• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia"

Copied!
514
0
0

Teks penuh

(1)

KAYU PRIMER INDONESIA

DISERTASI

BAMBANG SUKMANANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya berjudul :

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU

PRIMER INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan

pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan

rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada

program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang

digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

(3)

BAMBANG SUKMANANTO. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Kinerja Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, BUNASOR SANIM dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Tujuan penelitian adalah untuk (1) mengindentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor , (2) mengevaluasi dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja ekspor periode tahun 1980-2002, dan (3) meramalkan dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 2007-2010.

Alternatif kebijakan disimulasi dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari 25 persamaan struktural, 3 persamaan teknis produksi dan 11 persamaan identitas. Metode Two Stage Least Squares (2SLS) digunakan untuk menduga parameter persamaan struktural.

Penelitian menganalisis 12 skenario peramalan yang terdiri dari 8 skenario dengan instrumen tunggal dan 4 skenario dengan kombinasi beberapa instrumen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario ke 12 adalah yang terbaik untuk peningkatan kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer yang merupakan kombinasi instrumen kebijakan: (1) kenaikan provisi sumber daya hutan, (2) kenaikan dana reboisasi, (3) penurunan suku bunga, (4) penghapusan larangan ekspor kayu bulat, (5) kenaikan upah tenaga kerja, dan (6) kenaikan penawaran kayu bulat domestik.

Skenario ke 12 dapat disarankan sebagai suatu kebijakan yang sesuai untuk peningkatan devisa dan juga merupakan representasi dari: (1) kepentingan pemerintah melalui kenaikan provisi sumber daya hutan, (2) kepentingan pengusaha melalui penurunan suku bunga bank dan penghapusan larangan ekspor kayu bulat, (3) kepentingan tenaga kerja melalui peningkatan upah, dan (4) kepentingan lingkungan melalui kenaikan dana reboisasi.

(4)

ABSTRACT

BAMBANG SUKMANANTO. The Impact of Trade Policy on Export Performance of the Indonesian Primary Wood Products Industry. (BONAR M. SINAGA as Chairman, BUNASOR SANIM and HARIANTO as Members of the Advisory Committee).

The objectives of this study are: (1) to identify the factors which influence the export performance, (2) to evaluate the impacts of log trade policy on export performance for period 1980-2002, and (3) to forecast the impact of log trade policy on export performance of primary wood products industry for period 2007-2010.

The policy alternatives are simulated with a simultaneous equations econometric model consisting 25 structural equations, 3 production technical equations and 11 identity equations. The Two Stage Least Squares (2 SLS) method was used to estimate the parameters of the structural equations.

The study analyse 12 forecast simulation scenarios which 8 scenarios with single instrument and 4 scenarios with combination instruments. The 12th scenario which was the combination scenarios consists of 6 policy instruments which were: (1) increasing provision of forest resource, (2) increasing reforestation fund, (3) decreasing interest rate, (4) the abolishment of log export ban, (5) increasing the wage of workers, and (6) increasing domestic log supply. The 12th scenario was the best in term of export performance of primary wood products industry.

The 12th scenario is recommended as an appropriate policy to increase the performance of export earning because there were also representing the: (1) government interest in term of increasing the provision of forest resource, (2) private sector interest in term of decreasing of interest rate and no log export ban, (3) workers interest in term of increasing the wage, (4) environment interest in term of increasing the reforestation fund.

(5)

Judul Disertasi : DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP

KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI

PENGOLAHAN KAYU PRIMER INDONESIA Nama Mahasiswa: BAMBANG SUKMANANTO

Nomor Pokok : A.5460141114

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Dr.Ir. Harianto, MS Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, MSc Anggota Anggota

Mengetahui ,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(7)

BAMBANG SUKMANANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 4 Maret 1959 dari ayah Maris

Atmosumarto (Almarhum) dan Ibu Soekiyah (Almarhumah). Penulis merupakan

putra kesepuluh dari lima belas bersaudara.

Tahun 1977 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Purwokerto. Pada tahun 1978

melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada

tahun 1983. Pada tahun 1990 penulis berkesempatan meneruskan studi Pascasarjana

di Ateneo de Manila University, pada studi Social Forestry program Social

Development dan selesai S2 pada tahun 1992. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan

studi program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan

biaya Mandiri. Penulis bekerja di Departemen Kehutanan sejak tahun 1983 dan

sekarang sebagai Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di

Cibodas, Cipanas.

Penulis menikah dengan Dra. Diah Irmasari, M.Psi pada tahun 1989 dan

dikarunia tiga orang putri, yaitu : Widi Laras Sari, Dwiarti Laras Putri dan Dara

Laras Santi. Istri bekerja sebagai psikolog di Lembaga Manajeman, Universitas

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Penyusunan disertasi ini

adalah merupakan salah syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yth:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing, yang

telah secara intensif membimbing penulis mulai dari perumusan masalah,

penentuan model analisis, hingga penyajian hasil penelitian.

2. Dr. Ir. Harianto, MS dan Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, MSc selaku anggota

komisi pembimbing, yang telah memberikan kritik yang sangat konstruktif

dan arahan yang memperluas wawasan penulis.

3. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS (Dekan Sekolah Pascasarjana IPB),

penulis mengucapkan terima kasih atas arahannya dalam penyelesaian studi

penulis di Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak Ir. M. Arman Mallolongan, M.M Direktur Jenderal PHKA dan Ir. Adi

Susmianto, M.Sc Sekretaris Ditjen PHKA yang telah memberikan ijin dan

kemudahan kepada penulis untuk meneruskan studi S3 di IPB.

5. Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Dr. Rusman Heriawan

teman satu kelas yang telah memberikan teladan, semangat dan dorongan

(10)

ix

6. Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc dan Dr. Ir Harniati, M.Sc teman satu kelas yang

selalu mengingatkan dan memberi dorongan kepada penulis untuk selalu

bersemangat dan tidak berputus asa dalam penyelesaian disertasi.

7. Rekan-rekan mahasiswa Progran Studi EPN Khusus dan EPN Reguler dari

berbagai angkatan dan khususnya kepada Dr. Rasidin Karo-karo yang telah

membantu dalam pengolahan data.

8. Staf Bagian Kepegawaian dan Perlengkapan Ditjen PHKA atas dukungan dan

pengertiannya selama penulis menyelesaikan disertasi ini, terutama kepada

Sdr. Medi Haerullah, A.Md dan Siswadi, S.Hut yang telah membantu

pengetikan disertasi ini.

9. Istri tercinta Dra. Diah Irmasari, M.Psi dan anak-anak tersayang Widi Laras

Sari, Dwiarti Laras Putri dan Dara Laras Santi atas dorongan dan

pengorbanannya selama penulis menyelesaikan studi dan juga kepada ibu dan

bapak mertua atas doanya yang tiada henti.

10.Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah membantu

penulis baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaiannya studi.

Kepada semuanya, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik

dan bantuan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa dengan segala

keterbatasan yang kami miliki maka disertasi ini belumlah sempurna. O leh karena

itu segala kritik, masukan dan saran dari segala pihak sangat diharapkan penulis

untuk perbaikan disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

(11)

x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN …………... 1

1.1. Latar Belakang ……...…… 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 14

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1. Tinjauan Umum Kebijakan Perdagangan ... 17

2.2. Kebijakan Kehutanan ... 18

2.3. Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi ... 24

2.4. Beberapa Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Perdagangan dan Produk Industri Kayu Primer ... 26 2.5. Kinerja Ekspor Produk Kayu Olahan ... 28

2.6. Pasar dan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer ... 29

2.7. Pasar Produk Industri Kayu O lahan Indonesia ... 33

2.8. Batasan Pengertian tentang Industri Pengolahan Kayu Primer ... 37

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEO RITIS ... 39

3.1. Teori Perdagangan International ... 39

3.1.1. Dampak Pembatasan Ekspor ... 43

3.1.2. Pemberlakuan Pajak Ekspor ... 46

3.2. Suku Bunga ... 50

3.3. Perubahan Nilai Tukar... 51

3.4. Upah Tenaga Kerja ... 52

(12)

xi

3.6. Produksi ... 56

3.7. Perdagangan ... 58

3.8. Persamaan Ekspor ... 59

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 61

4.1. Model Operasional ... 61

4.1.1. Kayu Bulat ... 62

4.1.2. Kayu Gergajian ... 66

4.1.3. Kayu Lapis ... 70

4.1.4. Pulp ... 74

4.2. Identifikasi Model ... 4.3. Metode Pendugaan Model ... 4.4. Validasi Model ... 4.5. Simulasi Kebijakan ... 78 79 80 82 4.6 Sumber Data ... 85

V. HASIL PENDUGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN ... 86

5.1 Hasil Pendugaan Model ...

5.2 Kayu Bulat ...

5.2.1. Produksi Kayu Bulat ...

5.2.2. Ekspor Kayu Bulat Indonesia ...

5.2.3. Harga Kayu Bulat Domestik ...

5.2.4. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian ...

5.2.5. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Lapis ...

5.2.6. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pulp ...

5.3 Kayu Gergajian ...

5.3.1. Ekspor Kayu Gergajian ke C ina ...

5.3.2. Ekspor Kayu Gergajian ke Jepang ...

5.3.3. Ekspor Kayu Gergajian ke Arab Saudi ...

5.3.4. Permintaan Kayu Gergajian Domestik ...

5.3.5. Harga Kayu Gergajian Dunia ...

5.3.6. Harga Kayu Gergajian Domestik ...

(13)

xii

5.4.2. Ekspor Kayu Lapis ke C ina ...

5.4.3. Ekspor Kayu Lapis ke Jepang ...

5.4.4. Ekspor Kayu Lapis ke Korea Selatan ...

5.4.5. Permintaan Kayu Lapis Domestik ...

5.4.6. Permintaan Kayu Lapis Dunia ...

5.4.7. Harga Kayu Lapis Domestik ...

5.5 Pulp ...

5.5.1. Produksi Pulp Indonesia ...

5.5.2. Ekspor Pulp ke Cina ...

5.5.3. Ekspor Pulp ke Jepang ...

5.5.4. Ekspor Pulp ke Korea Selatan ...

5.5.5. Permintaan Pulp Domestik ...

5.5.6. Harga Pulp Domestik ...

106 107 108 110 111 111 113 113 113 116 117 118 120

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI PENGO LAHAN KAYU PRIMER TAHUN 1980 – 2002

...

122

6.1. Hasil Validasi Model ... 122

6.2. Dampak Alternatif Kebijakan Terhadap Kinerja Ekspor Produk

Industri Pengolahan Kayu Primer Tahun 1980-2002 ... 124 6.2.1. Kebijakan Provisi Sumber Daya Hutan Kayu Bulat

Indonesia ...

6.2.2. Kebijakan Pungutan Dana Reboisasi Kayu Bulat

Indonesia ...

6.2.3. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah ...

6.2.4. Kenaikan Suku Bunga sebesar 20 persen ...

6.2.5. Kenaikan Upah 10 persen ...

6.2.6. Penghapusan Larangan Ekspor Kayu Bulat...

(14)

xiii

VII. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN

TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI KAYU

PRIMER TAHUN 2007-2010 ...………... 141

7.1 Skenario 1: Kenaikan Provisi Sumber Daya Hutan ... 145

7.2. Skenario 2: Kenaikan Dana Reboisasi ... 148

7.3. Skenario 3: Penurunan Suku Bunga 5 persen ... 152

7.4. Skenario 4: Penghapusan Larangan Ekspor Kayu Bulat ... 154

7.5. Skenario 5: Kenaikkan Upah 10 persen ... 156

7.6. Skenario 6: K uota Produksi Kayu Bulat Turun 50 Persen ... 158

7.7. Skenario 7: K uota Ekspor Kayu Bulat Turun 50 Persen ... 159

7.8. Skenario 8: Penawaran Kayu Bulat Domestik Naik 50 Persen ... 160

7.9. Skenario 9: Kombinasi Skenario 1, 2, 3, 4 dan 5 ... 162

7.10. Skenario 10: Kombinasi Skenario 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 ... 166

7.11. Skenario 11: Kombinasi Skenario 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 ... 169

7.12. Skenario 12: Kombinasi Skenario 1, 2, 3, 4, 5 dan 8 ... 172

7.13. Ringkasan ... 175

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 180 8.1 Kesimpulan ………...……... 180

8.2. Implikasi Kebijakan ... 182

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 183

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN...

184

(15)

xiv

Nomor Halaman

1. Peran Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia terhadap

Perdagangan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Dunia ... 5

2. Studi Empiris Terdahulu Terkait dengan Penelitian Produk Kayu O lahan ... 30

3. Klasifikasi Industri Perkayuan Menurut KLUI ... 38

4. Analisis Dampak Pembatasan Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Pengekspor dan Pengimpor ... 45

5. Analisis Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Pengekspor dan Pengimpor ... 49

6. Hasil Pendugaan Parameter Produksi Kayu Bulat (QRINA) ... 88

7. Hasil Pendugaan Ekspor Kayu Bulat Indonesia (XRINA) ………... 90

8. Hasil Pendugaan Harga Kayu Bulat Domestik (PRINAR) ... 91

9. Harga Kayu Bulat Dunia (PRWORR) ... 93

10. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian (DRSINA) ... 93

11. Hasil Pendugaan Permintaan Kayu Bulat O leh Industri Kayu Lapis (DRLINA)... 95

12. Hasil Pendugaan Permintaan Kayu Bulat O leh Industri P ulp (DRPINA) ... 96

13. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Gergajian ke C ina (XSCIN) ... 99

14. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Gergajian ke Jepang JPN (XSJPN) ... 101

15. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Gergajian Ke Arab (XSARB) ... 102

16. Hasil Pendugaan Permintaan Kayu Gergajian Domestik (DSINA) ... 103

(16)

xv

18. Hasil Pendugaan Harga Kayu Gergajian Domestik (PSINAR) ... 105

19. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Lapis ke C ina XLCIN ... 107

20. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Lapis ke Jepang XLJPN ... 108

21. Hasil Pendugaan Ekpor Kayu Lapis ke Korea Selatan (XLKRA) ... 109

22. Hasil Pendugaan Permintaan Kayu Lapis Domestik (DLINA) ... 110

23. Hasil Pendugaan Harga Kayu Lapis Dunia (PLWORR) ... 111

24. Hasil Pendugaan Harga Kayu Lapis Domestik (PLINAR) ... 113

25. Hasil Pendugaan Ekspor Pulp ke C ina (XPCIN) ... 115

26. Hasil Pendugaan Ekspor Pulp ke Jepang (XPJPN) ... 117

27. Hasil Pendugaan Ekspor Pulp ke Korea Selatan (XPKRA) ... 118

28. Hasil Pendugaan Permintaan Pulp Domestik ... 120

29. Hasil Pendugaan Harga Pulp Domestik (PPINAR) ... 121

30. Kapasitas dan Produksi Industri Pulp dan Kertas ... 121

31. Hasil Pengujian Validasi Model ... 123

32. Produktivitas dan Gaji/Upah Tenaga Kerja Industri Perkayuan ... 135

33. Perubahan Devisa Hasil Simulasi Historis Model Poduk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia Tahun 1980-2002 ... 140

34. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2010 ..………... 141

(17)
(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Kebijakan Perdagangan Terkait Kehutanan ……….. 10

2. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara .………... 41

3. Dampak Pembatasan Ekspor ……….. 44

4. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor ... 47

5. Fungsi Investasi ………....………... 50

6. Diagram Model Ekonomi Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia………... 55a 7. Ekspor Kayu Gergajian Tahun 2003-2010 ... 143

8. Ekspor Kayu Lapis Tahun 2003-2010 ... 144

(19)

xvii

Nomor Halaman

1. Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia ... 189

2. Program Pendugaan Model Ekonometrika Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia ... 215

3. Hasil Pendugaan Parameter Model Ekonometrika Produk Industri

Pengolahan Kayu Primer Indonesia ... 216

4. Simulasi Historis Model Ekonometrika Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia Tahun 1980-2002 ... 233

5. Perubahan Devisa Hasil Simulasi Historis Model Ekonometrika Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia Tahun 1980- 2002 ... 237

6. Program Peramalan Eksogen Model Ekonometrika Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia ... 238

7. Program Simulasi Hasil Peramalan Model Ekonometrika Produk Industri

Pengolahan Kayu Primer Indonesia ... 238

8. Simulasi Peramalan Model Ekonometrika Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia Tahun 2007- 2010 ... 250

9. Perubahan Devisa Simulasi Peramalan Model Ekonometrika Produk Industri

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun

1998 rasio ekspor terhadap impor (X/M) dalam kelompok perdagangan non migas

meningkat dari sekitar 0.6 pada tahun 1973 menjadi 1.7. Hal tersebut

menunjukkan bahwa peranan migas di dalam ekspor total nasional makin kecil.

Sektor migas secara bertahap tidak bisa lagi menjadi sumber utama devisa negara.

Sektor industri yang berbasis resource base secara perlahan mulai menggantikan peranan sektor migas dalam perolehan devisa (Tambunan, 2002).

Penurunan peran ekspor migas terkait dengan adanya perubahan kebijakan

industrialisasi pada dekade 1980-an, yaitu dari substitusi impor ke orientasi

ekspor. Perubahan kebijakan tersebut juga berdampak pada perubahan struktur

ekspor yaitu makin besarnya kontribusi kelompok manufaktur terhadap nilai total

ekspor. Meskipun struktur ekspor Indonesia belum begitu baik tetapi

ketergantungan terhadap minyak dan gas sudah mulai berkurang secara signifikan.

Produk-produk industri dari kayu yang termasuk kelompok industri manufaktur

juga mengalami peningkatan peran yang cukup besar dalam perdagangan, baik

perdagangan luar negeri maupun domestik.

Perdagangan luar negeri (ekspor) merupakan masalah yang cukup vital

bagi pendapatan negara. Jika nilai ekspor negara lebih besar daripada nilai impor

maka negara akan mengalami surplus neraca perdagangan. Sebaliknya jika nilai

(21)

Berdasarkan data BPS menunjukkan total nilai ekspor-impor dengan migas

maupun tanpa migas mengalami peningkatan selama periode 1990-1997,

sedangkan tahun 1998 dan 1999 kinerja ekspor dan impor mengalami penurunan

drastis karena krisis ekonomi. Pada tahun 2000 kinerja ekspor dan impor tersebut

secara berlahan mengalami kenaikan.

Sejak Pelita I sampai dengan Pelita VI, subsektor kehutanan memiliki

peran yang cukup penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada tahun 1980-an Indonesia menyumbang sekitar 40 persen terhadap ekspor

kayu dunia, dengan negara tujuan ekspor utama ke Jepang, Taiwan, Korea,

Singapura dan China (Timotius, 2000). Ekspor kayu tersebut didominasi oleh

kayu bulat, namun dominasi ekspor kayu bulat berakhir pada tahun 1985 sejak

diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat dan mulai digantikan dengan

peningkatan ekspor produk hasil industri pengolahan kayu primer (kayu gergajian

dan kayu lapis pada akhir tahun 1980-an) dan peningkatan nilai ekspor pulp pada

tahun 1990-an. Ekspor pulp berkembang sangat pesat yaitu pada tahun 1993

tercatat nilai ekspor hanya mencapai US $ 45.75 juta sedangkan pada tahun 2002

telah mencapai US$ 706.80 juta atau tumbuh rata-rata 49.61 per tahun (Indonesia Pulp and Paper Association,IPPA 2003).

Dalam waktu empat tahun terakhir, nilai total ekspor produk industri kayu

berimbang antara produk industri kayu primer dan produk industri kayu lanjutan.

Total nilai ekspor produk industri kayu pada tahun 1998 tercatat US $ 7.219

milyar yang terdiri dari produk industri kayu primer berkisar 47 persen dan masih

didominasi oleh kayu lapis diikuti oleh pulp dan kayu gergajian, sedangkan 53

(22)

3

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada Mei

1980 melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri

Perindustrian dan Menteri Perdagangan). Larangan ekspor kayu bulat pada

awalnya diberlakukan secara bertahap, dan baru pada tahun 1985 diberlakukan

secara total. Sesudah krisis atas desakan IMF larangan dihentikan pada tahun

1998 tetapi diberlakukan kembali pada tahun 2001 sampai dengan saat ini. Pada

awalnya larangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk : (1) meningkatkan

pendapatan ekspor dari sektor kehutanan melalui peningkatan ekspor kayu olahan,

(2) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) meningkatkan nilai tambah produk

kayu bulat, dan (4) mendorong pembangunan ekonomi regional.

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali melalui Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts-II/2001 dan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 192/MPP/Kep/10/2001,

tertanggal 8 Oktober 2001. Tujuannya disebutkan antara lain untuk mencegah

dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku

penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan.

Subsektor kehutanan dan industri berbasis kehutanan memiliki kontribusi

yang rendah terhadap PDB, yaitu hanya berkontribusi sebesar 3.6 persen

(termasuk pulp dan kertas dengan 90 bahan baku dari kayu), meskipun subsektor

kehutanan mampu menampung tenaga kerja yang sangat besar terutama dari

industri kayu bulat, industri kayu olahan primer dan industri kayu olahan lanjutan

(23)

produsen dan pengekspor pulp terbesar keenam dunia, dengan volume produksi

sekitar 10 juta ton per tahun atau 4 produksi dunia (Ibnusantoso, 1997).

Produk hasil industri pengolahan kayu primer berupa kayu gergajian pada

awalnya merupakan produk industri pengolahan kayu hulu yang cukup dominan,

kemudian secara bertahap mulai digantikan oleh kayu lapis, kemudian pulp yang

nilai ekpornya selalu naik. Tetapi sejak adanya krisis ekonomi pada tahun 1997,

terjadi penurunan ekspor hasil industri pengolahan kayu primer. Kemudian secara

perlahan ekspor produk industri pengolahan kayu primer berfluktuasi, naik dan

turun sesuai dengan kondisi makroekonomi Indonesia. Penurunan kinerja ekspor

kayu lapis kecenderungannya konsisten baik volume maupun nilainya.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2004), penurunan ekspor produk

industri pengolahan kayu primer juga dipicu oleh penurunan pemanfaatan

kapasitas industri perkayuan dari rata-rata 66 pada tahun 1996 menjadi sekitar 45

pada tahun 2000.

Sejak tahun 1997 ekspor produk industri pengolahan kayu primer

Indonesia terutama kayu lapis cenderung menurun baik nilai maupun volume.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 ada sedikit perbaikan kinerja pada

ekspor produk pulp dan kayu gergajinan. Pulp berfluktuatif dan

kecenderungannya meningkat baik volume maupun nilainya demikian pula kayu

gergajian kecenderungannya menurun baik volume maupun nilainya. Kayu lapis

sebelumnya merupakan salah satu andalan ekspor produk industri pengolahan

kayu primer Indonesia dan mampu menguasai pasar kayu lapis dunia. Tetapi

dalam perkembangannya peran produk kayu lapis di dalam perdagangan

(24)

5

37.4 tertapi pada tahun 2005 menjadi 17.9. Demikian juga kayu gergajian dari

9.3 menajdi 6.7 . Teatepi pulp perannya mengalami kenaikan dari 7.1 pada tahun

2002 menjadi 12.2 pada tahun 2005.

Tabel 1. Peran Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia terhadap Perdagangan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Dunia

Pulp Unit 2002 2003 2004 2005

Dunia Juta US $ 12 123.0 7 326.2 7 735.7 7 965.8 1000 Ton 28 594.8 27 814.0 12 988.0 15 020.1 Indonesia Juta US$ 866.4 790.5 589.2 974.5 1000 Ton 2 187.7 2 374.6 1 677.6 2 633.7

% INA Thd Dunia Nilai 7.1 8.5 7.6 12.2

Volume 7.7 6.3 12.9 17.5

Kayu Lapis

Dunia Juta US $ 4 072.2 7 326.2 7 279.4 7 099.4 1000 Ton 6 614.6 8 339.8 7 934.1 7 568.9 Indonesia Juta US$ 1 522.1 1 235.1 1 178.5 1 274.4 1000 Ton 1 911.1 1 518.6 1 947.9 1 591.7 % INA Thd Dunia Nilai 37.4 16.9 16.2 17.9

Volume 28.9 18.2 24.9 21.0

Kayu Gergajian

Dunia Juta US $ 5 613.1 9 680.8 7 132.5 9 380.6 1000 Ton 13 844.3 5 240.6 5 715.7 4 455.9 Indonesia Juta US$ 523.4 465.0 637.6 628.7 1000 Ton 1 425.5 984.6 1 477.7 1 188.5

% INA Thd Dunia Nilai 9.3 4.8 8.9 6.7

Volume 10.3 18.8 25.9 26.7

Sumber : COMTRADE, 2007 (diolah)

Penurunan peran ekspor produk industri pengolahan kayu primer

utamanya kayu lapis dan kayu gergajian di pasar internasional berpengaruh

terhadap peran Indonesia dalam menentukan harga di pasar dunia, dan

melemahkan kekuatan lobby Indonesia di dalam menentukan kebijakan perdagangan internasional terhadap produk kayu lapis. Perubahan ini harus

diantisipasi secara seksama dalam rangka menjaga peran Indonesia dalam

(25)

industri perkayuan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dari sumber

bahan baku kayu tropis yang relatif lebih berlimpah dibanding negara lain. Potensi

bahan baku kayu bulat dari hutan alam masih mungkin untuk ditingkatkan melalui

program silvikultur intensif dan pembangunan hutan tanaman.

Kecenderungan kenaikan nilai ekspor produk kayu olahan terutama pulp

diharapkan akan terus terjadi, mungkin volume mengalami penurunan tetapi nilai

ekspor diharapkan terus naik. Kondisi ini sangat membantu pengembangan

industri pengolahan kayu primer baik dari sisi pendapatan devisa maupun dari sisi

lingkungan. Penghematan bahan baku akan memperpanjang umur tegakan kayu

yang akan dieksploitasi sehingga mengurangi luasan areal hutan yang akan

dieksploitasi. Di Indonesia peran kenaikan nilai ekspor pulp pada perdagangan

internasional makin besar karena selain harga internasional pulp yang membaik,

volume ekspor juga mengalami kenaikan. Hal ini akan mendorong kenaikan

investasi pembangunan hutan tanaman industri sehingga bahan baku pulp akan

lebih terjamin. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 162 tahun

2003 merencanakan percepatan pembangunan hutan tanaman industri dengan

target 5 juta hektar sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2007 realisasinya

sudah mencapai 3.4 juta hektar (Dephut, 2007). Sejak tahun 2007 sampai dengan

tahun 2016 Departemen Kehutanan Menetapkan Target untuk membangun 5.4

juta hektar hutan tanaman rakyat. Ketersediaan bahan baku yang cukup nantinya

diharapkan akan mendorong investasi pada industri pengolahan kayu primer

khususnya pulp.

Sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997, kondisi makroekonomi

(26)

7

perdagangan secara umum. Dalam upaya mencari alternatif kebijakan untuk

meningkatkan masa depan produk industri pengolahan kayu primer, diperlukan

antisipasi terhadap terjadinya perubahan kondisi makro dan kemungkinan

perubahan kebijakan di bidang perdagangan dan kehutanan. Berdasarkan hal

tersebut maka diperlukan penelitian yang dapat mengindentifikasi faktor- faktor

yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer dan

mampu mengevaluasi kebijakan-kebijakan periode historis yang nantinya dapat

meramalkan alternatif kebijakan masa depan.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan perdagangan dapat berdampak kepada semua subsektor baik

sektor industri, perdagangan, investasi, pertanian, kehutanan dan sebagainya.

Subsektor kehutanan memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu

sumber penerimaan devisa ekonomi Indonesia. Subsektor kehutanan merupakan

suatu sektor yang memiliki banyak persinggungan dengan berbagai sektor lain.

Subsektor ini terkait dengan berbagai kebijakan perdagangan baik dalam maupun

luar negeri. Melalui kebijakan perdagangan yang tepat diharapkan dapat

mendorong kinerja ekspor produk industri kehutanan menjadi lebih baik.

Kemampuan produk kehutanan Indonesia bersaing dengan produk

kehutanan sejenis dari negara- negara pesaing masih rendah. Rendahnya daya

saing ekspor produk industri kehutanan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

antara lain teknologi, kualitas produksi ataupun kebijakan perdagangan yang

belum menunjang kinerja perdagangan produk industri kehutanan.

Permasalahan perdagangan yang menjadi perhatian para penentu kebijakan

(27)

Indonesia. Turunnya surplus neraca perdagangan terutama disumbang oleh

kenaikan yang signifikan terhadap impor barang konsumsi dan bahan baku

penolong yang cukup besar, selain karena adanya kenaikan impor barang modal.

Penurunan surplus neraca perdagangan mempengaruhi posisi neraca transaksi

berjalan Indonesia. Dalam masa krisis terlihat bahwa industri manufaktur yang

tidak berbasis pada sumber daya lokal mengalami kolaps. Industri kehutanan

masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam

persentase yang kecil, sedangkan sektor industri manufaktur yang kandungan

lokalnya sedikit, mengalami laju pertumbuhan yang negatif.

Penerapan kebijakan ekonomi yang kondusif akan berdampak positif

terhadap kinerja perdagangan secara keseluruhan. Produk kayu olahan yang

merupakan salah satu komoditi ekspor yang diandalkan, juga sangat dipengaruhi

oleh kebijakan ekonomi tersebut.

Permasalahan perdagangan ekspor produk industri pengolahan kayu

primer adalah sangat kompleks tetapi secara garis besar terbagi pada dua hal

yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berkaitan dengan

komitmen perdagangan dunia dan hambatan-hambatan non tarrif barriers yang diciptakan negara lain. Non tarrif barriers bisa dengan alasan HAM, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan kebijakan perdagangan

dunia seperti yang telah diatur oleh World Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasinya melalui UU No.7 tahun 1994. Pada tingkat regional, Indonesia

(28)

9

South East Asian Nation, ASEAN), serta deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi. Kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut selain berdamapk positif juga

mempunyai dampak negatif terutama bila terkait produk yang sensitif terhadap

lingkungan. Di samping itu juga merupakan tantangan bagi Indonesia untuk lebih

siap menghadapi persaingan di masa depan.

Permasalan perdagangan lainnya adalah yang permasalahan internal di

dalam negeri atau kebijakan-kebijakan sektoral yang terkait baik langsung

maupun tidak langsung terhadap kinerja perdagangan. Untuk subsektor kehutanan

banyak kebijakan yang terkait dengan produk industri pengolahan kayu primer

yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja

ekspornya. Sejak tahun 1970, komoditi produk kayu mengalami perkembangan

kebijakan terutama pada sektor kehutanan. Perkembangan tersebut erat kaitannya

dengan sektor perdagangan yang mempengaruhi kinerja ekspor produk kayu

primer.

Perkembangan terkait kebijakan perdagangan dapat dilihat pada Gambar

1. Gambar tersebut menunjukkan perkembangan kebijakan kehutanan setiap

sepuluh tahunan yang dapat dibagi dalam empat periode.

Periode pertama dan kedua (1970-1980) merupakan masa keemasan

(booming) produksi dan ekspor kayu bulat. Hal tersebut dikarenakan terbitnya PP 21/1970 tentang HPH dan HPHH. Pada tahun 1980 dikeluarkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang larangan ekspor kayu bulat. Pada periode

ketiga dan ke empat pada tahun 1990-an dan 2000-an, ditandai dengan

(29)

Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Kehutanan terkait Perdagangan

DR = Dana Reboisasi

PSDH = Provisi Su mber Daya Hutan, BBS = Bahan Baku Serpih Keterangan 10 . 1980 1990 1970 2000 PP 21/1970 HPH dan HPHH PP 18/1975 Ketentuan Pemohon HPH

UU 5/ 1967 Pokok-pokok

Kehutanan

Inpres Reboisasi dan Penghijauan

(1976)

SKB Tiga Menteri Larangan Ekspor Kayu Bu lat (1980)

Keppres 31/ 1989 dan 29/ 1990 Dana

Reboisasi

UU 5/ 1990 Konservasi SDA Hayati dan

Ekosistemnya

Ketentuan Ekspor Kayu Bu lat (1998)

SKB Tiga Menteri Pencabutan Larangan

Ekspor Kayu Bu lat (1998)

UU 41/ 1999 Kehutanan

Bulat/ BBS (2001)

SK Menhut Penurunan Pajak Ekspor Kayu Bu lat

(2000)

SK Menhut Soft Landing

(2003)

Inpres No 4/2005 Pemberantasan Penebangan dan Perdagangan Ky Ilegal SK Menhut Percepatan

Pembang-unan HTI utk Peme-nuhan Bhn Baku Pu lp

dan Kertas (2003)

(30)

9

Kondisi subsektor kehutanan setelah krisis ekonomi mendorong

Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan kehutanan menurunkan pajak ekspor

kayu bulat. menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan 0

persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu

bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil.

Perubahan kebijakan kehutanan pada era tahun 2000-an diawali dengan

terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan

dirangsang juga oleh adanya desentralisasi pemerintahan sejalan dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 memberikan perhatian khusus pada aspek perencanaan kehutanan secara

partisipatif, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyerahan sebagian

kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kehutanan, peran

serta masyarakat, dan pengawasan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan

(Departemen Kehutanan, 1987)

Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan kebijakan soft landing yaitu kebijakan penurunan produksi kayu bulat sebesar 50 persen dari produksi tahun

sebelumnya karena isu- isu lingkungan yang makin gencar, sehingga berakibat

menurunnya produksi kayu secara drastis pada beberapa provinsi. Penerapan

kebijakan “Soft Landing”, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan

dilanjutkan masing- masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005.

Kebijakan perdagangan Indonesia yang akan dikaji adalah kebijakan

perdagangan yang terfokus pada : (l) larangan ekspor kayu bulat dan (2) kebijakan

(31)

Daya Hutan (pengganti Iuran Hasil Hutan, IHH) dan Dana Reboisasi. Selain

kedua kebijakan tersebut, kebijakan ekonomi yang terkait dengan kebijakan

perdagangan juga menjadi bahasan dalam penelitian ini, yaitu kebijakan yang

secara langsung dapat mempengaruhi kinerja perdagangan antara lain adalah (1)

kebijakan kenaikan upah tenaga kerja (2) kenaikan harga kayu bulat dunia dan (3)

nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar US.

Nilai tukar rupiah yang pada dasarnya bukan merupakan suatu kebijakan,

karena sistem nilai tukar di Indonesia sudah bebas mengambang yang artinya

sangat tergantung pada pasar dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap mata

uang asing dalam batas-batas yang rasional juga akan meningkatkan daya saing

ekspor. Melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak terkendali dapat mengganggu

kondisi ekonomi nasional dan sangat tidak kondisif untuk perdagangan

internasional.

Ekspansi moneter yang jika berlebihan juga akan menyebabkan inflasi

tehadap rupiah sehingga akan meningkatkan bunga bank. Bunga bank yang naik

akan menahan laju daya saing barang ekspor Indonesia karena adanya kenaikan

biaya produksi. Kebijakan yang terpadu untuk menjaga kondisi makro ekonomi

yang stabil menjadi suatu persyaratan dalam meningkatkan kinerja ekspor

Indonesia.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor suatu negara terutama

negara berkembang seperti Indonesia dimana pendapatan ekspor merupakan hal

vital bagi perekonomian negara. Ekspor komoditi sektor kehutanan cukup

berpengaruh terhadap perolehan devisa negara. Tinggi rendahnya ekspor tidak

(32)

11

karena itu, penelitian ini akan menganalisis dampak kabijakan perdagangan

terhadap kinerja perdagangan produk industri pengolahan kayu primer.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa rumusan pertanyaan

penelitian sebagai berikut yaitu :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri

pengolahan kayu primer ?

2. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer (tahun 1980-2002) ?

3. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer pada periode mendatang

(tahun 2007-2010) ?

4. Alternatif kebijakan apa yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan sebelumnya,

maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak

kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu

primer Indonesia. Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor produk

industri pengolahan kayu primer.

2. Mengevaluasi dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja

(33)

3. Meramalkan dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 2007-2010.

4. Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang perlu ditempuh untuk

meningkatkan kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan masukan baik dalam segi

ilmu pengetahuan maupun bagi kepentingan pengambil kebijakan, khususnya

dalam hal :

1. Memperkaya kajian-kajian di subsektor kehutanan terutama yang berkaitan

dengan produk-produk kayu olahan primer dan perdagangannya.

2. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka merumuskan

alternatif kebijakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk mendorong

kinerja ekspor produk industri kayu olahan primer.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Model analisis dalam penelitian ini adalah model ekonometrika yang

mencoba menggambarkan realitas perdagangan yang terjadi antara Indonesia

dengan beberapa negara mitra dagang yang dominan terbesar, dimana realitas

perdagangan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan perdagangan

pemerintah yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kinerja

ekspor terutama untuk produk-produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Kebijakan perdagangan yang dimaksudkan adalah yang telah atau yang akan

ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan perdagangan produk kayu olahan,

(34)

13

Dalam penelitian ini kebijakan perdagangan yang akan dikaji adalah

kebijakan perdagangan yang terkait dengan kinerja ekspor kayu olahan primer

meliputi : (1) kebijakan terhadap bahan baku input, yaitu pungutan terhadap kayu

bulat yaitu Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi, tingkat suku

bunga/kredit, kebijakan upah tenaga kerja, dan (2) larangan ekspor kayu bulat.

Penelitian ini mengkaji aspek produksi untuk menggambarkan fenomena

perdagangan sebenarnya bahwa kinerja perdagangan produk kayu olahan tidak

bisa dipisahkan dengan kinerja industri kayu olahan itu sendiri dan intervensi

kebijakan pemerintah yang diterapkan.

Pemilihan komoditi produk industri kayu olahan primer yaitu kayu

gergajian, kayu lapis dan pulp dengan mempertimbangkan peran produk-produk

tersebut yang cukup dominan pada perekonomian Indonesia, khususnya yang

berkaitan dengan nilai ekonomi kehutanan, sedangkan produk-produk lain dari

kayu tidak menjadi obyek penelitian. Hal ini bukannya produk-produk tersebut

tidak penting tetapi supaya penelitian ini lebih fokus. Jenis produk industri yang

dipilih sebagian besar merupakan industri yang padat modal dan juga padat karya

serta banyak menggunakan input lokal.

Bahan baku kayu bulat dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah

bersumber dari hutan alam atau dari hutan tanaman. Pembedaan ini sangat perlu

dilakukan karena sangat berbeda baik kualitas maupun harganya. Tetapi karena

data yang tersedia tidak dibedakan dengan jelas sehingga dalam penelitian ini

belum dapat dibedakan asal sumber bahan bakunya.

Kinerja ekspor dapat ditunjukkan melalui pendekatan pengukuran

(35)

primer yang merupakan perolehan nilai devisa dari ekspor. Kinerja ekspor produk

kayu diharapkan dapat kembali meningkat dengan adanya intervensi kebijakan

yang tepat. Dimana kebijakan yang diterapkan harus merupakan kebijakan yang

komprehensif dimulai dari kelestarian pasokan bahan baku kayunya. Bahan baku

kayu komponen terbesar biaya produksi lebih dari 70 persen biaya produksi

(36)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Kebijakan Perdagangan

Kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu peraturan yang telah

dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan

misalnya mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arah yang meliputi

kehidupan masyarakat umum. Dengan demikan kebijakan adalah suatu campur

tangan yang dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan

secara sektoral (magnitude dan arahnya) dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat (Sanim dalam Sumartoto, 2004).

Dalam kurun waktu satu dasa warsa ini kebijakan perdagangan Indonesia

pada dasarnya sudah cukup maju dan sudah mengarah pada mekanisme

perdagangan bebas yaitu sudah banyak hambatan-hambatan perdagangan yang

telah dihapus, kecuali untuk produk-produk yang memang memerlukan proteksi.

Bank Dunia menilai bahwa Indonesia akhir-akhir ini telah mengubah kebijakan

perdagangannya secara nyata, diantaranya adalah : (1) penghapusan monopoli

impor oleh Bulog atas beras, gandum, terigu, gula, kedelai dan bawang putih, (2)

pengurangan tarif untuk seluruh pangan sampai maksimum 5 persen dan

penghapusan peraturan kandungan lokal, serta (3) penghapusan hambatan

pemasaran plywood.

Kebijakan perdagangan untuk produk-produk kayu olahan yang masih

menjadi kebijakan pemerintah sampai dengan saat ini adalah larangan ekspor log

yang diberlakukan secara bertahap sejak tahun 1980 dan berlaku secara total

(37)

gergajian dengan ukuran tertentu seperti bantalan rel kereta api dan kayu gergajian

dengan 4 sisi permukaan yang tidak diserut.

2.2 Kebijakan Kehutanan

Kebijakan kehutanan yang terkait erat dengan kebijakan perdagangan dan

mempunyai dampak yang nyata pada pembangunan nasional dimulai pada

periode tahun 1970-an. Pada periode ini kebijakan pembangunan kehutanan masih

mengacu pada kebijakan umum pembangunan nasional yang menitik beratkan

pada pertumbuhan ekonomi. Sehingga orientasi pengumpulan devisa melalui

ekspor kayu bulat dimulai pada periode ini. Disamping itu, kebijakan ke arah

industrialisasi kehutanan secara bertahap direalisasikan. Beberapa peraturan yang

merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 antara lain adalah

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan

(HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), serta Peraturan Pemerintah

Nomor 18 Tahun 1975 yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang tidak harus

perusahaan asing. Semua peraturan ini mendorong berkembangnya industri

perkayuan nasional.

Pada era tahun 1980-an, upaya pemerataan dalam pembangunan kehutanan

dapat dilihat dengan ditunjuknya kawasan hutan berdasarkan fungsinya di seluruh

Indonesia yang dijabarkan dalam peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

Peta TGHK ini pada dasarnya merupakan pengelompokan hutan berdasarkan

fungsinya, yaitu hutan lindung, hutan suaka alam dan margasatwa, hutan

produksi, dan hutan produksi konversi untuk pembangunan non-kehutanan.

Disamping itu, ada kebijakan yang cukup fenomenal pada era tahun 1980-an yaitu

(38)

19

Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya

penurunan ekspor secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir

PELITA III hanya dibatasi sebesar 1.5 juta m3, bahkan pada tahun 1985 ekspor

kayu bulat tidak diperkenankan lagi. Sebaliknya, ekspor hasil hutan olahan

ditingkatkan dengan mendorong tumbuhnya industri penggergajian dan kayu

lapis. Disamping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman Industri menjadi dasar untuk pengembangan industri pengolahan hasil

hutan dengan segala aspeknya.

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat, terkait dengan pengembangan

industri pengolahan kayu di dalam negeri yang berintikan industri kayu lapis,

bertujuan untuk (1) meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, (2)

memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, (3) meningkatkan

nilai tambah, dan (4) memacu perkembangan ekonomi regional. Lebih lanjut,

untuk lebih mendorong ekspor kayu lapis, Pemerintah juga mengenakan pajak

ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian yang berlaku mulai November 1989,

yaitu sebesar US$ 250-1000 per m3 (Simangunsong, 2004).

Kebijakan tersebut menyebabkan produksi dan ekspor kayu lapis kembali

meningkat sangat tajam. Tetapi hal sebaliknya terjadi pada ekspor kayu gergajian

yang menurun sangat drastis. Pada sisi lain, produksi kayu bulat dan kayu

gergajian pada tahun 1990 meningkat karena adanya peningkatan konsumsi kayu

bulat oleh industri kayu lapis dan peningkatan konsumsi kayu gergajian domestik

(39)

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata berhasil mengembangkan

industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia serta merubah Indonesia dari

eksportir kayu bulat terbesar di dunia menjadi eksportir utama kayu olahan.

Namun demikian, Pemerintah mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei

1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi, yaitu

sebesar US$ 500 – 4800 per m3 kayu bulat yang berlaku mulai Juni 1992. Hal ini

untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan larangan

ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barier (Simangunsong, 2004).

Pembangunan kehutanan pada era 1990-an juga diarahkan untuk

pemerataan melalui peningkatan kesempatan kerja, produktivitas tenaga kerja dan

pengentasan penduduk dari kemiskinan. Menjelang akhir 1990-an telah terjadi

reformasi politik, sosial, ekonomi dan hukum yang diakibatkan oleh berbagai

kesenjangan yang semakin tajam. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya krisis

ekonomi pada tahun 1997, sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi

negatif yang berdampak kuat pada penurunan kualitas hidup rakyat, terhentinya

roda perekonomian, pembengkakan angka pengangguran, serta berbagai pengaruh

lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa wujud perekonomian nasional mempunyai

daya tahan yang sangat lemah terhadap gejolak perubahan yang terjadi secara

global.

Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Program Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor (1997), pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan selama

periode Orde Baru sejak periode awal 1970 sampai periode akhir 1990-an

(40)

21

hutan yang terlalu cepat. Kondisi ini terjadi disebabkan antara lain oleh kegagalan

kebijakan (policy failure), khususnya yang menyangkut kelembagaan kehutanan dan perbedaan perlakuan penilaian (valuation) terhadap sumber-sumber daya yang terdapat dalam sistem ekonomi pasar.

Eksploitasi hutan secara besar-besaran pada periode tersebut sebagai

akibat dari target pembangunan ekonomi yang dilakukan tanpa

mempertimbangkan kemampuan daya regenerasi hutan. Sistem pemberian Hak

Pengusahaan Hutan (HPH) kepada kelompok usaha tertentu dilakukan dengan

tidak cermat. Hal ini berakibat pada hilangnya hak-hak masyarakat setempat atas

hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di sekitar tempat tinggalnya

yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan masyarakat di

sekitar kawasan hutan, serta terjadinya degradasi hutan dengan cepat.

Oleh karena itu, permasalahan degradasi hutan dicirikan oleh perbedaan

hak (entitlement) yang sangat mencolok pada berbagai lapisan masyarakat, yaitu golongan masyarakat yang kuat seperti pemegang hak konsesi hutan (HPH),

khususnya pengusaha besar yang memperoleh limpahan sumber daya dan hak-hak

(property right) karena akses yang kuat terhadap kekuasaan, dan kelompok masyarakat miskin yang tidak mempunyai hak dan menerima dampak negatif dari

kerusakan sumber daya hutan. Disamping itu, dicirikan oleh kegagalan kebijakan

pemerintah dalam menangani permasalahan kehutanan.

Pada era tahun 1990-an dan 2000-an, sebenarnya ditandai dengan

munculnya isu global di bidang hak asasi manusia, ekonomi, dan lingkungan.

Tuntutan masyarakat internasional yang menghendaki kegiatan pembangunan

(41)

menerapkan kebijakan secara hati- hati, dengan melaksanakan norma- norma

internasional yang disepakati secara global dalam kebijakan operasional.

Kepedulian masyarakat global diwujudkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting dan dituangkan dalam

Prinsip-prinsip Kehutanan (Forest Principles), Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity), dan Agenda 21. Proses-proses ini terus bergulir secara dinamis di tingkat global melalui berbagai pertemuan seperti KTT

Millenium Tahun 2000 yang menghasilkan Millenium Development Goals

(MDGs) dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johanesburg pada tahun 2001.

Bahkan khusus untuk bidang Kehutanan telah disusun suatu kesepakatan

internasional bidang kehutanan yang disebut dengan International Arrangement on Forests (IAF). Komitmen-komitmen global tersebut, mendorong terjadinya upaya reformasi bidang kehutanan di tingkat nasional yang dicerminkan pada

penyusunan kebijakan kehutanan nasional.

Kondisi sektor kehutanan setelah krisis ekonomi mendorong Pemerintah

untuk mengeluarkan kebijakan kehutanan menurunkan pajak ekspor kayu bulat

menjadi maksimum 10% sebelum akhir Desember 2000 dan 0% pada tahun 2003.

Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung

kembali namun volumenya sangat kecil. Perubahan kebijakan ini ternyata sangat

berpengaruh terhadap komposisi produksi dan ekspor hasil hutan Indonesia,

dimana selain kayu bulat, kayu lapis dan kayu gergajian ternyata bubur kertas

(pulp) dan kertas (paper) telah menjadi produk hasil hutan utama Indonesia

(42)

23

Selanjutnya perubahan kebijakan kehutanan pada era tahun 2000-an

diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan dan dirangsang juga oleh adanya desentralisasi pemerintahan sejalan

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 memberikan perhatian khusus pada aspek perencanaan

kehutanan secara partisipatif, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyerahan

sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

kehutanan, peran serta masyarakat, dan pengawasan masyarakat dalam kegiatan

pengelolaan hutan (Departemen Kehutanan, 1987)

Kebijakan kehutanan yang cukup kontroversial sampai saat ini adalah

kebijakan “soft-landing” atau pengurangan produksi kayu dari hutan alam secara nasional mulai tahun 2003, yang berakibat menurunnya produksi kayu secara

drastis pada beberapa provinsi. Sistem pengelolaan hutan selama ini didasarkan

pada asumsi yang diterapkan untuk pengelolaan hutan primer, termasuk

perhitungan untuk menentukan jatah produksi tahunan atau Annual Allowable Cut

(AAC). Setelah dilakukan eksploitasi hutan selama lebih dari tiga dasawarsa, saat

ini pengelolaan hutan di Indonesia telah memasuki siklus kedua yang berupa

hutan bekas tebangan. Disamping itu, terjadinya konversi, kebakaran, perambahan

hutan, penebangan kayu secara liar dan tebangan melebihi jatah tebang ( over-cutting) menunjukkan bahwa AAC yang ada tidak mendukung kelestarian hasil. Padahal, AAC yang lestari merupakan syarat utama untuk pengelolaan hutan

lestari dan merupakan komitmen dari Pemerintah.

Berdasarkan kondisi tersebut, pengurangan AAC yang terencana dan

(43)

dimaksudkan agar industri kehutanan (HPH dan Industri Pengolahan Kayu) dapat

melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan

pasokan bahan baku akibat berkurangnya tebangan, tidak mengakibatkan “shock

landing” pada industri tersebut yang implikasinya sangat berbahaya terutama pada aspek finansial perusahaan dan aspek sosial. Disamping itu, industri perkayuan

akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada pengurangan pasokan bahan

baku secara drastis. Adapun penerapan kebijakan “Soft Landing”, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30% dari tahun

sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing- masing sebesar 10% pada

tahun 2004 dan 2005.

Pada periode 2005-2009, Departemen Kehutanan telah menetapkan 5

(lima) kebijakan prioritas, yaitu (Departemen Kehutanan, 2005):

1. Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal 2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan

3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan

4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan

5. Pemantapan kawasan hutan.

2.3. Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau dulu sangat dikenal sebagai

Iuran Hasil Hutan (IHH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai

intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan Dana

Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari Pemegang Hak Pengusahaan

Hutan, Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin Pemanfaatan

(44)

25

bervariasi tergantung pada jenis kayunya dan ditetapkan dengan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan. Pada awal ditetapkan (1968-1971) besarnya PSDH ditetapkan

berdasarkan US dollar per M3 yaitu antara US$ 0.5 - US$ 3 per M3, kemudian

pada (1971-1976) dengan rupiah yaitu Rp 250 - Rp 800 per M3, kemudian pada

tahun (1976-1979) sebesar Rp 900 - Rp 5 000 per M3. Kemudian mulai bulan Juni

1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari

harga patokan kayu bulat dalam negeri yaitu sebesar 6 persen dari harga patokan

kayu bulat di dalam negeri.

Perkembangannya DR dapat dilihat sebagai berikut; dari tahun 1968

sampai dengan tahun 1979 Dana Reboisasi yang dipungut merupakan Dana

Jaminan Reboisasi (DJR) yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh para

pemegang HPH bila HPH bersangkutan telah melaksanakan reboisasi dan

rehabilitasi areal HPHnya. Sedangkan sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi

diambil alih oleh Pemerintah dan DJR diganti dengan DR yang besarnya

tergantung pada jenis kayunya. Pada awalnya juga ditetapkan untuk tiap M3 kayu

yang dipanen. Sebagai contoh untuk kelompok Meranti (1980-1988) ditetapkan

sebesar US$ 4 per M3, pada tahun 1996-1999 sebesar US $ 15 per M3, dan mulai

1999 sampai sekarang sebesar 6 persen dari harga patokan kayu bulat di dalam

negeri (Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, 1999).

Pungutan PSDH dan DR jelas akan mempengaruhi biaya produksi dari

kayu bulat. Apalagi dengan adanya ketentuan baru dari Pemerintah bahwa iuran

PSDH dan DR dibayarkan dimuka setelah kayu bulat ditebang, sedangkan

(45)

2.4. Beberapa Penelitian Terdahulu yang Te rkait dengan Pe rdagangan dan Produk Industri Kayu Prime r

Penelitian yang berkaitan dengan perdagangan sudah banyak dilakukan

oleh para peneliti yang umumnya menggunakan model- model ekonometrika.

Ratnawati (1996) meneliti dampak kebijakan tarif impor dan pajak ekspor

terhadap kinerja perekonomian, sektor pertanian dan distribusi pendapatan di

Indonesia menggunakan Model Keseimbangan Umum. Dalam penelitian tersebut

disimulasi berbagai alternatif kebijakan yaitu penurunan tarif impor, pajak ekspor

dan kombinasi keduanya. Secara umum didapatkan bahwa penurunan tarif impor

dan pajak ekspor akan meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, yang

dicerminkan oleh peningkatan riil produk domestik bruto serta menguatnya nilai

tukar rupiah terhadap dollar.

Studi tentang perdagangan produk industri perkayuan telah dilakukan oleh

beberapa peneliti, diantaranya Sinaga (1989), dalam penelitiannya telah

membangun Model Ekonometrika Industri Produk Kayu Keras (hardwood) Indonesia yang meliputi kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis, yang

menggambarkan hubungan antara penawaran, permintaan dan harga serta

intervensi kebijakan pemerintah terhadap pasar. Menggunakan simulasi model,

dievaluasi pengaruh berbagai alternatif intervensi kebijakan terhadap harga,

produksi, konsumsi dan ekspor produk industri kayu Indonesia, serta dampak

ekonomi yang ditimbulkannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan

larangan ekspor kayu bulat yang tadinya untuk mendorong pengembangan

industri perkayuan di dalam negeri dan meningkatkan kinerja ekspor produk kayu

Indonesia tidak sepenuhnya tercapai dengan baik. Dampak ekonomi yang

(46)

27

Indonesia. Hal ini karena industri dalam negeri terutama yang berorientasi ekspor

ternyata tidak mampu menyerap pasar kayu bulat yang melimpah di dalam negeri.

Konsumen produk kayu dalam negeri dan produsen kayu gergajian akan

mendapat keuntungan tetapi produsen plywood dan produsen kayu bulat akan mendapat kerugian.

Manurung (1995), meneliti dampak larangan ekspor kayu bulat Indonesia

periode tahun 1969-1989. Untuk menganalisis dampak tersebut telah dibangun

model simulasi non-spatial equilibrium. Model yang dibangun meliputi persamaan-persamaan penawaran ekspor negara-negara pesaing Indonesia dan

permintaan impor negara- negara pembeli, serta permintaan dan penawaran

domestik untuk kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan, adanya kebijakan melarang ekspor kayu bulat akan menyebabkan

pesatnya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian Indonesia. Akan

tetapi peningkatan devisa yang diperoleh dari ekspor kayu lapis dan kayu

gergajian tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan jika tidak ada larangan

ekspor kayu bulat. Apabila larangan ekspor kayu bulat dihapus, maka rata-rata

total penerimaan ekspor dari tahun 1981 sampai dengan tahun 1989 akan

meningkat sebesar 14 %. Disamping itu, lapangan kerja yang diciptakan dari

meningkatnya industri kayu gergajian dan kayu lapis tersebut, masih lebih kecil

jika dibandingkan berkurangnya lapangan kerja akibat adanya larangan ekspor

kayu bulat. Nilai tambah yang diperoleh dari berkembangnya industri kayu

gergajian dan kayu lapis lebih tinggi dengan adanya larangan ekspor kayu bulat,

namun hal ini disebabkan karena harga domestik kayu bulat yang rendah. Harga

(47)

dengan adanya larangan ekspor kayu bulat, disamping itu produksi kayu bulat

rata-rata per tahun turun sebesar 20 % dan penggunaan bahan baku kayu bulat

yang tidak efisien.

Timotius (2000) dalam studinya tentang Perkembangan Industri Kayu

Lapis Indonesia Tahun 1975-2010 menggunakan analisis Ekonometrika dan

simulasi kebijakan, menyatakan bahwa prospek industri kayu lapis Indonesia

sangat tergantung sekali pada ketersediaan log atau kelestarian hutan. Terjadinya

krisis ekonomi di Indonesia yang berakibat pada melemahnya nilai tukar rupiah

dan dihapuskannya larangan ekspor kayu log serta diberlakukannya ecolabelling, berdampak pada kenaikan biaya produksi industri kayu lapis yang mendorong

peningkatan produktivitas. Secara bersamaan terjadi peningkatan ekspor kayu

log, karena harga log dunia yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga log

domestik.

2.5. Kinerja Ekspor Produk Kayu Olahan

Kinerja ekspor suatu negara tidak hanya diukur dari laju pertumbuhan baik

nilai maupun volume ekspornya, tetapi juga harus dilihat dari tingkat

diversifikasinya, baik dari variasi produk maupun diversifikasi pasarnya. Laju

pertumbuhan yang tinggi hanya merupakan salah satu sisi dari keberhasilan

pengembangan ekspor suatu negara. Sisi lainnya adalah perluasan jenis-jenis

komoditi ekspor dan pasarnya (Tambunan, 2001). Banyak faktor yang

mempengaruhi kinerja ekspor suatu komoditi. Faktor- faktor tersebut dapat dilihat

dari sisi mikroekonomi maupun makroekonomi. Dari sisi mikroekonomi misalnya

telah ada penelitian yang mendalami masalah pasar yang dikaitkan dengan proses.

(48)

29

kayu misalnya pasar merupakan sebuah mata rantai yang komplek dari hubungan

permintaan dan penawaran, yang menentukan aliran kayu bulat dari kawasan

hutan sampai ke konsumen dari produk-produk akhir. Sedangkan industri

perkayuan merupakan suatu rangkaian tahapan produksi dan pasarnya. Secara

garis besar peneltian-penelitian yang berkaitan dengan permodelan produk

industri pengolahan kayu primer dapat dilihat pada Tabel 2.

2.6. Pasar dan Produk Industri Pengolahan Kayu Prime r

Menurut McKillop (1967), permintaan terhadap input dapat didekati

dengan output dari sektor manufaktur. Selanjutnya dengan menggunakan konsep

permintaan turunan (derived demand), merumuskan permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian atau industri kayu lapis sebagai fungsi dari output sektor

konstruksi. Perumusan tersebut penting dalam kaitannya dengan perdagangan

internasional produk industri perkayuan. Menggunakan argumen ini, permintaan

impor kayu bulat dipengaruhi oleh tingkat GDP negara-negara pengimpor.

Dalam sistem pasar industri pengolahan kayu hulu Indonesia, produksi

kayu bulat diperlakukan sebagai tahapan awal produksi. Dari tahapan ini, maka

penawaran domestik kayu bulat dapat diidentifikasi sama dengan produksi apabila

tidak ada persediaan (stok) maupun impor. Sedangkan permintaan domestik kayu

(49)

Nama Peneliti dan Tahun Judul Metode Penelitan Hasil Penelitian 1. Sinaga (1989) Econometric Model of the

Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis

Model Ekonometrika untuk mempelajari sistem produk kayu olahan (kayu lapis, gergajian), parameter diduga dengan metode 2SLS.

Pembatasan ekspor log tidak

sepenuhnya tercapai. Indonesia akan kehilangan penerimaa

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Kehutanan terkait Perdagangan
Tabel 2.  Studi Empiris Terdahulu Terkait dengan Penelitian Produk Kayu Olahan
Tabel 3.  Klasifikasi Industri Perkayuan Menurut KLUI
Gambar 2. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun solusi yang dilakukan dari refleksi pada siklus dua adalah dengan memperbanyak tugas mahasiswa baik di rumah atau saat pembelajaran dengan menggunakan media

Penelitian Tindakan Kelas menurut Purwadi dalam Sukidin, dkk.(2002: 10) adalah suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang

Pemasar dalam hal ini bertugas membangun sejumlah aset yang tak tampak (intangible assets) mulai dari kesadaran, persepsi terhadap kualitas, loyalitas merek,

Hasil penelitian menunjukkan: (1) produk yang dihasilkan adalah multimedia interaktif pembelajaran kimia pada materi hidrokarbon yang terdiri dari kompetensi, materi

Fungsi dari seorang humas/PR adalah melaksanakan komunikasi dua arah atau timbal balik antara suatu lembaga/perusahaan dengan pihak public yang bertujuan untuk menciptakan

Pemberi kerja pada perusahaan kecil, mungkin akan memulai dengan system manajemen sumber daya manual, biasannya dalam mendapatkan dan mengorganisasi satu set standar

Skripsi ini memuat tentang konsep prinsipil dari prinsip pembangunan berkelanjutan secara umum dan penerapannya dalam suatu deklarasi bersama yakni Deklarasi Rio Branco yang

Proses pengolahan data BPS selalu mengakomodir perkembangan teknologi dan informasi untuk menjawab tantangan kebutuhan data yang makin beragam serta peningkatan cakupan