TABEL OBSERVASI KONDISI SANITASI PENGOLAHAN DAGING ANJING DI ENAM RUMAH MAKAN PANGGANG B1 DAERAH SIMPANG SELAYANG SAMPAI PADANG BULAN MEDAN TAHUN2013
Identitas usaha
Nama rumah makan : Nama pengusaha : Jumlah karyawan :
Lama usaha :
No Criteria observasi Ya Tidak
1. Penyediaan air bersih
a. Kualitas air yang dipergunakan untuk mencuci
peralatan makan
b. Air memenuhi syarat
2. Pembuangan sampah
a. tempat sampah mempunyai tutup
b. tidak ada sampah yang berserakan di tempat sampah
c. kondisi tempat sampah kedap air, terbuat dari bahan
yang kuat
3. Hygiene program
a. penjamah makanan tidak mengidap penyakit menular
b. kuku dipotong pendek dan tidak diwarnai
c. penjamah makanan tidak memakai aksesoris
d. penjamah makanan memakai celemek
4. Dapur
a. dapur bebas dari serangga, lalat, tikus
b. terdapat ventilasi
c. kondisi dapur untuk memasak dalam kondisi bersih
a. pencucian alat – alat dapur menggunakan sabun
b. air bilasan piring hanya sekali pakai
c. peralatan dapur dicuci dengan air mengalir
d. peralatan dapur yang sudah bersih dicuci disimpan pada
rak piring yang tertutup
6. Bahan baku terhindar dari serangga dan vector penyakit
7. Selalu menggunakan pakaian yang bersih dan rapi
8. Peralatan dala keadaan bersih saat digunakan
9. Tersedia tempat pembuanagan sisa makanan
10. Tempat penyimpanan tertutup dengan baik
KUESIONER KONDISI SANITASI PENGOLAHAN DAGING ANJING DI RUMAH MAKAN PANGGANG B1 SEKITAR PADANG BULAN SIMPANG SELAYANG MEDAN TAHUN 2013
Data Umum
Nama pemilik usaha :
Umur :
Pendidikan :
No Pengetahuan Ya Tidak
1. Apakah seorang penjamah makanan harus menjaga
kebersihan tangannya
2. Apakah seorang penjamah makanan boleh langsung
mengambil makanan dengan tangan
3. Apakah seorang penjamah makanan diperbolehkan
menggaruk badan dan membersihkan hidung pada saat
mengolah makanan
DAFTAR PUSTAKA
Aswar. A,1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. PT.Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Brown,H.W, 1979. Dasar Parasitologi Klinis. PT.Gramedia. Jakarta
Depkes RI,1992. Permenkes RI No. 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasa Boga Dan Petunjuk Pelaksanaanya. Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman.Jakarta
Depkes RI, 1996. Pedoman Teknis Pengelolaan Makanan Dan Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit.Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta
Garcia,L.S dan Bruckner,D.A,1996. Dianostik Parasitologi Kedokteran. Penerbit EGC.Jakarta
Gandahusada,S, Dilahude,H dan Pribadi, W, 1992. Parasitologi Kedokteran.Jakarta
Hadidjaja,P. 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Penerbit EGC. Jakarta
Ideham, B dan Pusarawati, S,2004. Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran. Airlangga University Press. Surabaya
Jawet, Melnick, dan Adelberg, 1986. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. Jakarta
Jeffrey dan Leach, 1992. Atlas Helmintologi Dan Protozoologi Kedokteran. Penerbit EGC. Jakarta
Kusumamihardja, 1992.Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak Piaraan di Indonesia. http//gmpg. org.Bogor. Diakses tanggal 28 January 2013
Kuntaraf, J dan Kuntaraf, K.L, 1984, Makanan Sehat. Jakarta
Lukman, 2007. Pengantar Sanitasi Makanan. PT. ALUMNI, Bandung
Masri dan Sofian, 1989. Metode Penelitian Survai. Penerbit LP3ES. Jakarta
Nurwantoro, 1994. Mikrobiologi Pangan Hewani Nabati. Yogyakarta
Purnawijayanti,Hasianta A,2001. Sanitasi Higyene Dan Keselamatan Kerja Dalam
Pengolahan Makanan.Yokyakarta.
Prianto,J, Tjahaya,P.U, dan Darwanto,2004. Atlas Parasitologi Kedokteran. PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
Retno dan Yuliarsih, 2002. Higine Dan Sanitasi Umum Dan Perhotelan. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Soedarto, 2003. Zoonosis Kedokteran .Airlangga University Press.Jakarta
Soeharsono, 2002. Zoonosis Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia. Penerbit Kainisius Yogyakarta.
Susanto,I, Ismid,I.S,dan Sungkar,S,2008. Parasitologi Kedokteran.Jakarta
Susanna,D dan Sembiring,T.U.J, 2011. Entomologi Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Sembel, D.T, 2009, Entomologi Kedokteran. Yokyakarta
Soedarto, 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. Jakarta
.Soedarto, 1991. Helmintologi Kedokteran. Penerbit EGC. Jakarta.
Wirawan,R dan Silman,E, 1992. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana. Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan kandungan larva cacing pita (Echinococcus granulosus) yang terdapat pada daging anjing yang diperoleh dari hasil penyajian di Rumah Makan
Panggang B1 Kota Medan Tahun 2013.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada 6 Rumah Makan Panggang B1 di Kota
Medan. Pemilihan lokasi dilakukan purposive sampling. Dari keenam rumah makan
tersebut terdiri dari tiga Rumah Makan Panggang B1 di Padang Bulan dan tiga
Rumah Makan Derah Simpang Selayang. Adapun alasan pemilihan lokasi adalah :
1. Daerah Padang Bulan dan Simpang Selayang banyak terdapat Rumah
Makan Panggang B1
2. Ke enam rumah makan tersebut banyak dikunjungi orang (ramai
pembelinya)
3. Keenam rumah makan tersebut menyajikan sajian daging anjing panggang
sesuai permintaan konsumen
3.2.2. Waktu Penelitian
3.3. Objek Penelitian
Adapun objek penelitian adalah :
1. Daging anjing mentah
2. Daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang
3. Daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang
3.4. Cara Pengambilan Sampel
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 6 sampel
dimana masing – masing rumah makan diambil 3 sampel yang terdiri dari :
1. 100 gram daging anjing mentah
2. 100 gram daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang setengah
matang
3. 100 gram daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang sampai
matang
3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer
Data primer yaitu data tentang kandungan larva cacing pita pada daging
anjing mentah, daging anjing yang dipanggang setengah matang, dan daging anjing
yang dipanggang sampai matang yang diambil dari 6 rumah makan panggang B1 di
Kota Medan melalui pemeriksaan di Laboratorium Medilab Padang Bulan Medan
3.5.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari laboratorium Medilab Padang Bulan Medan,
untuk mengetahui pemeriksaan larva cacing pita dengan menggunakan metode
kompresi otot, dan jika di temukannya larva pada metode tersebut yang kemudian
akan dilanjutkan ke metode pencernaan otot untuk mengetahui larva dari cacing pita
tersebut masih hidup (infektif) atau sudah mati (Noninfektif).
3.6. Defenisi Operasional
1. Daging anjing mentah adalah daging anjing yang diperoleh dari Rumah Makan
Panggang B1 yang belum dipanggang atau dimasak dan dalam kriteria segar
2. Daging anjing panggang setengah matang adalah daging dipanggang tidak sampai
kering dan masih berwarna kemerahan dipanggang pada suhu 54°C selama 17
menit yang diperoleh dari Rumah Makan Panggang B1 sekitar Padang Bulan
Medan.
3. Daging anjing yang dipanggang sampai matang adalah daging anjing yang
dimasak dengan sempurna,yaitu bagian dalam daging yang sudah kering dan
berwarna kecoklatan dipanggang pada suhu 68°C selama 20 menit yang diperoleh
dari Rumah Makan Panggang B1 Sekitar Padang Bulan Medan.
4. Pemeriksaan Laboratorium adalah kegiatan yang dilakukan di Laboratorium
Medilab Padang Bulan Medan untuk mengetahui kandungan larva cacing (
Echinococcus granulosus ) pada otot daging anjing
5. Kandungan larva cacing pita adalah kandungan kista hidatid, cacing
6. Suhu dan waktu atau lama memanggang daging anjing adalah temperatur yang
digunakan dalam memanggang atau memasak daging anjing dan jumlah satuan
waktu yang digunakan dalam memanggang daging anjing
7. Ditemukan larva cacing pita adalah dalam pemeriksaan sampel daging anjing
ditemukan larva cacing pita ( Echinococcus granulosus )
8. Tidak ditemukan larva cacing pita yaitu apabila dalam pemeriksaan sampel
daging anjing tidak di temukan larva cacing pita ( Echinococcus granulosus) 9. Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan
memerlukan pengolahan yang baik dan benar agar bemanfaat bagi tubuh, karena
makanan sangat diperlukan untuk tubuh.
10.Rumah makan adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup
kegiatannya menyediakan makanan dan minuman untuk umum di tempat
usahanya.
11.Sanitasi adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan
tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dai segala
bahaya yang dapat mengganggu kesehatan
12.Hygiene adalah upaya keshatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan individu subjeknya.
13.Pemilihan bahan makan adalah bahan makanan yang benar – bnar baik atau ipilih
adai segi kebersihan, penampilan dan kesehatannya.
14.Penyimpanan bahan makanan yaitu bahan makanan yang telah di beli hendaknya
disimpan dalam penyimpanan bahan makanan yang seuai dengan jenis makanan
15.Pengolahan makanan yaitu dalam pengolahan makanan terdapat unsur bahan
makanan, unsur orang yang mengolah, unsur waktu dan unsur suhu, dimana
pengolahan harus dilakukan oleh penjamah makanan dengan sikap dan perilaku
yang hygiene.
16.Penyimpanan makanan yaitu dimana tempat penyimpanan makanan harus selalu
terpelihara dan dalam keadaan bersih, yang terlindung dari debu, bahan kimia
berbahaya, serangga dan hewan lain.
17.Pengangkutan makanan yang sehat dan baik akan sangat berperan dalam
mencegah terjadinya pencemaran makanan.
18.Penyajian makanan yang baik yaitu penyajian untuk setiap jenis makanan di
tempatkan dalam wadah terpisah dan diusahakan tetutup untuk menghindari
terkontaminasi dari bahan berbahaya atau hewan pembawa penyakit.
19.Penyelenggaraan makanan adalah orang yang secara langsung behubungan
dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan,
pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian
3.7. Prosedur Kerja
3.7.1. Langkah – langkah Pengambilan Sampel Di Lapangan
Pengambilan sampel daging anjing mentah, daging anjing yang dipanggang
setengah matang dan daging anjing matang dilakukan secara bersamaan. Langkah –
langkah pengambilan sampel dilakukan sebagai berikut:
1. Dipersiapkan kantongan plastik dan karet untuk tempat sampel
2. Dipersiapkan alat tulis untuk mencatat data sumber daging anjing sebelum
3. Pengukuran suhu dilakukan dengan cara meletakkan termohygroometer
pada daging anjing selama 5 menit sebelum daging anjing tersebut
diangkat untuk disajikan
4. Daging anjing yang diperoleh dari masing – masing rumah makan
dimasukkan dalam kantongan plastik steril kemudian diikat dengan karet
gelang untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi
3.7.2. Pemeriksaan Laboratorium
Setibanya di Laboratorium, daging anjing mentah, daging anjing panggang
setengah matang dan daging anjing panggang matang diperiksa larva cacing pita
dalam otot daging anjing dengan metode sebagai berikut :
A. Metode Kompresi Otot
1. Daging anjing diiris setebal 2 ,milimeter
2. Irisan tipis otot diletakkan diatas gelas preparat
3. Dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali
4. Apabila telah ditemukan daging yang mempunyai kista maka dilanjutkan
ke metode pencernaan otot
B. Metode Pencernaan Otot
1. Otot daging anjing yang diduga mengandung larva cacing pita digiling
atau dilumatkan
2. Disiapkan larutan pencerna yaitu air 600 ml, scale pepsin 5 gram, asam
clorida (HCL ) jenuh 10 ml
3. Dicampur setiap 50 gr daging giling dengan larutan pencerna
4. Campuran daging dituangkan dalam corong, dimana bagian bawah corong
5. Diletakkan gilingan daging pada kain dan dilakukan pencernaan selama 48
jam pada suhu 35- 37 ºC
6. Diambil larva cacing dan dimasukkan dalam larutan faali pada suhu 30-35
ºC
7. Diperiksa larva dibawah mikroskop dengan hati – hati
3.8. Analisa Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif yaitu menggambarkan larva cacing
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Kandungan larva cacing pita ( Echinococcus granulosus) pada daging anjing mentah, daging anjing yang dipanggang setengah matang dan daging anjing yang
dipanggang sampai matang diperoleh melalui pemeriksaan Laboratorium Medilab
Padang Bulan Medan sedangkan data suhu dan lama pemanggangan daging anjing
diperoleh melalui pengukuran langsung dilapangan pada saat pengambilan sampel.
Hasil wawancara dengan pegawai rumah makan panggang B1 di sekitar
padang bulan medan diperoleh keterangan bahwa sumber daging yang mereka sajikan
berasal dari tempat yang berbeda dimana daging anjing yang disajikan di rumah
makan I,II,III dan IV berasal dari pasar pancur batu dan penduduk yang tinggal di
desa pancur batu,sedangkan untuk rumah makan V dan VI berasal dari masyarakat
yang tinggal di desa lau cih.
4.1. Hasil pemeriksaan kandungan larva cacing pita
Pemeriksaan larva cacing pita (Echinococcus granulosus) pada daging anjing mentah, daging anjing berdasarkan penyajian setengah matang dan daging anjing
berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang dilaksanakan di Laboratorium
Medilab Padang Bulan Medan dengan lama penelitian ± 2 minggu mulai dari
pengambilan sampel disekitar padang bulan medan dan disekitar simpang selayang
medan sampai pemeriksaan laboratorium. Waktu pengambilan sampel dilakukan
secara bersamaan untuk keenam rumah makan yaitu dimulai dari jam 11.00 WIB –
Spesimen daging anjing mentah langsung dimasukkan kedalam tempat sampel
yaitu kantong plastik, sedangkan sampel daging anjing mentah yang berdasarkan
penyajian dipanggang setengah matang terlebih dahulu diukur suhu dengan
menggunakan alat Thermohygrometer selama 5 menit dan saat bersamaan diukur waktu atau lama memanggang daging, yaitu mulai dari spesimen daging tersebut
diletakkan diatas bara api sampai dinyatakan pengelola rumah makan bahwa daging
tersebut telah siap untuk disajikan setengah matang, demikian juga dengan daging
yang berdasarkan penyajiannya dipanggang sampai matang terlebih dahulu diukur
suhu dengan menggunakan alat Thermohygrometer selama lima menit dan saat bersamaan diukur waktu atau lama memanggang daging yaitu mulai dari spesimen
daging tersebut diletakkan diatas bara api sampai dinyatakan penglola rumah makan
bahwa daging tersebut telah siap untuk disajikan dalam bentuk daging anjing matang
sempurna.
Sampel daging anjing dari keenam rumah makan panggang B1 tersebut
dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kandungan larva cacing pita (Echinococcus granulosus) dengan menggunakan metode kompresi otot, setelah ditemukan spesimen daging yang mengandung larva cacing pita (Echinococcus granulosus) dengan menggunakan metode kompesi otot maka pemeriksaan laboratorium
dilanjutkan kemetode pencernaan otot.
Hasil pemeriksaan kandungan larva caing pita (Echinococcus granulosus) pada daging anjing mentah dari Laboratorium Medilab Padang Bulan Medan dengan
metode kompresi otot dan metode pencernaan otot dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1.
Hasil Pemeriksaan Kandungan Larva Cacing Pita Pada Daging Anjing Mentah Di Rumah Makan Panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan
Tahun 2013.
Pada sampel daging mentah tidak dilakukan pengukuran suhu dan lama waktu
memanggang, sampel daging mentah langsung ditimbang 100 gr dari satu anjing
yang sudah disembelih dan siap untuk diolah menjadi masakan jadi (matang), setelah
sampel diambil sebanyak 100 gr kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik
yang berwarna bening dan steril yang kemudian akan di bawa ke laboratorium
medilab untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke metode kompresi otot, apakah
daging mentah tersebut mengandung larva cacing pita atau tidak.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pada daging anjing mentah
menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode kompresi otot, larva cacing pita
(Echinococcus granulosus) ditemukan pada rumah makan panggang B1 nomer V dan III. Pada rumah makan panggang B1 sampel III ditemukannya larva cacing
No. Sampel Kandungan larva cacing pita (metode kompresi otot)
Kandungan larva cacing pita (metode pencernaan otot)
1. I Negatif NonInfektif
2. II Negatif NonInfektif
3. III Positif Infektif
4. IV Negatif NonInfektif
5. V Positif Infektif
pita,dilihat dari observasi langsung di rumah makan tersebut lantai dari rumah makan
tersebut terbuat dari batako yang dapat mengkontaminasi daging mentah
tersebut,melalui debu yang ada di batako yang di bawa oleh angin yang dapat dilihat
juga bahwa jarak dari pada rumah makan tersebut dengan jalan raya hanya berkisar
tiga meter. Untuk sanitasi dari segi penyimpanan bahan makanan, dilihat bahwa
daging mentah yang akan diolah tidak ditempatkan pada wadah penyimpanan
makanan yang memiliki tutup tetapi pada wadah yang terbuka dan diletakkan di
bawah tidak diatas meja yang lantainya terbuat dari batako yang kemungkinan besar
dapat mengkontaminasi daging mentah tersebut. Pada saat proses pengolahan daging
mentah, penjamah daging (yang bekerja ebagai koki/tukang masak) tidak memenuhi
syarat hygiene, yang dapat dilihat dari hasil observasi bahwa pengolah daging tidak
menngunakan celemek dan penutup kepala, dan pada saat akan mengolah daging
tidak mencuci tangan dengan sabun terlebih dahulu, sehingga daging dapat
terkontaminasi. Dari proses pengolahan daging yang kemudian dilanjutkan ke proses
pengangkutan daging tidak menggunakan tutup agar menghindarkan daging dari
kontaminasi debu dan lalat yang dapat hinggap di daging mentah tersebut. Dari hasil
observasi diatas dapat dilihat bahwa kontaminasi dari larva cacing pita terhadap
daging mentah di rumah makan panggang B1 sampel III tersebut dikarenakan oleh
hal diatas atau kondisi sanitasi yang buruk. Untuk rumah makan panggang sampel V
pada pemeriksaan sampel daging anjing mentah positif ditemukan larva cacing pita.
Pada kondisi yang terlihat pada rumah makan tersebut yang lantainya di semen dan
ada beberapa sudut lantai yang rusak dan tidak di perbaiki kembali hanya dibiarkan
peralatan seperti mangguk dan gelas yang sudah retak masih digunakan oleh pemilik
rumah makan tersebut. Penjamah makanan yang kurang menjaga kebersihan diri
seperti menggunakan pakaian yang kurang rapi dan kuku tangan yang dibiarkan
panjang, dan untuk penyaji makanan tidak mengikat rambutnya saat sedang
mengantar makanan pada pengunjung atau pembeli. Karena ditemukannya larva
cacing pita pada spesimen daging anjing mentah pada metode kompresi otot, maka
pemeriksaan daging akan dilanjutkan ke metode pencernaan otot untuk mengetahui
apakah larva cacing pita tersebut infektif atau noninfektif. Setelah dilanjutkan ke
metode pencernaan otot ternyata larva cacing pita pada kedua sampel rumah makan
panggang B1 tersebut masih dalam keadaan infektif yang kemungkinan dapat
menular dari daging mentah tersebut ke si pengolah makanan sehingga dapat
reinfeksi oleh larva cacing pita (kista hidatid).
Kemudian dilanjutkan ke penelitian sampel berikutnya, yaitu sampel daging
anjing setengah matang di 6 Rumah Makan Panggang B1 di daerah Padang Bulan
Simpang Selayang Medan.
Hasil pemeriksaan kandungan larva cacing pita pada daging anjing yang
dipanggang berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang di Rumah Makan
Panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan tahun 2013 dapat dilihat pada
Tabel 4.2
Hasil Pemeriksaan Kandungan Larva Cacing Pita Pada Daging Anjing Berdasarkan Penyajian Dipanggang Setengah Matang Di Rumah Makan
Panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan Tahun 2013
No. Sampel Suhu ˚C Waktu (menit)
Kandungan larva cacing pita (metode
kompresi otot)
Kandungan larva cacing pita (metode
pencernaan otot)
1. I 62 15 - -
2. II 58 17 - -
3. III 60 12 - -
4. IV 62 14 - -
5. V 54 17 - -
6. VI 56 14 - -
Keterangan :
Suhu = suhu dalam memanggang daging Waktu = lama memanggang daging
Hasil pengukuran suhu sampel daging anjing berdasarkan penyajian
dipanggang setengah matang pada rumah makan panggang B1 yaitu antara 54˚C -
62˚C dengan waktu atau lama memanggang antara 12 menit – 17 menit. Hasil
pemeriksaan laboratorium pada daging anjing yang berdasarkan penyajian
dipanggang setengah matang pada rumah makan panggang B1 tidak terdapat larva
cacing pita. Sampel daging anjing yang diperiksa setengah matang diambil dari
sampel daging anjing mentah atau bongkahan daging anjing yang sama pada masing
– masing setiap rumah makan panggang B1. Pada pemeriksaan tahap ke dua tersebut
tidak ditemukannya larva pada daging anjing yang di panggang setengah matang di
dengan suhu mulai dari 54˚C - 62˚C, karena pada saat proses pemanggangan daging
langsung bersinggungan dengan api atau pada daging yang diambil menjadi sampel
memang tidak adanya larva cacing pita. Untuk sanitasi dari keenam rumah makan
panggang tersebut yang telah memenuhi syarat mulai dari pemilihan bahan baku,
penyimpanan, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan bahan
makanan sampai dengan penyajian makanan, dua dari enam rumah makan panggang
tersebut yang hampir 90% tidak memenuhi syarat hygiene sanitasi sedangkan empat
dari rumah makan panggang tersebut hanya beberapa kriteria atau 40% tidak
memenuhi syarat hygiene sanitasi. Dari hasil observasi langsung pada proses
pemanggangan setengah matang bahwa keenam rumah makan panggang tersebut
memanggang daging mulai dari suhu 54°C - 62°C, sedangkan dari yang diketahui
bahwa larva cacing pita akan mati pada proses pemanggangan dengan suhu 50°C, dan
karena proses pemanggangan pada suhu yang digunakan oleh keenam rumah makan
panggang tersebut dapat membunuh larva cacing pita pada daging anjing setengah
matang. Karena tidak ditemukannya larva cacing pita pada pemeriksaan laboratorium
dengan menggunakan kompresi otot maka pemeriksaan tidak dilanjutkan lagi ke
metode pencernaan otot.
Hasil pemeriksaan kandungan larva cacing pita pada daging anjing
berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang di rumah makan panggang B1
padang bulan simpang selayang medan tahun 2013 dapat ilihat pada tabel 4.3. berikut
Tabel 4.3.
Hasil Pemeriksaan Kandungan Larva Cacing Pita Pada Daging Anjing Bersadarkan Penyajian Dipanggang Sampai Matang Di Rumah Makan
Panggang B1 Padang Bulan Medan Simpang Selayang Tahun 2013
No. Sampel Suhu ˚C Waktu (menit)
Kandungan Larva Cacing Pita (metode kompresi
otot)
Kandungan larva cacaing pita (metode
pencernan otot)
1. I 70 25 - -
2. II 70 25 - -
3. III 72 25 - -
4. IV 68 20 - -
5. V 70 20 - -
6. VI 72 20 - -
Keterangan :
Suhu : suhu dalam memanggang aging Waktu : lama memanggang daging
Hasil pengukuran suhu sampel daging anjing yang berdasarkan penyajian
dipanggang sampai matang pada rumah makan panggang B1 yaitu antara 68˚C - 72˚C
dengan waktu atau lama memanggang antara 20 – 25 menit. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang sampai
matang menunjukkan pada enam rumah makan panggang B1 tidak ditemukan larva
cacing pita, karena tidak ditemukannya larva cacing pita pada pemeriksaan
laboratorium dengan menggunakan kompresi otot maka pemeriksaan tidak
5.1. Prinsip Sanitasi Pada Pengolahan Daging Anjing Di Rumah Makan Panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap
pemilik rumah makan panggang B1 tentang enam prinsip dasar sanitasi pengolahan
daging anjing yang di sajikan di rumah makan panggang B1 padang bulan simpang
selayang medan tahun 2013, disajikan dalam dalam bentuk tabel.
Keenam prinsip sanitasi disajikan ke dalam tabel yang berbeda yaitu mulai
dari pemilihan bahan baku, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan bahan
makanan jadi, pengolahan bahan makanan, pengangkutan bahan mentah, dan
penyajian bahan makanan. Dari keenam prinsip sanitasi tersebut telah ditentukan
dengan masing – masing nilai yang diperoleh dari hasil observasi langsung ke rumah
makan panggang B1 padang bulan simpang selayang medan tahun 2013.
Ada beberapa kriteria yang dilnilai untuk variable sanitasi makanan seperti
yang disajikan pada table 5.1. berikut ini :
Table 5.1. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Pemilihan Bahan Makanan.
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Pemilihan kondisi fisik makanan dalam keadaan baik
6 100% 0 0
Mencuci bahan yang digunakan 6 100% 0 0
Bahan makanan dalam keadaan baik 6 100% 0 0
Bahan makanan tidak bau busuk 6 100% 0 0
Tabel 5.2. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Penyimpanan Bahan Maknan
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Bahan yang disimpan di cuci terlebih dahulu 6 100% 0 0 Punya wadah kusus untuk menyimpan bahan
makanan
0 0 6 100
Tempat penyimpanan bersih terhindar dari hewan pengganggu seperti lalat, tikus, kecoa dll
6 100% 0 0
Tersedianya tempat pendingin ( kulkas ) untuk bahan – bahan yang mudah membusuk seperti daging
6 100% 0 0
Tabel 5.3. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Pengolahan Bahan Makanan
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Wadah pengolahan bahan mentah bersih 4 66,6% 2 33,3% Wadah untuk memasak bahan mentah bersih 6 100% 0 0
Keadaan dapur berih 4 66,6% 2 33,3%
Menggunakan tutup kepala saat mengolah daging 0 0 6 100% Menggunakan celemek saat mengolah daging 0 0 6 100% Tidak menagani daging saat sedang batuk pilek 5 83,3% 1 16,6% Mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah
daging dan setelah buang air
0 0 6 100%
Tabel 5.4. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Penyimpanan Makanan Jadi
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Wadah penyimpanan bahan jadi harus bersih 6 100% 0 0 Semua makanan masak mempunyai wadah
masing – masing yang terpisah
6 100% 0 0
[image:21.612.108.535.125.292.2] [image:21.612.111.534.356.524.2] [image:21.612.110.537.590.697.2]Tabel 5.5. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Pengangkutan Makanan
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Tersedia tempat kusus untuk mengangkut daging 4 66,6% 2 33,3% Tempat untuk mengankut daging dalam keadaan
bersih
6 100% 0 0
Mengangkut bahan makanan tidak bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun
6 100% 0 0
Tabel 5.6. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Penyajian Makanan
Prinsip sanitasi
kategori
ya tidak
n % n %
Penyajian makanan menggunakan alat yang bersih
6 100% 0 0
Cara menyajikan dan membawa makanan dalam keadaan tertutup
0 0 6 100%
Penyaji menjaga kebesihan badannya sewaktu menyajikan makanan
4 66,6% 2 33,3%
Penyaji menggunakan pakaian yang berih saat menyajikan makanan
4 66,6% 2 33,3%
Pnyaji tidak sedang dalam keadaan sakit saat menyajikan makanan
4 66,6% 2 33,3%
Berdasarkan hygiene sanitasi makanan, rumah makan di tinjau dari sumber
bahan makanan, pemilihan bahan baku, pengangkutan bahan makanan, penyimpanan
bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan
makanan dan penyajian makanan. Setiap penilaian memiliki beberapa kriteria yang
disesuaikan berdasarkan Kepmenkes No 1098 tahun 2003 tentang hygiene sanitasi
[image:22.612.110.532.125.248.2] [image:22.612.110.534.311.506.2]Untuk daging yang diolah di setiap rumah makan panggang B1 tersebut di
peroleh dari penduduk yang bertempat tinggal di sekitar pasar pancur batu dan desa
lau cih sekitarnya. Sementara untuk pengangkutan bahan makanan atau daging,
semua rumah makan tidak memiliki wadah kusus dalam mengankut bahan makanan
atau daging, dikarenakan daging anjing diolah sendiri oleh pemilik setiap rumah
makan, karena anjing yang akan diolah di antar langsung oleh penjual dalam kondisi
masih hidup ke pemilik rumah makanan itu sendiri.
Untuk penilaian pada pengolahan makanan diperoleh bahwa masih 50,0 %
rumah makan yang keadaan dapurnya tidak bersih. Dari hasil observasi terdapat 1 (V)
dari 6 rumah makan panggang B1 yang lantainya terbuat dari batako dan 5 (I, II, III,
IV dan IV) rumah makan yang lantainya telah di cor, lantai dapur yang hanya terbuat
dari tanah tersebut debunya memungkinkan dapat mencemari makanan pada saat
proses pengolahan. Dari 6 rumah makan panggang B1, pada saat observasi
berlangsung terdapat 3 rumah makan panggang B1 yang lantai dapurnya terlihat kotor
dimana sampah dari bahan makan berserakan di lantai dapur. Dengan demikian untuk
kategori kebesihan dapur pada rumah makan panggang B1 sekitar padang bulan
simpang selayang medan tidak sesuai dengan Kepmenkes 1098 tahun 2003
mensyaratkan kebersihan dapur.
Pada umumnya hygiene sanitasi makanan pada rumah makan panggang B1 di
sekitar padang bulan simpang selayang medan telah sesuai dengan Kepmenkes yang
berlaku. Akan tetapi jika dinilai berdasarkan kriteria masing – masing variabel
terdapat beberapa kategori yang tidak sesuai dengan Kepmenkes yang berlaku yakni
bersih 66,6% % rumah makan panggang B1 dan cara penyajian 0 % rumah makan
panggang B1.
6.1. Sanitasi Peralatan
Sanitasi peralatan rumah makan panggang B1 ditinjau dari dua kategori
penilaian yaitu peralatan makanan dan fasilitas sanitasi rumah makan. Masing –
masing kategori dinilai atas beberapa kriteria yang disesuaikan denagn Kepmenkes
No. 1098 yahun 2003.
6.1.1. Peralatan Makan
Sanitasi peralatan makan dinilai atas 11 kategori penilaian yang dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 6.1.1. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Keadaan Peralatan Makanan
Keadaan Peralatan Makanan
Kategori
Ya Tidak n % n %
Bentuk piring tidak rusak atau retak 1 16,6 % 5 83,3 % Bentuk sendok tidak retak atau rusak 0 0 6 100,0 % Bentuk gelas tidak retak atau rusak 1 16,6 % 5 83,3 % Mencuci peralatan makanan sebelum
digunakan
6 100,0 % 0 0 %
Pencucian peralatan makanan menggunakan sabun atau deterjen
6 100,0 % 0 0
Pengeringan peralatan tidak menggunakan lab
0 0 6 100,0 %
Pengeringan peralatan ditiriskan pada rak-rak anti karat
0 0 6 100,0 %
Semua peralatan yang kontak denagan makanan disimpan dalam keadaan kering
0 0 6 100,0 %
Semua peralatan yang kontak dengan makanan disimpan dalam keadaan bersih
6 100,0 % 0 0
Cangkir, mangkok, gelas dan sejenisnya cara penyimpanannya dibalik
0 0 6 100,0 %
Peralatan makan dinilai atas 11 kriteria penilaian yang meliputi bentuk piring,
sendok, gelas,pencucian peralatan, penggunaan deterjen saat pencucian, pengeringan
peralatan dengan lap, rak – rak anti karat,peralatan makan dalam keadaan kering,
peralatan makan dalam kadaan bersih, cara penyimpanan, dan kebersihan tempat
penyimpanan. Dapat dilihat pada tabel 4.10.
Data pada table 6.1.1. menunjukkan bahwa dari 11 kriteria penilaian terdapat
3 kriteria yang tidak sesuai dengan Kepmenkes yang berlaku yakni peralatan
ditiriskan pada rak – rak anti karat, penyimpanan peralatan dalam keadaan kering dan
penyimpanan cangkir, piring dll dalam keadaan kering yaitu sebesar 100 % pada
rumah makan panggang B1. Responden beralasan bahwa mereka tidak terlalu
memperhatikan bentuk piring dan gelas, mereka merasa bahwa piring dan gelas
tersebut masih aman untuk digunakan. Selain itu responden beralasan bahwa
pengeringan menggunakan lap lebih memudahkan dan mempercepat dalam proses
pengeringan peralatan makan. Sementara dalam Kepmenkes No. 1098 tahun 2003
mensyaratkan bahwa bentuk piring yang digunakan di rumah makan tidak dibolehkan
dalam keadaan retak sebab akan menjadi sumber pengumpulan kotor. Sedangkan
untuk penggunaan lap pada proses pengeringan akan memungkinkan kontaminasi
bakteri. Sementara 8 kategori lainnya pada umumnya sudah sesuai dengan
Kepmenkes yang berlaku. Setelah pemberian skor pada masing – masing rumah
makan untuk hygiene sanitasi rumah makan berdasarkan kriteria penilaian diperoleh
bahwa 1 dari 6 rumah makan panggang B1 di sekitar padang bulan simpang selayang
medan telah memenuhi beberapa sanitasi sesuai dengan Kepmenkes No. 1098 tahun
6.1.2. Fasilitas Sanitasi
Fasilitas sanitasi rumah makan dinilai atas 12 kategori penilaian yang dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 6.1.2. Distribusi Rumah Makan Panggang B1 Berdasarkan Kondisi Rumah Makan
Kondisi Rumah Makan kategori
ya tidak
n % n %
Tersedia ventilasi 6 100% 0 0
Ventilasi befungsi dengan baik 6 100% 0 0
Pencahayaan tersebar merata disetiap ruangan 6 100% 0 0
Tersedia tempat sampah 6 100% 0 0
Tempat sampah tertutup 0 0 6 100%
Tempat air bersih memiliki tutup 0 0 6 100%
Tersedia air yang memadai untuk pencucian peralatan
6 100% 0 0
Tersedia deterjen untuk pencucian peralatan 6 100% 0 0 Tempat pencucian peralatan sedikitnya 3 bak 0 0 6 100%
Tersedia tempat cuci tangan 0 0 6 100%
Tempat cuci tangan tersedia sabun 0 0 6 100%
Tempat cuci tangan tersedia lap 0 0 6 100%
Fasilitas sanitasi rumah makan dinilai atas 12 kriteria penilaian yang meliputi
kepemilikan ventilasi,ventilasi yang berfungsi dengan baik pencahayaan, ketersediaan
tempat sampah, ketersediaan tempat sampah yang tertutup, ketersediaan air
pencucian, penggunaan deterjen, fasilitas pencucian peralatan, ketersediaan tempat
cuci tangan, lap tangan dan sabun untuk mencuci tangan untuk konsumen.dapat
Data pada tabel 6.1.2. menunjukkan bahwa dari 12 kriteria penilaian terdapat
6 kriteria yang tidak sesuai dengan Kepmenkes No. 1098 tahun 2003 yakni tempat
sampah tertutup,tempat air memiliki tutup, tempat air bersih memiliki tutup, tersedia
tempat cuci tangan, temapat uci tangan tersedia sabun dan tempat cuci tangan tersedia
lap yakni 0 % rumah makan panggng B1. Untuk tempat cuci tangan rumah makan
panggang B1 menyediakan mangkok yang berukuran kecil yang berisi air untuk
mencuci tangan konsumen. Rumah makan juga tidak memberi tutup pada tempat
penyimpanan air bersih,alasannya karena agar lebih mempermudah dan lebih cepat
sewaktu proses pngambilan air. Setelah pemberian skor pada masing – masing rumah
makan panggang B1 untuk sanitasi peralatan dan fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria
penilaian diperoleh bahwa semua rumah makan panggang B1 belum sesuai dengan
BAB V PEMBAHASAN
7.1. Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Daging Anjing Mentah
Pemeriksaan laboratorium spesimen daging anjing mentah yang akan dipanggang
di rumah makan panggang B1 dilakukan sebagai pembanding dengan spesimen
daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang dan daging
anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang. Hasil pemeriksaan
kandungan larva cacing pita pada spesimen daging anjing mentah yang berasal dari
keenam rumah makan di Laboratorium Medilab Padang Bulan Medan dengan metode
kompresi otot dan metode pencernaan otot didapat hasil sebagai berikut :
1. Rumah makan I tidak ditemukan larva cacing pita
2. Rumah makan II tidak ditemukan larva cacing pita
3. Rumah makan III dengan menggunakan kompresi otot ditemukan larva cacing
pita kemudian serelah dilanjutkan ke metode pencernaan otot ternyata larva
caing pita tersebut masih hidup (infektif)
4. Rumah makan IV tidak ditemukan larva cacing pita
5. Rumah makan V dengan menggunakan metode kompresi otot ditemukan
larva cacing pita kemudian setelah dilanjutkan metode pencernaan otot
ternyata larva cacing pita tersebut masih hidup (infektif)
6. Rumah makan VI tidak ditemukan larva cacing pita
Adapun kemungkinan ditemukannya larva cacing pita pada rumah makan V
kurang memperhatikan kesehatan dari hewan peliharaan tersebut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soedarto (1992) bahwa larva cacing pita dapat ditemukan pada
daging apabila rendahnya kesehatan lingkungan dalam pengelolaan ternak dan
kurangnya pengawasan atas daging yang akan dikelola menjadi masakan.
7.2. Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Daging Anjing Berdasarkan Penyajian Dipanggang Setengah Matang.
Hasil pemeriksaan kandungan larva cacing pita pada spesimen daging anjing
berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang yang berasal dari keenam rumah
makan di Laboratorium Medilab dengan metode kompresi otot dan metode
pencernaan otot didapat hasil sebagai berikut :
1. Rumah makan I tidak ditemukan larva cacing pita
2. Rumah makan II tidak ditemukan larva cacing pita
3. Rumah makan III tidak ditemukan larva cacing pita
4. Rumah makan IV tidak ditemukan larva cacing pita
5. Rumah makan V tidak ditemukan larva cacing pita
6. Rumah makan VI tidak ditemukan larva cacaing pita
Setiap daging sebelum dikonsumsi harus dimasak sampai matang sempurna
sehingga daging bebas dari kuman parasit dan layak dikonsumsi. Tetapi orang gemar
memakan daging dalam kondisi setengah matang sehingga permintaan konsumen
tetap dilayani pihak rumah makan.
Suhu yang dicapai dalam proses pemanggangan tersebut berbeda- beda
tergantung pada persepsi pengelola rumah makan dalam memanggang daging anjing
anjing untuk penyajian setengah matang berbeda-beda yaitu mulai dari 54ºC - 62ºC
dengan lama memanggang 12 menit – 17 menit.
Dari keenam spesimen daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang
setengah matang diketahui pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan metode
kompresi otot tidak terdapat kandungan larva cacing pita pada daging anjing. Hasil
pemeriksaan ini menunjukkan bahwa daging anjing yang berdasarkan penyajian
dipanggang setengah matang yaitu pada suhu 54ºC – 62ºC dengan lama memanggang
12 menit – 17 menit telah membunuh larva cacing pita tersebut. Atau bisa juga
disebabkan karena kemungkinan secara kebetulan spesimen daging anjing yang sudah
dipanggang sampai matang tidak mengandung larva cacing pita.
7.3. Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Daging Anjing Berdasarkan Penyajian Dipanggang Sampai Matang
Hasil pemeriksaan laboratorium kandungan larva cacing pita pada spesimen
daging anjing berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang yang berasal dari
keenam rumah makan di laboratorium Medilab dengan metode kompresi otot dan
metode pencernaan didapat hasil sebagai berikut :
1. Rumah makan I tidak ditemukan larva cacing pita
2. Rumah makan II tidak ditemukan larva cacing pita
3. Rumah makan III tidak ditemukan larva cacing pita
4. Rumah makan IV tidak ditemukan larva cacing pita
5. Rumah makan V tidak ditemukan larva cacing pita
Hasil pemeriksaan laboratorium spesimen daging yang berdasarkan penyajian
dipanggang sampai matang tidak satupun ditemukan larva cacing pita. Hasil
pengukuran suhu diketahui suhu yang digunakan dalam memanggang daging anjing
berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang yaitu 68 ºC – 72 ºC dengan lama
memanggang 20 menit- 25 menit. Tidak ditemukannya larva cacing pita pada daging
anjing berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang kemungkinan disebabkan
oleh karena tidak semua organ dari sampel daging anjing tersebut mengandung larva
cacing pita, jadi dalam hal ini kemungkinan secara kebetulan spesimen daging anjing
yang sudah dipanggang sampai matang tidak menagandung larva cacing pita.
Kemungkinan lainnya larva cacing pita, yang ada pada daging anjing yang
berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang telah mengalami kerusakan
struktur dan menyatu dengan struktur daging anjing tersebut sehingga dalam
pemeriksaan laboratorium sangat sulit diidentifikasikan.
7.4. Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Daging Anjing Mentah,Daging Anjing Berdasarkan Penyajian Dipanggang Setengah Matang dan Berdasarkan Penyajian Dipanggang Sampai Matang
Pemeriksaan Laboratorium spesimen daging anjing mentah, daging anjing
berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang, dan berdasarkan penyajian
dipanggang sampai matang diketahui bahwa sebagian spesimen daging anjing mentah
yang dijadikan sampel ditemukan larva cacing pita, dan pada sampel daging anjing
yang berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang tidak ada ditemukan larva
cacing pita, dan untuk sampel daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang
Kandungan larva cacing pita pada spesimen daging anjing yang dijadikan sampel
tersebut menunjukkan bahwa dalam pemeliharaan anjing kurang diperhatikan dengan
baik yaitu terlebih kebersihan dan kesehatan dari anjing tersebut, sehingga diperlukan
peningkatan sanitasi lingkungan khususnya di lingkungan tempat tinggal dari anjing
tersebut,dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa pedagang penjual daging
anjing di pasar pancur batu dapat disimpulkan bahwa kandungan larva cacing pita
pada daging anjing tersebut kemungkinan disebabkan oleh :
1. Kurangnya kesadaran dari pada pedagang anjing tersebut dalam memelihara
kesehatan dan kebersihan dari anjing tersebut.
2. Dalam pemberian makan dari pada anjing tersebut kurang diperhatikan atau
dijaga, anjing yang terkadang kurang mendapat makanan dari pemiliknya
akan mencari makanan lain disekitar rumah,atau terkadang anjing tersebut
memakan bangkai ayam atau kotoran manusia atau sisa makanan yang sudah
mulai membusuk yang ada di sekitar halaman rumah,atau tempat sampah
yang ada di sekitar rumah masyarakat.
Untuk mengurangi dan memutuskan mata rantai infeksi cacing pita pada
daging anjing dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan sanitasi lingkungan
sekitar tempat tinggal masyarakat yang memelihara anjing, dan lebih memperhatikan
makanan dari pada anjing tersebut agar memberi makan anjing dengan makanan yang
dimasak terlebih dahulu, memberi makan yang cukup untuk anjing tersebut, agar
tidak memakan makanan yang kurang baik seperti kotoran manusia dan bangkai
ayam atau sisa makanan lain yang ada di sekitar rumah masyarakat dan mejaga
Disamping hal tersebut sebaiknya perlu diperhatikan pengawasan yang lebih
pada daging yang di jual untuk dikonsumsi masyarakat terutama pada daging anjing
sehingga masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut terhindar dari cemaran
parasit yang dapat menggangu kesehatan.
7.5. Observasi Sanitasi Pengolahan Daging Anjing
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap
sanitasi pengolahan daging anjing di rumah makan panggang B1 sekitar padang bulan
simpang selayang medan secara keseluruhan tidak memenuhi syarat kesehatan yang
sesuai dengan Kepmeskes RI No.1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman
persyaratan higiene sanitasi rumah makan.
7.5.1. Pemilihan Bahan Baku
Prinsip pemilihan bahan baku pengolahan daging anjing sudah memenuhi
syarat karena daging anjing yang digunakan bersih dan segar, tapi tidak diperoleh dari
tempat yang diawasi oleh pemerintah, karena daging anjing yang diperoleh berasal
dari pasar pancur batu dan penduduk di sekitar lau cih.
7.5.2. Penyimpanan Daging Anjing
Prinsip penyimpanan daging yang dilakukan oleh pemilik rumah makan
panggang B1 sudah memenuhi syarat. Daging yang akan diolah di simpan pada
lemari es untuk menjaga kesegaran dari daging tersebut dan agar supaya terhindar
dari lalat dan juga kecoa. Sedangkan untuk daging yang telah dipanggang di letakkan
di dalam tong yang tidak memiliki tutup, sehingga tidak sesuai dengan Kepmenkes
7.5.3. Pengolahan Daging Anjing
Prinsip pengolahan daging anjing yang telah dilakukan oleh pemilik rumah
makan panggang B1 tidak memenuhi syarat keshatan. Seluruh pemilik rumah makan
panggang B1 dalam mengolah daging yaitu pada saat pemotongan anjing dilakukan
di luar rumah atau di halaman belakang rumah, dalam mengolah daging tidak
menggunakan celemek dan sarung tangan. Pada saat pengolahan daging anjing juga
tidak menggunakan tutup kepala, dari 6 rumah makan saat mengolah daging anjing
tidak ada yang menggunakan celemek dan juga tutup kepala.
Dari pengolahan awal para pemilik rumah makan panggang B1 dalam
mengolah daging tidak mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun. Sedangkan
untuk peralatan di cuci dengan sabun atau deterjen tetapi pada saat pencucian tidak
menggunakan air yang mengalir. Sebaiknya peralatan makan seperti piring, sendok
dan gelas di cuci dengan air yang mengalir agar kotoran dan sisa sabun langsung ikut
terbilas. Penerapan sanitasi yang buruk akan berdampak pada kesehatan konsumen
yang mengkonsumsi daging anjing tersebut.
7.5.4. Penyimpanan Makanan Jadi
Dalam hal penyimpanan makanan jadi ke 6 rumah makan panggang B1
tersebut daging yang akan dipanggang di simpan ke dalam ember besar yang tidak
mempunyai tutup dan dibiarkan terbuka begitu saja, sehingga dapat mengakibatkan
daging yang akan di panggang terkontaminasi oleh vektor penyakit seperti lalat,
kecoa, tikus dll, sehingga mengakibatkan konsumen dapat terkontaminasi oleh
bakteri yang dapat menimbulkan penyakit yang kemudian akan dikonsumsi oleh
7.5.5. Pengangkutan Bahan Makanan
Dalam proses pengangkutan daging anjing tersebut tidak menggunakan
kendaraan kusus,daging yang akan diolah atau dipanggang diangkat dengan
kendaraan yang biasa digunakan oleh pemilik rumah makan panggang B1 untuk
bepergian. Menurut pemilik rumah makan panggang B1 mereka tidak perlu
menggunakan kendaraan kusus untuk mengangkut daging tersebut, dengan alasan
akan terjadi pemborosan kendaraan jika menggunakan kendaraan yang berbeda –
beda dalam mengangkut daging tersebut. Cara pengangkutan pada dasarnya
mempunyai dua tujuan yaitu agar makanan tidak tercemar oleh zat – zat yang
membahayakann dan agar bahan makanan tersebut tidak rusak ( Azwar,1990)
7.5.6. Penyajian Makanan
Dalam proses penyajian makanan di rumah makan panggang B1 dalam proses
pencucian peralatan ke 6 rumah makan panggang B1 tidak menggunakan air mengalir
dalam proses pencucian, piring, gelas, dan peralatan makan lainnya. Pencucian yang
berulang – ulang beresiko untuk menularkan berbagai macam virus dan bakteri yang
dapat menular melalui makanan seperti tifus, disentri sehingga kesehatan konsumen
bisa terancam.
Beberapa pegawai dari ke enam rumah makan panggang B1 tersebut kurang
menjaga kebersihan badan, seperti tidak menggunakan seragam, kuku jari tangan
terlihat panjang dan tidak di potong dan rambut dibiarkan tergerai pada saat melayani
konsumen. Menurut Depkes RI (2003) dalam penanganan makanan dan minuman
makanan tersebut dan selalu menjaga kebersihan seluruh anggota tubuhnya agar tidak
terjadi kontaminasi terhadap makanan yang ditanganinya.
7.6. Kandungan Larva Cacing Pita
Pemeriksaan kandungan larva cacing pita pada spesimen daging anjing
mentah,daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang setengah matang dan
daging anjing yang berdasarkan penyajian dipanggang sampai matang digunakan
dengan metode kompresi otot yakni untuk mengetahui kandungan larva cacing pita
dan apabila ditemukan larva cacing pita akan dilanjutkan dengan menggunakan
metode pencernaan otot yaitu untuk memperjelas dan mengetahui apakah larva
cacing pita masih hidup (masih infektif).
Adanya larva cacing pita dapat dikenali dengan melihat bentuk bercak –
bercak putih seperti beras karena terjadi pengapuran pada daerah organ yang
ditempati. Adapun organ – organ yang sering ditempati larva cacing pita yaitu organ
jantung, hati,paru serta otot sedangkan otot – otot yang paling disukai adalah otot
lidah, otot,leher, otot bahu dan otot gerak lainnya (Soerdarto,1992).
Sumber daging anjing yang disajikan di enam rumah makan panggang B1
berasal dari tempat yang berbeda dimana daging anjing yang disajikan di rumah
makan I,II,VI dan V berasal dari penduduk yang bertempat tinggal di daerah pancur
batu dan lau cih, sedangkan untuk rumah makan III dan IV berasal dari daerah
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian tentang sanitasi pengolahan larva cacing pita
pada daging anjing di rumah makan panggang B1 sekitar padang bulan simpang
selayang medan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemilihan dan penyimpanan bahan baku daging di Rumah Makan
Panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan memenuhi syarat
kesehatan
2. Pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan penyajian daging anjing
mentah, setengah matang dan matang sempurna belum spenuhnya
memenuhi syarat kesehatan
3. Kandungan larva caicing pita ( kista hidatid ) di rumah makan panggang B1 Padang Bulan Simpang Selayang Medan di temukan pada sampel III
dan V pada sampel daging mentah, sedangkan pada sampel daging anjing
yang di panggang setengah matang dan matang sempurna tidak ditemukan
adanya larva cacing pita ( kista hidatid )
8.2. Saran
Dalam pengolahan daging mulai dari pengolahan daging mentah,
setengah matang dan matang sempurna harus memperhatikan hygiene sanitasi
dan menjaga kebersihan diri pada saat mengolah daging, proses pengolahnya
pada tempat yang bersih dan mengolah daging pada suhu yang dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daging Dan Produk Dari Daging
Binatang piaraan sebagaimana aturannya , lebih sehat dari pada mereka yang
berkerumun secara bebas di pejagalan atau pembantaian disebabkan oleh karena
binatang yang sehat menjadi kena infeksi selama transit menuju pasar dan dikurung.
Infeksi silang bisa terjadi dari hewan yang sakit atau atau hewan pembawa penyakit
atau melalui kotoran, bakteri menjadi tertabur.
Infeksi daging binatang sebelum disembelih bisa terjadi disebabkan oleh
karena beberapa bakteri tertentu menembus ke dalam otot walaupun jaringannya
biasa – biasa saja dan daging binatang yang sehat tidak menjadi tempat berlabuh bagi
mereka. Mungkin benar untuk Salmonella, Streptococci dan Brucella ( Lukman dkk, 2007 ).
Kehidupan bakteri di usus atau perut binatang bisa mempengaruhi
kehidupannya bilamana binatang disembelih dan dinding usus atau pencernaanya
hilang ketahanannya, sehingga jasad renik dapat menembus dinding dan selanjutnya
membawa ke seluruh jaringan darah dan limpha dan hubungan jaringan antar tulang (
Lukman dkk, 2007 ).
2.2. Daging Sebagai Kebutuhan Manusia
Dalam menjaga kelangsungan hidup manusia harus memperhatikan
kecukupan zat gizi seperti karbohidrat, protein , lemak dan vitamin yang didapatkan
Kebutuhan akan protein dan lemak biasanya didapatkan manusia dengan cara
mengkonsumsi daging dari hewani seperti sapi, ayam, kambing, babi, kerbau dan lain
sebagainya. Kandungan protein dan lemak pada daging sangat tinggi, secara umum
daging mengandung 20 % protein dan lemak sekitar 11 %.
Daging didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan – jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging yang dikonsumsi
dapat berasal dari sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, unggas, ikan, dan organisme
yang hidup diair atau didarat serta daging hewan – hewan dan aneka ternak (
Soeparno, 1994 ).
2.3. Defenisi Daging Ajing
Daging anjing adalah daging pangan yang diproduksi dari anjing yang
disembelih. Selain sebagai binatang peliharaan, anjing masih diternahkkan dan
disembelih sebagai sumber protein di beberapa tempat di dunia. Di negara – negara
yang menyayangi anjing sebagai hewan peliharaan, memakan daging anjing
merupakan tindakan tabu dan melawan kebiasaan sehingga konsumsi daging anjing
biasa mendapat kecaman keras.
Dibeberapa provinsi di Indonesia, daging anjing disantap sebagai sumber
protein baik secara terang – terangan maupun diam – diam. Di Manado dan Minahasa
daging anjing dikenal dengan istilah”RW” (dibaca : erwe) , masakan Batak juga
mengenal masakan daging anjing, walaupun daging anjing yang diberi kode “B1”
untuk eufemisme bukanlah makanan yang paling populer dalam kuliner Tapanuli. Di
daging anjing disamarkan dengan sebutan tongseng dengan daging anjing ( dari
tongseng asu ).
Seekor anjing dapat makan kutu saat perawatan. Kutu pergi melalui siklus
hidup empat tahap, telur, larva, nimfa, dan dewasa. Perlindungan terbaik adalah untuk
mencuci tangan dengan bersih dengan air dan sabun setelah kontak dengan anjing, air
liur, atau tinja anjing. Kurap bukanlah seperti namanya, disebabkan oleh cacing.
Berikut adalah beberapa penyakit zoonosis yang paling umum bahwa anjing bisa lewat orang. Cacing pita pada anjing disebabkan oleh menelan kutu yang terinfeksi
dengan larva cacing pita.
2.4. Cestoda
Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidae, filum
Platyhelminyhes. Cacing dewasanya menempatisaluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata ( Srisasi dkk,2000 ).
Pada umumnya cacing Cestoda mempunyai bentuk tubuh seperti pita, pipih ke arah dorsoventral, dan mempunyai banyak ruas (segmen). Ukuran cacing cestoda sangat besar variasinya. Ada yang panjang tubuhnya hanya beberapa milimeter, tetapi
ada juga yang panjang mencapai beberapa meter. Cacing dewasa mempunyai tubuh
yang terdiri dari kepala (skoleks), leher dan badan (srobila) yang terdiri atas banyak ruas (segmen) yang disebut juga proglottid. Cacing cestoda adalah cacing yang
sistem). Juga setiap segmen dari cacing ini mempunyai alat reproduksi yang sempurna (Soedarto,1991).
Spesies penting yang dapat menimbulkan kelainan pada manusia umumnya
adalah : Diphyllobotrhium latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, E.multilocularis, Taenia saginata dan Taenia solium (Srisasi dkk,2000).
Manusia merupakan hospes Cestoda ini dalam bentuk :
1. Cacing dewasa untuk spesies D.latum, T.saginata, H.nana, H.diminuta, Dipylidium caninum.
2. Larva, untuk spesies Diphyllobotrhium sp, T.solium, H.nana, E. granulosus, Multiceps (Srisasi dkk, 2000).
Infeksi terjadi dengan menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada Cestoda
dikenal dua ordo :
1. Pseudophyllidea dan 2. Cyclopyllidea.
2.4.1. Klasifikasi Cestoda Pada Manusia
1. Ordo : Pseudophyllidea
Superfamili : Bothriocephaloidea
Famili : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobotrhium
Spesies : Diphyllobotrhium latum
2. Ordo : Cyclophyllidea
Superfamili : Taenioidea
Genus : 1. Taenia ,2. Echinococcus, 3. Multiceps
Spesies : 1.1. Taenia saginta, 1.2. Taenia solium, 2. Echinococcus Granulosus, 3. Multiceps multiceps
3. Ordo : Cyclophyllidea
Superfamili : Taenioidea
Famili : Hymenolepididae
Genus : Hymenolepis
Spesies : 1. Hymenolepis nana 2. Hymenolepis diminuta
2.4.2. Echinococcus Granulosus
Nama umum, cacing pita pada anjing adalah Echinococcus granulosus. Terdapat di seluruh dunia terutama didaerah – daerah peternakan sapi dan domba
sehingga terdapat hubungan yang erat antara manusia-herbivora-anjing. Parasit ini
lebih banyak di jumpai didaerah beriklim sedang dari pada daerah beriklim tropik
(Soedarto,1991).
Hippocrates, Aretaeus dan Golden telah mengenal gejala klinik penyakit yang
disebabkan oleh kista hidatid. Pada tahun 1766 Palbes untuk pertama kali menyatakan persamaan hidatid pada manusia dan pada binatang lain. Infeksi kista hidatid yang pertama dibuat diagnosis pada manusia ialah di Amerika Serikat pada tahun 1808 (Srisasi,2000).
Anjing dan karnivora lainnya adalah hospes cacing ini. Manusia dapat
(gambar di atas adalah cacing dewasa Echinococcus granulosus)
2.4.3. Morfologi Echinococcus granulosus
Cacing ini kecil ukurannya. Panjangnya antara 3 dan 6 milimeter dan hanya
terdiri dari skoleks, leher dan strobila yang hanya terdiri dari 3 segmen. Kadang –
kadang terdapat 4 buah segmen. Segmen yang pertama adalah segmen yang imatur,
segmen kedua segmen matur dan segmen yang terakhir adalah segmen gravid.
Segmen yang terakhir ini adalah segmen yang terbesar ukurannya dengan panjang
dua sampai tiga milimeter dan lebar 0,6 milimeter. Skoleks memiliki 4 alat isap
dengan rostelum yang mempunyai 2 deret kait yang melingkar, lehernya pendek dan
lebar.
heksakan dengan tiga pasang kait. Telur cacing ini infektif dengan manusia, biri- biri,
sapi dan herbivora lainnya.
Bentuk larva didapatkan di dalam kista hidatid yang terbentuk di dalam tubuh
hospes perantara. Siklus hidup Echinococcus granulosus berlangsung di dalam dua jenis tubuh tuan rumah. Sebagai hospes defenitif adalah anjing, serigala dan
sejenisnya sedangkan manusia, biri- biri, sapi , kuda dan kambing merupakan hospes
perantara. Biri – biri merupakan hospes perantara yang terbaik. Di dalam tubuh
hospes perantara ini , larva cacing akan tumbuh dan membentuk kista hidatid.
Telur –telur keluar bersama tinja hospes defenitif misalnya anjing, telur
termakan oleh hospes perantara (biri-biri dan mamalia pemakan rumput) melalui
rumput yang mereka makan sedangkan pada manusia oleh karena kontak yang erat
paru-paru dan kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya. Hati dan paru – paru
merupakan organ yang paling sering di temukan embrio cacing ini. Di dalam organ
tubuh tersebut embrio tumbuh menjadi kista hidatid. Dari bagian dalam kista kemudian akan terbentuk brood capsules disertai oleh pembentukan sejumlah skoleks. Satu kista hidatid yang berasal dari sebuah embrio dapat memiliki ribuan skoleks. Jika kista hidatid yang matang termakan oleh anjing, maka dalam waktu enam minggu di dalam usus anjing tersebut akan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Dengan demikian siklus hidup cacing akan berulang kembali. Pada anjing cacing
dewasa Echinococcus granulosus tidak menimbulkan banyak gangguan meskipun didapatkan dalam jumlah besar di dalam usus. Sedangkan pada manusia larva cacing
akan menimbulkan unilocular hydatid disease (Soedarto,1991).
2.5. Gejala klinik akibat kista hidatid
Telur cacaing yang terdapat di dalam tinja anjing dapat tertelan manusia
melaui berbagai jalan yaitu melalui kontak langsung dengan anjing yang sakit,
melalui piring makan yang juga dipakai oleh anjing atau melalaui makanan yang
Gejala klinik yang terjadi akibat kista hidatid tergantung kepada tempat terdapatnya kista tersebut di dalam organ tubuh. Jika terdapat di daerah permukaan
mungkin terlihat adanya benjolan. Pada umumnya penyakit ini dalam keadaan tenang
selama bertahun – tahun tanpa keluhan dan hanya di jumpai sesudah dilakukan otopsi
atau bila kista pecah tak sengaja. Akibat tekanan kista juga sangat tergantung pada
lokasi kista. Jika kista hidatid pecah, maka dapat terjadi gejala anafilaktik dan juga dapat timbul pembentukan kista hidatid sekunder baik yang bersifat sistemik maupun yang setempat (Soedarto, 1991).
2.6. Klasifikasi Echinococcus granulosus
Cacing pita Cyclophyllidae Manusia
FAMILI Hymenolepididae Taeniidae
GENUS Hymenolepis Taenia Echinococcus Multiceps
SPESIES H.nana T.solium E. granulosus M.multiseps
(stadium dewasa larva pada manusia) (stadium dewasa kadang-kadang larva pada manusia) (stadium larva hanya pada
manusia)
(stadium larva hanya pada
manusia) H.diminuta (stadium dewasa pada manusia) T.saginta (stadium dewasa pada manusia) E.multilocularis (stadium larva pada manusia) And.relatid species (stadium larva pada manusia)
Subkigdom : Metazoa
Kerajaan : Animalia
Subkelas : Cestoda
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Spesies : - E.granulosus - E.multilocularis
(stadium larva hanya pada manusia)
2.7. Penyakit Yang Di Tularkan Melalui Makanan
Yang dimaksud dengan penyakit – penyakit karena makanan ialah gangguan
pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala – gejala : mual, perut mules,
berak – berak yang terjadi setelah makan atau minum.
Sumber kontaminasi mikro-organisme makanan umumnya berasal dari tanah,
udara, hewan, dan manusia. Sedang saat kontaminasi dapat terjadi pada berbagai
tahap, baik selama maupun setelah pengolahan bahan makanan. Kontaminasi yang
terjadi pada tahap sebelum pengolahan antara lain sejak dari pemanenan,
penyembelihan dan selama penyimpanan.
Pada hakekatnya bahan makanan yang berasal dari tanaman dan hewan atau
produk – produknya, sulit dihindari dari hadirnya mikro-organisme secara alamiah
pada bahan makanan. Selama proses pengolahan makanan dan sesudah pengolahan,
dapat terjadi kontaminasi antara lain berasal dari perabotan, air, dan penjamah
makanan.
Penyakit – penyakit yang ditularkan melalaui makanan dapat dibagi menjadi 2
1. Infeksi
Penyakit ini disebabkan karena didalam makanan terdapat kuman atau
mikro-organisme pathogen sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti
cholera, disentri, typhus abdominalis, paratyphus A dan B dsb.
Penyebaran penyakit ini dapat disebabkan karena :
a. Makanan diolah oleh petugas pengolah makanan yang sebelumnya pernah
terkena atau sedang menderita penyakit tertentu (carier )
b. Makanan yang kotor karena telah terkontaminasi atau terjamah oleh tikus
atau serangga lain
c. Cara memasak yang kurang baik atau kurang sempurna.
2. Keracunan Makanan
Yang dimaksud dengan keracunan makanan ialah timbulnya sindroma gejala
klinik disebabkan karena memakan makanan tertentu. Kelainan tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Keracunan karena memakan makanan yang mengandung zat kimia beracun
misalnya kacang kaster, cendawan,rhubad (sejenis bayam), solanin (sejenis
kentang), kerang dan yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh
micro-organisme.
b. Infeksi karena bakteri yang membuat enterotoksin selama masa kolonisasi
dan pertumbuhan mukosa usus.
c. Infeksi karena micro-organisme yang mengadakan infasi dan berkembang
2.8. Pencegahan Echinococcus granulosus
Dengan mempelajari siklus hidup dan penularan cacing Echinococcus granulosus maka infeksi cacing ini dapat dicegah dengan cara :
1. Mengobati penderita
2. Pengawasan atas daging anjing (B1) yang diolah
3.