• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kondisi Governess Pada Novel Agnes Grey Karya Anne Bronte Dan Hubungannya Dengan Latar Belakang Pengarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kondisi Governess Pada Novel Agnes Grey Karya Anne Bronte Dan Hubungannya Dengan Latar Belakang Pengarang"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALYSIS OF GOVERNESS CONDITION

IN ANNE BRONTE’S AGNES GREY

AND ITS RELATION WITH THE AUTHOR

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

BAYU SARIPTO NIM.63706007

JURUSAN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)

vi

Dalam penelitian ini penulis memilih novel karya Anne Bronte karena tertarik ingin mengetahui kondisi governess pada saat itu dan juga hubungan yang terdapat antara pengalaman si pengarang dengan karya sastranya. Di dalam alur cerita pada novel menceritakan perjalanan hidup seorang wanita muda yang bekerja sebagai governess.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif dan pendekatan struktural genetik sebagai cara untuk menganalisis karya sastra tersebut. Dengan menggunakan metode deskriptif penulis dapat menggambarkan, mengidentifikasi dan menganalisis data pada novel. Sedangkan pendekatan struktural genetik digunakan untuk mengetahui kondisi governess, dan juga hubungan yang terdapat antara pengalaman si pengarang sebagai

governess dengan karya sastranya. Pendekatan struktural genetik juga digunakan sebagai sebuah teori dalam menganalisis data oleh penulis.

Hasil dari penelitian ini adalah kondisi governess pada saat itu menjadikan

governess sebagai pekerjaan terbaik bagi banyak wanita; walaupun governess

juga dianggap sebagai pekerjaan yang rendah pada saat itu. Banyak wanita memilih governess sebagai profesi mereka untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Penelitian ini juga menunjukkan peranan penting dari

governess dalam alur cerita dan pengaruh dari pengalaman si pengarang yang terdapat pada karyanya.

Kata kunci:

1. Kondisi governess

(3)

vii

writer choose Anne Bronte’s novel because the writer is interested in to know the governess condition at that time and also to know relation between experiences of the author with her own work. In the novel, the plot tells about a journey of the young woman who works as a governess.

In this research the writer uses descriptive method and structuralism genetic approach as a way to analyze the work. By using descriptive method the writer is able to describe, to indentify, and to analyze the data on the work. Whereas structuralism genetic approach is used to know about governess condition and also the relation between experiences of the author as governess with her own work. Structuralism genetic approach is also used by the writer as general theory in analyzing data.

The results of this research are the governess condition at that time makes governess as the best profession for the women; although governess is also considered as lower profession at that time. The women choose governess as their profession to help financial of their family. The research also explains about important role of governess in the plot and influence of the author in her own work.

Key words:

(4)

viii

memberikan karunia dan perlindungannya selama proses penulisan skripsi ini. Tanpa bantuannya penulis yakin tidak akan mampu mengerjakan skripsi ini dengan tepat pada waktunya. Thank to Allah SWT cause always blesses and protects me every time.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin berterima kasih banyak kepada ibu Nungki Heriyati, S.S., M.A. sebagai pembimbing utama dan bapak M.Rayhan Bustam, S.S sebagai pembimbing pendamping atas waktu dan pengertian beliau dalam proses bimbingan skripsi. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan saran dan kritik dari beliau selama proses bimbingan, skripsi ini tidak akan pernah tercipta. Thank you very much.

Kemudian tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen Sastra Inggris atas saran dan dukungan yang diberikan selama proses bimbingan skripsi berlangsung. Thank you so much.

Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan semua orang yang tertarik mempelajari skripsi ini. Semoga Allah SWT memberkati kita semua. Amin.!

Bandung, Juli 2011

(5)

1

1.1

Latar Belakang

Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat. Governess adalah sebuah profesi yang biasanya dikerjakan oleh wanita yang dipercaya untuk mengasuh, mendidik dan menjaga anak-anak khususnya di rumah pribadi. Governess juga mempunyai tugas-tugas yang lain, seperti: untuk merawat, menemani, mendampingi anak-anak, mengajari cara bergaul pada si anak, serta bertanggung jawab terhadap kesehatan anak yang diasuhnya dan melakukan apa yang diperintahkan oleh sang anak padanya. Selain itu governess bertugas untuk membentuk sikap pada anak perempuan sehingga mereka mampu untuk mendapatkan suami yang tepat.

(6)

Di dalam kehidupan sehari-harinya, governess tidak dipandang sebagai seorang pembantu (servant). Meskipun governess dan pembantu mempunyai kesamaan pekerjaan dalam bertugas, seperti mempersiapkan kebutuhan majikannya dan juga merapikan kamar majikannya tetapi pada nyatanya

governess dan pembantu berbeda karena pekerjaan utama dari governess adalah hanya mengurusi keperluan si anak dalam kehidupan sehari-hari dan pendidikannya, dan juga mengajari cara berperilaku hidup dengan baik; sedangkan tugas pembantu adalah mengambil alih semua pekerjaan rumah.

Governess juga menjadi salah satu bahan topik dalam pembuatan karya sastra khususnya pada novel. Pada zaman Victorian kehidupan governess tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat; oleh karena itu banyak pengarang menuliskan tentang governess di dalam cerita yang mereka ciptakan. Ini terjadi karena beberapa pengarang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan kondisi governess.

Pada zaman Victorian ada beberapa pengarang yang pernah menjadi

governess. Anne Bronte adalah salah satunya. Pada novel Agnes Grey, Anne Bronte menciptakan karyanya berdasarkan pengalaman pribadinya sebagai

governess. Hal ini dapat diketahui oleh para pembaca dari kata pengantar novel

(7)

Bronte (1820-1849). The youngest of the Bronte children, she is best known for

her novel, Agnes Grey and The Tenant of Wildfell Hall, Which are largely drawn

from her own experiences as a governess.(1994). Pernyataan di atas memperkuat bahwa Anne Bronte membicarakan dan menggambarkan kondisi governess yang dicerminkan dalam karyanya.

Karena fenomena ini, penulis tertarik menganalisis kondisi governess

sebagai topik penelitiannya. Selain menganalisis tentang kondisi governess

(8)

1.2

Rumusan Masalah

Penulis mempunyai pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini yang akan menjadi panduan penulis dalam melaksanakan penelitian ini sebagai berikut:

1. Kondisi governess seperti apa yang tergambarkan dalam novel

Agnes Grey karya Anne Bronte?

2. Alasan apa saja yang membuat Agnes Grey ingin menjadi governess

saat itu?

3. Bagaimana gambaran pengalaman si pengarang sebagai governess

mempengaruhi gambaran governess dalam novel?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan kondisi governess dalam novel Agnes Grey karya Anne Bronte.

2. Menemukan alasan yang membuat Agnes Grey ingin menjadi

governess.

(9)

1.4

Kegunaan Penelitian

Di dalam skripsi ini, penulis meneliti hal-hal tentang kondisi governess

yang digambarkan oleh Anne Bronte melalui karyanya. Penulis juga berusaha mengangkat suatu profesi yaitu governess untuk bisa lebih diketahui tentang pekerjaan dan keberadaan para governess oleh para pembaca. Melalui penelitian ini pula, penulis mencoba memaparkan tentang apa yang ingin disampaikan oleh si pengarang tentang kondisi governess melalui karyanya. Penelitian ini ditujukan untuk para pembaca agar dapat lebih memahami keberadaan

governess dalam karya – karya sastra yang berhubungan dengan sastra inggris. Penulis juga berharap penelitian ini dapat berguna untuk mahasiswa lainnya yang mempelajari sebuah karya sastra khususnya novel yang ceritanya terjadi pada zaman Victorian.

1.5

Kerangka Pemikiran

(10)

konflik pada ceritanya. Selain itu sudut pandang pengarang juga akan muncul dalam tokoh problematik (Problematic Hero). Pandangan pengarang atas tokoh problematik adalah sebuah struktural global yang mempunyai makna.

Genetic structuralism sets out from the hypothesis that all human behavior is an attempt to give a meaningful response to a particular situation and tends, therefore, to create a balance between the subject of action and the object on which it bears the environment”. (Goldmann, 1975: 157)

Menurut pernyataan Goldmann, pengarang dan sejarah mempunyai peranan penting dalam karya sastra. Kehidupan masyarakat juga dapat mempengaruhi sebuah karya sastra tersebut.

Drs. Iswanto berpendapat bahwa;

“Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan structuralisme murni yang anti-historis dan kausal” (2003: 59).

(11)

pemikiran dan tingkah laku dalam menciptakan karya sastra. Dijelaskan oleh Juhl (via Teeuw, 1984:173) ;

“Penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur tertentu”.

(12)

Pada proses penelitian, penulis menciptakan sebuah kerangka penelitian yang akan dibentuk seperti dibawah ini;

Analisis Kondisi Governess Pada Novel Agnes Grey Karya Anne Bronte dan

Hubungannya dengan Latar Belakang Pengarang

Novel

Agnes Grey

Struktural Genetik Elemen Intrinsik

(Penokohan, Alur Cerita

& Irony)

Elemen Ekstrinsik (Sejarah Kehidupan Sosial Budaya Zaman Victorian & Biografi)

Kondisi

Governess

Analisis Data

SIMPULAN

Penjelasan tentang kondisi Governess

(13)

9

2.1

Kajian Sastra

Sebelum mengkaji dan meneliti sebuah karya sastra, penulis dituntut untuk memahami lebih dalam tentang definisi dari karya sastra tersebut. Definisi tentang kajian sastra sangatlah beragam. Triyono (2003: 23) di dalam bukunya menyatakan bahwa “Sastra merupakan bagian dari kelompok ilmu-ilmu

humaniora, seperti halnya bahasa, sejarah, kesenian, filsafat, dan estetika”.

Beliau menambahkan keseluruhan dari ilmu-ilmu humaniora itu merupakan juga suatu esensi kebudayaan. Sedangkan menurut penulis sendiri, karya sastra adalah sebagai sebuah media atau wadah untuk mengambarkan imajinasi, penjelasan dan maksud dari si pengarang dalam menciptakan karyanya terlepas dari macam-macam bentuk karya sastra itu sendiri.

(14)

Di dalam karya sastra, khususnya novel, terdapat dua elemen penting yang membantu terbentuknya sebuah karya sastra. Dua elemen itu adalah elemen intrinsik dan ekstrinsik. Dengan melihat dan mempelajari dua elemen itu, para pembaca novel akan mampu memahami sebuah novel dengan lebih baik. Kedua elemen ini akan dijelaskan secara singkat oleh penulis pada bagian tulisan selanjutnya.

2.2

Elemen Intrinsik

Alur cerita (plot), latar (setting), sudut pandang (point of view), tokoh (character), penokohan (characterization), tema (theme) dan ironi (irony) adalah bagian dari elemen intrinsik. Elemen intrinsik sangat berperan penting di dalam karya sastra khususnya novel karena dengan memahami elemen intrinsik penulis dapat mengetahui lebih dalam tentang pengalaman atau pesan yang ingin disampaikan oleh si pengarang. Selain itu, penulis juga dapat merasakan konflik yang terjadi dalam cerita pada novel.

(15)

akan dijelaskan di sub bab selanjutnya karena unsur-unsur tersebut diperlukan dan dianggap relevan dalam menganalisis data.

2.2.1

Tokoh dan Penokohan

Aminuddin (1984:85) mendefinisikan tokoh (character) adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan atau pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan (characterization). Di dalam karya sastra khususnya novel dan cerita pendek (cerpen), tokoh-tokoh yang ada di dalam suatu cerita selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.

Di lihat dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tiga macam:

1. Tokoh primer (utama) 2. Tokoh sekunder (bawahan)

3. Tokoh komplementer (pelengkap) (Aminudin, 1984:85-87)

(16)

keberadaannya tidak terlalu berpengaruh dalam cerita. Dengan mengetahui keterlibatan dan peranan suatu tokoh dalam sebuah cerita, penulis dapat mengetahui seberapa penting peranan suatu tokoh dari keterlibatan dan peranannya dalam sebuah cerita.

Melihat tokoh yang dapat berubah-ubah pada sikap dan sifatnya dalam sebuah cerita, penulis bisa melihat perbedaan dan perkembangan yang ada pada tokoh. Aminuddin (1984: 91-92) berpendapat bahwa tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang, sedangkan tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian tetap. Namun bila dilihat dari masalah yang dihadapi oleh sang tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh yang mempunyai karakter yang sederhana dan kompleks. Tokoh yang memiliki karakter sederhana adalah tokoh yang mempunyai karakter seragam atau tunggal, dan tokoh yang mempunyai karakter kompleks adalah tokoh yang mempunyai kepribadian yang kompleks.

(17)

adalah sama dengan stock character. Stock character biasanya sering muncul di dalam cerita fiksi.

Di dalam cerita biasanya pengarang memuncul suatu tokoh dengan dua macam cara yaitu dengan cara langsung atau cara tidak langsung. Hal tersebut diamini oleh Laurence Perrine (1987: 66) yang beranggapan bahwa seorang pengarang mungkin akan memunculkan tokoh dalam cerita baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pengambaran suatu tokoh secara langsung (Direct presentation), pengarang akan menceritakan perwujudan sang tokoh secara lugas dan terang-terangan di dalam cerita tersebut tentang wujud tokoh itu seperti apa. Sedangkan pengambaran tokoh secara tidak langsung (Indirect presentation) adalah saat pengarang menunjukkan kepada para pembaca tentang sang tokoh hanya dari tingkah laku dan tindakannya saja. Kita hanya dapat mengambarkan sang tokoh hanya dari ucapan dan pikiran dari sang tokoh tersebut atau bisa juga diketahui dari ucapan orang sekitarnya tentang wujud sang tokoh.

Di dalam cerita fiksi biasanya setiap tokoh memiliki bermacam-macam watak (characteristics). Ada dua watak tokoh yang bisa didefinisikan yaitu tokoh dengan watak protagonis dan antagonis. Laurence Perrine berpendapat bahwa:

(18)

conventions of society, or traits of his own character, are the

antagonists”.(1987: 42).

Kutipan pernyataan Laurence Perrine di atas menunjukan bahwa tokoh dengan watak protagonis adalah tokoh yang menjadi pusat dalam konflik pada cerita dan memiliki pemikiran sejalur dengan alur cerita tersebut. Sedangkan tokoh dengan watak antagonis adalah tokoh yang berlawanan dengan alur cerita dan berbeda pemikiran dengan tokoh utama. Tetapi ada kalanya di dalam sebuah cerita, tokoh protagonis juga mempunyai sifat dan sikap seperti berbohong, pendendam, berkhianat ataupun membunuh karena alasan dan faktor tertentu. Hal serupa terjadi juga pada tokoh antagonis yang mempunyai sifat yang biasa dimiliki oleh tokoh protagonist seperti menolong seseorang, berprilaku baik di depan orang-orang.

Ada beberapa cara untuk dapat memahami watak suatu tokoh. Cara-caranya adalah sebagai berikut;

1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, 2. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran

lingkungan kehidupannya mulai dari cara berpakaiannya, 3. Menunjukan bagaimana perilakunya,

4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, 5. Memahami bagaimana jalan pikirannya,

6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, 7. Melihat tokoh lain berbincang dengannya,

8. Melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya,

(19)

Dengan berpedoman dengan kutipan di atas tentang cara-cara memahami suatu tokoh dan definisi tentang tokoh, penulis meyakini mampu menganalisis apa yang terjadi dengan tokoh Agnes grey sebagai tokoh utama (main character) yang terdapat pada cerita. Dengan demikian penulis mampu menjabarkan tentang konflik yang muncul khususnya yang terkait dengan tokoh utama.

2.2.2

Alur Cerita

Alur cerita atau yang dikenal dengan sebutan plot adalah salah satu elemen intrinsik yang membantu terbentuknya karya sastra. Menurut Laurence Perrine (1987: 41); Plot is the sequence of incident or events of which a story is composed. Dia beranggapan bahwa alur cerita adalah susunan peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. Disisi lain Mario Klarer (1998: 15) berpendapat tentang alur cerita (Plot) adalah Plot is the logical interaction of various thematic element of a text which leads to change of original situation as

pretended at outset of narrative. Alur cerita menjadi sangat penting karena setiap kejadian-kejadiannya mulai dari konflik sampai suatu klimaks dari sebuah cerita terdapat di dalam alur cerita tersebut.

(20)

Biasanya tokoh utamalah yang mengambarkan suasana awal yang ada di dalam cerita tersebut. Elemen kedua adalah complication; Complication merupakan suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam cerita. Selanjutnya adalah klimaks (climax); klimaks adalah ketika dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemudian elemen terakhir adalah resolution; Resolution adalah ketika si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul berangsur-angsur selesai dan kondusif.

Dengan melihat elemen-elemen pada alur cerita yang dijelaskan oleh Klarer (1998: 15) dapat disimpulkan bahwa di dalam setiap cerita fiksi selalu terdapat konflik. Pendapat ini juga diamini oleh Perrine (1987: 42), menurutnya konflik (conflict) adalah suatu perselisihan atau ketidakcocokan dari suatu tindakan, gagasan, keinginan atau hasrat.Dengan ini terindikasi bahwa konflik dalam sebuah cerita selalu muncul di dalam cerita tersebut.

(21)

sekitar. Selanjutnya adalah manusia melawan alam (man versus nature); konflik ini menceritakan sang tokoh mempunyai permasalahan dengan kekuatan alam. Penjelasan konflik yang terakhir adalah manusia melawan dirinya sendiri (man versus him/herself); konflik ini terjadi antara sang tokoh dengan dirinya sendiri. Konflik ini mungkin muncul karena disebabkan masalah pisik, mental, emosi atau moral dirinya sendiri.

2.2.3

Ironi

Di dalam sebuah cerita fiksi, biasanya pengarang tidak hanya selalu menceritakan sebuah alur cerita (Plot) yang lurus tanpa masalah dan sesuai rencana atau harapan dari si tokoh. Namun terkadang sebuah cerita terjadi tidak sesuai dengan harapan atau bayangan si tokoh. Elemen intrinsik di dalam sebuah cerita inilah yang disebut Ironi (Irony). Ironi adalah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan apa yang diharapkan atau seharusnya terjadi.

Perrine menambahkan bahwa:

Irony is a term with a range of meanings, all of them involving some sort of discrepancy or incongruity. It is a contrast in which one term of the contrast in some way mocks the other term. (1987: 215)

(22)

sebuah cerita tersebut menjadi menarik karena alur cerita tidak akan monoton dan sukar untuk ditebak akhir dari cerita tersebut.

Menurut Laurence Perrine (1987:216-217) ada tiga macam ironi yang sering muncul di cerita fiksi. Ironi pertama adalah Verbal Irony, ironi verbal yaitu kata kiasan yang bertentangan dengan apa yang diucapkan berdasarkan kejadian yang terjadi. Ironi ini terjadi karena antara apa yang diucapkan dengan yang maksud berbeda. Sedangkan Dramatic Irony atau dalam bahasa Indonesia disebut ironi dramatis adalah suatu kejadian yang bertentangan antara apa yang si tokoh katakan dengan apa yang diketahui oleh pembaca tentang hal tersebut menjadi sebuah kenyataan. Hal ini terjadi apabila sang tokoh mengucapkan sesuatu yang bermakna bagi para pembaca, tetapi tidak disadari oleh tokoh yang lain. Ironi ketiga adalah Situational Irony, ironi situasional yaitu pertentangan antara penampilan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dalam ironi situational, biasanya si tokoh merasa yakin bahwa apa yang dia katakan atau harapkan adalah benar namun si tokoh tidak sadar bahwa situasi nyata justru berlawanan dengan yang dikatakan dan diharapkannya.

2.3

Elemen Ekstrinsik

(23)

Biografi si pengarang, sosial budaya, sejarah, ekonomi biografi, dan kondisi politik pada saat itu adalah termasuk elemen-elemen ekstrinsik yang ikut membantu terbentuknya sebuah karya sastra ataupun cerita-cerita fiksi. Namun kenyataannya elemen ekstrinsik kurang dipahami atau disadari oleh para pembaca.

Dengan mengetahui lebih dalam tentang elemen ekstrinsik dari sebuah cerita fiksi, Penulis dapat mengetahui latar belakang si pengarang melalui biografinya dan juga mengetahui apa yang sedang terjadi pada saat si pengarang menciptakan karyanya melalui sejarah dan sosial budayanya. Hal-hal tersebut menjadi sebuah bahan tambahan bagi penulis untuk bisa lebih memahami dalam meneliti sebuah karya sastra khususnya pada cerita fiksi.

(24)

2.3.1

Sejarah dan Kehidupan Sosial Budaya pada Zaman

Victorian

Berdasarkan penjelasan tentang elemen ekstrinsik di atas, penulis diharuskan mengetahui tentang apa yang sedang terjadi pada saat si pengarang menciptakan karyanya. Melihat berdasarkan waktu dipublikasikannya novel

Agnes Grey adalah pada tahun 1847 sudah dapat dipastikan bahwa novel Agnes Grey diciptakan pada zaman Victorian (1837-1901). Dengan mengetahui pada zaman apa si pengarang pernah hidup dan menciptakan karyanya; penulis yakin bisa meneliti kondisi governess yang terjadi bertepatan pada zaman Victorian.

(25)

pernah dirasakan pemerintahan Inggris. Hal inilah yang membuat para novelis atau pengarang berusaha berkreasi untuk menulis puisi (poetry), cerita pendek (short story), dan novel.

Diantara beberapa pengarang yang banyak menciptakan karya sastra pada zaman tersebut, terdapatlah Anne Bronte dan para saudara perempuannya, Charlotte and Emily. Anne dan saudara perempuannya sebagai pengarang yang pernah hidup di zaman Victorian sangatlah peka dengan kondisi sekitar mereka, terutama tentang kehidupan dan fenomena yang ada pada masyarakat waktu itu. Pernyataan di atas dibenarkan oleh Marlene Springer yang menyatakan bahwa:

“In the novel Bronte is iconoclastic in several respect: she

ignores social taboos by elevating the lowly governess to full, complex, human stature, and also gives to a spinter passions

questionable even in a married woman”.(1978 :145).

Dilihat dari karya-karya yang mereka buat, biasanya berdasarkan pengalaman pribadi mereka sendiri. pernyataan tersebut didasari pendapat dari Juliet Barker yang menerangkan bahwa:

(26)

experience in publishing process meant that all three first novels were to shrot for the accepted format of three volume

sets”. (1989: 19)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa mereka mencoba mengedepankan konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat saat itu berdasarkan pengalaman mereka sebagai governess. Di dalam karya-karya mereka jelas mengambarkan kondisi

governess pada zaman Victorian.

Berdasarkan karya-karya Bronte Sisters khususnya karya Anne Bronte,

governess yang dianggap hanya sebagai profesi yang biasa dikerjakan oleh wanita untuk mengasuh dan mengajar anak para bangsawan terkadang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima governess juga ditanggapi oleh Marlene Springer yang berkomentar pada bukunya tentang karya-karya Bronte bahwa “As any reader of Charlotte Bronte knows, the lot of a governess was likely to be

wretched” (1978: 143). Pernyataan di atas membenarkan bahwa profesi sebagai

governess terkadang mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dalam melakuan pekerjaannya.

Menurut Marlene Springer, di dalam bukunya yang membahas tentang perempuan pada zaman Victorian, menjelaskan bahwa “The governess was of course of one the most conspicuous English wage-earning woman, and because

(27)

public”.(1978: 144). Pendapat di atas dapat diartikan bahwa governess adalah

salah satu cara atau pekerjaan bagi wanita pada saat itu untuk bisa mendapatkan penghasilan sendiri selain menikah. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut ini

“Even worse, such an education, would seriously damage a women’s chances in the marriage market, which, given the

complexity of customs, was a serious threat. Unmarried and

insolvent, her alternative as a “redundant woman” (i.e.,

single) was to be a governess, and wretched, as any reader of

charlotte Bronte knows”. (Marlene Springer, 1978: xvii).

Diketahui bahwa pada saat itu profesi governess menjadi alternative pekerjaan selain menikah. Selain itu pendapat di atas bisa dianggap sebagai peluang bagi para penulis wanita untuk menceritakan pengalaman mereka sebagai governess

melalui cerita pendek (short story) ataupun melalui novel kepada masyarakat tentang kondisi governess.

Marlene Springer juga menambahkan bahwa “The Victorian woman as governess is one more broad area treated in the fiction, and one more instance

of middle-class stereotype providing the touchstone for her portrayal” (1978:

(28)

Melihat peranan governess yang ada pada beberapa novel zaman Victorian seperti: The Governess (1839) karya Lady Blessington, Amy Herbert (1844) karya Elizabeth Sewell, dan Caroline Mordaunt (1845) karya Mrs. Sherwood; lalu pada tahun 1847 diikuti terbitnya dua novel terkenal tentang governess

lainnya karya Bronte Sister, Anne Bronte dengan Agnes Grey, dan Charlotte Bronte dengan Jane Eyre sangatlah penting bagi penulis untuk meneliti tentang kondisi governess saat itu.

2.3.2 Biografi

Elemen ekstrinsik lainnya yang akan digunakan dalam menganalisis data adalah biografi. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1977: 75-78), Biografi adalah sebuah aliran sastra kuno yang terdapat kronologi kejadian dan pemikiran seseorang secara logis di dalamnya. Secara keseluruhan biografi adalah kumpulan catatan tentang informasi kehidupan seseorang. Melalui biografi, penulis dapat mengetahui hubungan antara karya sastra dengan kehidupan si pengarang.

(29)

yang terjadi pada si pengarang sebagai governess, ataupun pengalaman si pengarang sebagai governess.

Dalam membuat karya sastra, pengarang terpengaruhi beberapa hal seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya dimana mereka tinggal. Selain aspek itu, pengalaman dan kehidupan dari seorang pengarang juga sangat mempengaruhi karya sastra tersebut. Hubungan ini biasanya dapat dilihat pada biografi si pengarang dan karya sastra yang mana hal-hal di atas sudah termasuk bagian dari kehidupan si pengarang. Hal-hal di atas membuat karya sastra itu tidak bisa dipisahkan oleh pengarangnya.

Biografi menghubungkan antara budaya dan gagasan pada zamannya dengan kehidupan dan pengalaman si pengarang saat membuat karyanya. Menurut Wellek dan Warren (1977: 75), “biography can explain and illuminate the actual product of poetry…. shifts the centre of attention to human

personality”. Kutipan di atas mengungkapkan bahwa biografi dapat menjelaskan

(30)

2.4

Governess

Governess adalah sebuah profesi yang biasanya dikerjakan oleh seorang wanita yang dibayar untuk tinggal bersama keluarga majikannya dan mengajarkan anak-anak majikan di rumah. Jasa governess banyak dipakai saat abad 18 sampai 19 oleh para keluarga bangsawan. Fenomena Ini dikarenakan pada saat itu sedang terjadi perang dunia ke I dan II di Eropa; ditambah lagi tidak adanya sekolah yang cocok dan dekat dari rumah para bangsawan. Oleh sebab itulah para keluarga bangsawan menggunakan jasa governess untuk mengajarkan pendidikan dan sekaligus mengasuh putra-putri mereka.

Pekerjaan governess jelas berbeda dengan perawat bayi (baby sitter) atau

Nanny (yang bermula dari kata suster atau nurse). Governess cenderung fokus pada pendidikan sang anak dalam pelajaran yang sama seperti di sekolah atau mengajarkan cara berperilaku hidup yang baik. Sedangkan baby sitter adalah seorang perawat yang terfokus hanya pada perawatan bayi yang baru lahir atau balita (bawah lima tahun) dan menjaga aktivitas bayi. Biasanya jasa baby sitter

(31)

Sebagai seorang governess, mereka biasanya merasa tidak dianggap sebagai keluarga oleh keluarga yang menggunakan jasanya walaupun telah tinggal bersama keluarga tersebut. Walau begitu hal di atas tidak membuat derajat governess sama seperti derajat pembantu. Governess memiliki tanggung jawab dan hak dalam mengasuh dan mendidik anak majikannya.

2.5

Strukturalisme Genetik

Seorang filsuf dan sosiolog dari Rumania-Prancis, Lucien Goldmann, mencetuskan pendekatan dan teori strukturalisme genetik. Teori itu disampaikan di dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Prancis. Struktur genetik muncul di dalam penelitian sastra sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang anti-historis. Goldmann sendiri mulai mengkritik strukturalisme murni sekitar tahun 1960-an.

(32)

dipahami melalui unsur intrinsiknya saja, maka karya sastra tersebut dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal seharusnya di dalam sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan masyrakat dan sejarah yang melingkupi penciptaan karya sastra tersebut. Oleh karenanya, strukturalisme murni banyak mendapat kritikan terutama dari kaum aliran struturalisme genetik. Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada strukturalisme murni di atas, beberapa kritikus yang merasa tidak puas dengan pendekatan strukturalisme murni mencoba menggunakan pendekatan strukturalisme genetik sebagai cara baru dalam meneliti suatu karya sastra.

(33)

yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya.

Dalam menggunakan teori struktural genetik, peneliti diharuskan mengetahui tentang keadaan sosial yang terjadi pada saat karya tersebut diciptakan. Keadaan sosial masyarakat pada saat itu dapat diketahui berdasarkan biografi si pengarang dan sejarah dari kehidupan sosial budaya masyarakat pada zaman Victorian. Dengan mengetahui keadaan sosial saat itu penulis dapat lebih memahami kondisi yang terjadi. Hal ini disebabkan menurut Goldmann terdapat suatu hubungan antara karya sastra dengan kelas sosial dari si pengarang. Pendapat Goldmann tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

“The relations between the truly important work and the social

group, which – though the medium of the creator – is in the last resort, the true subject of creation, are of the same order as relations between the elements of the work and the work as a

whole”. (Goldmann,; 1975: 158).

(34)

penelitan sosiologi sastra pada umumnya; melihat karya sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan pengarangnya ataupun penciptanya.

Menurut Hauser (1985: 139) di dalam buku Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra karya Kutha Ratna (2004: 124), dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih bersifat afinitas atau bisa lebih dipahami sebagai bentuk ketertarikan terhadap suatu masalah dibandingkan dengan komitmen. Hal tersebut dapat diketahui atas dasar akar sosial yang sama maka terjadilah simpati terbagi, imajinasi terbagi, kesadaran kesadaran sosial yang dianggap sebagai genesis kreativitas. Dalam hubungan ini karya sastra dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan aspirasi kelompok mereka. Pendapat tersebut juga dijelaskan oleh Goldmann di bawah ini:

“The use of the immediate aspect of his individual experience

in order to create these imaginary worlds is no doubt frequent and possible but in no way essential and its elucidation constitutes only a usefull, secondary task of literary analysis. (Goldmann,; 1975: 159).

(35)

menceritakan kembali suatu fenomena yang terjadi pada masyarakat saat itu melalui karyanya.

Melihat di dalam teori struktural genetik yang merujuk sebuah karya sastra selalu dikaitkan oleh pengarangnya ataupun penciptanya; maka latar belakang dari si pengarang sangatlah penting untuk diketahui. Latar belakang dari si pengarang dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama adalah latar belakang karena afiliasi; sedangkan yang kedua adalah latar belakang karena kelahiran. Bentuk dari afiliasi bermacam-macam sesuai dengan kompleksitas struktur sosial, seperti: keluarga, profesi, intelektual, religi, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Berdasarkan kompleksitas struktur sosial di atas dapat diketahui tentang kehidupan si pengarang dan karya seni yang diciptakannya.

(36)

Di bawah ini digambarkan sketsa dari sudut pandang para penganut aliran strukturalisme genetik:

Sumber Gambar: Drs Iswanto (2003: 62)

(37)

pandangan dunia si pengarang tentang sebuah kondisi tertentu pada saat itu. Elemen intrinsik pada novel seperti alur cerita, tema, sudut pandang, latar, penokohan, dan lain-lain diharapkan dapat menjelaskan dan menggambarkan suatu kondisi dalam cerita pada novel tersebut. Sedangkan elemen ekstrinsik diperlukan sebagai sumber informasi tambahan untuk mengetahui suatu kondisi dan situasi yang berkaitan dengan karya tersebut. Dengan menggunakan elemen tersebut dan serta pandang sosial kelompok tertentu dapat menjelaskan tentang maksud dan tujuan dari si pengarang dalam menciptakan karyanya. Hal-hal di atas dapat dijadikan alasan mengapa sebagian kritikus pada saat itu beralih aliran menjadi penganut strukturalisme genetik. Dengan menggunakan struktural genetik penulis berharap dapat mengetahui lebih jelas tentang kondisi governess

(38)

34

Pada bab ini, penulis menjelaskan tentang objek penelitian yang diteliti, sumber penelitian, sinopsis, biografi si pengarang, metode penelitian, teknik pengumpulan data dan cara penulis menganalisis data yang didapat.

3.1 Objek Penelitian

Objek dari penelitian yang dianalisis oleh penulis adalah tentang kondisi

governess dan hubungan dengan latar belakang si pengarang. Di dalam penelitiannya penulis memilih profesi governess dalam novel Agnes Grey

sebagai bahan utama untuk diteliti karena dianggap menceritakan dan menggambarkan kehidupan governess. Dengan adanya beberapa novel yang menjadikan governess sebagai topik utama dalam alur ceritanya atau judul suatu novel sangat disayangkan jika profesi governess dipandang sebelah mata dan hanya menjadi peranan hiasan dalam suatu karya sastra. Hal di atas membuat penulis tertarik untuk mencoba menganalisis kondisi governess sebagai objek penelitiannya. Selain itu penulis juga ingin mengangkat keberadaan governess

(39)

Pengalaman sebagai governess dari si pengarang juga akan dibahas berdasarkan elemen intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pada novel. Pada elemen intrinsik penulis akan membahas tokoh dan penokohan yang diperankan oleh tokoh utama, dan alur cerita yang menggambarkan tentang kondisi

governess saat itu. Ditambah lagi penulis juga akan membahas elemen ektrinsik seperti sejarah dan sosial budaya pada zaman Victorian yang mana si pengarang pernah hidup sebagai governess pada saat itu, dan juga biografi si pengarang sebagai sumber yang menceritakan kehidupan si pengarang yang pernah menjadi

governess.

3.2 Sumber Penelitian

(40)

3.2.1

Sinopsis

Pada novel Agnes Grey, diceritakan tentang kehidupan seorang wanita muda yang benama Agnes Grey. Agnes Grey adalah wanita muda berumur 18 tahun yang tinggal di Utara Inggris bersama orang tuanya dan seorang kakak perempuan. Ayahnya yang benama Richard Grey adalah seorang pendeta sederhana, sedangkan ibunya, Nyonya Alice Grey, adalah seorang ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga kaya namun lebih memilih meninggalkan kekayaannya agar bisa tetap tinggal bersama dengan suami dan anak-anaknya; dan kemudian kakak perempuannya, Mary Grey, yang selalu membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Agnes Grey adalah anak bungsu dari enam bersaudara di keluarganya, namun empat saudara lainnya telah meninggal dunia dan hanya Agnes Grey dan Mary Grey yang masih hidup.

(41)

tidak ingin lagi dianggap sebagai seorang gadis kecil yang hanya dapat menyusahkan keluarganya, ingin menjadi governess agar dapat menunjukkan kepada keluarganya bahwa dia mampu membantu perekonomian keluarganya.

Keluarga pertama yang menggunakan jasanya sebagai governess adalah keluarga Bloomfield. Keluarga Bloomfield adalah keluarga bangsawan. Tuan Bloomfield adalah pensiunan saudagar kaya. Untuk menuju ke kediaman keluarga Bloomfield di Wellwood, Agnes menggunakan kereta berkuda yang ditemani oleh Tuan Smith. Sesampainya di kediaman keluarga Bloomfield, Agnes disambut oleh Nyonya Bloomfield. Kemudian Agnes diajak oleh Nyonya Bloomfield untuk melihat kondisi di dalam kediamannya. Setelah itu Nyonya Bloomfield memperkenalkan anak-anaknya kepada Agnes Grey. Mereka adalah Tom Bloomfield (7 tahun), Mary Ann (6 tahun) dan Fanny Bloomfield (4 tahun).

(42)

Selain itu ada juga Fanny Bloomfield, dia adalah anak bungsu dari keluarga Bloomfield. Dia adalah anak yang aktif dan selalu meniru apa yang dilakukan kakak-kakaknya. Fanny juga sempat diasuh dan diajar oleh Agnes Grey saat dia berusia 5 tahun.

Di keluarga barunya ini tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Agnes. Di dalam pekerjaannya sebagai seorang governess, Nyonya Bloomfield selalu saja menganggap semua yang dikerjakan oleh Agnes adalah salah. Agnes yang tidak diberikan tanggung jawab sepenuhnya dalam mengasuh anak-anak majikannya, merasa kesulitan menghadapi dan mengasuh mereka. Sampai akhirnya Nyonya Bloomfield menganggap Agnes Grey tidak mampu mengatur anak-anaknya sehingga Agnes dikirim pulang ke rumahnya kembali.

Walaupun pengalaman yang pertama menjadi seorang governess tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, namun Agnes tidak putus asa. Melihat ayahnya yang sedang sakit dan tak mampu lagi bekerja; dia memutuskan untuk mencoba lagi menjadi seorang governess. Selama menganggur Agnes mencoba mencari pekerjaan sebagai governess dari iklan yang ada di koran dan sedangkan ibunya berusaha mencari keluarga yang cocok untuk Agnes bekerja sebagai

governess. Dengan sabar Agnes Grey menunggu kesempatan untuk menjadi

(43)

Keluarga kedua yang kembali menggunakan jasanya adalah keluarga Murray. Dibandingkan keluarga pertama, keluarga Bloomfield, yang pernah mengunakan jasa Agnes Grey sebagai governess; Keluarga Murray lebih kaya dan lebih tinggi derajatnya. Untuk sampai di kediaman keluarga Murray di kota Horton Lodge, Agnes harus pergi jauh dari desanya. Setelah menempuh jarak sekitar 70 mil, Agnes Grey akhirnya tiba di kediaman keluarga Murray.

(44)

Saat bekerja sebagai governess di keluarga Murray, Agnes Grey mendapat kabar dari keluarganya bahwa sakit ayahnya semakin parah; Agnes akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai governess di keluarga Murray dan pulang ke rumah orang tuanya. Setelah Agnes sampai di rumahnya, dan beberapa hari kemudian ayahnya meninggal dunia. Agnes dan keluarganya memutuskan untuk pindah dari desanya ke pinggir kota Horton.

Di kota barunya itu, Agnes dan keluarga membeli sebuah rumah sederhana yang dibeli dari harta warisan peninggalan ayahnya. Selain itu Agnes juga membuat sekolah kecil di dekat rumahnya. Di pinggir pantai kota itu juga lah, kemudian Agnes tanpa disengaja bertemu kembali dengan Edward yang mencarinya. Edward yang sekarang bekerja sebagai salah satu pendeta di gereja dimana Agnes dan keluarganya tinggal; meminta Agnes untuk memperkenalkan keluarganya kepada dirinya. Setelah perkenalan Edward dengan keluarga Agnes, beberapa hari kemudian Edward melamar Agnes Grey; dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah.

3.2.2 Biografi Si Pengarang

(45)

tahun 1818. Anne adalah anak termuda dari keluarga Bronte lainnya yang aktif dalam menulis puisi dan novel seperti kakak perempuannya Charlotte dan Emily. Novel yang terkenal dan terlaris dari Anne adalah The Tenant of Wildfell Hall, sedangkan novel lainnya adalah Agnes Grey.

Ayah dari Agnes Grey yang lahir pada tahun 1777, Patrick Bronte, adalah seorang pendeta sederhana dari Irlandia. Sedangkan ibunya, Maria Branwell yang lahir pada tahun 1783 hanyalah seorang ibu rumah tangga. Ibu dari Anne Bronte meninggal dunia pada tahun 1821 setelah delapan bulan melahirkan Anne Bronte. Bibinya, Elizabeth Branwell, datang ke Yorkshire untuk merawat Anne dan kakak-kakaknya. Tinggal dengan orang tua tunggal dan bibi yang sangat disiplin membuat Bronte bersaudara menjadi anak yang mandiri. Pada tahun 1831 Anne yang lahir dari keluarga sederhana meluangkan waktunya untuk menulis cerita pendek Angria dan Gondal (cerita pendek tentang dunia fantasi karya Bronte bersaudara) bersama saudara-saudara perempuannya.

(46)

Di awal tahun 1837, Anne Bronte yang sedang berada dirumah; melanjutkan cerita fantasi Angria dan Gondal yang sempat terhenti disebabkan kedua kakaknya Emily dan Charlotte bekerja dan tak punya banyak waktu untuk menulis cerita fantasi itu bersama. Di penghujung tahun 1837 Charlotte dan Emily yang tidak sedang berkerja membantu Anne untuk menyelesaikan cerita fantasi mereka Angria dan Gondal.

Pada tahun 1838 Anne Bronte memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di sekolah milik Nyonya Wooler, dan lebih memilih menjadi seorang governess. Anne yang berusia 18 tahun saat itu bekerja menjadi

governess di keluarga Inghams di Blake Hall. Di keluarga barunya itu dia mendapatkan pengalaman pertamanya menjadi governess dan bekerja selama delapan bulan.

(47)

Pada tahun 1847 Anne yang sudah berusia 26 tahun memutuskan untuk berhenti menjadi governess disebabkan penyakit asmanya kembali kambuh dan juga ayahnya, Patrick Bronte, yang meninggal dunia akan dimakamkan. Di kampung halamannya, Yorkshire, Anne kembali berkarya; tepatnya pada bulan juli tahun 1848 Anne Bronte kembali meliris novel keduanya yang berjudul The Tenant of Wildfell Hall; dan pada tahun 1849 Anne Bronte yang penyakitnya semakin parah akhirnya meninggal dunia pada tanggal 28 mei 1849. Anne Bronte yang berusia 28 tahun pada saat itu dimakamkan di kampung halamannya Yorkshire.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang dipakai untuk menganalisis penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Frenkel and Wallen (1993: 67) “Descriptive method is a method which is used to explain, analyze, and classify something through

various techniques, survey, interview, questioners, observation and test”.

Pendapat di atas menjelaskan penulis dapat mengidentifikasikan dan menganalisis data dari fakta-fakta yang ada pada objek penelitian. Data yang dimaksudkan adalah data yang menjelaskan tentang kondisi governess pada konflik yang dialami oleh tokoh utama pada alur cerita.

(48)

dianalisis membuat penulis yakin metode ini cocok untuk dipakai dalam melakukan analisis.

3.3.1

Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data-data pada konflik yang terjadi pada Agnes Grey. Data-data yang diteliti adalah data yang menggambarkan dan menjelaskan tentang kondisi governess pada novel Agnes Grey. Dalam proses analisis, penulis mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan kondisi governess dan berhubungan dengan latar belakang si pengarang; setelah menemukan data-data yang dianggap mewakili dengan kriteria yang diharapkan, lalu penulis menganalisis data berdasarkan teori struktural genetik.

Dalam menganalisis data terdapat tiga langkah yang digunakan oleh penulis. Langkah pertama adalah membaca novel Agnes Grey dan biografi Anne Bronte. Novel Agnes Grey karya Anne Bronte yang menceritakan kondisi

(49)

atau yang berkaitan dengan kehidupan si pengarang sebagai bahan informasi tambahan dalam menganalisis.

Langkah kedua adalah memilih data yang mempunyai hubungan dengan kondisi governess. Setelah membaca novel Agnes Grey dan biografi Anne bronte; kemudian penulis memilih data-data pada isi cerita yang berhubungan dengan kondisi governess.

Langkah ketiga adalah menganalisis data. Setelah penulis menentukan data yang dianggap bisa mewakili tentang keadaan seorang governess pada masa itu; kemudian penulis melakukan penelitian pada elemen-elemen intrinsik dan ektrinsik pada novel. Penelitian dilakukan berdasarkan elemen-elemen sastra yang dipilih oleh penulis.

3.3.2 Analisis Data

Setelah penulis mengumpulkan data; langkah selanjutnya adalah penulis menganalisis data dan kemudian menjelaskan data tersebut melalui tulisan pada penelitannya. Penelitian yang dibahas berupa kondisi governess saat itu, seperti; perasaan yang dirasakan oleh tokoh utama saat sebelum dan selama menjadi

(50)

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teori struktural genetik yang mengharuskan penulis untuk meneliti karya sastra melalui dua elemen yaitu intrinsik dan ektrinsik (Drs.Iswanto, 2003: 62). Melalui pendapat yang diutarakan beliau, penulis tidak hanya akan meneliti karya sastra dari satu elemen saja yaitu intrisik, namun penulis juga dituntut untuk tidak meninggalkan pengaruh dari si pengarang dari setiap karya sastra yang diciptakannya.

3.3.2.1 Contoh Analisis Data

Pada bagian ini, penulis memberikan contoh data yang berkaitan dengan keadaan seorang governess pada saat itu. Dalam penelitiannya juga penulis menambahkan beberapa informasi tentang kehidupan si pengarang yang tercerminkan pada karya sastranya.

Data 1

“…… I found they had no notion of going with me; I must go with them

wherever the chose to lead me.” (Bronte, 1985: 28)

(51)

anak-anak majikannya membutuhkan dia. Agnes juga tidak mampu untuk menolak perintah yang diperintahkan oleh anak-anak itu.

Dari data yang dijabarkan di atas, penulis dapat melihat sebuah konflik antara Agnes dengan anak-anak dari keluarga Bloomfield. Konflik yang terjadi antara mereka menggambarkan kondisi seorang governess dalam menjalankan pekerjaan saat itu. Agnes yang bekerja sebagai governess tidak bisa melakukan apa yang seharusnya dia lakukan terhadap anak-anak yang diasuhnya. Seharusnya pada nyatanya, seorang governess diberi wewenang atau tanggung jawab untuk bisa mengasuh dah membimbing anak didiknya. Dia juga seharusnya bisa memerintah atau mengatur sang anak untuk mematuhi dirinya jika mereka melakukan kesalahan. Tetapi berdasarkan cerita pada data yang di atas Agnes masih harus mengikuti apa yang anak-anak itu inginkan.

Dalam penelitian ini menceritakan bahwa seorang governess terkadang tidak dianggap dan dihormati oleh anak-anak majikannya. Menjadi seorang

(52)

48

Pada bab ini menjelaskan tentang kondisi governess pada novel Agnes Grey yang dianalisis menggunakan teori struktural genetik. Dalam penelitiannya penulis menganalisis data melalui elemen intrinsik terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan element ektrinsiknya pada novel tersebut. Tokoh dan alur cerita adalah elemen intrinsik pada novel yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan kondisi governess saat itu. Ditambahkan lagi latar belakang si pengarang melalui biografi si pengarang dan sosial budaya pada masa itu sebagai element ektrinsik yang diharapkan dapat membantu penulis untuk memahami lebih jelas kondisi governess saat itu.

4.1 Penggambaran Governess Melalui Tokoh Agnes Grey

(53)

keuangan keluarganya. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan beberapa data di bawah ini:

“She was apt to think that no one could do it so well as herself; so that whenever I offered to assist her, I received such an answer as – “No, love, you cannot indeed –there’s nothing here you can do. Go and help your sister, or get her to take a

walk with you”. (Bronte, 1985: 13)

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa setiap Agnes Grey menawarkan bantuan selalu ditolak oleh ibunya. Ibu dari Agnes Grey lebih memilih Agnes membantu kakak perempuannya, Mary Grey, daripada harus membantu dirinya. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Agnes masih dianggap oleh keluarganya hanya sebagai seorang gadis kecil; hal tersebut disebabkan Agnes adalah putri bungsu dari keluarga Grey; oleh karena itu Agnes dianggap oleh keluarganya belum mampu membantu apa-apa.

Di dalam keluarganya, Agnes Grey juga tidak pernah diberikan kesempatan untuk membantu kesulitan keluarga. Selain ibunya, kakak perempuannya, Mary, juga menganggap Agnes adalah gadis kecil yang belum mampu membantu pekerjaan keluarganya. Hal tersebut terdapat pada pembicaraan Agnes Grey dengan kakak perempuannya berikut ini:

“Mary, mamma says I’m to help you; or get you to take a walk

with me.”

“Help me you cannot, Agnes; and I cannot go out with you- I

(54)

“You cannot indeed, dear child. Go and practice your music, or play with the kitten”.(Bronte, 1985: 13)

Agnes yang telah diperintah oleh ibunya untuk membantu kakak perempuannya mendatangi Mary yang sedang menjahit pakaian; namun sekali lagi Agnes mendapatkan penolakan dari salah satu anggota keluarganya. Mary yang merasa tidak perlu dibantu oleh Agnes dalam melakukan pekerjaannya, kemudian menyuruh Agnes untuk berlatih piano atau bermain dengan anak kucing peliharaan mereka. Berdasarkan data yang dijabarkan di atas dapat diketahui bahwa Agnes tetap tidak mendapatkan kepercayaan untuk membantu pekerjaan dan kesulitan keluarganya. Ditambahkan Mary yang memanggilnya dengan kalimat berikut “You cannot indeed, dear child” menegaskan bahwa Agnes

hanya dianggap sebagai seorang gadis kecil yang belum bisa membantu pekerjaan keluarganya. Hal di atas menyulitkan Agnes untuk menunjukkan kemampuan dirinya dalam membantu pekerjaan keluarganya.

(55)

mengasuh dan mengajar anak-anak kecil saja, seperti yang terlihat dalam kutipan data berikut ini:

“Well! I don’t see anything so very extraordinary in it. I do not

pretend to be able to instruct great girls; but surely, I could teach little ones: and I should like it so much: I am so fond of

children. Do let me, mamma!.”(Bronte, 1985: 15)

Berdasarkan data di atas, cerita ini bermula saat Agnes merasa dirinya harus membantu kondisi perekonomian keluarganya yang sedang mengalami kesulitan. Pada saat itu Agnes mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibu dan kakak perempuannya untuk menjadi seorang governess. Saat itu ibu dari Agnes Grey merasa terkejut dengan apa yang telah dikatakan oleh putri bungsu dan kesayangannya itu. Ibunya merasa bahwa keinginan dari Agnes itu hanyalah sebuah khayalan Agnes semata karena ibunya merasa tidak yakin dengan ide dan kemampuan Agnes dalam menjalani profesi sebagai seorang governess. Keyakinan ibu dari Agnes Grey di atas terlihat saat Ibunya menanggapi keinginan dari Agnes yang ingin bekerja sebagai governess:

“But, my love, you have not learned to take of yourself yet: and

young children require more judgment and experience to

manage than elder one”. (Bronte, 1985: 15)

(56)

Agnes Grey) beranggapan bahwa Agnes belum mampu mengurus dan mengasuh orang lain (anak-anak) disebabkan Agnes belum mempunyai pengalaman bekerja sebagai governess. Dengan usia yang relatif masih muda (18 tahun), Orang tua Agnes Grey belum yakin atas kemampuan Agnes dalam bekerja. Agnes dianggap belum cukup berpengalaman dalam mengatur dan mengasuh anak-anak. Selain itu pekerjaan governess yang mengharuskan Agnes untuk tinggal bersama keluarga majikan yang memperkerjakannya; membuat orang tua Agnes khawatir dan tidak mengizinkan Agnes bekerja sebagai governess. Walaupun begitu Agnes tetap mencoba meyakinkan sang ibu untuk mengizinkan dirinya menjadi seorang governess. Seperti yang terlihat pada data berikut ini: “But, mama, I am above eigthteen, and quite able to take care of myself and

others too”. (Bronte, 1985: 15). Agnes Grey yang merasa usianya telah cukup

dewasa dan merasa yakin atas kemampuannya dalam menjalani pekerjaannya sebagai governess; terus mencoba meyakinkan ibunya untuk bisa mengizinkannya bekerja sebagai governess. Berdasarkan data-data yang dijabarkan di atas sebelumnya dapat diketahui bahwa Agnes Grey itu adalah seseorang yang sangat menyayangi keluarga terlihat dari usahanya untuk membantu meringankan kesulitan keluarganya.

Di dalam cerita terdapat juga keinginan dan harapan dari Agnes Grey yang membayangkan tentang hal-hal yang menyenangkan dan menarik dari profesi

(57)

keinginan dari Agnes Grey yang memilih profesi governess sebagai pekerjaannya. Pemikiran dari Agnes Grey tentang profesi governess dapat dilihat pada data di bawah ini:

“How delightful it would be to be a governess! To go out into the world; to enter upon a new life; to act for myself; to exercise my unused faculties; to try my unknown powers; to earn my own main tenance, and something to comfort and help my father, mother and sister, besides exonerating them from the provision of my food and clothing; to show papa what his little Agnes could do; to convince mamma and Mary that I was not quite the helpless, thoughtless being they supposed. And then, how charming to be entrusted with the care and education of children! Whatever other said, I felt I was fully

competent to the task.” (Bronte, 1985: 16).

(58)

kelurganya dengan bekerja sebagai governess. Profesi governess dipilih oleh Agnes Grey karena dianggap sebagai pekerjaan yang paling relevan bagi wanita muda saat itu. Selain itu Agnes berpikir pekerjaan governess sangatlah menyenangkan dan menarik karena hanya akan mengasuh dan mendidik anak-anak. Hal ini dapat terlihat dari kutipan dari biografi Anne Bronte berikut ini “Anne decided that she would be a governess; she thought she would be happy

with young children”. (F.B. Pinion, 1975: 65). Agnes juga merasa yakin mampu

mengajar anak-anak yang akan diasuhnya kelak. Oleh karena alasan itulah yang mendorong Agnes ingin sekali menjadi seorang governess.

Selain hal-hal di atas Agnes Grey juga sempat merasa khawatir akan keputusannya menjadi governess. Perasaan tersebut muncul disebabkan faktor keluarganya. Perasaan dari Agnes Grey tersebut terlihat pada data di bawah ini:

“Influenced by so many inducements, I determined still to persevere; though the fear of displeasing my mother, or

distressing my father’s feelings, prevented me from resuming

the subject for several days.” (Bronte, 1985: 16).

(59)

governess di keluarga Bloomfield disebabkan keluarga Bloomfield sedang membutuhkan seorang governess untuk mengasuh dan mengajarkan anak-anak mereka.

Dari data di atas menunjukkan bahwa keinginan Agnes Grey untuk menjadi governess sempat berkurang disebabkan dibayang-bayangi perasaan khawatir oleh keluarganya. Keluarga Agnes yang melihat keinginan kuat dari Agnes Grey untuk membantu keluarganya; dapat mengalahkan pemikiran negatif dari keluarganya. Namun Agnes Grey yang masih berusia muda tidak mengetahui dan menyadari bahwa bekerja sebagai seorang governess tidaklah semudah dengan apa yang pernah dia bayangkan. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang Agnes bayangkan dan harapkan selama ini.

Berdasarkan data yang dijabarkan di atas menunjukkan perasaan dan emosi dari Agnes Grey yang mungkin juga dirasakan oleh wanita yang ingin berkerja sebagai governess. Hal ini menjelaskan bahwa pada awalnya wanita saat itu membayangkan hal-hal yang menyenangkan tentang profesi governess. Perasaan tersebut diasumsikan oleh penulis yang mungkin juga dirasakan oleh Anne Bronte pada saat itu; saat dimana dia membayangkan dan memutuskan untuk menjadi seorang governess.

(60)

saja yang harus dia lakukan jika dia benar-benar menjadi seorang governess. Hal tersebut terlihat pada data berikut ini:

“I had but to turn from my little pupils to myself at their age, and I should know, at once, how to win their confidence and affections: how to wake the contrition of the erring; how to embolden the timid, and console the afflicted; how to make Virtue practicable, Instruction desirable, and Religion lovely

and comprehensible.” (Bronte, 1985: 16).

Dari data tersebut, pemikiran dari Agnes Grey di atas yang ingin mengetahui tentang banyak hal seperti: bagaimana cara yang benar mendidik anak-anak, bagaimana cara mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang dari si anak, bagaimana cara menghibur si anak saat sedang sedih, dan bagaimana cara menunjukkan prilaku baik dan sopan dihadapan anak-anak didiknya. Hal-hal di atas juga menunjukkan bahwa Agnes sangat minim pengalaman sebagai

governess melihat begitu banyak yang Agnes belum ketahui tentang cara-cara bagaimana mendidik dan mengasuh anak yang benar.

Berdasarkan analisis tersebut dapat penulis indikasikan bahwa Agnes Grey mewakili sebagian besar wanita muda saat itu yang berprofesi sebagai

(61)

di atas yang masih tidak mengetahui cara mengatasi masalahnya dalam bekerja sebagai seorang governess.

Sebagai seorang governess Agnes Grey terkadang menghadapi beberapa masalah dalam pekerjaanya. Seperti yang terdapat pada data berikut ini yang menggambarkan kondisi Agnes Grey ketika bekerja di keluarga Bloomfield. “Patience, Firmness, and Perseverance, were my only weapon; these I resolved

to use to the utmost”.(Bronte, 1985 : 32-33). Agnes yang saat itu merasa

kesulitan menghadapi kenakalan dari anak-anak keluarga Bloomfield; merasa dirinya harus lebih sabar, tegar, dan tekun dalam bekerja. Hal di atas juga menjelaskan pekerjaan sebagai seorang governess mengharuskan dirinya berusaha lebih sabar dan tegar dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.

Selain itu di saat Agnes mengajar anak-anak dari keluarga Murray; dia mencoba menyimpulkan tentang dirinya sendiri berdasarkan saran dan kritik dari anak-anak keluarga Murray. Terlihat pada data di bawah ini yang menjelaskan tentang Agnes Grey yang sedang membayangkan sosok dirinya sendiri berdasarkan pengalaman yang Agnes rasakan dan lakukan selama bekerja sebagai governess. Hal tersebut dapat diketahui pada data di bawah ini:

“Miss Grey was a queer creature: she never flattered, and did

(62)

quite different to mamma’s, but still very well for a charge. She

had her opinion on every subject, and kept steadily to them – very tiresome opinions they often were; as she was always thinking of what was right and was wrong, and had a strange recerance for matters connected with religion, and an

unaccountable liking to good people”. (Bronte, 1985: 81-82)

Kutipan data tersebut menjelaskan sifat dan sikap dari Agnes Grey saat bekerja sebagai governess. Hal tersebut diketahui dari tokoh utama yang sedang menggambarkan sosok dirinya sendiri dari pengalaman dirinya selama bekerja. Agnes Grey mengambarkan dirinya sendiri sebagai sosok wanita berbeda dengan kebanyakan wanita lainnya yang bekerja sebagai governess. Agnes Grey juga diceritakan sebagai pengasuh yang selalu berkata jujur apa adanya. Selain itu Agnes Grey merupakan sosok pengasuh yang ceria, humoris dan religius. Sifat religius Agnes Grey didapatkan berdasarkan keluarganya yang berasal dari keluarga pendeta. Agnes Grey juga selalu mempertimbangkan sesuatu berdasarkan baik dan buruknya dalam bertindak.

Berdasarkan dari keseluruhan data-data yang dianalisis di atas dapat diketahui bahwa pekerjaan sebagai governess adalah salah satu pilihan pekerjaan terbaik yang dapat dikerjakan oleh wanita-wanita kelas menengah saat itu untuk bisa mendapatkan penghasilan. Selain alasan di atas terdapat pula beberapa alasan lainnya yang menjadikan profesi governess sebagai pekerjaan yang tepat bagi wanita kelas menengah saat itu, seperti alasan pertama adalah profesi

governess dipilih oleh banyak dari wanita saat itu karena dengan bekerja sebagai

(63)

adalah ingin menunjukkan kemampuan diri mereka dalam bekerja kepada keluarga mereka; selain itu alasan ketiga adalah ketertarikan akan dunia anak-anak dan memiliki kemampuan dalam mengajar anak-anak-anak-anak juga turut mempengaruhi para wanita kelas menengah untuk memilih profesi governess

sebagai pekerjaan mereka; ditambahkan lagi alasan keempat adalah banyak dari wanita yang ingin menjadi governess saat itu membayangkan hal-hal yang menyenangkan terlebih dahulu tentang profesi governess; dan alasan kelima adalah wanita saat itu menganggap pekerjaan governess sebagai pekerjaan yang mudah untuk dikerjakan karena hanya bertugas mengasuh dan mendidik anak-anak majikan saja. Tetapi pada kenyataannya banyak dari wanita kelas menengah saat itu tidak mengetahui bahwa pekerjaan governess tidak semudah seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Dalam penelitian ini juga diketahui adanya ironi yang dirasakan oleh Agnes Grey. Pekerjaan governess yang dikerjakan oleh Agnes Grey tidak sesuai dengan harapannya sebelumnya. Hal tersebut diketahui dari data-data yang dianalisis sebelumnya; yang dijelaskan bahwa untuk menjadi seorang governess diharuskan memiliki sifat sabar dan tegas dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini menjadi penting karena dengan lebih bersabar dan tegas dalam mengasuh, anak didiknya akan menjadi displin dan patuh terhadap mereka. Selain itu dapat diketahui juga bahwa banyak dari

(64)

mengharuskan para pekerjanya untuk tinggal bersama keluarga majikan menjadi alasannya. Ditambah lagi pihak keluarga yang masih meragukan kemampuan dari anggota keluarganya dalam melaksanakan pekerjaan tersebut; perasaan ragu tersebut muncul disebabkan saat itu banyak dari wanita kelas menegah khususnya yang berusia masih muda yang ingin bekerja sebagai governess

dianggap belum memiliki pengalaman bekerja sebagai governess. Selain itu, dampak penolakan dari keluarga juga membuat banyak dari wanita yang ingin bekerja sebagai seorang governess sempat merasa ragu karena takut membuat keluarganya khawatir dan tidak senang dengan pilihan pekerjaan sebagai

governess.

Melihat dari analisis data-data di atas dapat disimpulkan bahwa cerita novel Agnes Grey adalah merupakan refleksi pengalaman Anne Bronte. Hal tersebut berdasarkan kutipan dari biografi Anne Bronte yang menjelaskan bahwa “Her works reflect her character, and there is much to admire in it”. (F.B.

Pinion, 1975: 236). Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Agnes Grey adalah merupakan karakter dari si pengarang. Berdasarkan hal tersebut penulis mengasumsikan tokoh Agnes Grey adalah sebagai perwakilan dari karakter si pengarang yang muncul dalam novel Agnes Grey untuk menggambarkan kondisi kehidupan governess pada saat itu; yang terbentuknya novel tersebut berdasarkan pengalaman Anne Bronte itu sendiri sebagai seorang

(65)

ini “It is a slight and unpretentious work, based on Anne’s experience as a

governess at Blake Hall and Thorp Green”. (F.B. Pinion, 1975: 236). Berdasarkan data di atas pengalaman Anne Bronte sebagai seorang governess

sangatlah mempengaruhi cerita. Hal ini disebabkan di dalam novel Agnes Grey

sebagian besar menceritakan kehidupan Anne Bronte saat bekerja sebagai seorang governess.

Pengalaman si pengarang yang terdapat pada karya sastranya dan sudah menjadi bagian dari alur cerita tersebut. Terlihat pada kutipan berikut ini “It will be well, in each of her situations, to isolate Anne’s own experience (so far as it is known)

from the experience of Agnes in the novel, sometimes too readily identified with

it”. (Robert Liddell, 1990: 80). Pengalaman si pengarang ikut berperan

mempengaruhi cerita pada novel tersebut. Profesi governess yang sama-sama dijalankan oleh tokoh utama dan si pengarang dapat menjelaskan adanya pengaruh latar belakang si pengarang kepada karya sastranya.

4.2 Penggambaran

Governess Melalui Alur Cerita Pada Novel

Agnes Grey

Agnes Grey diceritakan sebagai seo

Referensi

Dokumen terkait