PENGARUH
PADAT
PENEBARAN DAN JENIS PAKAN
TERHADAP
PRODITKTI\~IT4S
TIGA SPESIES
JANGKRIK LOKAL YANG DIBUDIDAYAKAN
Oleh
:
orurn
Priyantini Widiyanin,
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
THE EFFECTS OF DIFFERENT DENSITY LEVEL AND
RATIONS ON THE PRODUCTIVITY OF THREE SPECIES
OF DOMESTICATED LOCAL CRICKETS
ABSTRACT
,
In the development of cricket farming, important information in regard
with raising method, type of crickets, feedstuff, density level, sex ratio and it's
productivity is essential. This study was conducted &om March to December
2000
at the laboratory of Non Ruminant and Prospective Animals, The Faculty
of Animal Science,
IF'B
Bogor. The aim of this study was to evaluate the effects
of different density level and rations on the productivity
of three species of
domesticated local crickets, i.e
GryIlus bzmaculaius
De Geer,
Gryllus mitratus
Bum and
Gryllus testaceus
Walk. The result indicated that the density level of
approximately
1000crickethox had no significant influence on g~owth
\
performance of the three species local crickets: Nevertheless, higher density
level tended
to
increase mortality rate especially for G.
bimaculatus
(rate of
mortality
=45.86%).
The use of feed combination of formulated ration plus
mustard greens resulted in better growth performance and higher egg production
compared to the combination of formulated ration plus papaya leafes. The type
of feedstuff had no significant effect on mortality rate and hatchability.
Difference sex ratio had highly significant influence
(P<0.01)
on egg
hatchability, on the other hand, there was no differences among sex ratio on egg
production of cricket. The result of this study showed that sex ratio of male and
female of
1: 1
and 1
:5
had no significant influence on hatchability but there was
a tendency of decreasing hatchability at the ratio of
1
:9.
Overall, amongst the
three species, G.
bimaculatus
and
G.
mitratus
were potential to developed
because
G. bimaculatus
was good in their growth performance, and G.
mitratus
RINGKASAN
PRIYANTINI WIDIYANINGRUM. Pengaruh Padat Penebaran dan
Jenis Pakan terhadap Produktivitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal yang Dibudidayakan (Dibimbing oleh D.T.H. SIHOMBING sebagai ketua,
ASNATH MARIA FUAH dan ADE DJUHARA, sebagai anggota).
Jangkrik (GryZZm sp.) adalah jenis serangga yang dikenal masyarakat sebagai pakan satwa piaraan khususnya aneka burung berkicau dan satwa pemakan serangga. Di USA dan Kanada, selain dimanfaatkan sebagai pakan satwa piaraan dan umpan memancing ikan, jangkrik juga digunakan sebagai hewan laboratorium karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya siklus hidupnya pendek, jarang terkena penyakit, murah harganya serta mudah beradaptasi dengan lingkungan dan pakan yang diberikan. Dari aspek nutrisi jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani aItematif karena mengandung nutrisi dan asam amino cukup lengkap sehingga mampu menggantikan sebagian tepung kedelai dan tepung ikan dalam formula pakan ayam broiler.
Di Indonesia jangkrik umumnya dipejualbelikan di pasar lokai dan sejalan dengan makin banyaknya penggem,r satwa piaraan, permintaan komoditas ini cenderung meningkat. Masalah utama yang sering muncuI adalah
b l u m adanya kontinyuitas penyediaan jangkrik di pasaran akibat keberadaan satwa ini hanya bergantung dari hasil tangkapan di alam, sementara populasi mereka tergantung musim. MasaIah lain adalah terganggunya keseimbangan siklus hidup jangkrik di alam akibat perburuan yang term menerus, kerusakan habitat dan dampak penggunaan insektisida. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diupayakan pengembangan metode budidaya dengan mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan produktivitas jangkrik. Informasi-informasi yang berhubungan dengan teknik pemeliharaan, jenis dan perilaku jangkrik, pakan, padat penebaran, sex rasio dan produktivitas sangat diperlukan sehingga suatu penelitian telah dirancang untuk mengkaji aspek-aspek tersebut.
(2). Pengaruh sex rasio dan jenis pakan terhadap produksi dan daya tetas telur, dengan perbandingan jantan betina 1:1, 1 :5, I:9 dan (3). Pengaruh padat penebaran induk dan jenis pakan terhadap mortalitas dan produksi telur kurnulatif jangkrik yang dipelihara secara massal, dengan tingkat padat penebaran 50, 100, 150 ekor induk serta rasio jantan betina 1:5. Penelitian Tahap I dan Tahap III
dilakukan dengan menggunakan kotak tripleks berukuran 60 x 45 x 30 cm sebanyak 54 buah, Tahap I1 menggunakan kotak plastik ukuran 40 x 30 x 15 cm masing-masing dengan pemberian pakan a d libitum.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 3 x 2 dengan uiangan tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal. Hasil peneiitian menunjukkan bahwa padat penebaran hingga 1000 ekor/kotak pada fase instar tidak mempengaruhi pertumbuhan tetapi cenderung meningkatkan mortalitas, terutama spesies G. bimaculatus sementara dua spesies yang lain tidak terpengaruh Demikian juga padat penebaran yang semakin tinggi pada pemeliharaan massal cenderung menurunkan produksi telur kumulatif.
Hasil analisis statistik rnenunjukkan bahwa perbedaan spesies berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap pertambahan bobot hidup, konsumsi pakan, konversi, bobot badan akhir instar, produksi telur, daya tetas telur dan
mortalitas. Pertambahan bobot hidup dan konversi pakan terbaik dihasilkan spesies G. birnaculatus (12.50 mdekorlhari; 0.89) diikuti G. mitratus (7.62 mg/ekor/hari; 0.96) dan terendah G. testhcew (5.69 mg/ekor/hari; 0.95). Bobot badan akhir instar tertinggi dicapai oleh G. bimaculatus (501.47 mglekor) diikuti G. mitratus (306.13 mglekor) dan terendah G. testaceus (228.86 mdekor). Mortalitas fase instar tertinggi oleh G. bimaculafus (45.86%) diikuti G. mitratus (33.99%) dan terendah G. testacew (28.41%). Rataan produksi telur tertinggi dicapai G. rnitratus (2576 butidekor) diikuti G. testaceus (1961 butir/ekor) dan terendah G. birnacularus (1375 butidekor). Daya tetas telur tertinggi dihasilkan oleh G. mitratus (63.56%) diikuti G. bimaculatus (60.23%) clan terendah G. testaceus (39.66%). Produksi telur kumulatif terendah dan mortalitas tertinggi pada pemeliharaan massal berturut-turut adalah G. bimaculatus (produksi 203 butidekor, mortalitas 35.04%); G. testaceus (produksi 734 butir/ekor; mortalitas 9.69%) dan G. mitratus (produksi 844 butidekor; mortalitas 9.49%).
Perbedaan pakan tidak berpengaruh pada mortalitas dan daya tetas teIur, tetapi nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi telur. Pada ketiga spesies, pemberian kombinasi pakan buatan dan sawi hijau menghasilkan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi, bobot badan akhir instar
dan produksi telur lebih tinggi dibanding kombinasi pakan buatan ditambah daun PePaYa.
ini sex rasio 1 :5 menghasilkan daya tetas tertinggi dan direkomendasikan untuk digunakan pada penelitian Tahap 111.
PENGARUH PADAT
PENEBARAN
DAN
JENIS
PAKAN
TERHADAP PRODUKTIVITAS TIGA SPESIES
JANGKRIK LOKAL
YANG DIBUDIDAYAKAN
Oleh
:Priyantini Widiyaningrum
NRP.
985046Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penulis adalah putri ke lima dari sembilan bersaudara, dilahirk4 di Bantul
Yogyakarta tanggal 19 April 1960 dari pasangan ayahanda KWidyahartana
(almarhum) dan ibunda Suradjimah (almarhumah). Penulis menikah dengan
Ir. Eka S.E. Pranata pada tahun 1986 dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu
Niken Nur Widyakusurna, Avistya Paradipta dan Ryan Adhi Nugraha.
Penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Ponjong V tahun 1973, SMP Negeri
Ponjong 1 tahun 1976 dan SMA Negeri Argomulyo tahun 1979 semuanya di
Daerah lstimewa Yogyakarta. Selanjutnya penulis rnenempuh studi di Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 197Q dan mendapatkan gelar Sarjana
pada tahun 1984. Tahun 1988 penulis mernperoleh beasiswa TMeD untuk
melanjutkan program S2 bidang studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan di Institut Pertanian Bogor dan gelar Magister Sains diraih pada
tahun 199 1. Tahun 1998 kembali penulis rnendapat kesernpatan mengambil
program Doktor pada Jurusan Ilmu Ternak Fakultas Pascasarjana IBP Bogor
dengan biaya sendiri pada tahun pertama, dan kemudian mendapatkan beasiswa
BPPS pada tahun-tahun selanjutnya.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai sebagai guru Sekolah Pertanian
Menengah Atas Argomulyo tahun 1982 hingga 1986 di Kabupaten Bantul
Yogyakarta. Sejak Tahun 1986 diangkat menjadi staf pengajar tetap diFakultas
Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan hingga
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan ucapan Bismillahirrohmannirrohiim, penulis panjatkan doa dan
puji syukur ke hadirat Illahi, karena atas kehendalaya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan menyusun disertasi sebagai salah satu syarat
menyelesaikan studi pada Fakultas Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.
Keberhasilan ini inerupakan basian yang tak dapat dipisahkan dari kerja keras.
bimbingan, bantuan dan dukungan moral maupun material dari berbagai pihak.
Untuk itu selayaknya penulis menyampaikan terima kasih kepada sernua pihak
yang telah terlibat dalam mernbimbing, membina dan membantu dengan setulus
hati Sungguh tidak mudah menyusun urutan prnyataan penghargaan dan rasa
terima kasih ini, namun dernikian tiada pilihan lain penulis akan rnemanfaatkan
kesempatan ini untuk mengungkapkan perasaan terima kasih dari lubuk hati yang
paling dalam Semoga jasa-jasa mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT,
amien.
Kepada yang terhormat Bapak Prof Dr.DTH. Sihombing, M.Sc sebagai
Ketua Komisi Pembimbing. Dengan bimbingan beliau telah membuka wawasan
penulis tentang khasanah satwa harapan sebagai salah satu sumber daya alam
yang potensial. Di tengah kesibukannya beliau tetap meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam rnenyernpurnakan karya ilmiah
hingga menjadi bentuk disertasi Atas segala arahan dan bimbingannya, penulis
Kepada Yth. Ibu Dr.Ir. Asnath Maria Fuah, MS dan Bapak Dr. Ade
Djuhara selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tanpa rasa bosan
senantiasa memberikan pengarahan dan saran-saran selarna pelaksanaan
penefitian sampai penulisan disertasi ini penulis menyampaikan rasa hormat,
penghargaan dan terima kasih. Dengan bimbingan Bapak dan Ibu berdua penulis
memperoleh tambahan pengetahuan yang sangat berharga.
Keberhasilan studi ini rasanya tidak mungkin tanpa biaya. Oleh
karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Yth.
Bapak Rektor USU dan Ibu Direktur Program Pascasarjana yang telah rnemberikan rekomendasi sehingga penulis dapat memperoleh beasiswa BPPS
DepDikBud untuk menempuh studi dengan l ~ c a r dan tepat waktu. Kepada
Direktur SEARCA dan Pimpinan Yayasan Super Semar, penuIis mengucapkan
terimakasih atas bantuan biaya penelitian yang telah diberikan, sehingga ikut
mendukung kelancaran penelitian dan penyusunan disertasi.
Pada akhirnya penulis sampaikan terirnakasih sedalam-dalarnnya kepada
suami tercinta Ir.Eka S.E Pranata yang telah memberikan dukungan moral d m
materia1, serta putra putri tersayang Niken, Dita dan Ryan. Berkat do'a,
dukungan dan kesabarannya lah penulis dapat menyelesaikan studi hingga pada
jenjang tertinggi. Atas segala pengorbanan dan kebaikan yang mereka berikan,
penulis hanya berdoa sernoga Allah swt. senantiasa melimpahkan rachmatNya
DAFTAR IS1 Bab
...
DAFTAR TABEL...
DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR LAMPIRANPENDAHULUAN
...
...
Latar Belakang...
Tujuan penelitianHipotesis
...
...
...
Manfaat Penelitian
.-
TINJAWAN PUSTAKA
...
Biologi Jangkrik ....
.
...
...
Perturnbuhan JangkrikSiklus Hidup dan Reproduksi ...
...
Makanan JangkrikPotensi Jangkrik sebagai Sumber Protein Hewani
...
MATERI DAN METODE PENELITIAN
...
Tempat clan Waktu Penelitian
...
Materi Penelitian
...
...
Metode PenelitianTahap I :
Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas
Tiga Spesies Jangkrik Lokal Fase Insbr
...
Bab
Tahap 11 :
Evaluasi Pengaruh Sex Rasio dan Jenis Pakan terhadap Produksi dan Daya Tetas Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal . . .
Tahap III :
Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Mortalitas dan Produksi Kumulatif Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
. . .
Pemeliharaan Massal
. . . Rancangan Percobaan
H.4SIL DAN PEMEAHAS.4N
Keadaan Suhu dan Kelembaban Ruang Penelitian . . .
Karakteristik Biologi Jangkrik . . .
Penelitian Tahap I . . . ..:, . . .
Pertambahan Bobot Hidup (10-50 Hari) . . .
Konsumsi Pakan . . . . . .
Konversi Pakan
Bobot Badan Umur 50 Hari . . .
Mortalitas Fase Instar . . .
Hasil Analisis Protein dan Asam Amino Jangkrik pada Fase lnstar . . .
. . .
Penelitian Tahap I1
Lama Masa Produksi . . . : . . . . . . Produksi Telur
Daya Tetas Telur . . .
. .
Penelltian Tahap 111 . . . Lama Masa Produksi . . .
Mortalitas Awal Produksi . . . Produksi Telur Kumuiatif . . . Hasil Analisis Protein dan Asam Amino Jangkrik Fase Imago . . .
Tinjauan Ekonomi dan Prospek Pengembangan Jangkrik
Halaman
3 0
Halaman
KESTMPULAN . . . . . . . . .
S A R A N
. . . DAFTAR PUSTAKA
Halaman
Konversi Pakan Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
. . .
Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda
Bobot Badan Akhir Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda . . .
Rataan Mortalitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
. . .
Padat Penebaran dan Pakan yang, Berbeda
Rataan Produksi Telur Selama 32 Hari Masa Produksi pada Sex Rasio dan Pakan yang Berbeda.. . .
Rataan Daya Tetas Telur Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
. . .
Padat Penebaran dan Pakan yang Berbeda
Mortalitas Awal Masa Produksi Tiga SpesFs Jangkrik LokaI
pada Pemeliharaan Massal.. . . : ...
Produksi Telur Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokd pada Pemeliharaan Massat.. ...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Profil Jangkrik Jantan (kiri) dan Betina (kanan) pada
Fase Instar . . .
Profil Jangkrik Dewasa . . .
Metamorfosis Jangkrik dan 0rthoprc.r-o pada Umumnya
Pertumbuhan Spesies Achern Jon7rsticrts pada
Berbagai Pakan Komersial . . .
Profil Telur Jangkrik yang Diperbesar
Profil Tiga Spesies Jangkrik Lokal Jantan dan Betina
. . .
yang Digunakan dalam Penelitian
Kotak-Kotak Penelitian Tahap 1 dan T a h y 111
Rak untuk Penelitian Tahap I1 ...
Media Peneluran . . .
Pertalnbahan Bobot Hidup Tiga Spesies Jangkrik
. . .
Pada Fase lnstar..
[image:147.517.41.471.48.581.2]Pertambahan Bobot Hidup Tiga Spesies Jangkrik pada Pakan . . . yang Berbeda..
Grafik Pertumbuhan Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada Pakan yang Berbeda . . .
Pola lnteraksi antara Spesies dan Pakan terhadap Pertambahan Bobot Hidup.. . .
Konsumsi Pakan Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada
. . . Fase Instar..
Halaman
Teks
-
Hubungan Antara Padat Penebaran Induk dengan Mortalitas Awal Produksi pada Pemeliharaan Massal ...
Pola Interaksi Spesies dan Padat Penebaran Induk terhadap ... Mortalitas pada Pemeliharaan Massal
Mortalitas yang Terjadi Selama 32 Hari Masa Produksi pada Padat penebaran yang Berbeda : (A). 50 Ekor Induk; (B). 100
...
Ekor Induk; (C). 150 Ekor IndukProduksi Telur Kumulatif Tiga Spesies Jangkrik Lokal pada ... Pemeliharaan Massal
Produksi Telur Kumulatif pada Kombinasi pakan yang ... Berbeda
\
PENDAHULUAN
L a t a r Belakang
Sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati, alam
Indonesia yang beriklim tropis memiliki aneka jenis satwa dengan segala
potensinya Satwa-satwa yang sudah lazim kita kenal di sektor peternakan
seperti sapi, kerbau, domba, kambing, unggas dan sebagainya hanyalah sebagian
kecil dari sumber daya satwa yang ada dan telah dikembangkan sebagai hewan
ternak untuk me~nenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Sementara itu
beberapa satwa liar yang keberadaannya di d a m tidak diperhitungkan, akhir-
akhir ini terlihat mulai menjadi komoditas satwa harapan yang potensial untuk
dikembangkan.
Mansjoer (1999) menyatakan bahwa mengembangkan usaha satwa non
ternak untuk tujuan komersial agar bisa berkelanjutan merupakan altematif yang
perlu dikaji, mengingat syarat- syarat yang diperlukan untuk budidaya sesuai
dengan kemampuan peternak kecil pada umumnya yaitu modal kecil, tidak
memerlukan lahan luas atau perawatan khusus dengan biaya operasional tinggi,
serta prospek yang baik dalam pemasaran produknya. Beberapa satwa harapan
yang sudah dan sedang dikembangkan dan pasti memenuhi persyaratan tersebut
menurut Sihombing (1999) diantaranya adalah satwa dari kelornpok lnsekta,
Amphibia dan Reptilia.
Jangkrik adaiah salah satu jenis satwa dari kelompok lnsekta yang
dibudidayakan sebagai sumber protein alternatif bagi ternak. Di Indonesia,
serangga dari famili G~:~.llidae ini sudah biasa diperjual belikan di pasar lokal
dalam bentuk hidup sebagai pakan satwa piaraan khususnya aneka burung
berkicau dan beberapa jenis ikan hias. Di USA dan Kanada, jangkrik spesies
Achern donresticr~s bahkan sudah dibudidayakan untuk dijual dan dimanfaatkan
sebagai hewan laboratorium atau dijual sebagai pakan satwa piaraan dan umpan
memancing ikan (Ghouri dan McFarlane. 1 9 5 8 , Patton, 1978; Parajulee el a/.,
1993). Dalam bukunya yang berjudul "l~7sect.s A s Ht~nmmr Food" , Bodenhei~ner
(1951) menegaskan bailwa jangkrik bukan hanya menjadi mangsa hewan
pemakan serangsa, tetapi dimanfaatkan juga sebagai bahan pangan oleh
sebagian masyarakat di beberapa negara Asia,, termasuk Indonesia. Jangkrik
sangat cocok untuk digunakan sebagai hewan laboratoriurn karena siklus
hidupnya pendek, mudah beradaptasi dengan ruangan terbatas, jarang terkena
penyakit dan mampu beradaptasi dengan pakan yang diberikan (Patton, 1978;
Clifford rr a/.. 1977: Parajulee el a/.. 1993).
Dari aspek nutrisi. jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani
alternatif Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa tepung jangkrik
memiliki kandungan nutrisi dan asam-asam amino cukup lengkap
(DeFoliart rr nl.. 1982: Nakagaki er a/.. 1987; Widyaningrum er a/., 2000) sehingga jangkrik berpotensi menggantikan sebagian tepung kedelai dan tepung
ikan dalam pakan ayam broiler (DeFolian er a/.. 1982; Finke el a?.. 19851). Sejalan dengan makin banyaknya penggemar satwa piaraan pemakan
(Paimin er ( I / . 1999). Namun masalah utama yang dihadapi konsumen adalah
belum adanya kontinyuiras penyediaan di pasaran karena ketersediaan satwa ini
lnasih tergantung hasil tangkapan dari alam dan musim. Menjelang pergantian
musim jangkrik mudah ditemukan, dan pada waktu-waktu tertentu jangkrik sulit
diperoleh sehingga langka di pasaran. Masalah lain adalah terganggunya
keseimbangan siklus hidup jangkrik oleh perburuan yang intensif dan kerusakan
habitat akibat perluasan petnbanzunan serta dampak penggunaan pestisida.
Kondisi demikian menvebabkan janzkrik makin sulit diperoleh dan
menyebabkan fluktuasi harga cukup t a j a n ~ . Masyarakat di beberapa daerah telah
mencoba budidaya jangkrik, tetapi urnumnya masih secara sederhana,
bergant ung pada musim dan met o d e pemet iharaan hanya berdasarkan
pengalaman sesuai kebiasaan hidup jangkrik di alam.
Berbeda dengan ulat sutera yang bersifat monofagus (hanya makan satu
macam daun), jangkrik tergolong polyfagus karena berbagai macam daun dapat
menjadi makanannya dan sumber utama air berasal dari daun-daunan yang
dimakan. Mereka mampu m e n ~ k o n s u m s i makanan lain yang berkadar air rendah
jika kebutuhan air tubuh terpenuhi. Kadar air dalam pakan merupakan faktor
penting dalam kehidupan serangga ini, sehingga kadar air yang rendah
~nenyebabkan pertumbuhan nimpha atau larva serangga terhambat (Martin dan
Van't Hof, 1988). Sebaliknya, kelebihan air dalam pakan akan memberi
dampak kui-any baik pada pertumbuhan seperti halnya pada pemeliharaan ulat
Pemeliharaan jangkrik dengan hanya metnanfaatkan pakan alami (daun-
daunan) akan membutuhkan j u ~ n l a h yang besar untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun apabila hanya disediakan pakan buatan yang banyak mengandung air
akan mengakibatkan tuntbut~nya jamur dan berpengaruh buruk terhadap
pertutnbuhan serangga. Oleh karena itu kombinasi pakan buatan dan pakan
alami diharapkan akan saling ~nelenpkapi dan menghasilkan pertumbuhan
optimal.
Dalarn rangka ~neningkatkan potensi jangkrik di rnasa rnendatang dan
menjaga kontinyuitas persediaan sepanjans tahun, perlu dikembangkan metode
budidaya dengan mengkaji aspek-aspek lingkungan yang berkaitan dengan
produktivitas satwa tersebut. Kemampuannya beradaptasi dengan jenis pakan
yang tersedia akan mempermudah penyediaan dan penyesuaian bahan pakan
yang tersedia di setiap daerah (Walker, 1987; Hasegawa dan Kubo, 1996).
Meskipun saat ini belum ada penetitian yang mengungkap kebutuhan nutrisi
jangkrik, tetapi dengan mengasumsikan komposisi protein tubuh sebagai
kebutuhan minimal protein yang hams ada dalam pakan, serta upaya
tnemberikan bahan pakan yang palarnhle, diharapkan serangga ini mampu
beradaptasi dan berkembang biak dengan baik dalam lingkungan terbatas
sepanjang tahun.
Dalatn ranyka pengembangan dan budidaya jangkrik, informasi
informasi yang berhubungan dengan teknik pemeliharaan, jenis jangkrik yang
cocok, pakan, padat penebaran, nisbah kelamin, dan produktivitas jangkrik
aspek-aspek budidaya dan produktlvltas tiga jenis jangkrik lokal meliputi
spesies (;rjlli/lr~s hrn7nclrlntrrs De Geer, Gryllzr3 ntitrafus Bum dan Grjillus
festacerrs Walk
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk rnengevaluasi pengaruh padat penebaran
dan jenis pakan terhadap produktivitas tiga spesies jangkrik lokal yang
dibudidayakan. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap percobaan sebagai
berikut :
1 . Tahap 1 (pemeliharaan anakan), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh padat penebaran dan jenis pakan sayuran terhadap pertumbuhan dan tingkat
\
mortalitas tiga spesies jangkrik lokal selama f h e instar (10 - 50 hari).
2. Tahap I1 (pemeliharaan induk), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh
perbandingan jantan betina (sex rasio) dan jenis pakan sayuran terhadap
beberapa performans reproduksi tiga spesies jangkrik lokal selama masa
produksi. Sex rasio terbaik akan digunakan dalam penelitian Tahap 111.
3 . Tahap 111 (pemeliharaan induk secara massal), bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh padat penebaran dan jenis pakan sayuran terhadap mortalitas d m
produksi telur kumulatif dari tiga spesies jangkrik lokal selama masa
Hipotesis
Hipotesis yang akan diajukan dalaln penelitian ini adalah :
1 . Faktor padat penebaran dan jenis pakan mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas tiga spesies jangkrik lokal selama fase instar.
2 . Perbandingan jantan betina (sex rasio) dan jenis pakan mempengaruhi produksi dan daya tetas telur tiga spesies jangkrik lokal.
3 . Faktor padat penebaran dan jenis pakan mempengaruhi mortalitas dan produksi telu~- kumulatif tiga spesies jangkrik lokal yang dipelihara
secara massal.
Mailfaat Penelitiali
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menpmbang' dua manfaat :
1 . Manfaat keilmuan, yakni menambah informasi ilmiah mengenai
karakteristik biologi, produksi dan reproduksi tiga spesies jangkrik lokal
yang dibudidayakan
2. Manfaat terapan, yakni sebagai acuan dasar bagi peminat di bidang usaha
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi JunghSlr
Berdasarh
klasifikasinya, Ross
et al.
(1982) menggolongkan
jenis
jangldc
kedalam
Fiilum
Arthropods,
Klas
Insekta,
ordo
Orthoptem,
famili
G r y 1 I ~ .
Walker
(1987) mengatdm
bahwa di
selumh
drmia
terdapat
sekitar
3
000
spesies jauglaik y a q telah teri-i,
lauang
lebih
130
jenis
terdapat
di
Am&
Utara
dan
s e w a n
besar
lainnya
hidup
di
daerah beriklim
tropis
temasuk
Indonesia.
Hill
(1983) menyebutkan
bahwa
anggota
genus
Giyllus
sp.
seperti
Gryllus bimaculam De
Geer
hidup
tersebar
di
Af&a,
Ropa
bagian
selatan
dan beberapa
negara
Asia, sedang
GrylIus testaceus
Walk
menyebar
di
China
Selatan dan
AsiaTenggara.
Di Indonesia terdapat sekitar
Gambar 1. R06l
Jangkrik Jantan
(kin)
dan
Betina
&man)
123 spesies
jangknk
yang
telah
teridentifikasi, diantrlranya
adalab
Gryllus
testaceus
Walk
(jaaglaik
gawang), Gryllus
mitratus
Burn
(jangkrik bering) daa
Gryllus
bzmaculatus De
Geer
(janglaik kalung
atau
jliteng) yang
biasa
dijumpai
>di
pasar lokal sebagai
pakan
satwa piaraan (Paimin et al., 1999; Sukamo, 1999).
Sebagaimana terlihat pada
Gambar
1
dan
Gambar
2,
jangkrik
rnemiliki
ciri-cm
morfologis sebagai
berikut :
ukuran tubuh
berkisar antara
4
-
30
mm
tergantung spesies; tub& agak
pipih,
terbagi
menjadi
tiga
b
e
yakni bagian
kepala, thorax
dan
abdomen;
pada
bagian
kepala
Wdapat
sepasang antena sama
panjang, kadaag-kadang
bahkan
lebih panjaag
dari
tubuhnya; pada bagian
thorax terdapat tiga pasang kaki clan
dm
pasang sayap; sepasaug
kaki
belakangnya berukuran lebih besar
dan
kuat
sehingga
rnenmgkhkan
untuk
melompat
jarak
jauh; mempunyai sepasang
cerci
yang menjulur pada b
e
Seperti halnya serangga lain, abdomen jangkrik terdiri dari 11 ruas. Alat
Icelamin luar jangkrik dewasa biasanya terletak pada mas abdomen ke-8 atau ke-
9. Jangkrik betina dewasa memiliki ovipositor memanjang berbentuk silindris
tian meruncing seperti jarum, yang digunakan sebagai saluran untuk
rnengeluarkan te1ur-telurnya (Ross et al., 1982). Jangkrik jantan dewasa ~nemiliki organ striduIasi di bagian depan sayap luar, berfingsi untuk
rnengeluarkan bunyi nyanyian. Baik jantan maupun betina memiliki sepasang
organ pendengar (tympanum) yang terletak dekat pangkal tibia tungkai depan
( Davies, 1988; Pallister, 1990).
Pertumbuhan Jangkrik
Pada serangga yang mengalami metarnorfosis dikenal adanya fenomena
pertumbuhan yang berbeda dengan hewan tingkat tinggi, yakni moulting atau er-dysis. Istilah moulting atau ecdysis adalah suatu kondisi yang berkaitan dcngan proses pergantian kulit pada serangga. Moulting lebih ditujukan kepada proses pertumbuhan untuk mencapai stadium nimpha berikutnya, sedangkan
ecdysis terkait dengan proses akhir pelepasan kulikula (Wigglesworth, 1974). Jangkrik tergolong serangga yang dalam kehidupannya mengalami
mdamorfosis tidak sempurna karena tidak melalui tahapan lan~a dan pupa seperti pada serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Kehidupan
(Sastrodlhardlo, 1984, Hasegawa dan Kubo, 1996) Peters (1988)
menggamba~ kan s ~ k l u s ~ n e t a m o r f o s ~ s Orthoptercr termasuk d ~ a n t a ~ anya jangkr~k
sepertl pada Gambar 3
Garnbar 3 . Metamorfosis Jangkrik dan Orthaptern pada Umumnya (Peters, 1 988)
Kulit inerupakan penlbatas pertumbuhan jangkrik sehingga selama masa
perkembangan nimpha, jangkrik mengalami beberapa kali pergantian kulit
( r n o ~ t l t i ~ ~ g ) . Nimpha jangkrik yang sudah berganti kulit tiga atau empat kali
mulai terlihat adanya dust pasang sayap kecil, dan pada tingkatan ini jantan dan
betina sudah dapat dibedakan ditandai dengan tumbuhnya ovipositor pada
jangkrik betina (Oda dan Kubo. 1997).
Frekuensi pergantian kulit pada jangkrik berbeda-beda, tergantung
spesies dan kondisi lingkungan. Paimin el a?. (1999) menemukan bahwa
jangkrik spesies G~;l./lrt.s mitratrrs dan Gryllzrs tes.slacerr.s mengalami paling
dan Haniffa (1996) melaporkan bahwa spesies Glyliodes sigilatus melewati 8 kali stadium instar untuk mencapai dewasa pada umur 70 hari sementara
menurut Ghouri dan Mc.Farlane (1958) dan Patton (1978), spesies Achefa domesficus mengalami pergantian kulit tujuh sampai sepuluh kali tergantung suhu lingkungan.
Kecepatan pertumbuhan serangga sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya jenis kelamin, temperatur, kelembaban, serta ketersediaan
dan kualitas pakan (Chapman, 1975; Woodring et al., 1979). Menurut M-cFarlane (2962) spesies Acheta domesficus lebih cepat turnbuh pada pemeliharaan secara kelompok dibanding pemeliharaan individual. Di
Indonesia, jangkrik umumnya hidup baik di dqerah yang bersuhu antara 20°C-
32OC dengan kelembaban sekitar 65%-80% (Sukarno, 1999). Hasil penelitian
Patton (1978) terhadap pertumbuhan jangkrik Acheta domesticus yang dipelihara dengan menggunakan kontainer selama 7 minggu pada temperatur
ruangan 320+1°C dan kelembaban 70%-75%, dan diberi pakan komersial
berkadar protein antara 17%-30%, memperlihatkan kurva pertumbuhan seperti
pada Gambar 4.
Penelitian-penelitian yang mengamati kapasitas ruang yang diperlukan
oleh seekor jangkrik untuk mendapatkan pertumbuhan optimal belum banyak
dilakukan. Namun rnenurut Clifford e f a l . (1977) tingkat kepadatan yang berlebihan sebaiknya dihindari karena selain akan meningkatkan persaingan
sehingga merangsang t i ~ n b u l ~ l y a sifat kanibalisme, meningkatkan mortalitas dan
dapar mempengamhi interval fase-rase instar
W E E K S
Garnbar 4 Pertuinbuhan Spesies Achercl donresncrrs pada Berbagai Pakan Komersial (Patron, 1978)
Dalam penelitiannya, Patton (1978) inencoba mengevaluasi pengaruh
kepadatan terhadap pertumbuhan jangkrik Achetcl ~ion?e.sric~rs. menggunakan
kontainer- plasrik sebagai telnpar pemeliharaan dan luas r-uanp s e b e s a ~ 500 cm'.
Pada kepadatan 186 ekorkontainer, tingkat mortalitas pada minggu pertama
pemeliharaan 8.2% dan ukuran panjang dewasa yang dicapai adalah 17.6 mm;
pada kepadatan 464 ekor/kontainer tingkat lnortalitas 21.1%, ukuran panjang
dewasa I S mm; pada kepadatan yang lebih tinggi yakni 751 ekor, mortalitas
bahwa tingkat kepadatan tidak mempengaruhi perkembangan tubuh pada akhir
instar, tetapi berpengaruh terhadap tingkat mortalitas dan daya hidup. Dalam
penelitian ini, pertumbuhan Acheta donzesticus terbaik adalah pada kontainer dengan kapasitas ruang sebesar 2.5 cm2/ekor.
Siklus Hidup d a n Reproduksi
Jangkrik berkembang biak dengan bertelur. Dalam waktu 7-10 hari
setelah perkawinan, jangkrik betina mulai bertelur. Induk jangkrik akan mencari
tempat yang lembab dan gembur untuk meletakkan telurnya secara bertahap
sampai beberapa kali. Umumnya jangkrik betina meletakkan telur di tempat
gembur sedalam 5-15 mm rnenggunakan ujung ovipositornya
(Kalshoven, 1981; Kumala, 1999). Jangkrik lebih menyukai tanah atau pasir
yang lembab untuk meletakkan telurnya. Dalam penelitiannya yang menggunakan empat macam media peneluran untuk jangkrik Achefa dolnestinrs
yaitu media pasir lembab, pasir kering, media kaus basah dan tanpa media,
media pasir lembab sangat efektif merangsang peneluran, sehingga
menghasilkan jumlah telur yang lebih tinggi westephano et al., 1982).
Di alam, umumnya jangkrik betina mampu melakukan perkawinan hingga beberapa kali (multiple mating) dengan jantan yang berbeda-beda di dalam kelompok spesiesnya, sehingga dalam populasi dengan cukup pejantan,
jangkrik betina memiliki kesempatan untuk meningkatkan fertilitas telur-
muda,
cerah clan segar,
makin
lama warnanya berubah menjadi kuning
tua
dengan garis-garis
halus
bwvarna abu-abu
(Paimin er a/.,
1999).
Gambar
5
memperlihatkan prof3 telur jangknk yang diperbesar.
. ...
Gambar
5.
Prof3 ~ e l u r
an-
yan$perbesar
(Oda dan Kubo;
1997)
::
Produksi telur pada tiap spesies
sangat
b
e
.
Hill
(1983)
menyebutkan bahwa pada genus
Achera
atau
Gtyflus
sp. umumnya mampu
bertelur hingga
2 000
butir, yang
akan
men&
10-12
hari
setelah ditelulkau
apabila temperam
lingkungannya
sesuai. Perkembangan nimpha jangknk
memakan waktu
antara
4 0 4 0
hari
sebelurn
memasuki
fase imago, kemudian
berlanjut hidup 2 sampai
3
bulan.
S m g g a
ini
mampu menghasilkan empat
generasi per tahun. Patton
(1978)
melaporkan bahwa jangkdc
Acheta
domestrcus
betina dewasa menghasilkan antara
1200
-1500
butir, mulai
bertelur 4-5
hari setelah pergantian kulit
kaakhir
dm meletakkan telumya
m a
bertahap dan berlanjut hingga
tip
minggu.
Lain
halnya den-
spesies Gryllus
mltrahcs
Bum
yang mampu menghasilkan paling sedikit
153
berlanjut hidup 2 sampai 3 bulan. Serangga ini mampu menghasilkan empat
generasi per tahun. Patton (1978) melaporkan bahwa jangkrik .-lchein don7esricrrs betina dewasa menghasilkan antara 1200 - 1500 butir, mulai bertelur
4-5 hari setelah pergantian kulit terakhir dan meietakkan telurnya secara
bertahap dan bertanjut hingga tiga minggu. Lain halnya dengan spesies GryIJz4s mitr.nir~.s Burn yang mampu menghasilkan paling sedikit 153 butir telur. dapat mencapai umur sekitar empat bulan dengan ukuran tubuh dewasa antara 3 - 4 cm
(Kalshoven, 198 1). Spesies Gry//~r.s hinracrr/niiis dapat mencapai umur sekitar tiga bulan, mulai benelur seminggu setelah perkawinan dan telur akan nienetas
12 hari setelah ditelurkan (Lzumiyama er at., 1983; Tomioka ri a / . , 1991). Sukarno ( 1999) mengatakan bahwa beberapa hqri setelah masa bertelur berakhir,
jangkrik betina akan mati. Perbedaan siklus hidup dan karakteristik reproduksi
spesies Gr.y/lris teslaceirs dan GryIi14s nritratzrs dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel I Perbedaan Siklus Hidup dan Karakteristik Reproduksi
GiyNfrs resracerrs dan Gryllrrs n~rrratz4.s yangdbudidayakan
7
Stadium G. testacerrs G. n~itrarrlsNimpha 1 7 hari 7 hari
Nimpha I1 10 hari S hari
Nimpha 111 2 0 hari 10 hari
Nimpha IV 18 hari 17 hari
Nimpha V 14 hari 15 hari
Total uinur nimpha 69 hari 57 hari Mulai benelur 7 - 10 hari 8 - 13 hari Frekuensi bertelur 16 kali 25 kali Produksi teludmasa produksi 500 butir 1 200 butir Panjang ovipositor betina 23 - 25 mm 14 - 17 mm Panjang tubuh jantan dewasa 3 2 - 3 7 m m
-
7 5 - - 30 mm Panjang tubuh betina d e w a s a 5 0 - 53 mm 3 5 - 40 nim [image:163.517.41.442.26.562.2]Makana11 Ja11gkt-ik
Hampir 50% dari jenis serangga adalah pemakan tanaman atau fitofagus,
dan daun merupakan bagian tanaman yang paling banyak dimakan. Selebihnya
adalah kelompok pemakan serangga lain, atau sisa-sisa tanaman dan hewan.
Serangga memiliki hubungan khas dengan tanaman sehingga dengan alat
irderanya tnampu menemukan tanaman inang yang disukai (Sastrodihardjo,
1'384). Jangkril; termasuk serangga fitofagus seperti halnya anggota Orfhoprem lain (Chapman, 1975). tetapi pada lingkungan dan situasi terbatas ia mampu
n-emakan apa saja yang ditemulan, misalnya buah-buahan, sayuran, berbagai
rracanl daun, bangkai serangya, padi, potongan kain w o l dan lain-lain
(Walker, 1987: Hasegawa dan Kubo, 19963. Ueckert dan Hansen (1970)
mengungkapkan bahwa preferensi jangkrik terhadap pakan sangat dipengaruhi
oIeh musim dan ketersediaan pakan. Hasil penelitiannya terhadap jangkrik
mormon A ~ r a h n ~ s sit77plex Hadelman menunjukkan bahwa urutan pakan yang
dipilih sebagian besat- berasal dari kelompok tanaman perdu (50°A), diikuti berbagai bangkai serangga lain (2 1 O h ) , beberapa jenis h n g i ( 16%), dan
selebihnya berasal dari rumput-ruinputan dan lumut.
Ada dua ha1 yang menjadi dasar preferensi pakan pada serangga
fitofagus, yaitu faktor non nutrisi dan faktor nutrisi (Chapman, 1975). Zat-zat
n u t r ~ s i tertentu yang terkandung dalam tanalnan seperti protein, gula, fosfolipid,
garam-garam anorganik. mineral, vitamin dan lain-lain b e f i n g s i sebagai
perangsang makan yang penting bag] serangga untuk pertumbuhan, tetapi
membatasi kernarnpuan serangga untuk mendapatkan kebutuhan pakan,
meskipun tinggi kandungan nutrisinya. Demikian juga kadar air maupun zat-zat
kimia tertentu dalam tanaman mempengamhi preferensi pakan
(Hedin rr a/., 1977).
Berbeda dengan ulat sutera yang hanya makan satu jenis daun
(monofagus), jangkrih: menyukai berbagai macam sayuran dan dedaunan
(polyfagus) yang banyak mengandung air. Satwa ini tidak mengkonsumsi air
minurn seperti kebanyakan hewan. tetapi mengambil air minum dari
makanannya. Beberapa jenis sayuran yang biasa digunakan sebagai pakan pada
pemeliharaan jangkrik diantaranya adalah sawi, kol. buncis, daun singkong,
wortel, gambas, kangkung, bayam dan jagung rnuda (Paimin, 1999). Pada skala
lat~oratorium, jangkrik mampu beradaptasi dengan pakan buatan yang
disediakan dalam bentuk tepung dengan tambahan air minurn
(F,arlane e1 a/., 1959; Clifford el a / . , 1977; Patton, 1978; Nakagaki dan
DeFoliart, 1991 ; Parajulee et at., 1993).
Paul e1 a / . (1992) yang meneliti pengamh kelembaban daun rnurbei
terhadap indeks nutrien dan pertumbuhan ulat sutera (Bon?byX mur;) mengungkapkan bahwa konsumsi pakan meningkat sejalan dengan
meningkatnya kelembaban daun. Jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi d a r ~ efisiensi konversi pakan meningkat secara nyata dengan meningkatnya
kaclar air daun. Bobot akhir larva juga meningkat secara nyata dengan
Potensi J a ~ i g k r i k S e b a g a i S u m b e r Proteirl Hewani
DeFoliart at a/. (1982) melaporkan bahwa jangkrik spesies Armhr.l~.s
sin7pIex dewasa dengan berat kering rata-rata 1.08 gram mengandung protein
kasar sekitar 58%. Apabila dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan asam
amino ayam broiler dan ayarn petelur, ternyata hanya beberapa jenis asam amino
yang menjadikannya sebagai faktor pembatas. Dalam percobaannya dengan
menggunakan tikus putih, Finke e i a/. (1987) inenyimpulkan bahwa tepung
jangkrik A1rc11~r1r.s .sin7ples cukup baik digunakan sebagai sumber protein bagi
pertumbuhan tikus, tetapi rendahnya kandungan metionin menjadikannya
sebagai faktor pembatas. Hasil penelitian DeFoliart et a/. (1982) menunjukkan
bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler sebagai
pengganti tepung kedelai dengan menambahkan asarn amino, ternyata
memberikan pertumbuhan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
penggunaan ransum yang sama tanpa suplementasi asam amino.
Hasil penelitian Finke rl nl. (1985) yang menggunakan tepung jangkrik
A ~ m h r r i . ~ .sin7plru sebayai pengganti tepung kedelai dalam ransum ayam broiler,
menunjukkan bahwa penggunaan tepung jangkrik ditambah 550h metionin dan
- -
33% arginin nyata lne~nperbaiki bobot badan akhir dan konversi ransum. Dari
llasil uji rasa terhadap daging ayam broiler oleh panelis, mernbuktikarr bahwa
penggunaan tepung jangkrik tidak memberikan efek yang berbeda dari daging
ayam broiler.
Tabel 2 dan Tabel 3 nlasing-masing ~nemperlihatkan hasil analisis
[image:166.505.41.438.25.607.2]19
.4nabnrs simplex serta kebutuhan asam amino ayam broiler dan petelur (DeFoliart ef a!., 1982). Hasil analisis komposisi asam amino jangkrik Acheta domesticus oleh Nakagaki et al. (1987) terlihat pada Tabel 4.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Spesies Anabrus simplex (Jangkrik Mormon)
Jangkrik dewasa Komponen
Jantan Betina
Air (%) 6.2 6.3
Protein kasar (%) 60.3 56.0
Lemak (%) 12.9 19.9
Serat kasar (%) 6.9 5.4
Abu (%) 9.8 8.2
Instar VII (jantan dan betina)
Sumber : DeFoliari et al., 1982
Tabel 3. Komposisi Asam-Asam Amino Essensial Jangkrik Anabms simplex dan Kebutuhan Asam Amino Ayam Broiler dan Petelur (mg/g Protein)
Asam amino Komposisi dalam Kebutuhan ayam
tubuh jangkrik Broiler Petelur
Glisin-serin 110 6 5 3 3
Fenilalanin-tirosin 90 5 8 5 3
Leusin 8 6 5 9 80
Lisin 62 52 40
Valin 6 0 3 6 3 3
Isoleusin 5 3 3 5 33
Treonin 48 3 2 2 7
Arginin 45 63 5 3
Histidin 33 15 15
Fenilalanin 2 8 3 1 2 7
Metionin-sistein 14 40 3 3
Metionin 13 22 18
Triptopan 5 10 7
[image:167.505.38.446.51.604.2]Meliliat potensi janykrik sebayai sutnber protein ternak yang cukup
besar. Parajulee e i crl. (1993) mencoba meranc,ang suatu model budidaya
jangkrik Achefa Jonle.sficrls dengan kapasitas produksi biomassa tertentu serta
dapat dipanen setiap hari. Dengan jurnlah pembiakan awal sebanyak 5 0 pasang
jangkrik dewasa menygunakan 3 2 unit kotak pemeliharaan, diharapkan dapat
dipanen sebanyak 4 000 sampai 6 0 0 0 ekor anakan per hari dalam waktu 32 hari
dengall assumsi b a l ~ w a setiap hari h a m s ada penggantian induk baru sebanyak
4-6 pasang k e dalain penibiakan awal. Dengan sistem ini kapasitas produksi
dapat diperbesar sesuai keinginan. Nakagaki dan DeFoliart (1991) melaporkan
bahwa jangkrik sanyat efisieil dalam mengkonsuinsi pakan. Konversi pakan
jangkrik Acheia dome.siicrrs yang dipelihara selama 21 hari dengan pernberian
pakan Iconsentrat untuk ayaln broiler berkadar protein 22.3%, mencapai angka
0.949, sedangkail penggunaan pakan komersial untuk jangkrik (Selp's cricket
feed) berkadar protein 17% adalah sebesar I 0 8 1 . .4pabila dibandingkan denyan
rernak konvensional
.
janykrik mempunyai keunggulan komparatif mengingatTabel 4. Hasil Analisis Kimia Jangkrik Spesies Achetn donzesticirs
Komponen Hasil Anrlisis
Air (%) 5.2
Protein kasar (%) 62.0
Lemak kasar (Oh) 7.5
Serat kasar (%) 4.6
Abu (%) 7.0
Makro : Ca (%) 0.19
K (%) 1 28
Mg (%) 0 I 1
Na ( m d d 9210
P ("A) 0 99
S (%) 0.59
Mikro : A1 ( m d g ) 3 4
Co ( m d g ) 24
Fe ( m d g ) 154
Mn ( m d g ) 64
z n ( m d g ) 254
Asam Amino b%@g/g Protein
Asam glutamat 117
Alanin 95
Asam aspartat 8 8
Leusin 7 3
Prolin 62
Arginin 60
Valin 60
Glisin 59
Lisin 5 6
Serin 49
Isoleusin 42
Tirosin 4 1
Treonin 3 5
Histidin 26
Fenilalanin 22
Metionin 15
[image:169.541.41.451.52.596.2]MATERI DAN METODE PENELITIAN
T e m p a t d a n Waktu Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap percobaan, ketiganya dilaksanakan di
Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan IPB,
Bogor. ldentifikasi jangkrik dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan
Zoologi-LIP1 Cibinong, analisis proksirnat bahan pakan dilakukan di
Laboratoriunl Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, analisis proksimat dan asam-asam
amino jangkrik di Laboratorium Biokimia dan Enzimatik Balitbio, Cimanggu
Bogor.
Penelitian dimulai sejak bulan Februari hingga Desember 2000. Untuk
penimbangan materi penelitian digunakan tirnbangan digital OHAUS SE. 2020
dengan kapasitas maximum 200 gram. Pengukuran tingkat kebasahan dan pH
media diyunakan Soil icsrrr. sedang untuk mengamati suhu dan kelernbaban ruang percobaan diyunakan T l ? e r r ~ ~ o - h j ~ ~ o n ~ e r e ~ .
Materi Penelitian
I . Hewan. Dalam rangkaian penelitian ini digunakan telur jangkrik lokal dari
2. Pakan. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi pakan buatan dan pakan
sayuran. Oleh karena kebutuhan nutrisi jangkrik belum diketahui, maka formula pakan buatan yang disediakan ditentukan berdasarkan asumsi bahwa
kebutuhan protein jangkrik sekurang-kurangnya sarna dengan persentase
protein tubuh jangkrik. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui
jangkrik dewasa jangkrik Iokal Gryllus mitratus Burn hasil tangkapan di alam
berkadar air rata-rata sebesar 66.57%, dan hasil analisis proksimat dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Jangkrik GrylIus mitratus Burn Dewasa Hasil Tangkapan di Alam*
Komponen Hasil Analisis (Oh)
Bahan kering 89.69
Protein kasar 68.21
Serat kasar 11.42
Lemak kasar 4.72
BETN 0.22
Abu 5.11
Ca 0.3 1
P 0.9
NaCl 0.74
Energi brutto (Kallgram) 5349
*)
Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB Bogor, 1999Pakan sayuran terdiri dari sawi hijau (Brassica juncea) dan daun pepaya
(Carica papaya) yang diberikan dalam keadaan segar, sedangkan formula pakan
buatan terdiri dari bahan seperti tercantum pada Tabel 6. Hasil analisis proksimat
[image:171.505.40.441.14.600.2]Tabel 6. Formula Pakan Buatan
Bahan Komposisi (%) PK (%)*
1. Jagung kuning 2. Dedak halus 3. Bungkil kedelai 4. Tepungikan
Total 100.00 22.00
*)
Hartadi et al., 1980.Tabel 7. Hasil Analisis Proksimat Pakan yang Digunakan dalam Penelitian*)
Komposisi Pakan buatan Sawi hijau
Bahan kering (%)
Protein (%)
Lernak (%)
Serat kasar (%)
Abu (Oh) Ca (%>
P (O/o) BETN (%)
Gross energi (kkal/kg)
D. pepaya 87.37 16.77 8.55 16.28 12.40 4.57 0.38 33.37 4102
*)
Hasil Analisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan TemakFapet IPS, 2000
Pemilihan sawi hijau dan daun pepaya sebagai pakan perlakuan didasarkan
pada hasil uji palatabilitas yang telah dilakukan (Lampiran 1) yang memperlihatkan bahwa dua jenis sayuran ini mendapat respon lebih baik dan
disukai dibanding tiga jenis sayuxan lain yang dicobakan. Tabel 8
lnemperlihatkan komposisi zat lnakanan dalain lirna macaln sayuran yang
Tabel 8 . Komposisi Zat Makanan pada Lima Jenis Sayuran yang Diuji
Komposisi Bahan makanan
(Berat segar)
Sawi hijau Kangkung Bayam D. singkong D.pepaya Air (%)
Protein (%)
Lemak ( O h )
Karbohidrat (%)
Mineral (%)
Ca ( P P ~ )
P Wpm)
As Ascorbat (ppm) G.E (Ka1/100 g)
Sumber : ~ i o L l 9 9 9 )
Oleh karena pemberian pakan sayuran pada penelitian ini dalam kondisi segar,
dilakukan analisis kadar air pakan untuk mengukur konsumsi pakan dalarn bobot
kering. Kadar air pakan ditentukan dengan cara mengambil sedikit contoh,
ditimbang, dioven dengan suhu 105O C selama 24 jam. Rataan hstsil analisis kadar
air tercantum pada Tabel 9
Tabel 9. Hasil Analisis Kadar Air Bahan Pakan Percobaan
Percobaan Pakan buatan" Sawi hijaub D. pepayab
Tahap 1 15.18 9 1 0 5 79.62
Tahap 11 16.32 90.86 80.54
Tal~ap 111 16.01 90.34 80.36
Keterangan : a) Rataan dari tiga ulangan
[image:173.509.39.436.36.609.2]Metode Penelitian
T a h a p I : Evaluasi Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis Pakan terhadap Pertumbuhan d a n Mortalitas Tiga Spesies Jangkrik Lokal Fase Instar
Untuk persiapan materi penelitian Tahap I, ditetaskan sebanyak 50 g telur
jangkrik (setara dengan 6 2 500 - 80 000 butir telur) untuk setiap spesies., dengan
rataan berat telur antara 0.3 g-0.4 g per 500 butir. Tempat penetasan digunakan
kotak yang terbuat dari plastik berukuran 20 x 15 x 2 cm berisi pasir halus dengan
tingkat kebasahan 90%, dan media tersebut ditempatkan pada wadah plastik lain
yang berukuran 60 x 40 x 20 cm dilengkapi dengan penutup kawat kasa. Anakan
jangkrik yang digunakan untuk percobaan diusahakan seragam dengan variasi
perbedaan umur satu sampai dua hari. Percobaan dimulai setelah anakan berumur
10 hari. Jumlah anakan yang digunakan sebanyak 13 500 ekor setiap spesies.
Perlakuan yang dicobakan terdiri dari tiga faktor yaitu :
(1). T ~ g a spesies jangkrik lokal (Gambar 6 ) .
Grylltts b ~ m r r c ~ ~ l n t ~ t s (GB)
G1y~l1r1.s n?i?rattts (GM)
C;~~~llrrs fesmcrlts (GT)
( 2 ) . Tiga taraf padar penebaran untuk fase pertumbuhan
KA, = 500 ekorlkotak
KA2 = 750 ekorlkotak
KA3 = 1000 ekorlkotak
(3). Dua
mawn
kombinasi pakan sayuran
yakni
:
PB
+
S
=kombinasi pakan buatan
+
sawi
hijau
-
PB
+
P
=kombinasi pakan buatan
+
daun
pepaya
Setiap kombinasi perlakuan mendapat
tiga
ulangan sehingga total satuan
percobaan
berjumlah
54 unit.
Gambar 6. Profil Tiga Spesies Jaogkrik
Lokal
Jantan
dan Betina
yang Digunakan
dalam
Penelitian
Keterangan
:
(A)
GryIIm festaceus
Walk
(B)
GrylIus bimaculam
De Geer
( C )
Gtyllus mihatus
Bum
Kotak pemeliharaan terbuat
dari
tripleks
berukuran
60
x
45 x
30
cm,
berkaki
dan berpenutup
kawat kasa sebanyak 54
buah
(Gambar
7).
Di sekeliling
dinding bagian
dalarn
kotak tepi atas dilapisi dengan
selorip
selebar 10
cm
untuk
[image:175.544.44.479.40.775.2]diberi cawan berisi air untuk mencegah sernut masuk kedalam kotak. Di dalam
setiap kotak disediakan tempat persembunyian (bempa gulungan-gulungan kertas
dan daun bambu kering). Tempat pakan buatan dan pakan sayuran terpisah untuk
memudahkan penimbangan sisa pakan. Selain pakan, pada setiap kotak
disediakan busa yang dibuat selalu jenuh air untuk menjaga kelembaban ruangan
[image:176.515.38.422.22.594.2]sekaligus agar jangkrik tidak kekurangan air.
Gambar 7. Kotak-Kotak Penelitian Tahap I dan Tahap I11
Pakan diberikan ud libitum. Pakan sayuran diganti setiap pagi hari dengan
selalu menimbang sisa pakan yang ditinggalkan untuk mengetahui konsumsi
harian. Evaluasi bobot badan clan jumlah jangkrik yang hidup dilakukan setiap
sepuluh hari sekali. Lama waktu percobaan 40 hari. Konsumsi pakan dihitung
Variabel yang Diamati
1. Pertambahan bobot hidup. Diperoleh dari selisih antara rataan bobot hidup
saat penirnbangan dengan rataan bobot awal 10 hari sebelumnya. Pengukuran bobot hidup dilakukan dengan penimbangan sampel, yaitu sebanyak 20% dari
jumlah awal jangkrik per satuan percobaan setiap 10 hari. Jumlah jangkrik
yang hidup pada saat penimbangan dibagi jumlah jangkrik sampel, dikalikan
total bobot sampel akan diperoleh total bobot hidup saat penimbangan. Rataan bobot hidup per ekor setiap 10 hari dapat dihitung dengan membagi
angka tersebut dengan rataan jumlah jangkr