i
TERHADAP KEPUASAN PERNIKAHAN WANITA
YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh:
Agustin Harrum Sari
20607004161
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
WANITA YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat- syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Agustin Harrum Sari
NIM : 206070004161
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi NIP. 19561223 198303 2 001 NIP. 19730328 200003 2 003
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan
Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 14 September 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/ ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris
Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota :
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 19620724 19890 2 001
iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Agustin Harrum Sari NIM : 20607004161
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh
Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan wanita yang melakukan Pernikahan Dini” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan- kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang- Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik- baiknya.
Jakarta, 14 September 2011
v
Buah hasil kesabaran dan penantianku ini
aku persembahkan untuk kedua orang tua ku
dan semua orang yang mencintai dan
vi (A) Fakultas Psikologi
(B) September 2011
(C) Agustin Harrum Sari
(D) Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan
Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Pernikahan Dini
(E) 97 halaman + lampiran
(F) Tidak ada seorang wanita yang telah menikah tidak menginginkan kepuasan di dalam pernikahannya. Namun untuk memperoleh semua itu tidaklah mudah, karena mengingat adanya perbedaan pada setiap pasangan suami- istri baik dalam kemampuan dalam berkomunikasinya, kemampuan dalam memecahkan masalahnya, karakternya, kebutuhannya, dan lain- lain yang dimiliki oleh masing- masing pasangan. Dengan perbedaan yang demikian akan menyebabkan tercapainya suatu kepuasan pernikahan yang berbeda pula yaitu kepuasan pernikahan yang tergolong tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor personal, faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan interpersonal, faktor anak, faktor seksual, faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal), faktor kebersamaan, faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik, faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan, faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan dalam pernikahan, dan faktor peran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan
berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan menggunakan jenis penelitian korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel- variabel yang berbeda dalam suatu populasi.
Analisis data yang digunakan adalah uji regresi ganda. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah wanita yang menikah pada usia ≤ 18 tahun dan usia pernikahannya ± 5 tahun. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/ kuesioner. Instrumen yang digunakan pada skala kepuasan pernikahan berdasarkan indikator Lauer & Lauer, et. al (dalam Baron & Byrne, 2005) yang berjumlah 52 aitem, skala kemampuan berkomunikasi berdasarkan indikator dari Bochner & Kelly ( dalam Joseph A. DeVito, 1997 ) yang berjumlah 36 aitem, dan skala kemampuan memecahkan masalah berdasarkan indikator Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) yang berjumlah 23 aitem.
vii
sumbangsih sebesar 89.5% terhadap kepuasan pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Sedangkan 10.5% sisanya dipengaruhi oleh faktor- faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin meneliti dengan subjek yang menikah pada usia dini/ ≤ 18 tahun sebaiknya meneliti subjek yang melakukan pernikahan dini pada usia pernikahan minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun, agar dapat mengetahui seberapa besar kemampuan subjek yang telah menikah di usia dini dalam hal berkomunikasi dan memecahkan masalah pada rentangan usia remaja awal dan akhir. Selain itu menambahkan atau menggunakan variabel atau faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan selain kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah seperti pendapatan/ ekonomi, dan hubungan dengan keluarga besar pasangan.
Kata kunci : kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah
viii Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang melakukan Pernikahan Dini”. Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.
2. Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.
3. Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang teramat bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini.
4. Seluruh dosen dan seluruh staf karyawan Fakultas yang telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.
5. Camat Pamulang beserta staf, terima kasih telah memberikan kemudahan peneliti dalam melakukan penelitian di wilayah Pamulang.
ix
Kak Fitri. Terima kasih atas semua doa, dukungan, sumber inspirasi dan semangat yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik.
8. Kepada Panda Aditya Saputra dan keluarga, terima kasih atas doa, dukungan,
sumber inspirasi, semangat serta kesabarannya dalam membantu
penyelesaian skripsi ini.
9. Pak Chaidir dan Pak Badawi pengurus perpustakaan Fakultas Psikologi atas segala bantuan selama penulis menuntut ilmu.
10. Teman- teman Fakultas Psikologi Non- Reguler angkatan 2006 (meja besi), serta teman- teman seperjuanganku (Dewi, Sherny, Indri, Vera, Neta, Ita, Tsara, Bintang, Dedeh, Iha, Kak Lidya, Mbak Yue, Kak Retno, Kak Nida) yang telah memberikan dukungan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar- besarnya. Mudah- mudahan penelitian skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.
Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian skripsi ini. Wassalam.
Jakarta, September 2011
x
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
MOTTO... v
ABSTRAKSI... vi
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
1.2.1 Pembatasan Masalah... 7
1.2.2 Perumusan Masalah... 9
1.3 Tujuan Penelitian... 10
1.4 Manfaat Penelitian... 10
1.5 Sistematika Penulisan... 11
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pernikahan... 13
2.1.1 Pengertian Pernikahan... 13
2.2 Kepuasan Pernikahan... 15
2.2.1 Pengertian Kepuasan Pernikahan... 15
2.2.2 Faktor- faktor Kepuasan Pernikahan... 16
2.2.3 Indikator Kepuasan Pernikahan... 23
2.3 Kemampuan Berkomunikasi... 27
2.3.1 Pengertian Kemampuan Berkomunikasi... 27
xi
2.4 Kemampuan Memecahkan Masalah... 34
2.4.1 Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah... 34
2.4.2 Proses Memecahkan Masalah... 36
2.5 Kerangka Berpikir... 44
2.6 Hipotesis... 47
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 50
3.1.1 Pendekatan Penelitian... 50
3.2 Variabel Penelitian... 51
3.2.1 Identifikasi Variabel... 51
3.2.2 Definisi Konseptual Variabel... 51
3.2.3 Definisi Operasional Variabel... 52
3.3 Populasi dan Sampel... 53
3.3.1 Populasi... 53
3.3.2 Sampel... 53
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Penelitian... 54
3.4.1 Metode Pengumpulan Data... 54
3.4.2 Teknik Uji Instrumen Penelitian... 59
3.5 Prosedur Penelitian... 61
3.5.1 Persiapan Penelitian... 61
3.5.2 Pengujian Alat Ukur... 62
3.5.3 Pelaksanaan Penelitian... 66
3.5.4 Pengolahan Data... 66
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Responden... 67
xii
4.2 Deskripsi Data... 69
4.2.1 Kategorisasi Kepuasan Pernikahan... 70
4.2.2 Kategorisasi Kemampuan Berkomunikasi... 71
4.2.3 Kategorisasi Kemampuan Memecahkan Masalah... 73
4.3 Hasil Uji Hipotesis... 75
4.3.1 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi, Kemampuan Memecahkan Masalah, dan Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 75
4.3.2 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 78
4.3.3 Hasil Uji Regresi Aspek Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan... 83
4.3.4 Hasil Uji Regresi Aspek Demografi Terhadap Kepuasan Pernikahan... 85
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89
5.2 Diskusi... 90
5.3 Saran... 93
5.3.1 Saran Teoritis... 93
5.3.2 Saran Praktis... 94
xiii
Tabel 3.1 Skor Pernyataan... 55
Tabel 3.2 Blue Print Kepuasan Pernikahan... 55
Tabel 3.3 Blue Print Kemampuan Berkomunikasi... 57
Tabel 3.4 Blue Print Kemampuan Memecahkan Masalah... 58
Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 60
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Skala Kepuasan Pernikahan... 62
Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Berkomunikasi... 64
Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Skala Kemampuan Memecahkan Masalah 65 Tabel 4.1 Gambaran Umur Responden Berdasarkan Usia Saat Menikah 67 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Pendidikan... 68
Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Subjek... 69
Tabel 4.4 Skor Skala Kepuasan Pernikahan... 70
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan... 71
Tabel 4.6 Skor Skala Kemampuan Berkomunikasi... 72
Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Kemampuan Berkomunikasi... 73
Tabel 4.8 Skor Skala Kemampuan Memecahkan Masalah... 74
Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Kemampuan Memecahkan Masalah... 75
Tabel 4.10 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah tehadap Kepuasan Pernikahan... 76
xiv
Tabel 4.13 Model Summary Kemampuan Berkomunikasi tehadap
Kepuasan Pernikahan... 78
Tabel 4.14 Anova Kemampuan Berkomunikasi tehadap Kepuasan
Pernikahan... 79
Tabel 4.15 Proporsi Varian pada aspek- aspek variabel Kemampuan
Berkomunikasi... 80
Tabel 4.16 Model Summary Aspek Keterbukaan (Kemampuan
Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 80
Tabel 4.17 Model Summary Aspek Empati (Kemampuan Berkomunikasi
Terhadap Kepuasan Penikahan)... 81
Tabel 4.18 Model Summary Aspek Sikap Positif (Kemampuan
Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82
Tabel 4.19 Model Summary Aspek Kesetaraan (Kemampuan
Berkomunikasi Terhadap Kepuasan Penikahan)... 82
Tabel 4.20 Model Summary Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap
Kepuasan Pernikahan... 84
Tabel 4.21 Anova Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan
Penikahan... 84
Tabel 4.22 Model Summary Aspek Usia Subjek Saat Menikah (Aspek
Demografi terhadap Kepuasan Pernikahan)... 85
Tabel 4.23 Model Summary Aspek Pendidikan Terakhir Subjek saat
xv
xvi
2.1 Gambar Proses Komunikasi... 29
2.2 Gambar Alur Pemecahan Masalah... 37
2.3 Gambar Kerangka Berpikir Penelitian Pengaruh Kemampuan
Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan hidup manusia, setiap manusia mengalami
perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan
dalam kehidupan manusia adalah menikah. Ada satu tahapan perkembangan
dimana tujuan besar seorang perempuan yang belum menikah adalah tahapan
untuk menjalani suatu perkawinan (Hurlock, 1991). Menikah merupakan tahapan
dari kehidupan, yang merupakan suatu usaha untuk membina hubungan dengan
orang lain dalam diri masing- masing untuk membentuk kehidupan rumah tangga.
Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah suci, sunnah Rasul, dan Ibadah. Oleh
karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga
secara Islam dan hidup secara Islami. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Rasulullah SAW lewat sabdanya : “Hai para remaja, barangsiapa di antara
kalian telah mampu menjalankan sebuah pernikahan maka menikahlah dan
barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa
akan menghindari perbuatan dosa” (H.R. Muslim).
Pada prinsipnya, pernikahan diawali dengan niat atau nawaitu selain itu
pernikahan perlu didasari sikap saling asih-asah-asuh antara pasangan suami-istri.
Semua itu tidak lepas dari peran serta agama, karena agama sangatlah berperan
Di dalam pernikahan sudah pasti setiap pasangan memiliki tujuan yang ingin
dicapai, yaitu agar dapat terpenuhinya sebagian besar kebutuhan pribadi, karna
setiap orang yang memasuki kehidupan pernikahan pastilah berdasarkan
kebutuhan, harapan dan keinginannya sendiri-sendiri. Pemenuhan kebutuhan
psikologis adalah alasan terpenting untuk memasuki pernikahan. Tujuan yang
jelas akan membimbing pasangan suami- istri untuk mewujudkan keluarga yang
harmonis, karna keharmonisan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari tujuan
awal dalam membangun rumah tangga.
Semua pasangan suami istri, menginginkan memperoleh kepuasaan di dalam
pernikahannya. Karena pernikahan yang memuaskan merupakan dambaan setiap
pasangan suami istri, kepuasan pernikahan antara suami dan istri akan tercapai
jika kebutuhan- kebutuhan individu dapat terpenuhi antara lain kebutuhan sosial,
psikologis, dan biologis.
Kepuasan pernikahan seseorang merupakan penilaiannya sendiri terhadap situasi
perkawinan yang dipersepsikan menurut tolak ukur masing- masing pasangan.
Oleh sebab itu, diduga bahwa keberhasilan dalam pernikahan tergantung pada
kebahagiaan dari pribadi individu. Tidak sedikit dijumpai adanya ketidak
harmonisan di dalam hubungan pernikahan, baik yang baru menikah bahkan yang
sudah bertahun- tahun menikah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005).
Menurut pandangan Islam di dalam surat Ar-Rum ayat 21, bahwa pernikahan
dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin antara suami dan istri dalam
kehidupan rumah tangga yang tentram, nyaman, damai dan sejahtera, ketika
pernikahan yang ingin dicapai oleh setiap orang tidak muncul dengan sendirinya,
tetapi hal tersebut harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua belah pihak yaitu
suami dan istri.
Adapun pengertian dari Kepuasaan Pernikahan adalah suatu pengalaman
subjektif, perasaan yang kuat, dan yang didasarkan pada faktor dalam individu
yang mempengaruhi kualitas interaksi dalam pernikahan (Weiss, 2005).
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan kemungkinan
akan muncul berbagai permasalahan, yang sedikit banyak mempengaruhi
keharmonisan rumah tangga. Singkatnya, setiap perkawinan tidak akan terhindar
dari konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan
memutuskan untuk mengalah (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005). Serupa dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin, Geroff, Feld (dalam Michael dan
Savitri, 1994) bahwa sebesar 45 % orang yang sudah menikah mengatakan bahwa
dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Karena di dalam semua
perkawinan terdiri dari individu yang unik, maka keunikan inilah yang sering
menyulitkan suami- istri untuk saling mengerti, memahami dan mengakomodasi
(Izzatul Jannah, 2008 ).
Dari keunikan itulah, terkadang menimbulkan masalah jika keduanya tidak saling
berusaha memahami, beradaptasi dan menerima perbedaan yang ada. Walaupun
sudah secara matang dipersiapkan dan cukup mendalam perkenalan pribadi antara
pasangan, juga tidak luput dari perselisihan- perselisihan faham atau
pertengkaran- pertengkaran, baik itu yang berasal dari pasangan, lingkungan luar,
Tetapi perbedaan- perbedaan tersebut bukanlah penghalang bagi pasangan untuk
mendapatkan kebahagiaan. Diduga, banyak pula pasangan yang melakukan
pernikahan dini yang sebenarnya tumbuh dari perbedaan- perbedaan yang ada
diantara kedua pasangan, tetapi menjadi cocok setelah beberapa saat hidup
bersama dan tidak berarti bahwa kalau seseorang cukup mengenal calon
pasangannya akan menjamin terjalinnya kehidupan perkawinan yang memuaskan
kedua belah pihak. Maka pemilihan pasangan hidup dalam pernikahan dini
dibutuhkan penyesuaian dengan pasangannya, seperti : penyesuaian minat,
temperamen, dan cara- cara mengungkapkan kasih sayang (Hurlock, 1994).
Tetapi, seringkali ditemui kenyataan bahwa pasangan suami- istri yang menikah
di usia dini memiliki perbedaan persepsi terhadap pemenuhan kebutuhan
pasangannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan permasalahan rumah tangga
antara suami- istri. Akan tetapi pada pasangan yang menikah muda,
kecenderungan untuk berdamai kembali setelah mengalami konflik lebih tinggi
dibandingkan dengan pasangan yang berusia 40- an. Hal ini serupa dengan
Papalia & Olds (dalam M. Fauzil Adhim, 2002) mengemukakan bahwa
kecenderungan untuk rujuk atau berdamai kembali stelah mengalami konflik pada
pasangan muda sebesar 89%, sedangkan pada mereka yang berusia 40- an hanya
sebesar 31%.
Karena itu, para pasangan suami- istri yang menikah pada usia dini dalam
mengatasi permasalahan dalam pernikahan mereka membutuhkan kedewasaan,
dalam arti dewasa secara mental bukan hanya usia. Bisa saja seseorang yang
seseorang atau pasangan suami- istri yang menikah pada usia ≤18 tahun kedewasaan secara mental sudah ada dalam diri mereka masing- masing, karena
yang menyebabkan pernikahan usia muda rentan konflik bukan terletak pada usia,
melainkan pada aspek- aspek mental yang bersangkut paut dengan proses
pembentukkan rumah tangga (dalam M. Fauzil Adhim, 2002).
Dalam hal ini, sekecil apa pun masalah yang sedang dihadapi tidak akan bisa
selesai jika hanya dibiarkan tanpa pemecahan masalah. Pemecahan masalah
tersebut harus melibatkan usaha bersama (suami dan istri), agar dapat
memperoleh solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Salah satu solusi dalam pemecahan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga
adalah melakukan komunikasi yang efektif. Hendaknya suami dan istri yang
masuk di dalam pernikahan usia muda dapat saling memahami satu sama lain.
Walau memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai suami istri harus bisa saling
memahami satu sama lain. Setiap masalah yang terjadi harus diselesaikan dengan
kepala dingin. Karena konflik sering muncul disebabkan oleh komunikasi yang
buruk antara suami dan istri, tetapi komunikasi juga dapat menyelesaikan masalah
jika komunikasi berjalan dengan lancar. Davis, 2004 (dalam Rita Eka
Chandrasari, 2009) menyatakan, bahwa para pasangan yang mengalami masalah
pernikahan seringkali menyebutkan kurangnya komunikasi sebagai penyebab
utama munculnya masalah antara mereka.
Dalam hal ini, pasangan suami- istri seharusnya memiliki ketrampilan komunikasi
yang lebih baik. Agar mereka dapat belajar bagaimana cara menghadapi
ketika masing- masing pasangan mampu mengungkapkan isi hatinya secara
terbuka dengan kontrol emosi yang baik. Olson (dalam Olson, 2002) menemukan
79 % pasangan merasa senang apabila pasangannya mampu memahami dirinya,
96% pasangan merasa senang apabila dapat mengekspresikan perasaannya, 83%
pasangan merasa senang apabila mereka menjadi pendengar yang baik, dan 79%
pasangan merasa senang apabila pasangannya menghargai setiap pendapat yang
diberikan pasangannya. Begitupun Navron & Orthner, 1976 (dalam Izzatul
Jannah, 2008) menyampaikan pendapat yang serupa, bahwa pasangan yang telah
menikah akan merasa dimengerti oleh pasangannya apabila mereka tahu
bagaimana cara menyampaikan pesan mereka.
Oleh sebab itu, betapa pentingnya pasangan suami- istri memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi, karena kemampuan berkomunikasi yang dimiliki pasangan
suami- istri dapat mengatasi kebingungan, kesalahpahaman dan perbedaan
pendapat antara suami- istri yang dapat berujung pada permasalahan di dalam
rumah tangga. Sebagaimana hasil penelitian Namun- Mee Lim (Universitas
Tunku Abdul Rahman- Malaysia, 2011), menyatakan bahwa pada pasangan yang
menikah di usia 18 tahun semakin memiliki kemampuan komunikasi yang baik,
semakin baik pula dalam menangani konflik yang terjadi.
Jadi, dua orang yang menjalani sebuah pernikahan dan tinggal di dalam satu atap,
besar kemungkinan untuk hidup dengan suatu permasalahan, yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan. Meskipun di dalamnya terdapat komunikasi
yang intens antara suami- istri yang cukup lama akan dapat membantu
dapat saling mengerti dan memahami pesan yang disampaikan dalam pemenuhan
kebutuhan pasangannya. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan
Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Perniakahan
Dini”.
1.2.
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1.
Pembatasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini tidak meluas maka penulis membatasi
permasalahan dalam penelitian, yaitu :
A. Kepuasan pernikahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
ditandai dengan adanya hubungan persahabatan yang kuat dan
perasaan saling menyukai pribadi masing- masing, adanya
komitmen diantara pasangan, adanya persamaan dalam cara
menunjukkan kasih sayang kepada pasangan, dan penyesuaian
dalam hubungan seksual, serta adanya perasaan positif terhadap
pasangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lauer & Lauer, et.
al (dalam Baron & Byrne, 2005).
B. Kemampuan berkomunikasi dalam penelitian ini seperti yang
dikemukakan oleh Bochner & Kelly (dalam Joseph A.
DeVito,1997) adalah adanya keterbukaan, empati, sikap
mendukung, sikap positif, dan kesetaraan terhadap pasangan.
sikap positif, maka peneliti memilih salah satu aspek yaitu aspek
sikap positif. Jadi pada variabel kemampuan berkomunikasi terdiri
dari 4 aspek, yaitu keterbukaan, empati, sikap positif, dan
kesetaraan.
C. Kemampuan memecahkan masalah dalam penelitian ini meliputi
kemampuan untuk menemukan fakta, menemukan masalah,
menemukan gagasan, menentukan solusi, menemukan
pelaksanaan/ penerimaan untuk melokasikan suatu solusi bagi
kontroversi yang terjadi, agar dapat diterima oleh semua pihak,
sebagaimana dikemukakan oleh Parnes (dalam Utami Munandar,
1999).
D. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai aspek- aspek yang
dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, maka peneliti
menambahkan aspek demografi seperti : usia saat menikah,
pendidikan terakhir saat menikah dan status pekerjaan.
D. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pamulang, adapun
karakteristik subjek yang dijadikan responden dalam penelitian
ini memiliki dua karakteristik, yaitu:
1.2.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah disampaikan di atas, maka dapat
dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan berkomunikasi dan
kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek keterbukaan dari variabel
kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek empati dari variabel
kemampuan berkomunikasi kepuasan pernikahan?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek sikap positif dari variabel
kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek kesetaraan dari variabel
kemampuan berkomunikasi terhadap kepuasan pernikahan?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan kemampuan memecahkan masalah
terhadap kepuasan pernikahan?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek usia subjek saat menikah
terhadap kepuasan pernikahan?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek pendidikan terakhir saat
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan aspek status pekerjaan subjek
terhadap kepuasan pernikahan?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan “untuk menguji pengaruh kemampuan berkomunikasi
dan kemampuan memecahkan masalah terhadap kepuasan pernikahan wanita
yang melakukan pernikahan di usia remaja (usia dini).”
1.3.2.
Manfaat Penelitian
- Secara Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berkembanganya Ilmu Pengetahuan khususnya bidang Ilmu Psikologi
Sosial dan Ilmu Psikologi Keluarga.
- Secara Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan bacaan serta masukan, khususnya bagi penulis dan
masyarakat, sehingga dapat mengetahui dampak positif maupun dampak
negatif apabila kemampuan dalam memecahkan masalah dan kemampuan
berkomunikasi di dalam pernikahan tidak tercapai, yang lambat- laun
dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan khususnya pada pernikahan
1.4.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika di dalam penulisan laporan peneliitian ini adalah sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini dipaparkan latar belakang permasalahan yang
menjadi topik bahasan penelitian, pembatasan serta perumusan
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab kajian teori dijelaskan variabel- variabel penelitian dan teori-
teori para ahli yang memiliki kesesuaian dengan tema penelitian, yaitu
tentang kepuasan pernikahan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
memecahkan masalah serta kerangka berpikir di dalam laporan penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab tiga memuat pendekatan yang digunakan dalam penelitian, instrumen
penelitian, teknik analisis data dan tahapan- tahapan dalam penelitian.
BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN
Bab empat berisi hasil penelitian yang telah dilakukan dan analisis
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab lima berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dillakukan,
diskusi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan saran bagi penelitian
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pernikahan
2.1.1. Pengertian pernikahan
Di dalam bab I UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, merumuskan pengertian
perkawinan atau pernikahan yaitu sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
( Hukum kekeluargaan nasional, 1991).
Duvall dan Miller (1985) menambahkan pendapatnya mengenai pernikahan,
bahwa pernikahan merupakan hubungan yang diketahui secara sosial antara
perempuan dan laki- laki yang berkaitan dengan hubungan seksual yang sah.
Ditinjau dari segi agama Islam pernikahan memiliki fungsi dan tujuan, salah
satunya adalah dapat melestarikan keturunan. Sebagaimana yang telah disiratkan
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 1, Allah SWT berfirman :
                                               
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari jenis yang satu, dan dari padanya, Allah menciptakan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu. (Qurayis Shihab dalam Tafsir Al- Misbah)
Disinilah terlihat bahwa Allah SWT memberi sinyal dan tanda bahwa manusia
diciptakan oleh Allah untuk berpasang- pasangan dan dengan adanya pasangan
tersebut kita memiliki keturunan, yang diharapkan keturunan tersebut dapat
mempertahankan kelangsungan kehidupan berikutnya.
Menurut Bernard dalam Santrock (2002), pernikahan biasanya digambarkan
sebagai bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua
sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang
baru.
Dari definisi- definisi yang dikemukakan di atas nampak bahwa pernikahan
adalah tempat pelegalan suatu hubungan antar dua manusia yang berlainan jenis
kelamin. Selain itu, pernikahan juga digunakan sebagai wahana bagi pembentukan
2.2. Kepuasan Pernikahan
2.2.1. Pengertian kepuasan pernikahan
Kepuasan pernikahan berasal dari kata kepuasan dan pernikahan. Kepuasan
(satisfaction) dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2006) diartikan sebagai
satu keadaan kesenangan dan kesejahteraan, disebabkan karena orang telah
mencapai satu tujuan atau sasaran. Sedangkan pernikahan menurut Duvall &
Miller (1985) adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang
ditujukan untuk melegalkan suatu hubungan, melegitimasi membesarkan anak,
dan membangun hubungan dalam perkembangan anak di antara sesama pasangan.
Seperti selayaknya berada dalam hubungan, tiap- tiap individu yang berada dalam
hubungan pernikahan juga menginginkan kepuasan di dalam hubungan mereka.
Kepuasan pernikahan ini tampaknya memiliki arti yang agak berbeda bagi suami
dan istri. Bagi suami, umumnya kepuasan pernikahan ini berarti terpenuhinya
perasaan dihargai, kesetiaan dan perjanjian terhadap masa depan dari hubungan
tersebut. Sedangkan bagi istri, kepuasan pernikahan berarti terpenuhinya rasa
aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi (Duvall & Miller,
1985).
Sedangkan menurut Weiss (dalam William M. Pinsof dan Jay L. Lebow, 2005)
mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman yang
subjektif; perasaan yang kuat dan sebuah perilaku yang didasari atas faktor- faktor
antar individu yang dipengaruhi oleh kualitas interaksi di dalam pernikahan yang
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan
adanya suatu perasaan senang yang kuat yang disebabkan oleh tercapainya tujuan
yang dikehendaki oleh pasangan yang terikat dalam status pernikahan sebagai
simbol dari adanya rasa kasih sayang, kesetiaan, terbinanya intimasi, dan
keakraban emosional yang bersifat subjektif.
2.2.2. Faktor- Faktor Kepuasan Pernikahan
Baik suami ataupun istri dapat mengembangkan karakteristik atau faktor yang
dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kepuasan pernikahan (Duvall
& Miller, 1985). Faktor atau karakteristik yang mendatangkan kepuasan
pernikahan dibagi menjadi dua :
1. Karakteristik masa lalu (background characteristic)
a. Kebahagiaan dalam pernikahan orang tua
Kebahagiaan pada pernikahan orang tua merupakan salah satu
karakteristik yang mendukung terciptanya kepuasan pernikahan
yang tinggi. Pernikahan orang tua menjadi model dalam menjalani
kehidupan pernikahan anak.
b. Disiplin
Kedisplinan yang diterapkan oleh orang tua sejak kecil berada pada
tahap yang baik (adanya pemberian hukuman yang sesuai untuk
setiap kesalahan yang diperbuat, namun tidak membuat anak
c. Kedekatan
Adanya waktu yang cukup dan memadai untuk melakukan
pendekatan (saling mengenal antar pasangan) sebelum memasuki
pernikahan
d. Adanya pendidikan seks yang memadai dari orang tua
Pendidikan seks diberikan dalam porsi yang benar, dalam waktu
yang tepat.
e. Masa kanak- kanak
Rasa bahagia di masa kanak- kanak diperoleh melalui hubungan
anak dengan orang tua dan lingkungan sosialnya. Hubungan
dengan orang tua yang berjalan harmonis menimbulkan kelekatan
antara orang tua dengan anak, hal ini dapat mempermudah proses
penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.
f. Pendidikan
Untuk pendidikan formal minimal sampai pada tahap sekolah
menengah atas (SMA). Semakin tinggi pendidikan pasangan dalam
suatu pernikahan akan semakin mempermudah proses penyesuaian
2. Karakteristik masa kini (current characteristic)
a. Kehidupan seksual
Baik suami maupun istri saling menikmati kehidupan seksual yang
mereka jalani (hubungan seksual yang saling dinikmati oleh kedua
belah pihak).
b. Kepuasan terhadap tempat tinggal
Memiliki tempat tinggal yang relatif menetap (adanya tempat
tinggal yang relatif permanen) akan menimbulkan perasaan aman
bagi masing- masing pasangan, yang pada akhirnya akan
meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.
c. Pendapatan keluarga
Adanya pemasukan yang dapat mencukupi kebutuhan pokok
keluarga (penghasilan yang memadai), sehingga dapat
meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan.
d. Tingkat kesetaraan
Tidak ada dominasi dari salah satu pasangan, baik suami maupun
istri (adanya persamaan antara suami istri (equalitarian), tidak ada
yang mendominasi pihak lain, keputusan dibuat bersama). Setiap
dengan kesepakatan yang setara antara suami dengan istri maupun
sebaliknya.
e. Komunikasi
Adanya komunikasi yang terbuka dan positif dari suami kepada
istri maupun sebaiknya (adanya keterbukaan, kebebasan
berkomunikasi antara kedua belah pihak secara emosional, sosial,
maupun seksual).
f. Kehidupan sosial
Keluarga memiliki kehidupan sosial yang menyenangkan (adanya
kebersamaan dalam kehidupan sosial). Misalnya ikut berpartisipasi
dalam kegiatan yang menjadi minat mereka, mempunyai teman
dan perkumpulan yang satu minat dengan mereka.
g. Ekspresi kasih sayang/ afeksi
Adanya ekspresi kasih sayang yang nyata dari suami maupun istri
(adanya keterbukaan dalam mengungkapkan afeksi antara suami
dan istri).
h. Kepercayaan
Adanya rasa saling dari suami kepada istri dan juga sebaliknya
Hal ini penting karena kecurigaan yang timbul diantara pasangan
dapat memicu konflik dalam kehidupan pernikahan.
Duvall dan Miller (1985) menambahkan bahwa diantara dua macam karakteristik
tersebut, karakteristik masa kini merupakan faktor yang lebih berpengaruh
terhadap tercapainya kepuasan pernikahan.
Hurlock (1980) menambahkan, bahwa ada empat faktor penunjang yang paling
umum dan paling penting bagi terwujudnya kepuasan pernikahan, yaitu melalui
penyesuaian antara lain:
a. Penyesuaian sosial terhadap pasangan
Penyesuaian hubungan interpersonal dalam pernikahan lebih sulit
dilakukan dari bentuk- bentuk hubungan sosial yang lain karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi. Diantaranya adalah konsep
tentang pasangan ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar
belakang, adanya aktifitas atau hal tertentu yang menjadi minat kedua
belah pihak, kesamaan nilai- nilai yang dipegang, konsep tentang
peran, serta perubahan dalam pola hidup.
b. Penyesuaian seksual
Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual antara lain
adalah sikap terhadap seks, pengalaman tentang seks di masa lalu,
pra- nikah, sikap terhadap penggunaan alat- lat kontrasepsi, serta efek
dari vasektomi pada pria.
c. Penyesuaian keuangan
Ketersediaan maupun kekurangan uang mempunyai pengaruh terhadap
penyesuaian pernikahan yang harus dilakukan seseorang. Situasi
finansial bisa membahayakan penyesuaian pernikahan dalam dua area
penting. Pertama, jika istri mengharapkan suami untuk berbagai beban
kerja karena istri mulai mengalami burn out dalam mengurusi rumah
tangga. Kedua, jika ada keinginan untuk memiliki barang- barang
tertentu sebagai simbol kesuksesan, dan suami tidak mampu
memenuhinya.
d. Penyesuaian terhadap keluarga besar pasangan
Di dalam pernikahan, seseorang sekaligus juga mendapatkan sebuah
keluarga besar baru. Meskipun banyak yang mengidentifikasikan
pernikahan sebagai penyatuan dua individu, namun pada kenyataannya
pernikahan juga merupakan penyatuan dua keluarga secara menyeluruh
(Santrock, 2002). Faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian
terhadap keluarga besar adalah adanya stereotype mengenai anggota
keluarga tertentu, keinginan akan independensi, kohesivitas keluarga,
mobilitas sosial, perawatan terhadap anggota keluarga yang lebih tua,
Berdasarkan teori dari Duvall dan Miller (1985), Hurlock (1980), yang telah
diuraikan sebelumnya, maka peneliti akan menyimpulkan faktor- faktor yang
secara teoritis mempengaruhi kepuasan pernikahan :
1) Faktor personal
2) Faktor pemuasan kebutuhan psikologis melalui hubungan
interpersonal
3) Faktor anak
4) Faktor seksual
5) Faktor ekonomi/ finansial (pendapatan, tersedianya tempat tinggal)
6) Faktor kebersamaan
7) Faktor interaksi yang efektif serta komunikasi yang baik
8) Faktor hubungan dengan keluarga besar pasangan
9) Faktor penyesuaian penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan
dalam pernikahan
10) Faktor peran
2.2.3.
Indikator Kepuasan Pernikahan
Lauer et. al mengidentifikasi indikator kepuasan pernikahan (dalam Baron &
Byrne, 2005). Yaitu :
1. Komitmen (commitment)
a) Menganggap pernikahan sebagai komitmen jangka panjang
Banyak orang yang menginginkan adanya seseorang yang mau
mendedikasikan dirinya pada pasangannya dengan tulus. Pernikahan
merupakan suatu ekspresi dari tipe dedikasi ini (Stinnet, dalam Turner &
Helms, 1987).
b) Menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang suci
Ikatan pernikahan pada budaya kita dipandang sebagai ikatan yang
langgeng dan suci. Karena banyak pasangan suami istri mengabaikan
kebutuhan pribadinya, tetapi harus tetap mempertahankan kesatuan
hubungan suami istri. (Davidoff, 1991).
c) Menganggap suatu pernikahan penting sebagai stabilitas sosial
Pernikahan menyediakan persetujuan sosial dengan respect terhadap salah
satu kebutuhan, seperti kebutuhan seksual (Stinnet, dalam Turner &
2. Persamaan (similarity)
a) Mempunyai persamaan tujuan
Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan sering
membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap
tugas dan tanggung jawab pernikahan (Hurlock, 1980). Untuk itu,
memiliki persamaan tujuan penting dalam pernikahan.
b) Mempunyai persamaan dalam menunjukkan kasih sayang
Pernikahan yang baik dapat tercapai bila di dalam pernikahan terdapat
intimasi, dan adanya rasa saling menghargai dan pengekspresiannya serta
rasa saling menyayangi. Pada pasangan suami istri dibutuhkan adanya
sebuah karena kehangatan, karena perasaan yang dirasakan suami ataupun
istri berbeda. Keluhan umum yang disampaikan istri bahwa mereka
menginginkan kehangatan lebih banyak seperti halnya keterbukaan dari
suami mereka. Tetapi suami seringkali menganggap bahwa mereka sudah
terbuka dengan istri atau diduga mereka tidak mengerti apa yang
diinginkan istri mereka (Blumstein & Schwartz, dalam Santrock, 2002).
c) Mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual
Kehidupan seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam
pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan
ketidakbahagiaan pernikahan apabila kesepakatan ni tidak dapat dicapai
3. Persahabatan (friendship)
a) Menganggap pasangan sebagai teman baik
Pasangan dapat dianggap sebagai teman baik, yaitu dengan adanya kerja
sama dalam suatu hubungan yang bersifat sukarela (Ahmadi dalam Bayu
Ananta, 2009).
b) Menyukai pribadi pasangan
Dalam pernikahan, kecendrungan seseorang memilih pasangan yang
memiliki kesamaan. Kita cenderung menyukai orang yang memiliki
kesamaan sikap, minat, latar belakang, termasuk kepribadiaan yang sama
dengan kita (Sears, et.al., dalam Bayu Ananta, 2009). Namun kesamaan
bukanlah segalanya. Ditemukan juga bahwa disposisi kepribadian yang
spesifik berkaitan dengan keberhasilan pernikahan. Kebutuhan- kebutuhan
tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara baik bukan dari pasangan
yang serupa, tetapi oleh seseorang yang dapat memuaskan kebutuhan-
kebutuhan tersebut (Baron & Byrne, 2005).
4. Perasaan positif (positive feeling)
a) Merasa pasangan menjadi lebih menarik
Cinta merupakan salah satu bentuk terpenting dari ketertarikkan antar
pribadi. Hubungan cinta ini juga mendasari berlangsungnya pernikahan
b) Merasakan kebahagiaan bersama pasangan
Adanya kebahagiaan dalam berbagai fase kehidupan sangatlah penting
bagi setiap orang. Banyak orang mengharapkan pernikahannya sebagai
sumber kebahagiaan. Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak
terletak pada institusi pernikahan, melainkan pada orang- orang yang
menjalaninya dan hal tersebut tergantung pada cara mereka berinteraksi di
dalam hubungan tersebut. Wanita yang menikah melaporkan mendapatkan
kebahagiaan lebih tinggi dibanding wanita yang masih sendiri. Tetapi,
pada sisi lain mereka juga mengeluh ketidakbahagiaan yang lebih dalam
pernikahan dibandingkan para suami mereka (Atwater, 1985).
c) Merasa bangga akan prestasi pasangan
Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi
kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Apabila orang dewasa
perlu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status sosial agar bahagia,
pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan
2.3.
Kemampuan Berkomunikasi
2.3.1. Pengertian kemampuan berkomunikasi
Carl Hovland, Janis dan Kelley (dalam Yulia S. Gunarsa, 2009), menyatakan
bahwa komunikasi adalah suatu proses seseorang (komunikator) menyampaikan
stimulus (biasanya dalam bentuk kata- kata) dengan tujuan mengubah bentuk
perilaku seseorang. Kata atau istilah “komunikasi” atau dalam bahasa inggris
“Communication”, berasal dari Bahasa Latin “Communicatus” atau
Communicatio atau Communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik
bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu
pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.
Raymond S. Ross, 1974 (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004) mendefinisikan
komunikasi adalah sebagai suatu proses transaksional yang meliputi pemisahan,
dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, sehingga dapat membantu orang
lain untuk mengeluarkan respon yang dirasakan oleh individu.
Kincaid (dalam Erliana Hasan, 2005) mengemukakan, komunikasi adalah proses
saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama dan pertalian antara
para peserta dalam proses informasi.
Brent D. Ruben (dalam Arni Muhammad, 2008) memberikan definisi mengenai
komunikasi sebagai suatu proses dimana dalam hubungan antara individu dengan
masyarakat, hubungan dengan kelompoknya yang mana di dalamnya dapat
menciptakan, mengirim, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi
Izzatul Jannah (2008) menambahkan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses
yang sangat kompleks, sebab tidak hanya berwujud kata- kata, tetapi berbentuk
gesture, mimik wajah, tekanan kalimat, tatapan mata, perasaan, pengalaman,
ingatan, dan masih banyak lagi.
Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mendefinisikan komunikasi adalah sebagai
pesan yang dikirimkan secara verbal maupun non verbal kepada satu penerima
atau lebih penerima dengan maksud untuk mempengaruhi tingkah laku si
penerima.
Wikrama Iryans Abidin mendefinisikan kemampuan berkomunikasi adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengemas ide, gagasan atau pesan
kepada orang lain secara efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi adalah suatu kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk memproses pertukaran informasi yang sangat
kompleks diantara individu baik secara verbal dan non verbal melalui gesture,
simbol, gambar, kata- kata, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
2.3.2.
Proses berkomunikasi
Robbins (dalam Erliana Hasan, 2005), yang mengukapkan bahwa komunikasi
sebagai suatu proses, dapat juga diamati mulai dari karaketristik sumber. Sebelum
komunikai terjadi dapat diungkapkan suatu maksud sebagai pesan untuk di
sampaikan. Maksud itu bergerak antara suatu sumber (pengirim) dan penerima.
Kemudian pesan itu dikodekan atau diubah ke dalam bentuk simbolik dan
(pengkodean) dengan diawali oleh pengirim. Hasilnya adalah suatu transfer
makna dari satu orang ke orang lain. Untuk jelasnya proses komunikasi tersebut
dapat di gambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Pesan
Pesan
2.3.3.
Tujuan komunikasi
Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena memiliki tujuan tertentu.
Joseph A. DeVito (1997), menyatakan bahwa ada lima tujuan komunikasi, yaitu:
1. Untuk menenemukan diri
Maksud utama dari menemukan diri dalam komunikasi adalah ketika
seseorang berkomunikasi dengan orang lain sebenarnya ia sedang belajar
mengenai dirinya dan teman bicaranya, dengan berbicara mengenai dirinya
kepada orang lain ia akan memperoleh umpan balik yang berharga atas
perasaan, pikiran, dan tingkah laku.
Sumber Pengkodean Saluran Pengkodean Penerima
[image:45.595.103.538.176.530.2]2. Untuk bermain
Maksud utama dari bermain dalam komunikasi adalah menggunakan
komunikasi untuk bermain karena memiliki motif kesenangan, hiburan,
dan istirahat atau santai dengan maksud membuatnya merasa lepas dari
tekanan dan tanggung jawab.
3. Untuk berhubungan dengan orang lain
Maksud utama dari berhubungan dengan orang lain dalam komunikasi
adalah motivasi berkomunikasi untuk memelihara hubungan interpersonal
yang hangat dan akrab, karena setiap orang ingin merasa dicintai dan
mencintai orang lain. Sebaliknya komunikasi bisa digunakan untuk
menjauhi orang lain, berargumentasi dan berselisih dengan teman bahkan
untuk memutuskan suatu hubungan.
4. Untuk menolong
Maksud utama dari menolong dalam komunikasi adalah biasa dilakukan
oleh terapis, konselor, guru, orangtua, dan teman. Seseorang menjadikan
komunikasi untuk menolong ketika memberikan saran, mengekspresikan
empati, memecahkan suatu masalah, atau mendengar dengan penuh
perhatian kepada seorang pembicara.
5. Untuk mempengaruhi
Maksud utama dari mempengaruhi dalam komunikasi adalah sebagian
kecil komunikasi digunakan seseorang untuk mempengaruhi perubahan
kepada suaminya untuk membeli rumah yang dianggapnya bagus dan
menarik, atau membujuk anaknya untuk menyanyikan sebuah lagu.
2.3.4.
Indikator Kemampuan Berkomunikasi
Menurut Bochner & Kelly mengidentifikasi indikator kemampuan berkomunikasi
dalam rangka menciptakan komunikasi yang baik dan efektif ( dalam Joseph A.
DeVito, 1997 ), yaitu sebagai berikut :
1. Keterbukaan
Sedikitnya ada 3 aspek dari komunikasi antarpribadi, yaitu :
a) Adanya keterbukaan komunikator kepada orang yang diajak
berinteraksi. Adanya kesediaan untuk membuka diri,
mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan antara
komunikator dengan orang yang diajak berinteraksi.
b) Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap
stimulus yang datang. Komunikator memperlihatkan
keterbukaannya, dengan cara bereaksi secara spontan terhadap
orang lain.
c) Kepemilikkan perasaan dan pikiran. Keterbukaan dalam hal ini
adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang disampaikan
adalah memang “milik” anda dan anda bertanggungjawab atasnya.
Cara baik untuk menyatakan tanggungjawab adalah dengan pesan
2. Empati
Henry Backrack (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan
empati sebagai kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang
sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu. Orang yang
berempatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain,
perasaan dan sikap, serta harapan dan keinginan untuk masa yang akan
datang.
3. Sikap mendukung
Memperlihatkan sikap mendukung berwujud dalam bentuk :
a) Deskriptif. Dalam hal berkomunikasi deskriptif membantu
terciptanya sikap mendukung, tidak merasakan adanya suatu
kejadian sebagai suatu ancaman (“anda tampaknya marah kepada
saya”).
b) Spontanitas. Seseorang yang berkomunikasi secara spontan dan
terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya
bereaksi dengan cara yang sama (terus terang dan terbuka).
c) Provisionalisme. Arti dari provisional adalah bersikap tentatif dan
berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang
berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan
4. Sikap positif
Sikap positif dalam berkomunikasi sedikitnya dapat digolongkan
dalam 2 cara, yaitu :
a) Sikap. Menunjukkan sikap dan perasaan positif dalam situasi
komunikasi pada umumnya sangat penting, karena komunikasi
akan terjadi secara efektif. Sedangkan sikap negatif dapat membuat
orang merasa terganggu dan komunikasi dengan segera akan
terputus.
b) Dorongan. Perilaku mendorong menghargai keberadaan dan
pentingnya orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk
pujian atau penghargaan. Sedangkan dorongan negatif bersifat
menghukum dan menimbulkan kebencian.
5. Kesetaraan
Kesetaraan memiliki arti, yaitu adanya pengakuan secara diam- diam
bahwa kedua pihak sama- sama bernilai dan berharga. Selain itu Carl
Rogers (dalam Joseph A. DeVito, 1997) mendefinisikan kesetaraan
2.4. Kemampuan Memecahan Masalah
2.4.1. Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah
Solso, Otto H. Maclin & Kimberly Maclin (2007) pemecahan masalah merupakan
suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi atau
jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.
Menurut Bedel & Lennox, 1994 (dalam Anasatasia Retno Ayu, 2006), Problem
solving adalah proses yang dapat membantu seseorang untuk menemukan apa
yang mereka inginkan dan bagaimana mencapainya dengan cara yang paling
efektif.
Menurut Harold J. Leavitt (1978) menambahkan bahwa, pememecahan masalah
adalah sebagai suatu proses seleksi dan proses pengambilan keputusan dan proses
mencari untuk mengetahui awal dari sebuah permasalahan.
Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan
(decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari
sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang
tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang
dilakukan.
Suharnan (2005) mengemukakan bahwa masalah seringkali disebut sebagai
kesulitan, hambatan, gangguan, ketidakpuasan, atau kesenjangan. Secara umum
dan beberapa ahli psikologi kognitif seperti Anderson (1980). Evans (1991),
kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan
yang diinginginkan (Suharnan, 2005).
Sedangkan, Wikipedia Dictionary mengartikan sebuah masalah sebagai berikut:
“A problem is an issue or obstacle which makes it difficult to achieve a desired goal, objective or purpose. It refers to a situation, condition, or issue that is yet undersolved. In a broad sense, a problem exists when an individual becomes aware of a significant difference between what actually is and what is desired”.
Dapat disimpulkan bahwa masalah merupakan suatu hambatan atau rintangan
yang dihadapi individu dalam mencapai suatu tujuan. Suatu masalah terjadi ketika
individu menyadari bahwa keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan harapan-
harapannya.
Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang
dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang
sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari- hari.
Pada saat menghadapi suatu masalah, seseorang biasanya terpacu untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Proses pemecahan masalah
yang dilakukan oleh setiap individu tentulah berbeda- beda, tergantung dari pola
pikir yang dimiliki, jenis masalah yang dihadapi, ataupun faktor dari luar yang
mempengaruhi (seperti saran yang diberikan oleh orang lain, pengalaman yang
dialami oleh orang lain, dan sebagainya).
Sedangkan menurut Chaplin (2006), pemecahan masalah diartikan sebagai proses
yang tercakup dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternatif-
alternatif jawaban yang mengarah kepada suatu sasaran atau ke arah pemecahan
Dean G Pruitt & Jeffrey Z. Rubin (1986) menambahkan bahwa kemampuan
memecahkan masalah adalah kemampuan yang dilakukan untuk melokasikan
suatu solusi bagi kontroversi yang terjadi, yang dapat diterima oleh semua pihak.
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah sebuah
kemampuan dimana adanya suatu usaha untuk menemukan solusi bagi
permasalahan yang terjadi, yang mengarah kepada suatu pencapaian tujuan yang
diinginkan.
2.4.2.
Proses memecahkan masalah
Secara visual suatu masalah melibatkan paling sedikit tiga komponen yaitu:
keadaan sekarang, keadaan atau tujuan yang diinginkan, dan prosedur yang akan
ditempuh untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Terdapat beberapa proses atau
tahapan yang harus ditempuh guna memecahkan suatu masalah (Ellis & Hunt,
dalam Suharnan, 2005) yaitu :
a. Pemahaman masalah
b. Penemuan berbagai hipotesis mengenai cara pemecahan masalah dan
memilih salah satu hipotesis tersebut
c. Menguji hipotesis yang dipilih dan mengevaluasi hasilnya.
Ketiga langkah pokok ini dalam proses pemecahan masalah adakalanya dapat
memerluka waktu berhari- hari, minggu dan bahkan bulan, baru dapat diperoleh
metode pemecahan. Glass dan Holyoak (dalam Suharnan, 2005) mengusulkan
Gambar 2.2
Alur pemecahan masalah
Ket :
: Jika gagal
: Jika berhasil
Pada dasarnya semua proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh individu,
mempunyai gambaran yang seragam, pada awalnya individu menemukan atau
menghadapi suatu hal yang menantang, kemudian mengatasinya, mengatasi
hambatan- hambatan yang muncul dalam proses pemecahan masalah tersebut, dan
kemudian mengevaluasinya. Cara ini bukanlah suatu hal yang kaku. Dan keadaan
tertentu, langkah- langkah tersebut dapat ditiadakan atau bahkan muncul secara
tidak beraturan dan harus diulang- ulang. 1. Membentuk representasi masalah
2. merencanakan pemecahan
3. pelaksanaan dan evaluasi Kembali ke tahap 2
setelah berhenti sejenak
Sebagai tambahan, sebelum mengarah ke proses pemecahan masalah, sangatlah
penting untuk memahami terlebih dahulu awal mula sebelum terjadinya sebuah
masalah. Seperti yang dijelaskan oleh Pickering dalam bukunya “How to Manage
Conflict” (2001), agar dapat menangani permasalahan secara efektif, diperlukan
peningkatan penguasaan, anatara lain dalam :
a. Memahami faktor- faktor munculnya suatu permasalahan.
b. Cara untuk mengatasi konflik dan pandai bermusyawarah dalam
menghadapi berbagai jenis permasalahan.
c. Mengembangkan cara- cara dan sistem pribadi untuk mengatasi
ketegangan dan tekanan.
Parnes (dalam Utami Munandar, 1999) mengembangkan proses pemecahan
masalah secara kreatif. Proses ini mempunyai lima langkah :
a. Tahap menemukan fakta
Pada tahap ini akan didahului dengan ungkapan pikiran dan perasaan
mengenai masalah yang dirasakan sebagai pengganggu, tetapi masalah
tersebut masih terlihat belum jelas. Untuk mengetahui lebih jelas
masalah yang sedang dihadapi dapat dimulai dengan memunculkan
pertanyaan : ”Masalah apa yang sebenarnya sedang saya hadapi?”
setelah dapat melihat jelas masalah apa yang sedang dihadapinya,
dapat diteruskan dengan mendaftar semua fakta yang diketahui
mengenai masalah yang sedang dihadapi, dapat diteruskan dengan
dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan untuk
memecahkan msalah yang sedang dihadapi.
b. Tahap menemukan masalah
Pada tahap ini diusahakan untuk memunculkan pertanyaan : ”Dengan
cara- cara apa saya dapat memecahkan masalah yang sedang saya
hadapi?”. dengan munculnya pertanyaan tadi dapat memunculkan
gagasan atau ide baru untuk mencari cara bagaimana memecahkan
masalah yang sedang dihadapi. Setelah itu diharapkan individu dapat
mengembangkan dan menemukan bagian- bagian dari masalah yang
sedang dihadapi llau merumuskan kembali (Redifinition) masalah
yang sedang dihadapi. Selain itu juga masalah disederhanakan atau
dipersempit.
c. Tahap menemukan gagasan
Pada tahap ini diusahakan untuk mengembangkan gagasan pemecahan
masalah sebanyak mungkin. Salah satu cara untuk mengembangkan
gagasan adalah dengan cara sumbang saran (Brainstorming). Dari
sumbang saran yang dilakukan biasanya dilakukan oleh kelompok
kecil, tetapi tetap dapat dilakukan sendiri oleh individu.
d. Tahap menentukan solusi
Pada tahap ini individu dapat menyeleksi gagasan- gagasan yang telah
berdasarkan waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan untuk
melaksanakan gagasan tersebut) yang mempunyai hubungan dengan
masalah yang sedang dihadapi. Setiap gagasan dapat dinilai
berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan. Untuk kriteria
yang dianggap penting dapat diberi bobot penilaian. Penilaian dapat
dilakukan dengan memberi angka, kata atau huruf.
e. Tahap penerimaan/ pelaksanaan
Pada tahap akhir ini individu yang telah memilih satu gagasan yang
telah diseleksi dan mengambil gagasan tersebut sebagai suatu
keputusan untuk solusi pemecahan masalah yang sedang dihadapinya
dan diharapkan untuk menerima dan menjalankan gagasan tersebut,
sehingga masalah yang sedang dihadapinya dapat dipecahkan.
Sebagai upaya pemecahan masalah Lubis (2005), menambahkan ada beberapa
proses dalam menyelesaiakan masalah rumah tangga yang dapat diselesaikan
tanpa harus menimbulkan konflik atau pertengkaran., diantaranya:
a. Tenangkan diri dan introspeksi. Begitu merasa ada masalah, sebelum
mengambil keputusan dan tindakan lanjutan, berhentilah sejenak
sebagai langkah awal untuk menata emosi, agar hati menjadi tenang.
b. Komunikasikan segera. Bila masalah yang muncul masih dianggap
cukup mengganggu, sebaiknya jangan menunggu hingga berlarut-
larut, apalagi sampai meninggikan ego. Mengungkapkan masalah
secara efektif. Yang dimaksud dengan komunikasi yang efektif adalah
dengan tidak tergantung pada “mengapa” dan “bagaimana”
menyampaikannya. Menggunakan bahasa komunikasi yang sama
dengan pasangan, membuat pesan yang disampaikan dapat dipahami
sepenuhnya oleh masing- masing pasangan.
c. Cari penengah yang terpercaya. Adakalanya permasalahan suami istri
sudah semakin jauh sehingga sulit untuk diperbaiki. Dalam situasi
seperti ini diperlukan seorang penengah yang bisa bersikap netral,
misalnya orang tua, mertua, Ustadz, BP4 (Badan Penasihatan
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) atau psikolog. Tetapi sebelum
kita meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah,
sebaiknya masalah itu diselesaikan dulu sendiri.
d. Mengalah untuk menang. Sangatlah wajar jika dalam sebuah
permasalahan masing- masing pihak merasa paling benar, dan
karenanya dirinya harus memperoleh kemenangan. Oleh karena itu,
kelanggengan pernikahan sangat dipengaruhi oleh banyaknya toleransi
yang terbangun antara suami istri, yang kadang- kadang diartikan
sebagai mengalah. Memilih mengalah jelas tidak akan menjadi
masalah, bila diambil untuk memperoleh kebaikan, karena dengan
bertoleransi kita sadar bahwa apa yang kita harapakan tidak selalu sama
Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi Untuk Keluarga (2007),
menambahkan beberapa cara yang perlu diingat dalam usaha untuk mengurangi
sumber permasalahan di dalam keluarga, antara lain :
a. Mencari tahu. Bila timbul pertengkaran, usahakan mencari sebab mengapa
peristiwa tersebut telah menimbulkan pertengkaran.
b. Kemampuan dalam memahami pasangan. Bila telah ditemukan penyebab
pertengkaran, selama pihak suami atau istri sedang mengemukakan sebab-
sebab kesalahannya, usahakanlah (suami atau istri) mendengarkan dengan
tenang dan sabar.
c. Kejujuran. Pikirkan dengan sejujurnya arti munculnya perstiwa tersebut,
tanpa memberikan alasan- alasan untuk menutupi atau membenarkan diri
sendiri.
d. Apabila tern