• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan separatisme terhadap negara yang sah dan aspek pidananya menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif (studi kasus gam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gerakan separatisme terhadap negara yang sah dan aspek pidananya menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif (studi kasus gam)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

( STUDI KASUS GAM)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

FIRMANSYAH

107045102072

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

( STUDI KASUS GAM)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

FIRMANSYAH

107045102072

Dibawah Bimbingan : Pembimbing :

Prof. YUNASRIL ALI, MA MASYROFAH, S.Ag, M.Si

NIP. 150223823 NIP: 19781230200112002

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 September 2011

(5)

i Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(6)

ii

selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.

5. Prof. Yunasril Ali, MA dan Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keikhlasan menyalurkan ilmu-ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

(7)

iii termotivasi dengan penuh semangat.

8. Sahabat-sahabat Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama (Hurry, Rahmah, Shanti, Farhan, Ridho, ovick, Maya, Sarah, Vinieska, Siti Saripah, Siti Sa’diah, Febri, Hafiz, Adi M, Mamet, Ical,

farhan kudil, dan dori) terima kasih yang selalu bersedia menemani penulis, baik berdiskusi dan berbagi keluh kesah.

9. Kepada seluruh staf perpustakaan umum dan perpustakaan syari’ah dan hukum universitas Islam negeri syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis untuk mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.

10.Kepada Yayasan Anna’imuniyah, selaku ketua Yayasan Drs. KH. Madjasa ilyas, Pembina Yayasan DR. Ahmad Mukri Adji, MA, MH, dan seluruh pengurus Yayasan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat kami. Dan terimakasih kami kepada Pimpinan Pondok Darunna’im YAPIA H. Ust. Nur Rohim Yunus LLM, M.Phil. kami

sadar dan tahu bahwa semua membimbing dan membina kami dengan hati nurani yang bersih tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun.

(8)

iv

12.Santri-santri Alumni Darussalam Gontor angkatan 2005, 2006, 2007 (unto, arif Shaleh, dayat, boncel, Ambon, bemo dan my konsul) yang selalu memberi motivasi sehingga saya tetap semangat dan semangat.

13.Teman-teman saya Remaja Islam Masjid Uswatun Hasanah ( Adul, Kiben, Mulky, Selbi, emul dan reza ) yang selalu memberikan saya motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Sukron

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah Subhanahu wa

Ta’ala. Akhirnya, semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada

penulis mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 17 September 2011

(9)

v

KATA PENGANGAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA SEPARATISME (BUGHAT) A. Pengertian Separatisme ... 16

B. Unsur-unsur Jarimah Separatisme ... 19

C. Dasar Hukum dan Aspek Pidana Separatisme ... 34

D. Pengertian Negara Yang Sah dan Unsur-unsur Negara Dalam Hukum Positif ... 37

(10)

vi

A. Latar Belakang Gerakan Aceh Merdeka ... 45

B. Awal kelahiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ... 46

C. Separastisme dan Lambang GAM ... 49

D. Visi dan misi Gerakan Aceh Merdeka ... 53

E. Lambang Dalam Konflik Nasionalisme Versus Separatis ... 56

BAB IV GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pandangan Hukum Islam Tentang Gerakan Aceh Merdeka ... 59

B. Pandangan Hukum Positif Tentang Gerakan Aceh Merdeka ... 61

C. Analisis Penulis Tentang Gerakan Aceh Merdeka... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67

B. Saran-saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi berupa al-Qur‟an dan juga hadis Nabi saw adalah agama untuk segala zaman. Karena itu, hukumanya pun senantiasa sesuai dengan zaman. Dalam situasi dan kondisi apa pun, pemeluk agama Islam senantiasa berpedoman kepada al-Qur‟an dan hadis Rasulullah SAW yang menjadi dasar agama mereka, sehingga mereka akan terhindar dari kesesatan. Kedua sumber ajaran Islam

itu secara umum mengandung seluruh hukum syari‟at Islam yang teraktualisasi dalam

bentuk ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum, yang berkaitan dengan norma dan tatanan kehidupan manusia, baik secara vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horizontal antara sesama manusia. Salah satu bagian dari tatanan horizontal itu adalah menyangkut masalah pidana, yang merupakan garis yang menjadi karidar tergapainya tata tertib hukum tentang hal-hal yang menyangkut hak-hak Allah (haqâq Allah)

dalam syari‟at Islam, diantaranya jarîmah hudûd ada tujuh macam yaitu; jarîmah

zina, jarîmah qadzaf, jarîmah syurb al-khamar, jarîmah pencurian, jarîmah hirabah, jarîmah riddah, dan jarîmah baghy( pemberontakan).1

Sehubung, dengan penerapan ajaran tersebut, dewasa ini ada sejumlah daerah yang ingin daerahnya bisa menerapkan hukum tersebut. Untuk merealisasikan itu mereka berbunyikan melepaskan daerahnya menjadi sebuah negara berdiri sendiri.

1

(12)

Mungkin hal demikian akan mengisi sebuah pertanyaan bagi kita, bagaimana kalau suatu daerah mendirikan sebuah negara?. Apakah itu sebuah tindakan sepatis atau pemberontakan suatu daerah terhadap negara yang telah ada? Sebelum membahas permasalahan ini lebih jauh, kita harus tahu apa yang dimaksud dengan separatisme. Separatisme dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep legitimasi dan atau ketaatan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Diskursus ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam klasik semisal al-Ghazali, al-Mawardi, dan ibn Taimiyyah yang kemudian dikembangkan dalam konsep bughat atau pemberontakaan.

Sepanjang temuan penulis ketika menganalisis penyebab sesungguhnya

bughat tidak lepas dari tiga pra kondisi: Pertama, bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan pemerintah yang sah. Dalam pandangan al-Mawardi tindakan

bughat ini bisa disamakan dengan tindakan riddah atau keluar dari Islam sehingga dihukumi haram dan pemerintah yang sah diperbolehkan melakukan tindakan militer terhadapnya. Pandangan ini mengacu kepada peristiwa para nabi palsu pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw yang kemudian menolak beberapa Rukun Islam, sehingga Abu Bakar memerintahkan untuk memerangi kelompok ini.2

Kedua, bughat disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dalam konteks ini, menurut pandangan Abdul Qadir Jailani dalam buku Negara ide menurut Islam ketidaksepahaman

2

(13)

tersebut adalah sesuatu yang wajar dan mubah. Jika kemudian seseorang tidak sepakat terhadap tata regim yang berkuasa, dan tidak melakukan tindakan penentangan militer kepada negara, orang, atau organisasi tidak bisa dihukum ataupun ditindas. Sejarah Islam pertama pernah mencatat bagaimana Abu Bakar

memberikan hak kepada Sa‟ad bin Ubadah yang tidak mau berbai‟at kepada

kepemimpinan Abu Bakar, tidak menjadikan Sa‟ad bin Ubadah sebagai pemberontak yang harus dihukum.

Ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan zalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar makruf nahi munkar, artinya menjalankan aktivitas

bughat menjadi kewajiban masyarakat.3 Dalam hal ini Imam Al-Ghazali merumuskan sebuah metode pengukuran dengan konsep asy-sayukah?. Metode ini menyadarkan kepada asumsi bahwa jika masyarakat memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan penguasa yang zalim, dan tindakan bughat bisa dimenangkan dengan proses yang cepat dan tidak menimbulkan kemadharatan yang lebih banyak, maka aktivitas buhgat melalui pemberontakan bersenjata baru bisa dilakukan. Namun, dalam kenyataannya, sedemikian sulit ditemukan pra-kondisi bahwa kekuatan militeristik masyarakat sipil lebih kuat dibandingkan kekuatan meliter negara.

Jadi, separatisme itu dalam hukum Islam tidak dibolehkan, disebabkan kita harus taat kepada pemerintahan. Separatisme itu juga banyak merugikan masyarakat,

3

(14)

dan kalau kita lihat maslahatnya sungguh banyak dampak-dampak yang membuat masyarakat resah dan tidak nyaman dan aman. disebabkan banyaknya muncul separatis, yang mereka ingin mendirikan negara di atas negara.

Ulama Hanafiyyah mendefinisikan bughat atau Pemberontakan adalah ke luar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (tidak sah)4.

Meskipun di Indonesia telah terjadi metamorphosis ide separatisme dari masa Orde

Lama ke Orde Baru, tidak berarti bahwa separatisme yang berkembang saat ini sama sekali

berbeda dari akar sejarahnya. Beberapa gerakan separatisme yang masih berkembang sampai

saat ini bahkan masih sering mengungkit- ungkit sejarah lama gerakan mereka untuk

mempertahankan garis historis perjuanganya.

Berikut ini sedikit tentang sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merupakan salah satu gerakan separatisme di Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka5 pada tanggal 4 Desember 1976 sekelompok intelektual Aceh mengumumkan berdirinya negara Aceh, Sumatra. Presiden negara baru tersebut adalah Muhammad Hasan Tiro yang sejak 1950 menetap di New York. Latar belakang gagasan separatis ini pada dasarnya bersifat ekonomi, karena mereka melihat Aceh yang kaya sumber alam--terutama minyak--hanya menjadi sapi perah untuk kepentingan pemerintah

4

Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet Pertama, 2001), h. 59.

5

(15)

pusat di Jakarta (Jawa). Mereka mencita- citakan pembebasan dari yang disebut-sebut

sebagai “Kolonialisme Jawa”.6

Gaya pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan berbau militer telah mampu meredam gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI. Pada masa itu, segala ancaman yang mengindikasikan adanya upaya- upaya untuk memisahkan diri langsung dicap sebagai tindakan pemberontakan dan dapat ditindak dengan cara- cara militer.7

Sejak semakin semaraknya isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di awal 1990-an, gerakan-gerakan separatis ini seolah menemukan “amunisi” baru yang dapat memunculkan kembali eksistensi mereka. Dengan mendompleng isu pelanggaran HAM, mereka tak gentar melakukan propaganda untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari dunia internasional. Propaganda yang biasa mereka lontarkan adalah adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia.8 Selain dapat mengangkat eksistensi kelompok separatis, pemboncengan terhadap isu HAM ini juga akan menyeret persoalan separatis yang semula merupakan persoalan domestik Indonesia menjadi persoalan internasional. Dengan demikian strategi pemboncengan terhadap isu HAM ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, dengan membonceng isu HAM ini dapat mengangkat kembali eksistensi mereka, dan sisi lain, dapat melebarkan skala persoalan dari domestik menjadi internasioanal.

6

Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h. 6.

7

www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.

8

(16)

Kasus Timor-Timur dapat dijadikan contoh betapa strategi mendompleng isu HAM merupakan strategi yang cukup membuahkan hasil dan sepertinya akan menjadi startegi utama bagi kelompok- kelompok separatis untuk mendapatkan dukungan politik dari dunia internasional. Gerakan separatisme oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Republik Maluku Selatan (RSM) di Maluku, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua adalah kelompok- kelompok separatis yang aktif menggunakan strategi ini.

Pemboncengan terhadap isu HAM ini tentu mengakibatkan penyelesaian ancaman separatisme di Indonesia menjadi semakin kompleks. Penerapan otonomi daerah khusus tidak serta-merta menyurut kehendak kelompok separatis untuk kembali ke pangkuan NKRI. Hal ini karena kelompok separatis merasa mereka lebih punya nilai tawar untuk meminta konsesi yang lebih besar kerena mereka merasa mendapat dukungan- atau minimal, mendapat perhatian dari dunia internasional.

(17)

menentukan masa depan Aceh. Terlepas dengan GAM, perundingan di Helsinki belum sepenuhnya menjadi penyelesaian yang benar- benar tuntas bagi persoalan konflik di Aceh.9

GAM yang diperlakukan dan memperlakukan diri secara over valued telah mengakibatkan tidak terwakilinya kelompok masyarakat Aceh yang lain selama ini memilih tidak bersikap sebagaimana GAM. Dampak yang kemudian muncul adalah munculnya berbagai persoalan baru menyangkut masa depan Aceh. Kecenderungan seperti di Aceh ini sepertinya dilakukan pula oleh kelompok separatis di Papua dan Maluku. Apalagi, diduga terdapat pihak- pihak tertentu dari luar negeri terutama Australia, yang terlibat dan mensponsori aktivitas gerakan separatisme di Indonesia.

Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslim, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata as-Salậm yang artinya perdamaian. Karena as-Salậm dan al-Islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi, jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi.

Salah satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada kasus GAM (gerakan Aceh merdeka) terdapat unsur-unsur pidana yaitu; pembangkangan terhadap negara yang mana banyak korban yang berjatuhan demi menjadikan Aceh merdeka dari Indonesia atau (NKRI). Maka

9

(18)

dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana hukum tindakan GAM itu sendiri menurut pandangan hukum Islam dan hukum positif. Berdasarkan latar belakang di atas maka

penulis tertarik untuk mengambil judul “GERAKAN SEPARATISME

TERHADAP NEGARA YANG SAH DAN ASPEK PIDANANYA (Menurut

Persfektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Studi Kasus GAM).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan masalah negara yang sah, serta bagaimana pengaturan sanksi dan pandangan dari apa yang telah terkandung di dalam hukum Islam dan hukum positif. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi, meliputi hal- hal sebagai berikut;

1. Separatisme yang penulis maksud, adalah separatisme terhadap negara yang sah dan memisahkan diri dari wilayah negara sendiri.

2. Hukum Islam dan hukum positif yang penulis maksud, adalah kajian hukum Islam dan hukum positif yang membahas tentang separatisme terhadap Negara yang sah dan Aspek pidananya (studi kasus Gerakan Aceh Merdeka).

(19)

perlakuan yang tidak adil dari pemerintah. Pemerintah dianggap sebagai penjarah kekayaan di bumi Aceh. Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Hukum positif tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)? 2. Bagaimana pandangan ulama-ulama mengenai pengertian separatisme pada kasus

Gerakan Aceh Merdeka (GAM)?

3. Apa bentuk sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam dan hukum positif terhadap separatisme dalam kasus GAM?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah;

1. Untuk mengetahui apakah gerakan Aceh merdeka itu adalah separatisme menurut hukum positif.

2. Untuk mengetahui pengertian separatisme menurut pendapat para ulama-ulama dan pada kasus gerakan Aceh Merdeka.

3. Untuk mengetahui sanksi atau hukuman yang ditentukan pada hukum Islam dan hukum positif pada kasus Gerakan Aceh merdeka (GAM).

(20)

fakultas Sayri‟ah dan hukum. Selain itu, manfaatnya secara umum adalah sebagai

kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu Kajian Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahiu seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian yang dilakukan penulis. Dibawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal.

Skripsi yang ditulis oleh Hajar Binti Harun Fakultas Syari‟ah Dan Hukum (

Jinayah Siyasah) “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat Negara

Menurut Perundangan Malaysia”, tahun 2009. Bab III skripsi ini membahas tentang

keadaan darurat negara dalam hukum Islam yang disebabkan pemberontakan.

Buku Pertama karangan Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam, diterbitkan oleh Sinar Grafik, maret tahun 2005. Buku ini menjelaskan bahwasanya perampokan dan pemberontakan terdapat kemiripan. Perampokan adalah

tindakan yang memerangi Allah dan Rasulnya tanpa menggunakan (ta‟wil)

(21)

Karya Zainuddin Ali yang berjudul, Hukum Pidana Islam, Jakarta; diterbitkan oleh Sinar Grafik, April tahun 2007. Didalam buku ini menjelaskan bahwasanya separatisme atau bughat adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Karya Chazawi Adami, yang berjudul Kejahatan Terhadap Keamanan Dan Keselamatan Negara, PT Raja Grafindo Persada, 2002. Didalam buku ini menjelaskan bahwasanya dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam pasal 53. Pasal 53 (1) yang merumuskan yakni “ mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata- mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Karya Abdul Qadir Audah Kitab Tasriy Jinaai Fi Al-Islam Juz II, kitab ini menjelaskan tentang unsur- unsur mengenai pemberontakan (bughat).

(22)

dalam skripsi ini berbeda. Dengan penelitian sebelumnya yaitu tentang gerakan separatisme terhadap negara yang sah (studi kasus GAM) dalam memfokuskan aspek pidananya dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.

2. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan factual, teknik pengumpulan data dilakukan dokumenter dari bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi primer dan sekunder.

a. Data primer

(23)

separatism terhadap negara yang sah dan aspek pidananya pada kasus gerakan Aceh merdeka.

b. Data sekunder

Data yang dimaksud adalah berbagai buku yang secara tidak langsung berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini, dan bahan-bahan tersebut diharapkan dapat menunjang dan melengkapi serta memperjelas data-data primer. Data-data tersebut bersumber dari buku-buku yang berkaitan dengan ilmu hukum, makalah-makalah, dan paper yang berkaitan dengan permasalahan ini.

3. Metode pembahasan

Metode analisis data yang digunakan seluruhnya adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis masalah berdasarkan data-data yang di dapat dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang di dapati dari buku-buku, karya-karya, literature atau norma-norma. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis komparatif secara kualitatif. Alasan penulis menggunakan teknik ini adalah penulis ingin membandingkan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Positif terhadap permasalahan pada penelitian ini. Dan juga diterapkan penulisan isi secara kualitatif (qualitative content analysis).

4. Tenik penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi, fakultas

syari‟ah dan hukum UIN syarif hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN

(24)

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 bab yang memuat data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui proses penelitian dan analisa. Adapun sistematika tugas akhir ini sebagai berikut;

Bab pertama, pendahuluan yangn berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagaimana skripsi yang lain pada umumnya, pada bagian pendahuluan akan selalu memaparkan hal-hal mendasar seperti ini dan sudah seharusnya diletakkan pada bab pertama.

Bab kedua, pengertian tentang separatisme secara umum, unsur-unsur separatisme, dasar hukum dan sanksi separatisme dan bagaimana aspek pidananya menurut hukum Islam dan hukum Positif dan pengertian negara yang sah menurut hukum Islam dan hukum Positif serta bentuk-bentuk negara dan unsur-unsurnya . masalah ini harus penulis bahas pada bab dua karena pasti berkaitan dengan masalah-masalah pokok selanjutnya. Sesuai dengan susunan kata dalam judul skripsi ini, maka penulis membahas tentang tindak pidana separatism terhadap negara yang sah.

(25)

Bab keempat, pandangan hukum Islam dan hukum Positif mengenai separatisme pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) persamaan dan perbedaan menurut ulama-ulama mengenai separatisme, pada bab empat ini penulis akan membahas bagaimana sanksi hukum yang diterapkan oleh hukum pidana Islam dan hukum Positif pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

(26)

16

(BUGHAT)

A. Pengertian Separatisme

1. Definisi Separatisme Atau Bughat Secara Etimologis

Separatisme artinya mengasingkan diri, kelompok yang mengasingkan dirinya dari suatu wilayah dari satu sama yang lain (atau suatu negara lain).1 Separatisme juga sering merupakan tindak balas yang kasar dan brutal terhadap suatu pengambil ahlian militer yang terjadi dahulu. Di seluruh dunia sebanyak kelompok teroris menyatakan bahwa separatisme adalah satu- satunya cara untuk meraih tujuan mereka mencapai kemerdekaan. Dalam hukum pidana Islam yang dikenal dengan sebutan bughat yaitu: pemberontakan terhadap suatu pemerintahan. al-Baghy menurut bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu. Dari sudut bahasa, al-Baghy memiliki beberapa pengertian antara lain; (zhalim, aniaya) (perbutan jahat) (menyimpang dari kebenaran) dan (melanggar, menentang).2Bughat secara harfiah berarti menanggalkan atau melanggar.3

1

John M. Echols, Kamus bahasa inggris, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 514.

2

Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pena Ilahi, 2007), h. 218.

3

(27)

2. Definisi separatisme (bughat) secara terminologis

Secara terminologis, Ibn Arafah al-maliki mengartikannya sebagai pembangkangan terhadap negara yang sah dan adil, meskipun memiliki alasan.4

Dalam istilah Hukum Islam yang dimaksud bughat adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.5

Pengetian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman. Hal ini terlihat dalam firman Allah.











































Katakanlah “Tuhanku hanya mengharamkan perbutan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.

Dalam pengertian istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang redaksinya berbeda-beda.

a. Pendapat Malikiyah

Separatisme atau pemberontak adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat,

dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta‟wil).6

4

Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.

5

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam…, h. 73.

6

(28)

Dari definisi tersebut, Malikiyah mengartikan separatisme atau buhgat

sebagai berikut . Separatisme atau bughat adalah sekelompok kaum muslimin yang berseberangan dengan al-Imậm al- A‟zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.7

b. Pendapat Hanafiyah

Separatisme atau bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).8

c. Pendapat Hanabilah

Separatisme atau bughat adalah sekelompok orang yang menentang penguasa/ pemerintah, termasuk penguasa yang zhalim, dikarenakan adanya perbedaan paham. Mereka memiliki kekuasaan, meskipun tidak dibawah komando seorang pemimpin.9

d. Pendapat Syafi‟iyah

Separatisme atau bughat adalah para pemberontakan atau para pelaku tindakan makar itu adalah orang-orang Islam yang melawan atau pembangkang kepada pemimpin/ pemerintah, dengan jalan menentangnya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka; dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin.10

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut, terlihat adanya perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam jarimah

7

Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.

8

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 110.

9

Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.

10

(29)

separatisme atau bughat, tetapi tidak dalam unsur yang prinsipil. Apabila diambil intisari dari definisi-definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa separatisme atau

bughat adalah pembangkan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan

kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta‟wil).11

Perbuatan separatisme atau bughat merupakan salah satu tindak kejahatan yang diharamkan dalam hukum pidana Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Saw;

َ

12

“ Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah saw bersabda” Barang siapa yang merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, memisahkan diri dari jama‟ah (pengusa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyah”.

B. Unsur-unsur Jarimah Separatisme

Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarîmah separatisme atau bughat itu ada tiga13, yaitu

1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam)

2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan 3. Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasd al-Jinậîy)

11

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 111.

12

Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Pustaka: Daru Ihya al-Kutub al-Arabiyah 775 H-825 H), h. 253.

13

(30)

1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (Imam)

Untuk terwujudnya jarîmah separatisme disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.14 Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Contohnya, seperti penolakan zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qishash. Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan. Bukan merupakan separatisme atau bughat, melainkan merupakan suatu kewajiban.

Hal ini oleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali didalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk mentaati apa yang diperintahkannya.

Separatisme atau bughat kadang-kadang ditunjukan kepada imam atau kepala negara, dan kadang-kadang kepada pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya. Pejabat-pejabat tersebut antara lain menteri, hakim, atau pejabat-pejabat dibawahnya.15 Dalam sistem imamah, penguasa tertinggi oleh para fuquha disebut

14

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 111.

15

(31)

dengan istilah Imam yang di atasnya tidak ada lagi imam, sedangkan penguasa di bawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila ia mewakili Al-imam Al-A‟zham.

Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Mawardi, „Audah mendifinisikan khalifah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw. Dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.16

Pembentukan dengan imamah atau pemerintahan merupakan bagian dari fardu kifayah, sama halnya dengan pembentukan pengadilan. Hal ini karena umat memerlukan seorang pemimpin (imam) yang menjalankan urusan-urusan agama, membela sunah, menyantuni orang yang teraniaya, serta mengatur hak dan kewajiban warga negara (umat).

Tentu saja setiap imam atau kepala negara harus memenuhi syarat-syarat, antara lain yang paling penting, Islam, laki-laki, mukallaf, dan adil. Untuk pembentukan imamah yang diakui eksistensinya, bisa ditempuh beberapa cara sebagai berikut.17

16

Muhammad Iqbal, fiqh siyasah kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya media pratama, 2001), h. 130.

17

(32)

a. Dengan cara pemilihan oleh hilli wal‟aqdi

Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahlul Hilli

wal‟aqdi atau dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar di awal Islam, yang

mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendikiawanan mereka serta keikhlasan mereka. Juga keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang bekenaan dengan peraturan sipil, politik dan administrasi. Mereka termasuk ulil amri yang Allah SWT mewajibkan rakyat untuk mentaati mereka.18

Contohnya; seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw.19

b. Dengan penunjukan langsung oleh imam terdahulu terhadap orang yang menggantikannya, seperti penunjukan oleh khalifah Abu Bakar terhadap Sayidina Umar. Dalam perkembangan sejarah Islam, penunjukan oleh seorang kepala Negara secara langsung ini banyak terjadi pada masa Bani Umayyah dan

Abbasiyah, seperti penunjukan oleh Mu‟awiyah terhadap anaknya, dan hal ini

oleh para ulama dibenarkan.

c. Imam yang terdahulu membentuk majelis permusyawaratan yang terdiri dari orang-orang tertentu, dan mereka itulah yang melakukan pemilihan kepala Negara yang baru. Contohnya; seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar, ketika

18

Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 108.

19

(33)

ia menunjuk enam orang sahabat, yang kemudian mereka bermusyawarah untuk memilih kepala Negara. Mereka akhirnya memilih sayidina Ustman bin Affan. d. Dengan cara kudeta atau perebutan kekuasaan yang diumumkan kepada rakyat,

sehingga rakyat mengakuinya sebagai pemerintah yang sah. Dalam hal ini, rakyat yang telah mengakui itu wajib patuh kepada pemerintah baru hasil kudeta tersebut. Contohnya; dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh Abdul Malik ibn Marwan yang menggempur Abdullah ibn Az-Zubair dan membunuhnya, dan ia menguasai negeri dan penduduknya, sehingga mereka membaiatnya dan mengakuinya sebagai kepala negara (imam).

Apabila imamah telah terbentuk dan diakui dengan salah satu dari keempat cara tersebut maka tindakan separatis terhadapnya merupakan suatu tindakan separatime.

Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala Negara (imam), menurut Ar-Ridha adil istiqamah (teguh pendirian), dan kesempurnaan tiada akhir.20 menurut mazhab empat dan Syi‟ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan

amar ma‟ruf dan munkar.21 Alasannya adalah keluar karena pembangkangan terhadap

imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh

20

Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam…, h. 112.

21

(34)

(lemah) apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengbaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.22

Para ulama juga sepakat bahwa memerangai dan menumpas orang-orang yang membangngkan terhadap pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan sebelum mereka ditanya tentang sebab pembangkangannya itu. Apabila mereka menyebutkan beberapa kezhaliman dan penyelewengan tersebut. Setelah itu, mereka diajak untuk patuh dan tunduk kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka tidak mau kembali maka barulah mereka diperangi atau ditumpas. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah.







































































































Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang bebuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT .

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa urutan penanganan kasus pemberontakan adalah ishlah, baru disusul dengan penumpasan, bukan sebaliknya. Di atas telah dikemukakan bahwa orang-orang yang keluar atau membangkang atau separatis itu terdiri atas tiga kelompok lagi tergolong separatisme atau bughat. Kelompok ketiga

22

(35)

ini adalah orang-orang yang membangkang terhadap negara yang sah dengan alasan

atau argumentasi (ta‟wil) dan didukung dengan kekuatan senjata.

Adapun yang dimaksud dengan alasan atau argumentasi (ta‟wil) adalah suatu pernyataan yang berisi penjelasan tentang sebab-sebab dan alasan-alasan pembangkangan mereka terhadap pemerintah, baik alasan tersebut benar atau tidak (fasid). Contoh argumentasi yang tidak benar seperti alasan dari orang-orang yang menolak membayar zakat, karena zakat itu harus diberikan kepada orang yang

do‟anya dapat menenteramkan jiwa mereka. Alasan tersebut didasarkan kepada

firman Allah SWT.















































“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo‟alah untuk mereka. Sesungguhnya do‟a itu (menjadi) ketentetaman jiwa bagi mereka.

Adapun yang dimaksud dengan kekuatan adalah adanya jumlah yang banyak dari para anggota yang memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistic dan dana yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan.23 Hanabilah mengartikan kekuatan dengan sesuatu (gabungan orang dan senjata) yang untuk

menumpasnya diperlukan prajurit yang banyak. Syafi‟iyah mensyaratkan untuk

terwujudnya kekuatan diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin.

23

(36)

Pendapat Syafi‟iyah ini cukup beralasan, karena berapa pun banyaknya

anggota dan betapa pun kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak ada pemimpinnya yang kharismatik dan berwibawa maka kelompok tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan.24

Dengan demikian, pengertian kekuatan ini harus berupa gabungan dari unsur personil, senjata, logistic, dan pemimpin yang pandai mengatur taktik dan strategi. Adapun orang yang keluar dari imam (kepala negara) tanpa argumentasi dan tanpa kekuatan, dianggap sebagai perampok, bukan pemberontak atau separatisme. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Imam Ahmad.25 Demikian pula orang yang keluar dengan disertai argumentasi, tetapi tanpa kekuatan, menurut pendapat yang rajih (kuat) di kalangan mazhab Hanbali, tidak termasuk pemberontakan atau separatisme. Akan tetapi menurut sebagian fuqaha Hanabilah, orang yang keluar (membangkang) dari Imam disertai dengan argumentasi meskipun tanpa kekuatan termasuk separatisme atau pemberontakan.

2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Kekuatan

Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai separatisme atau pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya; seperti keengganan untuk membait (mendukung) seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas (orang banyak), walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan

24

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 114.

25

(37)

ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Dalam sejarah misalnya, Sayidina Ali pernah menolak untuk membaiat Abu Bakar, walaupun kemudia ia membaiatnya.

Demikian pula Sa‟ad ibn Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar, sampai

meninggal. Contoh; lain seperti pembangkangan (keluarga) kelompok Khawarij dari Sayidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai separatism atau bughat, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk separatisme atau pemberontakan.26

Separatisme atau bughat menurut Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam

Ahmad dimulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka separatis itu belum dianggap sebagai separatisme , dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah).27 Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai separatisme. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, separatisme itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap Imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya. Di atas telah dikemukakan bahwan sebelum dilakukan penyerangan terhadap para separatis, perlu dilakukan pendekatan dan dialog, guna mengetahui sebab pembangkangannya itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Ali ketika terjadi

26

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 115.

27

(38)

perang jamal (unta). Dengan demikian, Khalifah Ali mengirim utusan untuk mengadakan pendekatan kepada penduduk Basrah sebelum terjadinya perang jamal, dan memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran.

Tindakan pendekatan dan dialog serta ajakan untuk patuh kepada imam perlu dilakukan, karena tujuan penumpasan adalah untuk mencegah, bukan membunuh mereka. Dengan demikian, apabila dengan ucapan dan dialog mereka dapat kembali patuh kepada imam, tidak perlu diadakan penumpasan atau pertempuran, karena walau bagaimanapun, pertempuran tetap menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Akan tetapi, jika mereka tidak mau surut dari niatnya bahkan mulai melakukan tindakan-tindakan kekerasan maka tidak ada jalan lain kecuali menumpasnya. Apabila telah meletakkan senjata atau menyerah maka mereka (para separatis) tidak boleh diperangi lagi.

Harta milik separatisme atau buhgat menurut Imam Abu Hanifah, Imam

Malik dan Imam Syafi‟î menjadi hak miliknya dan tidak boleh dirampas. Imam malik

mengecualikan senjata boleh dirampas, sedangkan Imam Syafi‟î membolehkan perampasan harta dalam keadaan darurat.

3. Adanya Niat Yang Melawan Hukum

(39)

tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka pembangkang itu belum dikategorikan sebagai separatisme atau bughat.

Untuk bisa dianggap ke luar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk

melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara‟. Dengan demikian, apabila niat

dan tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai separatisme atau bughat. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya separatism atau bughat maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk separatis, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai separatisme atau bughat, melainkan sebagai jarimah biasa. Adapun kejahatan yang masuk dalam kategori makar (separatisme) yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan Negara RI sebagaimana dimuat dalam buku Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk yaitu28:

1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala negara atau wakilnya.

2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara.

3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintah negara.

28

(40)

1. Makar Yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya

Pada pasal 104 merumuskan: “makar dengan maksud untuk menghilangkan

nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden menjalankan pemerintahan, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh)

tahun”.29

Jika rumusan itu dirinci, maka makar yang menyerang keamanan presiden atau wakilnya atau yang dirumuskan dalam pasal 104 itu adalah sebagai berikut: Unsur obyektif:

1) Perbuatan makar (penyerangan) Unsur-unsur subyektif:

2) Maksud yang ditunjuk pada:

a) Menghilangkan nyawa presiden atau wakilnya b) Merampas kemerdekaan presiden atau wakilnya

c) Meniadakan kemampuan presiden atau wakilnya yang menjalankan pemerintahan.

Makar itu dilakukan dengan kekerasan, sebab tanpa kekerasan tidaklah dapat dilaksanakan pembunuhan presiden atau penggulingan Pemerintahan. Ini berarti bahwa sekelompok orang dengan pernyataan tertulis disertai dengan ujuk rasa yang menghendaki supaya Presiden atau Pemerintah turun/ ganti tidaklah dapat disebut melakukan kejahatan makar.30

29

Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia…, h. 71.

30

(41)

2. Makar Yang Menyerang Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negara

Integritas suatu Negara adalah tejaminnya keamanan dan keutuhan wilayah negara. Karena itu keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah wajib dipertahankan.31 Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini adalah juga berupa kejahatan makar. Kejahatan makar yang dimaksud ini adalah yang dirumuskan pada pasal 106, yang rumusannya ialah:32

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan

musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Jika rumusan itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur : Unsur obyektif: perbuatan (makar)

Unsur subyektif: maksud yang ditunjukan pada 2 hal yakni: a. Seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh b. Memisahkan sebagian dari wilayah negara

Perbuatan makar di sini tidak identik dengan kekerasan (geweld). Perbuatan dalam makar yang oleh pasal 87 disebutkan sebagai permulaan pelaksanaan, adalah berupa segala macam bentuk perbuatan dengan maksud untuk sebagian atau seluruh wilayah RI jatuh ketangan musuh dan atau sebagian wilayahnya terpisah dengan wilayah yang jika dilihat dari pasal 53 adalah berupa perbuatan pelaksanaan dalam rangka mencapai maksud tersebut.

31

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 12.

32

(42)

Dalam kejahatan ini tidak diperlukan benar-benar seluruh atau sebagian wilayah RI itu jatuh ketangan/ kedalam kekuasaan musuh atau telah terpisahnya sebagian wilayah dari wilayah kesatuan negara RI. Yang harus timbul bukan aakibat-akibat itu, akan tetapi wujud perbuatan yang bila dilihat dari pasal 53 (1) adalah dapat berupa wujud permulaan pelaksanaan perbuatan dalam rangka mencapai maksud memisahkan sebagian wilayah RI atau jatuhnya wilalyah RI ke dalam kekuasaan musuh tersebut.

3. Makar Yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintah

Negara

Yang dimaksud ini ialah kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 107 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

a. Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

b. Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(43)

sebagianya yang semua wujud-wujud kegiatan itu menuju pada suatu tujuan yang lebih besar ialah menggulingkan pemerintah yang sah.

Yang dimaksud dengan menggulingkan pemerintahan (omwenteling teweeg brengen) diterangkan dalam pasal 88 bis KUHP yang menyatakan: “Dengan

penggulingan pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar”.

Pengertian pemerintah adalah semua perangkat ataupun organ-organ pemerintah misalnya lembaga kepresidenan, kementerian-kementerian dan bagian- bagiannya dari di pusat sampai di daerah bentuk kerja sama atau hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.33

Pengertian menggulingkan pemerintah yang pertama yang berupa meniadakan pemerintah, adalah dapat berupa keadaan awal sebelum digantinya pemerintah dengan pemerintah yang baru. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa meniadakan atau meleyapkan pemerintahan sebenarnya tidaklah mungkin, hal ini sekedar untuk membedakannya dengan hal pengertian yang kedua dari menggulingkan pemerintah karena jika pemerintah itu lenyap, maka negara juga tidak ada lagi. Syarat adanya negara salah satunya adalah adanya pemerintahan.34

33

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 15.

34

(44)

C. Dasar Hukum dan Aspek Pidana Separatisme

1. Dasar Hukum Separatisme ( Bughat) Dalam Hukum Positif (KUHP)

Dalam masalah separatisme dasar hukum positif mengenai separatisme atau

bughat yaitu pada pasal 139 a merumuskan ; “Makar dengan maksud melepaskan

wilayah, atau daerah lain dari negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian, dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun. Sedangkan pada pasal 139 b merumuskan; “ Makar dengan maksud

menghapuskan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan yang ada dalam negara sahabat, atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Kejahatan yang diberi kualifikasi oleh pembentukan UU dengan pemberontakan (opstand) adalah kejahatan sebagaimana dirumuskan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 108 KUHP, yang bunyi rumusannya adalah;

(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

a. Orang yang melawan pemerintah dengan senjata.

b. Orang yang dimaksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersama- sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemmerintah dengan senjata.

c. Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun.

(45)

keselamatan pemerintah hindia belanda dari kemungkinan dari serangan- serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada pasal 108. Kualifikasi pemberontakan atau separatisme (opstand) menurut rumusan pada pasal 108 tersebut ada 3 bentuk kejahatan sebagaimana disebut dalam ayat (1) yaitu;35

a. Orang yang perbuatannya melawan pemerintah dengan senjata.

b. Orang yang dengan maksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersama- sama dengan gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata..

c. Orang yang dengan maksud melawan pemerintah menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata.

Sedangkan yang ditentukan dalam ayat 2 itu adalah berupa pemberontakan yang diperberat, pemberatan pidana mana diletakkan pada kualitas subyek hukumnya, yang terdiri dari dua, yaitu;

a. Bagi orang yang berkualitas sebagai pimpinan pemberontak.

b. Bagi orang yang berkualitas sebagai pengatur atau perencana pemberontak.

2. Dasar Hukum Tentang Hukuman Bagi Separatisme ( Bughat) Dalam

Hukum Islam ( al-Qur’an dan Hadist).

a. al-Qur’an

Adapun landasan hukum dilarangannya tindak pidana separatisme (bughat) atau tindakan makar.

35

(46)







































































































“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu; sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil.

Dari teks ayat tersebut di atas ibn Rusyd berpendapat bahwa untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya tindakan makar, atau separatisme (bughat) dan kerusuhan, pemerintah yang berusaha maksimal untuk mengatasi dan menumpas mereka. Jika salah seorang atau beberapa orang dari para pelaku kerusuhan itu tertangkap maka tidak boleh langsung dibunuh, kecuali ketika sedangh berkobarnya api peperangan, dan atau kerusuhan masih berkecamuk, sementara para separatis atau

bughat dan perusuh masih melawan.36

b. al-Hadist

37

Dari A‟fazah Ibn suraihin Rasulullah saw bersabdaSiapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian

36

Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd…, h. 221.

37

(47)

dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian maka perangilah/bunuhlah orang tersebut”.

Dalam lafadz lain;

38

Dikabarkan oleh Ahmad Ibn Syua‟ib berkata: dikabarkan oleh Muhammad Ibn Yahya berkata: dikabarkan oleh Abdullah Ibn Usman dari Abi Hamzah dari Ziyad ibn Alaqha, dari Arfazah Ibn Syuraihin berkata: Rasulullah saw bersabda “Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru.maka siapa yang ingin memecah-belah perkara umat ini padahal umat ini dlm keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah orang tersebut siapa pun dia.”

D. Pengertian Negara Yang Sah dan Unsur-unsur Negara Dalam Hukum

Positif

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.39

38

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 109.

39

(48)

1. Pengertian Negara menurut para ahli hukum. a. Menurut Gorge Jellinek :

Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.40

b. Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel :

Negara merupakan organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.

c. Mr. Kranerburg

Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.41

d. Roger. F. Soltau

Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan bersama atas nama masyarakat.42

e. Prof. R. Djolosoetrono

Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama.

f. Prof. Mr. Soenarko

Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).

40

www.pengertian negara.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.

41

Daud Busroh, Ilmu Negara…, h. 22.

42

(49)

g. Dalam penganyaman bahwa Aristoteles (384-322), dalam buku Politica merumuskan pengertian negara sebagai polis yaitu negara kota, yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara, dengan pemerintah dan benteng untuk menjaga serangan musuh.43

2. Unsur Negara-negara

Yang dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah hal-hal yang menjadikan negara itu ada atau hal-hal yang diperlukan untuk terbentuknya negara (elemen dari pada negara).44

Untuk mengetahui unsur-unsur Negara ada tiga sudut pandang a. Meninjau unsur-unsur negara secara klasik atau tradisional

b. Meninjau unsur-unsur negara secara yuridis c. Meninjau unsur-unsur negara secara sosiologis d. Unsur-unsur negara secara klasik yaitu45; e. Wilayah tertentu

f. Rakyat

g. Pemerintahan yang berdaulat a. Wilayah tertentu

Yang dimaksud dengan wilayah tertentu ialah batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku. Dengan kata lain kekuasaan negara tidak berlaku diluar

43

Daud Busroh, Ilmu Negara…, h. 21.

44

Daud Busroh, Ilmu Negara…, h. 75.

45

(50)

batas wilayahnya karena bisa menimbulkan sengketa internasional walaupun sebagai pengecualian dikenal apa yang disebut daerah-daerah eksteritorial yang artinya kekuasaan negara bisa berlaku diluar daerah kekuasaannya. Sebagai pengecualian misalnya di tempat kediaman kedutaan asing yang tidak jarang orang meminta politik asli kepada kedutaan asing yang tidak dapat diganggu-gugat.

Mengenai batas wilayah Negara orang tidak dapat melihat dalam undang-undang dasar Negara, tapi merupakan ketentuan dalam perjanjian (traktat) antara dua negara atau lebih yang berkepentingan dan biasanya merupakan negara tetangga. Antara dua negara saja maka perjanjian itu bersifat bilateral, jika lebih dari dua negara sifat negara perjanjian itu multilateral. Jika kata-kata wilayah disebutkan juga dalam undang-undang dasar, maka ketentuan itu tidak mempunyai arti yuridis sama sekali, oleh karena penentuan wilayah tidak bias ditentukan secara sepihak.

Penentuan dalam undang-undang dasar hanya suatu peringatan saja bahwa negara mempunyai wilayah yang berbatas.

b. Rakyat

Rakyat adalah sekumpulan orang yang hidup disuatu tempat. Ada istilah rumpun (ras), bangsa (natie), suku yang erat pengertiannya dengan rakyat. Rumpun (ras) adalah kumpulan orang yang mempunyai cirri-ciri jasmaniah yang sama (warna kulit, rambut, bentuk muka, bentuk badan).46

c. Pemerintahan yang berdaulat

Organisasi negara yang mempunyai badan pimpinan dan badan pengurus yang memimpin dan yang mengurus negara. Badan demikian disebut pemerintah, dan

46

(51)

fungsinya disebut pemerintahan. Memerintah berarti menjalankan tugas pemerintahan.47

E. Pengertian Negara Yang Sah dan Bentuk Negara Dalam Hukum Islam

Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Menurut Wahid Ra‟fat, ahli hukum tata negara Mesir, menyebut bahwa negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu yang tunduk kepada suatu pemerintah yang teratur yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, megurus kepentingan dan kemaslahatan umum.48Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai "Sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial

47

Daud Busroh, Ilmu Negara, …, h. 80.

48

(52)

(Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka.

Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu komunitas dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya‟ir), dan hukum yang diterapkan di tengah komunitas tersebut (nizham). Jika salahsatu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka komunitas tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepakbola di stadion yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh hukum yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya.49

Jika kita perhatikan teks al-Qur‟an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:









































.



"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil

Referensi

Dokumen terkait

provocatus criminalis dilarang dengan alasan apapun dan dilakukan oleh siapapun, baik itu pelaku atau pun pembantu. Karena adanya hak untuk hidup yang dimiliki oleh janin

Hasil penelitian ini adalah dasar hukum yang digunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana terorisme yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mana terdapat dalam

Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu diluar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat

pasangan u yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya 1. v Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat

Hukum rajam adalah hukuman yang dapat membendung angka kerusakan yang terjadi pada masyarakat, karena pidana tersebut sangat mengancam bagi para pelakunya dan membuat orang takut

Perbuatan Melawan Hukum itu adalah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat merugikan korban atau orang lain yang dimana

1) Setiap orang di sini adalah di tunjukkan kepada pelaku penyebar berita bohong (hoax). 2) Kesalahan dengan sengaja, dengan sengaja yang dapat di artikan bentuk

Dalam Hukum Islam sanksi yang dijatuhkan adalah hukuman hudud yaitu hukuman mati atau diperangi, dalam Hukum Positif yang memberikan pidana mati kepada pelaku tindak