• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita yang melakukan pernikahan dini"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

i

TERHADAP KEPUASAN PERNIKAHAN WANITA

YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh:

Agustin Harrum Sari

20607004161

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

WANITA YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Agustin Harrum Sari

NIM : 206070004161

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi NIP. 19561223 198303 2 001 NIP. 19730328 200003 2 003

FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan

Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 14 September 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/ ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris

Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 19620724 19890 2 001

(4)

iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agustin Harrum Sari NIM : 20607004161

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh

Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan- kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang- Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik- baiknya.

Jakarta, 14 September 2011

(5)

v

Buah hasil kesabaran dan penantianku ini

aku persembahkan untuk kedua orang tua ku

dan semua orang yang mencintai dan

(6)

vi (A) Fakultas Psikologi

(B) September 2011

(C) Agustin Harrum Sari

(D) Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan

Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Pernikahan Dini

(E) 97 halaman + lampiran

(F) Tidak ada seorang wanita yang telah menikah tidak menginginkan kepuasan di dalam pernikahannya. Namun untuk memperoleh semua itu tidaklah mudah, karena mengingat adanya perbedaan pada setiap pasangan suami- istri baik dalam kemampuan dalam berkomunikasinya, kemampuan dalam memecahkan masalahnya, karakternya, kebutuhannya, dan lain- lain yang dimiliki oleh masing- masing pasangan. Dengan perbedaan yang demikian akan menyebabkan tercapainya suatu kepuasan pernikahan yang berbeda pula yaitu kepuasan pernikahan yang tergolong tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor personal, faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan interpersonal, faktor anak, faktor seksual, faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal), faktor kebersamaan, faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik, faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan, faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan dalam pernikahan, dan faktor peran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan

berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan menggunakan jenis penelitian korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel- variabel yang berbeda dalam suatu populasi.

Analisis data yang digunakan adalah uji regresi ganda. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah wanita yang menikah pada usia ≤ 18 tahun dan usia pernikahannya ± 5 tahun. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/ kuesioner. Instrumen yang digunakan pada skala kepuasan pernikahan berdasarkan indikator Lauer & Lauer, et. al (dalam Baron & Byrne, 2005) yang berjumlah 52 aitem, skala kemampuan berkomunikasi berdasarkan indikator dari Bochner & Kelly ( dalam Joseph A. DeVito, 1997 ) yang berjumlah 36 aitem, dan skala kemampuan memecahkan masalah berdasarkan indikator Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) yang berjumlah 23 aitem.

(7)

vii

sumbangsih sebesar 89.5% terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Sedangkan 10.5% sisanya dipengaruhi oleh faktor- faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin meneliti dengan subjek yang menikah pada usia dini/ ≤ 18 tahun sebaiknya meneliti subjek yang melakukan pernikahan dini pada usia pernikahan minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun, agar dapat mengetahui seberapa besar kemampuan subjek yang telah menikah di usia dini dalam hal berkomunikasi dan memecahkan masalah pada rentangan usia remaja awal dan akhir. Selain itu menambahkan atau menggunakan variabel atau faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan selain kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah seperti pendapatan/ ekonomi, dan hubungan dengan keluarga besar pasangan.

Kata kunci : kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah

(8)

viii Assalamu’ alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang melakukan Pernikahan Dini”. Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

2. Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.

3. Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang teramat bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini.

4. Seluruh dosen dan seluruh staf karyawan Fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

5. Camat Pamulang beserta staf, terima kasih telah memberikan kemudahan peneliti dalam melakukan penelitian di wilayah Pamulang.

(9)

ix

Kak Fitri. Terima kasih atas semua doa, dukungan, sumber inspirasi dan semangat yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik.

8. Kepada Panda Aditya Saputra dan keluarga, terima kasih atas doa, dukungan,

sumber inspirasi, semangat serta kesabarannya dalam membantu

penyelesaian skripsi ini.

9. Pak Chaidir dan Pak Badawi pengurus perpustakaan Fakultas Psikologi atas segala bantuan selama penulis menuntut ilmu.

10. Teman- teman Fakultas Psikologi Non- Reguler angkatan 2006 (meja besi), serta teman- teman seperjuanganku (Dewi, Sherny, Indri, Vera, Neta, Ita, Tsara, Bintang, Dedeh, Iha, Kak Lidya, Mbak Yue, Kak Retno, Kak Nida) yang telah memberikan dukungan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar- besarnya. Mudah- mudahan penelitian skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian skripsi ini. Wassalam.

Jakarta, September 2011

(10)

x

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

MOTTO... v

ABSTRAKSI... vi

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

1.2.1 Pembatasan Masalah... 7

1.2.2 Perumusan Masalah... 9

1.3 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Manfaat Penelitian... 10

1.5 Sistematika Penulisan... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pernikahan... 13

2.1.1 Pengertian Pernikahan... 13

2.2 Kepuasan Pernikahan... 15

2.2.1 Pengertian Kepuasan Pernikahan... 15

2.2.2 Faktor- faktor Kepuasan Pernikahan... 16

2.2.3 Indikator Kepuasan Pernikahan... 23

2.3 Kemampuan Berkomunikasi... 27

2.3.1 Pengertian Kemampuan Berkomunikasi... 27

(11)

xi

2.4 Kemampuan Memecahkan Masalah... 34

2.4.1 Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah... 34

2.4.2 Proses Memecahkan Masalah... 36

2.5 Kerangka Berpikir... 44

2.6 Hipotesis... 47

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 50

3.1.1 Pendekatan Penelitian... 50

3.2 Variabel Penelitian... 51

3.2.1 Identifikasi Variabel... 51

3.2.2 Definisi Konseptual Variabel... 51

3.2.3 Definisi Operasional Variabel... 52

3.3 Populasi dan Sampel... 53

3.3.1 Populasi... 53

3.3.2 Sampel... 53

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 54

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Penelitian... 54

3.4.1 Metode Pengumpulan Data... 54

3.4.2 Teknik Uji Instrumen Penelitian... 59

3.5 Prosedur Penelitian... 61

3.5.1 Persiapan Penelitian... 61

3.5.2 Pengujian Alat Ukur... 62

3.5.3 Pelaksanaan Penelitian... 66

3.5.4 Pengolahan Data... 66

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Responden... 67

(12)

xii

4.2 Deskripsi Data... 69

4.2.1 Kategorisasi Kepuasan Pernikahan... 70

4.2.2 Kategorisasi Kemampuan Berkomunikasi... 71

4.2.3 Kategorisasi Kemampuan Memecahkan Masalah... 73

4.3 Hasil Uji Hipotesis... 75

4.3.1 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi, Kemampuan Memecahkan Masalah, dan Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 75

4.3.2 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 78

4.3.3 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan... 83

4.3.4 Hasil Uji Regresi Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 85

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89

5.2 Diskusi... 90

5.3 Saran... 93

5.3.1 Saran Teoritis... 93

5.3.2 Saran Praktis... 94

(13)

xiii

Tabel 3.1 Skor Pernyataan... 55

Tabel 3.2 Blue Print Kepuasan Pernikahan... 55

Tabel 3.3 Blue Print Kemampuan Berkomunikasi... 57

Tabel 3.4 Blue Print Kemampuan Memecahkan Masalah... 58

Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 60

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Skala Kepuasan Pernikahan... 62

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Berkomunikasi... 64

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Memecahkan Masalah 65 Tabel 4.1 Gambaran Umur Responden Berdasarkan Usia Saat Menikah 67 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan... 68

Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Subjek... 69

Tabel 4.4 Skor Skala Kepuasan Pernikahan... 70

Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan... 71

Tabel 4.6 Skor Skala Kemampuan Berkomunikasi... 72

Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Kemampuan Berkomunikasi... 73

Tabel 4.8 Skor Skala Kemampuan Memecahkan Masalah... 74

Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Kemampuan Memecahkan Masalah... 75

Tabel 4.10 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah tehadap Kepuasan Pernikahan... 76

(14)

xiv

Tabel 4.13 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi tehadap

Kepuasan Pernikahan... 78

Tabel 4.14 Anova Kemampuan Berkomunikasi tehadap Kepuasan

Pernikahan... 79

Tabel 4.15 Proporsi Varian pada aspek- aspek variabel Kemampuan

Berkomunikasi... 80

Tabel 4.16 Model Summary Aspek Keterbukaan (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 80

Tabel 4.17 Model Summary Aspek Empati (Kemampuan Berkomunikasi

Terhadap Kepuasan Penikahan)... 81

Tabel 4.18 Model Summary Aspek Sikap Positif (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82

Tabel 4.19 Model Summary Aspek Kesetaraan (Kemampuan

Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82

Tabel 4.20 Model Summary Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap

Kepuasan Pernikahan... 84

Tabel 4.21 Anova Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan

Penikahan... 84

Tabel 4.22 Model Summary Aspek Usia Subjek Saat Menikah (Aspek

Demografi terhadap Kepuasan Pernikahan)... 85

Tabel 4.23 Model Summary Aspek Pendidikan Terakhir Subjek saat

(15)

xv

(16)

xvi

2.1 Gambar Proses Komunikasi... 29

2.2 Gambar Alur Pemecahan Masalah... 37

2.3 Gambar Kerangka Berpikir Penelitian Pengaruh Kemampuan

Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan perkembangan hidup manusia, setiap manusia mengalami

perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan

dalam kehidupan manusia adalah menikah. Ada satu tahapan perkembangan

dimana tujuan besar seorang perempuan yang belum menikah adalah tahapan

untuk menjalani suatu perkawinan (Hurlock, 1991). Menikah merupakan tahapan

dari kehidupan, yang merupakan suatu usaha untuk membina hubungan dengan

orang lain dalam diri masing- masing untuk membentuk kehidupan rumah tangga.

Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah suci, sunnah Rasul, dan Ibadah. Oleh

karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga

secara Islam dan hidup secara Islami. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh

Rasulullah SAW lewat sabdanya : “Hai para remaja, barangsiapa di antara

kalian telah mampu menjalankan sebuah pernikahan maka menikahlah dan

barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa

akan menghindari perbuatan dosa” (H.R. Muslim).

Pada prinsipnya, pernikahan diawali dengan niat atau nawaitu selain itu

pernikahan perlu didasari sikap saling asih-asah-asuh antara pasangan suami-istri.

Semua itu tidak lepas dari peran serta agama, karena agama sangatlah berperan

(18)

Di dalam pernikahan sudah pasti setiap pasangan memiliki tujuan yang ingin

dicapai, yaitu agar dapat terpenuhinya sebagian besar kebutuhan pribadi, karna

setiap orang yang memasuki kehidupan pernikahan pastilah berdasarkan

kebutuhan, harapan dan keinginannya sendiri-sendiri. Pemenuhan kebutuhan

psikologis adalah alasan terpenting untuk memasuki pernikahan. Tujuan yang

jelas akan membimbing pasangan suami- istri untuk mewujudkan keluarga yang

harmonis, karna keharmonisan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari tujuan

awal dalam membangun rumah tangga.

Semua pasangan suami istri, menginginkan memperoleh kepuasaan di dalam

pernikahannya. Karena pernikahan yang memuaskan merupakan dambaan setiap

pasangan suami istri, kepuasan pernikahan antara suami dan istri akan tercapai

jika kebutuhan- kebutuhan individu dapat terpenuhi antara lain kebutuhan sosial,

psikologis, dan biologis.

Kepuasan pernikahan seseorang merupakan penilaiannya sendiri terhadap situasi

perkawinan yang dipersepsikan menurut tolak ukur masing- masing pasangan.

Oleh sebab itu, diduga bahwa keberhasilan dalam pernikahan tergantung pada

kebahagiaan dari pribadi individu. Tidak sedikit dijumpai adanya ketidak

harmonisan di dalam hubungan pernikahan, baik yang baru menikah bahkan yang

sudah bertahun- tahun menikah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005).

Menurut pandangan Islam di dalam surat Ar-Rum ayat 21, bahwa pernikahan

dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin antara suami dan istri dalam

kehidupan rumah tangga yang tentram, nyaman, damai dan sejahtera, ketika

(19)

pernikahan yang ingin dicapai oleh setiap orang tidak muncul dengan sendirinya,

tetapi hal tersebut harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua belah pihak yaitu

suami dan istri.

Adapun pengertian dari Kepuasaan Pernikahan adalah suatu pengalaman

subjektif, perasaan yang kuat, dan yang didasarkan pada faktor dalam individu

yang mempengaruhi kualitas interaksi dalam pernikahan (Weiss, 2005).

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan kemungkinan

akan muncul berbagai permasalahan, yang sedikit banyak mempengaruhi

keharmonisan rumah tangga. Singkatnya, setiap perkawinan tidak akan terhindar

dari konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan

memutuskan untuk mengalah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005). Serupa dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin, Geroff, Feld (dalam Michael dan

Savitri, 1994) bahwa sebesar 45 % orang yang sudah menikah mengatakan bahwa

dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Karena di dalam semua

perkawinan terdiri dari individu yang unik, maka keunikan inilah yang sering

menyulitkan suami- istri untuk saling mengerti, memahami dan mengakomodasi

(Izzatul Jannah, 2008 ).

Dari keunikan itulah, terkadang menimbulkan masalah jika keduanya tidak saling

berusaha memahami, beradaptasi dan menerima perbedaan yang ada. Walaupun

sudah secara matang dipersiapkan dan cukup mendalam perkenalan pribadi antara

pasangan, juga tidak luput dari perselisihan- perselisihan faham atau

pertengkaran- pertengkaran, baik itu yang berasal dari pasangan, lingkungan luar,

(20)

Tetapi perbedaan- perbedaan tersebut bukanlah penghalang bagi pasangan untuk

mendapatkan kebahagiaan. Diduga, banyak pula pasangan yang melakukan

pernikahan dini yang sebenarnya tumbuh dari perbedaan- perbedaan yang ada

diantara kedua pasangan, tetapi menjadi cocok setelah beberapa saat hidup

bersama dan tidak berarti bahwa kalau seseorang cukup mengenal calon

pasangannya akan menjamin terjalinnya kehidupan perkawinan yang memuaskan

kedua belah pihak. Maka pemilihan pasangan hidup dalam pernikahan dini

dibutuhkan penyesuaian dengan pasangannya, seperti : penyesuaian minat,

temperamen, dan cara- cara mengungkapkan kasih sayang (Hurlock, 1994).

Tetapi, seringkali ditemui kenyataan bahwa pasangan suami- istri yang menikah

di usia dini memiliki perbedaan persepsi terhadap pemenuhan kebutuhan

pasangannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan permasalahan rumah tangga

antara suami- istri. Akan tetapi pada pasangan yang menikah muda,

kecenderungan untuk berdamai kembali setelah mengalami konflik lebih tinggi

dibandingkan dengan pasangan yang berusia 40- an. Hal ini serupa dengan

Papalia & Olds (dalam M. Fauzil Adhim, 2002) mengemukakan bahwa

kecenderungan untuk rujuk atau berdamai kembali stelah mengalami konflik pada

pasangan muda sebesar 89%, sedangkan pada mereka yang berusia 40- an hanya

sebesar 31%.

Karena itu, para pasangan suami- istri yang menikah pada usia dini dalam

mengatasi permasalahan dalam pernikahan mereka membutuhkan kedewasaan,

dalam arti dewasa secara mental bukan hanya usia. Bisa saja seseorang yang

(21)

seseorang atau pasangan suami- istri yang menikah pada usia ≤18 tahun kedewasaan secara mental sudah ada dalam diri mereka masing- masing, karena

yang menyebabkan pernikahan usia muda rentan konflik bukan terletak pada usia,

melainkan pada aspek- aspek mental yang bersangkut paut dengan proses

pembentukkan rumah tangga (dalam M. Fauzil Adhim, 2002).

Dalam hal ini, sekecil apa pun masalah yang sedang dihadapi tidak akan bisa

selesai jika hanya dibiarkan tanpa pemecahan masalah. Pemecahan masalah

tersebut harus melibatkan usaha bersama (suami dan istri), agar dapat

memperoleh solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Salah satu solusi dalam pemecahan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga

adalah melakukan komunikasi yang efektif. Hendaknya suami dan istri yang

masuk di dalam pernikahan usia muda dapat saling memahami satu sama lain.

Walau memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai suami istri harus bisa saling

memahami satu sama lain. Setiap masalah yang terjadi harus diselesaikan dengan

kepala dingin. Karena konflik sering muncul disebabkan oleh komunikasi yang

buruk antara suami dan istri, tetapi komunikasi juga dapat menyelesaikan masalah

jika komunikasi berjalan dengan lancar. Davis, 2004 (dalam Rita Eka

Chandrasari, 2009) menyatakan, bahwa para pasangan yang mengalami masalah

pernikahan seringkali menyebutkan kurangnya komunikasi sebagai penyebab

utama munculnya masalah antara mereka.

Dalam hal ini, pasangan suami- istri seharusnya memiliki ketrampilan komunikasi

yang lebih baik. Agar mereka dapat belajar bagaimana cara menghadapi

(22)

ketika masing- masing pasangan mampu mengungkapkan isi hatinya secara

terbuka dengan kontrol emosi yang baik. Olson (dalam Olson, 2002) menemukan

79 % pasangan merasa senang apabila pasangannya mampu memahami dirinya,

96% pasangan merasa senang apabila dapat mengekspresikan perasaannya, 83%

pasangan merasa senang apabila mereka menjadi pendengar yang baik, dan 79%

pasangan merasa senang apabila pasangannya menghargai setiap pendapat yang

diberikan pasangannya. Begitupun Navron & Orthner, 1976 (dalam Izzatul

Jannah, 2008) menyampaikan pendapat yang serupa, bahwa pasangan yang telah

menikah akan merasa dimengerti oleh pasangannya apabila mereka tahu

bagaimana cara menyampaikan pesan mereka.

Oleh sebab itu, betapa pentingnya pasangan suami- istri memiliki kemampuan

dalam berkomunikasi, karena kemampuan berkomunikasi yang dimiliki pasangan

suami- istri dapat mengatasi kebingungan, kesalahpahaman dan perbedaan

pendapat antara suami- istri yang dapat berujung pada permasalahan di dalam

rumah tangga. Sebagaimana hasil penelitian Namun- Mee Lim (Universitas

Tunku Abdul Rahman- Malaysia, 2011), menyatakan bahwa pada pasangan yang

menikah di usia 18 tahun semakin memiliki kemampuan komunikasi yang baik,

semakin baik pula dalam menangani konflik yang terjadi.

Jadi, dua orang yang menjalani sebuah pernikahan dan tinggal di dalam satu atap,

besar kemungkinan untuk hidup dengan suatu permasalahan, yang dapat

mempengaruhi kepuasan pernikahan. Meskipun di dalamnya terdapat komunikasi

yang intens antara suami- istri yang cukup lama akan dapat membantu

(23)

dapat saling mengerti dan memahami pesan yang disampaikan dalam pemenuhan

kebutuhan pasangannya. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian

mengenai “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan

Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Perniakahan

Dini”.

1.2.

Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1.2.1.

Pembatasan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini tidak meluas maka penulis membatasi

permasalahan dalam penelitian, yaitu :

A. Kepuasan pernikahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini

ditandai dengan adanya hubungan persahabatan yang kuat dan

perasaan saling menyukai pribadi masing- masing, adanya

komitmen diantara pasangan, adanya persamaan dalam cara

menunjukkan kasih sayang kepada pasangan, dan penyesuaian

dalam hubungan seksual, serta adanya perasaan positif terhadap

pasangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lauer & Lauer, et.

al (dalam Baron & Byrne, 2005).

B. Kemampuan berkomunikasi dalam penelitian ini seperti yang

dikemukakan oleh Bochner & Kelly (dalam Joseph A.

DeVito,1997) adalah adanya keterbukaan, empati, sikap

mendukung, sikap positif, dan kesetaraan terhadap pasangan.

(24)

sikap positif, maka peneliti memilih salah satu aspek yaitu aspek

sikap positif. Jadi pada variabel kemampuan berkomunikasi terdiri

dari 4 aspek, yaitu keterbukaan, empati, sikap positif, dan

kesetaraan.

C. Kemampuan memecahkan masalah dalam penelitian ini meliputi

kemampuan untuk menemukan fakta, menemukan masalah,

menemukan gagasan, menentukan solusi, menemukan

pelaksanaan/ penerimaan untuk melokasikan suatu solusi bagi

kontroversi yang terjadi, agar dapat diterima oleh semua pihak,

sebagaimana dikemukakan oleh Parnes (dalam Utami Munandar,

1999).

D. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai aspek- aspek yang

dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, maka peneliti

menambahkan aspek demografi seperti : usia saat menikah,

pendidikan terakhir saat menikah dan status pekerjaan.

D. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pamulang, adapun

karakteristik subjek yang dijadikan responden dalam penelitian

ini memiliki dua karakteristik, yaitu:

(25)

1.2.2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah disampaikan di atas, maka dapat

dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan

kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek keterbukaan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek empati dari variabel

kemampuan berkomunikasi kepuasan pernikahan?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek sikap positif dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek kesetaraan dari variabel

kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan memecahkan masalah

terhadap kepuasan pernikahan?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek usia subjek saat menikah

terhadap kepuasan pernikahan?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek pendidikan terakhir saat

(26)

9. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek status pekerjaan subjek

terhadap kepuasan pernikahan?

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan “untuk menguji pengaruh kemampuan berkomunikasi

dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita

yang melakukan pernikahan di usia remaja (usia dini).”

1.3.2.

Manfaat Penelitian

- Secara Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berkembanganya Ilmu Pengetahuan khususnya bidang Ilmu Psikologi

Sosial dan Ilmu Psikologi Keluarga.

- Secara Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan bacaan serta masukan, khususnya bagi penulis dan

masyarakat, sehingga dapat mengetahui dampak positif maupun dampak

negatif apabila kemampuan dalam memecahkan masalah dan kemampuan

berkomunikasi di dalam pernikahan tidak tercapai, yang lambat- laun

dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan khususnya pada pernikahan

(27)

1.4.

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika di dalam penulisan laporan peneliitian ini adalah sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini dipaparkan latar belakang permasalahan yang

menjadi topik bahasan penelitian, pembatasan serta perumusan

permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab kajian teori dijelaskan variabel- variabel penelitian dan teori-

teori para ahli yang memiliki kesesuaian dengan tema penelitian, yaitu

tentang kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan

memecahkan masalah serta kerangka berpikir di dalam laporan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab tiga memuat pendekatan yang digunakan dalam penelitian, instrumen

penelitian, teknik analisis data dan tahapan- tahapan dalam penelitian.

BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN

Bab empat berisi hasil penelitian yang telah dilakukan dan analisis

(28)

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Bab lima berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dillakukan,

diskusi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan saran bagi penelitian

(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Pernikahan

2.1.1. Pengertian pernikahan

Di dalam bab I UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, merumuskan pengertian

perkawinan atau pernikahan yaitu sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

( Hukum kekeluargaan nasional, 1991).

Duvall dan Miller (1985) menambahkan pendapatnya mengenai pernikahan,

bahwa pernikahan merupakan hubungan yang diketahui secara sosial antara

perempuan dan laki- laki yang berkaitan dengan hubungan seksual yang sah.

Ditinjau dari segi agama Islam pernikahan memiliki fungsi dan tujuan, salah

satunya adalah dapat melestarikan keturunan. Sebagaimana yang telah disiratkan

dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 1, Allah SWT berfirman :

                                               

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

menciptakan kamu dari jenis yang satu, dan dari padanya, Allah menciptakan

(30)

perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

Mengawasi kamu. (Qurayis Shihab dalam Tafsir Al- Misbah)

Disinilah terlihat bahwa Allah SWT memberi sinyal dan tanda bahwa manusia

diciptakan oleh Allah untuk berpasang- pasangan dan dengan adanya pasangan

tersebut kita memiliki keturunan, yang diharapkan keturunan tersebut dapat

mempertahankan kelangsungan kehidupan berikutnya.

Menurut Bernard dalam Santrock (2002), pernikahan biasanya digambarkan

sebagai bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua

sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang

baru.

Dari definisi- definisi yang dikemukakan di atas nampak bahwa pernikahan

adalah tempat pelegalan suatu hubungan antar dua manusia yang berlainan jenis

kelamin. Selain itu, pernikahan juga digunakan sebagai wahana bagi pembentukan

(31)

2.2. Kepuasan Pernikahan

2.2.1. Pengertian kepuasan pernikahan

Kepuasan pernikahan berasal dari kata kepuasan dan pernikahan. Kepuasan

(satisfaction) dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2006) diartikan sebagai

satu keadaan kesenangan dan kesejahteraan, disebabkan karena orang telah

mencapai satu tujuan atau sasaran. Sedangkan pernikahan menurut Duvall &

Miller (1985) adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang

ditujukan untuk melegalkan suatu hubungan, melegitimasi membesarkan anak,

dan membangun hubungan dalam perkembangan anak di antara sesama pasangan.

Seperti selayaknya berada dalam hubungan, tiap- tiap individu yang berada dalam

hubungan pernikahan juga menginginkan kepuasan di dalam hubungan mereka.

Kepuasan pernikahan ini tampaknya memiliki arti yang agak berbeda bagi suami

dan istri. Bagi suami, umumnya kepuasan pernikahan ini berarti terpenuhinya

perasaan dihargai, kesetiaan dan perjanjian terhadap masa depan dari hubungan

tersebut. Sedangkan bagi istri, kepuasan pernikahan berarti terpenuhinya rasa

aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi (Duvall & Miller,

1985).

Sedangkan menurut Weiss (dalam William M. Pinsof dan Jay L. Lebow, 2005)

mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman yang

subjektif; perasaan yang kuat dan sebuah perilaku yang didasari atas faktor- faktor

antar individu yang dipengaruhi oleh kualitas interaksi di dalam pernikahan yang

(32)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan

adanya suatu perasaan senang yang kuat yang disebabkan oleh tercapainya tujuan

yang dikehendaki oleh pasangan yang terikat dalam status pernikahan sebagai

simbol dari adanya rasa kasih sayang, kesetiaan, terbinanya intimasi, dan

keakraban emosional yang bersifat subjektif.

2.2.2. Faktor- Faktor Kepuasan Pernikahan

Baik suami ataupun istri dapat mengembangkan karakteristik atau faktor yang

dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kepuasan pernikahan (Duvall

& Miller, 1985). Faktor atau karakteristik yang mendatangkan kepuasan

pernikahan dibagi menjadi dua :

1. Karakteristik masa lalu (background characteristic)

a. Kebahagiaan dalam pernikahan orang tua

Kebahagiaan pada pernikahan orang tua merupakan salah satu

karakteristik yang mendukung terciptanya kepuasan pernikahan

yang tinggi. Pernikahan orang tua menjadi model dalam menjalani

kehidupan pernikahan anak.

b. Disiplin

Kedisplinan yang diterapkan oleh orang tua sejak kecil berada pada

tahap yang baik (adanya pemberian hukuman yang sesuai untuk

setiap kesalahan yang diperbuat, namun tidak membuat anak

(33)

c. Kedekatan

Adanya waktu yang cukup dan memadai untuk melakukan

pendekatan (saling mengenal antar pasangan) sebelum memasuki

pernikahan

d. Adanya pendidikan seks yang memadai dari orang tua

Pendidikan seks diberikan dalam porsi yang benar, dalam waktu

yang tepat.

e. Masa kanak- kanak

Rasa bahagia di masa kanak- kanak diperoleh melalui hubungan

anak dengan orang tua dan lingkungan sosialnya. Hubungan

dengan orang tua yang berjalan harmonis menimbulkan kelekatan

antara orang tua dengan anak, hal ini dapat mempermudah proses

penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.

f. Pendidikan

Untuk pendidikan formal minimal sampai pada tahap sekolah

menengah atas (SMA). Semakin tinggi pendidikan pasangan dalam

suatu pernikahan akan semakin mempermudah proses penyesuaian

(34)

2. Karakteristik masa kini (current characteristic)

a. Kehidupan seksual

Baik suami maupun istri saling menikmati kehidupan seksual yang

mereka jalani (hubungan seksual yang saling dinikmati oleh kedua

belah pihak).

b. Kepuasan terhadap tempat tinggal

Memiliki tempat tinggal yang relatif menetap (adanya tempat

tinggal yang relatif permanen) akan menimbulkan perasaan aman

bagi masing- masing pasangan, yang pada akhirnya akan

meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.

c. Pendapatan keluarga

Adanya pemasukan yang dapat mencukupi kebutuhan pokok

keluarga (penghasilan yang memadai), sehingga dapat

meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.

d. Tingkat kesetaraan

Tidak ada dominasi dari salah satu pasangan, baik suami maupun

istri (adanya persamaan antara suami istri (equalitarian), tidak ada

yang mendominasi pihak lain, keputusan dibuat bersama). Setiap

(35)

dengan kesepakatan yang setara antara suami dengan istri maupun

sebaliknya.

e. Komunikasi

Adanya komunikasi yang terbuka dan positif dari suami kepada

istri maupun sebaiknya (adanya keterbukaan, kebebasan

berkomunikasi antara kedua belah pihak secara emosional, sosial,

maupun seksual).

f. Kehidupan sosial

Keluarga memiliki kehidupan sosial yang menyenangkan (adanya

kebersamaan dalam kehidupan sosial). Misalnya ikut berpartisipasi

dalam kegiatan yang menjadi minat mereka, mempunyai teman

dan perkumpulan yang satu minat dengan mereka.

g. Ekspresi kasih sayang/ afeksi

Adanya ekspresi kasih sayang yang nyata dari suami maupun istri

(adanya keterbukaan dalam mengungkapkan afeksi antara suami

dan istri).

h. Kepercayaan

Adanya rasa saling dari suami kepada istri dan juga sebaliknya

(36)

Hal ini penting karena kecurigaan yang timbul diantara pasangan

dapat memicu konflik dalam kehidupan pernikahan.

Duvall dan Miller (1985) menambahkan bahwa diantara dua macam karakteristik

tersebut, karakteristik masa kini merupakan faktor yang lebih berpengaruh

terhadap tercapainya kepuasan pernikahan.

Hurlock (1980) menambahkan, bahwa ada empat faktor penunjang yang paling

umum dan paling penting bagi terwujudnya kepuasan pernikahan, yaitu melalui

penyesuaian antara lain:

a. Penyesuaian sosial terhadap pasangan

Penyesuaian hubungan interpersonal dalam pernikahan lebih sulit

dilakukan dari bentuk- bentuk hubungan sosial yang lain karena

banyaknya faktor yang mempengaruhi. Diantaranya adalah konsep

tentang pasangan ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar

belakang, adanya aktifitas atau hal tertentu yang menjadi minat kedua

belah pihak, kesamaan nilai- nilai yang dipegang, konsep tentang

peran, serta perubahan dalam pola hidup.

b. Penyesuaian seksual

Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual antara lain

adalah sikap terhadap seks, pengalaman tentang seks di masa lalu,

(37)

pra- nikah, sikap terhadap penggunaan alat- lat kontrasepsi, serta efek

dari vasektomi pada pria.

c. Penyesuaian keuangan

Ketersediaan maupun kekurangan uang mempunyai pengaruh terhadap

penyesuaian pernikahan yang harus dilakukan seseorang. Situasi

finansial bisa membahayakan penyesuaian pernikahan dalam dua area

penting. Pertama, jika istri mengharapkan suami untuk berbagai beban

kerja karena istri mulai mengalami burn out dalam mengurusi rumah

tangga. Kedua, jika ada keinginan untuk memiliki barang- barang

tertentu sebagai simbol kesuksesan, dan suami tidak mampu

memenuhinya.

d. Penyesuaian terhadap keluarga besar pasangan

Di dalam pernikahan, seseorang sekaligus juga mendapatkan sebuah

keluarga besar baru. Meskipun banyak yang mengidentifikasikan

pernikahan sebagai penyatuan dua individu, namun pada kenyataannya

pernikahan juga merupakan penyatuan dua keluarga secara menyeluruh

(Santrock, 2002). Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian

terhadap keluarga besar adalah adanya stereotype mengenai anggota

keluarga tertentu, keinginan akan independensi, kohesivitas keluarga,

mobilitas sosial, perawatan terhadap anggota keluarga yang lebih tua,

(38)

Berdasarkan teori dari Duvall dan Miller (1985), Hurlock (1980), yang telah

diuraikan sebelumnya, maka peneliti akan menyimpulkan faktor- faktor yang

secara teoritis mempengaruhi kepuasan pernikahan :

1) Faktor personal

2) Faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan

interpersonal

3) Faktor anak

4) Faktor seksual

5) Faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal)

6) Faktor kebersamaan

7) Faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik

8) Faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan

9) Faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan

dalam pernikahan

10) Faktor peran

(39)

2.2.3.

Indikator Kepuasan Pernikahan

Lauer et. al mengidentifikasi indikator kepuasan pernikahan (dalam Baron &

Byrne, 2005). Yaitu :

1. Komitmen (commitment)

a) Menganggap pernikahan sebagai komitmen jangka panjang

Banyak orang yang menginginkan adanya seseorang yang mau

mendedikasikan dirinya pada pasangannya dengan tulus. Pernikahan

merupakan suatu ekspresi dari tipe dedikasi ini (Stinnet, dalam Turner &

Helms, 1987).

b) Menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang suci

Ikatan pernikahan pada budaya kita dipandang sebagai ikatan yang

langgeng dan suci. Karena banyak pasangan suami istri mengabaikan

kebutuhan pribadinya, tetapi harus tetap mempertahankan kesatuan

hubungan suami istri. (Davidoff, 1991).

c) Menganggap suatu pernikahan penting sebagai stabilitas sosial

Pernikahan menyediakan persetujuan sosial dengan respect terhadap salah

satu kebutuhan, seperti kebutuhan seksual (Stinnet, dalam Turner &

(40)

2. Persamaan (similarity)

a) Mempunyai persamaan tujuan

Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan sering

membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap

tugas dan tanggung jawab pernikahan (Hurlock, 1980). Untuk itu,

memiliki persamaan tujuan penting dalam pernikahan.

b) Mempunyai persamaan dalam menunjukkan kasih sayang

Pernikahan yang baik dapat tercapai bila di dalam pernikahan terdapat

intimasi, dan adanya rasa saling menghargai dan pengekspresiannya serta

rasa saling menyayangi. Pada pasangan suami istri dibutuhkan adanya

sebuah karena kehangatan, karena perasaan yang dirasakan suami ataupun

istri berbeda. Keluhan umum yang disampaikan istri bahwa mereka

menginginkan kehangatan lebih banyak seperti halnya keterbukaan dari

suami mereka. Tetapi suami seringkali menganggap bahwa mereka sudah

terbuka dengan istri atau diduga mereka tidak mengerti apa yang

diinginkan istri mereka (Blumstein & Schwartz, dalam Santrock, 2002).

c) Mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual

Kehidupan seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam

pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan

ketidakbahagiaan pernikahan apabila kesepakatan ni tidak dapat dicapai

(41)

3. Persahabatan (friendship)

a) Menganggap pasangan sebagai teman baik

Pasangan dapat dianggap sebagai teman baik, yaitu dengan adanya kerja

sama dalam suatu hubungan yang bersifat sukarela (Ahmadi dalam Bayu

Ananta, 2009).

b) Menyukai pribadi pasangan

Dalam pernikahan, kecendrungan seseorang memilih pasangan yang

memiliki kesamaan. Kita cenderung menyukai orang yang memiliki

kesamaan sikap, minat, latar belakang, termasuk kepribadiaan yang sama

dengan kita (Sears, et.al., dalam Bayu Ananta, 2009). Namun kesamaan

bukanlah segalanya. Ditemukan juga bahwa disposisi kepribadian yang

spesifik berkaitan dengan keberhasilan pernikahan. Kebutuhan- kebutuhan

tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara baik bukan dari pasangan

yang serupa, tetapi oleh seseorang yang dapat memuaskan kebutuhan-

kebutuhan tersebut (Baron & Byrne, 2005).

4. Perasaan positif (positive feeling)

a) Merasa pasangan menjadi lebih menarik

Cinta merupakan salah satu bentuk terpenting dari ketertarikkan antar

pribadi. Hubungan cinta ini juga mendasari berlangsungnya pernikahan

(42)

b) Merasakan kebahagiaan bersama pasangan

Adanya kebahagiaan dalam berbagai fase kehidupan sangatlah penting

bagi setiap orang. Banyak orang mengharapkan pernikahannya sebagai

sumber kebahagiaan. Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak

terletak pada institusi pernikahan, melainkan pada orang- orang yang

menjalaninya dan hal tersebut tergantung pada cara mereka berinteraksi di

dalam hubungan tersebut. Wanita yang menikah melaporkan mendapatkan

kebahagiaan lebih tinggi dibanding wanita yang masih sendiri. Tetapi,

pada sisi lain mereka juga mengeluh ketidakbahagiaan yang lebih dalam

pernikahan dibandingkan para suami mereka (Atwater, 1985).

c) Merasa bangga akan prestasi pasangan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi

kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Apabila orang dewasa

perlu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial agar bahagia,

pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan

(43)

2.3.

Kemampuan Berkomunikasi

2.3.1. Pengertian kemampuan berkomunikasi

Carl Hovland, Janis dan Kelley (dalam Yulia S. Gunarsa, 2009), menyatakan

bahwa komunikasi adalah suatu proses seseorang (komunikator) menyampaikan

stimulus (biasanya dalam bentuk kata- kata) dengan tujuan mengubah bentuk

perilaku seseorang. Kata atau istilah “komunikasi” atau dalam bahasa inggris

“Communication”, berasal dari Bahasa Latin “Communicatus” atau

Communicatio atau Communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik

bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu

pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.

Raymond S. Ross, 1974 (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004) mendefinisikan

komunikasi adalah sebagai suatu proses transaksional yang meliputi pemisahan,

dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, sehingga dapat membantu orang

lain untuk mengeluarkan respon yang dirasakan oleh individu.

Kincaid (dalam Erliana Hasan, 2005) mengemukakan, komunikasi adalah proses

saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama dan pertalian antara

para peserta dalam proses informasi.

Brent D. Ruben (dalam Arni Muhammad, 2008) memberikan definisi mengenai

komunikasi sebagai suatu proses dimana dalam hubungan antara individu dengan

masyarakat, hubungan dengan kelompoknya yang mana di dalamnya dapat

menciptakan, mengirim, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi

(44)

Izzatul Jannah (2008) menambahkan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses

yang sangat kompleks, sebab tidak hanya berwujud kata- kata, tetapi berbentuk

gesture, mimik wajah, tekanan kalimat, tatapan mata, perasaan, pengalaman,

ingatan, dan masih banyak lagi.

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mendefinisikan komunikasi adalah sebagai

pesan yang dikirimkan secara verbal maupun non verbal kepada satu penerima

atau lebih penerima dengan maksud untuk mempengaruhi tingkah laku si

penerima.

Wikrama Iryans Abidin mendefinisikan kemampuan berkomunikasi adalah

kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengemas ide, gagasan atau pesan

kepada orang lain secara efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi adalah suatu kemampuan

yang dimiliki seseorang untuk memproses pertukaran informasi yang sangat

kompleks diantara individu baik secara verbal dan non verbal melalui gesture,

simbol, gambar, kata- kata, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

2.3.2.

Proses berkomunikasi

Robbins (dalam Erliana Hasan, 2005), yang mengukapkan bahwa komunikasi

sebagai suatu proses, dapat juga diamati mulai dari karaketristik sumber. Sebelum

komunikai terjadi dapat diungkapkan suatu maksud sebagai pesan untuk di

sampaikan. Maksud itu bergerak antara suatu sumber (pengirim) dan penerima.

Kemudian pesan itu dikodekan atau diubah ke dalam bentuk simbolik dan

(45)

(pengkodean) dengan diawali oleh pengirim. Hasilnya adalah suatu transfer

makna dari satu orang ke orang lain. Untuk jelasnya proses komunikasi tersebut

dapat di gambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Pesan

Pesan

2.3.3.

Tujuan komunikasi

Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena memiliki tujuan tertentu.

Joseph A. DeVito (1997), menyatakan bahwa ada lima tujuan komunikasi, yaitu:

1. Untuk menenemukan diri

Maksud utama dari menemukan diri dalam komunikasi adalah ketika

seseorang berkomunikasi dengan orang lain sebenarnya ia sedang belajar

mengenai dirinya dan teman bicaranya, dengan berbicara mengenai dirinya

kepada orang lain ia akan memperoleh umpan balik yang berharga atas

perasaan, pikiran, dan tingkah laku.

Sumber Pengkodean Saluran Pengkodean Penerima

[image:45.595.103.538.176.530.2]
(46)

2. Untuk bermain

Maksud utama dari bermain dalam komunikasi adalah menggunakan

komunikasi untuk bermain karena memiliki motif kesenangan, hiburan,

dan istirahat atau santai dengan maksud membuatnya merasa lepas dari

tekanan dan tanggung jawab.

3. Untuk berhubungan dengan orang lain

Maksud utama dari berhubungan dengan orang lain dalam komunikasi

adalah motivasi berkomunikasi untuk memelihara hubungan interpersonal

yang hangat dan akrab, karena setiap orang ingin merasa dicintai dan

mencintai orang lain. Sebaliknya komunikasi bisa digunakan untuk

menjauhi orang lain, berargumentasi dan berselisih dengan teman bahkan

untuk memutuskan suatu hubungan.

4. Untuk menolong

Maksud utama dari menolong dalam komunikasi adalah biasa dilakukan

oleh terapis, konselor, guru, orangtua, dan teman. Seseorang menjadikan

komunikasi untuk menolong ketika memberikan saran, mengekspresikan

empati, memecahkan suatu masalah, atau mendengar dengan penuh

perhatian kepada seorang pembicara.

5. Untuk mempengaruhi

Maksud utama dari mempengaruhi dalam komunikasi adalah sebagian

kecil komunikasi digunakan seseorang untuk mempengaruhi perubahan

(47)

kepada suaminya untuk membeli rumah yang dianggapnya bagus dan

menarik, atau membujuk anaknya untuk menyanyikan sebuah lagu.

2.3.4.

Indikator Kemampuan Berkomunikasi

Menurut Bochner & Kelly mengidentifikasi indikator kemampuan berkomunikasi

dalam rangka menciptakan komunikasi yang baik dan efektif ( dalam Joseph A.

DeVito, 1997 ), yaitu sebagai berikut :

1. Keterbukaan

Sedikitnya ada 3 aspek dari komunikasi antarpribadi, yaitu :

a) Adanya keterbukaan komunikator kepada orang yang diajak

berinteraksi. Adanya kesediaan untuk membuka diri,

mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan antara

komunikator dengan orang yang diajak berinteraksi.

b) Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap

stimulus yang datang. Komunikator memperlihatkan

keterbukaannya, dengan cara bereaksi secara spontan terhadap

orang lain.

c) Kepemilikkan perasaan dan pikiran. Keterbukaan dalam hal ini

adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang disampaikan

adalah memang “milik” anda dan anda bertanggungjawab atasnya.

Cara baik untuk menyatakan tanggungjawab adalah dengan pesan

(48)

2. Empati

Henry Backrack (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan

empati sebagai kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang

sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu. Orang yang

berempatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain,

perasaan dan sikap, serta harapan dan keinginan untuk masa yang akan

datang.

3. Sikap mendukung

Memperlihatkan sikap mendukung berwujud dalam bentuk :

a) Deskriptif. Dalam hal berkomunikasi deskriptif membantu

terciptanya sikap mendukung, tidak merasakan adanya suatu

kejadian sebagai suatu ancaman (“anda tampaknya marah kepada

saya”).

b) Spontanitas. Seseorang yang berkomunikasi secara spontan dan

terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya

bereaksi dengan cara yang sama (terus terang dan terbuka).

c) Provisionalisme. Arti dari provisional adalah bersikap tentatif dan

berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang

berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan

(49)

4. Sikap positif

Sikap positif dalam berkomunikasi sedikitnya dapat digolongkan

dalam 2 cara, yaitu :

a) Sikap. Menunjukkan sikap dan perasaan positif dalam situasi

komunikasi pada umumnya sangat penting, karena komunikasi

akan terjadi secara efektif. Sedangkan sikap negatif dapat membuat

orang merasa terganggu dan komunikasi dengan segera akan

terputus.

b) Dorongan. Perilaku mendorong menghargai keberadaan dan

pentingnya orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk

pujian atau penghargaan. Sedangkan dorongan negatif bersifat

menghukum dan menimbulkan kebencian.

5. Kesetaraan

Kesetaraan memiliki arti, yaitu adanya pengakuan secara diam- diam

bahwa kedua pihak sama- sama bernilai dan berharga. Selain itu Carl

Rogers (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan kesetaraan

(50)

2.4. Kemampuan Memecahan Masalah

2.4.1. Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah

Solso, Otto H. Maclin & Kimberly Maclin (2007) pemecahan masalah merupakan

suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi atau

jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.

Menurut Bedel & Lennox, 1994 (dalam Anasatasia Retno Ayu, 2006), Problem

solving adalah proses yang dapat membantu seseorang untuk menemukan apa

yang mereka inginkan dan bagaimana mencapainya dengan cara yang paling

efektif.

Menurut Harold J. Leavitt (1978) menambahkan bahwa, pememecahan masalah

adalah sebagai suatu proses seleksi dan proses pengambilan keputusan dan proses

mencari untuk mengetahui awal dari sebuah permasalahan.

Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan

(decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari

sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang

tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang

dilakukan.

Suharnan (2005) mengemukakan bahwa masalah seringkali disebut sebagai

kesulitan, hambatan, gangguan, ketidakpuasan, atau kesenjangan. Secara umum

dan beberapa ahli psikologi kognitif seperti Anderson (1980). Evans (1991),

(51)

kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan

yang diinginginkan (Suharnan, 2005).

Sedangkan, Wikipedia Dictionary mengartikan sebuah masalah sebagai berikut:

“A problem is an issue or obstacle which makes it difficult to achieve a desired goal, objective or purpose. It refers to a situation, condition, or issue that is yet undersolved. In a broad sense, a problem exists when an individual becomes aware of a significant difference between what actually is and what is desired”.

Dapat disimpulkan bahwa masalah merupakan suatu hambatan atau rintangan

yang dihadapi individu dalam mencapai suatu tujuan. Suatu masalah terjadi ketika

individu menyadari bahwa keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan harapan-

harapannya.

Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang

dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang

sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari- hari.

Pada saat menghadapi suatu masalah, seseorang biasanya terpacu untuk

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Proses pemecahan masalah

yang dilakukan oleh setiap individu tentulah berbeda- beda, tergantung dari pola

pikir yang dimiliki, jenis masalah yang dihadapi, ataupun faktor dari luar yang

mempengaruhi (seperti saran yang diberikan oleh orang lain, pengalaman yang

dialami oleh orang lain, dan sebagainya).

Sedangkan menurut Chaplin (2006), pemecahan masalah diartikan sebagai proses

yang tercakup dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternatif-

alternatif jawaban yang mengarah kepada suatu sasaran atau ke arah pemecahan

(52)

Dean G Pruitt & Jeffrey Z. Rubin (1986) menambahkan bahwa kemampuan

memecahkan masalah adalah kemampuan yang dilakukan untuk melokasikan

suatu solusi bagi kontroversi yang terjadi, yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah sebuah

kemampuan dimana adanya suatu usaha untuk menemukan solusi bagi

permasalahan yang terjadi, yang mengarah kepada suatu pencapaian tujuan yang

diinginkan.

2.4.2.

Proses memecahkan masalah

Secara visual suatu masalah melibatkan paling sedikit tiga komponen yaitu:

keadaan sekarang, keadaan atau tujuan yang diinginkan, dan prosedur yang akan

ditempuh untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Terdapat beberapa proses atau

tahapan yang harus ditempuh guna memecahkan suatu masalah (Ellis & Hunt,

dalam Suharnan, 2005) yaitu :

a. Pemahaman masalah

b. Penemuan berbagai hipotesis mengenai cara pemecahan masalah dan

memilih salah satu hipotesis tersebut

c. Menguji hipotesis yang dipilih dan mengevaluasi hasilnya.

Ketiga langkah pokok ini dalam proses pemecahan masalah adakalanya dapat

memerluka waktu berhari- hari, minggu dan bahkan bulan, baru dapat diperoleh

metode pemecahan. Glass dan Holyoak (dalam Suharnan, 2005) mengusulkan

(53)
[image:53.595.114.510.93.544.2]

Gambar 2.2

Alur pemecahan masalah

Ket :

: Jika gagal

: Jika berhasil

Pada dasarnya semua proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh individu,

mempunyai gambaran yang seragam, pada awalnya individu menemukan atau

menghadapi suatu hal yang menantang, kemudian mengatasinya, mengatasi

hambatan- hambatan yang muncul dalam proses pemecahan masalah tersebut, dan

kemudian mengevaluasinya. Cara ini bukanlah suatu hal yang kaku. Dan keadaan

tertentu, langkah- langkah tersebut dapat ditiadakan atau bahkan muncul secara

tidak beraturan dan harus diulang- ulang. 1. Membentuk representasi masalah

2. merencanakan pemecahan

3. pelaksanaan dan evaluasi Kembali ke tahap 2

setelah berhenti sejenak

(54)

Sebagai tambahan, sebelum mengarah ke proses pemecahan masalah, sangatlah

penting untuk memahami terlebih dahulu awal mula sebelum terjadinya sebuah

masalah. Seperti yang dijelaskan oleh Pickering dalam bukunya “How to Manage

Conflict” (2001), agar dapat menangani permasalahan secara efektif, diperlukan

peningkatan penguasaan, anatara lain dalam :

a. Memahami faktor- faktor munculnya suatu permasalahan.

b. Cara untuk mengatasi konflik dan pandai bermusyawarah dalam

menghadapi berbagai jenis permasalahan.

c. Mengembangkan cara- cara dan sistem pribadi untuk mengatasi

ketegangan dan tekanan.

Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) mengembangkan proses pemecahan

masalah secara kreatif. Proses ini mempunyai lima langkah :

a. Tahap menemukan fakta

Pada tahap ini akan didahului dengan ungkapan pikiran dan perasaan

mengenai masalah yang dirasakan sebagai pengganggu, tetapi masalah

tersebut masih terlihat belum jelas. Untuk mengetahui lebih jelas

masalah yang sedang dihadapi dapat dimulai dengan memunculkan

pertanyaan : ”Masalah apa yang sebenarnya sedang saya hadapi?”

setelah dapat melihat jelas masalah apa yang sedang dihadapinya,

dapat diteruskan dengan mendaftar semua fakta yang diketahui

mengenai masalah yang sedang dihadapi, dapat diteruskan dengan

(55)

dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan untuk

memecahkan msalah yang sedang dihadapi.

b. Tahap menemukan masalah

Pada tahap ini diusahakan untuk memunculkan pertanyaan : ”Dengan

cara- cara apa saya dapat memecahkan masalah yang sedang saya

hadapi?”. dengan munculnya pertanyaan tadi dapat memunculkan

gagasan atau ide baru untuk mencari cara bagaimana memecahkan

masalah yang sedang dihadapi. Setelah itu diharapkan individu dapat

mengembangkan dan menemukan bagian- bagian dari masalah yang

sedang dihadapi llau merumuskan kembali (Redifinition) masalah

yang sedang dihadapi. Selain itu juga masalah disederhanakan atau

dipersempit.

c. Tahap menemukan gagasan

Pada tahap ini diusahakan untuk mengembangkan gagasan pemecahan

masalah sebanyak mungkin. Salah satu cara untuk mengembangkan

gagasan adalah dengan cara sumbang saran (Brainstorming). Dari

sumbang saran yang dilakukan biasanya dilakukan oleh kelompok

kecil, tetapi tetap dapat dilakukan sendiri oleh individu.

d. Tahap menentukan solusi

Pada tahap ini individu dapat menyeleksi gagasan- gagasan yang telah

(56)

berdasarkan waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan untuk

melaksanakan gagasan tersebut) yang mempunyai hubungan dengan

masalah yang sedang dihadapi. Setiap gagasan dapat dinilai

berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan. Untuk kriteria

yang dianggap penting dapat diberi bobot penilaian. Penilaian dapat

dilakukan dengan memberi angka, kata atau huruf.

e. Tahap penerimaan/ pelaksanaan

Pada tahap akhir ini individu yang telah memilih satu gagasan yang

telah diseleksi dan mengambil gagasan tersebut sebagai suatu

keputusan untuk solusi pemecahan masalah yang sedang dihadapinya

dan diharapkan untuk menerima dan menjalankan gagasan tersebut,

sehingga masalah yang sedang dihadapinya dapat dipecahkan.

Sebagai upaya pemecahan masalah Lubis (2005), menambahkan ada beberapa

proses dalam menyelesaiakan masalah rumah tangga yang dapat diselesaikan

tanpa harus menimbulkan konflik atau pertengkaran., diantaranya:

a. Tenangkan diri dan introspeksi. Begitu merasa ada masalah, sebelum

mengambil keputusan dan tindakan lanjutan, berhentilah sejenak

sebagai langkah awal untuk menata emosi, agar hati menjadi tenang.

b. Komunikasikan segera. Bila masalah yang muncul masih dianggap

cukup mengganggu, sebaiknya jangan menunggu hingga berlarut-

larut, apalagi sampai meninggikan ego. Mengungkapkan masalah

(57)

secara efektif. Yang dimaksud dengan komunikasi yang efektif adalah

dengan tidak tergantung pada “mengapa” dan “bagaimana”

menyampaikannya. Menggunakan bahasa komunikasi yang sama

dengan pasangan, membuat pesan yang disampaikan dapat dipahami

sepenuhnya oleh masing- masing pasangan.

c. Cari penengah yang terpercaya. Adakalanya permasalahan suami istri

sudah semakin jauh sehingga sulit untuk diperbaiki. Dalam situasi

seperti ini diperlukan seorang penengah yang bisa bersikap netral,

misalnya orang tua, mertua, Ustadz, BP4 (Badan Penasihatan

Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) atau psikolog. Tetapi sebelum

kita meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah,

sebaiknya masalah itu diselesaikan dulu sendiri.

d. Mengalah untuk menang. Sangatlah wajar jika dalam sebuah

permasalahan masing- masing pihak merasa paling benar, dan

karenanya dirinya harus memperoleh kemenangan. Oleh karena itu,

kelanggengan pernikahan sangat dipengaruhi oleh banyaknya toleransi

yang terbangun antara suami istri, yang kadang- kadang diartikan

sebagai mengalah. Memilih mengalah jelas tidak akan menjadi

masalah, bila diambil untuk memperoleh kebaikan, karena dengan

bertoleransi kita sadar bahwa apa yang kita harapakan tidak selalu sama

(58)

Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi Untuk Keluarga (2007),

menambahkan beberapa cara yang perlu diingat dalam usaha untuk mengurangi

sumber permasalahan di dalam keluarga, antara lain :

a. Mencari tahu. Bila timbul pertengkaran, usahakan mencari sebab mengapa

peristiwa tersebut telah menimbulkan pertengkaran.

b. Kemampuan dalam memahami pasangan. Bila telah ditemukan penyebab

pertengkaran, selama pihak suami atau istri sedang mengemukakan sebab-

sebab kesalahannya, usahakanlah (suami atau istri) mendengarkan dengan

tenang dan sabar.

c. Kejujuran. Pikirkan dengan sejujurnya arti munculnya perstiwa tersebut,

tanpa memberikan alasan- alasan untuk menutupi atau membenarkan diri

sendiri.

d. Apabila tern

Gambar

Gambar 2.1  Pesan
Gambar 2.2 Alur pemecahan masalah
Gambar 2.3 BAGAN KERANGKA BERPIKIR
Tabel 3. 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

6 Menurut saya selain kanker serviks masalah kesehatan reproduksi pada perempuan yang melakukan pernikahan usia dini (menikah diusia <20 tahun) diantaranya

Sehingga yang disebut sebagai pernikahan dini adalah pernikahan yang tidak hanya terjadi pada anak dengan batas usia yang.. ditetapkan pada Undang-undang perkawinan, namun juga

Terdapat hubungan penghasilan orang tua dengan pernikahan dini, berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil pada responden yang menikah dini banyak yang penghasilan orang

Pendidikan orangtua juga berkaitan dengan pernikahan usia dini, yakni pendidikan orangtua yang rendah berisiko 1,25 kali lebih besar menikah pada usia < 20 tahun

Keempat , Kemudian bagi yang melakukan pernikahan usia dini berdampak dengan persoalan hukum, secara langsung atau tidak mereka yang masih menikah di usia dini tidak

Bahwa pernikahan pada usia dini tidak selamanya harmonis, banyak yang menjadi faktor mengapa banyak orang yang menikah pada usia dini, seperti hamil di luar nikah,

Pendidikan orangtua juga berkaitan dengan pernikahan usia dini, yakni pendidikan orangtua yang rendah berisiko 1,25 kali lebih besar menikah pada usia < 20 tahun

Keempat, Kemudian bagi yang melakukan pernikahan usia dini berdampak dengan persoalan hukum, secara langsung atau tidak mereka yang masih menikah di usia dini tidak