HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL LANSIA DENGAN
KESEPIAN LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT
USIA DAN BALITA WILAYAH BINJAI DAN MEDAN
SKRIPSI
Oleh :SKRIPSI
Agung Sanjaya 081101034
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
proposal penelitian dengan judul “Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan
Kesepian Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah
Binjai dan Medan” sebagai tugas akhir yang harus dipenuhi di Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada saat penyelesaian proposan penelitian ini peneliti mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan
serta dorongan kepada peneliti.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2. Bapak Iwan Rusdi S.Kp, M.NS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Cholina Trisa Siregar S.Kep, Ns. M.kep. Sp.KMB selaku dosen pembimbing
akademik.
4. Kepada Bapak Ismayadi S.Kp, Ns dan Ibu Rosina Tarigan S.Kp, M.Kep, Sp.KMB,
CWCC selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak nasihat dan saran dalam
penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
6. Pihak UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan yang
telah memberi izin penelitian dan informasi bagi penulis.
7. Kepada kedua orangtua penulis, ayahanda Suranto, Ibunda Almaidar dan adik-adik
penulis yang senantiasa selalu mendoakan, memberikan semangat dan motivasi
kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada keluarga besar penulis
kakek, ibu ati, om pul, om ipan, atas seluruh motivasi yang diberikan kepada penulis.
8. Kepada Rahmadona Fitrisyia atas hari-hari indah selalu diberikan kepada penulis.
9. Kepada sahabat-sahabat ang, nita, fiza, win, intan, siska, kak agnes, kak evelyn, kak
kiki, bang roby, arif, kak imay, kak irna dan bang maulana serta orang-orang yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung
penulis, terima kasih atas segala kritik dan saran yang kalian berikan semuanya.
10.Rekan – rekan stambuk 2008 seperjuangan.
11.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang
telah mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Peneliti menyadari dalam pembuatan proposal penelitian ini masih dirasakan
kurang sempurna. Karena itu peneliti menerima segala kritik dan saran dari semua
pihak guna penyempurnaan proposal penelitian ini. Akhirnya, penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian proposal
ini.
Medan, 18 Juli 2012
DAFTAR ISI
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Lansia ... . 7
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 25
2. Definisi Operasional ... 26
3. Hipotesis Penelitian.………..27
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 28
2. Populasi dan Sampel ... 28
2.2 Sampel ... ... 28
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... …38
1.1. Karakteristik Demografi ... …38
1.2. Interaksi Sosial Lansia ... …40
1.3. Kesepian pada Lansia ... …40
1.4. Hubungan antara Interaksi Sosial dengan Kesepian pada Lansia 41 2. Pembahasan ... ...42
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... …47
2. Saran ... …48
DAFTAR PUSTAKA ... .. 50
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lembar Persetujuan Responden 2. Jadwal Penelitian
3. Taksasi Dana
4. Kuisioner Data Demografi 5. Kuisioner interaksi sosial 6. Kuesioner kesepian 7. Surat Izin Survey
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel penjelasan kesepian berdasarkan atribusi penyebab ... 22
Tabel 2. Tabel defenisi operasional ... 26
Tabel 3. Tabel Kriteria penafsiran Korelasi ... 36
Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi dan Persentase berdasarkan karakteristik responden ... 39
Tabel 5. Tabel Distribusi Frekuensi Interaksi Sosial Pada Lansia ... 40
Tabel 6. Tabel Distribusi Frekuensi Kesepian Pada Lansia ... 40
DAFTAR SKEMA
Judul : Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan Kesepian Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Balita Wilayah Binjai dan Medan
Nama : Agung Sanjaya
NIM : 081101034
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2012
Abstrak
Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik, saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan, serta tidak bisa terlepas dari satu hubungan yang terjadi antar individu, sosial, dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain akan dimiliki oleh individu sampai akhir hayat. Namun, sebagian dari individu masih merasa kesepian ketika tidak memiliki lawan interaksi untuk berbagi masalah. Kesepian merupakan suatu perubahan yang secara tidak langsung dialami oleh setiap orang. Penelitian deskriptif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 41 orang lansia yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 20 Februari 2012 s/d 20 April 2012 dan dianalisa dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil analisa data menunjukkan responden mengalami interaksi sosial baik sebesar 48,8% dan sebanyak 34 responden 82,9% merasa tidak kesepian. Hasil analisa data uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara interaksi sosial dengan kesepian pada lansia dengan kekuatan r = -0,652 dan p = 0,00 (p<0,05) yang berarti semakin besar interaksi sosial maka semakin besar perasaan tidak kesepian serta memiliki hubungan yang kuat. Oleh karena itu Ha gagal ditolak. Ha pada penelitian ini adalah ada hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Judul : The Correlate Social Interaction with Lonelinees For in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Balita
Wilayah Binjai dan Medan
Nama : Agung Sanjaya
NIM : 081101034
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2012
Abstract
Social interaction is a reciprocal relationship, each influencing the thoughts and actions, and can not be separated from a relationship that occurs between individuals, social, and community in everyday life. The need to interact with others will be owned by individuals until the end of life. However, the majority of people still feel lonely when your opponent does not have to share the problem of interaction. Loneliness is a change that does not directly experienced by everyone.
This descriptive correlation study aims to determine the relationship of social interaction with a lonely elderly in the elderly. This study sample was 41 people older including this study in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. The data was collected on 20 February 2012 s / d 20 April 2012 and analyzed using Pearson correlation test. Results of analysis of data shows the majority of respondents had a good social interaction by 48.8% and 82.9% of 34 respondents did not feel lonely. The results of data analysis Pearson correlation test showed that there was a significant relationship between social interaction with the loneliness of the elderly with strength r = -0.652 and p = 0.00 (p<0.05) which means the greater social interaction, the greater the feeling of loneliness and has a very strong relationship.Ha therefore failed to be rejected. Ha in this research that there is a relationship between social interaction with the loneliness of the elderly in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Judul : Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan Kesepian Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Balita Wilayah Binjai dan Medan
Nama : Agung Sanjaya
NIM : 081101034
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2012
Abstrak
Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik, saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan, serta tidak bisa terlepas dari satu hubungan yang terjadi antar individu, sosial, dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain akan dimiliki oleh individu sampai akhir hayat. Namun, sebagian dari individu masih merasa kesepian ketika tidak memiliki lawan interaksi untuk berbagi masalah. Kesepian merupakan suatu perubahan yang secara tidak langsung dialami oleh setiap orang. Penelitian deskriptif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 41 orang lansia yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 20 Februari 2012 s/d 20 April 2012 dan dianalisa dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil analisa data menunjukkan responden mengalami interaksi sosial baik sebesar 48,8% dan sebanyak 34 responden 82,9% merasa tidak kesepian. Hasil analisa data uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara interaksi sosial dengan kesepian pada lansia dengan kekuatan r = -0,652 dan p = 0,00 (p<0,05) yang berarti semakin besar interaksi sosial maka semakin besar perasaan tidak kesepian serta memiliki hubungan yang kuat. Oleh karena itu Ha gagal ditolak. Ha pada penelitian ini adalah ada hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Judul : The Correlate Social Interaction with Lonelinees For in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Balita
Wilayah Binjai dan Medan
Nama : Agung Sanjaya
NIM : 081101034
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2012
Abstract
Social interaction is a reciprocal relationship, each influencing the thoughts and actions, and can not be separated from a relationship that occurs between individuals, social, and community in everyday life. The need to interact with others will be owned by individuals until the end of life. However, the majority of people still feel lonely when your opponent does not have to share the problem of interaction. Loneliness is a change that does not directly experienced by everyone.
This descriptive correlation study aims to determine the relationship of social interaction with a lonely elderly in the elderly. This study sample was 41 people older including this study in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. The data was collected on 20 February 2012 s / d 20 April 2012 and analyzed using Pearson correlation test. Results of analysis of data shows the majority of respondents had a good social interaction by 48.8% and 82.9% of 34 respondents did not feel lonely. The results of data analysis Pearson correlation test showed that there was a significant relationship between social interaction with the loneliness of the elderly with strength r = -0.652 and p = 0.00 (p<0.05) which means the greater social interaction, the greater the feeling of loneliness and has a very strong relationship.Ha therefore failed to be rejected. Ha in this research that there is a relationship between social interaction with the loneliness of the elderly in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seiring dengan pertambahan usia, lansia akan mengalami proses degeneratif
baik dari segi fisik maupun segi mental. Menurunnya derajat kesehatan dan
kemampuan fisik akan mengakibatkan orang lanjut usia secara perlahan menarik diri
dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat menyebabkan interaksi sosial
menurun (Hardywinoto & Setiabudi, 1999 dalam Fitria 2011). Padahal, partisipasi
sosial dan hubungan interpersonal merupakan bagian yang cukup penting untuk
kesehatan fisik, mental, dan emosional bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa
keterlibatan sosial mempunyai efek yang positif pada kesejahteraan emosional lansia
dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat menurunkan resiko kematian. Lansia sering
kehilangan kesempatan partisipasi dan hubungan sosial. Interaksi sosial cenderung
menurun disebabkan oleh kerusakan kognitif, kematian teman, fasilitas hidup atau
home care (Estelle, Kirsch, & Pollack, 2006).
Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik, saling mempengaruhi dalam
pikiran dan tindakan, serta tidak bisa terlepas dari satu hubungan yang terjadi antar
individu, sosial, dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. (Maryati dan
Suryawati, 2006). Pendapat lain dikemukakan oleh Gillin dan Gillin (1951) dalam
Maryati dan Suryawati (2006) yang menyatakan bahwa interaksi sosial mungkin
serta kontak sosial yang berlangsung dalam tiga bentuk diantaranya adalah hubungan
antar individu, individu dengan kelompok dan antar kelompok.
Kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain akan dimiliki oleh individu
sampai akhir hayat. Namun, sebagian dari individu masih merasa kesepian ketika
tidak memiliki lawan interaksi untuk berbagi masalah (Annida, 2010). Kesepian
merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada lansia, merasa
terasing (terisolasi), tersisihkan, terpencil dari orang lain karena merasa berbeda
dengan orang lain (Probosuseno, 2007). Perasaan ini bisa menimbulkan kesedihan
yang mendalam sehingga bisa menekan kesehatan fisik dan mental pada lansia
(Copel, 1998 dalam Juniarti, 2008).
Kesepian merupakan suatu perubahan yang secara tidak langsung dialami oleh
setiap orang (Treacy et al, 2004). Pada beberapa individu, kesepian merupakan
bentuk yang persistent dalam hidup mereka (Ernst, 1998). Johson et al (1993)
menyatakan bahwa sebanyak 62% lansia di Amerika merasakan kesepian. Selain itu
Ryan and Patterson menemukan bahwa kesepian menduduki ranking ke-2 terbanyak
sebagai masalah yang terjadi pada lansia di Amerika (Treacy et al, 2004).
Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh British Gas menemukan bahwa 90
% dari populasi, termasuk di dalamnya 82 % dari pensiunan yang berumur di atas 55
tahun menyatakan bahwa kesepian adalah masalah yang berhubungan dengan
bertambahnya usia, 32 % dari lansia yang diwawancarai menyatakan bahwa kesepian
itu adalah masalah personal mereka. Beberapa penelitian pada orang Eropa
merasakan kesepian, serta 1/10 mengatakan sering merasa kesepian. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan kepada 10 orang lansia di Inggris, 1 orang diantaranya
menyatakan bahwa kesepian adalah masalah bagi dirinya (Forbes, 1996).
Penelitian dari National Council Ageing and Older People yang bekerja sama
dengan School of Nursing and Midwifery, University Collage Dublin menyatakan
bahwa di Irlandia terdapat 435.000 orang yang berusia 65 tahun atau 11.2% dari
seluruh populasi mengalami peningkatan untuk hidup sendiri atau dengan pasangan
hidupnya. Sebuah badan internasional dan penelitian di Irlandia menyebutkan bahwa
kesepian dan isolasi sosial merupakan bagian dalam pengalaman hidup lansia.
Penelitian ini juga mengeksplorasi prevalensi kesepian dan isolasi sosial yang terjadi
antara orang Irlandia.
Penelitian internasional memiliki prevalensi yang berbeda-beda tentang
kesepian. Insiden kesepian tertinggi terjadi pada orang-orang Amerika. Namun hal
tersebut berbanding terbalik dengan insiden kesepian yang ada di Cina yaitu 3,5 %
dari sampel lansia yang melaporkan bahwa mereka mengalami kesepian tingkat
tinggi (Wang dalam Treacy et al, 2004). Victor (2002) melaporkan bahwa 7% lansia
yang mengalami kesepian dengan tingkat yang parah. Walaupun jumlah lansia yang
melaporkan kesepian relatif kecil, tetapi memiliki kemungkinan bahwa prevalensi
lansia yang mengalami kesepian tidak akan turun setelah usia 60 tahun (Treacy et al,
2004).
Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada lansia maka pemerintah
nama panti jompo. Pada awalnya panti jompo diperuntukan bagi lansia yang terlantar
atau dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Namun seiring dengan
meningkatnya kebutuhan akan perawatan bagi lansia maka kini berkembang
panti-panti berbasis swasta yang umumnya untuk lansia dengan keadaan ekonomi
berkecukupan (Kadir dan Mariani, 2007).
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai merupakan salah
satu panti yang terdapat di Sumatera Utara. Panti ini merupakan milik Dinas Sosial
Provinsi Sumatera Utara. Panti ini menampung sebanyak 162 orang. Dari hasil
wawancara singkat dengan perawat dan pekerja sosial yang ada dipanti untuk
mengetahui aktivitas para lansia didapatkan informasi bahwa setiap harinya jadwal
aktivitas lansia adalah dari pukul 08.00 wib sampai dengan 12.00 wib. Kegiatan
mereka mencakup senam pagi, sarapan bersama serta kegiatan keagamaan dan gotong
royong pada hari tertentu. Kemudian dari pukul 12.00 mereka dikembalikan ke kamar
mereka masing-masing. Ada juga beberapa lansia yang melakukan bercocok tanam.
Namun kebanyakan dari mereka hanya berdiam diri di kamar saja. Selain kegiatan
tersebut, waktu untuk mereka bertatap muka satu sama lain diantaranya pada saat
ibadah shalat (bagi yang beragama Islam) serta jadwal makan siang dan makan
malam bersama.
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
Hubungan Interaksi Sosial dengan Kesepian Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dari penelitian ini adalah :
1.2.1Bagaimana gambaran interaksi sosial lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut usia dan Anak Balita Binjai ?
1.2.2Bagaimana gambaran kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut
usia dan Anak Balita Binjai ?
1.2.3Bagaimana hubungan interaksi sosial dengan kesepian lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita Binjai ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan interaksi sosial dengan kesepian lansia UPT
Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui gambaran interaksi sosial lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut usia dan Anak Balita Binjai.
b) Untuk mengetahui gambaran kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang digunakan adalah :
1.4.1 Bagi panti werdha hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan
tentang jadwal kegiatan aktivitas para lansia terutama dalam interaksi
sosial yang terjadi di lingkungan UPT Pelayanan Sosial Lanjut usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan terutama hubungannya
terhadap kesepian lansia.
1.4.2 Bagi penelitian keperawatan, hasil penelitian dapat digunakan sebagai
referensi penelitian sejenis di masa mendatang.
1.4.3 Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan
mengenai hubungan interaksi sosial dengan kesepian pada lansia di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan
Medan.
1.4.4 Bagi pendidikan keperawatan, untuk memperkaya wawasan
pengetahuan mengenai ilmu yang mempelajari tentang keperawatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Lansia
1.1. Pengertian Lansia
Menurut Undang-undang nomor 13 pasal 1 ayat 2 tahun 1998 menyatakan
bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Maryam,
2008). Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Lansia merupakan keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan
tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2007). Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupannya, yaitu : anak, dewasa, dan tua. tiga tahap ini berbeda, baik secara
biologis, maupun psikologis. memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur ,rambut memutih,
gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,
gerakan-gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proposional (Nugroho, 2000).
Selain itu lansia juga harus menghadapi kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta
kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak
(Soerjono, 2007).
1.2. Klasifikasi Lansia
Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi lansia,
diantaranya menurut Maryam (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam lima
kelompok yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan lansia
tidak potensial. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun. Lansia
yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. Lansia
tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.
Selain itu, menurut World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia
menjadi 4 yaitu usia usia pertengahan (middle age), lanjut usia (elderly), lanjut usia
tua (old), usia sangat tua (very old). Usia pertengahan (middle age) adalah 45 -59
tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90
tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000).
Menurut Hurlock (1980, dalam Nugroho, 2000), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age ( usia 70 tahun ke atas).
Burnside (1979, dalam Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap, yaitu :
young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89
1.3. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun
(sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah
yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai
spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat
tinggal bervariasi (Maryam, 2008).
1.4. Tipe Lansia
Beberapa lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, sosial dan ekonominya (Nugroho, 2000). Tipe lansia tersebut sebagai
berikut :
Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, beresikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dan mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan
Tipe pasrah, yaitu menerima dan menungggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
1.5. Teori – Teori Proses Menua 1.5.1. Teori Sosial
Teori Pembebasan. Teori ini menerangkan bahwa dengan berubahnya usia
seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya
atau menggambarkan proses penarikan diri (Potter and Perry, 2005). Keadaan
tersebut mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda, yaitu kehilangan peran
(Loss of role),hambatan kontrol sosial ( restrastion of contacts and relationship),
berkurangnya komitmen (Reuced commitment to sosial mores ang value)
Teori Aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang
sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Havighurst yang pertama kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial
sebagal alat untuk penyesuain diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952 (Potter
and Perry, 2005). Kemudian teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon
et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaiman
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan
Di satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di lain sisi dapat
dikembangkan (Maryam, 2008).
Teori Kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam
siklus kehidupan lansia (Potter and Perry, 2005). Pengalaman hidup seseorang pada
suatu saat merupakan gambaran saat ia menjadi lansia (Maryam, 2008).
Teori Interaksi Sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia
bertindak pada situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.
Simmons (1945), mengemukakan bahwa kemapuan lansia untuk terus menjalin
interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar
kemampuannya untuk melakukan tukar-menukar (Maryam, 2008).
Teori Perkembangan. Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang
telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu
dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang
psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita (Maryam, 2008). Erickson
(1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu lansia yang menerima apa
adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh arti, lansia yang
menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetian, lansia
yang kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri,
lansia yang menemukan integritas diri melawan keputusasaan(Stanley, 2006).
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan intelektualitas
yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut
menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan
kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem
sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima,
memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi
yang berbeda dari stimulus yang ada (Maryam, 2008).
1.6. Tugas Perkembangan Lansia
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi terhadap
penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan
penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri
sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan,
menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005).
2. Konsep Interaksi Sosial 2.1. Pengertian Interaksi Sosial
Maryati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, Interaksi sosial adalah
kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu,
sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana
kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau
sebaliknya (Ali, 2004). Gillin (1954) mengartikan interaksi sosial sebagai
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antar individu, individu
dan kelompok, atau antar kelompok (Pam, 2007).
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial
bermakna suatu hubungan yang terjadi akibat adanya saling mempengaruhi satu sama
lain baik hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun
kelompok dengan kelompok.
2.2. Syarat Interaksi Sosial
Menurut Soerjono Sukanto (2007) suatu interaksi sosial tidak akan mungkin
terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi.
Kontak sosial merupakan aksi individu atau kelompok dalam bentuk isyarat yang
memiliki makna bagi si pelaku dan si penerima, dan si penerima membalas aksi itu
dengan reaksi. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antara orang
perorangan, antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya, antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Kontak sosial antara orang perorangan adalah apabila seseorang mempelajari
kebiasaan-kebiasaan dalam kelompoknya. Proses demikian terjadi melalui
komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari
antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya misalnya
adalah apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan
norma-norma masyarakat. Kontak sosial antara suatu kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya misalnya antara kelompok umat beragama pada suatu
daerah demi mewujudkan hubungan masyarakat yang rukun dan harmonis.
Komunikasi. Komunikasi sosial adalah syarat atau pokok terjadinya interaksi
sosial. Arti penting dari komunikasi adalah seseorang memberikan tafsiran terhadap
perilaku orang lain dan perasaan yang ingin disampaikan orang tersebut (Pudjiastuti,
2007).
2.3. Ciri-ciri Interaksi Sosial
Menurut Alvin (2010), interaksi sosial yang dilakukan manusia sebagai anggota
masyarakat pada hakikatnya mempunyai ciri-ciri diantaranya seperti jumlah pelaku
lebih dari satu orang, artinya dalam sebuah interaksi sosial, setidaknya ada dua orang
yang sedang bertemu dan mengadakan hubungan. Kemudian adanya komunikasi
antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol, artinya dalam sebuah interaksi
sosial di dalamnya terdapat proses tukar menukar informasi atau biasa disebut dengan
proses komunikasi dengan menggunakan isyarat atau tanda yang dimaknai dengan
simbol-simbol yang hendak diungkapkan dalam komunikasi itu. Ada dimensi waktu
(masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang
sedang berlangsung, artinya dalam proses interaksi dibatasi oleh dimensi waktu
terlibat dalam interaksi. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya
tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat. Artinya dalam sebuah
interaksi sosial, orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki tujuan yang
diinginkan oleh mereka. Apakah untuk menggali informasi, atau sekedar
beramah-tamah atau yang lainnya.
2.4. Bentuk Interaksi Sosial
Menurut tim sosiologi (dalam Pudjiastuti, 2007), interaksi sosial dikategorikan
dalam dua bentuk yaitu interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Interaksi
sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk bentuk asosiasi
(hubungan atau gabungan) seperti kerja sama, akomodasi, asimilasi, akulturasi. Kerja
sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Akomodasi adalah adalah proses penyesuaian sosial dalam
interaksi antara pribadi dan kelompok-kelompok manusia untuk meredakan
pertentangan. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara
intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka
akan berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan
campuran. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok
masyarakat manusia dengan dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun
unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri,
Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada
bentuk-bentuk pertentangan atau konflik seperti persaingan, kontraversi, konflik. Persaingan
adalah suatu perjuangan yang di lakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu,
agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan
ancaman atau benturan fisik dari pihak lawannya. Kontraversi adalah bentuk proses
sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Wujud
kontraversi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun secara
terang-terangan yang di tunjukan terhadap perorangan atau kelompok atau terhadap
unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat berubah menjadi
kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik. Konflik adalah
proses sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya
perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan
adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara
mereka yang bertikai tersebut.
3. Konsep Kesepian 3.1. Pengertian Kesepian
Kesepian menurut de Jong Gierveld (1987) sebagai suatu situasi dimana jumlah
atau kuantitas dari hubungan yang ada lebih kurang daripada hubungan yang
diinginkan, ataupun suatu situasi dimana keintiman yang diharapkan tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada (Gierveld, 2004). Kesepian merupakan kondisi yang
mencukupinya kebutuhan akan bentuk hubungan yang akrab atau intimasi (Sullivan
dalam Perlman & Peplau, 1989). Sermat (dalam Peplau & Perlman, 1989)
berpendapat bahwa kesepian merupakan hasil dari interpretasi dan evaluasi individu
terhadap hubungan sosial yang dianggap tidak memuaskan. Kaasaa (1998)
mendefinisikan kesepian sebagai perasaan subjektif dan negatif yang berhubungan
dengan pengalaman seseorang akibat dari berkurangnya hubungan sosial yang
dimilikinya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah
suatu perasaan yang tidak menyenangkan karena adanya hubungan sosial yang tidak
memuaskan dan tidak seperti yang diharapkan dengan hubungan sosial pada
kenyataanya akibat dari berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki oleh seseorang.
3.2. Karakteristik kesepian
Burns (2000) mengelompokkan karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh
individu kesepian diantaranya rendah diri, perfeksionisme romantic, perfeksionisme
emosional, rasa malu dan kecemasan sosial, rasa tidak mempunyai harapan, rasa
terasing dan terkucil, peka terhadap penolakan, takut sendirian, putus asa, takut
membuka diri, tidak tegas, depresi.
Rendah diri yang dimaksud adalah individu yang kesepian sering kali
membandingkan diri dengan orang-orang lain. Perfeksionisme romantic yaitu orang
yang kesepian memiliki harapan-harapan yang tidak realistis tentang dirinya sendiri
selalu dekat dengan orang yang spesial. Perfeksionisme emosional yaitu orang yang
kesepian memiliki pemikiran bahwa dalam berhubungan dengan orang lain
seharusnya selalu didasari oleh adanya perasaaan-perasaan yang positif, tidak pernah
bertengkar, marah, atau acuh tak acuh. Rasa malu dan kecemasan sosial yang
dimaksud adalah orang yang kesepian banyak yang merasa canggung atau memiliki
perasaan cemas bila berada dalam kelompok orang, merasa tidak nyaman, sehingga
individu menjadi terhalang untuk berhubungan akrab dengan orang lain. Rasa tidak
mempunyai harapan yaitu orang yang kesepian merasa tidak mempunyai harapan lagi
untuk memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain. Rasa terasing dan terkucil
maksudnya adalah orang yang kesepian mengalami kesulitan dalam berteman dan
menemukan kelompok yang nyaman, individu tersebut merasa bahwa orang lain tidak
peduli. Peka terhadap penolakan maksudnya adalah orang yang kesepian sering kali
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap penolakan, takut mengalami penolakan dari
orang lain. Takut sendirian yaitu orang yang kesepian selalu merasa tidak bahagia
bila sendirian, menganggap bahwa sendirian itu pasti akan membosankan dan tidak
dapat memberikan kepuasan. Putus asa maksudnya adalah orang yang kesepian
merasa panik dan ketakutan setiap kali merasa sendirian, merasa tidak berdaya, takut
ditinggalkan, dan rapuh. Takut membuka diri maksudnya adalah orang yang kesepian
sering kali mengutamakan perasaan dan pikiran orang lain sehingga tidak berani
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri. Tidak tegas yaitu orang yang
kesepian sering kali bersikap tidak tegas, sulit untuk mengatakan keinginan yang
orang yang kesepian sering kali menganggap orang lain bersikap tidak ramah dan
tidak berminat sehingga hal ini menyebabkan timbulnya perasaan negatif terhadap
orang lain. Depresi maksudnya adalah orang yang kesepian sering kali merasa sedih,
hampa, kecil hati, kehilangan motivasi dan gairah hidup, menyesal terhadap diri
sendiri, terasingkan, merasa tertekan dengan kondisi sosial yang dialaminya.
Berdasarkan beberapa karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa individu yang
mengalami kesepian memiliki keterampilan sosial yang buruk dan karakteristik
kepribadian yang negatif (Marika, 2007)
3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian
Brehm (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa orang yang rentan terhadap
kesepian dan beberapa orang yang lain yang tidak. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai berikut usia, status sosial, status perkawinan, dukungan
sosial, karakteristik latar belakang.
Usia tua sering dikaitkan dengan keadaan kesepian. Banyak anggapan tentang
semakin tua usia maka akan semakin merasa kesepian. Akan tetapi penting untuk
tidak mempersepsikan bahwa lansia itu kesepian dan tidak bahagia walaupun
konsekuensi tentang lansia tersebut perlu untuk diperhatikan. (Kaasa, 1998)
Status sosial. Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa
individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih
tinggi dibandingkan dengan individu dengan penghasilan tinggi. Hal ini terkait
Status perkawinan. Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa
kesepian bila dibandingkan dengan orang yang menikah (Freedman, Perlman and
Peplau, dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian Perlman dan peplau;
Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002), menyimpulkan bahwa kesepian
lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital
relationship) dan ketidakhadiran dari pasangan suami atau istri pada diri seseorang.
Kesepian dilihat sebagai reaksi hilangnya hubungan pernikahan daripada respon
ketidakhadiran (Brehm, 2002).
Dukungan sosial merupakan predictor bagi munculnya kesepian. Maksudnya
adalah individu yang memperoleh dukungan sosial terbatas lebih berpeluang
mengalami kesepian, sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang
lebih baik tidak terlalu merasa kesepian. Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al,
2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai
predictor kesepian. Diantaranya seperti perceraian orang tua atau orang tua yang
meninggal dunia.
3.4. Penyebab kesepian
Brehm et al (2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang dapat menyebabkan
seseorang kesepian, yaitu kurangnya kekuatan hubungan yang dimiliki seseorang,
terjadinya perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan,
Kurangnya kekuatan hubungan yang dimiliki seseorang. Menurut Brehm et al
(2002), hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak
puas akan hubungan yang dimilikinya. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak
puas dengan hubungan yang dimilikinya tersebut. Rubenstein dan Shaver (1982)
menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang kesepian,yaitu
sebagai berikut being unattached yaitu tidak memiliki pasangan, tidak memiliki
partner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasihnya. Alienation yaitu merasa
berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.
Being alone yaitu pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, atau tidak bisa
dikatakan selalu sendiri. Forced isolation misalnya dikurung di dalam rumah, dirawat
inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. Dislocation misalnya jauh dari rumah
(merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering
melakukan perjalanan. Dari kelima kategori di atas, dapat dibedakan berdasarkan
penyebabnya. Seperti Being unattached, Alienation, Being alone disebabkan oleh
karakteristik individu yang kesepian. sedangkan Forced isolation dan Dislocation
disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada disekitar lingkungan individu
yang merasa kesepian.
Terjadinya perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu
hubungan. Kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat hubungan sosial yang dimiliki
ada saat dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan, karena orang itu telah
merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut.
Self-esteem. Kesepian berhubungan dengan Self-esteem yang rendah. Orang
yang memiliki Self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi
yang beresiko secara sosial. Dalam keadaan ini orang tersebut akan menghindari
kontak sosial yang berakibat pada kesepian.
Perilaku interpersonal. Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan
individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang
yang tidak mengalami kesepian, orang tidak begitu menyukai orang lain, tidak
mempercayai orang lain, mengintepretasikan tindakan orang lain secara negatif dan
cenderung berpegang pada sikap-sikap yang bermusuhan. Orang yang mengalami
kesepian juga cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila
dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, ragu-ragu dalam
mengekspresikan pendapat di depan umum, cenderung tidak responsive, tidak sensitif
secara sosial, dan lambat membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya
dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan seseorang tersebut untuk
bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak
memuaskan (Perlman. Saks & Krupart, dalam Brehm et al, 2002).
Atribusi penyebab. Dalam pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al,
2002), perasaaan kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan
penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasan
dapat dilihat pada table berikut ini :
Tabel.1 Penjelasan Kesepian berdasarkan Distribusi Penyebab
Kestabilan
Penyebab
Internal Eksternal
Stabil Saya kesepian karena saya
tidak dicintai. Saya tidak akan pernah dicintai
Orang-orang disini tidak menarik. Tidak satupun dati mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah Tidak Stabil Saya kesepian saat ini, tapi
tidak akan lama. Saya akan menghentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru
Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang.
Tabel di atas menunjukkan bahwa individu yang memandang kesepian secara
internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian sehingga individu
lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. Individu yang memandang
kesepian secara internal dan tidak stabil menganggap kesepian yang dialaminya
hanya bersifat sementara dan berkeinginan menemukan orang lain untuk mengatasi
kesepian yang dialaminya. Individu yang memandang kesepian secara eksternal dan
stabil menganggap hanya karena keadaan lingkunganlah yang menyebabkannya
merasa kesepian. sedangkan individu yang memandang kesepian secara eksternal dan
tidak stabil berharap sesuatau dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga
memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut.
Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang
berkaitan dengan kondisi sosial, yaitu :
Isolasi emosional (emosional isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang
muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa
yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami
kesepian jenis ini. Isolasi sosial (sosial isolation) adalah bentuk kesepian yang
muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya.
Tidak ikut berpartisispasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya
kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisir, peran-peran yang berarti.
Hal tersebut merupakan bentuk kesepian yang dapat membuat seseorang merasa
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah. Kerangka konsep membahas
saling ketergantungan antar variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi hal yang
sedang atau akan diteliti (Sekaran, 2006 dalam Hidayat 2009).
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. Berdasarkan tujuan penelitian dan
Landasan teori maka kerangka konsepnya adalah sebagai berikut :
Skema 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan Interaksi Sosial dengan Kesepian Lansia di Panti Werdha UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai
2. Defenisi operasional
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Variabel Independen:
Interaksi sosial Hubungan antara satu pihak dengan pihak lain dan masing-hubungan sosial yang
3. Hipotesis Penelitian
Adapun Ha pada penelitian ini adalah ada hubungan interaksi sosial lansia
dengan kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi yang mengidentifikasi hubungan interaksi social lansia dengan kesepian pada
lansia di Panti Werdha UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah
Binjai dan Medan.
2. Populasi dan sampel 2.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah Keseluruhan subjek penelitian yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi lansia yang berada di UPT Pelayanan Sosial Lansia
dan Balita Wilayah Wilayah Binjai dan Medan pada bulan November 2011 berjumlah
162 orang.
2.2. Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki populasi (Hidayat, 2009). Penentuan jumlah sampel
dilakukan dengan mengunakan teknik pengambilan dari 25% - 30% jumlah populasi
(Arikunto, 2000). Sampel pada penelitian ini adalah 41 orang. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan cara purposive sampling yaitu teknik penetapan
diperlukan oleh peneliti. Sampel menjadi responden dalam penelitian adalah lansia di
Panti Werdha UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan
Medan yang berumur 60 tahun ke atas, kooperatif, orientasi orang, tempat dan waktu,
mampu melihat, membaca, dan mendengar dengan baik, mampu berkomunikasi
bahasa Indonesia dengan baik, serta lansia yang mau menjadi responden penelitian.
.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan
Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan yang beralamat di Jalan Perintis
Kemerdekaan, Cengkeh Turi, Binjai. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari
sampai Februari 2012. Alasan pemilihan panti ini sebagai objek penelitian adalah
karena panti werdha ini merupakan milik pemerintah yang berada di bawah
pengawasan Kementrian Kesejahteraan Sosial dengan jumlah populasi lansia yang
cukup besar.
4. Pertimbangan Etik Penelitian
Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari institusi Fakultas
Keperawatan, selanjutnya mengirim surat permohonan penelitian untuk mendapatkan
izin dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara dan surat izin tersebut dikirim kepada
pimpinan UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Dalam penelitian ini peneliti akan menyampaikan beberapa informasi penting yang
dilakukan selama penelitian dan hak-hak responden dalam penelitian ini. Calon
responden yang bersedia akan menandatangani lembar persetujuan (informed
consent). Apabila calon responden menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan
tetap menghormati hak – haknya. Perlu menjaga kerahasiaan responden sehingga
peneliti tidak mencantumkan nama, hanya membuat nomor responden dan memberi
kode tertentu pada lembar kuesioner (Anonimity). Peneliti juga memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah lainnya. Semua
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya (Confidentiality) oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat,
2009). Data-data yang telah diperoleh dari calon responden juga hanya untuk
kepentingan penelitian (Nursalam, 2008).
5. Instrument Penelitian 5.1. Kuesioner Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kuesioner yang
didasarkan pada tinjauan kepustakaan. Kuesioner ini terjadi dari tiga bagian, yaitu
kuesioner data demografi calon responden yang berisi identitas calon responden,
kuesioner interaksi sosial, dan kuesioner kesepian pada lansia.
a. Kuesioner data demografi
Kuesioner data demografi meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, lama
menghuni panti werdha, agama, dan suku. Data demografi ini menggambarkan
b. Kuesioner interaksi sosial
Kuesioner ini bertujuan untuk mengidentifikasi interaksi sosial terhadap
kesepian pada lansia. Kuesioner ini terdiri dari 21 pernyataan yaitu 13 pernyataan
positif dengan jawaban sering, kadang-kadang, tidak pernah, yaitu pernyataan nomor
1, 2, 3, 4, 6, 10, 12, 13, 14, 15, 17, 20, 21. Kemudian 8 pernyataan negatif dengan
pilihan jawaban sering, kadang-kadang, tidak pernah, yaitu pernyataan nomor 5, 7, 8,
9, 11, 16, 18, 19. Pernyataan positif, jika jawaban sering akan diberi skor 3,
kadang-kadang diberi skor 2, tidak pernah diberi skor 1. Sebaliknya untuk pernyataan negatif,
jika jawaban sering diberi skor 1, kadang-kadang diberi skor 2, tidak pernah diberi
skor 3.
Interaksi sosial dalam bentuk kerja sama diwakili oleh pernyataan nomor 1, 2,
3, 4. Dalam bentuk akomodasi diwakili oleh pernyataan nomor 11, 12, 13. Dalam
bentuk asimilasi diwakili oleh pernyataan nomor 14, 15, 16. Dalam bentuk akulturasi
diwakili oleh pernyataan nomor 20, 21. Dalam bentuk persaingan diwakili oleh
pernyataan nomor 5, 6, 7. Dalam bentuk kontroversi diwakili oleh pernyataan nomor
8, 9, 10. Dalam bentuk konflik diwakili oleh pernyataan nomor 17, 18, 19.
Data mengenai interaksi sosial dikategorikan atas 3 kelas interval. Nilai
terendah yang mungkin dicapai adalah 21 dan nilai tertinggi adalah 63. Berdasarkan
rumus statistika �=������rentang����� (menurut Sudjana, 2002), di mana p merupakan
panjang kelas, dengan rentang ( nilai tertinggi dikurang dengan nilai terendah)
diperoleh panjang kelas sebesar 14. Dengan p = 14 dan nilai terendah adalah 21
sebagai batas bawah kelas pertama, maka interaksi sosial dikategorikan dalam kelas
interval, yaitu 21-34 = interaksi kurang, 35-48 = interaksi cukup, 49-63 = interaksi
baik
c. Kuesioner kesepian
Kuesioner ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesepian pada lansia.
Kuesioner ini diadopsi dan dimodifikasi dari The UCLA Loneliness Scale. Kuesioner
ini terdiri dari 20 pertanyaan dengan jawaban tidak pernah, jarang, kadang-kadang,
selalu. Jika jawaban tidak pernah diberi skor 1. Jika jawaban jarang diberi skor 2. Jika
kadang-kadang jawaban diberi skor 3. Jika jawaban selalu diberi skor 4.
Data mengenai kesepian pada lansia dikategorikan atas 2 kelas interval. Nilai
terendah yang mungkin dicapai adalah 20 dan nilai tertinggi adalah 80. Berdasarkan
rumus statistika �= rentang
����������� (menurut Sudjana, 1992), di mana p merupakan
panjang kelas, dengan rentang ( nilai tertinggi dikurang dengan nilai terendah)
sebesar 60 dan dibagi atas 2 kategori kelas, yaitu kesepian dan tidak kesepian. Maka
diperoleh panjang kelas sebesar 30. Dengan p = 30 dan nilai terendah adalah 20
sebagai batas bawah kelas pertama, maka kesepian pada lansia dikategorikan dalam
5.2. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Uji validitas dan reliabilitas pada instrument penelitian akan dilakukan oleh
yang ahli di bidangnya. Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang
berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2008).
Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur (Sugiyono, 2006). Kuesioner ini divalidasi dengan menggunakan
validitas isi (Content validity) yang dilakukan oleh salah satu ahli yaitu dosen
Fakultas Keperawatan. Hal ini dilakukan dengan mengajukan kuesioner dan proposal
penelitian kepada penguji validitas. Ahli diminta untuk mengamati secara cermat
semua item dalam tes yang hendak divalidasi. Kemudian mengoreksi semua item
yang telah dibuat. Pada akhir perbaikan, ahli diminta untuk memberikan
pertimbangan tentang bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang akan
diukur. Pertimbangan ahli tersebut juga menyangkut apakah semua aspek yang
hendak diukur telah dicakup melalui item pertanyaan dalam tes (Sukardi, 2009).
Pernyataan yang tidak valid akan langsung diganti oleh peneliti sesuai dengan
petunjuk dari ahli validitas. Terdapat dua buah kuesioner yaitu kuesioner tentang
interaksi sosial yang terdiri dari 21 pernyataan dan kuesioner tentang kesepian yang
diadopsi dan dimodifikasi dari The UCLA Loneliness Scale yang terdiri dari 20
pernyataan. Pada kuesioner interaksi sosial terdapat 12 pernyataan yang harus
mengalami perbaikan yaitu pernyataan nomor 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 13, 16, dan
21. Sedangkan pada kuesioner kesepian yang diadopsi dan dimodifikasi dari The
tersebut diadopsi dari bahasa Inggris dan perlu penyesuaian makna dan kata-kata
ketika dimodifikasi ke dalam bentuk bahasa Indonesia.
Uji reliabilitas instrument bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat
atau kemampuan alat ukur untuk mengukur secara konsisten sasaran yang akan
diukur. Menurut Nursalam (2008), uji reliabilitas dilakukan terhadap 10 orang yang
memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi
sampel pada penelitian. Uji reliabilitas dalam penelitian ini dicari dengan
menggunakan analisis Cronbach alpha. Menurut Djemari (2003) dalam Riwidikdo
(2008), kuesioner dikatakan reliabel jika memiliki alpha minimal 0,7. Hasil uji
reliabilitas terhadap kuesioner interaksi sosial adalah 0,792 dan kuesioner kesepian
adalah 0,715 sehingga dapat disimpulkan bahwa kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini adalah reliable.
6. Pengumpulan Data
Setelah melewati tahap pengambilan izin dari pihak-pihak atau instansi-instansi
yang terkait dengan penelitian ini, peneliti langsung pergi ke UPT PS Lanjut Usia dan
Balita wilayah Binjai dan Medan yang merupakan lokasi penelitian dalam penelitian
ini. Prosedur pengambilan data yaitu dengan melihat dari karakteristik responden
yang telah ditetapkan, peneliti mendatangi langsung ke responden. Tahap awalnya
adalah peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden serta
peneliti juga menjelaskan hal apa saja yang harus dilakukan responden selama proses
selama proses pengisian kuesioner tersebut. Peneliti telah menetapkan waktu yang
digunakan dalam pengisian kuesioner ini adalah 15 menit tetapi waktu ini dapat
berubah tergantung kesepakatan dengan responden terkait dengan aktivitas ataupun
kemauan dari responden. Setelah mendapat persetujuan dari responden, peneliti
memberikan kuesioner yang terdiri dari data demografi, kuesioner interaksi sosial dan
kuesioner kesepian. Peneliti meminta responden untuk menjawab setiap pertanyaan
sesuai dengan petunjuk yang telah tertera di kuesioner tersebut. Peneliti juga memberi
penjelasan kepada responden tentang maksud dari setiap pertanyaan yang tertera di
kuesioner tersebut apabila responden mengalami kesulitan selama proses pengisian
kuesioner. Setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti kemudian
memeriksa kelengkapan data jika ada data yang kurang dapat segera dilengkapi.
Selanjutnya data data yang terkumpul dianalisa.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data adalah selama 2 bulan.
Pengumpulan data dilakukan pada waktu dan hari tertentu saja. Hal ini disebabkan
karena factor jarak dari lokasi penelitian dan tempat tinggal peneliti serta keadaan
dari responden dan aktivitas yang berlangsung di lokasi penelitian. Oleh karena itu
peneliti memilih waktu yang tepat untuk menjumpai responden secara langsung agar
memperoleh hasil data yang maksimal.
7. Analisa Data
Setelah semua data pada kuesioner terkumpul, maka dilakukan analisa data
memastikan bahwa semua jawaban telah terisi kemudian data yang sesuai diberi kode
untuk memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data. Selanjutnya
peneliti memasukkan data ke dalam komputer dan dilakukan pengolahan data dengan
menggunakan teknik komputerisasi. Metode statistik data untuk analisa data yang
digunakan pada penelitian ini adalah:
Statistic univariat. Pada penelitian ini, metode statistik univariat digunakan
untuk menganalisa variabel independen yaitu interaksi sosial dan variabel dependen
yaitu kesepian pada lansia. Untuk menganalisa variable interaksi sosial, akan
dianalisa dengan menggunakan skala interval dan akan ditampilkan dalam distribusi
frekuensi. Untuk menganalisa variable kesepian pada lansia, akan dianalisa dengan
menggunakan skala interval dan akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.
Statistic Bivariat. Statistik bivariat adalah suatu metode analisa data untuk menganalisa hubungan antara dua variabel. Untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen digunakan uji Pearson karena variabel independen
berskala interval dan variabel dependen berskala interval. Interpretasi hasil uji
korelasi didasarkan pada nilai r dan nilai p. Nilai r menginterpretasikan kekuatan
hubungan dengan nilai r berkisar antara -1 sampai +1 dengan kriteria sebagai berikut
Tabel 3. Kriteria Penafsiran Korelasi
Nilai r Penafsiran
Diatas -0,5
-0,3 sampai -0,5
-0,1 sampai -0,3
0,10 sampai 0,30
0,30 sampai 0,50
Diatas 0,50
Korelasi negatif tinggi
Hubungan negatif dengan interpretasi kuat Korelasi negatif sedang
Hubungan negatif dengan interpretasi negatif Korelasi negatif rendah
Hubungan negatif dengan interpretasi lemah Tidak ada korelasi/hubungan
Korelasi positif rendah
Hubungan positif dengan korelasi lemah Korelasi positif sedang
Hubungan positif dengan interpretasi memadai
Korelasi positif tinggi
Hubungan positif dengan interpretasi kuat
Nilai p menginterpretasikan nilai signifikan, jika nilai p < 0,05 maka terdapat
hubungan bermakna antar variabel yang diuji dan jika nilai p > 0,05 maka tidak
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 9 minggu, yaitu mulai tanggal 20 Februari 2012
sampai tanggal 20 April 2012 di UPT Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai Medan. Jumlah responden penelitian ini adalah 41 orang. Hasil
penelitian ini menguraikan karakteristik demografi, interaksi social lansia, kesepian
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita Wilayah Binjai
Medan dan hubungan antara interaksi social dengan kesepian.
1.1 Karakteristik Demografi
Deskripsi karakteristik demografi responden terdiri dari jenis kelamin, umur,
agama, suku, pendidikan, lama menghuni panti, aktifitas sehari-hari untuk mengisi
waktu luang. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden adalah perempuan
(73,2%) dengan rentang usia 60-69 tahun (51,2%). Pada umumnya responden
beragama Islam (87,8%) dan sebagian besar bersuku jawa (39%). Berdasarkan latar
belakang pendidikan, mayoritas responden memiliki jenjang pendidikan SD (46,3%).
Lama menghuni panti mayoritas 0-5 tahun (51,2%) Sedangkan untuk aktifitas
Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden (n=41)
Karakteristik Demografi
Frekuensi (f) Persentase (%)
Jenis kelamin
Lebih dari 10 tahun
1.2 Interaksi Sosial Lansia
Penelitian mengenai interaksi social lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut
Usia dan Balita Wilayah Binjai dan Medan diperoleh hasil bahwa responden
memiliki interaksi sosial baik sebesar 48,8% dan yang mendapat interaksi sosial
cukup yaitu 48,8% sedangkan yang mendapat interaksi sosial kurang yaitu 2,4%.
Mean interaksi sosial adalah 46, dan SD adalah 6,07.
Table 5 : Distribusi frekuensi interaksi sosial pada lansia
No Interaksi Sosial F % Mean SD Range
1 Interaksi sosial kurang
1 2,4 46,9 6,07 23
2 Interaksi sosial cukup
20 48,8
3 Interaksi sosial baik
20 48,8
1.3 Kesepian pada lansia
Penelitian mengenai kesepian lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan
Balita Wilayah Binjai dan Medan diperoleh hasil bahwa sebanyak 34 responden
(82,9%) merasa tidak kesepian dan sebanyak 7 responden (17,1%) merasa kesepian.
Mean skor kesepian pada lansia adalah 39,93 dan SD adalah 9,395.
Table 6 : distribusi frekuensi kesepian pada lansia
No Kesepian F % Mean SD Range
1 Tidak kesepian 34 82,9 39,93 9,395 34
1.4 Hubungan antara interaksi sosial dengan kesepian pada lansia
Untuk melihat hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia
digunakan uji korelasi pearson. Berikut ini adalah uji statistic hubungan interaksi
sosial lansia dengan kesepian pada lansia :
Tabel 9 : Hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia
Variabel r P
Interaksi Sosial -0,652 0.000
Kesepian
α = 0,05 (2-tailed)
berdasarkan data dari tabel uji korelasi pearson diketahui bahwa variabel
interaksi sosial dan kesepian pada lansia memiliki hubungan yang signifikan dengan
nilai p = 0,000 (p<0,05) dengan nilai r = -0,652 dan arah hubungan negatif. Hal ini
bermakna bahwa semakin besar interaksi sosial maka semakin besar perasaan tidak
kesepian. Hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia mempunyai
kekuatan hubungan yang sangat kuat. Maka hipotesis alternative (Ha) gagal ditolak
karena ada hubungan antara interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia danBalita Binjai dan Medan.
2. Pembahasan
Pembahasan berikut ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian
hubungan interaksi sosial lansia dengan kesepian pada lansia di UPT Pelayanan
2.1 Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 41 responden sebanyak 11 responden
(26,8%) adalah laki-laki, 30 responden (73,2%) adalah perempuan. Perbedaan
perbedaan gender juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi interaksi
sosial dan kesepian pada lansia. Danis Dwi dan M. Fakrurrozi menyatakan bahwa
perempuan lebih rentan mengalami perasaan kesepian dari pada laki-laki. Hal ini
disebabkan karena wanita lebih mungkin mengakui dirinya merasa kesepian dari pada
pria. Sedangkan pria lebih banyak mengingkari kesepian yang dialaminya. Salah satu
alasan untuk hal tersebut adalah bahwa pria yang kesepian kurang dapat diterima dan
lebih sering ditolak secara sosial. Pria dianggap kurang pantas menekspresikan
emosinya, dan pria yang menyatakan dirinya kesepian berarti menyimpang dari
harapan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebanyak 21 responden (51,2%) berusia
60-69 tahun dan sebanyak 20 responden (48,8%) berusia 70-79 tahun. Menurut Danis
Dwi dan M. Fakrurrozi dalam penelitiannya menyatakan bahwa usia lansia yang
sudah berada diatas 60 tahun membuat mereka merasakan kesepian. Menurut Potter
and Perry (2005) menyatakan bahwa berubahnya usia seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menggambarkan proses
penarikan diri.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 36 responden (87,8%) beragama Islam
dan sebanyak 5 responden (12,5%) beragama Kristen. Menurut Lueckenotte (2000)
rasa memiliki kepada sekelompok orang untuk saling mendukung satu sama lain yang
dapat mempengaruhi seseoramg terhadap kesedihan dan kesepian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 9 responden (22%)
melakukan aktivitas sehari-harinya yaitu bercocok tanam, 3 responden (7,3%)
beternak dan sebanyak 29 responden (70,7%) tidak bekerja atau tidak melakukan
aktivitas apapun dipanti. Aktivitas juga merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi interaksi sosial dan kesepian pada lansia .Menurut Danis Dwi dan M.
Fakrurrozi menyatakan bahwa bahwa perasaan kesepian lebih dirasakan oleh lansia
yang tidak memiliki pekerjaan dibandingkan dengan lansia yang memiliki pekerjaan.
Hal ini disebabkan karena mereka memiliki kesibukan dan rutinitas serta waktu
sosialisasi yang banyak dengan orang lain.
2.2 Interaksi Sosial Lansia
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 41 responden
menunjukkan bahwa sebesar 48,8% interaksi sosialnya baik dan yang mendapat
interaksi sosial cukup yaitu sebanyak 48,8% sedangkan yang mendapat interaksi
sosial kurang yaitu sebanyak 2,4%. Menurut Hamka (2009), umumnya lansia
mengalami penurunan dalam melakukan interaksi sosial. Semakin bertambah usia
menyebabkan penurunan interaksi sosial sehingga lansia akan merasakan kesulitan
dalam bersosialisasi. Namun menurut Havighurst (1952) dalam teori aktivitas
menjelaskan bahwa pentingnya secara aktif secara social merupakan alat untuk
penyesuaian diri yang sehat unuk lansia (Potter and Perry, 2005). Menurut Rahmi