• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh etika Aristoteles pada etika Ibn Miskawih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh etika Aristoteles pada etika Ibn Miskawih"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PADA

EI':I:I<A :I:BN l'1:I:SI<AWA:I:I-I

OLoEH: AGUS DARl'1AJ:I:

FAI<ULTAS USHULUDD:I:N

(2)

Pada

Etika Ibn Miskawaih

Oleh:

Drs. Agus Darmaji

Disetujui Oleh: Pembimbing

Dr. Z inun Kamal MA

(3)

Penelitian yang ber judul "Pengaruh Etika Aristoteles Pada Etika Ibn Miskawaih" telah dilaksanakan oleh:

Nama NIP

Pangkat/Gol. Fakultas

Drs. Agus Darmaji 150262447

Asisten Ahli (III/b) Ushuluddin

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ushuluddin

NIP. 150 216 997

Jakarta, 5 Februari 1999

Mengesahkan:

AN. REKTOR

Kepala Pusat Penelitian

ada MA

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penelitian tentang "Pengaruh Etika Aristo·teles Pada Etika Ibn Miska-waih" dapat diselesaikan dengan balk.

Laporan penelitian lni merupakan studl perbandingan antara dua filsuf besar di bidang etika. Keduanya merupakan pionir yang memperkenalkan pemikiran etika di Yunani dan di dunia Islam. Dalam uji hipotesis akan dilihat apakah ada kesamaan dan pengaruh antara kedua pemikir tersebut. Karena dalam karya Ibn Miskawaih seringkali merujuk kepada Aris-toteles, maka dengan melihat hal tersebut akan terlihat kesamaan dan pengaruh antara dua filsuf besar tersebut.

Pada kesempatan ini, penulis perlu meyampaikan ucapan terima· kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini, terutama kepada Bapak Dr. Hamdani Anwar, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin, dan Bapak Dr. Dede Rosyada, MA, Kepala Pusat Penelitian, lAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Juga kepada Dr. Zainun Kamal, MA,

(5)

Akhirulkalam, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat, meskipun, tentu saja, masih banyak kekurangan di sana-sini, untuk itu penulis siap menerima kritik dan saran.

Wassalam,

Jakarta, 5 Februari 1999

Penulis

Agus Darmaji

(6)

10 13 13 15 17 18 BAB II

KATA PENGANTAR . . . • . . . i DAFTAR lSI . . . i i i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Ba1akang Masalah 1

B. Ruang Lingkup dan Batasan Pene1itian 2

C. Rumusan Masa1ah dan Hipotesis 2

1. Rumusan Masa1ah 2

2. Hipotesis 2

D. Tinjauan Pustaka 3

E. Tujuan dan Kegunaan Pene1itian 6

F. Metode Penelitian 6

G. Langkah-1angkah Pene1itian 7

H. Waktu dan Biaya Penelitian 8

I. Sistematika Penu1isan 8

ETIKA ARISTOTELES

A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya .

B. Kebahagiaan Sebagai Kebaikan Tertinggi .

1. Kebahagiaan Sebagai Tujuan .

2. Kebahagiaan Menurut Isinya .

C. Ajaran Tentang Keutamaan .

1. Keutamaan Inte1ektua1 .

(7)

2. Keutamaan Moral 20 BAB III: ETIKA IBN MISKAWAIH

A. Riwayat Hidp dan Karya-karyanya 24

B. Ajaran Tentang Keutamaan 25

1. Ajaran Tentang Jalan Tengah 26

2. Menjaga Kesucian Diri 30

3. Keberanian 35

4. Kebijaksanaan 38

5. Keadilan 40

BAB IV KESIMPULAN. . . .. . . 49

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

A. Proposal Penelitian 54

B. Surat Keputusan . . . • . . . 61

(8)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam khasanah filsafat Islam, ada beberapa filosof yang membicarakan etika sebagai salah satu bidang kajian.

Salah satu filosof yang mengkaji etika secara sistematik adalah Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-420 H/941-1030 M) atau dikenal dengan nama Ibn Miskawaih. Karyanya yang berju-dul Tahzib Al-Akhlaq, menurut para ahli, merupakan buku rujukan pertama tentang etika Islam.

Seperti telah diketahui bahwa dalam sej arah pemikiran filsafat Islam pengaruh pemikiran filsafat Yunani sangat besar. Pemikir-pemikir besar Yunani seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, serta Plotinus, Stoa, Epikuros sangat berpen-garuh dalam pemikiran filsafat Islam. Demikian juga dalam bidang etika. Karya Ibn Miskawaih dalam Tahzib al-Akhlaq, menurut beberapa penulis, sebagian besar dari isi buku tersebut merupakan pendapat Aristoteles dalam buku Nico-machean Ethics yang tentu saja kemudian dimodifikasi dengan pemikiran Islam.

(9)

pada bagaian mana pengaruh pemikiran Aristoteles sangat dominan dalam pemikiran etika Ibn Miskawaih.

B. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pemikiran etika dari Aristoteles dan Ibn Miskawaih.

Rujukan utama yang digunakan adalah karya kedua filosof ter-sebut yaitu Tahzib al-Akhlaq karya Ibn Miskawaih dan

Nico-machean Ethics karya Aristoteles. Penekanan penelitian lebih

kepada karya yang pertama ketimbang pada buku atau karya yang kedua.

c. Rumusan Masalah dan Hipotesis 1. Rumusan Masalah

Masalah yang diajukan dalam penelitian ini dapat diru-muskan sebagai berikut:

Adakah kesamaan pemikiran etika Aristoteles dan pemikiran etika Ibn Miskawaih?

2. Hipotesis

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan bacaan-bacaan yang ada, maka hipotesis yang diajukan adalah:

(10)

D. Tinjauan Pus taka

Tujuan dari Tahzib al-Akhlaq, seperti dijelaskan dalam pendahuluan, adalah untuk menanamkan dalam diri kita kuali-tas-kualitas moral dan melaksanakannya dalam tindakan-tinda-kan utama seeara spontan. Dalam melaksanakan yang demikian itu, pertama-tama harus diselidiki sifat, kesempurnaan, daya dan tujuan jiwa, seperti yang dikaji dalam psikologi.

Menurut Abdurrahman Badawi, dalam buku Para Filosof Muslim, suntingan M.M. Syarif, menyatakan bahwa mulai seten-gah sampai akhir dari bab pertama Tahzib al-Akhlaq, pemikir-an Miskawaih terpengaruh Aristoteles ketika ia menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama. Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manu-sia dan asal-usulnya. Ia menyatakan pendapat Aristoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa adanya manusia tergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan tergan-tung kepada kemauan sendiri.

(11)

sa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Namun demikian semua itu dapat dilihat bentuknya kembali dalam Tahzib al-Akhlaq-nya Miskawaih (M.M. Syarif 1994: 92).

Mengikuti Aristoteles, Miskawaih menyatakan bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi ini mungkin berasal dari Eudoxus yang disaj ikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih menyata-kan bahwa apa yang berguna untuk mencapai tujuan adalah baik, misalnya sarana-sarana atau tujuan itu sendiri dapat disebut baik. Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif, yaitu semacam kebaikan yang tidak mempunyai hakekat tersendiri dan berdiri sendiri. Miskawaih, sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan keba-hagiaan secara lebih terinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry.

Miskawaih menyatakan bahwa kita harus menolak ajaran yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dica-pai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Tetapi sebagai seorang religius, ia lebih memilih akhirat. Untuk menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel terjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang ber judul Keutamaan Ruh yang di tUlis

oleh Aristoteles.

(12)

penje-kernbali rnengikuti bag ian-bag ian dalarn Nicomachean Ethics-nya

Aristoteles. Secara urn urn , tulisan Miskawaih tentang keadilan bersifat Aristoteles, tetapi rnenurut Miskawaih kebajikan ini

rnerupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan. Pengetahuan

tentang cara atau batas setiap persoalan rnerupakan prasyarat bagi keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpen-dapat bahwa keadilan rnerupakan fungsi kehendak ilahiah dan bukan sekedar pernikiran rasional dan sikap kehatihatian.

Pada bab kelirna, Miskawaih rnernbahas tentang

persahaba-tan dan cinta. Cinta bukanlah perluasan dari cinta diri,

sebagairnana dikernukakan Aristoteles, tetapi suatu batasan dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Miskawaih rnernan-dang rasa cinta (mahabbah) sebagai kernarnpuan fitrah rnanusia untuk bersekutu dengan rnanusia secara urnurn, tetapi rnernbatasi

persahabatan (shadaqah) pada beberapa indi vidu, dengan

rnendasarkan pada pertirnbangan keuntungan, kesenangan at au kebaikan sebagairnana dijelaskan oleh Aristoteles. Miskawaih

rnenyebutkan secara spesifik cinta rnanusia kepada Tuhan,

cinta rnurid kepada guru, dan cinta anak kepada orang tua

secara bertingkat-tingkat. Ia rnenyirnpulkan bahwa keadilan

dapat terwujud rnelalui rasa takut dan kekuatan, sedangkan

(13)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini secara umum adalah: 1. Untuk menjelaskan pemikiran etika pada masa klasik

atau Yunani, terutama pemikiran Aristote1es dan untuk menjelaskan pemikiran etika dalam filsafat Islam, terutama etika Ibn Miskawaih.

2. Untuk mencari sejauhmana pengaruh pemikiran etika Aristoteles pada pemikiran etika Ibn Miskawaih.

3. Diharapkan setelah adanya penelitian ini akan dilan-jutkan dan dilakukan penelitian komparasi pada bidang-bidang lain dalam filsafat Islam, terutama

dalam kaitannya dengan filsafat Yunani.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik komunikasi melalui anal isis dokumentasi (komunikasi tertulis), yaitu membandingkan buku Tahzib al-Akhlaq dan

Nicomachea Ethics. Pene-litian kepustakaan ini lebih

mene-kankan pada buku yang pertama dengan melihat pada setiap bab. Kemudian melihat sejauhmana pengaruh buku yang kedua pada buku yang pertama.

(14)

sekar-tian ini adalah karya lang sung dari Aristoteles, tentu saja yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

G. Langkah-langkah Penelitian

Untuk pemecahan masalah dan penguj ian hipotesis sebagaimana tercantum di atas, maka penelitian ini akan menempuh prosedur sebagai berikut:

1. Studi kelayakan

Sebagai langkah awal, studi kelayakan dilakukan

untuk menentukan tingkat kemungkinan penelitian.

Studi awal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dari berbagai sumber yang memungkinkan.

2. Penyusunan proposal

Sete1ah diperkirakan layak untuk diteliti, maka

proposal disusun dan diajukan sebagai bahan peneli-tian.

3. Penyusunan rancangan operasional

Langkah ini ditempuh untuk lebih memahami dan men-garahkan jalur opersional, sehingga penelitian 'yang akan dilakukan menjadi terarah dan terpadu sesuai dengan langkah yang ditetapkan.

4. Pengumpulan bahan

(15)

mengum-5. Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan informasi dari pen-gumpulan bahan. Kegiatan ini ditempuh dengan cara melakukan komparasi kedua buku rujukan utama terse-but, sehingga pengaruh antara kedua buku tersebut dapat dilihat.

6. Kesimpulan

Langkah ini akan memberikan gambaran jawaban at as masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, sehingga apakah penelitian ini mendukung hipotesis atau tidak dapat diketahui dengan pasti.

7. Laporan

Sebagai tahap akhir dari suatu kegiatan penelitian. penyusunan laporan penelitian diperlukan untuk

meng-informasikan hasil penelitian dan juga pertanggung-jawaban peneliti.

H. Waktu dan Biaya Penelitian

Penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu kurang lebih empat bulan.

Biaya penelitian ini dibebankan kepada anggaran penda-patan dan belanja lAIN Jakarta (DURK).

I. Sistematika Penulisan

(16)

Bab Pendahuluan rneliputi uraian tantang latar belakang rnasalah, ruang lingkup dan batasan penelitian, rurnusan

rnasa-lah dan hipotesis, tujuan penelitian, rnetode penelitian,

langkah-langkah penelitian, dan sisternatika penulisan lapor-an penelitilapor-an.

Bab Kedua rnenguraikan tentang pernikiran filsafat Aris-toteles, terutarna pernik iran etikanya.

Bab Ketiga rnernbandingkan pernikiran kedua filosof terse-but. Dilihat bagairnana dan dirnana pengaruh diantara kedua

filosof tersebut terutarna pernikiran di bidang etikanya.

Bab Penutup rnerupakan bagian kajian terakhir yang

(17)

BAB II

ETIKA ARISTOTELES

A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya

Aristoteles lahir di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan samapai tahun 347 menjadi murid Plato. Pada tahun 342 ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung Muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, juga disebt sekolah ParipatetiJ" yang sebenarnya adalah pus at penelitian ilmiah. Pada tahun 323, sesudah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena karen a ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal pada tahun 322 SM.

(18)

merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manu-sia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan i tu tidak perlu menerima alam ide-ide abadi. Aristoteles menjelaskan dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi. untuk meng-angkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Dengan demikian pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata-inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu khusus.

Aristoteles juga menolak paham Plato tentang ide Yang Baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dalam kontemplasi atau penyatuan dengan ide yang baik itu. Menurut Aris-toteles. paham Yang Baik itu sedikit pun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja denganbaik, atua seorang negarawan untuk mengetahui bagai-manaia harus memimpin negaranya. Jadi tidak ada gunanya. Apa yang membuat manusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri. 1 .

Aristoteles membagi filsafat ke dalam filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kata teoritis berasal dari kat a Yunani theoria, yang berarti memandang, mengkontemplasikan. Theoria merupakan i1mu yang memandang. mencoba memahami dan mere-fleksikart asal-usul, keteraturan dan hukum. serta

(19)

bangan dari segala apa yang ada. Filsafat praktis sebenarnya sama dengan etika dan filsafat politik. Perbedaannya hanya kalau filsafat memusatkan perhatiannya pada tatanan komuni-tas dan negara, etika lebih mempertanyakan bagaimana kehidu-pan individual harus diwujudkan.

Pendasaran etika sebagai bidang penelitian tersendiri adalah karya Aristoteles. Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif. Ia juga mengu-tarakan status teoritis ilmu baru itu serta membahas metode yang sesuai dengan ciri khasnya. Oleh karena itu, Aris-toteles dianggap sebagai filsuf moral pert am a dalam arti yang sebenarnya. Ia adalah pendiri etika sebagai ilmu atau

cabang filsafat tersendiri.

Ada tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika: yang pertama adalah Ethika Eudemia, yang kedua Nicomachean Ethics, dan yang ketiga Politike. Karya yang pertama tidak banyak mendapat perhatian karena dianggap belum merupakan ungkapan pikiran matang Aristoteles dan juga karena kurang jelas apakah ditulis oleh Aristoteles sendiri. 2 . Adapun buku Politike merupakan perpanjangan buku Nicomachean Ethics yang lebih memfokuskan pada masalah kenegaraan. Dalam

pene-litian ini lebih menekankan pada buku Nicomachean Ethics.

(20)

B. Kebahagiaan sebagai Kebaikan Tertinggi

Dalam buku Nicomachean Ethics, Aristoteles merancang suatu visi baru tentang peruntukan dan kemungkinan ultim manusia. Aristoteles beranjak dari pengandaian bahwa seluruh kegiatan manusia terarah pada sesuatu yang baik sebagai hal yang dituju oleh segala-galanya. Kebaikan tertinggi yang dituju oleh manusia adalah kebahagiaan. Kata yang kurang jelas ini tentu harus memperoleh suatu isi yang tertentu, karena apa saja dapat kita sebut kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati dan sempurna oleh Aristoteles dicari dalam napa yang membuat kehidupan pant as dituju pad a dirinya sendir-i dan tidak kekurangan suatu apa pun".3. Dalam masalah keba-hagiaan di sini akan dibahas kebakeba-hagiaan sebagai tujuan dan kebahagiaan menurut isinya.

1. Kebahagiaan Sebagai Tujuan

Dalam semua perbuatannya rnanusia mengejar suatu tujuan. 1a selalu mencari sesuatu yang baik baginya. Tetapi ada

banyak macarn aktivitas manusia yang terarah kepada rupa-rupa tujuan. Aktivitas seorang dokter misalnya mengarah keseha-tan. Kepandaian seorang pelaut berusaha supaya kapalnya tiba dengan selamat di pelabuhan. Pedagang mencari bertambanya keuntungan. Apalagi aktivitas yang sarna seringkali mengejar beberapa tujuan yang tergantung yang satu pada yang lain.

3. P.A Van der Weij, 1988, Filsllf-filsllf Resar Tentang Nanllsia,

(21)

Seorang dokter dapat memberi pasiennya obat supaya ia tidur nyenyak; dan tidur itu dimaksudkan supaya kesehatan dapat pulih. Dengan demikian satu tujuan demi tujuan lain. Aris-toteles mengajukan pertanyaan, apakah kiranya terdapat suatu tujuan tertinggi dan terakhir yang dikejar hanya karena dirinya sendiri dan bukan demi suatu tujuan lain.

Menurut Aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebaha-giaan (eudaimonia). Kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia. Mengapa? Di satu pihak, karena apabila sudah baha-gia, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Di lain pihak, kalau orang sudah bahagia, tidak masuk akal jika masih mencari sesuatu yang lain lagi. Kebahagiaan itlah yang baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu nilai yang lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri. 4.

(22)

yang boleh disebut matang. 5 .

2. Kebahagiaan Menurut Isinya

Belum cukuplah jika dikatakan bahwa kebahagiaan merupa-kan tujuan tertinggi dalam hidup manusia. Perkataan ini perlu dijelaskan lagi, karena banyak orang menganggap keba-hagiaan dengan berbagai macam cara. Yang satu berpendapat bahwa kesehatan adlah kebahagiaan, yang lain menyetarakan kebahagiaan dengan kekayaan, yang lain lagi menyamakan kebahagiaan dengan penghormatan. Boleh jadi juga bahwa orang yang sama memandang kebahagiaan dengan cara yang berlainan dalam berbagai periode hidupnya. Oleh sebab itu, Aristoteles bertanya apakah sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah ォ・「。ィ。セ

giaan menurut isinya? Yang pasti -demikian jawaban Aris-toteles- bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka, karena aktus mempunyai prioritas terhadap potensi. Suatu makhluk mendapat kesempurnaannya bukan karen a potensi begitu saja, melainkan karean potensi sudah mencapai aktualisasinya. Dan apakah kesempurnaan manusia? Kita harus mengatakan bahwa kesempur-naan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia saja, yaitu rasio. Itulah sebabnya kebahagiaan manusia sarna saja dengan menjalankan aktivitas yang spesifik baginya, yaitu pemikiran. Bagi

(23)

Yogyakar-manusia, kebahagiaan ialah memandang kebenaran.

Tetapi di sini sesuatu yang hakiki harus ditambah lagi. Agar manusia sungguh-sungguh bahagia, tidak cUkuP hanya jika

aktivitas tertinggi manusia dijalankan dengan sembarang cara saja. Manusia hanya disebut bahagia, jika ia menjalankan akti vi tasnya dengan baik. Supaya manusia bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya "menurut keutamaan". Hanya pemikir-an yang disertai dengan keutamaan (arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menyangkut rasia, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan saja makhluk intelek-tual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-pera-saan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu dan lain sebagainya. Dleh sebab itu ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan

intelektual dan keutamaan moral.

Aristoteles mencatat pula bahwa pemikiran yang diser-tai kei.ltamaan belum boleh disebut kebahagiaan kalau hanya berlangsung dalam beberapa detik atau sekali-sekali saja. Manusia baru boleh disebut bahagia, jika ia dapat menjalan-kan pemikiran yang disertai keutamaan dalam jangka waktu yang cUkup panjang. Dengan perkataan lain, kebahagiaan ada-lah keadaan manusia yang bersifat stabil.

(24)

kesenangan (pleasure) atau rasa bahagia yang subyektif. Tentu saja, kebahagiaan tidak dapat disamakan dengan kese-nangan; Aristo·teles menolak hedonisme. Tetapi ia mengakui juga bahwa kebahagiaan belum komplit, kalau tidak disertai dengan kesenangan. Selain dari kesenangan, yang merupakan suatu unsur batiniah, mesti ada juga beberapa unsur lahir-iah, supaya kebahagiaan betul--betul ter j amin, seperti mis-alnya: kesehatan, kesejahteraan ekonomi, sahabat-sahabat, hidup berkeluarga, penghormatan dan lain sebagainya. Manusia yang mengalami kekurangan-kekurangan dalam bidang itu, sukar dapat disebut bahagia. Tetapi sekali lagi harus ditekankan, bahwa kesenangan dan unsur-unsur lahiriah tidak termasuk hakekat kebahagiaan sendiri. Semuanya i tu hanya merupakan syarat supaya kebahagiaan dapat direalisasikan. 6 .

c.

Ajaran Tentang Keutamaan
(25)

keuta-maan. Sebuah contoh dapat menjelaskan maksudnya. Seorang anak misalnya dilarang oleh orang tuanya jangan mencuri barang kepunyaan orang lain. Jika dia berbuat sesuai dengan larangan tersebut, maka belum dapat dikatakan bahwa dia berlaku berdasarkan keutamaan. Tetapi mungkin sekali dengan demikian suatu sikap tetap akan terbentuk dalam hati si anak, sehingga ia tidak mencuri lagi justru karena ia yakin bahwa itu tidak baik. Itulah yang dimaksud oleh Aristoteles. Hidup menurut keutamaan (obyektif) dapat menyebabkan keuta-maan pribadi, sehingga untuk selanjutnya perbuatan-perbuatan akan dilakukan karen a keutamaan.

Biarpun Aristoteles menolak pendirian yang menyamakan keutamaan dengan pengetahuan, namun ia mengakui juga bahwa rasio mempunyai peranan terpenting dalam membentuk keuta-maan-keutamaan. Setiap keutamaan berasal dari rasio. Tetapi ada dua j enis keutamaan. Keutamaan dapat menyempurnakan rasio sendiri dan keutamaan dapat mengatur watak manusia (perasaan-perasaan, nafsu-nafsu, dan sebagainya). Jenis per-tama disebut keutamaan intelektual, sedangkan jenis kedua dinamakan keutamaan moral.

|GセQQ

J.1i ,

1. Keutamaan Intelektual

(26)

teori-orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu. Dalam arti ini rasio boleh dinamakan rasio prak-tis. Oleh karen a itu, Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang menyempurnakan ras io: ada kebij aksanaan teoritis dan ada kebijaksanaan praktis.

a. Kebijaksanaan teoritis

Aristoteles sendiri memilih kat a sophia untuk menunjuk-kan kebijaksanaan teoritis. Sebagaimana halnya dengan tiap-tiap keutamaan, kebijaksanaan teoritis pun merupakan suatu sikap tetap. Sekali-sekali saja mengenal kebenaran belum boleh dianggap sebagai keutamaan. Sudah nyata bah\.la hanya sedikit orang dapat memiliki kebijaksanaan teoritis, yaitu orang-orang terpelajar. Dan jalan yang menuju ke kebijaksa-naan teoritis ini adalah suatu jalan panjang yang meliputi seluruh pendidikan ilmiah. 7 .

b. Kebijaksanaan praktis

Aristoteles menggunakan kat a phronesis untuk menunjuk-kan kebijaksanaan praktis. Skolastik Abad Pertengahan telah menerjemahkan istilah ini dengan kat a Latin "prudentia" (bahasa Inggris: "prudence"). Kebijaksanaan praktis adalah

sikap ji\.la yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana dari barang-barang konkrit boleh dianggap baik untuk

(27)

hidupnya. Harus ditekaknkan bahwa kebijaksanaan praktis ini tidak lepas dari keutamaan moral. Tiap-tiap orang yang hidup menurut keutamaan, mesti memiliki kebijaksanaan praktis juga. Jika dalam analisisnya mengenai keutamaan moral, Aristoteles menekankan bahwa jalan tengah antara dua ekstrim

harus ditentukan "sebagaimana seorang yang bijaksana dalam bidang praktis akan menentukan pertengahan itu", maka ia maksudkan bahwa kebijaksanaan praktis harus menunjukkan jalan tengah. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan kebijaksanaan praktis.

2. Keutamaan Moral

Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Misalnya, dalam hal membelanjakan uang ada kemungkinan dua sikap yang ek-strem: di satu pihak orang dapat mengeluarkan uang terlalu banyak dan di lain pihak orang dapat juga mengeluarkan uang terlalu kurang. Seorang yang mengeluarkan terlalu banyak disebut pemboros, sedangkan orang yang terlalu hemat membuka dompetnya disebut kikir. Dua sikap ekstrem tersebut masing-masing disebut keborosan dan kekikiran. Keutamaan dalam bidang membelanjakan uang dapat memilih jalan tengah antara dua eks trem it u dan ini lah keutamaan yang ki ta namakan "kemurahan hati". Contoh lain, dalam bidang percaya diri

(28)

-akan dirinya dan mereka dapat disebut gegabah. Ada pula orang yang terlampau kurang percaya diri dan mereka dapat disebut pengecut. Gleh karen a itu dalam hal percaya diri terdapat dua sikap ekstrem yang masing-masing disebut kege-gabahan dan pengecut. Di sini juga ada kemungkinan suatu keutamaan yang memilih jalan tengah antara kedua ekstrem tadi, yaitu "keberanian". Dengan demikian setiap keutamaan dapat menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berla-wanan. Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebi-han dan kekurangan. 8 .

Menurut Aristoteles keutamaan merupakan suatu sikap. Supaya kita betul-betul mempunyai keutamaan, belum cukup

jika hanya satu kali at au beberapa kali kita memilih jalan tengah antara dua ekstrem. Dan juga jika hanya kebetulan kita memilih jalan tengah, kita belum mempunyai keutamaan. Bagi Aristoteles, keutamaan baru merupakan keutamaan yang

sungguh-sungguh, jika kit a mempunyai sikap yang tetap untuk memilih jalan tengah tersebut.

(29)

mempertimbangkan lemah, misalnya, barangkali tidak melebihi sifat pengecut kalau dilakukan oleh seorang yang kuat betul. Akibatnya, jalan tengah tidak dapat ditentukan pada umumnya, tetapi harus dicocokkan dengan orang masing-masing.

Apakah terdapat suatu norma atau kaidah untuk menentu-kan jalan tengah? Aristoteles menjawab bahwa rasio menetap-kan pertengahan itu dan rasio harus melakumenetap-kannya "sebagaima-na seorang yang bijaksa"sebagaima-na dalam bidang praktis akan menentu-kan pertengahan itu".9. Aristoteles memaksudkan bahwa hidup menurut keutamaan tidak merupakan suatu persoalan teoritis. Belum tentu bahwa seorang terpelajar mampu untuk hidup menurut keutamaan moral. Tetapi seorang yang bijaksana dalam bidang praksis moral akan mampu untuk menentukan pertengahan antara kekurangan dan kelebihan, dengan

keadaan konkrit.

(30)

tengah antara sikap gegabah dan takut. Jadi. keutamaan-keu-tamaan dipahami sebagai sikap seimbang dan justru karena itu menunjukkan kematangan dan kekuatan perkembangan pribadi. 10 . Dalam buku X dan terakhir dari Nicomachean Ethics Aristoteles kembali lagi pada unsur yang terpenting dalam kebahagiaan manusia. yaitu memandang kebenaran. Theoria (memandang kebenaran) aktivitas manusia yang tertinggi. Jadi. hidup yang bahagia ialah hidup sebagai filsuf. Dan karena rasio merupakan suatu unsur ilahi dalam diri manusia, harus dikatakan pula bahwa menjalankan akt:ivitas rasio adalah suatu hidup ilahi .11. Karenanya filsuf sedapat

mungkin akan memelihara hidup ilahi itu dengan mengabaikan hal-hal yang manusiawi belaka.

10. Franz Magnis. Gp. Cit .• h. 39.

(31)

dan Ibn Sina. 1

Ibn Miskawaih juga dikena1 sebagai sejarawan besar kemasyhurannya me1ebihi a1-Thabari (w. 310/923). Selain itu ia juga dikenal sebagai dokter, penyair, dan ahli bahasa. Keahliannya dalam berbagai bidang tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulis berupa buku dan atau artikel. Jumlah buku dan artikel yang dihasilkannya ada 41 buah. Dalam bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpe-ngaruh adalah Tahzib al-Akhlaq. Karya-karya yang lain ten-tang etika, seperti dituturkan dalam beberapa sumber, antara lain Al-Fauz Al-Akbar, Al-Faus Al-Ashghar, Tartib al-Sa'adat, Kitab Adab Al-'Arab wa Al-Furs, dan surat-surat pendek untuk edisi hampir semua karyanya yaitu Fi Al-Lazzat wa Al-Alam, Fi Al-Nafs wa Al- 'Aql, sejumlah teks filosofis lainnya maupun surat \"as iatnya sendiri, dan Risalah fi

Al-'Adl. Perlu ditambahkan pada kategori ini karya-karya ter-tentu yang digambarkan dalam berbagai sumber seperti antolo-gi-antologi tentang etika at au puisi: Uns Al-Farid, Al-Mustawfi, dan Al-Siyar.

B. Ajaran tentang Keutamaan

Sebelum membahas tentang keutamaan-keutamaan moral

1. Lihat antara lain Ibn AI-Khatib, "al-Muqaddimah", dalam Tahzih

al-Akhlaq wa Tathhir al-'A 'raq, (Beirut: Dar-AI-Kutub AI-'Ilmiyyah,

(32)

Harraso-menurut Ibn Miskawaih sebaiknya dibahas dulu apa yang dimak-sud dengan ajaran "jalan tengah", karena ia mendasarkan teori keutamaan moralnya pada "pertengahan" (al-wasath).

1. Ajaran Tentang Jalan Tengah

Ajaran tentang jalan tengah (al-wasath) yang dalam

bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrine of the

Mean atau The Golden Mean ternyata sudah dikenal para filsuf

sebelum Ibn Miskawaih. Mencius (551-479 8M), seorang filsuf

Cina, misalnya, telah menulis buku tentang ajaran jalan

tengah. 2 Filsuf Yunani seperti Plato, Aris·toteles, dan

Filsuf Muslim seperti al-Kindi dan Ibn 8ina juga didapati

memiliki ajaran tentang jalan tengah.

Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian jalan

tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,

harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antar dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan

moral secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara

ekstrem kelebihan dan eJ{trem kekurangan masing-masing j iwa manus ia. Jiwa manusia mempunyai tiga fakultas, yai tu: j iwa

al-bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyat, dan jiwa al-nathiqat.

Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyyat

adalah menjaga kesucian diri (al-' iffat/temperance). Posisi

(33)

tengah j iwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja' at/-courage). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksa-naan (al-hikmat/wisdom). Adapun gabungan dari pos isi tengah at au keutamaan semua j iwa tersebut adalah keadilan (al-'adalat/justice). Rincian masing-masing jalan tengah ini akan ditempatkan sesudah pembahasan ini.

Keempat keutamaan moral tersebut merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya adalah cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Jenis dan pemahamannya pun dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. 3

Menurut Ibn Miskawaih, setiap keutamaan mempunyai dua ekstrem. Yang tengah adalah terpuji dan yang ektrem adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkan di sini adalah suatu standar at au prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah· yang sebenarnya (al-wasath al-haqiqi) adalah satu, yaitu keutamaan (al-fadilat). Yang satu ini disebut juga garis lurus (al-khathth al-mustaqim). Karena po ok keutamaan ada empat yaitu menahan diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan, maka yang tercela intinya ada delapan. Kedelapan sifat tercela tersebut antara lain: 1. nekad (al-tahawwur/-recklessness), 2. pengecut (al-jubn/cowardice) , 3. rakus (al-syarah/profigacy) , 4. dingin hati (al-khumud/frigidity) , 5. kelancangan (al-safah/impudence) , 6. kebodohan

(al-balah-3. Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq, diedit Ibn

(34)

/stupidi ty), 7. aniaya (a1- jaur/a1-zhu1m/tyranny) , dan 8. teraniaya (a1-muhanat/a1-inzhi1am/servi1ity).4

Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang moral

bukan merupakan proporsi ilmu hitung (seperti 10 itu banyak,

2 itu sedikit sednagkan 6 adalah tengahnya). Karena itu ia

berpendapat bahwa posisi tengah ini sangat relatif. 5 Meski-pun Ibn Miskawaih mengakui adanya sifat relatif bagi posisi

tengah, tetapi ia tidak ingin menjadikan ukuran tengah

tersebut berasal dari orang per-orang tetapi berupa kaidah

umum yang berlaku bagi setiap orang. 6 Apabila sifat

perten-gahan itu disebut sifat yang baik, tentu timbul pertanyaan

bagaimana menentukan sikap pertengahan secara benar? Kalau

Aristoteles berpendapat bahwa alat untuk mengukur sikap

pertengahan i tu hanya dengan aka1 7 , maka Ibn Miskawaih

berpendapat bahwa alat yang dijadikan ukuran untuk

mempero-leh sikap pertengahan adalah akal dan syari'at. Di sini

tampak adanya perbedaan yang mencolok antara Ibn Miskawaih

dan Aristoteles di bidang alat pengukuran moral.

Dalam menguraikan sikaptengah dalam moral (a1-wasatl]

f i a1-akh1aq) ini, Ibn Miskawaih tidak membawa satu ayat pun

4. Ibid., h. 164.

5. Aristoteles, Nicomachean Ethics, diedit oleh Jonathan Barnes, da1am The Complete Works of Aristotle, (Oxford: Princeton University Press), Vol. III, h. 1747.

(35)

atau Hadits. Namun demikian, spirit ajaran jalan tengah ini adalah islami karena memang banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. 8

Ajaran tentang jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai ajaran yang mengandung arti dan nuansa dinamis. Letak dinamikanya terlihat pada tarik menarik antara kebutu-han, peluang, kemampuan, dan efektivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam dinamika, mengikuti gerak jaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidi-kan, ekonomi merupakan pemicu bagi gerak jaman. Ukuran jalan tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan maupun ekstrem kelebihannya. Ukuran tingkat kese-derhanaan di bidang mater i misalnya, pada masyarakat kota dan desa tidak dapat disamakan. Ukuran tingkat kesederhanaan untuk negara maju berbeda dengan negara berkembang, dan seterusnya.

(36)

Hanya saja istilah "sangat mungkin" yang diajukan Ibn

Miska-waih dapat dipahami dalam bahasa lain sebagai rasa pesimis

walau barangkali ia tidak bermaksud demikian.

Dengan demikian yang dimaksud dengan posisi tengah

adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-fadilatl. Apabila seseorang senantiasa

berupaya menempuh posisi pertengahan dalam segala situasi

maka sifat-sifat utarna, yaitu kesucian diri, keberanian,

kebijaksanaan, dan keadilan akan dapat dihasilkan. Dari

uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ajaran jalan tengah tidak hanya merniliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, ajaran tersebut dapat terus menerus berlaku

dengan tantangan jamannya tanpa rnenghilangkan nilai-nilai

esensial dari pokok keutamaan moral.

Seperti telah dijanjikan di depan, berikut ini rincian pokok ajaran keutamaan moral menurut Ibn Miskawaih.

2. Menjaga Kesucian Diri

Ajaran keutarnaan moral yang pertama adalah menjaga

kesucian diri (al-'iffat/temperance). Al-'iffat merupakan

(37)

Sifat ini merupakan pertengahan antara rakus

(a1-syarah/pro-figacy) dengan dingin hati (khumud a1-syahwat/frigidity).

Yang dimaksud dengan a1-syarah adalah tenggelam dalam kenik-matan dan melampaui batas. Adapun yang dimaksud dengan

khumud a1-syahwat adalah tidak mau berusaha untuk memperoleh

kenikmatan yang baik sebatas yang diperlukan oleh tubuh, sesuai dengan yang diizinkan syari'at dan akal.

Tampaknya Ibn Miskawaih mengambil pengertian a1-' iffat tersebut dari uraian Aristoteles. Akan tetapi seperti halnya ukuran untuk keberanian, Aristoteles sendiri tidak menyebut syari'at sebagai landasan untuk memperoleh posisi tengah antara rakus dan dingin hati. Untuk menemukan posisi tengah tersebut, Aristoteles hanya menyebut akal. Di sini terlihat perbedaan pokok antara Aristoteles dan Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih memasukkan syari'at dalam filsafat. Di sini pula letak salah satu islamisasi filsafat Yunani oleh para filsuf muslim.

Aristoteles juga berpendapat bahwa a1-' iffat ini hanya berkaitan dengan kesenangan jasmani (panca indera), terutama indera peraba (touch) dan indera perasa (taste). Pada da-sarnya, obyek kesenangan itu hanya bertumpu pada indera peraba seperti makan-minum dan kegiatan seksual. 10 Barangka-Ii dasar pertimbangannya adalah makan-minum dan kegiatan seksual merupakan sebab utama munculnya nafsu jahat yang ada

(38)

pada diri rnanusia. Sernentara itu dalarn pernik iran Ibn Miska-waih tidak memberikan batasan indera mana yang paling

dorni-nan bagi obyek pernbicaraan al-' iffat. Akan tetapi kalau

diperhatikan batasan al-'iffat yang dikemukakan di atas.

maka titik berat sasaran pembahasannya juga menyangkut

kesenangan fisiko

Jiwa al-bahimiyyat (al-nafs al-bahimiyyat) yang menjadi

pangkal terciptanya al-'iffat, menjadi dominan pada diri

manusia dibanding al-nafs yang lain. Di antara daya yang

rnuncul pertarna kali dar i al-nafs al-bahimiyyat ini adalah daya makan -minum. Karena makan -minum in i menj adi faktor

dominan bagi kelangsungan hidup mal,a Ibn Miskawaih tampak

memberikan perhatian utama dalam masalah ini. Menurutnya.

pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan bagi makan-minum adalah untuk kesehatan tubuh. menghindari sakitnya haus dan lapar. セ・イエ。 mencegah penyakit. bukan karen a kenikmatan/ke-lezatan semata. Oleh karena itu, latihan terus menerus perlu

dilakukan dalam menentukan kuantitas. kualitas, dan jenis

makanan dan minuman. agar tidak membawa efek buruk lagi

(39)

Pada fase awal ini fungsi syari'at harus lebih diutama-kan oleh orang tua dalam menentudiutama-kan sikap pertengahan anak-anaknya karena semakin lama pikiran mereka dapat mengetahui alasannya .12 Pelajaran yang pantas di tarik dari uraian ini adalah ternyata bahwa Ibn Miskawaih menempatkan syari'at sebagai unsur dominan bagi terciptanya jalan tengah dari a1-nafs a1-bahimiyyat. Penerapan ssyari'at untuk tingkatan anak

lebih bersifat doktriner. Karena itu, unsur taqlid terhadap syari'at pada usia anak masih ditekankan.

(40)

8. A1-intizham (kondisi jiwa yang menilai sesuatu secara tepat dan mengaturnya dengan cara yang sangat baik) , 9. Husn a1-hady (senang menghias diri dengan yang baik), 10. A1-musa1amat (kemampuan diri untuk meninggalkan sesuatu yang tidak baik) , 11. A1-waqar (ketenangan jiwa krtika tuntutan nafsu mendesak), 12. A1-wara' lkontinuitas dalam berbuat baik).

Adapun cabang a1-sakha adalah: a1-karam (mudah mender-makan harta yang banyak untuk kepentingan yang baik) , a1-isar lmengurangi kebutuhan pribadi sehingga mampu memberikan sisanya kepada orang lain yang berhak), a1-nub1 (kepuasan jiwa karena melakukan pekerjaan yang besar), a1-muwasat (menolong orang lain dengan harta dan makanan), a1-samahat lmemberikan sebagian di luar yang wajib), dan a1-musamahat (membatalkan sebagian yang wajib atas dasar kemauan dan pilihan) .13

Apabila cabang-cabang a1-'iffat diamati secara cermat, maka dapat dipahami bahwa keselamatan spiritual individu

(41)

se-bagai keutamaan sosia1. Sementara itu, Ibn Miskawaih meski-pun tidak dikena1 sebagai sufi tetapi agaknya ia juga tidak dapat men01ak kenyataanbahwa usaha memperoleh keselamatan pribadi hakekatnya juga termasuk salah satu ciri kesufian. 14 Pada sisi lain lagi, dominasi cabang al-'iffat yang berkaitan dengan keselamatan spiritual individu di atas, merupakan bukti bahwa perjuangan melawan nafsu pribadi 1ebih banyak, lebih rumit, dan lebih berat dibanding dengan

per-juangan di medan perang. Musuh yang dihadapi dalam medan pertempuran relatif lebih mudah dipersepsi oleh indera,

sementara musuh yang per] u diperangi dalam pribadi terasa lebih pelik.

3. Keberanian

Keberanian merupakan keutamaan jiwa al-ghadabiyyat. Ke-utamaan ini muncul pada manusia sewaktu nafsunya dibimbing oleh jiwa al-nathiqat. Artinya, ia tidak takutterhadap hal-hal yang besar jika pelaksanaannya membawa kebaikan dan mempertahankannya merupakan hal yang terpuj i .15 Sifat ini merupakan pertengahan antara pengecut (al-jubn) dengan nekad (al-tahawwur). Al- jubn adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakuti. Karena itu a1- jubn digolongkan sebagai ekstrem kekurangan. Adapun a1-tahawwur adalah berani

(42)

terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini. Oleh sebab itu, al-talJawwur digolongkan sebagai ekstrem kelebihan.

Karena sikap al-jubn dan al-tahawwur sumber dan penye-babnya adalah al-nafs al-ghadabiyyat, maka Ibn Miskawaih berpendapat bahwa keduanya sangat terkait dengan sifat ma-rah. Walaupun marah itu digolongkan sebagai penyakit rohani yang paling serius tetapi agaknya Ibn Miskawaih juga berpen-dapat bahwa marah itu sendiri tidak tercela. 16 Hal ini berpen-dapat dimak1umi karena marah tersebut dapat dijadikan alat untuk menolak sesuatu yang merusak jika dilakukan dengan tidak ber1ebihan atau kekurangan. Karena itu Ibn Miskawaih mene-gaskan bahwa yang disebut pember ani itu setidaknya ditandai oleh enam hal: 1. dalam soal kebaikan, ia memandang ringan terhadap sesuatu yang hakekatnya berat, 2. ia sabar terhadap persoalan yang menakutkan, 3. memandang ringan terhadap se-suatu yang umumnya dianggap berat oleh orang lain sehingga ia rela mati dalam memilih persoalan yang paling utama, 4. tidak bersedih terhadap sesuatu yang tidak bisa dicapainya, 5. tidak gundah apabila menerima berbagai cobaan, 6. kalau ia marah dan mengadakan pembalasan maka kemarahan dan pemba-lasannya dilakukan sesuai dengan ukuran, obyek dan waktu yang diwajibkannya. 17

16. Ibid., h. 170 dan 172.

(43)

Dari uraian di atas diperoleh pemahaman bahwa gejala terbesar keberanian adalah tetapnya pikirnn ketika berbagai

bahaya datang. Kondisi seperti ini hanya akan diperoleh

karena adanya fnktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam

menghadapi segala hal.

Sandaran untuk memperoleh konsekuensi keberanian antara

Aristoteles dan Ibn MiskalJaih tampak ada perbedaan.

Aris-toteles Iebih meni tik beratkan keberanian untuk memperoleh kematian yang mulia tanpa mengkaitkan akibatnya setelah ke-matian. Sedangkan Ibn Miskawaih meni tik beratkan akibatnya pada selama hidup dan sesudah kematiannya. Hanya saja teori

keberanian mereka sarna-sarna diukur pada ketidak·takutan

seseorag untuk mati. Mati at as landasan berani sarna-sarna di-nilai sebagai sesuatu yang terpuji. 18

Sebagaimana kesucian diri (al-' iffat) , keberanian juga

memiliki berbagai cabang. Ibn Miskawaih menyebut sembi Ian

mac am cabang yang ada dalam keberanian, yaitu: 1. jiwa besar (kibar al-nafs) , pantang ketakutan (al-najdat) , ketenangan ('izham al-himmat) , kell1etan (al-sabat) , kesabaran (al-shabr) , murah hati (al-hilm), menahan diri ('adam al-thaisy) , keperkasaan (al-syahamat) , dan memiliki daya tahan yang kllat at au senang bekerja berat (ihtimal al-kadd). Ibn Miskawaih memasllkkan al-shabr ke da1am dua tempat: 1.

(44)

diri. Al-shabr sebagai cabang keberanian diartikan sebagai sabaI' dalam menghadapi ュ。ウ。ャ。セMュ。ウ。ャ。ィ yang berat, sedangkan

al-shabr sebagai cabang dari kesucian diri diartikan sebagai

sabaI' dalam menahan nafsu yang bergelora terhadap berbagai akibat buruknya kelezatan. 19

4. Kebijaksanaan

Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional (al-nafs al- nathiqat) yang mengeta-hui segala maujud (al-maujudat) , baik hal-hal yang bersifat ketuhanan (al-umur al-ilahiyyat) maupun hal-hal yang bersi-fat kemanusiaan (al-umur al-insaniyyat). Pengetahuan ini membuahkan pengetahuan rasional (al-ma'quiat) yang mampu memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.

Di samping itu Ibn Miskawaih juga memberi pengertian bahwa kebijaksanaan adalah pertengahan (al-wasath) antara kelancangan (ai-safah/impudence) dan kebodohan

(al-balah/-stupidity). Yang dimaksud dengan kelancangan di sini adalah

penggunaan day a pikir yangtidaktepat (ma la yanbaghi wa

kama la yanbaghi/wrong ends and in the wrong ways). Adapun

yang dimaksud dengan kebodohan adalah membekukan dan menge-sampingkan daya pikir walau sebetulnya mempunyai kemampuan. Dengan demikian yang menjadi tekanan Ibn Miskawaih di sini

(45)

bukan pada sisi kualitas daya pikir itu melainkan pada sisi kemauan untuk menggunakannya. 20

Ibn Miskawaih memberikan tujuh jenis keutamaan yang termasuk dalam kebijaksanaan (al-hikmat) , yaitu: 1. ketaja-man intelegensi (al-zaka'/intelligence) , 2. kuat ingatan (al-zukr/retention) , 3. rasionalitas (ta'aqqul/rationality) , 4. tangkas (sur'at al-fahm/soundness of understanding), 6. jernih pemikiran (jaudat al-zihn/clarity of mind), dan 7. mudah dalam belajar (suhulat al-ta'allum/capacity for

learn-ing easily}.21

Pembidangan antara yang pokok dengan yang cabang pada kebijaksanaan di atas agaknya ditinjau dari sisi hasil dan proses pencapaian. Kebijaksanaan itu sendiri sebetulnya merupakan hasil, sedangkan cabang-cabangnya merupakan proses bagi terwujudnya hasil. Hal ini tampak pada perbedaan penye-butan macammacam cabang atas kebijaksanaan itu. Sangat wajar apabila terdapat jenis dan proses untuk memperoleh hasil bagi orang per-orang atau bahkan seseorang pada suatu waktu. Akan tetapi apabila diambil intinya, kebijaksanaan (al-hikmat) di s ini adalah suatu J<eadaan j iwa yang memungkinkan seseorang membedakan yang benar dari yang salah dalam semua keadaan secara sukarela tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.

(46)

Untuk memperoleh hasil tersebut, maka antara lain seseorang harus memiliki sifat-sifat: suka akan ilmu penge-tahuan, mudah dalam belajar, tajam ingatan, dan mudah lagi benar dalam mereproduksi kembali apa yang telah diingat, baik dalam wujud perkataan atau dalam perbuatan. Adapun

j enis lainnya sebetulnya dapat digolongkan sebagai faktor penunjang bagi kelancaran proses.

Secara sederhana, maksud dari kebijaksanaan (al-hikmat) ini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemi-kirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan apa saja sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan dalam wujud perbua-tan berupa keputusan untuk wajib melaksanakan atau mening-galkan sesuatu. 22

5. Keadilan

(47)

pengeta-huannya dan tidak rnenjauhkan diri dari sifat kelancangan la1-safah) dan kebodohan (a1-ba1ah). Dengan dernikian rnanusia

tidak akan dikatakan adil jika ia tidak rnengetahui cara

rnengharrnonisasikan a1-hikmat, a1-syaja 'at, dall a1- 'iffat. Menurut Ibn Miskawaih, keadi Ian rnernang di ter j ernahkan

sebagai pertengahan antara a1-zhu1m dan a1-illzhi1am.

A1-zhu1m berarti rnernperoleh hak rnilik dari surnber dan cara yang tidak sernestinya (berbuat aniaya). Adapun a1-illzhi1am adalah menyerahkan hak rnilik kepada orang yang tidak sernestinya dan

atau dengan cara yang tidak sernestinya pula lteraniaya) .23 Pengertian keadilan di sini disepakati oleh para filsuf bukan sebagai sebuah keutarnaan tersendiri rnelainkan keuta-rna an secara rnenyeluruh. Keadilan ini rnerupakan gabungan dari

sernua keutarnaan, karenanya ia hanya akan tercapai jika

setiap jiwa rnewujudkan rnasing-rnasing keutarnaan.

Konsep keadilan rnenurut Ibn Maskawaih tarnpak bersifat Platonik, tetapi kelihatan pula bahwa ia secara rnudah rnern-perternukan perangkat-perangkat keadilan itu ke dalarn

kerang-ka Aristoteles. Dengan dernikian, keadilan didefinisikan

sebagai kesernpurnaan dan pemenuhan ketiga keutarnaan:

kesu-cian diri, keberanian, dan kebijaksanaan, yang hasilnya

(48)

Pythagorian dan Neo-Platonik sebagai 」。イセ penyatuan, bahwa prinsip utama hidup di dunia ini adalah sebagai pengganti

(surrogate) atau bayangan keesaan (zhill al-wahdat/shadow of

unity). Pada hakekatnya kesatuan ini merupakan sinonim dari

kesempurnaan sesuatu (perfection of being) dan pada lain kesempatan ia juga merupakan sinonim dari kebijaksanaan yang sempurna (perfect goodness).24

Ibn Miskawaih membagi keadilan secara umum menjadi tiga macam, yaitu: 1. keadilan alum (al- 'adl al-tlJabi' i/natural

justice), 2. keadilan menu rut adat/kebiasaan (al- 'adl

al-l"ad'i/conventional justice), dan 3. keadilan Tuhan (al-' adl

al-ilahi/divine justice). Keadilan yang klmsus diupayakan

manusia, ada dalam ketiga macam keadilan ini, karena itu, keadilan yang khusus diupayakan manusia tidak dapat dipisah-kan dari ketiga keadilan lainnya. Inti masing-masing keadi-Ian tersebut adalah bernilai baik selama sisi keharmonisan hubungan dari unsur-unsur yang hakekatnya berbeda. 25

Karena benda-benda yang bersifat fisik tidak pernah akan terbebas dari pluralitas, maka benda-benda fisik terse-but tidak akan pernah pula menyatu dalam arti sebenarnya,

melainkan hanya lebih dekat kepada persatuan dalam arti kiasan atau pengganti persamaan. Melalui persamaan ini, benda-benda yang bersifat fisik menerima suatu penyatuan

(49)

atau keseimbangan, tetapi benda-benda tersebut tetap

memeli-hara identitasnya sendiri dan tidak dapat didominasi at au

dirusak oleh sekelompok benda lain. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan keadilan alamo Tanpa adanya keadilan seperti

ini, alam secara keseluruhan akan hancur.

Inti adanya keadilan alarn adalah adanya ekstrern yang bertentangan. Masing-masing ekstrem mewujud dalarn pertentan-gan yang sama kuat sehingga rnasing-rnasing イョ・ョセオョケ。ゥ eksis-tensi. Kondisi ini rnelahirkan gerak rnelingkar yang hakekat-nya adalah satu. Di sini tidak ada yang kalah atau rnenang. Karenanya, ia menjadi satu dengan yang mernelihara wujudnya.

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan Tuhan adalah

juga keadilan alam. Karena i tu, ia mernbagi keadilan hanya

ada dua, yaitu: keadilan alam dan keadilan rnenurut adat

kebiasaan. 26 Ibn Miskawaih justru rnernpertentangkan keadilan alarn dengan keadilan Tuhan. Tetapi Ibn Miskawaih juga

rnenga-kui ada sisi persarnaan antara keadilan alarn dan keadilan

Tuhan. Menurutnya, walaupun keduanya sarna-sarna abadi, tetapi keadilan ilahi eksis dalarn alarn irnmateri semen tara keadilan alam hanya eksis dalarn alam materi. Untuk rnernberikan pemaha-man tentang ini, Ibn Miskmvaih rnengutip teor i Pythagorian tentang paharn bilangan. Teori ini rnenyatakan bahwa bilangan

merupakan abstraksi dari sesu-tau yang terbilang. Kalaupun

sesuatu yang terbilang itu dihilangkan rnaka bilangannya

(50)

tetap tidak akan hilang atau berubah.

Dengan demikian, keadilan alam ter j adi karena masing-masing benda alam eksis pada dirinya. Eksis pada diri ini muneul karena ada dua kubu ekstrem yang sarna-sarna kuat atau sarna-sarna lemah. Agaknya teori ini dapat ditarik kepada pengertian bahwa eksistensi sesuatu akan eksis dikarenakan oleh eksis lainnya, yakni ekstrem-ekstremnya.

Adapun keadilan menurut adat kebiasaan, dibagi lagi menjadi dua: 1. umum, disetujui oleh setiap orang, 2. khu-sus, hanya disetujui oleh bangsa, daerah, sampai yang terke-eil (dua individu)

tetap dan absolut.

Norma bagi keadilan ini., tidak bisa Pembuat aturan dan perundang-undangan wajib menyesuaikan situasi dan kondisi. Semua peraturan atau perundang-undangan tidak boleh berlaku tetap melainkan dapat diubah sesuai perubahan situasi dan adat. Hal ini dimungkin-kan karena bisa jadi sesuatu bernilai a(Hl dalam waktunya tetapi pada waktu yang lainnya bisa berubah menjadi tidak adil. Dari sini terlihat pendapat bahwa ukuran bagi keadilan menurut adat kebiasaan adalah peraturan atau perundang-undangan yang disepakati.

(51)

Ibn Miskawaih juga berpendapat bahwa manusia yang adil bukan hanya memperoleh keseimbangan at au harmoni pribadi melainkan juga dengan orang lain.

Keadilan dalam kaitannya dengan orang lain, ia bagi

menjadi tiga, yaitu: pertama, pembagian harta dan kehormatan

(al-karamat) , kedua, muamalah yang disengaja (al-mu'amalat

al-iradiyyat) , dan ketiga, pembagian sesuatu (yang tidak

disengaja) yang di dalamnya terjadi ketidakadilan. 27

Untuk memperoleh keadilan dalam pembagian harta dan

kehormatan, digunakan perbanclingan ilmu hi·tung yang oleh Ibn Miskawaih disebut perbandingan ·terpi sah (al-nisbat

al-mun-fashilat/discrete proportion) yang berlalm dalam empat hal

seperti A:B=C:D. Pada keadilan yang berkaitan dengan muama-lah yang disengaja, pad a suatu waktu digunakan perbandingan terkai t atau berkelanjutan (al-nisbat

al-muttashilat/con-tinuous proportion) dan pada waktu yang lain digunakan

perbandingan terpisah (al-nisbat al-munfashilat). Contoh

untuk perbadingan ini ialah A (penjahit/al-bazzaz) dibanding B (tukang sepatu/al-iskafi) = C (pakaian/al-saub) dibanding

D (sepatu/khuff). Karena itu tidak salah juga bila

perban-dingan dilakukan dengan A (penjahit) clibanding B (tukang

(52)

pakaian (A)

kursi (C).

dibanding sepatu (B) = sepatu (B) dibanding Untuk keadilan dalam kaitannya dengan muamalah yang tidak disengaja, yang didalamnya terjadi ketidak adi-lan, dipergunakan perbandingan geometris (a1-nisbat a1-misahiyyat/geometrica1 proportion}.28

Ibn Miskawaih tidak menginginkan mernbuat perbandingan antara seseorang dengan seseorang lainnya. Kalau tetap juga dibuat perbandingan, rnaka has ilnya tidak mudah didapat secara tepat, dikarenakan perbandingan hanya bisa dilakukan bila sernua unsur perbandingan diperoleh. Di sarnping itu, diperlukan juga pengetahuan tentang posisi tengah antara

ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan dalam setiap hal. Setiap orang memiliki kelebihan atau kekurangan di bidangn-ya. Begitu rumitnya memperoleh perbandingan yang tepat, Ibn Miskawaih memberikan ilustrasi sebagai berikut. Garis lurus yang dibagi dua tidak sarna misalnya, akan terjadi keadaan, yang satu leih panjang dan yang satu lagi kurang panjang. Untuk mecapai titik kesamaan, maka yang kurang ditambah dan yang lebih dikurangi. Oleh sebab itu, dalam rangka mempero-leh kesesuaian dalam perbandingan dimungkinkan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan obyelmya. Diantara pendeJeatan i·tu adalah perbandingan dengan hi Lungan, geomet-ri, dan persesuaian (a1-nisbat a1-ta'lifiyyat) .29

(53)

Menurut Ibn Miskawaih keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada keadilan terhadap dirinya danterhadap orang lain. Terhadap kedua arah keadilan ini masing-masing mempunyai tingkat kesulitan. Keadilan untuk diri sendiri berarti keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa yang ada dalam dirinya. Untuk mengatasi kesulitan mencapai-nya diperlukan pemahaman secara pasti posisi tengah dari masing-masing jiwa. Adapun cara memperoleh keadilan terhadap orang lain dapat tercipta melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan bilangan, geometri, atau persesuaian, yang intinya harus diperoleh kesamaan. Keadilan hanya akan diperoleh bila segala aspek yang mungkin ada pengaruh bagi terciptanya ketidakadilan (berbuat aniaya dan at au tera-niaya), diwaspadai. Kalau demikian, yang dapat disebut adil di sini berarti adil buat diri dan juga pihak lain, termasuk terhadap alam dan Tuhan.

Akhirnya dapat diambil pemahaman bahwa pokok keutamaan moral yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah terciptanya keserasian pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia, alam, dan Tuhan. Keserasian itu ditunjukkan oleh kemampuan manusia dalam mengharmonisasikan jiwa a1-bahimiyyat,

a1-glJadabiyyat, dan a1-JlatlJiqat yang ada pada dirinya dan

(54)

cari selamat sendiri. Sebaliknya, pemikiran moral jalan tengah dapat pula ditarik kepada suatu pendapat yang mengar-ah kepada kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, dapat di terima semua pihak. Agaknya, sikap yang demikian terlihat lambat menerima perubahan. Akan tetapi kalau diperbandingkan dengan rincian pendapat Ibn Miskawaih yang lain, doktrin jalan tengah yang dikehendaki-nya lebih dekat diberi pengertian sebagai "moral yang dina-mis". Karena dalam ukuran keseimbangan selalu terjadi tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan efektivi-tas individu, masyarakat, waktu dan tempat.

Hal yang menarik dari pendapat Ibn Miskawaih menyangkut upaya mencapai posisi tengah masing-masing jiwa manusia adalah penempatan fungsi syari'at dan filsafat . Ibn Miska-waih memang berpendapat bahwa filsafat dan syari'at menempa-ti posisi penmenempa-ting pada tempatnya masing-masing. Syari'at berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa

a1-balJimiyyat dan a1-glJadabiyyat, sedangkan filsafat berfungsi

efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-natlJiqat. Berarti bahwa syari' at dan filsafat harus mewujud dalam diri seseorang. Tampaknya dasar pertimbangannya adalah karena jiwa al-balJimiyyat dan a1-glJadabiyyat sangat cender-ung terhadap materi, sebaliknya jiwa al-natlJiqat sangat tidak cenderung terhadap materi. 30

\ilK

(55)

Miskawaih membagi keadilan menjadi tiga macam: keadilan

alamo keadilan menurut adat kebiasaan. dan keadilan Tuhan.

AI' istote les menya takan bahwa keadi Ian Tuhan ada lah juga keadilan alamo Ibn Miskawaih justru mempertentangkan keadi-Ian alam dan keadilan Tuhan. Tetapi Ibn Miskawaih juga meng-akui ada sisi persamaan antara keadilan alam dengan keadilan Tuhan. Walaupun keduanya sarna-sarna abadi. tetapi keadilan

ilahi eksis dalam alam immateri. sementara keadilan alami

hanya eksis dalam alam materi.

Perbedaan yang culmp mecolok dari Aristoteles dengan

Ibn Miskawaih adalah tentang apakah landasan untuk mempero-leh posisi tengah atau keutamaan. Aristoteles hanya menyebut akal. sedangkan Ibn Miskavlaih menyebut aka 1 dan syar i 'ah. Ibn Miskawaih menyatakan bahwa aka 1 dan syari' at menempati posisi penting pada tempatnya masing-masing. Akal berfungsi

efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-nathiqat.

sedangkan syari' ah berfungsi efektif untuk terciptanya

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, 1977, Ethika (Ilmu Akhlak) , alih bahasa oleh

Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Bulan Bintang, Jakarta.

Basyir, Ahmad Azhar, 1983, Miskawai1J: Rilvayat Hidup dan

Pemikiran Filsafatnya, Nur cahaya, Yogyakarta.

Barnes, Jonathan, The Complete Works of Ar.istotle, Vol. III, Princeton University Press, Oxford.

Bertens, K., 1997, Etika, Gramedia, Jakarta.

_______ , 1991, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius,

Yogya-karta.

Daudy, Ahmad, 1992, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang,

Jakarta.

Fakhry, Majid, 1983, A History of Islamic Philosophy, Colum-bia University Press, New York.

______ , 1996, Btika dalam Islam, Pus taka Pelajar, Solo.

Tzutsu, Toshihiko, 1995, Etika Beragama dalam Qur'an, Pusta-ka Firdaus, JaPusta-karta.

Magnis-Suseno, Franz, 1995, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,

Kanisius, Yogyakarta.

1997, 13 Tokoh BLika: Sejak Zaman

Yunani Sampai Abad ke-.I9, Kanisius, Yogyakarta.

(57)

Miskawaih, Ibn, 1405H, Tahzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-A'raq, Dar Al-Kutub A1-'Ilmiyyah, Lebanon, Beirut.

1968, The Refinement of C1Jaracter,

trans-lated by Constantine K. Zurayk, Beirut.

1997, Menuju Kesempurnaan Akhlaq,

diterje-mahkan oleh Helmi Hidayat, Mizan Bandung.

Quasem, MUhammad Abul, 1988, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk

di Dalam Islam, Pustaka, Bandung.

Syarif, M.M. (ed.), 1994, Para Filosof Muslim, Mizan,

Ban-dung.

Suwito, 1995, Konsep Pendidikan Akhlaq Nenurut Ibn

Nis-kawaih, Disertasi, Pascasarjana, IAIN Syarif

(58)

Pengaruh Etika Aristoteles Pada

Etika Ibn Miskawaih

A. Latar Belakang Masalah

Dalam khasanah filsafat Islam, ada beberapa filosof yang membicarakan etika sebao;rai salah satu bidang kajian. Salah satu filosof yang mengkaji etika secara sistematik adalah Abu Ali Ahmad ibn Miskawaih (330-420 H/941-1030 M) atau dikenal dengan nama Ibn Miskawaih. Karyanya yang berju-dul Tahzib Al-Akhlaq, menurut para ahli, merupakan buku rujukan pertama tentang etika Islam.

Seperti telah diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran filsafat Islam pengaruh pemikiran filsafat Yunani sangat besar. Pemikir-pemikir besar Yunani seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, serta Plotinus, Stoa, Epikuros sangat berpen-garuh dalam pemikiran filsafat Islam. Demikian juga dalam bidang etika. Karya Ibn Miskawaih dalam Tahzib al-Akhlaq, menurut beberapa penulis, sebagian besar dari isi buku tersebut merupakan pendapat Aristoteles dalam buku Nico-machean Ethics yang tentu saja kemudian dimodifikasi dengan

pemikiran Islam.

(59)

dijelas-Masalah yang timbul adalah sejauhmana pengaruh tersebut dan

pada bagaian mana pengaruh pemiJdran Aristoteles sangat

dominan dalam pemikiran etika Ibn Miskawaih.

B. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup yang akan dibahas dalam penelitian ini

adalah pemikiran etika dari Aristoteles dan Ibn Miskawaih.

Rujukan utama yang digunakan adalah karya kedua filosof ter-sebut yaitu Tahzib al-Akhlaq J,arya Ibn Miskawaih dan

Nico-machean Ethics karya Aristoteles. Penekanan penelitian lebih

kepada karya yang pertama ketimbang pada buku at au karya yang kedua.

C. Rumusan Masalah dan Hipotesis 1. Rumusan Masalah

Masalah yang diajukan dalam penel i tian j ni dapat

diru-muskan sebagai berikut:

Adakah kesamaan pemikiran etika Aristoteles dan pemikiran

etika Ibn Miskawaih?

2. Hipotesis

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan

bacaan-bacaan yang ada, maka hipotesis yang diajukan adalah:

(60)

D. Tinjauan Pustaka

Tujuan dari Tahzib al-Akhlaq, seperti dijelaskan dalam pendahuluan, adalah untuk menanamkan dalam diri kita kuali-tas-kualitas moral dan melaksanakannya dalam tindakan-tinda-kan utama secara spontan. Dalam melaksanakan yang demikian itu, pertama-tama harus diselidiki sifat, kesempurnaan, daya dan tujuan jiwa, seperti yang dikaji dalam psikologi.

Menurut Abdurrahman Badawi, dalam buku Para Filosof Muslim, suntingan M.M. Syarif, menyatakan bahwa mulai seten-gah sampai akhir dari bab pertama Tahzib al-Akhlaq, pemikir-an Miskawaih terpengaruh Aristoteles ketika ia menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan

utama. Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manu-sia dan asal-usulnya. Ia menyatakan pendapat Aristoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa adanya manus ia tergantung J,epada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan tergan-tung kepada kemauan sendiri.

(61)

sa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Namun demikian semua i tu dapat dilihat ben·tuknya kembali dalam Tahzib al-Akhlaq-nya Miskawaih (M.M. Syarif 1994: 92).

Mengikuti Aristoteles. Miskawaih menyatakan bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan. Definisi ini mungkin berasal dari Eudoxus yang disaj ikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih menyata-kan bahwa apa yang berguna untuk mencapai tujuan adalah baik. misalnya sarana-sarana atau tujuan itu sendiri dapat disebut baik. Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif. yaitu semacam kebaikan yang

tidak mempunyai hakekat tersendiri dan berdiri sendiri. MisJ<awaih. sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan J<eba-hagiaan secara lebih terinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry.

Miskawaih menyatakan bahwa ki ta harus menolak ajaran yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dica-pai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai J<ecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Tetapi sebagai seorang religius. ia lebih memilih akhirat. Untuk menguatkan ini. ia mengutip suatu artikel terjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang bel' j udul Keutamaan Ruh yang di tulis

oleh Aristoteles.

Dalam bab keempat membahas tentang keadilan dan

(62)

kembali mengikuti bag ian-bag ian dalam Nicomachean Ethics-nya

Aristoteles. Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan bersifat Aristoteles, tetapi menurut Miskawaih kebajikan ini

merupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan. Pengetahuan

tentang cara atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat bagi keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia

berpen-dapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak ilahiah dan

bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehatihatian. Pada bab kelima, Miskawaih membahas tentang

persahaba-tan dan cinta. Cinta bukanlah perluasan dari cinta diri,

sebagaimana dikemukakan Aristote1es, tetapi suatu batasan

dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Miskawaih meman-dang rasa cinta (mahabbah) sebagai kemampuan fitrah manusia untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi

persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu. dengan

mendasarkan pada pertimbangan !,euntungan, kesenangan at au kebaikan sebagaimana dijelaskan aleh Aristateles. Miskawaih

menyebutkan secara spesifik cin·ta manusia kepada Tuhan.

cinta murid kepada guru. dan cinta anak kepada orang tua

secara bertingkat-tingkat. Ia menyimpulkan bahwa keadilan

dapat terwujud melalui rasa takut dan kekuatan. sedangkan

cinta merupakan suatu sumber alami kesatuan. sehingga

keadi-Ian tidak diperlukan jika cinta telah unggu1. Dengan

(63)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini secara umum adalah: 1. Untuk menjelaskan pemikiran etika pada mas a klasik

atau Yunani, terutama pemikiran Aris·to·teles dan untuk menjelaskan pemikiran etika dalam filsafat Islam, terutama etika Ibn Miskawaih.

2. Untuk mencari sejauhmana pengaruh pemikiran etika Aristoteles pada pemikiran etika Ibn Miskawaih.

3. Diharapkan setelah adanya pene1itian ini akan dilan-jutkan dan dilakukan penelitian komparasi pada bidang-bidang lain dalam filsafat Islam, terutama dalam kaitannya dengan filsafat Yunani.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik komunikasi melalui analisis dokumentasi (komunikasi tertulisl, yaitu membandingkan buku Tahzib al-Akhlaq dan

Nicomachea Ethics. Pene-liti.an kepustakaan ini. lebih

mene-kankan pada buku yang pertama dengan melihat pada setiap bab. Kemudian melihat sejauhmana pengaruh buku yang kedua pada buku yang pertama.

(64)

sekar-tian ini adalah karya langsung dari Aristoteles, tentu saja yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

H. Waktu dan Biaya Penelitian

Penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu kurang

lebih empat bulan.

Biaya penelitian ini dibebankan kepada anggaran penda-patan dan belanja lAIN Jakarta (DURK).

I. Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pendahuluan meliputi uraian tantang latar belakang masalah, ruang lingkup dan batasan penelitian, rumusan

masa-lah dan hipotesis, tujuan penelitian, metode penelitian,

langkah-langkah penelitian, dan sistematika penulisan lapor-an penelitilapor-an.

Bab Kedua menguraikan tentang pemikiran filsafat Aris-toteles, terutama pemikiran etikanya.

Bab Ketiga membandingkan pemikiran kedua filosof

terse-but. Dilihat bagaimana dan dimana pengaruh diantara kedua

filosof tersebut terutama pemikiran di bidang etikanya.

Bab Penutup merupakan bagian kajian terakhir yang

membahas tentang kesimpulan yang diperoleh dari analisis

(65)

jawa-Lampiran B

SURATKEPUTUSAN KEPALA PUSAT PENELlTlAN lAIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

NOMOR : PL.003.4/x/98

TENTANG

JUDUL PENELlTIAN DOSEN INSTITUT AGAfvlA ISL.AM NEGERI SYARIf HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1998/1999

KEPALA PUSAT PENELITIAN lAIN SYARIF HlDA YATULLAH JAKARTA

Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas penelitian di lingkungan lAIN Syarif Hidayatuilah Jakarta, perlu d!letapkanjudul Penelitian Tal1Un 1998/1999.

b. bahwa berdasarkan penilaian dari Tim Pen! lai Proposal Pusat Penclitian , pcneli tian yang diajukan. o\eh Fakultas mcmcnuhi pcr-syaratan tcknis dan akademik untuk dilaksanakan.

c. bahwa judul-jlldlll penelitian yang tercanlum dalal11 dnftar Inmpiran Keputusan ini dipandang Iayak untuk dilaksanakan.

Mengingat : I. Undang-undang No 2 Tahun 1998 tentang sistim Pendidikan Nasional.

2. Keputusan Presiden HI No 16 Tahun 1994 dhd Keppres No 24 Tahun 1995 Tcntang pelaksanaan Anggaran Belan.'a Negnra.

3. Keputusan Menteri Agama RI No. 386 Tahun 1993 Tcnlang Organisasi dan Tata Kerja JAIN SyarifHidayatul1ah Jakarta.

4. Keputusan Menteri Agama No. 400 Tahun 1993 Tentang Statum lAIN Syarif Hidayatullah jakarta.

(66)

MEMUTUSKAN

Mcnctapkan : KEPUTUSAN KEPALA PUSAT PENELITIAN TENTANG JUDUL

PENELITIAN DOSEN lAIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA TAHUN 1998/1999.

PCliama

Kedua

Ketiga

: Mcnctapkan judul penclitian lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 1998/1999 sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Keputusan ini.

Segala Biaya sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan ini dibebankan kepada DIKS/DURK JAIN Tahun 1998/1999.

: Keputusan ini

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan dari ketiga media tanam dan sistem fertigasi yang digunakan pada penelitian tersebut merupakan kombinasi yang tepat sehingga berpengaruh terhadap hasil tanaman

Walaupun melalui media sosial merupakan salah satu cara dalam melayani pelanggan (selain melalui call center ataupun kantor graPARI), cara ini juga menjadi

To make changes here, you need to understand the impact not just on users but also on SQL Server, the network, Windows Server, and SharePoint itself. In other words, a change here

Sampai dengan kuartal I-2018 Perseroan mencatatkan volume penjualan logam timah sebesar 5,801 Mton atau mengalami penurunan sebesar 17.2% dari periode yang sama pada tahun

Karena pada umumnya masyarakat kalangan bawah hanya bisa menikmati bangku sekolah sampai Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tak bisa dipungkiri,

Mikrokontroller akan mendeteksi input dari keyboard dan akan diproses untuk memenggil data suara yang telah diisikan sebelumnya pada SD Card melalui sistem SPI.. Data

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa signifikansi variabel yang mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka disetiap daerah berbeda-beda dimana variabel Angkatan kerja

pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” 34. Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk berbuat adil, yang salah satunya beribadah hanya kepada Allah, berbuat