• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi Dan Rekonstruksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi Dan Rekonstruksi"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

BIODATA

Nama : Gary Kristian Lingga

NIM : 090904043

Departemen : Ilmu Komunikasi Program Studi : Sarjana (S1)

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe/4 Desember 1989

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 1 dari 4 bersaudara Nama Saudara Kandung : Reinhard Ojahan Lingga

Jojor Pangihutan Lingga Yosephine br Lingga

Pendidikan : TK Sint Xaverius Kabanjahe SD Sint Yoseph Kabanjahe SMP Negeri 1 Kabanjahe SMA Negeri 1 Kabanjahe

Ilmu Komunikasi FISIP USU Angkatan 2009 Nama Orangtua

a) Ayah : Jamel Lingga b) Ibu : Sariah Br Munthe

(2)

LAMPIRAN

Draft Wawancara

Informan 1 – Humas/Media Centre – Florida

1. Tugas Anda sebagai perwakilan dari Humas/ Media Centre dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung?

2. Bagaimana dengan proses pengeluaran data harian mengenai status Gunung Sinabung? 3. Dengan adanya media centre ini, bagaimana proses penanganan bencana erupsi

Gunung Sinabung?

4. Apakah ada kendala pada saat penggunaan radio komunikasi? 5. Apakah ada kendala yang dihadapi ketika menyebar informasi?

6. Bagaimana dengan proses komunikasi antara yang di posko dengan yang di lapangan? 7. Apakah data dan informasi yang disebar bisa dijamin dan dipercaya?

8. Sampai dengan saat ini bagaimana data dan informasi mengenai pengungsi status gunung?

9. Selain dari web apa saja yang bisa dimaanfaatkan untuk akses data dan informasi? 10.Bagaimana dengan peranan perangkat desa dalam penanganan bencana erupsi Gunung

Sinabung?

Informan 2 – Jurnalis yang mewakili media – Ngadep

1. Bagaimana peranan jurnalis yang mewakili media massa dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung?

2. Apakah ada kendala yang dihadapi jurnalis di lapangan saat melakukan peliputan? 3. Apa yang dilakukan media massa dan para jurnalis saat melakukan peliputan bencana ? 4. Bagaimana dengan bad news is good news dalam praktik jurnalisme terutama saat

peliputan bencana erupsi Gunung Sinabung?

5. Apa yang membuat dilupakannya soal mitigasi bencana?

6. Bagaimana dengan peranan media saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan? 7. Bagaimana dengan politisasi penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini? Informan 3 – Perwakilan Pemkab Karo – Gelora

1. Hal apa yang mendasari terjadinya erupsi Gunung Sinabung? 2. Bagaimana proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung? 3. Bagaimana dengan Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana?

(3)

5. Bagaimana dengan kebijakan pemerintah dalam hal pembentukan BPBD untuk penanganan bencana ini?

6. Apakah ada kelemahan BPBD dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung? 7. Lembaga apa saja yang terlibat dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung

Sinabung?

8. Bagaimana dengan pola komunikasi yang dijalin baik itu sesama TIM maupun terhadap korban bencana itu sendiri?

9. Selaku perwakilan dari Pemkab Karo, bagaimana menurut Anda penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini?

10.Penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini masuk dalam tahapan yang mana? 11.Bagaimana dengan status/ tingkat bencana erupsi Gunung Sinabung?

12.Bagaimana proses komunikasi yang terjalin dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung?

13.Bagaimana dengan pengaruh pilkada terhadap korban bencana? Informan 4,5,6,7 – Perwakilan dari pengungsi

1. Bagaimana perasaan Anda ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi pertama kalinya? 2. Apakah ada pertanda akan terjadinya erupsi Gunung Sinabung ini?

3. Bagaimana dengan proses evakuasi yang dilakukan saat erupsi terjadi?

4. Bagaimana dengan penanganan terhadap korban selama berada di posko pengungsian? 5. Kerugian apa saja yang Anda alami sejak erupsi Gunung Sinabung terjadi?

(4)

DOKUMENTASI

Wawancara dengan Budiman Sitepu

(5)

Wawancara dengan Riahna Br Sembiring

(6)

Wawancara dengan Florida

(7)

Daerah relokasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung

(8)

DAFTAR REFERENSI

Adiputro, B.A. (2002). Arahan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia. Jakarta: BAKORNAS PBP.

Arif, Ahmad ( 2010). Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme. Jakarta: KPG. Basrowi dan Suwandi (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Budi HH, Setio (2011). Bencana dan Pembelajaran Bangsa.Yogyakarta: Harian Bernas. Bungin, Burhan(2001). Metodologi Penelitian Kualitatif.Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. BNPB (2008). Kumpulan Peraturan Penanggulangan Bencana. Jakarta: Badan Nasional

Penanggulangan Bencana.

Chamsah, Bachtiar (2007). Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia.

Yogyakarta:Makalah Seminar Nasional Manajemen Bencana, Universitas Tarumanegara. Chariri, Anis(2009). Landasan Filsafat. Semarang: Laboratorium Pengembangan Akuntansi

(LPA) Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Effendi, Onong Uchjana (2003). Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Fanggidae, Silvia.dkk. (2002). Draft Manual Manajemen dan Sistem Penanganan Kondisi Darurat (Emergency Management Manual). Kupang: Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB).

Harjadi, Prih PJ. (2007). Bahaya dan Upaya Penanggulangan Bencana. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Haryanto, Ignatius (2010). Media di bawah Dominasi Modal: Ancaman Terhadap Hak Atas Informasi. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Hasan, Iqbal (2002). Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hidayat, Dasrun (2012). Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hidayat, Dedy N(2003). Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta:

Dept. Ilmu Komunikasi FISIP UI.

(9)

Miles dan Huberman (1992).Analisis Data Kualitatif: Buku tentang sumber-sumber baru. Terjemahan dari Analyzing Qualitative Data. A Sourcer Book For New Methode. Jakarta: Ui Press.

Mondry (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy, Rakhmat, Jalaluddin (2001). Komunikasi Antar Budaya:Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya.Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin(2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.

Pohan, Syarifudin. dkk. (2012). Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Proposal Penelitian. Medan: Grasindo.

Peursen, C.A Van(1989). Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (terjemahan J. Drost). Jakarta: PT Gramedia.

Pollard, J(2007). Gunung Berapi. Diambil pada tanggal 11 juli 2015 dari

Prager, E.J. (2006). Furious Earth: The Science and Nature of Earthquakes, Vulcanoes and Tsunamis. Bandung: Penerbit Buku Pakar Karya.

Ramli, S (2010). Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: Dian Rakyat.

Sudibyakto, H.A. (2011). Manajemen Komunikasi Bencana di Indonesia. Yoyakarta: Gajah Mada Press.

Susanto, Astrid (1998). Komunikasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Rinekacipta.

Susanto, Eko Harry (2011). Komunikasi Bencana. Yogyakarta: Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi(ASPIKOM).

Winardi, A (2006). Gempa Jogja, Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Majalah. Wiryanto (2006). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.

____________ (2009). Komunikasi Politik dan Otonomi Daerah: Tinjauan TerhadapDinamika Politik dan Pembangunan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

(10)

Sumber lain:

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofifika (BMKG) tahun 2010. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karo tahun 2014. Surat Keputusan Bupati Karo Nomor: 361/215/BPBD/2015

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Bencana, tahun 2007, Jakarta: CV Citra Utama.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana.

(11)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metodologi penelitian merupakan alternatif akhir untuk menjawab dorongan ingin tahu terhadap suatu hal, dimana hal ini dianggap sebagai cara yang ilmiah, karena tidak saja memusatkan perhatian pada kebenaran yang ilmiah, akan tetapi juga mempertimbangkan cara-cara untuk memperoleh kebenaran ilmiah tersebut (Bungin 2001: 9). Dalam hal ini metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif dimana data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata atau gambar daripada angka-angka (Basrowi dan Suwandi, 2008: 187). Metode penelitian deskriptif memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada 2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. 3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Hasan, 2002: 22)

Perspektif kualitatif memiliki tahapan berpikir kritis ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin, 2001: 16). Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci (Hartono, 2004: 16). Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling serta yang lebih ditekankan adalah kualitas data bukan banyak atau kuantitas data. Menurut

(12)

Kriyantono (2010:56-57) dalam riset kualitatif, peneliti merupakan bagian integral dari data yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan.

Intinya adalah penelitian kualitatif berfokus pada aktivitas mencari teori bukan menguji teori. Untuk menjaga ciri khas yang melekat pada metode penelitian kualitatif ini maka peneliti terjun langsung ke lapangan untuk berbaur dengan informan. Karena pada dasarnya penelitian kualitatif lebih berpusat pada proses daripada produk yang diperoleh nantinya. Penelitian kualitatif juga berproses pada penganalisisan data secara induktif. Di dalam penelitian ini, peneliti menekankan pada observasi dan wawancara mendalam untuk menggali data bagi proses validitas penelitian ini. Dengan demikian, metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan secara sistematis bagaimana peranan komunikasi bencana dalam proses rehabiliasi dan rekonstruksi.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Naman Teran. Peneliti memilih 4 desa dari 14 desa yang ada di Kecamatan Naman Teran ini. Adapun desa yang dipilih antara lain: desa Bekerah, desa Simacem, desa Sigarang-garang dan desa Kuta Rayat.

3.2.1 Gambaran Umum desa Bekerah

Dahulu kala, desa Bekerah adalah barung-barung (ladang) desa Sibintun. Nama desa Bekerah awalnya adalah Bakerah-bakerah yang artinya adalah jurang-jurang karena desa ini dekelilingi oleh jurang. Kini, nama Bakerah-bakerah berubah menjadi desa Bekerah. Desa ini didirikan oleh Batunanggar mergana atau Sitepu mergana (Sitepu Batunanggar). Pada mulanya, penduduk desa Sibintun berladang di Bakerah-bakerah. Namun, karena sudah malas pulang ke Sibintun mereka “Erberngi Juma” atau bermalam di ladang. Lama-kelamaan menjadi sebuah pemukiman penduduk dan bernama desa Bekerah.

Susunan masyarakat Desa Bekerah adalah sebagai berikut:

1. Sitepu Batunanggar merupakan Simanteki kuta atau pendiri kampung, marga

Batunanggar dalam masyarakat desa Bekerah pada umumnya adalah sebagai kalimbubu dan anak beru tuannya adalah sembiring mergana.

(13)

3. Guru Sibaso (Dukun) dahulu masyarakat desa Bekerah mempercayai Guru Sibaso, oleh sebab itu, jika ada anggota keluarga mereka yang sakit mereka membawanya ke Rumah Sakit dan juga ke Guru Sibaso (ertambar kuta).

4. Kepercayaan yang mereka anut adalah masih menyembah roh nenek moyang, batu-batu, kayu besar dan juga ercibal belo.

5. Masyarakat penduduknya adalah Suku Karo. ( Kepala Desa, September 2014)

Sebelum Gunung Sinabung meletus jumlah penduduk Desa Bekerah sebanyak 338 jiwa (115 kepala keluarga) rata-rata per KK adalah 293. Jumlah penduduk dari tahun ketahun mengalami peningkatan, hal ini disebabkan adanya angka kelahiran yang tinggi oleh karena penduduk Desa Bekerah pada umumnya menikah di usia muda. Penduduk Desa Bekerah mayoritas penduduknya adalah suku Batak Karo sebagai suku asli yang mendiami daerah ini. Namun setelah Gunung Sinabung meletus penduduk Desa Bekerah diungsikan kebeberapa posko pengsungsian salah satunya adalah posko Universitas Karo ( UKA). Penduduk Desa Bekerah yang berada di posko pengungsian Universitas Karo (UKA )bertambah 10 orang dengan adanya kelahiran bayi sehingga jumlah penduduk Desa Bekerah menjadi 348 jiwa.

Desa Bekerah berada di Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo Provinsi Sumatra Utara. Adapun batasan-batasan Desa Bekerah adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Barat : Berbatasan dengan hutan lindung Sinabung 2. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan desa Suka Meriah 3. Sebelah Timur : Berbatasan dengan desa Gamber 4. Sebelah Utara : Berbatasan dengan desa Simacem

3.2.2 Gambaran Umum desa Simacem

(14)

Kebanyakan masyarakat desa di sana bermata pencarian sebagai petani dan juga berkebun dan berladang.Selain dari keunikkan air asam di desa tersebut, ternyata masih ada banyak lagi hal yang perlu dijelajahi. Diantaranya objek wisata pendakian gunung Sinabung, berkunjung ke kebun buah dan sayuran serta objek wisata Lau Kawar.

Untuk melakukan pendakian ke gunung Sinabung dapat melalui rute Lau Kawar yang berada tepat dibawah kaki gunung tersebut atau dapat juga dilalui melalui desa yang terdekat. Tapi sayang sekali, prasarana ke tiap desa belum sepenuhnya ada, masih jarang ditemukan alat transportasi dan belum lagi didukung keadaan jalan yang rusak dan berlubang.Pendakian ke gunung Sinabung memakan waktu lebih kurang 3 jam tanpa istirahat. Tapi semua rasa lelah itu akan hilang ketika sudah dapat mencapai puncak gunung. Namun perlu diberitahu kepada para pendaki agar tetap waspada terhadap aktivitas gunung Sinabung yang masih dalam status gunung api aktif.

Sangat disayangkan, erupsi Gunung Sinabung yang terus-menerus menerpa desa ini menjadikan desa ini layaknya seperti kota mati, tanpa penghuni. Hanya debu vulkanik yang bertebaran disana sini. Akibatnya, penduduk desa harus rela untuk meninggalkan tanah leluhurnya itu. Tidak memungkinkan bagi penduduk untuk melanjutkan kehidupan di desa sehingga mereka harus di relokasi ke tempat yang jauh lebih aman dari erupsi Gunung Sinabung.

3.2.3 Gambaran Umum desa Sigarang-garang

Penduduk desa Sigarang-garang awalnya berasal dari desa Badiken. Kampung di desa Badiken itu padat akan penduduk. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadilah satu musibah yang sangat mengerikan di desa Badiken tersebut. Menurut ceritanya, kutu anjing hampir sebesar babi mewabah dan menyerang penduduk desa di Badiken tersebut. Jadi, pindahlah penduduk ke desa Sigarang-garang. Dikatakan desa Sigarang-garang karena penduduk desa yang mau masuk kesana harus “nggarang”. Sebelum masuk ke desa tersebut, penduduk harus melewati duri pada batang kayu yang sangat tajam. Untuk menghindari duri tersebut penduduk desa harus merangkak untuk masuk atau dalam bahasa karo “nggarang”. Sehingga penduduk desa menamakannya desa Sigarang-garang.

(15)

sebagai petani. Lahan yang subur dan tandus menjadikan desa ini sebagai salah satu lahan yang sangat cocok untuk ditanami.

Erupsi Gunung Sinabung beberapa tahun terakhir ini menjadikan lahan tidak bisa lagi ditanami. Bahkan, penduduk desa harus rela mengungsi ke berbagai tempat untuk mengurangi resiko bencana. Perasaan yang kacau ditambah ketidakjelasan merupakan potret baru penduduk desa Sigarang-garang. Hidup dalam carut marut bencana ini membuat penduduk desa memutar otak demi kelangsungan hidupnya. Lebih baik mandiri atau tetap bertahan di posko pengungsian. Erupsi yang terus terjadi ditambah lahar dingin yang sering keluar menambah ketakutan bagi penduduk desa. Itulah keadaan sekarang di desa Sigarang-garang. Penduduk desa hanya berharap bencana erupsi Gunung Sinabung ini segera berakhir.

3.2.4 Gambaran Umum desa Kuta Rayat

Menurut cerita orang tua/nenek moyang pembentukan dan pembangunan kampungan Toraja Berneh atau Kuta Rayat dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu:

• Golongan kalimbubu (karo mergana/bermarga karo-karo) • Golongan kalimbubu puang taneh

• Golongan anak beru • Golongan guru (dukun)

Adapun fungsi dari golongan-golongan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Golongan kalimbubu/karo mergana, berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan, termasuk peralatan bidang keamanan dan lain-lain. 2. Golongan kalimbubu puang taneh, berfungsi sebagai hakim tertinggidan penasehat. 3. Golongan anak beru, berfungsi sebagai pelaksana pembentukan/pembangunan

kampung toraja berneh, pelaksana pembangunan rumah darurat, pelaksana keamanan, pelaksana perhubungan, dan pelaksana adat dan seni budaya.

(16)

Dari hasil keputusan musyarah keempat golongan tersebut, maka anak beru mulai melaksanakan hasil keputusan itu. Keputusan pertama, dimana kalimbubu karo mergana menunjuk tempat pembentukan kampung toraja berneh yang diadakan di lingkungan Tambak Emas lebih kurang 1 km sebelah timur dari desa ini. Kondisi desa ini awalnya bagaikan hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas dan berbisa, sehingga golongan anak beru dibekali obat-obatan oleh kalimbubu karo mergana seperti obat-obatan dan semapang kuno. Setelah selesai penebangan maka dibuatlah perumahandarurat dan mereka pun menanam padi disana.

Perkampungan Toraja Berneh di Lau Njulu ini berada di sebelah kanan pembangunan jalan kabupaten Karo dengan kabupaten Langkat yang dibangun oleh pemerintah orde baru, dan puluhan tahun kemudian pindah lagi kira-kira 0,5 km ke selatan dari lau njulu tersebut. Perpindahan tersebut membawadampak yang baik, karena sarana lalu lintas dari Toraja Berneh kabupaten Karo ke Telagah kabupaten Langkat semakin baik dan semakin sering dilalui. Demikian sejarah terjadinya kampung Toraja Berneh, yang sekarang lebih dikenal dengan desa Kuta Rayat.

Adapun batas-batas wilayah desa Kuta Rayat adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Timur : Desa Kebayaken

2. SebelahBarat : Desa Kuta Gugung 3. Sebelah Utara : Hutan Negara

4. Sebelah Tenggara : Desa Sigarang-garang

3.3 Objek Penelitian

(17)

3.4 Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan peran strategis dalam sebuah penelitian karena hal inilah yang akan menjadi sumber data yang akan diamati. Pada penelitian kualitatif, responden atau subjek penelitian disebut dengan istilah informan, yaitu orang yang akan memberi informasi seputar data yang diinginkan peneliti berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti memutuskan yang menjadi informan penelitian ini adalah beberapa dari pihak yang terkait yaitu humas/media centre, jurnalis yang mewakili media dan perwakilan dari Pemkab Karo. Termasuk juga dengan pengungsi dari desa Bekerah, pengungsi dari desa Simacem, pengungsi dari desa Sigarang-garang dan pengungsi dari desa Kebayaken dijadikan sebagai informan untuk melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan peneliti dalam penelitian ini.

3.5 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 2001: 40). Kerangka pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan. Dalam penelitian ini, kerangka pemikirannya digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti dalam mengumpulkan data (Kriyantono, 2006: 91). Penelitian ini menggunakan 2 metode pengumpulan data yaitu:

(18)

1. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama di lapangan (Kriyantono, 2006: 43). Dilakukan dengan cara:

a. Wawancara mendalam (in depth interview)

Wawanacara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2008:108). Pihak yang diwawancarai secara langsung adalah Marketing Communication PT Railink dan pelanggan kereta api bandara.

b. Observasi (pengamatan langsung)

Observasi merupakan kegiatan pengamatan melalui hasil kerja pancaindra mata dibantu oleh pancaindra lainnya. Metode observasi ini adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Secara langsung juga untuk mengamati kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian. 2. Data Sekunder

Pengumpulan data ini dilakukan dengan teknik studi pustaka, dokumentasi dan membuka situs-situs internet yang berhubungan dengan penelitian. Peneliti juga memakai jurnal-jurnal yang sudah ada untuk melengkapi daftar referensi untuk membantu proses penelitian.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai jenuh. Adapun kegiatan dalam analisis data tersebut yaitu :

1. Reduksi Data

(19)

gambaran yang jelas serta mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif, menggunakan grafik, matriks, network dan chart.

3. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang ditemukakan pada tahap awal itu didukung kembali oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk mengummpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

(20)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1Deskripsi Pelaksanaan Penelitian A. Tahap Awal

Sebelum mendeskripsikan hasil penelitian, peneliti terlebih dahulu menjelaskan proses pelaksanaan penelitian yang telah dilewati hingga mendapatkan hasil penelitian. Peneliti melakukan wawancara mendalam dan observasi langsung terhadap pihak terkait yang menangani bencana erupsi Gunung Sinabung ini.

Proses awal yang dilakukan oleh peneliti untuk dapat melakukan wawancara di desa Bekerah, desa Simacem, desa Sigarang-garang dan desa Kebayaken adalah dengan meminta izin terlebih dahulu kepada tim penanganan tanggap darurat bencana sekaligus kepala desa dari masing-masing desa tersebut. Setelah diizinkan untuk melaksanakan penelitian di empat desa tersebut, peneliti pun mulai mewawancarai pihak yang terkait dalam penanganan bencana ini yang dijadikan sebagai subjek penelitian terutama dari humas/media centreyang berada di posko utama penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung sebagai salah satu bagian yang terlibat dalam tim yang menanganai bencana erupsi Gunung Sinabung ini.

Setelah melakukan wawancara dengan humas/media centre, peneliti masih merasa kurang dalam mendapatkan banyak informasi dan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Tim yang menangani bencana erupsi Gunung Sinabung ini ditempatkan di posko yang berbeda-beda sesuai dengan tugas dan fungsi dari masing-masing elemennya. Kemudian peneliti memutuskan untuk mewawancarai jurnalis yang mewakili media sebagai salah satu yang terlibat dalam penanganan bencana ini. Sampai pada akhirnya peneliti mendapatkan data-data yang cukup untuk melengkapi penelitian ini dari hasil wawancara mendalam dengan salah satu perwakilan dari Pemkab Karo. Rasanya kurang puas kalau korban dari bencana ini tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Jadi, peneliti melanjutkan wawancara mendalam terhadap satu orang pengungsi sekaligus korban bencana dari desa Bekerah, desa Simacem, desa Sigarang-garang dan desa Kebayaken.

(21)

wawancara dalam penelitian ini. Kemudian, peneliti menanyakan apakah mereka bersedia untuk diwawancarai dan memberikan data-data yang berkaitan dengan penelitian.

B. Pengumpulan Data

Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan satu orang dari bagian humas/media centre, satu orang dari bagian jurnalis yang mewakili media, satu orang dari Pemkab Karo, satu orang pengungsi dari desa Bekerah, satu orang pengungsi dari desa Simacem, satu orang pengungsi dari desa Sigarang-garang dan satu orang lainnya dari desa Kebayaken sebagai informan dalam penelitian ini. Karakteristik informan merupakan hal yang penting dalam sebuah penelitian kualitatif untuk mengetahui peran dan posisi yang mereka lakukan sebagai subjek penelitian. Berikut karateristik informan utama yang dapat dijabarkan:

Informan 1

Nama : Florida

Bu Florida adalah salah satu staf pada bagian humas/media centre yang bertugas sebagai akses data dan informasi yang dibutuhkan mengenai bencana erupsi Gunung Sinabung. Sebagai salah satu dari tim penanganan darurat bencana, ia menghimpun setiap data kemudian menyebar informasi yang terbaru mengenai proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Data dan informasi mengenai status gunung sekaligus pengungsi bisa di update setiap harinya. Setiap data dan informasi yang berkembang akan berpengaruh terhadap proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung itu sendiri.

Penempatan humas/media centre yang berada di posko utama akan mempermudah masyarakat untuk akses data dan informasi yang dibutuhkan seputar penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Komunikasi dan koordinasi sangat diperlukan dalam akses data dan informasi untuk mencegah paling tidak meminimalisir setiap kekeliruan dalam hal akses data dan informasi. Kesalahan data dan informasi akan berakibat fatal dalam proses penanganan bencana ini. Tugas dan peran yang dilakukan oleh Ibu Florida sangatlah penting dalam memperlancar proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung.

Informan 2

(22)

Pak Ngadep adalah salah satu dari jurnalis yang mewakili media dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung. Pak Ngadep memiliki tugas untuk meliput berita dan informasi seputar erupsi Gunung Sinabung. Dalam peliputannya, Pak Ngadep menjaga sikap dan bekerja berdasarkan undang-undang dan etika pers yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk menghindari setiap kemungkinan yang tidak diharapakan dari masyrakat selaku konsumsi berita dan informasi dari media.

Pak Ngadep juga menekankan adanya sifat yang terbuka dalam setiap peliputannya. Jurnalis juga memiliki peran penting dalam penanganan bencana ini. Menjaga keseimbangan berita sekaligus sebagai mata terhadap tim penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung. Komunikasi dan koordinasi juga dilakukan jurnalis dengan tim penanganan darurat bencana ini, untuk meminimalisir setiap kendala yang dihadapi sehingga setiap temuan baru di lapangan bisa langsung dilakukan evaluasi.

Informan 3

Nama : Gelora Ginting

Pak Gelora adalah salah satu perwakilan dari pemkab karo dalam penanganan darurat bencana ini. Sebelumnya, Pak Gelora sempat menjabat sebagai sekretaris BNPB pusat. Jadi, dalam hal bencana mungkin ia sudah lebih paham dalam proses penanganannya. Ia juga menekankan prinsip penanganan bencana ini adalah 24 x 7. Artinya, 24 jam dalam 7 hari. Setiap hari melakukan perencanaan untuk hari esok kemudian dilakukan evaluasi. Begitulah seterusnya, perencanaan harian berjalan dan evaluasi harian berjalan. Catatan harian (perseorangan), catatan kelompok sebagai tim dan laporan khusus untuk segera dilakukan penanganan.

Informan 4

Nama : Budiman Sitepu

(23)

Informan 5

Nama : Hendra Pinem

Pak Hendra adalah salah satu pengungsi yang berasal dari desa Simacem. Bertani adalah pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas bahkan turun-temurun dari leluhur yang sudah mendahuluinya. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di ladang bahkan sampai bermalam disana. Jauh dari keramaian merupakan pilihan yang sangat dinikmatinya. Hal itu juga yang menyebabkannya kurang bergaul dengan warga desanya. Bahkan, ada juga warga desa yang tidak mengenalinya.

Informan 6

Nama : Riahna Sembiring

Ibu Riahna adalah salah satu pengungsi yang berasal dari desa Sigarang-garang. Sebagai seorang ibu rumah tangga, Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk mengurusi anak dan sesekali membantu suami bekerja di ladang. Kadang, Ia berjualan sayur-mayur hasil panen ladang di rumahnya. Setelah terjadinya erupsi Gunung Sinabung, Ia lebih sering berada di tempat saudaranya daripada di posko pengungsian. Hal ini disebabkan karena saudaranya menawarkan pekerjaan baru baginya untuk bertahan di tengah situasi yang sedang dihadapinya.

Informan 7

Nama : Terombo Purba

(24)

4.1.2 Hasil Temuan Peneliti

Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pesan/informasi apa saja yang dibutuhkan oleh pengungsi yang mengalami bencana.

2. Untuk mengetahui lembaga apa saja yang seharusnya memberikan informasi yang dibutuhkan pengungsi.

3. Untuk mengetahui siapa saja yang berperan dalam menangani korban bencana Gunung Sinabung.

4. Untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi bencana dalam menangani bencana Gunung Sinabung.

Oleh karena itu, peneliti melakukan pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan tiga informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat diuraikan Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung.

1. Informan 1 - Humas/Media Centre- Florida Tanggal wawancara : 26 Oktober 2015

Saat pertama kali ditemui, Bu Florida menunjukkan sikap yang sama sekali tidak formal seperti kebanyakan orang humas/media centrepada umumnya. Sikapnya yang .ramah dan welcome, membuat orang betah dan banyak bertanya mengenai data dan informasi erupsi Gunung Sinabung. Di mejanya terdapat tumpukan kertas yang banyak, HT dan handphonenya yang terus bergetar menandakan ada panggilan masuk atau mungkin sekedar pemberitahuan saja. Begitu juga dengan mata dan tangannya yang tidak berhenti berkutat dari layar monitor dan keyboard yang berada dihadapannya.

(25)

Bu Florida adalah salah satu staf pada bagian humas/media centre. Akses data dan informasi seputar erupsi Gunung Sinabung merupakan tugas utama yang dilakukan. Seperti yang dijelaskan Bu Florida yaitu,

Banyak sekali, mulai dari menghimpun data pengungsi yang meninggal, melahirkan, sakit dan sebagainya. Selain itu, mengeluarkan data harian mengenai status Gunung Sinabung.”

Selama proses penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung berjalan, humas/media centre akan terus memperbaharui setiap data dan informasi yang akan dikeluarkan setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam proses penanganannya. Sesuai penjelasan Bu Florida yaitu,

PVMBG akan upgrade data ke grup what’s up untuk Laporan Gunung Sinabung. Setiap 6 jam sekali data akan di update seiring dengan perkembangan gunung. Kemudian, PVMBG menghimpun data ke media centre dan disebar melalui radio komunikasi.” Radio komunikasi merupakan salah satu alat yang dimanfaatkan untuk mempercepat proses penyebaran informasi dan evakuasi. Penempatan radio komunikasi yang tidak merata tidak menjadi kendala yang berarti dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini.

Nah, itu dia, kondisinya tidak semua posko punya radio komunikasi. Jadi, kekurangan ini disiasati dengan cara memberikan HP ke setiap posko. Selain itu juga diberikan jaringan internet yang berkoordinasi dengan kominfo dan telkomsel.”

Akses data dan informasi melalui humas/media centre ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengungsi pada khususnya. Kesalahan data dan informasi mengenai erupsi Gunung Sinabung ini akan sangat berpengaruh terhadap tindakan dari tim penanganan begitu juga dengan pengungsi sebagai korban dari bencana ini. Berada di posko pengungsian yang memakan waktu lebih dari 2 tahun ternyata menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pengungsi untuk mendapatkan setiap data dan informasi.

(26)

Kadang informasi tentang data pengungsi ada perbedaan dengan kondisi di lapangan. Hal ini dikarenakan proses evakuasi yang belum merata. Informasi harus diperbaharui terus-menerus untuk bisa lebih update. Hal ini disebabkan karena status gunung yang tidak stabil.”

Informasi yang disebar merupakan pedoman bagi pengungsi dan masyarakat untuk melakukan aktivitas di luar posko pengungsian, terutama bagi pengungsi yang kembali ke kampung halamannya untuk melihat situasi tempat tinggalnya. Apalagi mereka yang berada dalam radius 5 km dari Gunung Sinabung. Media centre merupakan salah satu jaminan yang bisa dipercaya oleh pengungsi dan masyarakat pada umumnya. Seperti yang dijelaskan Bu Florida, yaitu,

Tentu saja, media centre sudah membekali posko-posko dengan alat komunikasi seperti radio komunikasi, HT, handphone, jaringan internet untuk mempermudah akses informasi. Jadi, kesalahan informasi cepat tersebar dan dapat diminimalisir dengan segera dengan cara pembaharuan informasi yang terus update. Jadi, untuk update informasi anda bisa mengaksesnya melalui website kab.karo yaitu :

update, tapi karena adanya media centre ini, setiap hari bisa akses data dan informasi.” Status gunung yang tidak stabil tidak terlalu menyulitkan proses evakuasi. Erupsi yang terjadi secara tiba-tiba tidak menjadi kendala yang berarti dengan pemanfaatan media centre ini. Sampai pada saat ini, informasi mengenai status Gunung Sinabung masih dalam keadaan awas (level IV). Sesuai dengan yang dijelaskan Bu Florida, yaitu,

Status Gunung Sinabung tanggal 26 Oktober 2015 Laporan Gunung Sinabung, 26 oktober 2015 Pkl. 00.00 – 06.00 WIB

Visual :

(27)

SEISMISITAS :

1 x LF ; Amax : 10 mm ; Lg : 55 dtk.

3 x Hybird ; Amax : 4 – 40 mm : Lg : 12 – 45 dtk.

Tremor menerus, Pkl. 00:00 – 06:00 ; Amax : 0,5 – 1 mm ( dominan 0,5 mm). 1 x Tektonik jauh ; Amax : 58 mm ; S – P : 33 dtk ; Lg : 230 dtk.

17 x Guguran ; Amax : 2 – 70 mm ; S-P : 33 dtk ; Lg : 230 dtk. KESIMPULAN :

Gunung Sinabung awas ( Level IV ) ; Info G. Sinabung ;

26 Oktober 2015 ; Pkl. 08:34 WIB ;

Terjadi awan panas guguran dengan jarak linear 3.500 meter kea rah Tenggara – Timur dan tinggi kolom abu tertutup kabut ( menggunakan kamera thermal).

Angin kea rah Barat – Barat Laut. Info erupsi G. Sinabung ;

26 Oktober 2015 ; Pkl. 07:35 WIB ;

Terjadi awan panas guguran dengan jarak linear tidak teratur ( tertutup kabut asap ). Laporan G. Sinabung, 26 Oktober 2015 ;

Pkl. 06:00 – 12.00 WIB Visual :

Cuaca mendung , angin tenang – perlahan ke Barat ,dan suhu udara 17 – 280 C.

G.Sinabung tertutup kabut.

Terjadi 2x awan panas guguran dengan jarak linear 3.500 meter kearah Tenggara – Timur dan tinggi kolom tertutup kabut ( menggunakan kamera thermal ).

SEISMISITAS :

2x LF ; Amax : 4 – 6 mm ; Lg : 8 – 10 dtk

(28)

KESIMPULAN :

G. Sinabung Awas ( level IV ).”

Data dan informasi mengenai pengungsi juga banyak mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi yang sedang berjalan. Hal ini dikarenakan sebagian dari pengungsi sudah bosan dan jenuh selama dua tahun berada di posko pengungsian. Kemudian mereka melanjutkan hidup dan kehidupannya di daerah yang jauh dari erupsi gunung. Termasuk bagi pengungsi dari desa Bekerah dan desa Simacem yang sedang dalam tahap relokasi di desa Siosar.

Ketika ditanyakan mengenai data dan informasi pengungsi, Bu Florida menjawab,

Pengungsi berjumlah dengan 2615 KK atau 9523 Jiwa. Pengungsi ditempatkan di 9 titik posko pengungsian atau penampungan dengan disertakan penanggung jawab untuk setiap poskonya. Untuk lebih jelasnya anda dapat membuka website Kabupaten Karo di

Web merupakan salah satu alat yang bisa dimanfaatkan untuk akses data dan informasi dari internet melalui media centre. Selain itu, pemanfaatan FAX juga bisa dimaksimalkan untuk proses pengiriman surat kepada pihak terkait mengenai penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Hal ini jelas terlihat seperti yang dikatakan Bu Florida, yaitu,

Sebelumnya, ada dua posko ditutup karena sudah menerima sewa rumah dan sewa lahan kemudian media centre melalui FAX mengirim surat ke banyak pihak untuk akses informasi tersebut. Termasuk camat yang bersangkutan, BNPB, BPBD dan lainnya. Perangkat desa juga merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam penanganan darurat bencana ini. Semua pihak dilibatkan dalam penanganan bencana ini. Proses ini dilakukan untuk mempermudah dan mempercepat proses penanganannya. Hal ini diakui oleh Bu Florida dalam wawancaranya,

(29)

ini demi kelancaran untuk meminimalisir setiap kendala yang dihadapi. Komunikasi dan koordinasi sangat dibutuhkan dalam penanganan bencana ini.”

Sambil melihat jam tangannya dan membereskan mejanya, Bu Florida minta maaf karena tidak bisa meneruskan wawancara. Hal ini disebabkan karena ia harus bergegas ke posko pengungsian, sehingga wawancara selanjutnya dilakukan dengan pihak yang lainnya ke tempat yang berbeda pula.

2. Informan 2 - Jurnalis yang mewakili media - Ngadep Tanggal wawancara: 27 Oktober 2015

Keterbatasan bukanlah satu halangan dalam melakukan sesuatu. Hal itu seharusnya menjadi pemicu semangat untuk bisa menghasilkan yang terbaik. Kata-kata itulah yang disampaikan Pak Ngadep ketika peneliti pertama kali menjumpainya. Pak Ngadep termasuk salah satu tipe orang yang mudah diajak bergaul tanpa memandang kalangan. Keadaan ini membuat suasana menjadi hangat dalam wawancara yang dilakukan.

Ketika ditanyakan mengenai peranan media dalam penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Ngadep langsung menjawab,

Kemampuan media dalam menyampaikan informasi saat penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung secara akurat akan sangat menentukan dampak seperti apa yang akan terjadi dalam suatu wilayah bencana. Untuk penanganan bencana, jurnalis tidak melebih-lebihkan berita. Menjaga keseimbangan sebagai mata terhadap TIM penanganan bencana. Sifatnya terbuka dalam setiap peliputannya.”

Dalam setiap peliputannya, jurnalis pasti pernah mengalami hambatan dan kendala. Melakukan peliputan di tengah situasi bencana sudah jelas sangat menyulitkan. Apalagi jurnalis yang meliput tidak terlalu mengerti dan memahami soal bencana tersebut.

(30)

untuk menghindari korban lainnya agar tidak terulang kejadian yang sampai memakan korban tersebut karena nyawa yang menjadi taruhannya.”

Kemudian peneliti menanyakan soal tindakan yang dilakukan untuk menghindari kekeliruan yang sempat memakan korban tersebut, Pak Terombo langsung menjawab,

Pada saat berada di lapangan baik itu pada fase pra bencana, saat bencana, semua jurnalis harus berpikiran positif untuk menghindari kekeliruan. Sehingga sifatnya menjadi, apa yang terlihat itulah yang harus diberitakan. Informasi dari media baik itu melalui surat kabar, majalah, televisi dan gambar lainnya mengenai bencana ini sangat berpengaruh terhadap penanganan bencana itu sendiri.”

Media merupakan salah satu akses yang bisa dimanfaatkan korban bencana dalam hal akses informasi. Hal ini sangat penting dalam mengurangi setiap dampak yang terjadi bahkan penyelamatan diri akibat dari erupsi Gunung Sinabung tersebut. Seperti yang dijelaskan Pak Terombo,

Media dapat memainkan peran sebagai gerbang informasi bagi masyarakat tentang akan terjadinya bencana, dampak bencana, dan bahkan penyelamatan diri karena terjadinya bencana. Para jurnalis harus mempunyai kemampuan dan pemahaman tentang bencana untuk memudahkan jurnalis dalam melakukan liputan di sekitar erupsi Gunung Sinabung. Mempunyai pemahaman mengenai istilah dan pengetahuan tentang berbagai macam bencana. Sehingga tidak salah dalam melakukan peliputan di daerah bencana, yang dapat menimbulkan salah informasi kepada masyarakat. Media massa dapat mengembangkan jurnalisme sensitif bencana dengan tidak mengekspose berlebihan peristiwa, korban, maupun dampak bencana yang dapat menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Selain itu, media massa dapat menjalankan fungsi kendali dan edukasi bagi masyarakat di daerah bencana.

Saat ditanyai tentang bad news is good news dalam peliputan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Terombo menjawab,

(31)

dilupakannya soal mitigasi bencana. Walaupun berkali-kali terjadinya erupsi, mitigasi bencana belum menjadi tren dalam pemberitaan media. Media baru sibuk mengejar efek dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang. Sehingga, sangat jarang yang mengingatkan tentang mitigasi bencana.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana erupsi Gunung Sinabung. Tetapi mitigasi bencana erupsi Gunung Sinabung seakan luput dari perhatian jurnalis dan media. Seperti yang dijelaskan Pak Terombo,

Berita itu tak seksi lagi, adalah mantra yang sering terdengar dari mulut wartawan atau editor yang menolak berita yang sudah berulang-ulang dimuat. Walaupun masalah yang dihadapi masyarakat korban bencana belum tuntas, seringkali media tak lagi menampilkan berita dengan alasan tersebut. Secara konvensional, biasanya media menyaring berita yang layak dimuat atatu tidak berdasarkan kriteria, berapa banyak korbannya?seberapa baru kejadiannya?dan apakah kira-kira berita itu akan memuat rating tinggi atau mengeruk iklan yang banyak? Dalam konteks Indonesia, berita soal politik dan hukum, masih menjadi panglima dan seringkali mengalahkan isu-isu bencana.

(32)

Rehabilitasi dan rekonstruksi akibat dari bencana erupsi Gunung Sinabung luput dari perhatian kami sebagai jurnalis yang mewakili media. Penanganannya yang masih dalam tanggap darurat bencana membuat jurnalis tidak bisa meliput proses rehabilitasi dan rekonstruksi secara mendalam. Fungsi kontrol media dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi seolah-olah dikesampingkan. Padahal, proses relokasi di desa Siosar sedang berjalan. Jurnalis yang ingin meliput disana dibatasi pergerakannya oleh pihak TNI yang mengawal proses relokasi. Hal ini membukikan bahwa media kehilangan kegarangannya dalam mengawal proses relokasi. Fase rahabilitasi dan rekonstruksi khususnya relokasi bagi pengungsi yang sedang berjalan ini merupakan peran penting media pada fungsi kontrol sosial. Proses relokasi ini banyak penyimpangan yang berpotensi terjadi. Media sebagai kontrol sosial berkewajiban terus-menerus memelototi lembaga-lembaga yang menjadi saluran gelontoran uang untuk relokasi bagi pengungsi ini. Media wajib menyalak sekeras-kerasnya bila lembaga tersebut menununjukkan tanda-tanda penyimpangan. Terbatasnya ruang gerak media membuat proses relokasi ini luput bahkan hilang dari perhatian media.

Saat ditanyai tentang politisasi penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Ngadep langsung menjawab,

Saat ini, penanggulangan bencana yang dijalankan pemerintah masih lambat, berbelit-belit dan birokratis. Bahkan ada pihak alih-alih berpikir mencari jalan keluar memperkuat manajemen bencana, malah menjadikan bencana sebagai ajang kampanye politik. Bendera partai dan foto-foto calon pejabat bertebaran, yang seringkali jauh lebih leboh daripada besarnya bantuan yang dikucurkan.

3. Informan 3 - Perwakilan dari Pemkab Karo - Gelora Tanggal wawancara : 28 Oktober 2015

(33)

Kebetulan Pak Gelora merupakan mantan Sekretaris BNPB Pusat. Jadi, informasi yang diperoleh dari Pak Gelora sangat membantu dalam penelitian ini.

Saat pertama kali ditemui, Pak Gelora sedang break di kantor dan berbincang-bincang dengan beberapa staff yang sedang berada di ruangan tersebut. Pak Gelora mampu untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Setiap kali diajukan pertanyaan, ia menjawabnya dengan panjang lebar. Ia mengaku sudah terbiasa untuk diwawancarai. Tapi, tidak banyak waktu yang bisa ia luangkan dalam wawancara tersebut.Keadaan yang diungkapkannya tersebut terbukti dengan telepon genggamnya yang berbunyi terus selama wawancara berlangsung. Namun, itu bukan jadi satu penghalang bagi peneliti untuk mendapatkan informasi darinya.

Ketika ditanyakan hal apa yang mendasari terjadinya erupsi Gunung Sinabung, Pak Gelora langsung menjawab,

Ya, bahwa wilayah Kabupaten Karo memiliki kondisi geografis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan daerah.”

Erupsi Gunung Sinabung merupakan tantangan baru bagi Pemkab Karo. Gunung yang selama ini diam tiba-tiba bangun dari tidurnya kemudian berangsur-angsur dan berlangsung hingga saat ini merupakan masalah baru bagi Pemkab Karo. Bencana ini belum pernah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Kerugian akibat bencana ini sangat dirasakan baik itu oleh korban bencana maupun masyarakat Karo lainnya. Pak Gelora juga menjelaskan proses penanganan yang dilakukan selama erupsi Gunung Sinabung terjadi.

(34)

Untuk melaksanakan penanganan tanggap darurat bencana ini,maka pemerintah Kabupaten Karo yang diwakili oleh kepala BPBD Kabupaten Karo sesuai dengan kewenangannya dapan menunjuk seorang pejabat sebagai komandan penanganan tanggap darurat bencana sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 pasal 47 ayat 2. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memudahkan akses untuk memerintahkan sektor dalam pemerintahan dan pengerahan SDM, perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban atas uang dan barang serta penyelamatan. Untuk melaksanakan akses tersebutlah makanya perlu dibentuk Komando Tanggap Darurat Bencana.”

Pemkab Karo berusaha untuk mempercepat proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung. Dengan tujuan mengurangi dan meminimalisir kerugian akibat dari erupsi gunung ini. Kemudian, Pemkab Karo membentuk tim penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung. “Sama dengan penanganan kasus lainnya, semua ada tahapannya. Jadi, tahapan pembentukan Tanggap Darurat Bencana ini harus dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem komando yang terpadu.”

Kemudian, Pak Gelora menjawab seputar tahapan yang dilakukan Pemkab Karo dalam pembentukan tim penanganan bencana ini.

Tahapan pembentukan Tanggap Darurat Bencana ini terdiri dari 4 tahap yaitu:Informasi kejadian awal bencana, Penugasan Tim Redaksi Cepat (TRC), Penetapan status/ tingkat bencana dan Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana.”

Dalam setiap penanganan bencana haruslah dilakukan perencanaan, pengorganisasian, pendorongan dan pengendalian. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat dan memudahkan proses penanganan yang akan dilakukan. Tim yang dibentuk harus mampu memberikan yang terbaik terhadap korban bencana. Begitu juga saat Pak Gelora menjelaskan satu per satu dari keempat tahapan pembentukan tanggap darurat bencana tersebut.

(35)

terkait, masyarakat, internet atau informasi lain yang dapat dipercaya. BNPB dan atau BPBD melakukan klarifikasi kepada instansi/lembaga/ masyarakat di lokasi bencana.” Informasi kejadian awal bencana merupakan dasar dalam pembentukan tanggap darurat bencana. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora,

Informasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan menggunakan rumusan pertanyaan terkait bencana yang terjadi. Misalnya seperti ini:

Apa : Jenis bencana

Bilamana : Hari, tanggal, bulan, tahun, jam, waktu setempat Dimana : Tempat, lokasi, daerah bencana (kecamatan) Penyebab : Penyebab terjadinya bencana

Bagaimana : Upaya yang telah dilakukan

Informasi kejadian awal bencana disusun dengan rumusan pertanyaan 5W+1H. Sesuai dengan penjelasan dari Pak Gelora,

1. What = apa : Dalam hal ini, bencana erupsi gunung Sinabung termasuk dalam kategori bencana alam.

2. When= Kapan : Bencana erupsi gunung Sinabung ini terjadi pada tahun 2010 yang lalu. Letusan terakhir gunung ini sejak September 2013 dan berlangsung hingga kini.

3. Where = Dimana: Bencana ini terjadi di Kabupaten Karo.

(36)

6. How = Bagaimana menangani bencana ini : Rehabilitasi dan Rekonstruksi merupakan solusi dalam penangangan bencana ini.

Pemkab Karo menilai bencana ini harus ditanggapi secara serius dalam proses penanganannya. Bencana ini jangan dianggap enteng apalagi dipengaruhi situasi dan kondisi yang tak kunjung membaik. Tak berapa lama, Pak Gelora kemudian menjelaskan tahapan yang kedua dalam pembentukan komando tanggap darurat bencana ini.

Yang kedua adalah Penugasan Tim Redaksi Cepat (TRC). Dari informasi kejadian awal yang diperoleh,BNPB dan/atau BPBD menugaskan Tim Redaksi Cepat (TRC) tanggap darurat bencana untuk melaksanakan tugas pengkajian secara cepat, tepat, dan dampak bencana serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka penanganan darurat bencana. Hasil pelaksaan tugas TRC tanggap darurat dan masukan dari berbagai instansi/ lembaga terkait akan menjadi bahan pertimbangan bagi:

1. Kepada BPBD Kabupaten/ kota untuk mengusulkan kepada Bupati/ Walikota dalam rangka menentapkan status atau tingkat bencana skala Kabupaten/ Kota.

2. Kepada BPBD provinsi untuk mengusulkan kepada Gubernur dalam rangka meningkatkan status/ tingkat bencana skala provinsi.

3. Kepada BPPD untuk mengusulkan kepada Presiden RI dalam rangka menetapkan status/ tingkat bencana skala nasional.

Sambil meminum secangkir teh yang telah disuguhkan, Pak Gelora juga menjelaskan tahapan yang ketiga dalam pembentukan komando tanggap darurat bencana ini.

“Yang ketiga adalah Penetapan Status/ Tingkat bencana. Ya, sesuai dengan bahan pertimbangan pada tahapan kedua dan berbagai masukan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam forum rapat dengan instansi/ lembaga terkait, maka :

1. Bupati/Walikota menetapkan status/tingkat bencana skala Kabupaten/Kota. 2. Gubernur menetapkan status/tingkat bencana skala provinsi.

3. Presiden RI menetapkan status/tingkat bencana skala nasional.

(37)

Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Pak Gelora juga menjelaskan status/tingkat bencana erupsi Gunung Sinabung.

Berdasarkan DALA (Damage and Lost Accessment) dasar untuk melakukan penganggaran. Kerusakan dan kerugian akibat dari bencana ini sekitar 4,9 T. jauh lebih besar daripada APBD Karo sekitar 1,2 T. Jadi, penanganan bencana ini harus menjadi bencana nasional karena APBD Karo yang terbatas sehingga penangannnya harus ditangani secara nasional. Jadi, erupsi Gunung Sinabung ini sudah termasuk dalam status bencana nasional. Jumlah yang telah diberikan sekitar 3,6 T dari bantuan pusat (nasional).”

Sambil melepaskan kacamatanya, Pak Gelora menjelaskan tahapan yang terakhir dalam pembentukan penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini.

Yang terakhir adalahPembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana. Kepala BNPB/ BPBD provinsi/ BPBD Kabupaten/ Kota sesuai dengan status/ tingkat bencana dan tingkat kewenangannya, maka:

1. Mengeluarkan surat keputusan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana. 2. Melaksanakan mobilisasi sumber daya manusia, peralatan dan logistik serta dana dari instansi/ lembaga terkait dan/ atau masyarakat.

3. Meresmikan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana.”

Selain daripada keempat tahapan yang telah dijelaskan, Pak Gelora juga menekankan perlunya komunikasi dan koordinasi dalam penanganan bencana ini. segala sesuatunya akan berjalan lancar ketika proses komunikasi yang terjalin baik.

Komunikasi yang digunakan mempertimbangkan sistem kearifan lokal. “Rakut Sitelu Tutur Siwaluh”.TIM menggunakan wadah budaya Karo untuk mempermudah proses komunikasi guna meringankan beban dari korban bencana itu sendiri.”

(38)

Terlebih bagi pengungsi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kehidupannya di desa tersebut.

Pada saat penentuan lokasi relokasi bagi korban yang berada dalam radius 3km. terlebih dahulu dilakukan dialog dengan masyarakat pengungsi. TIM penanganan membawa mereka ke beberapa lokasi relokasi untuk memilih lokasi yang cocok bagi pengungsi untuk melanjutkan kehidupannya. Kemudian ditetapkan lokasi yang dipilih tersebut sebagai tempat relokasi.”

Tentu saja, penentuan lokasi relokasi hanya dapat dilakukan pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Fase rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan tahap akhir dalam penanganan suatu bencana. Saat ditanyakan mengenai tahapan penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak Gelora menjawab,

Ya, seperti yang telah saya jelaskan tadi bahwa penanganan erupsi Gunung Sinabung ini masih dalam tahap tanggap darurat. Biasanya, sesuai dengan UU bencana, seharusnya penanganan ini sudah sampai pada tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Namun, status Gunung Sinabung ini sedikit berbeda dengan gunung yang lainnya yang mengakibatkan proses penanganan berangsur-angsur hingga bertahun. Jadi, sampai pada hari ini penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung masih dalam fase tanggap darurat. Kemungkinan besar awal bulan Januari 2016 penanganan bencana ini sudah bisa masuk dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi ( pasca bencana).”

Kemudian peneliti menanyakan tentang kebijakan pemerintah mengenai pembentukan BPBD di Kabupaten Karo, Pak Gelora Langsung Menjawab,

Ya, sangat baguslah dengan pembentukan BPBD ini. Cuma harus diketahui bahwa BPBD hanyalah sebagai fasilitator dalam penanganan bencana ini.

Saat ditanyai mengenai tanggapan dari perwakilan Pemkab Karo mengenai penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung, Pak gelora menjawab,

(39)

BPBD menempatan dirinya sebagai pelaksana operasional yang seharusnya adalah sebagai fasilitator. Hal ini menyebabkan kelemahan dari BPBD itu sendiri saat pelaksanaan penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung.

Kebijakan dariinstansi pemerintahan yang masih lemah. Dalam penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi seharusnya dilakukan diskusi publik oleh BPBD, sementara tidak pernah dilakukan. Jadi, setiap keputusan, kebijakan dan tindakan menjadi keliru yang memperlambat proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung.

Penanganan suatu bencana tidak hanya melibatkan institusi pemerintahan saja. Banyak organisasi yang turut mendorong penanganan ini dengan sangat giat dalam melakukan advokasi dan lobi. Gerak operasional kalangan organisasi terlihat lebih lincah dan cepat di lapangan.

Ada dari kalangan LSM, relawan, NGO yang terlihat lebih lincah dan cepat di lapangan. Organisasi seperti NGO, LSM terbukti mampu mendorong peristiwa erupsi Gunung Sinabung untuk dijadikan pembelajaran bagi pembaharuan kebijakan mengenai penanganan bencana.

Penanganan erupsi Gunung Sinabung masih dalam tahap tanggap darurat bencana. Belum masuk pada tahapan pemulihan yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini disebabkan karena status Gunung Sinabung yang tidak stabil. Terlalu berpedoman terhadap UU yang berlaku menyebabkan kekeliruan tersendiri dalam proses penanganan bencana ini. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora,

(40)

Ya, Kerap kali terjadi kelambatan komunikasi yang mengakibatkan Miss Communication. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap penanganan bencana itu sendiri. Apalagi, ini yang pertama kali terjadinya bencana di Kabupaten Karo.”

Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dan berpengaruh terhadap penanganan suatu bencana. Termasuk dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Dengan berbicara dan bertindak akan sangat membantu proses penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung. Ketika berbicara, maka secara tidak langsung sudah melakukan koordinasi yang sangat bermanfaat dalam penanganan ini. Seperti yang dijelaskan Pak Gelora,

Bidang kesehatan dalam sistem pelayanannya kurang memahami, sehingga apa yang dia ketahui itulah yang dia kerjakan. Ya, seharusnya ketika ini merupakan pengalaman pertama dalam menghadapi bencana akan lebih baik ketika lebih banyak melakukan koordinasi untuk memecahkan masalah yang sedang berjalan. Komunikasi sangat berperan dalam pemecahan masalah yang sedang berjalan tersebut. Paling tidak denganadanya komunikasi yang baik bisa meminimalisir kekurangan yang terjadi. Saling mengisi untuk menghadapi setiap kendala yang didapatkan.”

Saat ditanyai mengenai pengaruh pilkada terhadap pengungsi erupsi Gunung Sinabung, Pak Gelora menjawab,

(41)

kedepannya harus benar-benar pro rakyat melihat situasi Tanah Karo yang saat ini sedang mengalami krisis.

4. Informan 4 - Pengungsi dari desa Bekerah - Budiman Tanggal wawancara : 29 Oktober 2015

Selama menjadi pengungsi dari desa Bekerah, Pak Budiman lebih banyak menghabiskan waktunya di posko pengungsian. Sebagai masyarakat yang tertimpa musibah, ia beserta warga lain hanya bisa pasrah saat berada di posko pengungsian. Keresahan mulai terasa akibat dari bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Rasa bosan, jenuh disertai dengan ketidakjelasan membuatnya harus berpikir keras dalam melanjutkan kehidupan ini. Hal ini terlihat ketika dia terkejut pada saat peneliti menghampirinya.

Sebelum peneliti memulai wawancara, Pak Budiman sempat berkata kepada peneliti, ketika bencana ini berakhir ingatkan kalau Pak Budiman pernah menghadapinya. Ketegasan dalam pernyataan itu meyakinkan peneliti bahwa mereka sedang dalam kesusahan dan membutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak. Maka dari itulah peneliti merasa tertarik untuk mewawancarai Pak Budiman sebagai salah satu informan dari desa Bekerah. Keluh kesah yang disampaikannya kepada peneliti merupakan sebagian dari serangkaian harapan dalam penanganan bencana ini.

Melihat keresahannya, maka peneliti me mutuskan untuk bertanya kepada Pak Budiman soal perasaan Pak Budiman ketika erupsi Gunung Sinabung terjadi untuk yang pertama kalinya.

(42)

Erupsi Gunung Sinabung merupakan shock therapy bagi Pak Budiman. Gunung yang sama sekali tidak beraktivitas selama ratusan tahun yang lalu itu tiba-tiba meletus. Apalagi, jarak dari desa Pak Budiman dengan Gunung Sinabung hanya berkisar 3-4 km saja. Jelas saja kejadian ini menjadi kepanikan tersendiri bagi Pak Budiman. Saat ditanyai tanda-tanda kejadian erupsi Gunung Sinabung, Pak Budiman menjawab,

Tidak ada yang bisa memastikan bencana ini akan terjadi. Apalagi selama ini situasi gunung terlihat aman-aman saja. Hanya saja kedengarannya seperti suara gemuruh yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Tapi, suara itu ternyata tidak berhenti disertai dengan getaran kecil. Saya beserta keluarga keluar dari rumah untuk memastikan darimana suara itu berasal. Ternyata Gunung Sinabung yang meletus. Terlihat lava pijar yang menyala terang dari gunung tersebut membuat kami berusaha untuk menjauh dan menghindari resiko yang tidak diinginkan terjadi.

Kepanikan yang dialami warga desa Bekerah sempat membuat keramaian di malam hari itu. Berujung kepada kekacauan yang tidak sempat terhindarkan lagi. Nilai gotong royong yang belum luntur masih melekat dalam kebiasaan Pak Budiman beserta warga desa Bekerah lainnya. Musyawarah untuk mencari mufakat pun dilakukan untuk menenangkan hati dan perasaan. Biasanya, hal itu dilakukan di jambur yang dipimpin langsung oleh kepala desa Bekerah. Sembari menunggu bantuan untuk proses evakuasi, Pak Budiman beserta beberapa warga lainnya mengutamakan perempuan dan anak-anak untuk diselamatkan ke tempat yang lebih aman. Pada saat kejadian pertama kalinya, belum adanya tim khusus penanganan bencana ini sehingga proses evakuasi dilakukan dengan seadanya saja. Dibentuknya tim penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung membuat proses evakuasi mulai lancar sekalipun masih ada kendala.

(43)

gunung yang lainnya. Erupsi yang dikeluarkan dari Gunung Sinabung bisa berkali-kali bahkan hampir setiap harinya mengalami erupsi. Barulah tahun 2013 kemarin dibentuk BPBD beserta dengan tim untuk penganganan bencana ini. Proses evakuasi yang dilakukan mulai terkoordinir, terencana dengan manajemen yang terbaik. Jalur evakuasi juga sudah diberlakukan bilamana erupsi gunung terjadi kembali. Tapi, tetap titik kumpul pertama itu dilakukan di jambur. Kemudian, barulah dibawa ke tempat yang jauh lebih aman termasuk ke posko-posko pengungsian.

Saat ditanyakan tentang bagaimana penanganan terhadap korban selama berada di posko pengungsian, Pak Budiman langsung menjawab,

Berada di posko pengungsian merupakan satu pengalaman baru bagi kami warga korban erupsi Gunung Sinabung. Bahkan sampai pada hari ini kami tetap masih setia berada disini. Kehidupan kami secara drastis berubah total. Kadang, kami merasa jenuh dan bosan selama berada di posko pengungsian ini. Apalagi pelayanan yang diberikan belum sesuai dengan harapan kami. Tapi, paling tidak kami masih bisa bersyukur karna masih banyak orang yang mau membantu dan peduli terhadap kondisi kami. Namanya juga kejadian yang pertama kali, jadi proses penanganannya masih terbilang kacau.” Rasa kecewa memang terlihat jelas saat Pak Budiman menjelaskan proses penanganan yang diberikan kepada korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Pasrah tapi tak rela diperlakukan seperti ini. Sudah terlalu banyak mereka dirugikan akibat dari bencana ini. Seperti yang dijelasakan oleh Pak Budiman,

(44)

yang menawarkan pekerjaan. Tapi kalau tidak, ya seperti inilah membuat kami ada yang stres bahkan sampai gila akibat dari bencana ini. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Rasanya sangat lama sekali untuk keluar dan bangkit dari derita ini.

Uluran tangan dibalik ketulusan hati akan sangat membantu dalam proses penanganan darurat bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Menjalani kehidupan di posko pengungsian merupakan pengalaman baru bagi Pak Budiman. Dua tahun menjadi pengungsi bukan segampang membalikkan telapak tangan untuk menjalaninya. Banyak proses yang harus dilaluinya.

Awalnya berada di posko pengungsian saya tidak betah dan rasanya ingin segera pulang ke kampung halaman. Tapi, situasinya tidak memungkinkan akan hal itu. Banyak hal yang saya butuhkan sejak awal kejadian sampai pada hari ini yang tetap bertahan di posko pengungsian ini. Disini, saya berharap tersedianya air bersih yang cukup untuk minum sekaligus untuk mandi dan sebagainya. Kamar mandi yang terbatas memaksa tim penanganan membuat kamar mandi yang seadanya saja. Sebaiknya hal ini juga menjadi perhatian bagi tim yang menangani bencana ini. Makanan dan minuman sehat juga diperlukan melihat situasi kami yang sudah hampir dua tahun menjadi pengungsi disini. Peranan dari pakar psikolog beserta relawan juga akan sangat membantu terutama memberi kekuatan dalam menghadapi trauma. Informasi yang cepat, jelas dan efisien juga akan sangat membantu dalam proses penanganan ini. Perbaikan daripada tempat tinggal kami dan bila perlu dilakukan relokasi bagi desa yang memang tidak memungkinkan bagi warga untuk melanjutkan kehidupannya disana. Banyak hal yang mesti diperbaiki guna mengembalikan situasi ini normal kembali. Tapi, paling tidak kebutuhan dasar kami sebagai pengungsi haruslah terpenuhi. Intinya, saya butuh pemulihan baik itu secara fisik maupun non fisik.

(45)

Ya, mudah-mudahanlah apa yang saya harapkan selaku korban bencana bisa terealisasi sekalipun tidak sepenuhnya. Ya, paling tidak bisa mendekatilah. Penanganan yang dilakukan terhadap bencana ini masih terbilang lamban.

Saat ditanyakan soal contoh dari kelambanan dalam penanganan bencana ini, Pak Budiman langsung menjawab,

Masih kerap terjadi keterlambatan dalam pembagian logistik kepada pengungsi. Di posko pengungsian yang lain beras berlebihan sementara di posko pengungsian ini, kami kekurangan. Ini tidak adil karena kami sama-sama menjadi korban dalam bencana ini. Ya, sekalipun di tempatkan di posko pengungsian yang berbeda. Adu mulut juga pernah terjadi akibat dari keterlambatan tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai terbiasa akan hal itu. Begitu juga dengan tim penanganan darurat bencana ini, akan berusaha untuk memberikan yang terbaik terhadap korban bencana.

Banyak hal yang bisa didapatkan atas kejadian ini. Semuanya dijadikan sebagai pengalaman dan pelajaran untuk kedepannya. Ketulusan hati akan sangat meringankan beban dari korban bencana. Mengingat kawasan bencana lazimnya dalam kondisi yang serba darurat dan kacau, maka wilayah bencana seolah-olah sebagai kawasan tidak bertuan. Kondisi semacam ini membuka peluang bagi partai politik dan komunitas lain yang berslogan peduli bencana bisa memberikan bantuan tanpa aturan yang jelas.

Akibatnya, yang tampak menonjol di wilayah bencana, bukan informasi tentang peta bencana, tata tertib memberikan bantuan kepada korban, keberadaan posko pemerintah maupun petunjuk evakuasi, tetapi justru keberadaan simbol dan atribut partai politik ataupun kelompok yang membangun popularitas di lingkungan korban bencana. Situasi wilayah bencana alam, lebih mirip arena kampanye politik yang mengabaikan kondisi psikologis korban. Ini terjadi karena parpol dan lembaga politik lainnya, terperangkap dalam tindakan mengunggulkan pencitraan ketimbang memberikan bantuan dengan tulus hati kepada korban bencana. Seperti yang dijelaskan Pak Budiman tentang pengaruh pilkada terhadap pengungsi erupsi Gunung Sinabung.

(46)

merasa muak sendiri akan hal itu. Mereka memanfaatkan kami pengungsi untuk pencitraan kepentingan pribadinya. Artinya, kami dimanfaatkan oleh mereka sebagai lumbung suara dalam pilkada nanti. Buktinya, waktu pemilihan caleg kemarin kami diberikan banyak bantuan dengan catatan memilih dia sebagai calon yang pantas duduk di DPRD Karo. Setelah dia terpilih sama sekali tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kami selaku korban bencana merasa dirugikan akan hal ini tapi kami butuh bantuan dari mereka.

5. Informan 5 - Pengungsi dari desa Simacem - Hendra Tanggal wawancara : 29 Oktober 2015

Kesendirian bukanlah alasan bagi Pak Hendra untuk pasrah dalam menjalani kehidupan ini. Semenjak istrinya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, ia hidup sendiri saja. Kebetulan buah dari perkawinannya belum menghasilkan keturunan. Kebiasaan hidup menyendiri membuatnya lebih sering “erjuma berngi” atau bermalam di ladang dibandingkan pulang ke desa. Jauh dari keramaian bukan jadi satu halangan bagi peneliti untuk menjadikannya sebagai informan dalam penelitian ini. Banyak hal menarik yang bisa didapatkan dari sosok Pak Hendra.

Ketika ditanyakan tentang bagaimana perasaan Pak Hendra saat erupsi terjadi pertama kalinya, Pak Hendra langsung menjawab,

Ya, pada saat kejadian pertama kalinya, saya merasakan ada getaran disertai suara gemuruh. Saya berpikir akan turun hujan. Ternyata, tidak disangka kalau Gunung Sinabung yang meletus.Kebetulan, pada saat kejadian saya berada di ladang dan berniat untuk bermalam disana. Banyak ternak yang mau dijaga dan panen buah yang sudah dekat. Dalam sekejap, hujan abu vulkanik yang sangat tebal mulai turun dan menyelimuti sekitar ladang bahkan sampai ke desa. Saya merasa khawatir kalau hujan abu ini terus-menerus terjadi akan menyebabkan gagal panen. Sementara itu, warga yang lainnya berusaha untuk menjemput saya ke ladang karena situasi sedang tidak aman. Barulah kami berkumpul untuk dilakukan proses evakuasi ke daerah yang lebih aman. Bertahan di sekitar gunung akan sangat membahayakan bagi kami.

Gambar

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 1.1 Defenisi Komunikasi
Gambar 1.2 Siklus Bencana
Tabel 1.1 Fungsi Komunikasi Massa

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perumahan di wilayah yang terkena dampak bencana gempa bumi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dilaksanakan dengan

Tiga faktor penentu efektivitas kinerja, yaitu pelatihan, disiplin kerja, dan kepuasan kerja terbukti dapat menentukan efektivitas kinerja rehabilitasi dan rekonstruksi

Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan relasi antara bencana dan hak asasi manusia (HAM) terkait dengan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Gunung Merapi pada

Paskabencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial, psikologis, pelayanan

Keterkaitan Pemberdayaan Masyarakat Paska Bencana dengan siklus P2KP Refleksi Bencana Pembangunan BKM PJM Pronangkis Panitia Rehabilitasi Perenc Partisipatif Termin I : 40%

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Tengah berperan serta dalam pemulihan sosial ekonomi korban bencana alam di Kabupaten Sigi melalui pengembangan ayam Kampung Unggul