• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Padat Penebangan dan Jenis Pakan terhadap Produktivitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal yang Dibudidayakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Padat Penebangan dan Jenis Pakan terhadap Produktivitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal yang Dibudidayakan"

Copied!
256
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)

PENGARUH

PADAT

PENEBARAN DAN JENIS PAKAN

TERHADAP

PRODITKTI\~IT4S

TIGA SPESIES

JANGKRIK LOKAL YANG DIBUDIDAYAKAN

Oleh

:

orurn

Priyantini Widiyanin,

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(135)

THE EFFECTS OF DIFFERENT DENSITY LEVEL AND

RATIONS ON THE PRODUCTIVITY OF THREE SPECIES

OF DOMESTICATED LOCAL CRICKETS

ABSTRACT

,

In the development of cricket farming, important information in regard

with raising method, type of crickets, feedstuff, density level, sex ratio and it's

productivity is essential. This study was conducted &om March to December

2000

at the laboratory of Non Ruminant and Prospective Animals, The Faculty

of Animal Science,

IF'B

Bogor. The aim of this study was to evaluate the effects

of different density level and rations on the productivity

of three species of

domesticated local crickets, i.e

GryIlus bzmaculaius

De Geer,

Gryllus mitratus

Bum and

Gryllus testaceus

Walk. The result indicated that the density level of

approximately

1000

crickethox had no significant influence on g~owth

\

performance of the three species local crickets: Nevertheless, higher density

level tended

to

increase mortality rate especially for G.

bimaculatus

(rate of

mortality

=

45.86%).

The use of feed combination of formulated ration plus

mustard greens resulted in better growth performance and higher egg production

compared to the combination of formulated ration plus papaya leafes. The type

of feedstuff had no significant effect on mortality rate and hatchability.

Difference sex ratio had highly significant influence

(P<0.01)

on egg

hatchability, on the other hand, there was no differences among sex ratio on egg

production of cricket. The result of this study showed that sex ratio of male and

female of

1: 1

and 1

:

5

had no significant influence on hatchability but there was

a tendency of decreasing hatchability at the ratio of

1

:

9.

Overall, amongst the

three species, G.

bimaculatus

and

G.

mitratus

were potential to developed

because

G. bimaculatus

was good in their growth performance, and G.

mitratus

(136)

RINGKASAN

PRIYANTINI WIDIYANINGRUM. Pengaruh Padat Penebaran dan

Jenis Pakan terhadap Produktivitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal yang Dibudidayakan (Dibimbing oleh D.T.H. SIHOMBING sebagai ketua,

ASNATH MARIA FUAH dan ADE DJUHARA, sebagai anggota).

Jangkrik (GryZZm sp.) adalah jenis serangga yang dikenal masyarakat sebagai pakan satwa piaraan khususnya aneka burung berkicau dan satwa pemakan serangga. Di USA dan Kanada, selain dimanfaatkan sebagai pakan satwa piaraan dan umpan memancing ikan, jangkrik juga digunakan sebagai hewan laboratorium karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya siklus hidupnya pendek, jarang terkena penyakit, murah harganya serta mudah beradaptasi dengan lingkungan dan pakan yang diberikan. Dari aspek nutrisi jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani aItematif karena mengandung nutrisi dan asam amino cukup lengkap sehingga mampu menggantikan sebagian tepung kedelai dan tepung ikan dalam formula pakan ayam broiler.

Di Indonesia jangkrik umumnya dipejualbelikan di pasar lokai dan sejalan dengan makin banyaknya penggem,r satwa piaraan, permintaan komoditas ini cenderung meningkat. Masalah utama yang sering muncuI adalah

b l u m adanya kontinyuitas penyediaan jangkrik di pasaran akibat keberadaan satwa ini hanya bergantung dari hasil tangkapan di alam, sementara populasi mereka tergantung musim. MasaIah lain adalah terganggunya keseimbangan siklus hidup jangkrik di alam akibat perburuan yang term menerus, kerusakan habitat dan dampak penggunaan insektisida. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diupayakan pengembangan metode budidaya dengan mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan produktivitas jangkrik. Informasi-informasi yang berhubungan dengan teknik pemeliharaan, jenis dan perilaku jangkrik, pakan, padat penebaran, sex rasio dan produktivitas sangat diperlukan sehingga suatu penelitian telah dirancang untuk mengkaji aspek-aspek tersebut.

(137)

(2). Pengaruh sex rasio dan jenis pakan terhadap produksi dan daya tetas telur, dengan perbandingan jantan betina 1:1, 1 :5, I:9 dan (3). Pengaruh padat penebaran induk dan jenis pakan terhadap mortalitas dan produksi telur kurnulatif jangkrik yang dipelihara secara massal, dengan tingkat padat penebaran 50, 100, 150 ekor induk serta rasio jantan betina 1:5. Penelitian Tahap I dan Tahap III

dilakukan dengan menggunakan kotak tripleks berukuran 60 x 45 x 30 cm sebanyak 54 buah, Tahap I1 menggunakan kotak plastik ukuran 40 x 30 x 15 cm masing-masing dengan pemberian pakan a d libitum.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 3 x 2 dengan uiangan tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal. Hasil peneiitian menunjukkan bahwa padat penebaran hingga 1000 ekor/kotak pada fase instar tidak mempengaruhi pertumbuhan tetapi cenderung meningkatkan mortalitas, terutama spesies G. bimaculatus sementara dua spesies yang lain tidak terpengaruh Demikian juga padat penebaran yang semakin tinggi pada pemeliharaan massal cenderung menurunkan produksi telur kumulatif.

Hasil analisis statistik rnenunjukkan bahwa perbedaan spesies berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap pertambahan bobot hidup, konsumsi pakan, konversi, bobot badan akhir instar, produksi telur, daya tetas telur dan

mortalitas. Pertambahan bobot hidup dan konversi pakan terbaik dihasilkan spesies G. birnaculatus (12.50 mdekorlhari; 0.89) diikuti G. mitratus (7.62 mg/ekor/hari; 0.96) dan terendah G. testhcew (5.69 mg/ekor/hari; 0.95). Bobot badan akhir instar tertinggi dicapai oleh G. bimaculatus (501.47 mglekor) diikuti G. mitratus (306.13 mglekor) dan terendah G. testaceus (228.86 mdekor). Mortalitas fase instar tertinggi oleh G. bimaculafus (45.86%) diikuti G. mitratus (33.99%) dan terendah G. testacew (28.41%). Rataan produksi telur tertinggi dicapai G. rnitratus (2576 butidekor) diikuti G. testaceus (1961 butir/ekor) dan terendah G. birnacularus (1375 butidekor). Daya tetas telur tertinggi dihasilkan oleh G. mitratus (63.56%) diikuti G. bimaculatus (60.23%) clan terendah G. testaceus (39.66%). Produksi telur kumulatif terendah dan mortalitas tertinggi pada pemeliharaan massal berturut-turut adalah G. bimaculatus (produksi 203 butidekor, mortalitas 35.04%); G. testaceus (produksi 734 butir/ekor; mortalitas 9.69%) dan G. mitratus (produksi 844 butidekor; mortalitas 9.49%).

Perbedaan pakan tidak berpengaruh pada mortalitas dan daya tetas teIur, tetapi nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi telur. Pada ketiga spesies, pemberian kombinasi pakan buatan dan sawi hijau menghasilkan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi, bobot badan akhir instar

dan produksi telur lebih tinggi dibanding kombinasi pakan buatan ditambah daun PePaYa.

(138)

ini sex rasio 1 :5 menghasilkan daya tetas tertinggi dan direkomendasikan untuk digunakan pada penelitian Tahap 111.

(139)

PENGARUH PADAT

PENEBARAN

DAN

JENIS

PAKAN

TERHADAP PRODUKTIVITAS TIGA SPESIES

JANGKRIK LOKAL

YANG DIBUDIDAYAKAN

Oleh

:

Priyantini Widiyaningrum

NRP.

985046

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(140)

Penulis adalah putri ke lima dari sembilan bersaudara, dilahirk4 di Bantul

Yogyakarta tanggal 19 April 1960 dari pasangan ayahanda KWidyahartana

(almarhum) dan ibunda Suradjimah (almarhumah). Penulis menikah dengan

Ir. Eka S.E. Pranata pada tahun 1986 dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu

Niken Nur Widyakusurna, Avistya Paradipta dan Ryan Adhi Nugraha.

Penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Ponjong V tahun 1973, SMP Negeri

Ponjong 1 tahun 1976 dan SMA Negeri Argomulyo tahun 1979 semuanya di

Daerah lstimewa Yogyakarta. Selanjutnya penulis rnenempuh studi di Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 197Q dan mendapatkan gelar Sarjana

pada tahun 1984. Tahun 1988 penulis mernperoleh beasiswa TMeD untuk

melanjutkan program S2 bidang studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan di Institut Pertanian Bogor dan gelar Magister Sains diraih pada

tahun 199 1. Tahun 1998 kembali penulis rnendapat kesernpatan mengambil

program Doktor pada Jurusan Ilmu Ternak Fakultas Pascasarjana IBP Bogor

dengan biaya sendiri pada tahun pertama, dan kemudian mendapatkan beasiswa

BPPS pada tahun-tahun selanjutnya.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai sebagai guru Sekolah Pertanian

Menengah Atas Argomulyo tahun 1982 hingga 1986 di Kabupaten Bantul

Yogyakarta. Sejak Tahun 1986 diangkat menjadi staf pengajar tetap diFakultas

Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan hingga

(141)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan ucapan Bismillahirrohmannirrohiim, penulis panjatkan doa dan

puji syukur ke hadirat Illahi, karena atas kehendalaya penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan menyusun disertasi sebagai salah satu syarat

menyelesaikan studi pada Fakultas Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.

Keberhasilan ini inerupakan basian yang tak dapat dipisahkan dari kerja keras.

bimbingan, bantuan dan dukungan moral maupun material dari berbagai pihak.

Untuk itu selayaknya penulis menyampaikan terima kasih kepada sernua pihak

yang telah terlibat dalam mernbimbing, membina dan membantu dengan setulus

hati Sungguh tidak mudah menyusun urutan prnyataan penghargaan dan rasa

terima kasih ini, namun dernikian tiada pilihan lain penulis akan rnemanfaatkan

kesempatan ini untuk mengungkapkan perasaan terima kasih dari lubuk hati yang

paling dalam Semoga jasa-jasa mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT,

amien.

Kepada yang terhormat Bapak Prof Dr.DTH. Sihombing, M.Sc sebagai

Ketua Komisi Pembimbing. Dengan bimbingan beliau telah membuka wawasan

penulis tentang khasanah satwa harapan sebagai salah satu sumber daya alam

yang potensial. Di tengah kesibukannya beliau tetap meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan dan pengarahan dalam rnenyernpurnakan karya ilmiah

hingga menjadi bentuk disertasi Atas segala arahan dan bimbingannya, penulis

(142)

Kepada Yth. Ibu Dr.Ir. Asnath Maria Fuah, MS dan Bapak Dr. Ade

Djuhara selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tanpa rasa bosan

senantiasa memberikan pengarahan dan saran-saran selarna pelaksanaan

penefitian sampai penulisan disertasi ini penulis menyampaikan rasa hormat,

penghargaan dan terima kasih. Dengan bimbingan Bapak dan Ibu berdua penulis

memperoleh tambahan pengetahuan yang sangat berharga.

Keberhasilan studi ini rasanya tidak mungkin tanpa biaya. Oleh

karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Yth.

Bapak Rektor USU dan Ibu Direktur Program Pascasarjana yang telah rnemberikan rekomendasi sehingga penulis dapat memperoleh beasiswa BPPS

DepDikBud untuk menempuh studi dengan l ~ c a r dan tepat waktu. Kepada

Direktur SEARCA dan Pimpinan Yayasan Super Semar, penuIis mengucapkan

terimakasih atas bantuan biaya penelitian yang telah diberikan, sehingga ikut

mendukung kelancaran penelitian dan penyusunan disertasi.

Pada akhirnya penulis sampaikan terirnakasih sedalam-dalarnnya kepada

suami tercinta Ir.Eka S.E Pranata yang telah memberikan dukungan moral d m

materia1, serta putra putri tersayang Niken, Dita dan Ryan. Berkat do'a,

dukungan dan kesabarannya lah penulis dapat menyelesaikan studi hingga pada

jenjang tertinggi. Atas segala pengorbanan dan kebaikan yang mereka berikan,

penulis hanya berdoa sernoga Allah swt. senantiasa melimpahkan rachmatNya

(143)

DAFTAR IS1 Bab

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

...

...

Latar Belakang

...

Tujuan penelitian

Hipotesis

...

...

...

Manfaat Penelitian

.-

TINJAWAN PUSTAKA

...

Biologi Jangkrik ...

.

.

...

...

Perturnbuhan Jangkrik

Siklus Hidup dan Reproduksi ...

...

Makanan Jangkrik

Potensi Jangkrik sebagai Sumber Protein Hewani

...

MATERI DAN METODE PENELITIAN

...

Tempat clan Waktu Penelitian

...

Materi Penelitian

...

...

Metode Penelitian

Tahap I :

Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas

Tiga Spesies Jangkrik Lokal Fase Insbr

...

(144)

Bab

Tahap 11 :

Evaluasi Pengaruh Sex Rasio dan Jenis Pakan terhadap Produksi dan Daya Tetas Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal . . .

Tahap III :

Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Mortalitas dan Produksi Kumulatif Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

. . .

Pemeliharaan Massal

. . . Rancangan Percobaan

H.4SIL DAN PEMEAHAS.4N

Keadaan Suhu dan Kelembaban Ruang Penelitian . . .

Karakteristik Biologi Jangkrik . . .

Penelitian Tahap I . . . ..:, . . .

Pertambahan Bobot Hidup (10-50 Hari) . . .

Konsumsi Pakan . . . . . .

Konversi Pakan

Bobot Badan Umur 50 Hari . . .

Mortalitas Fase Instar . . .

Hasil Analisis Protein dan Asam Amino Jangkrik pada Fase lnstar . . .

. . .

Penelitian Tahap I1

Lama Masa Produksi . . . : . . . . . . Produksi Telur

Daya Tetas Telur . . .

. .

Penelltian Tahap 111 . . . Lama Masa Produksi . . .

Mortalitas Awal Produksi . . . Produksi Telur Kumuiatif . . . Hasil Analisis Protein dan Asam Amino Jangkrik Fase Imago . . .

Tinjauan Ekonomi dan Prospek Pengembangan Jangkrik

Halaman

3 0

(145)

Halaman

KESTMPULAN . . . . . . . . .

S A R A N

. . . DAFTAR PUSTAKA

(146)

Halaman

Konversi Pakan Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

. . .

Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda

Bobot Badan Akhir Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda . . .

Rataan Mortalitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

. . .

Padat Penebaran dan Pakan yang, Berbeda

Rataan Produksi Telur Selama 32 Hari Masa Produksi pada Sex Rasio dan Pakan yang Berbeda.. . .

Rataan Daya Tetas Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

. . .

Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda

Mortalitas Awal Masa Produksi Tiga SpesFs Jangkrik LokaI

pada Pemeliharaan Massal.. . . : ...

Produksi Telur Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokd pada Pemeliharaan Massat.. ...

(147)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Profil Jangkrik Jantan (kiri) dan Betina (kanan) pada

Fase Instar . . .

Profil Jangkrik Dewasa . . .

Metamorfosis Jangkrik dan 0rthoprc.r-o pada Umumnya

Pertumbuhan Spesies Achern Jon7rsticrts pada

Berbagai Pakan Komersial . . .

Profil Telur Jangkrik yang Diperbesar

Profil Tiga Spesies Jangkrik Lokal Jantan dan Betina

. . .

yang Digunakan dalam Penelitian

Kotak-Kotak Penelitian Tahap 1 dan T a h y 111

Rak untuk Penelitian Tahap I1 ...

Media Peneluran . . .

Pertalnbahan Bobot Hidup Tiga Spesies Jangkrik

. . .

Pada Fase lnstar..

[image:147.517.41.471.48.581.2]

Pertambahan Bobot Hidup Tiga Spesies Jangkrik pada Pakan . . . yang Berbeda..

Grafik Pertumbuhan Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada Pakan yang Berbeda . . .

Pola lnteraksi antara Spesies dan Pakan terhadap Pertambahan Bobot Hidup.. . .

Konsumsi Pakan Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada

. . . Fase Instar..

(148)

Halaman

Teks

-

Hubungan Antara Padat Penebaran Induk dengan Mortalitas Awal Produksi pada Pemeliharaan Massal ...

Pola Interaksi Spesies dan Padat Penebaran Induk terhadap ... Mortalitas pada Pemeliharaan Massal

Mortalitas yang Terjadi Selama 32 Hari Masa Produksi pada Padat penebaran yang Berbeda : (A). 50 Ekor Induk; (B). 100

...

Ekor Induk; (C). 150 Ekor Induk

Produksi Telur Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada ... Pemeliharaan Massal

Produksi Telur Kumulatif pada Kombinasi pakan yang ... Berbeda

\

(149)

PENDAHULUAN

L a t a r Belakang

Sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati, alam

Indonesia yang beriklim tropis memiliki aneka jenis satwa dengan segala

potensinya Satwa-satwa yang sudah lazim kita kenal di sektor peternakan

seperti sapi, kerbau, domba, kambing, unggas dan sebagainya hanyalah sebagian

kecil dari sumber daya satwa yang ada dan telah dikembangkan sebagai hewan

ternak untuk me~nenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Sementara itu

beberapa satwa liar yang keberadaannya di d a m tidak diperhitungkan, akhir-

akhir ini terlihat mulai menjadi komoditas satwa harapan yang potensial untuk

dikembangkan.

Mansjoer (1999) menyatakan bahwa mengembangkan usaha satwa non

ternak untuk tujuan komersial agar bisa berkelanjutan merupakan altematif yang

perlu dikaji, mengingat syarat- syarat yang diperlukan untuk budidaya sesuai

dengan kemampuan peternak kecil pada umumnya yaitu modal kecil, tidak

memerlukan lahan luas atau perawatan khusus dengan biaya operasional tinggi,

serta prospek yang baik dalam pemasaran produknya. Beberapa satwa harapan

yang sudah dan sedang dikembangkan dan pasti memenuhi persyaratan tersebut

menurut Sihombing (1999) diantaranya adalah satwa dari kelornpok lnsekta,

Amphibia dan Reptilia.

Jangkrik adaiah salah satu jenis satwa dari kelompok lnsekta yang

(150)

dibudidayakan sebagai sumber protein alternatif bagi ternak. Di Indonesia,

serangga dari famili G~:~.llidae ini sudah biasa diperjual belikan di pasar lokal

dalam bentuk hidup sebagai pakan satwa piaraan khususnya aneka burung

berkicau dan beberapa jenis ikan hias. Di USA dan Kanada, jangkrik spesies

Achern donresticr~s bahkan sudah dibudidayakan untuk dijual dan dimanfaatkan

sebagai hewan laboratorium atau dijual sebagai pakan satwa piaraan dan umpan

memancing ikan (Ghouri dan McFarlane. 1 9 5 8 , Patton, 1978; Parajulee el a/.,

1993). Dalam bukunya yang berjudul "l~7sect.s A s Ht~nmmr Food" , Bodenhei~ner

(1951) menegaskan bailwa jangkrik bukan hanya menjadi mangsa hewan

pemakan serangsa, tetapi dimanfaatkan juga sebagai bahan pangan oleh

sebagian masyarakat di beberapa negara Asia,, termasuk Indonesia. Jangkrik

sangat cocok untuk digunakan sebagai hewan laboratoriurn karena siklus

hidupnya pendek, mudah beradaptasi dengan ruangan terbatas, jarang terkena

penyakit dan mampu beradaptasi dengan pakan yang diberikan (Patton, 1978;

Clifford rr a/.. 1977: Parajulee el a/.. 1993).

Dari aspek nutrisi. jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani

alternatif Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa tepung jangkrik

memiliki kandungan nutrisi dan asam-asam amino cukup lengkap

(DeFoliart rr nl.. 1982: Nakagaki er a/.. 1987; Widyaningrum er a/., 2000) sehingga jangkrik berpotensi menggantikan sebagian tepung kedelai dan tepung

ikan dalam pakan ayam broiler (DeFolian er a/.. 1982; Finke el a?.. 19851). Sejalan dengan makin banyaknya penggemar satwa piaraan pemakan

(151)

(Paimin er ( I / . 1999). Namun masalah utama yang dihadapi konsumen adalah

belum adanya kontinyuiras penyediaan di pasaran karena ketersediaan satwa ini

lnasih tergantung hasil tangkapan dari alam dan musim. Menjelang pergantian

musim jangkrik mudah ditemukan, dan pada waktu-waktu tertentu jangkrik sulit

diperoleh sehingga langka di pasaran. Masalah lain adalah terganggunya

keseimbangan siklus hidup jangkrik oleh perburuan yang intensif dan kerusakan

habitat akibat perluasan petnbanzunan serta dampak penggunaan pestisida.

Kondisi demikian menvebabkan janzkrik makin sulit diperoleh dan

menyebabkan fluktuasi harga cukup t a j a n ~ . Masyarakat di beberapa daerah telah

mencoba budidaya jangkrik, tetapi urnumnya masih secara sederhana,

bergant ung pada musim dan met o d e pemet iharaan hanya berdasarkan

pengalaman sesuai kebiasaan hidup jangkrik di alam.

Berbeda dengan ulat sutera yang bersifat monofagus (hanya makan satu

macam daun), jangkrik tergolong polyfagus karena berbagai macam daun dapat

menjadi makanannya dan sumber utama air berasal dari daun-daunan yang

dimakan. Mereka mampu m e n ~ k o n s u m s i makanan lain yang berkadar air rendah

jika kebutuhan air tubuh terpenuhi. Kadar air dalam pakan merupakan faktor

penting dalam kehidupan serangga ini, sehingga kadar air yang rendah

~nenyebabkan pertumbuhan nimpha atau larva serangga terhambat (Martin dan

Van't Hof, 1988). Sebaliknya, kelebihan air dalam pakan akan memberi

dampak kui-any baik pada pertumbuhan seperti halnya pada pemeliharaan ulat

(152)

Pemeliharaan jangkrik dengan hanya metnanfaatkan pakan alami (daun-

daunan) akan membutuhkan j u ~ n l a h yang besar untuk memenuhi kebutuhannya.

Namun apabila hanya disediakan pakan buatan yang banyak mengandung air

akan mengakibatkan tuntbut~nya jamur dan berpengaruh buruk terhadap

pertutnbuhan serangga. Oleh karena itu kombinasi pakan buatan dan pakan

alami diharapkan akan saling ~nelenpkapi dan menghasilkan pertumbuhan

optimal.

Dalarn rangka ~neningkatkan potensi jangkrik di rnasa rnendatang dan

menjaga kontinyuitas persediaan sepanjans tahun, perlu dikembangkan metode

budidaya dengan mengkaji aspek-aspek lingkungan yang berkaitan dengan

produktivitas satwa tersebut. Kemampuannya beradaptasi dengan jenis pakan

yang tersedia akan mempermudah penyediaan dan penyesuaian bahan pakan

yang tersedia di setiap daerah (Walker, 1987; Hasegawa dan Kubo, 1996).

Meskipun saat ini belum ada penetitian yang mengungkap kebutuhan nutrisi

jangkrik, tetapi dengan mengasumsikan komposisi protein tubuh sebagai

kebutuhan minimal protein yang hams ada dalam pakan, serta upaya

tnemberikan bahan pakan yang palarnhle, diharapkan serangga ini mampu

beradaptasi dan berkembang biak dengan baik dalam lingkungan terbatas

sepanjang tahun.

Dalatn ranyka pengembangan dan budidaya jangkrik, informasi

informasi yang berhubungan dengan teknik pemeliharaan, jenis jangkrik yang

cocok, pakan, padat penebaran, nisbah kelamin, dan produktivitas jangkrik

(153)

aspek-aspek budidaya dan produktlvltas tiga jenis jangkrik lokal meliputi

spesies (;rjlli/lr~s hrn7nclrlntrrs De Geer, Gryllzr3 ntitrafus Bum dan Grjillus

festacerrs Walk

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk rnengevaluasi pengaruh padat penebaran

dan jenis pakan terhadap produktivitas tiga spesies jangkrik lokal yang

dibudidayakan. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap percobaan sebagai

berikut :

1 . Tahap 1 (pemeliharaan anakan), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh padat penebaran dan jenis pakan sayuran terhadap pertumbuhan dan tingkat

\

mortalitas tiga spesies jangkrik lokal selama f h e instar (10 - 50 hari).

2. Tahap I1 (pemeliharaan induk), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh

perbandingan jantan betina (sex rasio) dan jenis pakan sayuran terhadap

beberapa performans reproduksi tiga spesies jangkrik lokal selama masa

produksi. Sex rasio terbaik akan digunakan dalam penelitian Tahap 111.

3 . Tahap 111 (pemeliharaan induk secara massal), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh padat penebaran dan jenis pakan sayuran terhadap mortalitas d m

produksi telur kumulatif dari tiga spesies jangkrik lokal selama masa

(154)

Hipotesis

Hipotesis yang akan diajukan dalaln penelitian ini adalah :

1 . Faktor padat penebaran dan jenis pakan mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas tiga spesies jangkrik lokal selama fase instar.

2 . Perbandingan jantan betina (sex rasio) dan jenis pakan mempengaruhi produksi dan daya tetas telur tiga spesies jangkrik lokal.

3 . Faktor padat penebaran dan jenis pakan mempengaruhi mortalitas dan produksi telu~- kumulatif tiga spesies jangkrik lokal yang dipelihara

secara massal.

Mailfaat Penelitiali

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menpmbang' dua manfaat :

1 . Manfaat keilmuan, yakni menambah informasi ilmiah mengenai

karakteristik biologi, produksi dan reproduksi tiga spesies jangkrik lokal

yang dibudidayakan

2. Manfaat terapan, yakni sebagai acuan dasar bagi peminat di bidang usaha

(155)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi JunghSlr

Berdasarh

klasifikasinya, Ross

et al.

(1982) menggolongkan

jenis

jangldc

kedalam

Fiilum

Arthropods,

Klas

Insekta,

ordo

Orthoptem,

famili

G r y 1 I ~ .

Walker

(1987) mengatdm

bahwa di

selumh

drmia

terdapat

sekitar

3

000

spesies jauglaik y a q telah teri-i,

lauang

lebih

130

jenis

terdapat

di

Am&

Utara

dan

s e w a n

besar

lainnya

hidup

di

daerah beriklim

tropis

temasuk

Indonesia.

Hill

(1983) menyebutkan

bahwa

anggota

genus

Giyllus

sp.

seperti

Gryllus bimaculam De

Geer

hidup

tersebar

di

Af&a,

Ropa

bagian

selatan

dan beberapa

negara

Asia, sedang

GrylIus testaceus

Walk

menyebar

di

China

Selatan dan

AsiaTenggara.

Di Indonesia terdapat sekitar

Gambar 1. R06l

Jangkrik Jantan

(kin)

dan

Betina

&man)

(156)

123 spesies

jangknk

yang

telah

teridentifikasi, diantrlranya

adalab

Gryllus

testaceus

Walk

(jaaglaik

gawang), Gryllus

mitratus

Burn

(jangkrik bering) daa

Gryllus

bzmaculatus De

Geer

(janglaik kalung

atau

jliteng) yang

biasa

dijumpai

>

di

pasar lokal sebagai

pakan

satwa piaraan (Paimin et al., 1999; Sukamo, 1999).

Sebagaimana terlihat pada

Gambar

1

dan

Gambar

2,

jangkrik

rnemiliki

ciri-cm

morfologis sebagai

berikut :

ukuran tubuh

berkisar antara

4

-

30

mm

tergantung spesies; tub& agak

pipih,

terbagi

menjadi

tiga

b

e

yakni bagian

kepala, thorax

dan

abdomen;

pada

bagian

kepala

Wdapat

sepasang antena sama

panjang, kadaag-kadang

bahkan

lebih panjaag

dari

tubuhnya; pada bagian

thorax terdapat tiga pasang kaki clan

dm

pasang sayap; sepasaug

kaki

belakangnya berukuran lebih besar

dan

kuat

sehingga

rnenmgkhkan

untuk

melompat

jarak

jauh; mempunyai sepasang

cerci

yang menjulur pada b

e

(157)

Seperti halnya serangga lain, abdomen jangkrik terdiri dari 11 ruas. Alat

Icelamin luar jangkrik dewasa biasanya terletak pada mas abdomen ke-8 atau ke-

9. Jangkrik betina dewasa memiliki ovipositor memanjang berbentuk silindris

tian meruncing seperti jarum, yang digunakan sebagai saluran untuk

rnengeluarkan te1ur-telurnya (Ross et al., 1982). Jangkrik jantan dewasa ~nemiliki organ striduIasi di bagian depan sayap luar, berfingsi untuk

rnengeluarkan bunyi nyanyian. Baik jantan maupun betina memiliki sepasang

organ pendengar (tympanum) yang terletak dekat pangkal tibia tungkai depan

( Davies, 1988; Pallister, 1990).

Pertumbuhan Jangkrik

Pada serangga yang mengalami metarnorfosis dikenal adanya fenomena

pertumbuhan yang berbeda dengan hewan tingkat tinggi, yakni moulting atau er-dysis. Istilah moulting atau ecdysis adalah suatu kondisi yang berkaitan dcngan proses pergantian kulit pada serangga. Moulting lebih ditujukan kepada proses pertumbuhan untuk mencapai stadium nimpha berikutnya, sedangkan

ecdysis terkait dengan proses akhir pelepasan kulikula (Wigglesworth, 1974). Jangkrik tergolong serangga yang dalam kehidupannya mengalami

mdamorfosis tidak sempurna karena tidak melalui tahapan lan~a dan pupa seperti pada serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Kehidupan

(158)

(Sastrodlhardlo, 1984, Hasegawa dan Kubo, 1996) Peters (1988)

menggamba~ kan s ~ k l u s ~ n e t a m o r f o s ~ s Orthoptercr termasuk d ~ a n t a ~ anya jangkr~k

sepertl pada Gambar 3

Garnbar 3 . Metamorfosis Jangkrik dan Orthaptern pada Umumnya (Peters, 1 988)

Kulit inerupakan penlbatas pertumbuhan jangkrik sehingga selama masa

perkembangan nimpha, jangkrik mengalami beberapa kali pergantian kulit

( r n o ~ t l t i ~ ~ g ) . Nimpha jangkrik yang sudah berganti kulit tiga atau empat kali

mulai terlihat adanya dust pasang sayap kecil, dan pada tingkatan ini jantan dan

betina sudah dapat dibedakan ditandai dengan tumbuhnya ovipositor pada

jangkrik betina (Oda dan Kubo. 1997).

Frekuensi pergantian kulit pada jangkrik berbeda-beda, tergantung

spesies dan kondisi lingkungan. Paimin el a?. (1999) menemukan bahwa

jangkrik spesies G~;l./lrt.s mitratrrs dan Gryllzrs tes.slacerr.s mengalami paling

(159)

dan Haniffa (1996) melaporkan bahwa spesies Glyliodes sigilatus melewati 8 kali stadium instar untuk mencapai dewasa pada umur 70 hari sementara

menurut Ghouri dan Mc.Farlane (1958) dan Patton (1978), spesies Achefa domesficus mengalami pergantian kulit tujuh sampai sepuluh kali tergantung suhu lingkungan.

Kecepatan pertumbuhan serangga sangat dipengaruhi oleh banyak

faktor, diantaranya jenis kelamin, temperatur, kelembaban, serta ketersediaan

dan kualitas pakan (Chapman, 1975; Woodring et al., 1979). Menurut M-cFarlane (2962) spesies Acheta domesficus lebih cepat turnbuh pada pemeliharaan secara kelompok dibanding pemeliharaan individual. Di

Indonesia, jangkrik umumnya hidup baik di dqerah yang bersuhu antara 20°C-

32OC dengan kelembaban sekitar 65%-80% (Sukarno, 1999). Hasil penelitian

Patton (1978) terhadap pertumbuhan jangkrik Acheta domesticus yang dipelihara dengan menggunakan kontainer selama 7 minggu pada temperatur

ruangan 320+1°C dan kelembaban 70%-75%, dan diberi pakan komersial

berkadar protein antara 17%-30%, memperlihatkan kurva pertumbuhan seperti

pada Gambar 4.

Penelitian-penelitian yang mengamati kapasitas ruang yang diperlukan

oleh seekor jangkrik untuk mendapatkan pertumbuhan optimal belum banyak

dilakukan. Namun rnenurut Clifford e f a l . (1977) tingkat kepadatan yang berlebihan sebaiknya dihindari karena selain akan meningkatkan persaingan

(160)

sehingga merangsang t i ~ n b u l ~ l y a sifat kanibalisme, meningkatkan mortalitas dan

dapar mempengamhi interval fase-rase instar

W E E K S

Garnbar 4 Pertuinbuhan Spesies Achercl donresncrrs pada Berbagai Pakan Komersial (Patron, 1978)

Dalam penelitiannya, Patton (1978) inencoba mengevaluasi pengaruh

kepadatan terhadap pertumbuhan jangkrik Achetcl ~ion?e.sric~rs. menggunakan

kontainer- plasrik sebagai telnpar pemeliharaan dan luas r-uanp s e b e s a ~ 500 cm'.

Pada kepadatan 186 ekorkontainer, tingkat mortalitas pada minggu pertama

pemeliharaan 8.2% dan ukuran panjang dewasa yang dicapai adalah 17.6 mm;

pada kepadatan 464 ekor/kontainer tingkat lnortalitas 21.1%, ukuran panjang

dewasa I S mm; pada kepadatan yang lebih tinggi yakni 751 ekor, mortalitas

(161)

bahwa tingkat kepadatan tidak mempengaruhi perkembangan tubuh pada akhir

instar, tetapi berpengaruh terhadap tingkat mortalitas dan daya hidup. Dalam

penelitian ini, pertumbuhan Acheta donzesticus terbaik adalah pada kontainer dengan kapasitas ruang sebesar 2.5 cm2/ekor.

Siklus Hidup d a n Reproduksi

Jangkrik berkembang biak dengan bertelur. Dalam waktu 7-10 hari

setelah perkawinan, jangkrik betina mulai bertelur. Induk jangkrik akan mencari

tempat yang lembab dan gembur untuk meletakkan telurnya secara bertahap

sampai beberapa kali. Umumnya jangkrik betina meletakkan telur di tempat

gembur sedalam 5-15 mm rnenggunakan ujung ovipositornya

(Kalshoven, 1981; Kumala, 1999). Jangkrik lebih menyukai tanah atau pasir

yang lembab untuk meletakkan telurnya. Dalam penelitiannya yang menggunakan empat macam media peneluran untuk jangkrik Achefa dolnestinrs

yaitu media pasir lembab, pasir kering, media kaus basah dan tanpa media,

media pasir lembab sangat efektif merangsang peneluran, sehingga

menghasilkan jumlah telur yang lebih tinggi westephano et al., 1982).

Di alam, umumnya jangkrik betina mampu melakukan perkawinan hingga beberapa kali (multiple mating) dengan jantan yang berbeda-beda di dalam kelompok spesiesnya, sehingga dalam populasi dengan cukup pejantan,

jangkrik betina memiliki kesempatan untuk meningkatkan fertilitas telur-

(162)

muda,

cerah clan segar,

makin

lama warnanya berubah menjadi kuning

tua

dengan garis-garis

halus

bwvarna abu-abu

(Paimin er a/.,

1999).

Gambar

5

memperlihatkan prof3 telur jangknk yang diperbesar.

. ...

Gambar

5.

Prof3 ~ e l u r

an-

yan$perbesar

(Oda dan Kubo;

1997)

::

Produksi telur pada tiap spesies

sangat

b

e

.

Hill

(1983)

menyebutkan bahwa pada genus

Achera

atau

Gtyflus

sp. umumnya mampu

bertelur hingga

2 000

butir, yang

akan

men&

10-12

hari

setelah ditelulkau

apabila temperam

lingkungannya

sesuai. Perkembangan nimpha jangknk

memakan waktu

antara

4 0 4 0

hari

sebelurn

memasuki

fase imago, kemudian

berlanjut hidup 2 sampai

3

bulan.

S m g g a

ini

mampu menghasilkan empat

generasi per tahun. Patton

(1978)

melaporkan bahwa jangkdc

Acheta

domestrcus

betina dewasa menghasilkan antara

1200

-

1500

butir, mulai

bertelur 4-5

hari setelah pergantian kulit

kaakhir

dm meletakkan telumya

m a

bertahap dan berlanjut hingga

tip

minggu.

Lain

halnya den-

spesies Gryllus

mltrahcs

Bum

yang mampu menghasilkan paling sedikit

153

(163)

berlanjut hidup 2 sampai 3 bulan. Serangga ini mampu menghasilkan empat

generasi per tahun. Patton (1978) melaporkan bahwa jangkrik .-lchein don7esricrrs betina dewasa menghasilkan antara 1200 - 1500 butir, mulai bertelur

4-5 hari setelah pergantian kulit terakhir dan meietakkan telurnya secara

bertahap dan bertanjut hingga tiga minggu. Lain halnya dengan spesies GryIJz4s mitr.nir~.s Burn yang mampu menghasilkan paling sedikit 153 butir telur. dapat mencapai umur sekitar empat bulan dengan ukuran tubuh dewasa antara 3 - 4 cm

(Kalshoven, 198 1). Spesies Gry//~r.s hinracrr/niiis dapat mencapai umur sekitar tiga bulan, mulai benelur seminggu setelah perkawinan dan telur akan nienetas

12 hari setelah ditelurkan (Lzumiyama er at., 1983; Tomioka ri a / . , 1991). Sukarno ( 1999) mengatakan bahwa beberapa hqri setelah masa bertelur berakhir,

jangkrik betina akan mati. Perbedaan siklus hidup dan karakteristik reproduksi

spesies Gr.y/lris teslaceirs dan GryIi14s nritratzrs dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel I Perbedaan Siklus Hidup dan Karakteristik Reproduksi

GiyNfrs resracerrs dan Gryllrrs n~rrratz4.s yangdbudidayakan

7

Stadium G. testacerrs G. n~itrarrls

Nimpha 1 7 hari 7 hari

Nimpha I1 10 hari S hari

Nimpha 111 2 0 hari 10 hari

Nimpha IV 18 hari 17 hari

Nimpha V 14 hari 15 hari

Total uinur nimpha 69 hari 57 hari Mulai benelur 7 - 10 hari 8 - 13 hari Frekuensi bertelur 16 kali 25 kali Produksi teludmasa produksi 500 butir 1 200 butir Panjang ovipositor betina 23 - 25 mm 14 - 17 mm Panjang tubuh jantan dewasa 3 2 - 3 7 m m

-

7 5 - - 30 mm Panjang tubuh betina d e w a s a 5 0 - 53 mm 3 5 - 40 nim [image:163.517.41.442.26.562.2]
(164)

Makana11 Ja11gkt-ik

Hampir 50% dari jenis serangga adalah pemakan tanaman atau fitofagus,

dan daun merupakan bagian tanaman yang paling banyak dimakan. Selebihnya

adalah kelompok pemakan serangga lain, atau sisa-sisa tanaman dan hewan.

Serangga memiliki hubungan khas dengan tanaman sehingga dengan alat

irderanya tnampu menemukan tanaman inang yang disukai (Sastrodihardjo,

1'384). Jangkril; termasuk serangga fitofagus seperti halnya anggota Orfhoprem lain (Chapman, 1975). tetapi pada lingkungan dan situasi terbatas ia mampu

n-emakan apa saja yang ditemulan, misalnya buah-buahan, sayuran, berbagai

rracanl daun, bangkai serangya, padi, potongan kain w o l dan lain-lain

(Walker, 1987: Hasegawa dan Kubo, 19963. Ueckert dan Hansen (1970)

mengungkapkan bahwa preferensi jangkrik terhadap pakan sangat dipengaruhi

oIeh musim dan ketersediaan pakan. Hasil penelitiannya terhadap jangkrik

mormon A ~ r a h n ~ s sit77plex Hadelman menunjukkan bahwa urutan pakan yang

dipilih sebagian besat- berasal dari kelompok tanaman perdu (50°A), diikuti berbagai bangkai serangga lain (2 1 O h ) , beberapa jenis h n g i ( 16%), dan

selebihnya berasal dari rumput-ruinputan dan lumut.

Ada dua ha1 yang menjadi dasar preferensi pakan pada serangga

fitofagus, yaitu faktor non nutrisi dan faktor nutrisi (Chapman, 1975). Zat-zat

n u t r ~ s i tertentu yang terkandung dalam tanalnan seperti protein, gula, fosfolipid,

garam-garam anorganik. mineral, vitamin dan lain-lain b e f i n g s i sebagai

perangsang makan yang penting bag] serangga untuk pertumbuhan, tetapi

(165)

membatasi kernarnpuan serangga untuk mendapatkan kebutuhan pakan,

meskipun tinggi kandungan nutrisinya. Demikian juga kadar air maupun zat-zat

kimia tertentu dalam tanaman mempengamhi preferensi pakan

(Hedin rr a/., 1977).

Berbeda dengan ulat sutera yang hanya makan satu jenis daun

(monofagus), jangkrih: menyukai berbagai macam sayuran dan dedaunan

(polyfagus) yang banyak mengandung air. Satwa ini tidak mengkonsumsi air

minurn seperti kebanyakan hewan. tetapi mengambil air minum dari

makanannya. Beberapa jenis sayuran yang biasa digunakan sebagai pakan pada

pemeliharaan jangkrik diantaranya adalah sawi, kol. buncis, daun singkong,

wortel, gambas, kangkung, bayam dan jagung rnuda (Paimin, 1999). Pada skala

lat~oratorium, jangkrik mampu beradaptasi dengan pakan buatan yang

disediakan dalam bentuk tepung dengan tambahan air minurn

(F,arlane e1 a/., 1959; Clifford el a / . , 1977; Patton, 1978; Nakagaki dan

DeFoliart, 1991 ; Parajulee et at., 1993).

Paul e1 a / . (1992) yang meneliti pengamh kelembaban daun rnurbei

terhadap indeks nutrien dan pertumbuhan ulat sutera (Bon?byX mur;) mengungkapkan bahwa konsumsi pakan meningkat sejalan dengan

meningkatnya kelembaban daun. Jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi d a r ~ efisiensi konversi pakan meningkat secara nyata dengan meningkatnya

kaclar air daun. Bobot akhir larva juga meningkat secara nyata dengan

(166)

Potensi J a ~ i g k r i k S e b a g a i S u m b e r Proteirl Hewani

DeFoliart at a/. (1982) melaporkan bahwa jangkrik spesies Armhr.l~.s

sin7pIex dewasa dengan berat kering rata-rata 1.08 gram mengandung protein

kasar sekitar 58%. Apabila dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan asam

amino ayam broiler dan ayarn petelur, ternyata hanya beberapa jenis asam amino

yang menjadikannya sebagai faktor pembatas. Dalam percobaannya dengan

menggunakan tikus putih, Finke e i a/. (1987) inenyimpulkan bahwa tepung

jangkrik A1rc11~r1r.s .sin7ples cukup baik digunakan sebagai sumber protein bagi

pertumbuhan tikus, tetapi rendahnya kandungan metionin menjadikannya

sebagai faktor pembatas. Hasil penelitian DeFoliart et a/. (1982) menunjukkan

bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler sebagai

pengganti tepung kedelai dengan menambahkan asarn amino, ternyata

memberikan pertumbuhan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

penggunaan ransum yang sama tanpa suplementasi asam amino.

Hasil penelitian Finke rl nl. (1985) yang menggunakan tepung jangkrik

A ~ m h r r i . ~ .sin7plru sebayai pengganti tepung kedelai dalam ransum ayam broiler,

menunjukkan bahwa penggunaan tepung jangkrik ditambah 550h metionin dan

- -

33% arginin nyata lne~nperbaiki bobot badan akhir dan konversi ransum. Dari

llasil uji rasa terhadap daging ayam broiler oleh panelis, mernbuktikarr bahwa

penggunaan tepung jangkrik tidak memberikan efek yang berbeda dari daging

ayam broiler.

Tabel 2 dan Tabel 3 nlasing-masing ~nemperlihatkan hasil analisis

[image:166.505.41.438.25.607.2]
(167)

19

.4nabnrs simplex serta kebutuhan asam amino ayam broiler dan petelur (DeFoliart ef a!., 1982). Hasil analisis komposisi asam amino jangkrik Acheta domesticus oleh Nakagaki et al. (1987) terlihat pada Tabel 4.

Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Spesies Anabrus simplex (Jangkrik Mormon)

Jangkrik dewasa Komponen

Jantan Betina

Air (%) 6.2 6.3

Protein kasar (%) 60.3 56.0

Lemak (%) 12.9 19.9

Serat kasar (%) 6.9 5.4

Abu (%) 9.8 8.2

Instar VII (jantan dan betina)

Sumber : DeFoliari et al., 1982

Tabel 3. Komposisi Asam-Asam Amino Essensial Jangkrik Anabms simplex dan Kebutuhan Asam Amino Ayam Broiler dan Petelur (mg/g Protein)

Asam amino Komposisi dalam Kebutuhan ayam

tubuh jangkrik Broiler Petelur

Glisin-serin 110 6 5 3 3

Fenilalanin-tirosin 90 5 8 5 3

Leusin 8 6 5 9 80

Lisin 62 52 40

Valin 6 0 3 6 3 3

Isoleusin 5 3 3 5 33

Treonin 48 3 2 2 7

Arginin 45 63 5 3

Histidin 33 15 15

Fenilalanin 2 8 3 1 2 7

Metionin-sistein 14 40 3 3

Metionin 13 22 18

Triptopan 5 10 7

[image:167.505.38.446.51.604.2]
(168)

Meliliat potensi janykrik sebayai sutnber protein ternak yang cukup

besar. Parajulee e i crl. (1993) mencoba meranc,ang suatu model budidaya

jangkrik Achefa Jonle.sficrls dengan kapasitas produksi biomassa tertentu serta

dapat dipanen setiap hari. Dengan jurnlah pembiakan awal sebanyak 5 0 pasang

jangkrik dewasa menygunakan 3 2 unit kotak pemeliharaan, diharapkan dapat

dipanen sebanyak 4 000 sampai 6 0 0 0 ekor anakan per hari dalam waktu 32 hari

dengall assumsi b a l ~ w a setiap hari h a m s ada penggantian induk baru sebanyak

4-6 pasang k e dalain penibiakan awal. Dengan sistem ini kapasitas produksi

dapat diperbesar sesuai keinginan. Nakagaki dan DeFoliart (1991) melaporkan

bahwa jangkrik sanyat efisieil dalam mengkonsuinsi pakan. Konversi pakan

jangkrik Acheia dome.siicrrs yang dipelihara selama 21 hari dengan pernberian

pakan Iconsentrat untuk ayaln broiler berkadar protein 22.3%, mencapai angka

0.949, sedangkail penggunaan pakan komersial untuk jangkrik (Selp's cricket

feed) berkadar protein 17% adalah sebesar I 0 8 1 . .4pabila dibandingkan denyan

rernak konvensional

.

janykrik mempunyai keunggulan komparatif mengingat
(169)

Tabel 4. Hasil Analisis Kimia Jangkrik Spesies Achetn donzesticirs

Komponen Hasil Anrlisis

Air (%) 5.2

Protein kasar (%) 62.0

Lemak kasar (Oh) 7.5

Serat kasar (%) 4.6

Abu (%) 7.0

Makro : Ca (%) 0.19

K (%) 1 28

Mg (%) 0 I 1

Na ( m d d 9210

P ("A) 0 99

S (%) 0.59

Mikro : A1 ( m d g ) 3 4

Co ( m d g ) 24

Fe ( m d g ) 154

Mn ( m d g ) 64

z n ( m d g ) 254

Asam Amino b%@g/g Protein

Asam glutamat 117

Alanin 95

Asam aspartat 8 8

Leusin 7 3

Prolin 62

Arginin 60

Valin 60

Glisin 59

Lisin 5 6

Serin 49

Isoleusin 42

Tirosin 4 1

Treonin 3 5

Histidin 26

Fenilalanin 22

Metionin 15

[image:169.541.41.451.52.596.2]
(170)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

T e m p a t d a n Waktu Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap percobaan, ketiganya dilaksanakan di

Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan IPB,

Bogor. ldentifikasi jangkrik dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan

Zoologi-LIP1 Cibinong, analisis proksirnat bahan pakan dilakukan di

Laboratoriunl Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, analisis proksimat dan asam-asam

amino jangkrik di Laboratorium Biokimia dan Enzimatik Balitbio, Cimanggu

Bogor.

Penelitian dimulai sejak bulan Februari hingga Desember 2000. Untuk

penimbangan materi penelitian digunakan tirnbangan digital OHAUS SE. 2020

dengan kapasitas maximum 200 gram. Pengukuran tingkat kebasahan dan pH

media diyunakan Soil icsrrr. sedang untuk mengamati suhu dan kelernbaban ruang percobaan diyunakan T l ? e r r ~ ~ o - h j ~ ~ o n ~ e r e ~ .

Materi Penelitian

I . Hewan. Dalam rangkaian penelitian ini digunakan telur jangkrik lokal dari

(171)

2. Pakan. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi pakan buatan dan pakan

sayuran. Oleh karena kebutuhan nutrisi jangkrik belum diketahui, maka formula pakan buatan yang disediakan ditentukan berdasarkan asumsi bahwa

kebutuhan protein jangkrik sekurang-kurangnya sarna dengan persentase

protein tubuh jangkrik. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui

jangkrik dewasa jangkrik Iokal Gryllus mitratus Burn hasil tangkapan di alam

berkadar air rata-rata sebesar 66.57%, dan hasil analisis proksimat dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Jangkrik GrylIus mitratus Burn Dewasa Hasil Tangkapan di Alam*

Komponen Hasil Analisis (Oh)

Bahan kering 89.69

Protein kasar 68.21

Serat kasar 11.42

Lemak kasar 4.72

BETN 0.22

Abu 5.11

Ca 0.3 1

P 0.9

NaCl 0.74

Energi brutto (Kallgram) 5349

*)

Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB Bogor, 1999

Pakan sayuran terdiri dari sawi hijau (Brassica juncea) dan daun pepaya

(Carica papaya) yang diberikan dalam keadaan segar, sedangkan formula pakan

buatan terdiri dari bahan seperti tercantum pada Tabel 6. Hasil analisis proksimat

[image:171.505.40.441.14.600.2]
(172)

Tabel 6. Formula Pakan Buatan

Bahan Komposisi (%) PK (%)*

1. Jagung kuning 2. Dedak halus 3. Bungkil kedelai 4. Tepungikan

Total 100.00 22.00

*)

Hartadi et al., 1980.

Tabel 7. Hasil Analisis Proksimat Pakan yang Digunakan dalam Penelitian*)

Komposisi Pakan buatan Sawi hijau

Bahan kering (%)

Protein (%)

Lernak (%)

Serat kasar (%)

Abu (Oh) Ca (%>

P (O/o) BETN (%)

Gross energi (kkal/kg)

D. pepaya 87.37 16.77 8.55 16.28 12.40 4.57 0.38 33.37 4102

*)

Hasil Analisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Temak

Fapet IPS, 2000

Pemilihan sawi hijau dan daun pepaya sebagai pakan perlakuan didasarkan

pada hasil uji palatabilitas yang telah dilakukan (Lampiran 1) yang memperlihatkan bahwa dua jenis sayuran ini mendapat respon lebih baik dan

disukai dibanding tiga jenis sayuxan lain yang dicobakan. Tabel 8

lnemperlihatkan komposisi zat lnakanan dalain lirna macaln sayuran yang

(173)

Tabel 8 . Komposisi Zat Makanan pada Lima Jenis Sayuran yang Diuji

Komposisi Bahan makanan

(Berat segar)

Sawi hijau Kangkung Bayam D. singkong D.pepaya Air (%)

Protein (%)

Lemak ( O h )

Karbohidrat (%)

Mineral (%)

Ca ( P P ~ )

P Wpm)

As Ascorbat (ppm) G.E (Ka1/100 g)

Sumber : ~ i o L l 9 9 9 )

Oleh karena pemberian pakan sayuran pada penelitian ini dalam kondisi segar,

dilakukan analisis kadar air pakan untuk mengukur konsumsi pakan dalarn bobot

kering. Kadar air pakan ditentukan dengan cara mengambil sedikit contoh,

ditimbang, dioven dengan suhu 105O C selama 24 jam. Rataan hstsil analisis kadar

air tercantum pada Tabel 9

Tabel 9. Hasil Analisis Kadar Air Bahan Pakan Percobaan

Percobaan Pakan buatan" Sawi hijaub D. pepayab

Tahap 1 15.18 9 1 0 5 79.62

Tahap 11 16.32 90.86 80.54

Tal~ap 111 16.01 90.34 80.36

Keterangan : a) Rataan dari tiga ulangan

[image:173.509.39.436.36.609.2]
(174)

Metode Penelitian

T a h a p I : Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Pertumbuhan d a n Mortalitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal Fase Instar

Untuk persiapan materi penelitian Tahap I, ditetaskan sebanyak 50 g telur

jangkrik (setara dengan 6 2 500 - 80 000 butir telur) untuk setiap spesies., dengan

rataan berat telur antara 0.3 g-0.4 g per 500 butir. Tempat penetasan digunakan

kotak yang terbuat dari plastik berukuran 20 x 15 x 2 cm berisi pasir halus dengan

tingkat kebasahan 90%, dan media tersebut ditempatkan pada wadah plastik lain

yang berukuran 60 x 40 x 20 cm dilengkapi dengan penutup kawat kasa. Anakan

jangkrik yang digunakan untuk percobaan diusahakan seragam dengan variasi

perbedaan umur satu sampai dua hari. Percobaan dimulai setelah anakan berumur

10 hari. Jumlah anakan yang digunakan sebanyak 13 500 ekor setiap spesies.

Perlakuan yang dicobakan terdiri dari tiga faktor yaitu :

(1). T ~ g a spesies jangkrik lokal (Gambar 6 ) .

Grylltts b ~ m r r c ~ ~ l n t ~ t s (GB)

G1y~l1r1.s n?i?rattts (GM)

C;~~~llrrs fesmcrlts (GT)

( 2 ) . Tiga taraf padar penebaran untuk fase pertumbuhan

KA, = 500 ekorlkotak

KA2 = 750 ekorlkotak

KA3 = 1000 ekorlkotak

(175)

(3). Dua

mawn

kombinasi pakan sayuran

yakni

:

PB

+

S

=

kombinasi pakan buatan

+

sawi

hijau

-

PB

+

P

=

kombinasi pakan buatan

+

daun

pepaya

Setiap kombinasi perlakuan mendapat

tiga

ulangan sehingga total satuan

percobaan

berjumlah

54 unit.

Gambar 6. Profil Tiga Spesies Jaogkrik

Lokal

Jantan

dan Betina

yang Digunakan

dalam

Penelitian

Keterangan

:

(A)

GryIIm festaceus

Walk

(B)

GrylIus bimaculam

De Geer

( C )

Gtyllus mihatus

Bum

Kotak pemeliharaan terbuat

dari

tripleks

berukuran

60

x

45 x

30

cm,

berkaki

dan berpenutup

kawat kasa sebanyak 54

buah

(Gambar

7).

Di sekeliling

dinding bagian

dalarn

kotak tepi atas dilapisi dengan

selorip

selebar 10

cm

untuk

[image:175.544.44.479.40.775.2]
(176)

diberi cawan berisi air untuk mencegah sernut masuk kedalam kotak. Di dalam

setiap kotak disediakan tempat persembunyian (bempa gulungan-gulungan kertas

dan daun bambu kering). Tempat pakan buatan dan pakan sayuran terpisah untuk

memudahkan penimbangan sisa pakan. Selain pakan, pada setiap kotak

disediakan busa yang dibuat selalu jenuh air untuk menjaga kelembaban ruangan

[image:176.515.38.422.22.594.2]

sekaligus agar jangkrik tidak kekurangan air.

Gambar 7. Kotak-Kotak Penelitian Tahap I dan Tahap I11

Pakan diberikan ud libitum. Pakan sayuran diganti setiap pagi hari dengan

selalu menimbang sisa pakan yang ditinggalkan untuk mengetahui konsumsi

harian. Evaluasi bobot badan clan jumlah jangkrik yang hidup dilakukan setiap

sepuluh hari sekali. Lama waktu percobaan 40 hari. Konsumsi pakan dihitung

(177)

Variabel yang Diamati

1. Pertambahan bobot hidup. Diperoleh dari selisih antara rataan bobot hidup

saat penirnbangan dengan rataan bobot awal 10 hari sebelumnya. Pengukuran bobot hidup dilakukan dengan penimbangan sampel, yaitu sebanyak 20% dari

jumlah awal jangkrik per satuan percobaan setiap 10 hari. Jumlah jangkrik

yang hidup pada saat penimbangan dibagi jumlah jangkrik sampel, dikalikan

total bobot sampel akan diperoleh total bobot hidup saat penimbangan. Rataan bobot hidup per ekor setiap 10 hari dapat dihitung dengan membagi

angka tersebut dengan rataan jumlah jangkr

Gambar

Grafik Pertumbuhan Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik
Tabel I Perbedaan Siklus Hidup dan Karakteristik Reproduksi
Tabel 2 dan Tabel 3 nlasing-masing ~nemperlihatkan hasil analisis
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Spesies Anabrus simplex
+7

Referensi

Dokumen terkait

sumber daya yang dimiliki oleh kelompok pedagang kaki lima itu sendiri untuk. mendorong peningkatan pendapatan/keuntungan (profitabilitas)

2.9.2 Pengaruh Likuiditas terhadap Efisiensi Pasar Mata Uang Kripto Menurut Greene dan McDowall (2018), likuiditas merupakan probabilitas dari suatu aset yang dapat

Kajian Pengaruh Pengembangan (Swelling) Pada Subgrade Dari Tanah Lempung Berplastisitas Tinggi Terhadap Kerusakan Lapisan Perkerasan Jalan. Syahril, Bambang Sugeng Subagio,

Pendampingan dilakukan sesuai kebutuhan anak korban ESKA Kebutuhan diberikan dalam berbagai intervensi yang dapat diakses dan diterima oleh anak korban ESKA

Dari hasil analisis dan pengujian terhadap Sistem Pendukung Keputusan (SPK) perbandingan tingkat pelanggaran perlindungan kekerasan pada anak dengan multikriteria

Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan SAK ETAP BAB 17 pada klasifikasi sewa baik itu sewa pembiayaan maupun sewa operasi mempengaruhi pencatatan serta pelaporan

thienopyridine, prasugrel, has been studied in patients with acute coronary syndromes; when compared with clopidogrel, it resulted in a reduction in myocardial infarction,