandungan kimia, elemen kelumit, dan radionuklida. Spesies makrofita (tumbuhan air makro) merupakan salah satu bioindikator paling tepat untuk menentukan konsentrasi radionuklida dan logam di ekosistem laut dan memainkan peranan utama dalam rantai makanan. Makroalgae tersebut beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang berbeda dari habitat dan dapat ditemukan baik itu diwilayah yang bersih maupun terkontaminasi. Banyak studi tentang pencemaran lingungan yang menunjukkan penggunaan spesies-spesies makroalgae secara luas untuk memonitor pencemaran laut di berbagai wilayah. Ceramium sp. dan Cystoseira sp. merupakan spesies yang paling banyak dipelajari dan kemampuan mereka dalam mengakumulasi radionuklida dan logam telah diketahui dengan baik juga (Strezov dan Nonova 2009).

Manjon et al. (1995) in Goddard dan Jupp (2001) mengukur radioaktivitas di dalam contoh rumput laut dan lamun dari pantai Andalusia di Spanyol. Bhat et al. (1981) in Goddard dan Jupp (2001) menganalisis kandungan radionuklida, 137Cs, di rumput laut yang ditemukan di dekat stasiun tenaga nuklir di sepanjang pantai India di Laut Arab. Goddard dan Jupp (2001) mengukur kandungan radionuklida dalam rumput laut dan lamun di sekitar pesisir Oman dan United Arab Emirates. Tabel 7 menunjukkan data rata-rata minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (minimum detectable activity/MDA) berdasarkan rata-rata ukuran sampel 45 gram yang terjadi dari buatan manusia dan alami (dalam Bq/kg berat kering). Sampel yang lebih besar kurang lebih 200 gram menunjukkan nilai MDA yang lebih kecil setengahnya (Goddard dan Jupp 2001).

(49)

Mekanisme akumulasi 234Th atau 7Be dalam algae berbeda dengan hewan laut. Pada umumnya, pengayaan radionuklida dalam rumput laut dapat berkaitan dengan adsorpsi dan absorpsi, dimana termasuk di dalamnya yaitu penempelan secara fisik (physical attachment) dan adhesi, ionic exchanges oleh alginic acid, atau membran transport secara biologi (biological membrane transport) (Ishikawa et al. 2004).

(50)

2.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Manusia

Unsur radionuklida alam 238U dan 232Th dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara, yaitu melalui pernafasan (inhalasi), saluran pencernaan atau mulut (ingesti), injeksi melalui pembuluh darah dan melalui kulit (luka terbuka dan pori-pori kulit). Model asupan (intake), serapan (uptake) dan ekskresi unsur radionuklida dalam tubuh manusia terlihat pada Gambar 7 (O’Brien dan Cooper 1998 in Mellawati 2004; BATAN 2009). Radionuklida yang terdapat dalam tubuh manusia meradiasi jaringan selama jangka waktu yang ditentukan oleh waktu-paruh fisik dan retensi biologis dalam tubuh.

Radionuklida thorium masuk ke dalam tubuh umumnya melalui inhalasi (kontaminasi debu) dan ingesti (makanan atau minuman). Ketika masuk melalui ingesti, thorium akan tinggal di dalam tubuh dalam beberapa hari segera di eksresikan melalui fases dan urin. Sejumlah kecil thorium akan masuk ke dalam aliran darah dan dideposisikan dalam tulang, serta tinggal untuk beberapa tahun. Sedangkan untuk uranium, ketika masuk ke dalam tubuh, akan secara cepat melalui aliran darah berasosiasi dengan sel darah merah membentuk kompleks uranil albumin, kompleks uranil hidrogen karbonat (UO2HCO3+) dalam plasma

darah (Mellawati 2004).

Gambar 7. Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia inhalasi

ingesti

Sistem pernafasan

Sistem saluran pencernaan

DARAH injeksi

Jaringan lain

Sistem urinari

ekskresi defikasi

(51)

Pada umumnya efek paparan radiasi terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori yaitu (BATAN 2009):

a. Efek deterministik (reaksi jaringan yang berbahaya) yaitu kerusakan biologis yang segera dapat teramati secara klinis setelah terpapari radiasi dengan dosis di atas dosis ambang. Sebagian besar sel jaringan mengalami kematian atau fungsi sel rusak karena dosis radiasi tinggi. Induksi reaksi jaringan pada umumnya ditandai dengan adanya dosis ambang. Alasan ditetapkannya dosis ambang adalah bahwa kerusakan radiasi (gangguan fungsi yang serius atau kematian sel) suatu populasi kritis sel pada suatu jaringan perlu dipertahankan sebelum terlanjur jaringan tersebut cedera atau rusak. Di atas dosis ambang akan terjadi cedera atau kerusakan jaringan. Semakin besar dosis radiasi semakin meningkat terjadinya keparahan pada jaringan dan daya pemulihan jaringanpun akan terganggu. Menurut ICRP (1990) in Mellawati (2004) guna pencegahan efek deterministik pada manusia, maka batasan dosis ekivalen terikat (integral waktu 50 tahun) ≤0,5 Sv untuk semua jaringan kecuali lensa mata, dan ≤0,15 Sv untuk lensa mata. Contoh efek deterministik antara lain kerusakan kulit, eritema, epilepsi, katarak dan kemandulan.

b. Efek stokastik, yaitu kerusakan biologis yang sukar teramati secara klinis, karena efeknya terlihat setelah beberapa tahun atau jangka waktu yang cukup lama. Efek ini munculnya tidak memerlukan dosis ambang. Contohnya yaitu berupa pengembangan kanker pada individu yang terpapari karena mutasi sel somatik atau penyakit keturunan pada keturunan individu yang terpapari karena mutasi sel reproduktif. Kerusakan pada materi inti sel, khususnya pada DNA dan kromosom meneyebabkan peluang terbentuknya kanker. Studi eksperimen dan epidemologi memberikan fakta adanya risiko radiasi sekalipun dengan ketidakpastian pada dosis sekitar 100 mSv atau kurang untuk kasus kanker.

(52)
(53)

3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Juni sampai November 2010. Waktu pengambilan contoh (air, padatan tersuspensi, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang) adalah bulan Juni–Juli 2010 (periode musim Timur). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan Pulau Panjang sekitar kawasan PLTU Suralaya, Cilegon, Banten. Tiga titik stasiun lokasi pengamatan berjarak kurang lebih 12 km sebelah timur kawasan PLTU-batubara Suralaya. Satu titik stasiun sebagai pembanding berada di lokasi yang diperkirakan terkontaminasi radionuklida alam dalam jumlah yang lebih kecil yaitu di daerah perairan Teluk Lada, Labuan, Banten yang berjarak kurang lebih 51 km sebelah selatan kawasan PLTU-batubara Suralaya dan 12 km dari PLTU-PLTU-batubara Labuan. Posisi geografis lokasi pengambilan contoh ditentukan menggunakan global positioning system (GPS) kemudian diplotkan ke dalam peta. Data pada peta penelitian berdasarkan pada citra satelit Landsat TM-7 tahun 2003. Pengolahan peta menggunakan software ArcView 3.3 seperti diperlihatkan pada Gambar 8 dan Lampiran 4.

Preparasi contoh dan pengukuran kandungan radionuklida alam (238U dan

232

Th) dalam contoh dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Proses aktivasi neutron (iradiasi) contoh dan standar menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten. Pengukuran parameter total suspended solid (TSS) dan identifikasi spesies kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB. Bahan organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIK-IPB, sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia (Atmadja et al. 1996).

(54)

Gambar 8. Peta lokasi penelitian

37

Gambar

Gambar 2. Deret peluruhan radionuklida alam 238U (Smith 1992)
Gambar 3. Deret peluruhan radionuklida alam 232Th (Smith 1992)
Gambar 6. Lokasi PLTU-batubara di Indonesia
Tabel 7.  Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida                   yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami
+7

Referensi

Dokumen terkait

Upaya yang dilakukan oleh CEO Suargo fm dalam menangani masalah ini adalah mengharuskan setiap penyiar untuk membuat materi pada setiap program terlebih dahulu dengan

Beban kerja yang akan dibahas dalam penelitian ini berasal dari lingkungan psikis pekerjaan karena beban kerja yang berasal dari lingkungan fisik pekerjaan di bank bjb

Pada pengujian diketahui bahwa penerapan skenario variasi jumlah node berpengaruh terhadap kinerja protokol routing yang digunakan yaitu average throughput, average

Analisis terhadap satu perlakuan yang dimaksudkan adalah analisis secara statistik untuk menguji hipotesis yang berkenaan dengan kualitas sebuah perlakuan

Kelebihan metode analisis SVD dalam menyelesaikan sistem persamaan linear yaitu, solusi dari sistem persamaan linear tetap dapat dicari meskipun sistem persamaan

Hasil kajian IPCC menyatakan bahwa produksi pangan terutama padi, jagung, dan kedelai dalam beberapa dekade terakhir mengalami penurunan akibat meningkatnya frekuensi kejadian