• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara:"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

ALTERNATIF KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI MUARA ANGKE,

JAKARTA UTARA

Oleh :

Omar Abdallah Arifuddin

PS. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

(3)

ABSTRACT

OMAR ABDALLAH ARIFUDDIN. Environmental Vision of Fisherman Society Empowerment Policy Alternative at Angke Estuary, North Jakarta. Under supervision by ETTY RIANI and WONNY AHMAD RIDWAN

The aim of this research is for knowing the condition of social existing, economy, and fisherman’s culture at Angke Estuary; analyzing water quality and the beach mangrove broken at Angke Estuary; analyzing alternative policy which is related by environmental vision of fisherman empowerment efforts at Angke Estuary. This research will be done at June until July, 2009. This research metode which is finding social existing condition, economy, culture, and biophisyc is by deskriptive, analitycal hierarchy proccess (AHP) to determine an alternative policy of fisherman society empowerment. Fisherman society social life at Angke Estuary, is different with another fisherman society life in Indonesia, the low education, the dependent productivity of season, the limited capital employed, the low supporting tool, low market mechanism and technologi transfer, and communication which cause fisherman become unstabilizing. The impact of west and east season changing, and also water quality pollution cause fisherman use another natural resourches. There, by falling mangrove trees down at Angke Estuary Wild Life Sanctuary to make charcoal basic commudity as new profession or additional income. The continueing of taking mangrove trees by the fisherman in Wild Life Sanctuary, is the activity which break the low, because the Wild Life Sanctuary is protected by a bill number 41, 1999 about forestry, paragraph 50, artide 3. related by that condition, so, it is important to look for actual information, what the fisherman want is, as the their own competence, so it can be made an alternatif statement about fisherman sociaty empowerment which has a environmental vision at Angke Estuary.

(4)

RINGKASAN

OMAR ABDALLAH ARIFUDDIN. Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan WONNY AHMAD RIDWAN

Di wilayah Muara Angke, kehidupan sosial masyarakat nelayan tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Indonesia. Kondisi kehidupan nelayan paling parah, dialami pada waktu musim barat daya dan musim timur. Biasanya pada musim barat daya, angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang (badai), sedangkan pada musim timur, angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar, sehingga menyulitkan nelayan untuk melakukan kegiatan di laut. Selain itu buruknya kualitas lingkungan akibat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta telah menimbulkan kerugian yang serius pada kehidupan ekologis, ekonomi, kesehatan, maupun estetika.

Dampak perubahan musim barat dan timur serta pencemaran kualitas air mengakibatkan nelayan memanfaatkan sumberdaya alam lainnya yang ada di sekitarnya yaitu, menebang pohon mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk dijadikan bahan baku arang sebagai profesi baru atau tambahan penghasilan. Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan. Agar pemberdayaan tepat maka penting untuk dilakukan kajian alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan.

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui alternatif kebikajan pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke dan tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis kondisi eksisting sosial, ekonomi dan budaya nelayan di Muara Angke, mendeskripsikan kualiatas air laut dan kerusakan mangrove pesisir di Muara Angke dan merumuskan alternatif kebijakan, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder, kemudian selanjutnya dianalisis kondisi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi secara deskriptif. Pada penelitian ini juga digunakan analisis AHP untuk menentukan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya nelayan di Muara Angke tergolong dinamis yang dapat diketahui dari, beragamannya etnis diantaranya Jawa, Sunda dan Betawi. Sedangkan kaum pendatang pada umumnya berasal dari Tagerang dan Banten. Namun hingga kini tidak pernah ada konflik horisontal antar masyarakat. Seperti umumnya masyarakat nelayan budaya lokal masih ada tetapi budaya pemeliharaan lingkungan oleh nelayan di Muara Angke relatif rendah begitu pun kondisi ekonomi masyarakat masih tergolong rendah.

(5)

parameter pH, oksigen, ammonia, phosphat, nitrat, fenol dan BOD sudah di atas nilai ambang batas yang diizinkan, diduga hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya limbah yang masuk ke perairan Muara Angke sedangkan, parameter mikrobilogi masih masuk dalam kategori baik dan ekosistem mangrove sudah masuk pada kategori rusak akibat perambahan, konversi lahan serta abrasi.

Prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ialah (a) budidaya ikan hias dengan bobot nilai 0,286, (b) nelayan tangkap dimoderenisasikan bobot nilai 0,267 (c) peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, (d) ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111.

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(7)

ALTERNATIF KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI MUARA ANGKE,

JAKARTA UTARA

OMAR ABDALLAH ARIFUDDIN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PS. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

(8)

Judul Tesis : Alternatif Kebijkan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara. Nama Mahasiswa : Omar Abdallah Arifuddin

Nomor Pokok (NRP) : P051060091

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE, MM

K e t u a Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS

Tanggal Ujian : 07 Oktober 2009

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji syukur yang tak terhingga penulis sampaikan Kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Alternatif Kebijakan Pemberdayaa Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara. Usulan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS sebagai dekan sekolah pascasarjana IPB, yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam menempuh pendidikan strata 2 di IPB hingga selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan sekolah pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan mulai dari selama proses perkuliahan sampai pada tahap menyelesaikan studi.

3. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE, MM sebagai anggota komisi pembimbing yang keduanya tidak hanya memberikan bimbingan saja tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. Kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo yang telah berkenan menjadi penguji luar, dan juga berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya.

4. Kepada semua pihak di PSL yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

(10)

doa yang telah diberikannya. Paman Prof. Dr. Alham Djabbar, M.Eng, Kakak tercinta Niny Arifuddin, S.Ag, Fattah Rasak, B.Sc, Malik Arifuddin, dan adik tercinta Qadriani, SH serta semua keluarga juga keponakan tercinta Muhammad Mabrur dan Mutammimah atas segala dorongan dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilai harganya.

6. Bapak Walikota Makassar Ir. Ilham Arief Sirajuddin, MM, yang telah begitu banyak memberikan perhatian, dukungan dan bantuan pada kehidupan saya, begitupun ibu Menteri Kesehatan RI periode 2004-2009 Dr. dr. Siti Fadilah Supari dan Bupati Polewali Mandar Ir. Ali Baal Masdar, M.Si serta semua kakanda/senior berkat peran besar dalam proses pendidikan yang saya jalani. 7. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program studi PSL Angkatan 2006 yang telah

banyak memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan teman-teman lainnya yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.

8. Terimakasih juga kepada kak Dhona Arianti, S.Si, M.Si yang telah banyak memberikan dukungan, bantuan dan semangat serta sahabatku (Risani Gazi, S.Pt, M.Si, Amir Rahman, Andi Chairil Ichsan, M. Rum, Iing Nasihing, Candra, Yoyok Sudarso, Nurhantabau, dan Syamsu Alam) atas semua dukungan dan kebersamaan selama ini. kepada teman-teman seperjuangan Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan Latimojong II, Forum Wacana IPB (Sadikin Amir, Hatta Jamil, dan Irfan Ido juga semua pengurus periode 2007-2008 dan periode 2007-2008-2009) dan HMI PASCA IPB.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Mei 1981 dari pasangan M. Arifuddin Djabbar dan Aisyah di Ugi Baru, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Penulis masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1988 pada SD Negeri 066 Pekkabata, Polewali Mandar dan tamat tahun 1994. Kemudian melanjutkan studi tahun 1994 pada Pondok Pesantren Sanawiah IMMIM Makassar hingga tahun 1996 lalu pindah ke Madrasah Sanawiah Swasta Al Ihsan DDI Kanang (setingkat SMP) Polewali Mandar dan tamat tahun 1997.

Setelah menamatkan sanawiah, penulis melanjutkan studi pada Madrasah Aliah Swasta Al Ihsan DDI Kanang (setingkat SMU) Polewali Mandar dan tamat tahun 2000. Kemudian melanjutkan studi tahun 2000 pada Perguruan Tinggi Universitas Muslim Indonesia Makassar pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosek, dan menamatkan studi pada tahun 2005, dengan gelar Sarjana Pertanian (SP).

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel ... iv

Daftar Gambar ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 3

1.3. Perumusan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pemberdayaan ... 8

2.2. Partisipasi dan Pemberdayaan ... 10

2.3. Konsep Komunitas ... 11

2.4. Komunitas Nelayan ... 12

2.5. Pemberdayaan Komunitas Nelayan ... 14

2.6. Perairan ... 16

2.6.1. Pencemaran Perairan ... 16

2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut ... 17

2.7. Mangrove ... 18

2.7.1. Definisi Mangrove ... 18

2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia ... 19

2.7.3. Fungsi Mangrove ... 19

2.8. Pembangunan Berwawasan Lingkungan ... 20

2.9. Analisis Kebijakan ... 21

2.10. Analisis AHP ... 26

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi ... 29

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 29

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 30

3.4. Tahapan Penelitian ... 30

3.4.1. Tahap Pengumpulan Data ... 30

3.5. Analisis Data ... 30

3.5.1. Analisis Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, dan Budaya ... 31

3.5.2. Analisis Kualitas Air ... 31

3.5.3. Analisis Kerusakan Mangrove ... 32

(13)

IV. KEADAAN UMUM MUARA ANGKE

4.1. Sejarah perkembangan perikanan ... 35

4.2. Karakteristik ... 35

4.2.1. Letak Geografis dan Administratif ... 35

4.2.2. Geologi dan Topografi ... 36

4.2.3. Hidrologi ... 36

4.2.4. Hidrooceonografi ... 36

4.2.5. Klimatologi ... 36

4.3. Kondisi Mangrove ... 37

4.3.1. Hutan Lindung Angke Kapuk ... 37

4.3.2. Suaka Margasatwa Muara Angke ... 38

4.4. Fasilitas dan Kegiatan di Muara Angke ... 38

4.4.1. Bangunan Tempat Tinggal... 38

4.4.2. Kawasan Perikanan... 39

4.4.3. Fasilitas Tempat Pendaratan Ikan (TPI) ... 40

4.4.4. Fasilitas Perbaikan Kapal / Docking ... 40

4.4.5. Fasilitas Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional ... 41

4.4.6. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ... 42

4.4.7. Cold Storage... 43

4.4.8. Tempat Pengecer Ikan ... 44

4.4.9. Unit Pengepakan Ikan... 44

4.4.10. Pujaseri Masmurni ... 44

4.4.11. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwi Fungsi... 45

4.4.12. Tambak Ujicoba Air Payau... 45

4.4. Fasilitas Perekonomian... 45

4.5. Kependudukan... 46

4.6. Suku Bangsa (Etnis) dan Tingkat Pendidikan ... 46

4.7. Agama ... 47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, Budaya dan Nelayan di Muara Angke ... 48

5.1.1. Kondisi Ekonomi ... 49

5.1.2. Kondisi Sosial Budaya ... 52

5.1.3. Kesehatan Masyarakat... 53

5.2. Kualitas Air dan Kerusakan Mangrove di Muara... 54

5.2.1. Peraturan Pengelolaan Kualitas Air ... 54

5.2.1.2. Kualitas Air Dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut... 55

5.2.1.3. Kualitas Fisik ... 58

5.2.1.4. Kualitas Kimia... 60

5.2.2. Kondisi Hutan Mangrove... 65

(14)

5.3. Prioritas Alternatif Kebijakan ... 67 5.3.1. Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

Berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara... 72

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 77 6.2. Saran... 77

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Nomor 1. Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan ... 13

Nomor 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP ... 28

Nomor 3. Pengambilan jumlah responden ... 29

Nomor 4. Fasilitas di Pelabuhan Muara Angke ... 39

Nomor 5. Fasilitas yang ada di TPI Muara Angke... 40

Nomor 6. Fasilitas docking kapal di Muara Angke... 41

Nomor 7. Jenis olahan ikan... 42

Nomor 8. Daerah penangkapan ikan... 43

Nomor 9. Fasilitas perekonomian di kelurahan penjaringan ... 45

... Nomor 10. Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan dari usahatani nelayan dalam 1 kali melaut... 50

Nomor 11. Pengeluaran sehari-hari rumah tangga nelayan... 51

Nomor 12. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun C2 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 56

Nomor 13. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun M1 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 57

Nomor 14. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun M3 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 58

(16)

Nomor 16. Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok

Stakeholder... 71

Nomor 17. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek... 72

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pemberdayaan

nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ... 5

Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan ... 23

Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi ... 25

Gambar 4. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan ... 34

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden di Muara Angke (Olahan Hasil Survei) di Lokasi Survey DKI Jakarta (Sumber : LPP Mangrove 2008)... 48

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal dengan sebutan bangsa bahari, karena secara geogarfis 73 persen dari wilayahnya berupa perairan (laut) dan hanya 27 persen sisanya berupa daratan dan berdasarkan fakta memperlihatkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia gemar mengarungi lautan. Dari berbagai profesi yang digeluti masyarakatnya, mata pencaharian sebagai nelayanlah yang sangat dekat atau berinteraksi langsung dengan kebaharian.

Sejatinya keberadaan nelayan memberikan arti penting bagi kelangsungan hidup manusia di hampir semua wilayah baik di Bangsa Indonesia maupun untuk negara lain (ekspor). Hal ini semestinya berkontribusi signifikan pada kelayakan hidup nelayan, tetapi hal tersebut masih sangat jauh dari kenyataannya, karena masyarakat yang memilih profesi nelayan secara umum begitu identik dengan kemiskinan (masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya) (Winengan, 2007).

Di wilayah Muara Angke, kehidupan sosial masyarakat nelayan tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat misalnya rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lambannya transfer teknologi serta komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi tidak menentu.

(19)

2

meter (Furqon, 2008). Gelombang tinggi membuat, beberapa nelayan menjalankan aktifitasnya pada malam hari. Di ke dua musim ini (musim barat daya dan musim timur), nelayan di Muara Angke hampir menjadi tidak produktif (Winengan, 2007).

Selain itu buruknya kualitas lingkungan akibat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta telah menimbulkan kerugian yang serius pada kehidupan ekologis, ekonomi, kesehatan, maupun estetika. Secara ekologis pencemaran bahan organik telah menyebabkan blooming fitoplankton dari berbagai fitoplankton yang dapat menghasilkan zat kimia beracun (toxic algae) berupa ammonia. Peristiwa blooming plankton yang mencapai jutaan individu/liter, dengan pertumbuhan yang sangat cepat (eksponensial) dalam waktu yang sangat singkat disebut sebagai fenomena redtide. Peristiwa ini dapat mengakibatkan kandungan oksigen di perairan turun secara drastis dan mengakibatkan kematian massal pada ikan. Selain itu pertumbuhan algae secara berlebihan dapat mengganggu ekosistem lain yang ada di wilayah pesisir terutama di perairan teluk Jakarta.

Dampak perubahan musim barat dan timur serta pencemaran kualitas air mengakibatkan nelayan memanfaatkan sumberdaya alam lainnya yang ada di sekitarnya yaitu, menebang pohon mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk dijadikan bahan baku arang sebagai profesi baru atau tambahan penghasilan. Rutinitas perambahan hutan mangrove yang dilakukan oleh para nelayan di Suaka Margasatwa tentunya adalah, tindakan yang melanggar hukum sebab Suaka Margasatwa dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50, ayat 3, sehingga pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan yang melibatkan seluruh stakeholder sangat dibutuhkan agar meraka tidak lagi melakukan perambahan/pengerusakan hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa di Muara Angke.

(20)

3

Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 63, ayat 1, yang berbunyi: pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya serta ayat 2, yang berbunyi pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.

Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et al. dalam Nikijuluw (2000) adalah pembangunan. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemberdayaan masyarakat berarti membangun collective personality of a society.

Memberdayakan masyarakat nelayan Muara Angke perlu mengadopsi keinginan semua stakeholders yang terkait didalamnya seperti, nelayan itu sendiri, pemerintah, tokoh masyarakat, dan industri yang berada di wilayah itu karena berbagai program yang telah dicanangkan hingga kini belum memperlihatkan hasil yang optimal, hal ini terlihat dari kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan yang belum membaik.

Terkait dengan kondisi tersebut di atas maka, perlu dicari informasi apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat nelayan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga dapat dibuat alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

1.2. Kerangka Pemikiran

(21)

4

atas sosial (pendidikan, keterampilan, dan kesehatan), ekonomi (pendapatan, modal, sarana dan prasarana) dan budaya (etnis), sedang faktor eksternal terdiri atas ekologi (pencemaran air) dan musim. Kondisi perekonomian yang rendah membuat para nelayan memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove yang menyebabkan degradasi lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap faktor internal dan faktor eksternal serta melihat kerusakan mangrove. Agar tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Muara Angke menjadi lebih baik, maka dibutuhkan alternative kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan yang selama ini telah ada diantaranya organisasi dalam masyarakat nelayan baik formal maupun informal seperti perangkat pemerintah dan organisasi keagamaan, sampai saat ini belum dapat memecahkan masalah-masalah sosial yang ada diantaranya pemerataan pembangunan yang berdampak pada perubahan kualitas hidup, peningkatan kegiatan usaha, perbaikan kesejahteraan, kondisi kesehatan lingkungan yang memadai, merupakan fenomena dalam kehidupan masyarakat nelayan. Selain itu beberapa program pemerintah baik pusat maupun daerah yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tidak berhasil, yang ditengarai akibat pendekatan yang tidak tepat dengan karakter masyarakat pesisir serta tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya dari masyarakat nelayan sendiri (Yayasan LP2SP/PMP, 2002).

(22)

5

Gambar 1. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke Alternatif kebijakan pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan

di Muara Angke SDA laut

Tingkat kesejahteraan nelayan rendah

Ekologi : - kualitas air

Sosial : - Pendidikan - Keterampilan - Kesehatan

Faktor eksternal Faktor internal

Musim Ekonomi :

- Pendapatan - Modal

Budaya ; - Etnis

- Sarana & prasarana Hutan

mangrove

Nelayan Muara Angke

(23)

6

1.3. Perumusan Masalah

Usaha di bidang perikanan secara umum merupakan kegiatan dalam rangka memanfaatkan semua potensi baik lewat penangkapan, budidaya maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat pesisir (nelayan) merupakan salah satu pelaku usaha, yang sampai sekarang ini dikategorikan sebagai kaum miskin dan memiliki banyak persoalan sehingga sangat jauh dari gambaran umum mengenai masyarakat sejahtera. Kemiskinan masyarakat pesisir turut memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali akibat belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subjek dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir (Soepardjo, 2004)

Degradasi lingkungan dan musim berpengaruh begitu besar terhadap rendahnya

pendapatan masyarakat nelayan di Muara Angke sehingga, masyarakat merambah hutan

mangrove di wilayah Suaka Margasatwa Muara Angke. Melihat kondisi masyarakat

nelaya di Muara Angke yang masih di bawah tingkat kesejahteraan menjadi dasar yang

begitu penting agar dibuat berbagai alternatif kebijakan pemberdayaan berwawasan

lingkungan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan di Muara Angke dan lingkungan

tetap terjaga kelestariannya. Oleh karena itu maka pertanyaan penelitian yang harus

dijawab :

1. Bagaimana kondisi eksisting sosial, ekonomi, dan budaya nelayan di Muara Angke.

2. Sejauhmana kualitas air laut dan kerusakan mangrove di pesisir di Muara Angke. 3. Bagaimana alternatif kebijakan tepat, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui alternatif kebikajan pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

(24)

7

2. Mendeskripsikan kualiatas air laut dan kerusakan mangrove pesisir di Muara Angke.

3. Merumuskan alternatif kebijakan, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan didefenisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberiaan daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimihardja dan Hikmat, 2004). Payne dalam Adi (2001) mengemukakan bahwa pada intinya suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan, yang dilakukan dengan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengotrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dari beberapa konsep pemberdayaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada intinya proses pemberdayaan meliputi aspek-aspek :

(a) Pemberian daya kepada individu, kelompok atau komunitas yang dianggap kurang Berdaya;

(b) Dengan pemberian daya tersebut, individu, kelompok atau komunitas sehingga (c) Pada akhirnya mereka dapat menentukan apa yang terbaik bagi diri

mereka sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

(26)

9

sumberdaya material dan non-material yang penting melalui retribusi kekuasaan (modal maupun kepemilikan) (Korten dalam Adimihardja dan Hikmat, 2004). Selanjutnya ESCAP dalam Adimihardja dan Hikmat (2004), mengemukakan bahwa permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya akibat dari adanya penyimpangan perilaku atau masalah keperibadian, tetapi juga karena masalah structural, kebijakan yang keliru, implimentasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003). Pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangu aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Agusta dalam Laporan Bappenas (2003), merumuskan bahwa program pemberdayaan mencakup lima hal, yaitu :

a. Asumsi bahwa suatu tindakan individu dilakukan untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang pemberdayaan dari struktur yang ada.

b. Partisipasi merupakan tindakan sukarela. Tindakan pemberdayaan atau

pembebasan diri baru berarti ketika digerakkan oleh olahan persepsi, pemikiran dan sikap individu sendiri.

c. Karena merupakan tindakan sukarela, maka partisipasi mengarah kepada suatu tindakan rasional. Tindakan rasional disini diartikan sebagai pilihan atas sarana dalam hubungan dengan tujuan.

(27)

10

berkaitan dalam waktu yang relatif lama. Oleh karenanya suatu program secara sendirian sulit membangun argument mengenai kemampuan membangun masyarakat.

e. Asumsi bahwa kelompok dilihat sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus.

2.2. Partisipasi dan Pemberdayaan

Partisipasi masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi penting dalam konteks pemberdayaan. Sumardjo dan Saharuddin (2004) mengemukakan 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat menjadi penting, karena :

(a) Melalui partisipasi masyarakat dapat diperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya kehadiran suatu program akan gagal.

(b) Bahwa masyarakat lebih mempercayai program pembangunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk program tersebut dan akan menimbulkan rasa memiliki terhadap kegiatan dalam program tersebut; dan

(c) Adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan (empowerment) sebenarnya jalan untuk mewujudkan partisipasi, karena pemberdayaan sangat menjunjung tinggi prinsip partisipasi itu sendiri.

(28)

11

menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Implementasi partisipatif dalam pembangunan adalah penerapan prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat menjadi pelaku utama dalam pembangunan (Sumardjo dan Saharuddin, 2004).

Seorang akan berpartisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddin (2004) apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi yang meliputi 3 (tiga) hal yaitu : (1) adanya kesempatan, yaitu suasana atau kondisi lingkungan yang didasari oleh orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berartisipasi, (2) kemauan, yaitu sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, dan (3) kemampuan, yaitu kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, yang dapat berupa pikiran, tenaga/waktu atau sarana dan material lainnya. Hal ini diperkuat oleh pandangan Agusta dalam Laporan Bappenas (2003) yang menyatakan tindakan partisipasi yang tumbuh dari dalam diri seseorang minimal menandakan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan serta bersedia menanggung resiko.

Meskipun demikian terdapat pandangan mengenai kesulitan menumbuhkan pola partisipasi yang hakiki secara terencana atau bentuk rekayasa sosial. Disamping itu ada kesulitan lain untuk melepaskan partisipasi dari mobilisasi. Fenomena program pemberdayaan akhir-akhir ini menunjukkan batas antara mobilisasi dan partisipasi yang semakin kabur, yang bersumber dari kehalusan pesan yang melekat pada program itu sendiri, yang tidak mudah disadari oleh pembawa dan pemanfaat program pemberdayaan (Bappenas, 2003).

2.3. Konsep Komunitas

(29)

12

kumpulan dari orang, tetapi kumpulan dari institusi (“A community is not only a collection of people, but is a collection of institutions. Not people, but institutions, are final and decisive in distinguishing the community from other social constellations”. Ife dalam Tonny dan Kolopaking (2004), berpandangan bahwa komunitas (community) dalam prespektif Sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama atau tingkat interaksi yang tinggi, dimana anggota komunitas yang mempunyai kebutuhan yang sama (common needs) dan jika tidak ada kebutuhan bersama tersebut maka itu bukan suatu komunitas. Tonny dan Kolopaking (2004), mengemukakan tentang unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) yang terdiri dari seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Ketika unsur tersebut merupakan suatu dasar dari adanya komunitas sesuai konsep komunitas yang ada.

Adi (2001), mengemukakan bahwa dalam intervensi komunitas, maka pengertian komunitas dapat pula mengacu pada komunitas fungsional, yaitu komunitas yang disatukan oleh bidang pekerjaan mereka bukan sekedar pada lokalitasnya saja.

2.4. Komunitas Nelayan

(30)

13

[image:30.612.116.533.217.404.2]

petani. Selain itu nelayan harus juga berhadapan dengan kehidupan laut yang keras, sehingga mereka umumnya bersikap tegas, keras dan terbuka untuk membedakannya dengan petani. Tindjabate (2002), mengemukakan secara singkat perbedaan karakteristik pekerjaan nelayan dan petani Tabel 1.

Table 1. Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan

NELAYAN PETANI 1. Lebih tergantung pada alam

2. Luas lahan dan hak garapan tidak jelas 3. Perencanaan dan periode produksi lebih singkat

4. Produksi per periode tidak menentu dan sulit diatur

5. Semakin maju cenderung untuk berpindah-pindah (mempunyai home base lebih dari satu)

6. Istri nelayan tidak ikut ke laut (tidak turut bekerja)

1. Beberapa alam telah dapat ditanggulangi sendiri atau secara bersama-sama oleh petani

2. Luas dan hak garapan lebih jelas 3. Perencanaan dan periode produksi relative lebih lama

4. Produksi per periode relative dapat diukur

5. Semakin maju, cenderung untuk menetap

6. Istri petani ikut ke lahan (turut bekerja)

(31)

14

Menurut Satria (2001), mengemukakan pandangan bahwa dalam mengkaji nelayan dan permasalahannya, penting sekali untuk membedakan sejelas mungkin antara (1) nelayan sebagai status pekerjaan (occupational status) dan (2) nelayan sebagai komunitas. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dimaksudkan dengan komunitas nelayan adalah sebagai berikut :

a. Tinggal secara mengelompok di pinggiran pantai/wilayah pesisir.

b. Memiliki sistem kekerabatan, sistem pengelolaan ekonomi lokal dan tipe pelapisan sosial yang berbeda dari kebanyakan komunitas yang ada.

c. Pada umumnya bersifat lebih terbuka disbanding dengan komunitas lainnya. d. Beban resiko atas pekerjaannya relatif lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya.

e. Memiliki aturan bersama mengenai pengelolaan dan pemanfaatan wilayah penangkapan yang biasanya tidak tertulis tetapi disepakati bersama.

2.5. Pemberdayaan Komunitas Nelayan

Sesuai dengan pandangan Giddens (2002), yang berpendapat bahwa program-program pengentasan kemiskinan konvensional perlu diganti dengan pendekatan yang berfokus pada komunitas, yang memberi lebih banyak kesempatan partisipasi, demokratis sekaligus lebih efektif. Pembangunan komunitas menerangkan jaringan-jaringan pendukung, upaya menolong diri sendiri dan pengolahan modal sosial sebagai sarana untuk membangkitkan pembaharuan ekonomi dalam lingkungan yang berpenghasilan rendah. Program melawan kemiskinan membutuhkan suntikan sumber-sumber daya ekonomis, yang diterapkan dalam rangka mendukung prakarsa lokal.

(32)

15

(a) Mencegah munculnya kebijakan-kebijakan pembangunan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan pesisir yang tidak bersandar pada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan;

(b) Membentuk forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah untuk menyepakati penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaat sumberdaya perikanan lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah dan disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara pandang yang sama ;

(c) Melakukan identifikasi seluruh pranata yang dimiliki oleh masyarakat nelayan/pesisir untuk selanjutnya memilih pranata-pranata yang bisa didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan ;

(d) Mengembangkan penguatan kedudukan dan fungsi pranata lokal serta

mengembangkan pranata-pranata baru sesuai dengan kebutuhan aktual sebagai sarana dalam pengelolaan sumberdaya lokal ; dan

(e) Penguatan organisasi masyarakat nelayan dan jaringan kerjasamanya, yang diperlukan terutama untuk menghubungkan masyarakat lokal dengan masyarakat luar.

Selanjutnya Fattah (2002) mengemukakan dua hal dalam kaitan meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga masyrakat pesisir (nelayan) yaitu : (1) Pemenuhan kebutuhan informasi, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan

peningkatan usahanya. Kebutuhan ini sebenarnya berhubungan erat dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia masyarakat pesisir (nelayan), yaitu

dengan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap hal-hal yang berhubungan dengan usahanya, misalnya kondisi laut dan pesisir pantai, kondisi iklim, jenis alat tangkap yang cocok, cara penggunaan alat tangkap secara benar, jenis hasil laut yang diminati konsumen, cara penanganan pasca panen, kondisi harga, cara memperoleh kredit usaha atau bantuan yang disediakan pemerintah atau lembaga kredit lainnya ; dan

(33)

16

mendukung perkembangan usahanya. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan ketersediaan fasilitas produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir (nelayan) untuk mulai atau mengembangkan usahanya, seperti : fasilitas penghubung, fasilitas pemasaran produksi dan faktor-faktor produksi, fasilitas kredit yang mudah dan murah, fasilitas peralatan penanganan pasca produksi, dan penyediaan sarana dan prasarana usaha.

2.6. Perairan

2.6.1. Pencemaran Perairan

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.51/MENKLH/I/2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa), b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Soedharma dkk, 2005 ).

(34)

17

2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut

Kualitas suatu perairan pantai sangat ditentukan oleh aktifitas manusia dan alam dari wilayah di sekitarnya. Bahan-bahan pencemar masuk ke perairan pantai selalu mengikuti arus pasang surut bolak-balik yang terjadi dua kali sehari. Bahan-bahan ini seolah-olah terperangkap dalam suatu jarak tertentu di perairan pantai dan terakumulasi, yang dapat mengakibatkan terlampauinya daya pulih diri (self purification) perairan pantai. Apabila hal ini terjadi, maka terjadinya penurunan kualitas perairan, karena penggunaan suatu badan air harus sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi suatu peruntukan. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain, dimilikinya ukuran-ukuran minimum bagi senyawa-senyawa yang membahayakan (Soedharma et al, 2005 ).

Kualitas air perlu dijaga dengan mengadakan pemantauan secara intensif. Untuk dapat mengetahui kualitas air laut yang baik, maka perlu dilakukan Program Kali Bersih (PROKASIH) secara berkala, sehingga kualitas perairan dapat dimonitor setiap saat,agar tidak menimbulkan dampak pada sistem ekologi, ekonomi dan sosial.

Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (Kepmen RI KLH No. 02 tahun 1998). Tujuan dari pengembangan baku mutu air laut adalah melindungi laut dari berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran melalui kajian baku mutu air laut sehingga dapat diterapkan dalam upaya pemantauan serta penegakan hukum.

(35)

18

2. 7. Mangrove

2.7.1. Definisi Mangrove

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Adapun menurut Aksornkoae dalam Nasihin (2007), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Macnae dalam Snedaker (1974) menyarankan agar kata “Mangrove” digunakan untuk satuan pohon dan semak sedangkan kata “mangal” berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Meskipun demikian, FAO (1994) melihat bahwa konteksnya biasanya jelas apa yang dimaksud dengan pohon atau hutan mangrove.

(36)

19

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.

2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia

Iklim Indonesia secara ekologi cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove dan hutan mangrove. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun terdapat variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha (Dehut, 2004).

Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 seluas 3.765.250 ha, total luas areal berhutan mangrove berkurang sekitar 1,3 % dalam kurun waktu 6 tahun (1993 sampai 1999). Angka penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu antara tahun 1993 – 1999 ini jauh lebih kecil dibandingkan dalam kurun waktu 1982 – 1993. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1996) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun (Dephut, dll, 2004).

2.7.3. Fungsi Mangrove

Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi-misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam (Subing, 1995).

(37)

20

berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya seperti diuraikan di atas keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.

2.8. Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi keijaksanaan penataan, pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup adalah agar manusia hidup lebih nyaman, sehat, tenteram dan bebas beraktivitas. Hal serupa juga dikemukakan oleh Sudarmadji (2002), bahwa dengan melakukan konservasi akan dapat mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia.

Sumberdaya alam sering dieksploitasi secara berlebihan, sehingga muncul ketidak seimbangan lingkungan. Salim dalam Handono (2009) mengatakan bahwa hal yang dapat menggangu keseimbangan lingkungan hidup adalah: (1) perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia, dan (2) adanya pertambahan jumlah penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran maka pertambahan relatif tidak mengganggu keseimbangan lingkungan.

(38)

21

berkelanjutan merupakan suatu pandangan, dalam arti pandangan terhadap lingkungan yang merupakan suatu usaha tentang pendayagunaan lingkungan dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga dapat menunjang prinsip keadilan antar generasi sekarang dan generasi masa datang. Selain itu Soemarwoto dalam Handono (2009) juga mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahnya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Menurut Susilo dalam Handono (2009) mengemukakan laju pembangunan harus dikendalikan sebab jika tidak, pembangunan tidak lagi sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun justru memproduksi kerusakan-kerusakan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

2.9. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade dalam Dunn, 2003). Menurut Anderson, kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan (Winarno dalam Tangkilisan, 2005)

Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, yaitu kebijakan pemerintah tidaklah mudah, banyak faktor berpengaruh terhadap proses pembuatannya. Proses pembentukan kebijakan pemerintah yang rumit dan sulit harus diantisipasikan sehingga akan mudah dan berhasil saat diimplementasikan (Tangkilisan, 2004).

(39)

22

merumuskannya. Dalam perumusan kebijakan pemerintah, yaitu kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan prospektif. Selanjutnya analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2003). Davis et al. (1993) mengatakan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (singel decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetapi bagian dari proses antar hubungan, sehingga kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran.

Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 1).

(40)

23

PELAKU KEBIJAKAN

LINGKUNGAN KEBIJAKAN

[image:40.612.127.501.111.236.2]

KEBIJAKAN PUBLIK

Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan (Dyen dalam Dunn, 2003)

Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan didalam berbagai bidang, termasuk lingkungan hidup.

Definisi dari masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.

(41)

24

(42)

25

Sistem informasi

Formulasi kebijakan

(Perundang-undangan dan peraturan Penetapan tujuan-tujuan secara detai

Menetapkan metode yang tepat

Membentuk oerganisasi/institusi yang tepat

Operasional rutin Pelaksanaan rencana

Analisis hasil

[image:42.612.109.501.115.471.2]

(Uji berdasarkan sasaran yang dicapai)

Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Ress, 1990)

Pemilihan dalam pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah :

1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan lihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat. 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos

(43)

26

3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.

4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat. 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab

permasalahan tertentu dalam masyarakat.

6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.

2.10. Analisis AHP

Untuk mendapatkan skenario optimal dalam pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke maka digunakan pendekatan AHP. Analisis hirarki proses (AHP) merupakan metoda yang memodelkan permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial. Pada dasarnya, AHP ini didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melaui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Saaty dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa Proses Hirarki Analitik adalah model luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan.

(44)

27

(45)
[image:45.612.92.514.139.684.2]

28

Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP

Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 kebalikan

ƒ Kedua elemen sama pentingnya

ƒ Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu jelas lebih penting

ƒ Penting dari pada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen yang lain

ƒ Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang

berdekatan

ƒ Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

ƒ Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan

ƒ Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya

ƒ Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya

ƒ Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya

ƒ Satu elem dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

ƒ Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini telah dilakukan di Muara Angke, Jakarta Utara. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Waktu penelitian dari bulan Mei sampai Juli 2009.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode survey, yaitu metode yang bertujuan untuk meminta tanggapan responden. Beberapa pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah diskusi dan wawancara dengan panduan kuisioner serta pengamatan langsung terhadap kegiatan nelayan di Muara Angke. Penentuan responden dipilih secara sengaja (purposive sampling), pengumpulan data berdasarkan pertimbangan sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian (Soehartono, 1999). Responden terdiri dari stakeholder yang mengetahui permasalahan dan kondisi nelayan Muara Angke dari berbagai lembaga/instansi terkait, swasta, LSM dan masyarakat sekitar yang berfropesi sebagai nelayan. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) bahwa pengambilan responden masyarakat harus yang mempunyai mata pencaharian dan beraktifitas di sekitar wilayah yang dimaksud selama minimal 1 tahun. Rincian pengambilan jumlah responden tersebut dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 3. Pengambilan jumlah responden

No Sample Jumlah (orang)

1 2 3 4 5

Dinas Perikanan Dan Peternakan Jakarta Utara Pengusaha/Swasta

Perguruan Tinggi

Organisasi Non Pemerintah (LSM) Masyarakat di Muara Angke

2 2 2 2 30

(47)

30

3.3. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer kondisi eksisting dengan melihat langsung keadaan di lapangan. Data primer kebijakan di peroleh dari kuisioner terhadap para stakeholder yang terlibat langsung terhadap pemanfaatan kawasan Muara Angke.

Pengumpulan data sekunder melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi pemerintah dan swasta, seperti kantor BPLHD DKI Jakarta Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta Utara, UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT. PKPP& PPI) dan lain-lain, data dari hasil penelitian sebelumnya, hasil studi pustaka, berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4. Tahapan Penelitian

3.4.1. Tahap Pengumpulan Data

• Mengumpulkan data sekunder melalui isntansi pemerintah terkait dengan, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, modal, sarana dan prasarana, kesehatan, industri, keterampilan yang pernah diberikan, etnis dan kualitas air serta tingkat kerusakan mangrove.

• Melakukan wawancara, diskusi dengan menggunakan panduan kuisioner terhadap pelaku utama yang dapat mewakili pihak yang berkepentingan (stakeholder), sehingga diperoleh data primer.

3.5. Analisis Data

(48)

31

process (AHP) untuk menentukan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan.

3.5.1. Analisis Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Analisis sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat didasarkan atas kuisioner, data dikumpulkan dan disederhanakan pencatatannya dengan tabulasi selanjutnya data tersebut dianalisis. Data kuantitatif akan dianalisis dengan analisis parsial (analisis tabel dan analisis R/C) (Soekartawi, 2002). Pada dasarnya analisis kuantitatif lebih banyak bersifat menjelaskan fenomena yang muncul pada analisa kualitatif atau mungkin sebaliknya.

Analisi R/C

R/C adalah singkatan dari return cost ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :

a = R/C R = Py.Y

C = FC+VC

a = { (Py.Y)/(FC+VC) }

ket:

R = penerimaan C = biaya Py = harga output Y = output

FC = biaya tetap (fixed cost)

VC = biaya variabel (variable cost)s

3.5.2. Analisis Kualitas Air

(49)

32

3.5.3. Analisis Kerusakan Mangrove

Analisis kerusakan mangrove dilakukan secara deskriptif, menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari dinas/instansi terkait.

3.5.4. Analisis Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Berwawasan Lingkungan

Dilakukan perumusan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan Muara Angke Jakarta Utara dengan menggunakan metode AHP. Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun skala pengukuran dalam bentuk indeks, skoring atau nilai numerik tertentu.

Ha-hal yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pada pendekatan AHP meliputi :

a) Identifikasi sistem, bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan.

b) Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.

c) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambilan keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen di bandingkan dengan elemen lainnya.

d) Menghitung matriks pendapat individu e) Menghitung pendapat gabungan f) Pengolahan vertikal

g) Revisi pendapat

(50)

33

(51)

34

Pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke

Tingkat 1:

Fokus

Tingkat 2:

Perguruan Tinggi

DKP LSM Swasta Nelayan

Stakeholders E k o E k m E k o S o s E k m E k m E k o E k m E k m S o s S o s E k o E k o S o s S o s Tingkat 3: Aspek - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - M - Ka - P - Pb - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka

Tingkat 4: Ekowisat

a Nelayan

tangkap dimoderenisa

sikan

[image:51.792.51.737.79.372.2]

Alternatif Budidaya ikan hias Peningkatan nilai tambah Pemandu wisata

Gambar 4. . Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan

Ket :

- Eko = Ekologi, - Sos = Sosial, - Ekm = Ekonomi

- M = Musim, - Ka = Kualitas air, - P = Pendapatan, - Pb = Peluang bekerja,

(52)

IV. KEADAAN UMUM MUARA ANGKE

4.1. Sejarah perkembangan perikanan

Keberadaan Muara Angke sebagai tempat pelelangan ikan sudah ada sejak dulu dimulai dari TPI Marunda, TPI Cilincing, TPI Kalibaru Timur, TPI Kalibaru Barat, TPI Bintang Mas, TPI Sunda Kelapa, TPI Muara Karang, TPI Kamal Muara. Pada tahun 1977 dirubah menjadi Muara Angke dengan skala tradisional dan Muara Baru dengan skala industri. Pada tahun 1998 ditambah lagi TPI Cilincing, TPI Kalibaru, TPI Kamal Muara.

4.2. Karakteristik

4.2.1. Letak Geografis dan Administratif

Kawasan Muara Angke terletak di bagian utara sebelah barat Propinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara. Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 771.9 ha.

Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah : - Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke - Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat - Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke - Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

(53)

36

4.2.2. Geologi dan Topografi

Kawasan Muara Angke mempunyai geomorfologi sebagaimana umumnya daerah-daerah pantai sepanjang pantai DKI Jakarta yakni sangat dipengaruhi oleh hasil endapan sungai-sungai yang mengalir di wilayah tersebut, endapan-endapan tersebut umumnya membentuk endapan alluvial pantai dengan permukaan tanah datar dan subur karena dipengaruhi endapan sungai yang mengandung sedimen dan didalamnya mengandung bahan-bahan organik namun tekstur tanah lunak/tidak solid, sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi. Kawasan Muara Angke memiliki kontur permukaan tanah datar, ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 1 meter, kondisi air permukaan terdiri dari payau, kolam tambak, rawa-rawa, Kali Angke dan laut.

4.2.3. Hidrologi

Kawasan Muara Angke merupakan delta yang diapit oleh 2 anak sungai yaitu Kali Angke dan Kali Adem, kondisi airnya tidak baik karena banyak polutan yang mencemari sungai tersebut sebagaimana kebanyakan sungai-sungai yang berada di wilayah DKI Jakarta, namun demikian Kali Adem dan Kali Angke masih banyak digunakan oleh sebagaian masyarakat Muara Angke untuk aktivitas sehari-hari. 4.2.4. Hidrooceonografi

Pasang surut yang terjadi di pangkalan pendaratan ikan Muara Angke mengikuti pola pasang surut Perairan Teluk Jakarta yakni mempunyai sifat harian tunggal yaitu terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari. Kisaran terbesar antara surut tertinggi dan surut terendah adalah 1,2 m ( Dinas Hidro Oseanografi TNI AL, 1998).

4.2.5. Klimatologi

(54)

37

tahun 2000 mencapai 1.913,8 mm, suhu udara di Muara Angke cukup tinggi suhu maksimum udara berkisar 31,40C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 25,40C pada malam hari, dengan kelembaban rata-rata 7 knots per jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah sesuai musim pada setiap tahunnya.

4.3. Kondisi Mangrove

Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove (bakau) Tegal Alur - Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan Kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu Nomor. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981.

4.3.1. Hutan Lindung Angke Kapuk

Jenis pohon yang mendominasi Hutan Lindung Angke Kapuk adalah api-api (Avicennia marina) yang tumbuh secara alami, selain itu terdapat Rhizophora mucronata yang segaja ditanam oleh manusia. Jenis lain yang tumbuh di hutan lindung tersebut dalam jumlah kecil dan tersebar adalah Excoecaria agallocha (buta-buta), Thespesia populnea (waru laut), Acacia auriculiformis (akasia) dan Leucaena glauca (lamtorogung) jenis akasia dan lamtorogung merupakan pohon tanaman (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Fahutan IPB, 1996).

(55)

38

4.3.2. Suaka Margasatwa Muara Angke

Jenis pohon yang terdapat di Suaka Margasatwa Muara Angke antara lain jenis Sonneratia alba (± 100 pohon), Avicennia marina (± 10 pohon), Excoecaria agallocha (± 5 pohon) dan Rhizophora mucronata. Jenis Rhizophora mucranata terdapat di dekat muara (berbatasan dengan hutan lindung dengan jumlah yang cukup banyak, namun banyak yang kering atau mati. Pohon-pohon yang umumnya terdapat di bagian barat, disekitar saluran air yang memanjang dari Selatan ke Utara. Pohon bakau, api-api dan bakau mempunyai diameter batang 5 – 30 cm, tinggi 4 – 15 m, sedangkan waru laut lebih kecil yaitu berdiameter 3 –12 cm dan tinggi 3 – 7 m.

Di bagian tengah sampai selatan dari areal tersebut di dominasi oleh enceng gondok (Eichornia crassipes) yang tumbuh murni, Derris heterophylla (Ki tower) dan gelagah (Sacharum spontaneum). Gelagah terutama mendominasi di bagian timur. Di bagian Tenggara didominasi oleh Mimosa pigra. Dibagian Barat berdekatan dengan jalur pedada (Sonneratia alba) terdapat nipah (Nypa fructicans) yang cukup banyak pada kelompok vegetasi tersebut banyak ditemukan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Kegiatan penanaman untuk merehabilitasi kawasan ini telah banyak dilakukan baik oleh instansi pemerintah, LSM (LPP Mangrove) dan swasta. Kegiatan ini telah banyak merubah kondisi vegetasi yang terdapat di kawasan ini. Jenis yang banyak ditanam di dalam kawasan ini adalah Sonneratia caseolaris.

4.4. Fasilitas dan Kegiatan di Muara Angke 4.4.1. Bangunan Tempat Tinggal

(56)

39

4.4.2. Kawasan Perikanan

[image:56.612.82.511.246.703.2]

Untuk menunjang operasional kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan telah dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas penunjang seperti yang terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Fasilitas di Pelabuhan Muara Angke

No. Jenis Fasilitas Kapasitas Keterangan I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. II. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. III. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. FASILITAS POKOK Lahan Dermaga

Tanggung pemecah gelombang Kolam Pelabuhan

Tiang pengikat kapal / bholar Fender kayu

FASILITAS FUNGSIONAL TPI dan kantor lama

TPI dan kantor baru Tempat pengepakan ikan Kios gudang kantor Pasar grosir Pasar pengecer

Kios ikan bakar (Pujaseri)

Work shop

Mirasih

Gudang alat-alat perikanan Kisdam / kolam penampungan Bengkel alat kapal tradisional

Cold storage

SPBU dwi fungsi

Dock tradisional

INSTANSI

DAN KELEMBAGAAN. UPT Dinas Perhubungan Syahbandar

KPLP HNSI

Koperasi Perikanan Pos Polisi KP3 Bank DKI Terminal Bis Pasar Inpres Pos Kesehatan 65 Ha 403 m’ 1.700 m’ 63.993 m2

(57)

40

Sumber : UPT PKPI Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta 2001

4.4.3. Fasilitas Tempat Pendaratan Ikan (TPI)

[image:57.612.111.510.265.507.2]

Kegiatan di pendaratan ikan terdiri atas kegiatan untuk memuat, mendaratkan, menyimpan, melelang dan pengawetan ikan. Agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar maka dibutuhkan fasilitas penunjang seperti yang tercantum pada Tabel 5

Tabel 5. Fasilitas yang ada di TPI Muara Angke

No. Jenis Fasilitas Volume

1 Jetty kayu 2.250 m3

2 Turap 600 m3

3 Alur Pelabuhan 850

4 Fender 100 m2

5 Tiang pengikat kapal 1.000 m3

6 Kantor UPT PKPI 63.993 m2

7 Jalan 450 m2

8 Tangki air 88 buah2

9 Saluran air 1.420 m2

10 Instalasi listrik 48 m2

11 Kantor UPT PKPI 200 m2

12 Jalan/pengkapalan 2.946 m2

13 SPBU 1 unit

14 Tangki air 2 unit

15 Saluran air 1.753 m2

16 Instalasi listrik 1

Sumber : UPT PKPI Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta 2001

4.4.4. Fasilitas Perbaikan Kapal / Docking

(58)

41

dilengkapi dengan tempat perbaikan alat penangkapan, ruang perbaikan mesin kapal, tempat persediaan suku cadang, ruang pelatihan dan kamar tidur untuk peserta pelatihan nelayan.

Tabel 6. Fasilitas docking kapal di Muara Angke

No Nama Docking Kapal Unit Luas (m2)

1 UPMB (Unit Penyuluhan Modernisasi Bertahap) 2 4500

2 Fan Marine Shipyard 1 4500

3 PT. Kara Teknik Utama 2 4500

Sumber: UPT-UPBM Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, 2001

4.4.5. Fasilitas Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional

Fasilitas untuk kegiatan pengolahan ikan mempunyai luas 5 ha, tempat ini berupa bangunan untuk tempat istirahat dan unit pengolahan yang berukuran 5 x 20 m sebanyak 196 unit. Tempat pengolahan ikan tersebut, selain untuk kegiatan mengolah ikan juga berfungsi sebagai tempat tinggal pekerja, gudang dan penjualan ikan. Tempat pengolahan ikan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang kegiatan. PHPT Muara Angke mempunyai lahan seluas 5 ha. Di atas lahan tersebut dibangun 203 unit tempat pengolahan ikan. Setiap unit terdiri dari rumah kerja berl

Gambar

Table 1.  Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan
Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan (Dyen dalam Dunn, 2003)
Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Ress, 1990)
Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa terbangunnya resiliensi masyarakat nelayan Kamal Muara dipengaruhi oleh serangkaian mekanisme dalam mendapatkan, mengendalikan dan

[r]

Judul Kajian Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Desa Teluk Pambang.. Kecamatan Bantan

Pengembangan desa wisata daerah pesisir dengan pemberdayaan masyarakat nelayan di Kawasan Pesisir Kabupaten Badung akan memberikan dampak yang positif terhadap sosial

Program pengabdian kepada masyarakat dengan Program Pengembangan Produk Unggulan Daerah ini telah digagas untuk pemberdayaan masyarakat nelayan melibatkan 2 kelompok mitra

Hasil kajian menunjukkan bahwa dalam upaya meningkatkan keberdayaan diri mereka, masyarakat nelayan Jepara melalui KUB Berkah Samudera melakukan tiga tahapan pemberdayaan:

Tuntutan ekonomi yang terus mendesak keluarga nelayan di Muara Angke khususnya dengan pendapatan suami yang tidak menentu membuat wanita nelayan memiliki

Pajarakan, Kabupaten Probolinggo), dalam skripsi ini mengupas tentang bagaimana kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dinas