• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi perkawinan bawah umur di kelurahan pamenang KEC.Pamenang KAB.Merangin Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi perkawinan bawah umur di kelurahan pamenang KEC.Pamenang KAB.Merangin Jambi"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SYORAYA NURJANNAH

NIM : 1110044100079

Oleh:

SYORAYA NURJANNAH

NIM : 1110044100079

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu pesyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan (plagiarisme) dari karya orang lain, maka

saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Maret 2015

(5)

Syoraya Nurjannah

Tradisi Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang Kec. Pamenang

Kab.Merangin Jambi

Perkawinan adalah sunnatullah yang akan dilalui setiap orang dalam proses

perjalanan hidup. Untuk melanjutkan kejenjang perkawinan ada dua hal yang perlu

diperhatikan yaitu, kesiapan fisik dan kesiapan menta. Kesiapan fisik seseorang dilihat

dari kemampuan ekonomi, sedangkan kesiapan mental dilihat dari faktor usia. Akan

timbul permasalahan jika perkawinan dilakukan di usia yang sangat muda yaitu,

perkawinan dibawah umur yang dilakukan oleh masyarakat kelurahan Pamenang.

Perkawinan bawah umur tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi

lemah, tetapi juga dari kalangan masyarakat mapan. Adanya pelaku perkawinan bawah

umur khususnya tempat penelitian penulis yaitu, kelurahan Pamenang, Merangin Jambi.

Berhubungan dengan hal ini, maka Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

menetukan batas usia minimal perkawinan, dalam pasal 15 ayat 1 menegaskan bahwa:

untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan

calon mempelai yang telah mencapai umur, yakni calon suami sekurang-kurangnya

berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Akan tetapi perkawinan

bawah umur yang terjadi dikelurahan Pamenang dianggap belum mampu dan tidak

cakap untuk bertindak. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu,

bagaimana bentuk perkawinan bawah umur di kelurahan Pamenang ?, apa penyebab

perkawinan bawah umur ?, apakah dampak terhadap perkawinan bawah umur ?, dan

bagaimana pandangan masyarakat kelurahan pamenang terhadap perkawinan bawah

umur.

Jenis penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. Adapun sumber data

primernya yaitu, data utama atau pokok dalam penelitian ini, yang diperoleh melalui

wawancara terhadap pelaku perkawinan bawah umur pada masyarakat kelurahan

Pamenang. Dalam penelitian ini peneliti wawancara langsung kepada pelaku

(6)

dengan perkawinan bawah umur.

Hasil penelitian dalam skripsi ini, ada dua bentuk perkawinan bawah umur yaitu,

tercatat di KUA setempat dan tidak tercatat, meskipun dengan cara memanipulasi

(penambahan) usia. Yang menjadi penyebab maraknya perkawinan bawah umur

dikarenakan pendidikan yang rendah dan pergaulan bebas. Sedangkan dampak yang

dirasakan pelaku tidak mendapatkan ake kelahiran anaknya, cerai di usia muda, dan

tidak mencapai keharmonisan dalam rumah tangga. Adapun pandangan pelaku terhadap

perkawinan bawah umur yaitu mayoritas dari mereka umur bukan suatu patokan

seseorang untuk menikah bagi yang siap lahir dan jika belum siap untuk menikah

(7)

v

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya

terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu

tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat

dan seluruh umat Islam yang taat akan ajarannya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Syaiful Bahri dan

Ibunda Hj. Saudah Yahya yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih

sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa

melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh

dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan

upaya dari penulis. Penulis menyadari tidak akan dapat menyelasaikan skripsi ini

tanpa adanya bantuan dari orang-orang yang ada disekitar penulis. Dengan segala

kerendahan hati penulis mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A, P.hd, selaku Dekan Fakultas

Syaria’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku

Ketua dan sekretaris Program Studi Akhwal Syakhsiyyah Fakultas

Syari’ah dan Hukum yang telah banyak membantu penulis selama masih

(8)

vi

kesabaran, serta meluangkan waktunya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada Dra. Hj. Maskufah, MA, selaku dosen pembimbing akademik

yang selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama

kuliah.

5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan

dengan tulus Ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta menjadi

keberkahan penulis dalam mengarungi samudra kehidupan.

6. Segenap staf Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan

Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan

kemudahan penulis dalam mencari referensi.

7. Terima kasih kepada Bapak Marzuki Idrus S.Ag (Pakcik) dan Ibu Rosidah

S.pdi (Ibu), yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang,

dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa

melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

8. Kakak tercinta Syilvia Nurfitri serta adik-adik Syahri, Syuhada dan Satria

yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

9. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama B angkatan 2010, terutama

(9)

vii

Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak,

semoga Allah Swt membalas dan melipat gandakan jasa dan kebaikan semuanya.

Akhir kata, dengan kerendahan hati semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis dan pembaca pada

umumnya.

Penulis mohon maaf apabila dalam penyusunan tugas akhir ini banyak

kekurangan dan kealfaan. Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Jakarta, 25 Maret 2015

(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metodologi Penelitian ... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ... 12

B. Hukum Perkawinan ... 15

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 17

D. Tujuan Perkawinan ... 23

E. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Fuqaha ... 26

F. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Perundang-undangan di Indonesia ... 30

BAB III : KONDISI OBYEKTIF KELURAHAN PAMENANG A. Keadaan Geografis Kelurahan Pamenang ... 37

B. Keadaan Demografis Kelurahan Pamenang ... 38

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Pamenang ... 41

D. Praktik Perkawinan di Kelurahan Pamenang ... 43

BAB IV : TRADISI PERKAWINAN BAWAH UMUR DI KELURAHAN PAMENANG A. Gambaran Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang .. 50

1. Pelaksanaan Perkawinan Bawah Umur ... 61

2. Faktor-faktor Terjadinya Perkawinan Bawah umur ... 64

3. Dampak Perkawinan Bawah Umur ... 67

(11)

ix

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia dengan segala fitrah yang beraneka

ragam, begitupula perubahan zaman semakin berkembang pesat dalam segala

hal dalam kehidupan manusia. Fenomena ini menimbulkan begitu

kompleksnya tingkah laku manusia yang bermacam-macam, bahkan

diantaranya mencakup aktifitas yang menyentuh nilai-nilai agama akan

kebolehannya untuk dilakukan atau harus ditinggalkan.Sebagai mahluk yang

diciptakan oleh Allah SWT, manusia dibekali dengan keinginan untuk

melakukan perkawinan, karena perkawinan itu salah satu faktor untuk

menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi.

Perkawinan seperti disebutkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974

pasal (1) bab I adalah:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengertian dan

tujuan perkawinan dinyatakan pada pasal 2 yang menyatakan bahwa

perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk

mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah

(13)

yang sejahtera selamanya dan bukan untuk waktu yang singkat.Lebih jelasnya

disebutkan dalam pasal 3 yang menjelaskan tujuan perkawinan yaitu untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

Undang-undang perkawinan Indonesia menjelaskan bahwa apabila

seorang akan melaksanakan perkawinan harus lebih masak jiwa raganya.

Kemasakan jiwa raga ini ditentukan oleh umur seseorang, dimana keadaan

fisik/jasmani sudah mencapai taraf kematangan.1

Faktor kematangan seseorang dan batas usia sangat diperlukan bila

seseorang akan memasuki jenjang perkawinan, supaya berhasil dalam

membina rumah tangga atau keluarga diperlukan persyaratan serta

kemampuan dan tanggung jawab yang penuh.

Dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 dinyatakan bahwa :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami istri perlu melengkapi, agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

2. Calon suami istri harus telah siap jiwa dan raganya untuk

melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah

adanya perkawinan calon suami istri yang masih usia muda.

1

(14)

Perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan,

yaitu batasan umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah

mengakibatkan laju kelahiran menjadi lebih tinggi jika dihubungkan dengan

batas umur yang lebih tinggi.Sehubungan dengan itu, maka Undang-undang

perkawinan ini menentukan batas umur minimum bisa melangsungkan

perkawinan bagi pria yaitu berumur 19 tahun dan bagi wanita berumur 16

tahun.

Meskipun Undang-undang Perkawinan di Indonesia sudah mengatur

batas umur minimum untuk bisa melangsungkan perkawinan, namun di

tengah-tengah masyarakat masih banyak dijumpai orang yang melakukan

perkawinan bawah umur diantaranya adalah di Kelurahan PamenangKec.

Pamenang Kab. Merangin, Jambi. Data dari kantor Kelurahan Pamenang

menunjukkan bahwa pelaku perkawinan bawah umur ini tercatat sejumlah30

pasangan.2

Pelaku perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang tersebut tidak

hanya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi lemah, tetapi juga dari

kalangan masyarakat mapan.Oleh karena banyaknya pelaku perkawinan

bawah umur di Kelurahan Pamenang, penulis menilai bahwa permasalahan

tersebut cukup menarik dan layak untuk diteliti dan dikaji dalam sebuah

skripsi yang berjudul “TRADISI PERKAWINAN BAWAH UMUR DI KELURAHAN PAMENANG KEC. PAMENANG KAB. MERANGIN, JAMBI”.

2

(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai perkawinan sangatlah luas.Oleh karena itu,

untuk memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya

pada persoalan tradisi perkawinan bawah umur yang dilakukan oleh

masyarakat di Kelurahan Pamenang Kec.Pamenang.

Yang dimaksud bawah umur dalam penelitian ini pasangan yang

menikah di bawah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi

wanita-wanita.

2. Perumusan Masalah

Dalam Undang-undang Perkawinan batas minimal umur kawin

bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun kecuali adanya dispensasi

nikah dari Pengadilan Agama.Namum dalam realita yang ada di

masyarakat banyak yang telah melakukan perkawinan bawah umur tanpa

adanya dispensasi nikah.

Hal inilah yang menyebabkan penulis hendak menulis skripsi ini.

Adapun rumusan masalah dapat dirinci dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan perkawinan bawah umur di Kelurahan

Pamenang Kec. Pamenang?

b. Apa latar belakang maraknya perkawinan di bawah umur di

Kelurahan Pamenang?

(16)

d. Bagaimana pandangan masyarakat Kelurahan Pamenang Kec.

Pamenang terhadap tradisi perkawinan bawah umur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mengetahui bentuk perkawinan bawah umur di Kelurahan

Pamenang.

b. Untuk mengetahui penyebab perkawinan bawah umur di Kelurahan

Pamenang.

c. Untuk mengetahui dampak dari perkawinan bawah umur di Kelurahan

Pamenang.

d. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Kelurahan Pamenang tentang

tradisi perkawinan bawah umur.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat utama dalam penelitian ini bagi penulis adalah untuk

memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Manfaat lain dari penelitian ini bagi penulis adalah untuk lebih

memahami tentang tradisi perkawinan yang ada di Kelurahan

Pamenang, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

(17)

c. Manfaat untuk warga masyarakat pamenang adalah untuk mengetahui

lebihjelas tentang aturan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 agar dapat mengurangi terjadinya perkawinan bawah umur.

D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan 1. Metode dan Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian yang menggabungkan antara penelitian hukum normative

dengan penelitian hukum empiris. Penelitian normative atau penelitian

kepustakaan adalah penelitian menggunakan data sekunder yaitu data yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sedangkan penelitian empiris atau

lapangan adalah penelitian menggunakan data primer yaitu data yang

diperoleh langsung dari lapangan atau masyarakat berupa wawancara

dengan objek terkait yang berhubungan dengan pembahasan.

Pendekatan dalam penulisan ini diaplikasikan model pendekatan

kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasil data deskriptif analisis,

artinya metode yang yang menggambarkan dan memberikan analisa

terhadap kenyataan dilapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari

orang-orang atau pelaku yang diamati.3

2. Sumber Data

a. Data Primer

3

(18)

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak

yang bersangkutan.Untuk memperoleh data yang valid peneliti

melakukan interview mendalam dengan para pihak yang bersangkutan,

yaitu pelaku perkawinan bawah umur dan tokoh masyarakat Kelurahan

Pamenang.

b. Data Sekunder

Adapun data sekunder yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan

referensi terkait seperti kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur

yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini.

3. Pengumpulan Data

1. Wawancara yaitu dialog secara pribadi dan mendalam yang dilakukan

dengan para pihak pelaku perkawinan bawah umur dan tokoh

masyarakat setempat tentang tradisi perkawinan bawah umur di

Kelurahan Pamenang.Pemilihan sample yang akan diwawancarai

adalah dengan cara acak (random sampling)sebanyak 15 pelaku

perkawinan bawah umur.

Sedangkan untuk tokoh masyarakat yang diwawancarai diwakili oleh

Tokoh Desa, Tokoh Agama, dan Tokoh Adat.

2. Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data di lapangan yang dilakukan

(19)

Data-data yang terkait dengan penelitian yang diperoleh dari

perundang-undangan, buku-buku dan literature-literature lainnya.

4. Analisis Data

Dalam penganalisa data, menggunakan tekhnik deskriptif analisis

yaitu teknis analisa dimana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari

hasil wawancara di lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman

pada sumber data tertulis yang didapat dari kepustakaan4.

Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu kepada

buku “Pedoman Penelitian Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

E. Review Kepustakaan

Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang

akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama

sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga keorisinian penelitian ini, penulis telah

melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Adapun review kepustakaan

yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Pernikahan Dini Penyebab Putusnya Pendidikan (Studi kasus Desa

Cibitung Wetan Kec. Pamijahan Kab. Bogor), Fakultas Syari’ah

dan Hukum, oleh Ahmad Fauzi Syahputra, Tahun 2012. Peneliti ini

menggunakan metode kualitatif. Hasil temuan dalam skripsi ini,

pelaku perkawinan dini di desa cibitung hampir seluruhnya hanya

4

(20)

lulusan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada juga di antara mereka yang

tidak lulus. Perkawinan dini bisa menyebabkan putusnya

pendidikan, selain itu putusnya pendidikan disebabkan oleh adanya

pandangan dan pola fikir masyarakat untuk tidak melanjutkan

pendidikan yang lebih tinggi.

2. Pernikahan Dini Menurut Perspektif Pelaku Pada Masyarakat Desa

Kertaraharja Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi Dan

Solusi Hukumnya, Fakultas Syari’ah dan Hukum, oleh Astrian

Widiyantri, Tahun 2012. Metode penelitiannya kualitatif. Hasil

temuan dalam skripsi ini, para orang tua di desa Kertaraharja

berpandangan bahwa wanita bertugas melayani suami dan

anak-anak, serta menghabiskan banyak waktu didapur, sehingga

melanjutkan pendidikan tidak bermanfaat bagi mereka yang tidak

bisa melanjutkan pendidikan karena penghasilan orang tua yang

rendah maka mereka lebih memilih nikah di usia muda.

Skripsi-skripsi tersebut di atas memang memaparkan gambaran umum

tentang perkawinan dini, namun inti dari skripsi tersebut berbeda dengan

yang peneliti lakukan. Peneliti akan lebih fokus mengungkap bagaimana

bentuk, apa faktor pelaku, dan bagaimana dampak dari perkawinan bawah

umur yang terjadi di Kelurahan Pamenang, yang mana perkawinan bawah

umur itu bukan hal yang asing di kalangan masyarakat karena sudah menjadi

hal yang wajar di lakukannya perkawinan bawah umur sejak zaman dahulu

(21)

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam

lima bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah mengenai pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan pedoman

penulisan, review kepustakaan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Menjelaskan kajian teoritis tentang perkawinan yang meliputi pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat

perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, batas minimal

umur kawin menurut fuqaha dan menurut perundang-undangan

di Indonesia.

Bab III : Kondisi obyektif Kelurahan Pamenang meliputi keadaan

geografis Kelurahan Pamenang, keadaan demografis

KelurahanPamenang, keadaan sosiologi Kelurahan Pamenang

dan praktik perkawinan di Kelurahan Pamenang.

Bab IV : Menjelaskan tentang Tradisi Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang yang mencakup pelaksanaan perkawinan

bawah umur, faktor-faktor terjadinya perkawinan bawah umur,

dampak terhadap rumah tangga yang dibina dan pandangan

masyarakat tentang perkawinan bawah umur.

(22)

11

A.Pengertian Perkawinan

Secara etimologi, nikah atau ziwaj dalam bahasa arab artinya adalah

mendekap atau berkumpul. Sedangkan secara terminology, nikah adalah akad

atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki

-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan

menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang

laki-laki.

Menurut syara’, nikah adalah akad antara calon suami istri untuk

membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.5Akad nikah adalah artinya

perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita

dengan seorang laki-laki.6Selain itu, menurut pengertian fuqoha, perkawinan

adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin

dengan lafadz nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.7

Sedangkan menurut golongan Malikiyah, nikah adalah akad yang

mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’,

bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita yang boleh nikah

dengannya.8

5

Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal.28.

6

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hal. 63.

7

Zakiah Drjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bakti, 1995), hal. 37.

8

(23)

Adapun pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi

Hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqaan

ghaalizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya

merupakan ibadah.Maksudnya melakukan perbuatan ibadah berarti

melaksanakan ajaran Agama.Perkawinan salah satu hukum yang dapat

dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.

Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya

adalah:

9

Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki

denganperempuan dan menghalalkan bersenang-senang perempuan

dengan laki-laki”.

Menurut Hanafiyah, kawin adalah akad yang memberi faedah untuk

melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk

beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi

sahnya perkawinan tersebut secara syar’i.Selain itu, menurut Hanabilah kawin

adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tazwij dengan

maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.10

Golongan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti

akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapat berarti juga untuk hubungan

9

Abdur Rahman Al Ghazaly, Fiqih Munakat, (Bogor : Kencana, 2003), hal. 7-8.

10

(24)

kelamin, namun dalam arti sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk

bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu sendiri.

Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana

disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan

dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul

sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh

bergaul.11

Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsyiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa

halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling

tolong menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara

keduanya.12Dengan redaksi yang berbeda, imam Taqiyyudin di dalam Kifayat

al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur

yang terdiri dari rukun dan syarat, serta yang dimaksud dengan akad adalah

al-wat’ (bersetubuh).13

Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas bernuansa

biologis.Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan

melakukan persetubuhan.Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari

makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wat‟ (persetubuhan).14

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 37.

12

Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, (Qohirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), hal. 19.

13

Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifaratul Akhyar Juz II, (Jakarta: Dar al- Kutub al-Islamiyah, 2004), hal. 35.

14

(25)

Menurut perspektifFikih yang mana telah dijelaskan oleh Wahbab al

Zuhaily, mengenai perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya

istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’, dan

berkumpul selama tersebut bukan wanita yang diharamkan baik sebab

keturunan atau sepersusuan.15

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan

terdapat lima unsur didalamnya adalah sebagai berikut :

a. Ikatan lahir bathin

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita

c. Sebagai suami istri

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan bahwa

ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan

merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari Agama

yang dianut suami istri.Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak

semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri

tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun, aman serta

harmonis antara suami istri.

15

(26)

B. Hukum Perkawinan

Hukum melakukan perkawinan menurut jumhur ulama bahwa

perkawinan itu hukumnya adalah sunnah. Golongan Zhahiriyah berpendapat

perkawinan itu hukumnya wajib. Ulama Malikiyyah Mutaakhirin berpendapat

bahwa perkawinan itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian

lainnya dan mubah untuk segolongan orang yang lain.16

Selain itu, menurut al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan

orang yang melakukan perkawinan, hukum kawin berlaku untuk

hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub)

dan mubah.17 Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah

mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan makruh.18

Terlepas dari pendapat para imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik

Al-Qur’an maupun Sunnah (Al-Hadist) Islam sangat menganjurkan kaum

muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun, kalau

dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan

melaksanakannya. Maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum

wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.

1. Melakukan Perkawinan yang hukumnya wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak

kawin, maka hukum perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini

16

Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,(Beirut:Dar al-Fikr,t.th), jilid II, hal.2.

17

Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-madzahib al-Arba‟ah, (Mesir: Dar al-Irsyad, t.th), jilid VII, hal.4.

18

(27)

didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri

untuk tidak berbuat yang terlarang.19

2. Melakukan Perkawinan yang hukumnya sunnah

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan

berbuat zina, maka hukumnya adalah sunnah.Sekalipun demikian perkawinan

adalah lebih baik baginya, karena Rosulullah melarang hidup sendirian tanpa

kawin.

3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan tidak mempunyai

kemampuan serta tanggung jawab untuk melakukan kewajiban-kewajiban

rumah tangga. Sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar

dirinya dan istrinya, maka hukumnya adalah haram.

4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan

juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak

memungkinkan dirinya tergelincir dari perbuatan zina sekiranya tidak

kawin.20Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk

dapat memenuhi kewajiban suami istri yang baik.

5. Melakukan perkawinan yang hukumya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi

apabila tidak melakukannya tidak dikhawatir akan berbuat zina dan apabila

19

Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 18-19.

20

(28)

melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut

hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga

kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini

juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pnghambatan untuk

kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan

kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan,

mempunyai kemauan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan

yang kuat.

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang harus ada, yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan

itu.Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan

tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam

rangkain pekerjaan itu, selain itu sah adalah suatu pekerjaan (ibadah) yang

memenuhi rukun dan syarat.

Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing

rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Adapun rukun dan syarat sahnya

perkawinan antara lain sebagai berikut:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

(29)

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon istri, syarat-syarat:

a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

b. Perempuan

c. Jelas orangya

d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syarat:

a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.21

4. Saksi nikah, syarat-syarat:

a. Minimal dua orang lai-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam dewasa.

5. Ijab qabul, syarat-syarat:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

21

(30)

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau

umroh

g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu

mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang

saksi.22

Sedangkansyarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 meliputi:

a. Syarat-syarat materiil

1). Syarat-syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut:

a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti

persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon mempelai

perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan

kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah

pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina

keluarga.

b) Usia calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya harus sudah 19

tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16

tahun.

c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.23

(31)

2). Syarat materiil secara khusus, yaitu:

a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9, pasal 10, larangan

perkawinan antara dua orang yaitu:

1. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas.

2. Hubungan darah garis keturunan ke samping.

3. Hubungan semenda.

4. Hubungan susuan.

5. Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi.

6. Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku

dilarang kawin.

7. Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum

masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur

21 tahun. Yang berhak memberi izin nikah, yaitu:

1. Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.

2. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka

cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang

tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau

(32)

maka izin diperoleh dari wali yang memelihara calon mempelai

dan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

4. Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan

(4) serta seorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada

menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum

tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan

bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari

pengadilan diberikan kepada atas permintaan pihak yang hendak

melakukan perkawinan dan setelah lebih dulu pengadilan

mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-undang No.

1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4).24

b. Syarat-syarat formil

1). Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan yang harus dilakukan sekurang-kurangnya

10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan

dilaksanakan secara lisan atau tulisan oleh calon mempelai atau orang

tuanya, dimana pemberitahuan tersebut memuatnama, agama /

kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila

24

(33)

salah seorang atau keduanya telah kawin disebutkan juga nama istri atau

suami terdahulu.

2). Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu pengumuman

tentang pemberitahuan oleh pegawai pencatat perkawinan apabila ia

telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dilengkapi

dan apakahtidak terdapat halangan perkawinan.pengumuman dilakukan

dengan formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum serta telah ditanda

tangani oleh pegawai pencatat nikah.

Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon

mempelai serta hari, tanggal, jam dan tempat akan dilangsungkan

perkawinan.

3). Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan

masing-masing, pelaksanaan perkawinan dilaksanakan setelah hari ke 10

sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat nikah.

Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya dan dilaksanakan dihadapan pegawai

pencatat nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.

4). Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan

sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dan berakhir

sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan yaitu pada saat

aktaperkawinan selesai ditanda tangani oleh kedua mempelai, kedua

(34)

nikah. Dengan penandatangan akta perkawinan telah tercatat secara

resmi.

D. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera

dan bahagia.Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota

keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir batin disebabkan

terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah

kebahagian, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu

mendapat pemenuhan.Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT

untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas

hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi, yakni manusia yang antara lain

keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan

kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan

perkawinan.25Adapun tujuan perkawinan antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan keturunan

Naluri manusia cenderung untuk mempunyai keturunan yang sah,

keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat,

Negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberikan jalan untuk

itu.Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia dunia dan

25

(35)

akhirat.Kebahagian dunia dan akhirat itu dicapai dengan hidup berbakti

kepada Allah SWT secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan

bermasyarakat.Kehidupan keluarga bahagia, umunya antara lain ditentukan

oleh kehadiran anak-anak yang merupakan buah hati dan belahan jiwa.

Banyak orang yang hidup berumah tangga kandas karena tidak mendapat

karunia anak. Sebagai mana yang tercantum dalam surat Al-Furqoan ayat

74 berbunyi:

Artinya: “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),…(Q.S. Al-Furqan/25/74).

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk

berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT pada

surah Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun

adalah pakaian bagi mereka…(Q.S. Al-Baqarah:187).

Di samping perkawinan itu untuk pengaturan naluri seksual juga

untuk menyalurkan cinta kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara

harmonis dan bertanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih

(36)

tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak

terikat oleh satu norma.26

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan

perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan

kerusakan, baik kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan

masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu

cenderung untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik. Sebagaimana

dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:

Artinya: “….sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan… (Q.S. Yusuf :53).

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan

yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.

Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman

hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagian, yang mana

dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga

dalam keluarganya.Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari

keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah

tangga.

26

(37)

Selain itu, Allah menjadikan keluarga yang dibina dengan

perkawinan antara suami istri dalam membentuk keluarga dan ketentraman

serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.

Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yakni:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Ruum :21).

E. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Fuqoha

Batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih.

Bahkan dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan

perempuan yang masih kecil.Kebolehan tersebut karna tidak ada ayat

Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan

tidak pula ada hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan

Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya 6 tahun dan

menggaulinya setelah umur 9 tahun.27

Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu

ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam

perkawinan adalah 15 tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat batas

usia tersebut adalah 17/ 18 tahun.28

27

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, hal. 66

28

(38)

Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Qur’an atau

hadits nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Qur’an dan

begitu pula ada hadits Nabi secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia

tertentu. Adapun Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 6:

Artinya: “ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai

memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya ‟‟.

Dari ayat ini dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas

umur itu, maksudnya sudah baligh.

Agama Islam tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seseorang

yang telah sanggup kawin.Al-Qur’an dan hadits hanyalah menetapkan dengan

isyarat-isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslim untuk

menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk kawin sesuai dengan isyarat atau

tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat

dimana hukum itu akan diundang-undangkan.29

Para ulama menentukan batas umur itu dengan dalil “maslahah

mursalah’’, artinya dengan ditetapkan umur minimal bagi calon mempelai agar

telah matang jiwa dan raganya.Dengan kematangan jiwa dan raga, diharapkan

mendapatkan kebaikan/maslahat.30

29

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal 12

30

(39)

Hadits nabi menjelaskan bahwa yang diperintah kawin ialah orang-orang

yang telah berumur sedemikian rupa, sehingga sanggup melakukan hubungan

suami istri, memperoleh keturunan, berdasarkan hadits:

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada

kami Rosulullah saw: “ Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu

yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (mata) dan memelihara faraj.Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa.Maka puasa itu adalah perisai baginya‟‟. (H.R. Jamaah Ulama Hadits)

“Asy-Syabaab’’ berarti orang yang berumur antara 25 dan 31 tahun,

seperti umur Nabi Muhammad saw, ketika ia kawin dengan Khodijah ra, yaitu

umur 25 tahun. “Asy-Syabaab’’ itulah yang diperintahkan kawin oleh

Rosulullah SAW.

Hadist di atas dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menetapkan

umur yang paling tepat untuk melaksanakan perkawinan, sehingga perkawinan

itu mencapai tujuannya.31

Para ahli fiqih sepakat bahwa dibolehkan bapak atau kakek mengawinkan

anak-anak atau cucu-cucu mereka yang belum dewasa tanpa minta izin kepada

yang bersangkutan terlebih dahulu. Pendapat ini didasarkan kepada perkawinan

Rosulullah SAW dengan Aisyah ra yang waktu itu Aisyah belum baligh.

Mazhab Syafi’i menganjurkan sebaiknya bapak atau kakek tidak mengawinkan

31

(40)

anak-anak atau cucu-cucu mereka yang tidak mukallaf.32 Menurut Imam

Syafi’I hanya bapak dan kakeklah yang boleh mengawinkan anak-anak dan

cucu-cucu yang tidak mukallaf, sedang Imam Hanafi membolehkan semua wali

semua wali mengawinkan orang-orang yang di bawah perwaliannya yang tidak

mukallaf, karena anak kecil itu di bolehkan memilih apakah perkawinannya itu

di teruskan atau tidak setelah mereka mukallaf.

Menurut Imam Abu Hazm bapak tidak boleh mengawinkan anak yang

belum baligh (belum dewasa). Sekalipun pernah terjadi antara Aisyah r.a.

dengan Rosulullah, tetapi ini merupakan kekhususan bagi Rosulullah saw.

Pendapat Ibnu Hazm ini sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan, yaitu

melanjutkan keturunan.33

Selanjutnya mengenai perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah,

Ibnu Syubramah berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa

dijadikah hujjah (alasan), karena perkawinan tersebut merupakan pengecualian

atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak di berlakukan bagi

umatnya.

Perkawinan orang-orang yang belum dewasa tidak akan menghasilkan

keturunan yang baik. Apabila perkawinan dilaksanakan oleh orang-orang yang

belum dewasa, maka perkawinan itu tidak akan mencapai tujuannya, yakni

keturunan yang baik. Berbeda pendapat Imam Syafi’i yang dimaksud dengan

32

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah SAW Poligami Dalam Islam Vs Monogami Barat, h.10

33

(41)

wanita “ wanita dewasa’’ ialah wanita yang pernah kawin, sedangkan menurut

Imam Hanafi ialah wanita yang telah baligh.34

F. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Batas usia perkawinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui

Undang-undangan Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam. Adapun menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam

pasal 7 menyebutkan bahwa:

a. Perkawinan diizinkan jika para pihak pria sudah mencapai umur 19

(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun. Kemudian di pertegas lagi dalam pasal 15 ayat 1 KHI

(Kompilasi Hukum Islam) dengan rumusan sebagai berikut:

1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telai mencapai umur yang di

tetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon

suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Selain dua pasal di atas, ada pasal lain dalam Undang-undang

Perkawinan yang mengatur masalah batasan usia perkawinan calon

mempelai, yaitu pada Bab II pasal 6 ayat (2) yang menegaskan bahwa:

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin dari Orang Tua.

34

(42)

Dalam Undang-undang Perkawinan terdapat Asas-asas yang

mengharuskan setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan harus

adanya kematangan dari calon mempelai, sesuai dengan Asas-asas dalam

Undang-undang Perkawinan yaitu:

a. Asas sukarela

b. Asas partisipasi keluarga

c. Asas perceraian di persulit

d. Asas poligami dibatasi dengan ketat

e. Asas kematangan calon mempelai

f. Asas memperbaiki derajat kaum wanita

g. Asas legalitas

h. Asas (prinsip) selektivitas35

Dan apabila di sederhanakan, asas perkawinan itu menggandung

pengertian bahwa:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal.

b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama

dan kepercayaan masing-masing.

c. Asas monogamy.

d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa raganya.

e. Mempersulit perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.36

35

(43)

Dalam hal ini, masalah usia perkawinan berkaitan erat dengan asas pada

point yang keempat yakni “calon suami dan istri harus matang jiwa dan

raganya”. Penjelasannya adalah bahwa calon suami istri harus matang jiwa

raganya untuk melangsungkan perkawinan yang mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.37Kematangan yang

dimaksud adalah kematang umur perkawinan, kematangan berfikir dan

bertindak.

Prinsip tersebutpun erat kaitannya dengan masalah kependudukan. Karna

dengan adanya pembatasan usia perkawinan bagi wanita maka diharapkan laju

kelahiran dapat ditekan semaksimal mungkin. Ternyata bahwa batas usia yang

rendah bagi wanita mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Dengan

demikian program Keluarga Berencana dapat berjalan seiring dengan

Undang-undang perkawinan ini.38

Sehubungan dengan kedua hal tersebut, maka perkawinan bawah umur di

larang keras dan harus di cegah pelaksanaannya. Adapun perkawinan bawah

umur sesuai dengan Instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 tentang usia

perkawinan dalam rangka melindungi program kependudukan dan keluarga

berencana menjelaskan definisi tentang:

Perkawinan bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia

di bawah 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun untuk pria.”

36

Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal 173

37

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, Agustus 2007), cet ke 2, hal.26

38

(44)

Penyimpangan dari batas umur minimal perkawinan ini harus mendapat

dispensasi terlebih dahulu dari Pengadilan Agama.Pengajuan dispensasi dapat

diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai

umur untuk melangsungkan perkawinan. Antara kedua calon mempelai harus

ada kerelaan yang mutlak untuk melangsung perkawinan yang mereka

harapkan.Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama

secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan

kepercayaannya.39

Permohonan dispensasi perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama

dalam wilayah hukum pemohon.Dispensasi dari Pengadilan diberikan karena

memang benar-benar adanya keadaan memaksa (darurat) sehingga perkawinan

harus segera dilangsungkan walaupun calon mempelai berada dibawah umur,

misalnya wanita hamil sebelum perkawinan dilangsungkan/hamil diluar nikah.

Dalam hal demikian, KUA selaku lembaga pencatatan perkawinan harus

mengawinkan calon mempelai yang berada dalam keadaan tersebut.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan

permohonan dispensasi kawin, antara lain:

1. Surat permohonan.

2. Fotocopy akta kawin orang tua sebagai pemohon yang bermaterai.

3. Surat pemberitahuan penolakan perkawinan dari KUA karena belum

cukup umur.

39

(45)

4. Fotocopy akta kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan atau

fotocopy ijazah yang sah dan bermaterai.

Proses pengajuan permohonan perkara dispensasi kawin dilakukan secara

tertulis dan dapat pula dilakukan secara lisan bagi yang tidak bisa baca tulis

atau bagi yang tidak memiliki keahlian untuk membuatnya secara tetulis. Surat

permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke Kepaniteraan

Pengadilan Agama, pemohon menuju ke Meja I yang akan menaksir besarnya

panjar biaya perkara yang dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan mencukupi biaya

pemeriksaan perkara sampai selesai dan diputuskan.Biaya tersebut meliputi

biaya kepaniteraan dan materai, biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan

biaya sumpah, biaya pemeriksaan setempat dan tindakan lain hakim, biaya

pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan.40

Pemohon membayar panjar biaya perkara di Meja Kasir yang akan

menerima dan mencatatnya kemudian menandatangani SKUM yang

diserahkan kembali kepada pemohon. Selanjutnya, berkas perkara dan

kelengkapannya didaftarkan ke Meja II yang akan mencatat kedalam Register

Induk Perkara dan memberi nomor perkara sesuai nomor yang diberikan di

kasir, berkas perkara diserahkan ke Wakil Panitera untuk disampaikan ke

Ketua Pengadilan yang akan menunjuk Majlis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara.

40

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,

(46)

Penetapan Hari Sidang dilakukan oleh Majelis Hakim dipimpin oleh

Ketua Majelis dengan mempelajari berkas perkara dan menetapkan hari,

tanggal serta jam kapan perkara untuk pertama kalinya disidang dan

memerintahkan untuk memanggil pihak-pihak disertai dengan pemberitahuan

bahwa mereka dapat mempersiapkan saksi-saksi dan bukti-bukti yang akan

diajukan dalam persidangan.

Sebelum persidangan akan dilakukan pemanggilan kepada pihak-pihak

yang berperkara, pemanggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang

dipanggil ditempat tinggalnya. Penyampaian relaas (Berita Acara

Pemanggilan) kepada pihak harus dilakukan secara resmi dan patut,

ditandatangani oleh jurusita/jurusita pengganti dan orang yang menerima

panggilan. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam Berita Acara

Persidangan.

Pada hari sidang yang telah ditetapkan,pemohon seta calon suaminya

hadir secara pribadi di persidangan. Mereka memberikan keterangan dan

penjelasan secukupnya dipersidangan.

Selanjutnya Majelis Hakim memberikan penjelasan hal-hal yang

berkenaan dengan Dispensasi Nikah, mengingat usia pemohon belum

mencapai 16 Tahun, namun pemohon dan calon suaminya tetap berkehendak

untuk kawin, selanjutnya dibacakanlah permohonan pemohon.

Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon mengajukan

surat-surat bukti tertulis berupa: foto copy bermaterai, akta kelahiran atas nama

(47)

dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), selain bukti tertulispemohon

menghadirkan dua orang saksi di persidangan.

Setelah para saksi dihadirkan, kemudian pemohon menyatakan telah

cukup memberikan keterangan dan alat bukti, selanjutnya pemohon

berkesimpulan tetap dengan permohonannya dan memohon supaya Majelis

Hakim segera menjatuhkan penetapannya.

Setelah memeriksa dalam persidang dan berkeyakinan bahwa terdapat

hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi nikah dengan suatu

penetapan.Maka Pengadilan Agama yang memeriksa dan mengadili perkara

perdata tingkat pertama menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan

dispensasi nikah yang diajukan oleh pemohon.

Dalam hal ini pihak-pihak berkepentingan tidak dibenarkan membantu

melaksanakan perkawinan bawah umur, pelanggaran terhadap ketentuan yang

berlaku dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku.

Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam

rumah tangga yang selalu mendapat hidayah dan taufik dari Allah SWT.Oleh

karena itu agar tujuan yang diharapkan dapat terlaksana, maka kematangan

calon mempelai sangat diharapkan.Kematangan dimaksud adalah kemantangan

umur perkawinan, kematangan dalam berfikir dan bertindak sehingga tujuan

(48)

37

A. Keadaan Geografis Kelurahan Pamenang

Kelurahan Pamenang sebagai salah satu bagian unit kerja organisasi

yang merupakan perangkat kecamatan Pamenang, memiliki ciri dan

karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif

territorial, kehidupan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimana Kelurahan

Pamenang merupakan salah satu Desa dibawah pemerintahan Kabupaten

Merangin.

Luas wilayah administrative Kelurahan Pamenang meliputi 331 Ha,

terdiri dari luas pemukiman 221 Ha dan luas kuburan 10 Ha. Jumlah

penduduk tahun 2013 sebanyak 6019 jiwa terdiri dari laki-laki 3044 dan

perempuan 2975 dan terdapat 450 kk41.

Dan secara administrative batas-batas wilayah Kelurahan Pamenang

sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa mentawak baru

b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa rejosari sialang

c. Sebelah timur berbatasan dengan desa kroya, pauh menang

d. Sebelah barat berbatasan dengan desa muara belenggo

Sedangkan orbitrasi (jarak dari pusat ke desa) terhadap pusat-pusat

fasilitas kota.

41

(49)

1. Jarak ke ibu kota Kecamatan; 01 km

2. Jarak ke ibu kota Kabupaten; 31 km

3. Jarak ke ibu kota Provinsi; 259 km

Penduduk keselurahan menurut hasil pendataan berjumlah 6016 jiwa

terdiri dari laki-laki 3044 jiwa dan perempuan 2972 jiwa42.Kelurahan

Pamenang terdiri dari 10 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun Tetangga (RT).

B. Keadaan Demografis Kelurahan Pamenang

Masyarakat Kelurahan Pamenang sebagian besar bermata pencarian

sebagai petani yaitu berkebun / berladang dengan penghasilan utamanya karet

dan kelapa sawit, selain itu sebagian masyarakat juga berprofesi sebagai

pegawai negeri sipil, pengrajin industri rumah tangga, peternak, nelayan, tni,

polri, pengusaha kecil dan menegah,dan buruh43. Walaupun demikian

masyarakat Kelurahan Pamenang memiliki ikatan emosional yang kuat,

khusunya dalam kegiatan-kegiatan yang berdampak positif bagi warga.

Adapun fasilitas dan tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan

Pamenang dapat dilihat dari table berikut ini :

Tabel 1

Fasilitas Pendidikan Formal di Kelurahan Pamenang Tahun 2012-2013

No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas

1. Play group 3

2. Tk 3

3. Sd / sederajat 4

4. Smp / sederajat 2

5. Sma / sederajat 2

Sumber: data potensi desa dan kelurahan Tahun 2012-2013

42

Data Potensi Desa dan Kelurahan Tahun 2012-2013

43

(50)

Tabel 2

Fasilitas Pendidikan Formal Keagamaan di Kelurahan Pamenang Tahun 2012-2013

No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas

1 Raudhatul Athfal 1

2 Ibtidayah 3

3 Tsanawiyah 2

4 Aliyah 2

5 Pondok pesantren 2

Sumber: data potensi desa dan kelurahan Tahun 2012-2013

Mayoritas masyarakat di Kelurahan Pamenang memeluk agama Islam,

sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat

lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap tahun masyarakat selalu

mengadakan kegiatan agama seperti maulud, rajab, dan setiap minggu selalu

ada kegiatan pengajian rutin seperti yasinan dan majlis taklim yang di ikuti

oleh bapak-bapak, ibu-ibu. Di kelurahan Pamenang jarang ditemui

kegiatan-kegiatan untuk remaja sehingga menyebabkan banyak kaum remaja putra

maupun putri yang dapat melakukan pergaulan tanpa adanya rem dari dalam

dirinya, karena kurangnya pemahaman keagaamaan dalam diri mereka

ditambah kurangnya perhatian orang tua dan mudahnya membuka situs-situs

yang berbau pornografi akibat dari internet tidak sehat. Kondisi para remaja

di Kelurahan Pamenang perlu diperhatikan dan perlu adanya

kegiatan-kegiataan yang positif agar dapat menanbah pemahaman mereka.

Adapun fasilitas tempat ibadah di kelurahan Pamenang dapat dilihat

(51)

Table 1

Fasilitas Musholla di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013

Tabel 2

Fasilitas Masjid di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013

Table 3

Fasilitas Gereja di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

No Nama Gereja

1 HKBP

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tempat ibadah musholla dan

masjid lebih banyak dari pada tempat ibadah non Islam (gereja), meskipun

tempat beribadah mereka hanya ada satu tapi mereka bisa melaksanakannya

(52)

Islam, itu merupakan bentuk dari toleransi antar agama yang ada di

Kelurahan Pamenang. Adapun jumlah penduduk menurut agama yang dianut

dapat dilihat dalam table di bawah ini.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Penganut Agama

Agama Jumlah Penduduk Penganut Agama

Islam 4498 orang

Khatolik 19 orang

Protestan 1499 orang

Hindu -

Budha -

Sumber:Data Monografi Kecamatan Pamenang

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Pamenang

Desa Pamenang dapat dikategorikan sebagai wilayah desa dengan

jumlah penduduk yang relatif besar jika dibandingkan dengan wilayah

lainnya yang ada dalam provinsi jambi. Angka kelahiran dan kematian

berbanding sangat kontradiktif yang berarti bahwa tingkat kelahiran sangat

tinggi jika dibandingkan angka kematian. Kenyataan ini makin dikuatkan

dengan adanya anggapan yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat

bahwa banyak anak banyak rezeki. Secara tidak langsung memotivasi

masyrakat untuk memiliki keturunan sebanyak-banyaknya. Dengan ini dapat

dipastikan bahwa setiap keluarga minimal memiliki tiga orang anak, padahal

hampir setiap datangnya lebaran haji akanada minimal tiga pasang remaja

yang melangsungkan perkawinan.

Secara sosial, masyarakat desa ini di kenal ramah dan sangat santun

(53)

dilontarkan oleh beberapa pendatang musiman maupun yang telah menetap

lama di wilayah ini. Ketika berjumpa bahkan tidak segan-segan mereka

menyapa satu sama lainnya, bahkan terhadap orang asing sekalipun. Hal ini

mungkin disebabkan oleh budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi

persaudaraan dan silaturahmi dengan sesama.

Meskipun berpredikat sebagai penduduk mayoritas muslim,

masyarakat desa sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Menurut

pendapat masyarakat desa ini, setiap orang berhak untuk dihormati dan

menghormati tanpa memandang latar belakang agama yang dianutnya. Hal ini

terlihat dengan keramahan yang mereka tunjukan terhadap orang-orang dari

kalangan non muslim. Kalangan seperti ini biasannya terdiri dari tenaga

pengajar, tenaga kesehatan, serta para pekerja di berbagai lapangan pekerjaan

yang ada di Kelurahan Pamenang. Sampai saat ini terbukti tidak pernah

terjadi gesekan yang berujung pada perselisihan berlatar belakang agama,

karena masing-masing pihak menghormati haknya.

Di waktu sore hari, banyak di antara mereka yang memilih untuk

bersantai di balai-balai yang berada di pinggiran sungai atau di depan

toko-toko. Di sini terlihat bagaimana keakraban dan kebersamaan di antara mereka

tetap terjaga. Topik-topik obrolan mereka beragam, ada yang seputar

pekerjaan mereka ,rumah tangga, masyarakat, bahkan persoalan politik dan

ekonomi saat ini. Realitas demikian wajar terjadi karena dengan keuntungan

penjualan karet yang mereka miliki. Masyarakat desa ini dapat mengakses

(54)

terutama handphone mulai menjamur dan tidak lagi menjadi barang langka di

kelurahan ini karena hampir sebagian orang terutama para remaja telah

memiliki perangakat komunikasi ini.

Dari aspek politik, masyarakt Kelurahan Pamenang adalah warga

negara yang baik, terutama terindikasi dari tingginya tingat partisipasi

masyarakat untuk mengikuti beragam pemilihan umum yang di

selenggarakan di negeri ini. Masyarakat dengan sukarela dan tanpa intimidasi

dapat memilih partai politik yang menjadi pilihannya. Perbedaan pilihan

partai politik sejauh ini tidak menjadi hambatan dan memecah persatuan

masyarakat kelurahan Pamenang. Konflik kecil-kecilan sering terjadi, tetapi

biasanya hanya menjelang pemilu atau pilkada. Setelah event-event tersebut

berlalu, maka perselisihan tersebut pun hilang dengan sendirinya. Hal ini

dapat di mengerti karena masyarakat desa Pamenang merupakan sebuah

keluarga besar, di mana antara yang lain jika ditelusuri masih memiliki

hubungan darah atau bersaudara.

D. Praktik Perkawinan di Kelurahan Pamenang

Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang di

alami oleh hampir semua manusia di muka bumi ini walaupun ada beberapa

diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput.

Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah

selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

Perkawinan di Kelurahan Pamenang terkesan rumit karena banyaknya

Gambar

Tabel 1 Fasilitas Pendidikan Formal di Kelurahan Pamenang
Tabel 2
Table 1 Fasilitas Musholla di Kelurahan Pamenang
Tabel 4 Jumlah Penduduk Penganut Agama
+2

Referensi

Dokumen terkait

Para peneliti dalam bidang pendidikan matematika pada umumnya adalah dosen, guru, mahasiswa serta beberapa lembaga ataupun perseorangan yang peduli terhadap

Didalam LKj-IP ini disajikan target dan capaian kinerja Dinas Pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2016 yang meliputi 7 (Tujuh) sasaran strategis bidang

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, gaya yang diberikan pada struktur untuk bergetar tidak diketahui secara pasti, sehingga analisa properti modal dilakukan dengan hanya

No Kegiatan Keluaran Hasil Fisik Realisasi (%) (%) Keu 1 2 3 4 5 6 1 Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerakan Indonesia Menanam)

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah, dalam hal ini, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan sebagai evaluasi pelaksanaan Program Keluarga

Terkecuali bila pihak perempuan yang memang menginginkan untuk melihat biodata laki - laki terlebih dulu dan siap menerima apapun jawaban pihak laki - laki, maka urutan

I III-b PENYULUH NARKOBA AHLI PERTAMA SIE PENCEGAHAN BIDANG PENCEGAHAN DAN DAYAMAS BNNP SULAWESI TENGGARA. BNNP SULAWESI

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah