• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERTUMBUHAN SAPI FRIES HOLLAND

DARI LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN

LIA BUDIMULYATI SALMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

(3)

RINGKASAN

LIA BUDIMULYATI SALMAN Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, RONNY RACHMAN NOOR, ASEP SAEFUDDIN dan CHALID TALIB

Permasalahan rendahnya produksi susu nasional menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan konsumen disebabkan antara lain oleh terbatasnya jumlah populasi sapi perah. Ketersediaan ternak pengganti atau replacement stock masih sangat kurang untuk meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Tidak tersedianya ternak pengganti disebabkan banyak peternak yang tidak mau memelihara pedet sampai menjadi dara siap kawin, karena dianggap kurang menguntungkan. Analisis pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan kurva pertambahan bobot badan dalam rentang umur tertentu. Berdasarkan teori dasar, pertumbuhan dibagi dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase dengan laju pertumbuhan (slope) bersifat positif dan pada kondisi slope bersifat negatif. Titik peralihan dari dua sifat yang berbeda ini akan didapatkan pada titik belok suatu lereng kurva pertumbuhan. Penentuan titik peralihan tersebut memerlukan model yang tepat, karena model konvensional yang hanya menggunakan perhitungan dengan regresi linier tidak mampu menjelaskan fenomena yang ada. Melalui pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan kapan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup yang tepat untuk melakukan perkawinan pertama pada sapi dara. Ini dikarenakan umur pubertas dan kawin pertama sapi dara akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan bobot badan yang dicapai selama masa prepubertas.

Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu 1) menentukan perbandingan akurasi Model Logistic, Gompertz dan Von Bertalanffy dalam menduga pertumbuhan anak lahir sampai siap kawin sapi Fries Holland (FH) dan 2) membuat simulasi pertumbuhan sapi Fries Holland dari lahir sampai siap kawin berdasarkan model pertumbuhan yang diperoleh pada tahap satu. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penimbangan bobot badan dari sapi perah FH betina sejumlah 1221 ekor yang dikoleksi oleh PT Taurus Dairy Farm Sukabumi dari tahun 2001 sampai 2011. Sapi dara yang mempunyai data lengkap dari lahir sampai kawin pertama sejumlah 373 ekor. Pengukuran bobot badan dilakukan selang satu bulan hingga ternak siap untuk dikawinkan pertama kali (15 – 30 bulan). Data yang dianalisis hanyalah data ternak betina. Sedangkan untuk data BBPTU Baturraden 214 ekor data kelahiran sampai ternak siap untuk dikawinkan pertama kali dari 2010 sampai 2011. Data dianalisis dengan menggunakan Paket program SAS 9.2 yang menyediakan program khusus untuk mencari parameter dalam model non linier yaitu dengan menggunakan prosedur NLIN (Non Linear).

(4)

dapat direkomendasikan untuk memprediksi kecepatan atau laju pertumbuhan saat pubertas karena memiliki bobot badan dan standard error yang lebih rendah dari yang ditampilkan oleh model Bertalanffy. Model Gompertz merupakan model yang paling mudah dalam proses penghitungan. sedangkan model Logistic merupakan model yang lebih sulit dalam proses penghitungan. Model kurva pertumbuhan sapi perah FH yang sesuai dengan situasi dan kondisiskala industri peternakan sapi perah di Indonesia setelah divalidasi dengan keadaan lapangan adalah model matematik Logistic. Simulasi pertumbuhan sapi perah FH dari lahir siap kawin disusun dengan memakai model matematika Logistic, hasil simulasi ini dapat diterapkan untuk usaha peternakan ataupun usaha pembibitan. Faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan sapi perah dari lahir sampai dengan siap kawin yang diimplementasikan dalam bentuk simulasi adalah cara pemberian pakan dan lingkungan dimana sapi tersebut dipelihara

(5)

SUMMARY

LIA BUDIMULYATI SALMAN. Model on Growth of New Born Calve until First Mating Holstein Dairy Cattle. Supervised by CECE SUMANTRI, RONNY RACHMAN NOOR, ASEP SAEFUDDIN and CHALID TALIB

The low national milk production is a major constraint in meeting the consumers demand caused partly by the limited number of dairy cattle population. Availability of heifer or replacement stock is still lacking to improve dairy cattle population in Indonesia. Unavailability of replacement cow is due to farmer do not want to maintain heifers until puberty, because of less profit. Analysis of the growth curve is often associated with body weight gain in a particular age range. Based on the basic theory, the growth is divided into two distinct phases. The phase is positive, namely phase with growth rate (slope) and the second is negative slope. The transition point from these two different stages will be obtained at the inflection point of a growth curve slope. Determination of the transition point requires the appropriate model, because the conventional models using only the linear regression are not able to explain the phenomena. Through better understanding of the growth process and its characteristics, it is possible to estimate the best time that puberty is reached, so that the time and appropriate body weight for the first mating of heifers can be determined more accurately. This is because the age of puberty and first mating of heifers will be greatly influenced by the growth and body weight achieved during pre-puberty.

This study is divided into two stages: 1) to compare the accuracy of the models between Logistic, Gompertz and von Bertalanffy in estimating growth of new born Holstein calf until first mating and 2) to simulate the growth of Holstein calf from birth to first mating based on the growth model obtained in stage one. The body weight data of Holstein cows used in this study was come from collected data of 1221 heads of heifers weighted by Taurus Dairy Farm in period from 2001 to 2011. There are 373 heifers that have an individually complete data from the new born to first mating and they are also perform as a representative of the commercial dairy farm. The Baturraden Breeding Centre of Dairy Cattle have recorded an individually complete data as many as 214 from the new born calves to the first mating in range of 2010 and 2011 for representing the non-commercial dairy farm. Those heifers were weighted monthly from one day old until the first mating (15-30 months old). The data were analyse using the SAS 9.2 program package that provides specialized programs to search for parameters in non-linear models by using the NLIN (non-linear) procedure.

Simulation of random distributions was implemented in Excel using a simple model. To complete the simulation, the nutritionists need nutrient requirements of heifers from birth to first mating obtained in the Nutrient Requirements of Dairy Cattle. Besides this, the simulation was supported by tables of the nutritional content of roughages, feedstuffs and concentrates, which was obtained through proximate analysis from several sources.

(6)

Growth curve model of Holstein heifers according to the situation and condition in both commercial dairy farm and dairy cattle breeding farm, and after validated within the state of the field in Indonesia, mathematical model of Logistic is recommended. Simulation of the growth from new born dairy heifers to first mating by using the Logistic model shows that the results of this simulation can be applied to the commercial dairy farm and the breeding dairy farm. Factors affecting the growth rate of Holstein from birth until first mating that is implemented in the form of simulation is the way in which feeding applied to support the environment where heifers maintained to fulfill the animal’s nutrient requirements.

(7)

©Hak Cipta milik IPB. Tahun 2014

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

LIA BUDIMULYATI SALMAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji luar komisi pada:

Ujian Tertutup :

1. Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen IPTP)

2. Dr Ir Idat Galih Permana, MSc Agr. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen IPTP)

Ujian Terbuka :

1. Dr Ir Laurentius Hardi Prasetyo, MAgr. (Balai Penelitian Peternakan , Bogor) 2. Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgr Sc. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen

(10)

sampai Siap Kawin

Nama : Lia Budimulyati Salman

NIM : D161090051

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgr Sc. Ketua

Prof Dr Ir Ronny R. Noor, MRur Sc. Anggota

Prof Dr Asep Saefuddin, MSc. Anggota

Dr Ir Chalid Talib. MS. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi. Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia Rahmat dan Kasih Sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul “Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin” pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Seluruh komisi pembimbing, Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc., Prof Dr Ir Ronny Rachman Noor, MRur Sc., Prof Dr Ir Asep Saefuddin, MSc. dan Dr Ir Chalid Talib, MSc. yang telah memberi arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini. Beliau semua telah banyak menolong saya dari awal penelitian hingga terselesaikannya disertasi ini tanpa lelah.

2. Rektor Universitas Padjadjaran Prof. DR. Ganjar Kurnia, Ir. DEA, Dekan Fakultas Peternakan mulai dari Prof Dr Ir Dadi Suradi,MSi., Dr Ir Iwan Setiawan, DEA dan Prof Dr Ir Husmy Yumiarti,MSi., kemudian kepada Kepala Laboratorium Produksi Ternak Perah mulai dari Dr Ir Enni Sukraeni, MSi (almarhumah), Ir. Willyan Djaja, SU dan Dr Ir Didin Tasripin, MSi. serta keluarga besar Laboratorium Produksi Ternak Sapi Perah Fakultas Paternakan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi S3 di Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Peternakan IPB dan para dosen beserta staf administrasi di lingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB yang selalu memberikan kesempatan, perhatian, semangat, bantuan, dan semua masukan selama melaksankan studi S3.

4. Dr Ir Laurentius Hardi Prasetyo, MAgr dan Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgrSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka serta Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr. dan Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup.

5. Pimpinan beserta pegawai PT Taurus Dairy Farm, Sukabumi dan BBPTU Sapi Perah Baturraden, Purwokerto yang telah memberikan tempat untuk melakukan penelitian lapangan juga bantuan pikiran dan tenaga yang diberikan selama melakukan penelitian.

6. Bapak Nur Andi Setiabudi SSi. dan Ir. Abdullah F Alim, MS atas bantuan pikiran dan tenaga selama pengolahan data dan pembuatan simulasi.

7. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas beasiswa untuk studi S3 melalui program BPPS.

8. Teman-teman Pascasarjana angkatan 2009, dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas bantuan dan kerja sama selama studi bahkan pada tahap-tahap penulisan disertasi ini.

(12)

banyak waktu kalian yang tersita

Karya ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi berbagai pihak dalam rangka pengembangan ilmu ternak perah.

(13)

xvi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah FH 6

Manajemen Pemeliharaan dari Lahir sampai Siap kawin 6

Pertumbuhan Sapi Perah 7

Bobot Lahir 8

Bobot Sapih 8

Bobot Kawin Pertama 9

Kurva Pertumbuhan 9

Simulasi Pertumbuhan 13

3 PERBANDINGAN AKURASI MODEL LOGISTIC, GOMPERTZ DAN VON BERTALANFFY DALAM MENDUGA PERTUMBUHAN ANAK LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN SAPI FRIES HOLLAND

ABSTRAK 15

ABSTRACT 15

Pendahuluan 16

Metode Penelitian 17

Hasil dan Pembahasan 20

Simpulan 27

4 SIMULASI PERTUMBUHAN SAPI FRIES HOLLAND DARI LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN

ABSTRAK 28

ABSTRACT 28

Pendahuluan 29

Metode Penelitian 30

Hasil dan Pembahasan 31

Simpulan 36

(14)

xvii

Simpulan 42

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

(15)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Model matematik kurva pertumbuhan 17

2 Titik infleksi pada model kurva pertumbuhan non linier 18 3 Turunan parsial model-model Logistik, Gompertz dan von

Bertalanffy 19

4 Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir

sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas 21

5 Jumlah iterasi untuk setiap model 23

6 Nilai korelasi antar parameter tiap model 24

7 Nilai parameter kurva pertumbuhan 25

8 Nilai koefisien determinasi (R2) pada setiap model 26 9 Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir

sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas 31

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur metode analisis data 4

2 Alur pembuatan simulasi pertumbuhan 5

3 Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati (Brody, 1945) 10 4 Kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin

dengan lama pencatatan (A) 29 bulan, (B) 21 bulan dan(C) Baturaden. Simbol (●) bobot teramati, (×) kurva Gompers, (▲) kurva Von Bertalanffy, dan (+) kurva Logistic 22 5 Grafik rataan simpangan data model dibandingkan data lapang dari

(16)

xix

1 Langkah-langkah analisis data pertambahan bobot badan untuk BPPTU sapi perah Baturraden Purwokerto dengan program SAS 49 2 Hasil analisis SAS pertambahan bobot badan untuk Baturraden 53 3 Langkah-langkah analisis data pertambahan bobot badan untuk PT

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Perbandingan konsumsi susu per kapita antara yang dipenuhi dari produksi dalam negeri (2.7855 kg/tahun) dengan susu impor (8.265 kg/tahun), menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat tergantung dari impor susu (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013).

Jika keadaan produksi susu nasional dibiarkan terus tanpa adanya suatu upaya yang nyata untuk meningkatkannya, maka kesenjangan antara produksi dengan permintaan akan semakin melebar pada tahun-tahun mendatang. Kondisi tersebut mengakibatkan ketergantungan terhadap susu impor akan semakin besar sehingga akan berdampak terhadap pengurasan devisa negara. Salah satu jalan mengatasinya adalah memacu peningkatan produksi susu nasional pada tahun-tahun mendatang.

Permasalahan rendahnya produksi susu nasional menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan konsumen disebabkan antara lain oleh terbatasnya jumlah populasi sapi perah. Populasi sapi perah tahun 2013 adalah sebanyak 636064 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013). Ketersediaan ternak betina pengganti atau replacement stock masih sangat kurang untuk meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Tidak tersedianya ternak pengganti tersebut disebabkan banyak peternak yang tidak mau memelihara pedet sampai menjadi dara siap kawin, karena dianggap kurang menguntungkan. Masa depan usaha sapi perah tergantung dari keberhasilan program pembibitan khususnya pembesaran pedet dan dara sebagai ternak pengganti.

Bangsa sapi perah yang dipelihara di Indonesia didominasi oleh sapi Fries Holland (FH). Produksi susu sapi FH di Indonesia lebih rendah dibandingkan di daerah asal sapi ini, yaitu Belanda yang beriklim sedang (temperate) dengan empat musim yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Produktivitas sapi FH sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sapi yang berasal dari tempat yang beriklim sedang tergolong sensitif terhadap suhu lingkungan tinggi seperti Indonesia yang beriklim tropis.

Pemeliharaan pedet membutuhkan ketekunan yang tinggi, pedet yang lahir sehat, kuat dan besar, lebih mudah dipelihara. Peternak perlu memberikan perhatian yang lebih khusus dalam dua bulan pertama pasca lahir karena kematian pedet dalam periode ini dapat mencapai 20% (Folley et al, 1973). Bantuan yang tepat pada saat pedet dilahirkan, penanganan secara higienis dan pencegahan penyakit yang dapat menjamin kesehatan pedet perlu diterapkan.

Pemeliharaan ditujukan untuk mendapatkan calon induk sapi pengganti yang sehat dan aktif, mempunyai kapasitas tubuh yang besar untuk konsumsi pakan, dan mempunyai umur beranak pertama antara 2–2.5 tahun. Pemeliharaan yang kurang baik menyebabkan masih banyak ditemukan sapi dara yang beranak pertama pada umur 3–4 tahun.

(18)

yang dipengaruhi oleh potensi genetik, asupan pakan dan manajemen pemeliharaan, sejak dilahirkan sampai pada saat siap kawin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah belum lengkapnya catatan tentang identifikasi dari setiap ternak sapi perah yang dilahirkan pada setiap peternakan sebagai unsur pendukung utama untuk perbaikan genetik dan manajemen. Selain itu, sampai saat ini masih belum terdapat standar pertumbuhan optimum untuk pedet sapi perah di Indonesia, sehingga peternak sulit untuk menentukan pemenuhan kondisi pedet pada batas minimal atau di bawah batas minimal bobot badan pada umur tertentu agar dapat mencapai bobot kawin pertama yang diharapkan.

Analisis pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan kurva pertambahan bobot badan dalam rentang umur tertentu. Berdasarkan teori dasar, pertumbuhan dibagi dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase dengan laju pertumbuhan (slope) bersifat positif dan pada kondisi slope bersifat negatif. Titik peralihan dari dua sifat yang berbeda ini akan didapatkan pada titik belok suatu lereng kurva pertumbuhan. Penentuan titik peralihan tersebut memerlukan model yang tepat, karena model konvensional yang hanya menggunakan perhitungan dengan regresi linier tidak mampu menjelaskan fenomena yang ada.

Melalui pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan kapan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup yang tepat untuk melakukan perkawinan pertama pada sapi dara (Place et al., 1998). Ini dikarenakan umur pubertas dan kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan bobot badan yang dicapai selama masa prepubertas (Sejrsen and Purup, 1997).

Kemajuan teknologi komputasi yang membantu dalam penghitungan matematik telah banyak menghasilkan model kurva yang digunakan dalam analisis pertumbuhan, antara lain Brody, Richard, Huxley, Logistic, von Bertalanffy dan Gompertz. Model yang sering digunakan adalah model kurva pertumbuhan Logistic, von Bertalanffy dan Gompertz. Pertimbangan dipilihnya ketiga model tersebut antara lain adalah telah terbukti dari berbagai penelitian sebelumnya bahwa ketiga model pertumbuhan tersebut sangat baik untuk digunakan pada data kuantitatif yang bersifat longitudinal dari berbagai jenis ternak, hewan, tumbuhan dan bahkan sangat baik untuk menganalisis pola pertumbuhan bakteri/mikroorganisme rumen. Namun demikian kelemahan umum dari ketiga model tersebut adalah menghendaki adanya keseragaman lingkungan.

(19)

Pencapaian efisiensi produksi dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah pakan, yang akhirnya akan berpengaruh secara langsung pada biaya yang harus dikeluarkan. Suatu simulasi yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan-kemungkinan yang mempengaruhi kurva pertumbuhan diperlukan untuk mewujudkan efisiensi produksi. Salah satu simulasi yang diterapkan untuk mengevaluasi biologis dan efisiensi adalah Deterministic simulation berdasarkan model matematika, Model ini dapat mensimulasikan siklus hidup produksi ternak.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka analisis yang berkaitan dengan pertumbuhan yang secara biologis bukanlah berbentuk linier melainkan sigmoid, merupakan analisis yang strategis dalam industri peternakan untuk menggunakan faktor produksi dalam mencapai efisiensi produksi terbaik. Selain itu simulasi kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan kurva pertumbuhan untuk perbaikan efisiensi produksi perlu dilakukan sebagai langkah antisipasi kedepan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membuat model kurva pertumbuhan sapi perah FH yang sesuai dengan situasi dan kondisiskala industri peternakan sapi perah di Indonesia.

2. Membuat kurva standar pertumbuhan sapi FH untuk menduga bobot badan dari lahir sampai siap kawin.

3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan pedet sapi perah sampai dengan siap kawin yang diimplementasikan dalam bentuk simulasi.

Manfaat Penelitian

Laju pertumbuhan individu ternak dapat menggambarkan tingkat efisiensi dan besarnya nilai genetik untuk membantu memudahkan dalam pelaksanaan sistem seleksi, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah usaha. Manfaat penelitian ini adalah (1) mengetahui model regresi non-linier yang terbaik sehingga dapat digunakan untuk memprediksi bobot badan ternak sapi FH siap kawin; (2) memberi informasi mengenai standar pertumbuhan pedet sapi FH sampai siap kawin untuk penyediaan ternak pengganti dan membentuk bibit unggul guna pengembangan sapi FH di Indonesia dan (3) menghasilkan simulasi untuk memprediksi kurva pertumbuhan agar dapat diketahui pencapaian bobot badan yang diharapkan pada umur tertentu sejak lahir sampai siap kawin.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri dari:

Tahap ke-1 survei peternakan sapi perah yang mempunyai catatan tentang bobot lahir, pertambahanan bobot tiap periode waktu dan bobot badan pada kawin pertama.

Tahap ke-2 koleksi data dari peternakan yang mempunyai catatan yang relatif lengkap kemudian ditabulasi sesuai dengan kebutuhan untuk analisis Tahap ke-3 analisis data dengan menggunakan program SAS 9.2 Proc NLIN

(20)

Tahap ke 4 pembuatan simulasi pertumbuhan berdasarkan model matematika yang telah dihasilkan.

Alur penelitian tahap 1dan tahap kedua tergambar pada Gambar 1 dan 2 berikut ini.

Tahap pertama

Gambar 1 Alur metode analisis data Hasil Seleksi data bobot lahir

b) Jumlah proses Iterasi yang di gunakan

c) Koefisien Determinasi

Parameter kurva pertumbuhan tersebut mempunyai beberapa interpretasi biologis terutama untuk parameter A (bobot dewasa) dan k (kecepatan menuju dewasa), selain itu bias digunakan untuk mencari bobot pada titik infeksi (Ui*A) dan umur infleksi (ti)

Standard error parameter kurva pertumbuhan menjelaskan tingkat keakuratan dari pendugaan parameter kurva pertumbuhan

Jumlah Kuadrat Sisa dan Kuadrat Tengah Sisa Bias yang menjelaskan keakuratan model

(21)

Tahap kedua

Gambar 2 Alur pembuatan simulasi pertumbuhan Model pertumbuhan yang

diperoleh (Logistic, Gompertz dan von Bertalanffy)

Validasi model yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada usaha peternakan dan usaha pembibitan diambil pertumbuhan sapi perah FH muda optimum.

Hasil Simulasi

Kandungan nutrien hijauan maupun konsentrat yang biasa diberikan pada sapi muda.

Pembuatan simulasi deterministik dengan model yang terpilih

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah FH

Sapi Fries Holland (FH) merupakan salah satu bangsa sapi perah yang paling banyak dipelihara di Indonesia baik di perusahaan peternakan maupun peternakan kecil. Sapi perah ini berasal dari daerah provinsi Friesland Barat dan Holland Utara. Menurut sejarahnya, nenek moyang bangsa sapi Fries Holland berasal dari Bos taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di dataran Eropa. Nama lain dalam bahasa Inggris untuk sapi perah Fries Holland adalah Holstein Friesian atau Holstein (Blakely dan Bade, 1991; Pane, 1986).

Ciri-ciri sapi perah FH yaitu rambut ujung ekor dan lutut ke bawah berwarna putih dengan tubuh hitam bercak putih. Di dahi kadang-kadang terdapat tanda segi tiga putih. Tanda lainnya adalah dada dan perut bawah berwarna putih dengan tanduk kecil menjurus ke depan. Selain hitam putih ada pula sapi FH yang berwarna merah bercak putih yang disebut Brown Holstein.

Sifat sapi perah FH umumnya sapi betina tenang dan jinak, sedangkan jantan agak liar. Sapi jenis ini tidak tahan panas, tetapi lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Mempunyai kemampuan merumput baik di padang rumput bermutu. Masak lambat, betina kawin pertama pada umur 18-21 bulan dan beranak pada umur 28-30 bulan. Pertumbuhan tubuh maksimum dicapai pada umur 7 tahun dengan kisaran umur 6-8 tahun. Pertumbuhan pedet dapat mencapai 0.9 kg per hari sehingga baik untuk penghasil daging (Pane, 1986). Sapi ini memiliki reproduksi yang baik, bobot lahir berkisar antara 30-45 kg atau sebesar 10% dari berat calon induk pada saat dewasa kelamin. Bobot badan sapi betina dewasa mencapai 750–800 kg, sedangkan jantan kisaran bobot dewasanya 1000–1200 kg (Bath et al., 1978; Ensminger, 1993).

Manajemen Pemeliharaan dari Lahir sampai Siap Kawin

Dalam pemeliharaan pedet sampai mencapai umur siap kawin maka bobot badan menjadi perhatian utama disamping kesehatan. Hal ini disebabkan bobot badan lebih berperan dibanding umur terhadap pubertas pertama dan kawin pertama. Oleh karena itu sebaiknya, bobot badan menjadi patokan dalam tatalaksana pemeliharaan sapi dara. Dengan demikian bobot badan dan pakan berperan penting dalam pemeliharaan sapi perah dara.

Pedet sapi perah yang dipelihara secara intensif biasanya dipisahkan dari induknya 24 jam setelah kelahiran dan jumlah susu yang perlu dikonsumsi dibatasi sampai disapih. Satu kebiasaan umum adalah menyediakan pedet dengan susu dua kali sehari, dengan total sekitar 10% dari bobot badan pedet, contohnya untuk anak sapi dengan bobot 40 kg, pedet akan menerima dua kali pemberian susu masing-masing totalnya 6-8 liter/ekor/hari, sebaliknya, pedet yang tidak dipisahkan dengan induknya secara intensif mengonsumsi rata-rata 7-10 kali mengonsumsi susu bahkan lebih (Albright and Arave 1997).

(23)

diharapkan akan memberikan pertumbuhan dan kondisi badan pedet yang baik. Jika pedet sudah mencapai umur 10 bulan, pemberian konsentrat dapat dibatasi. Hijauan diberikan dengan cara bebas pilih. Kualitas konsentrat yang diberikan akan ditentukan oleh kualitas hijauan yang diberikan. Penggembalaan sapi dara dapat dilakukan, tapi tetap harus diberikan konsentrat dan campuran mineral yang dibutuhkan (Toharmat dan Suryahadi, 1997).

Pertumbuhan Sapi Perah

Pertumbuhan menurut definisi Hafez (1963) adalah perubahan ukuran, bentuk, komposisi dan struktur yang secara normal perubahan itu akan meningkatkan ukuran dan bobot badan dari hewan. Pertumbuhan menurut Soeparno (1994) mempunyai tiga proses utama. Pertama merupakan proses dasar pertumbuhan selular yang meliputi hyperplasia yaitu perbanyakan sel atau produksi sel-sel baru dan hipertrofi, yaitu pembesaran sel dan akresi atau pertambahan material struktural nonselular. Kedua merupakan diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm. Ketiga, kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan banyak proses.

Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa. Menurut Swatland (1984) dan Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan , minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu: menyangkut peningkatan massa per satuan waktu dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk serta komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1976; Tulloh, 1978; Edey, 1983; Lawrie, 2003).

Perkembangan adalah kemajuan secara gradual dari kompleksitas yang lebih rendah menjadi kompleksitas yang lebih tinggi. Perkembangan juga melibatkan ekspansi ukuran atau perubahan bentuk atau konformasi tubuh, termasuk perubahan struktur, kemampuan dan komposisi tubuh. Perkembangan selalu berkaitan dengan pertumbuhan. Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan berbeda pula. Komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan. Jadi, pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komposisi kimia komponen-komponen tubuh termasuk tulang, otot dan lemak. Tulang, otot dan lemak merupakan komponen utama penyusun tubuh (Soeparno, 1994).

(24)

dilahirkan, dan selama periode pemeliharaan akan disapih, fungsi rumen tetap kecil dan tidak berkembang, sementara tahap ini memiliki abomasum yang relatif besar. Namun, setelah diberikan pakan hijauan, maka alat pencernaannya akan berfungsi. Kedua sebagai akibat paksaan, misalnya ternak darat akan merespon sebagai suatu konsekuensi fisik dari besarnya pertumbuhan, ternak darat harus melawan gravitasi, sehingga bermasalah dengan bertambahnya bobot badan.

Pertambahan bobot badan tiap hari setelah lahir sampai kawin pertama paling sedikit 500 gram per hari. Oleh karena itu pada kondisi ini, bobot badan pedet setiap periode waktu harus diketahui dengan cara menimbang atau menduga dengan ukuran lingkar dada. Tujuannya adalah untuk memperoleh sapi dara sehat, aktif, dan beranak pertama kali umur 2–2.5 tahun. Dikawinkan pada umur 15–21 bulan, tergantung pada kondisinya.

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot badan pada saat ternak dilahirkan, sebagai hasil penimbangan anak dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Harjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Sapi dengan bobot lahir yang tinggi di atas rataan umumnya memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis, pertumbuhannya cepat serta akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi pula. Bobot lahir ditentukan oleh bangsa induk, jenis kelamin anak, lama bunting induk, umur atau paritas induk, dan makanan induk sewaktu bunting (Prasojo et al., 2010).

Hasil penelitian Khattab et al. (2005) rataan bobot lahir sapi FH adalah 31.84+4.58 kg. Hasil pengamatan rataan bobot lahir di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur sebesar 41.88+3.06 kg (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish) dan rataan bobot lahir di Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Sapi Perah Cikole Lembang sebasar 38.65+5.26 kg (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish).

Berdasarkan hasil studi pada sapi perah Bos taurus di New York, Salisbury dan van Demark (1985) menyatakan agar pertumbuhan pedet berjalan normal, maka pedet harus mencapai rataan berat lahir sekitar 46.5 kg dengan tinggi pundak sebesar 75.1 cm. Sedangkan hasil penelitian Anggraeni, et al. (2008) rataan berat lahir sapi FH di daerah kerja KPSBU Lembang adalah sekitar 45 kg (43–52 kg).

Bobot Sapih

(25)

dihentikan pemberian air susu serta diberikan pakan hijauan dan konsentrat (Belanger, 2001).

Bobot sapih adalah bobot pada saat individu ternak dipisahkan pemeliharaannya dari induknya atau pada saat ternak tersebut sudah tidak diberi air susu induk lagi (Hardjosubroto, 1994). Bobot Sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan pedet untuk mendapat susu untuk tumbuh. Umur yang sesuai untuk menyapih pedet sangat tergantung dari sistem manajemen yang diterapkan. Pada beberapa pola pemeliharaan ada yang tidak pernah memisahkan anak dari induknya, dan ada pula yang disapih pada saat mencapai usia antara tiga sampai enam bulan (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih memiliki hubungan yang erat dengan bobot lahir, keduanya berkorelasi positif sehingga bobot lahir dapat ditekankan dalam program seleksi tidak langsung, yaitu seleksi bobot sapih berdasarkan bobot lahir.

Hasil penelitian Khattab et al. (2005) rataan bobot sapih sapi FH adalah 97.27+10.25 kg. Hasil pengamatan rataan bobot sapih di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur sebesar 96.82+17.68 kg pada umur 4 bulan (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish).

Bobot Kawin Pertama

Perkawinan pertama seekor sapi perah dara tergantung pada dua faktor utama yaitu umur dan bobot badan. Apabila perkawinan sapi perah dara terlalu cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi antara lain adalah, kesulitan melahirkan dan tubuhnya yang tetap kecil nantinya setelah menjadi induk sehingga dapat berakibat rendahnya produksi susu. Sapi FH dara dan Brown Swiss memerlukan bobot badan 350 kg-375 kg untuk perkawinan yang pertama sedangkan Peranakan Fries Holland (PFH) pada bobot 300-325 kg. Sedangkan untuk kondisi di Indonesia sapi dara dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15-18 bulan dengan bobot badan 285-300 kg (Alim, et. al., 2006).

Sapi dara yang berahi tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa kondisi fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi dara tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut Lindsay et al. (1982) pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu beranak. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2006). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak.

Hasil pengamatan di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur bobot kawin pertama dicapai pada umur 17 bulan dengan bobot badan berkisar antara 300-320 kg (Budimulyati, November 2010 unpublish).

Kurva Pertumbuhan

(26)

Tujuan utama dalam pembuatan model kurva pertumbuhan ada dua macam yaitu tujuan untuk deskripsi dan prediksi. Tujuan deskripsi merupakan upaya untuk bisa mempermudah interpretasi dari proses pertumbuhan ternak menjadi hanya beberapa parameter, sedangkan tujuan prediksi lebih fokus bagaimana metode untuk memprediksi dari beberapa parameter, diantaranya pertumbuhan, kebutuhan pakan, respon terhadap seleksi serta banyak parameter lainnya (Fitzhugh, 1976).

Pertumbuhan tiap-tiap individu secara umum diperlihatkan sebagai bentuk

sigmoid atau “S”. Kurva “S” ini menggambarkan suatu bentuk percepatan dan

perlambatan yang dibatasi oleh titik belok atau titik infleksi. Brody (1945) menjelaskan bahwa bentuk kurva pertumbuhan menggambarkan ternak dari lahir hingga mati. Lawrence dan Fowler (2002) menjelaskan bahwa pola pertumbuhan sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada kehidupan awal, kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai mencapai konstan saat ternak tua. Ketika bobot badan selama hidup diplotkan sebagai fungsi dari umur atau waktu, ternak memproduksi sebuah kurva karakteristik pertumbuhan yang berbentuk kurva pertumbuhan sigmoid karena menyerupai huruf "S".

Pada titik infleksi, kecepatan pertumbuhan melaju seimbang dengan besarnya penghambatan pertumbuhan. Beberapa kejadian yang spesifik dapat ditemui pada titik infleksi tersebut, antara lain kecepatan pertumbuhan yang maksimal, saat terjadinya pubertas dan mortalitas yang paling rendah. Titik infleksi pada sapi tercapai pada umur enam bulan yang berarti 30 persen dari pertumbuhan dewasa telah dicapai (Brody, 1945). Berikut adalah kurva pertumbuhan ternak yang terlihat pada Gambar 3.

Keterangan :

(27)

Model Logistic

Model Logistic pada dasarnya mengacu pada bentuk persamaan regresi logistik (Myers, 1990). Model ini menggunakan tiga parameter, yaitu A, b, dan k sebagai fungsi untuk menentukan titik infleksi. Parameter A adalah pertumbuhan yang terbatas atau bobot dewasa (asimtot), b adalah konstanta integral sedangkan k adalah laju pertumbuhan menuju dewasa. Ketiga parameter inilah dapat membentuk fungsi logistic baru sehingga dapat diinterpretasikan, yaitu ploting data antara Y (bobot badan) dan X (umur) akan membentuk kurva sigmoid.

Hassen et al. (2004) melakukan penelitian membandingkan antara kurva non linier model Brody, von Bertalanffy, Logistic dan Gompertz untuk membandingkan hubungan bobot badan dan waktu pada jantan muda dan sapi Angus dara. Hasilnya untuk perbandingan antar kurva pertumbuhan dalam individu ternak hanya model Logistic merupakan satu-satunya model yang mencapai konvergen pada 98% dari individu yang diteliti.

Keakuratan model Logistic menurut Ptak et al. (1994) cenderung berada di bawah Gompertz dan von Bertalanffy pada kurva pertumbuhan kelinci galur murni dan persilangannya. Inounu et al. (2007) menyatakan bahwa model Logistic merupakan model yang paling mudah dalam proses perhitungan terhadap domba Garut dan persilangannya.

Model Gompertz

Kurva pertumbuhan model Gompertz sudah ada sejak abad ke 19 tepatnya tahun 1825. Menurut Myers (1990) pertumbuhan sigmoid yang ditawarkan Gompertz dapat diterapkan pada berbagai situasi pertumbuhan. Sebagai catatan bahwa model ini mempunyai eksponensial ganda, oleh karena itu parameter A (bobot asimtot) merupakan pertumbuhan yang terbatas.

Penggunaan model Gompertz pada sapi Brahman dara telah dibuktikan oleh Verra (1991), bahwa disamping model ini sangat cocok untuk menganalisis pertumbuhan individu ternak, juga terdapat perbedaan yang sangat nyata pada rataan bobot asimtot ternak yang diamati pada berbagai kondisi pakan yang dicobakan. Model ini mampu juga digunakan untuk memprediksi bobot atau umur sapi saat pertama kali dikawinkan, karena terbukti secara konsisten bahwa terdapat hubungan yang kuat antara bobot asimtot dengan saat umur atau bobot ternak pertama kali dikawinkan pada kondisi pakan yang berbeda.

Sengul dan Kiraz (2005) membandingkan kurva pertumbuhan model Gompertz, Logistic, Morgan Mencer Flodin (MMF) dan Richards dalam proses pertumbuhan kalkun, hasilnya model Gompertz merupakan model yang terbaik untuk menjelaskan hubungan pertumbuhan dan waktu dibandingkan model lainnya pada kalkun. Kesimpulan ini berdasarkan keakuratan penjelasan hubungan pertumbuhan dengan waktu yang dapat dibuktikan dari koefisien determinasi tertinggi (Sengul dan Kiraz, 2005).

(28)

Model Gompertz digunakan juga oleh Mignon-Grasteau et al. (2000) untuk membandingkan antara galur dan jenis kelamin yang berbeda pada ayam dalam penelitian aspek genetik dari kurva pertumbuhan dengan menggunakan metode Bayes. Mignon-Grasteau dan Beaumont (2002) juga melaporkan parameter genetik dari model Gompertz pada ayam mempunyai pertumbuhan yang lebih lambat.

Menurut Arango dan Van Vleck (2002) kurva pertumbuhan model Gompertz telah banyak digunakan oleh peneliti ternak besar terutama sapi untuk menggambarkan hubungan pertumbuhan dengan waktu, seperti yang dilakukan oleh Kratochvilova et al. (2002) yang melakukan penelitian untuk menganalisa kurva pertumbuhan pada bobot badan dan ukuran tubuh pada sapi Holstein. Menurut Arango dan Van Vleck (2002) kelebihan dari kurva pertumbuhan model Gompertz adalah dalam pendugaan nilai asimtot atau bobot dewasa mempunyai bias yang rendah.

Hasil penelitian Susilawati (2010) menyatakan bahwa perbandingkan kurva pertumbuhan non linier model Logistic dengan model Gompertz berdasarkan selang kepercayaan pada parameter bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti) domba Komposit Sumatera, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan non linier dengan menggunakan model Gompertz memperlihatkan hasil yang lebih baik dari model Logistic. Nilai selang kepercayaan model Gompertz dengan parameter bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti) berturut-turut adalah 97.35% dan 96.51% sedangkan untuk model Logistic nilai selang kepercayaan parameter bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti) berturut-turut 51.36% dan 32.28% (Susilawati, 2010).

Model von Bertalanffy

Model non-linier von Bertalanffy telah digunakan oleh Oliviera et al. (1994) pada 575 ekor sapi betina dari bangsa Zebu di Brasil Selatan yang dipelihara pada kondisi padang rumput dengan pemberian pakan tambahan hanya pada induk yang menyusui. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hubungan keeratan parameter A (bobot asimtot) dan k (laju pertumbuhan) adalah tinggi disamping memiliki pola reproduksi yang tinggi. Namun demikian sapi tersebut lambat mencapai dewasa tubuh dan dewasa kelamin.

Pada penelitian Ptak et al. (1994) evaluasi pertumbuhan tiga bangsa kelinci, yaitu New Zealand White (NZW), Tan Rabbits (TR) dan hasil persilangan resiprokal kedua bangsa tersebut, lebih akurat dianalisis dengan model von Bertalanffy dalam pendugaan bobot/umur saat dewasa tubuh dan bobot/umur saat pubertas. Selanjutnya dijelaskan bahwa analisis terhadap parameter A sebagai bobot asimtot (dewasa tubuh) akan berbeda untuk setiap bangsa dan jenis kelamin kelinci yang diamati. Kelinci dari bangsa NZW memiliki bobot dewasa tubuh yang lebih besar dibanding dengan bangsa TR dan sebagai akibatnya mencapai bobot dewasa tubuh pada umur yang lebih lama.

(29)

Simulasi Pertumbuhan

Simulasi adalah proses implementasi model menjadi program (software) komputer dan mengeksekusi software tersebut sedemikian rupa sehingga perilakunya menirukan atau menyerupai sistem nyata (realitas) tertentu untuk tujuan mempelajari perilaku (behaviour) sistem, pelatihan (training), atau permainan (gamming) yang melibatkan sistem nyata (realitas). Jadi, simulasi adalah proses merancang model dari suatu sistem yang sebenarnya, mengadakan percobaan-percobaan terhadap model tersebut dan mengevalusi hasil percobaan tersebut (Sridadi, 2009). Selain itu dikemukakan pula bahwa simulasi merupakan suatu metode eksperimental dan terpakai untuk menjelaskan perilaku sistem, membangun teori atau hipotesis yang mempertanggungjawabkan perilaku dari sistem yang diamati, memakai teori-teori untuk meramalkan perilaku sistem yang akan datang, yaitu pengaruh yang akan dihasilkan oleh perubahan-perubahan variabel dan parameter sistem atau perubahan operasionalnya (Sridadi, 2009).

Keuntungan perusahaan ternak sapi tergantung pada banyak faktor termasuk kinerja biologis ternak, strategi manajemen, kondisi alam dan kemungkinan pemasaran. Pemilihan keputusan yang optimal dapat didukung oleh penggunaan matematika modeling. Model matematika adalah representasi yang disederhanakan dari suatu sistem yang bertujuan untuk mendeteksi hubungan kuantitatif antara variabel dan memprediksi efek perubahan ternak, dengan asumsi kompromi antara akurasi dan mudahnya dikendalikan. Metode komputasi canggih dan komputer yang digunakan dalam pemodelan memproses memungkinkan mempertimbangkan lebih banyak aspek keputusan dibandingkan dengan saran yang diberikan oleh para ahli (misalnya dokter hewan atau konsultan perternakan) atau penerapan umum norma, standar dan rekomendasi ( Stygar and Makulska, 2010).

Secara metodologis, model peternakan, dapat dibagi dalam optimasi dan simulasi model. Model Optimasi memungkinkan hasil yang optimal menentukan mengingat fungsi tujuan hasil yang diharapkan atau fungsi profit yang dimaksimalkan tergantung pada alternatif produksi, harga dan sumber ketersediaan. Model simulasi dikembangkan terutama untuk meningkatkan pemahaman dari sistem dengan mempelajari perilaku di bawah kondisi yang berbeda. Menghitung hasil yang diharapkan di bawah himpunan parameter dan keputusan aturan (Stygar and Makulska, 2010).

Dalam optimasi dan simulasi dua kategori model dapat dibedakan: deterministik dan stokastik. Dalam model deterministik asumsi tersebut bahwa sistem nyata tidak memiliki variasi acak sedangkan pada model stokastik variasi variabel dan parameter diwakili melalui distribusi probabilitas yang sesuai serta kelangkaan data sering secara signifikan menghambat estimasi model parameter di tingkat ternak dan validasi eksternal dari model simulasi yang dibuat (Stygar and Makulska, 2010).

(30)

simulasi deterministik, model ini dapat mensimulasikan siklus hidup produksi ternak.

Model simulasi sangat berkaitan dengan variabilitas dan kompleksitas produksi ternak. Model ini dapat dibagi menjadi tiga kategori: model seluruh populasi dengan penekanan pada strategi manajemen, model fisiologis seluruh ternak, dan model fisiologis hewan tunggal (Kristensen dan Jørgensen, 1996). Simulasi pada sapi sering disederhanakan dengan mengabaikan variabilitas luar itu diciptakan oleh persamaan deterministik model tersebut (Shafer et al., 2007). Pendekatan seperti menghasilkan lebih rendah tingkat variabilitas simulasi daripada yang biasanya terjadi di alam. Namun demikian, banyak contoh model deterministik ditemukan dalam literatur (Lamb et al., 1992 a, b, c, 1993; Koots and Gibson, 1998;. Pang et al., 1999 a, b; Rotz et al., 2005.; Wolfova et al., 2005). Model ini mensimulasikan total kebutuhan energi dan protein, dan selanjutnya kerugian nitrogen melalui feses dan urin, seluruh siklus reproduksi sapi matang dan tahap pertumbuhan anaknya.

Model simulasi deterministik yang diterapkan untuk mengevaluasi biologis dan efisiensi ekonomi (Lamb et al., 1992.). Model simulasi ini memerlukan informasi/data mengenai persediaan populasi ternak, kebutuhan nutrisi, produksi hijauan dan kebutuhan bagi ternak. Persyaratan nutrisi sub-Model nutrisi simulasi dan kebutuhan pakan untuk anak sapi dan sapi tergantung pada fisiologis mereka Status (kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, laktasi dan kebuntingan) dan kondisi iklim. Penggunaan pakan produksi sub-model yang memungkinkan memprediksi laju pertumbuhan pakan, sapi tingkat penggembalaan, biomassa hijauan yang tersedia, dan jumlah hektar yang diperlukan untuk merumput. Model ini dapat mensimulasikan siklus hidup produksi ternak sapi daging sapi dengan dan tanpa sistem penggemukan terintegrasi. Hal ini dapat menjadi alat yang berharga untuk optimasi kawin, afkir dan manajemen lain (Stygar and Makulska, 2010)

Menurut Wittwer (2004) langkah-langkah dalam simulasi sesuai dengan penyebaran ketidakpastian dapat dengan diimplementasikan di Excel untuk model sederhana. Hal yang perlu dilakukan adalah mengikuti lima langkah sederhana berikut ini:

Langkah 1: Membuat model parametrik, y = f(x1, x2, ..., xq).

Langkah 2: Bangkitkan suatu himpunan masukan acak, xi1, xi2, ..., xiq. Langkah 3: Mengevaluasi model dan menyimpan hasil sebagai yi. Langkah 4: Mengulangi langkah 2 dan 3 untuk i = 1 sampai n.

Langkah 5: Menganalisis hasil menggunakan histogram, ringkasan statistik, serta interval keyakinan

(31)

15

PERBANDINGAN AKURASI MODEL LOGISTIC, GOMPERTZ DAN VON BERTALANFFY DALAM MENDUGA PERTUMBUHAN ANAK

LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN SAPI FRIES HOLLAND

ABSTRAK

LIA BUDIMULYATI SALMAN Perbandingan Akurasi Model Logistic, Gompertz dan von Bertalanffy dalam Menduga Pertumbuhan Anak Lahir sampai Siap Kawin Sapi Fries Holland. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, RONNY RACHMAN NOOR, ASEP SAEFUDDIN dan CHALID TALIB

Catatan bobot badan 1221 sapi dara yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari PT Taurus Dairy Farm Sukabumi dari tahun 2001 sampai 2011. Catatan yang dapat digunakan untuk analisis adalah 373 dari 1221 sapi, yang mempunyai data dari lahir sampai masa kawin pertama. Tiga model yang berbeda yaitu, Logistic, Gompertz, dan von Bertalanffy dilakukan untuk menganalisis laju pertumbuhan sapi. Hasil menunjukkan bahwa tiga model memiliki akurasi yang berbeda dan sangat tergantung pada usia, lingkungan dan lamanya pengamatan, semakin lama pengamatan ternyata bobot dewasa (A) semakin besar demikian juga dengan umur dan bobot pubertas. Model Gompertz merupakan model yang paling mudah dalam proses penghitungan, sedangkan model Logistic merupakan model yang lebih sulit dalam proses penghitung. Semua model menunjukkan akurasi yang tinggi dengan koefisien determinasi (R2) lebih dari 90%. Model Gompertz dan Logistic dapat direkomendasikan untuk memprediksi kecepatan atau laju pertumbuhan saat pubertas

Kata Kunci:Kurva pertumbuhan, koefisien determinasi, dara sapi perah FH

(32)

recommended for predicting the growth rate of heifers from birth to sexual maturity.

Keywords: Growth curves, determination coefficient, Holstein heifers

Pendahuluan

Permasalahan rendahnya produksi susu nasional menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan konsumen disebabkan antara lain oleh terbatasnya jumlah populasi sapi perah. Populasi sapi perah tahun 2013 adalah sebanyak 636 064 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013). Ketersediaan ternak pengganti atau replacement stock masih sangat kurang untuk meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Tidak tersedianya ternak pengganti disebabkan banyak peternak yang tidak mau memelihara pedet sampai menjadi dara siap kawin, karena dianggap kurang menguntungkan.

Masa depan usaha sapi perah tergantung dari keberhasilan program pembibitan khususnya pembesaran pedet dan dara sebagai ternak pengganti. Pemeliharaan pedet membutuhkan ketekunan yang tinggi, pedet yang lahir sehat dan kuat lebih mudah dipelihara. Peternak perlu memberikan perhatian yang lebih besar dalam dua bulan pertama pasca lahir karena kematian pedet dapat mencapai 20% (Folley et al. 1973). Bantuan yang tepat pada saat pedet dilahirkan, penanganan secara higienis dan pencegahan penyakit yang dapat menjamin kesehatan pedet perlu diterapkan.

Bibit unggul dapat dihasilkan dari tetua yang unggul juga. Kendala yang terjadi pada peternak sapi perah adalah terlambatnya kawin pertama dikarenakan tidak tercapainya bobot badan siap kawin, yaitu sekitar 300-325 kg. Pencapaian bobot kawin pertama ini sangat ditentukan oleh pertumbuhan pedet dari mulai dilahirkan sampai pada saat siap kawin, yang dipengaruhi oleh potensi genetik, asupan pakan dan manajemen pemeliharaan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah belum lengkapnya catatan tentang identifikasi dari setiap ternak sapi perah yang dilahirkan pada setiap peternakan, hal ini berdampak pada kemajuan usaha peternakan yang dikelolanya. Selain itu, sampai saat ini masih belum terdapat standar pertumbuhan optimum untuk pedet sapi perah, sehingga peternak sulit untuk menentukan pemenuhan kondisi pedet pada batas minimal atau di bawah batas minimal bobot badan pada umur tertentu untuk mencapai bobot kawin pertama yang diharapkan.

Analisis pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan kurva pertambahan bobot badan dalam rentang umur tertentu. Berdasarkan teori dasar, pertumbuhan dibagi dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase dengan laju pertumbuhan (slope) bersifat positif dan pada kondisi slope bersifat negatif. Titik peralihan dari dua sifat yang berbeda ini akan didapatkan pada titik belok suatu lereng kurva pertumbuhan. Penentuan titik peralihan tersebut memerlukan model yang tepat, karena model konvensional yang hanya menggunakan perhitungan dengan regresi linier tidak mampu menjelaskan fenomena yang ada (Brody 1945).

(33)

dipengaruhi oleh pertumbuhan dan bobot hidup yang dicapai selama masa prepubertas (Sejrsen and Purup 1997).

Kemajuan teknologi komputasi yang membantu dalam penghitungan matematik telah banyak menghasilkan model kurva yang digunakan dalam analisis pertumbuhan, antara lain Brody, Richard, Huxley, Logistic, von Bertalanffy dan Gompertz. Model yang sering digunakan adalah model kurva pertumbuhan Logistic, von Bertalanffy dan Gompertz. (Brown et al. 1976) Pertimbangan dipilihnya ketiga model tersebut antara lain adalah telah terbukti dari penelitian sebelumnya bahwa ketiga model pertumbuhan tersebut sangat baik untuk digunakan pada data kuantitatif yang bersifat longitudinal dari berbagai jenis ternak, hewan, tumbuhan dan bahkan sangat baik untuk menganalisis pola pertumbuhan bakteri/mikroorganisme rumen. Namun demikian kelemahan umum dari ketiga model tersebut adalah menghendaki adanya keseragaman lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin yang sesuai dengan situasi dan kondisi skala industri peternakan sapi perah. Peternakan yang dijadikan objek adalah PT Taurus Dairy Farm Sukabumi dan BBPTU-SPSapi Perah Baturraden, yang merupakan salah satu industri peternakan sapi perah dan Balai Perbibitan yang mempunyai pencatatan yang baik dan teratur.

Metode Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penimbangan bobot badan dari sapi perah FH betina sejumlah 1221 ekor yang dikoleksi oleh PT Taurus Dairy Farm Sukabumi dari tahun 2001 sampai 2011. Sapi dara yang mempunyai data lengkap dari lahir sampai kawin pertama sejumlah 373 ekor. Pengukuran bobot badan dilakukan selang satu bulan hingga ternak siap untuk dikawinkan pertama kali (15–30 bulan). Sedangkan untuk data BBPTU-SP Baturraden 214 ekor data kelahiran sampai ternak siap untuk dikawinkan pertama kali dari 2010 sampai 2011.

Tabel 1 Model matematik kurva pertumbuhan

Model Persamaan M Ut Sumber Pustaka

Keterangan: A= bobot tubuh (asimtot), yaitu pada nilai t mendekati tak terhingga, B = parameter skala (nilai konstanta integral); e = logaritma dasar (2.718282); k = rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh; M = Nilai yang berfungsi dalam pencarian titik infleksi (bentuk kurva); Ut = Y/A = proporsi kedewasaan ternak dibandingkan dengan bobot dewasa; t = waktu dengan satuan bulan

Interpretasi Biologis Parameter Kurva Pertumbuhan

(34)

A : Nilai asimtot merupakan nilai untuk t  ∞; secara umum dapat diinterpretasikan sebagai rataan bobot badan saat ternak mencapai dewasa tubuh terlepas dari fluktuasi karena faktor lingkungan.

Ut : Merupakan nilai proporsi bobot badan dibandingkan dengan bobot badan dewasa pada umur tersebut

B : Skala parameter (konstanta integrasi) digunakan untuk menggambarkan hubungan Y0 (bobot awal) dengan t lebih khusus untuk model Brody, namun untuk model lain hanya berfungsi sebagai konstata integral.

k : Parameter yang menunjukkan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa. Ternak dengan nilai k besar cenderung mempunyai bobot dewasa dini (cepat mencapai bobot dewasa).

t : Umur ternak dalam satuan waktu.

M : Parameter yang mempunyai fungsi sebagai penentu bentuk dari kurva untuk membantu penentuan titik infleksi.

Penentuan Titik Infleksi

Titik infleksi merupakan titik maksimum pertumbuhan bobot badan, pada titik tersebut terjadi peralihan perubahan yang asalnya percepatan pertumbuhan menjadi perlambatan pertumbuhan. Pada titik tersebut ternak mengalami pubertas. Titik infleksi adalah saat tingkat mortalitas ternak berada pada titik terendah dan pertumbuhan paling cepat sehingga paling ekonomis dari ternak. Penentuan titik infleksi secara biologis sulit untuk ditentukan namun dengan bantuan kurva pertumbuhan non linier masalah tersebut dapat dipecahkan.

Nilai parameter M dalam kurva pertumbuhan sangat berperan dalam penentuan terjadinya titik infleksi. Model Brody yang mempunyai nilai M = 1 tidak mempunyai titik infleksi, sedangkan kurva model von Bertalanffy dan Gompertz mempunyai titik infleksi yang tetap. Namun hal tersebut kurang dapat diterima oleh Nedler (1961) yang mempunyai nilai M (yang juga terdapat pada model Richard) berupa angka dan berbeda untuk setiap individu atau setiap populasi dan lebih dapat diterima dari segi biologis. Waktu infleksi dan bobot infleksi untuk berbagai model kurva pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Titik infleksi pada model kurva pertumbuhan non linier

Model Bobot Infleksi (Ut) Waktu Infleksi

Logistic A(M/M+1)M (ln M)/k

Gompertz Ae-1 (ln B)/k

von Bertalanffy A(8/27) (ln 3B)/k

Sumber : Brown et al. (1976) dan Suparyanto (1999)

Keterangan : B = Nilai skala parameter (konstanta integrasi); e = Bilangan natural (e = 2.718282); k = Rataan laju pertumbuhan; M = Nilai yang berfungsi dalam pencarian titik infleksi (bentuk kurva)

Penggunaan Program Komputer

(35)

sebelumnya. Proses tersebut berhenti saat jumlah kuadrat sisa pada proses iterasi selanjutnya relatif sama atau sering disebut telah mengalami konvergen. Program komputer sangat diperlukan dalam pendugaan parameter-parameter dalam model non linier. Paket program SAS (SAS Institute Inc, 2004) menyediakan program khusus untuk mencari parameter dalam model non linier yaitu dengan menggunakan prosedur NLIN (Non Linear). Kriteria konvergen dalam program SAS 9.2, yaitu jika memiliki kriteria sebagai berikut :

(SSEi-1– SSEi)/(SSEi + 10-6) < 10-8

Keterangan : SSEi merupakan jumlah kuadrat sisa pada iterasi ke i

Secara sistematis Ismail et al. (2003) menyarankan beberapa tahap dalam menganalisis model non linier sebagai berikut :

 Penentuan nama dan nilai awal parameter

 Penulisan model (menggunakan satu variable tak bebas)

 Penurunan parsial terhadap setiap parameter (kecuali metode DUD)

 Penulisan turunan kedua terhadap setiap parameter yang akan diduga (hanya untuk metode Newton).

Paket SAS menyediakan lima alternative metode iterasi yang sudah sahih yaitu Steepest descent atau gradient method (Gradient), Newton Method (Newton), Modified Gauss-Newton (Gauss), Multivariate secant or false position method atau Doesn’t UseDerivate (DUD) dan Marquardt method (Marquardt).

Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara parameter, sehingga metode iterasi yang digunakan adalah metode Marquardt. Metode Marquardt merupakan metode penggabungan antara metode Gradient dan metode Gauss-Newton. Metode iterasi tersebut sangat berguna untuk pendugaan parameter yang mempunyai korelasi sehingga menyulitkan untuk mencapai konvergen.

Turunan Parsial Parameter Model

Metode Marquardt yang digunakan dalam proses iterasi memerlukan penurunan parsial terhadap parameter yang diduga. Turunan parsial tiap model kurva pertumbuhan non linier yang digunakan tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Turunan parsial model-model Logistik, Gompertz dan von Bertalanffy Penurunan parsial terhadap beberapa parameter

Model Logistic Y= A (1+e-kt)-M

(36)

k = Rataan laju pertumbuhan menuju dewasa tubuh; M = Nilai yang berfungsi dalam pencarian titik infleksi (bentuk kurva)

Metode Penetapan Kurva Pertumbuhan dengan Proses Iterasi

Proses iterasi yang dilakukan dalam penelitian ini maksimum 100 kali dengan menggunakan nilai awal parameter (starting value) yaitu nilai yang mempunyai selang dengan ketepatan yang sama untuk setiap model. Dengan demikian perbandingan jumlah iterasi dari setiap model dapat dilakukan dengan tidak bias. Metode iterasi yang digunakan adalah metode Marquardt yang membutuhkan penurunan parsial terhadap parameter kurva pertumbuhan yang ditunjukkan pada Tabel 3, sedangkan kriteria konvergen yang digunakan tidak dilakukan pengaturan lagi.

Metode Perbandingan antar Model Non Linier

Perbandingan model pertumbuhan non linier didasarkan pada dua kriteria, yaitu kemudahan dalam penghitungan dan ketepatan dalam penggambaran data lapangan. Parameter yang digunakan untuk mengevaluasi kriteria tersebut adalah :

1. Jumlah Iterasi

Semakin banyak iterasi yang dilakukan berarti model tersebut semakin sulit untuk mencapai konvergen.

2. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi merupakan keofisien yang menggambarkan tingkat variasi dari data lapangan yang dapat dijelaskan oleh suatu model. Rumus koefisien determinasi yang akan diperoleh dari pengolahan program SAS 9.2 Proc NLIN adalah:

( )

R2 = Koefisien determinasi (%); JKS = Jumlah Kuadrat Sisa (Residual Sum Square); JKTT = Jumlah Kuadrat Total Terkoreksi (Corrected Total Sum Squares)

Hasil dan Pembahasan

(37)

Tabel 4 Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas

Model Model t(i) (bulan) Y(i) (kg)

Logistic Y= A (1+e-kt)-M

29 bulan Y= 343.6 (1+e-0.1416t)-2.9119 7.5481 145.4503 21 bulan Y= 306.3 (1+e-0,1750t)-3.0063 6.2898 129.1897 Baturraden Y= 514.2 (1+e-0.1284t)-3.2964 9.2900 214.7002 Gompertz Y= A exp (-Be-kt)

29 bulan Y= 354.5 exp (-2,1385e-0.1179t) 6.4470 130.4133 21 bulan Y= 319.1 exp (-2,2040e-0.1437t) 5.4995 117.3903 Baturraden Y= 575.0 exp (-2.4499e-0.0978t) 9.1206 211.5307 Von Bertallanfy Y= A (1-Be-kt)3

29 bulan Y= 369.9 (1-0,5361e-0,0953t)3 4.9861 109.6000 21 bulan Y= 339.5 (1-0,5454e-0,1120t)3 4.3962 100.5926 Baturraden Y= 707.1 (1-0.5939e-0.0641t)3 9.0104 209.5111 Keterangan : ti = waktu infleksi (bulan); Yi = bobot pada saat titik infleksi (kg); e

= bilangan natural (e = 2.718282); t = waktu pencatatan (bulan)

Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4, nilai parameter A (bobot dewasa) pada pencatatan 29 bulan, 21 bulan dan Baturraden yang paling besar dicapai dengan menggunakan model von Bertalanffy (369.9 kg, 339.5 kg dan 707.1 kg) diikuti model Gompertz (354.5 kg, 319.1 kg dan 575.0 kg) dan Logistic (343.6 kg, 306.3 kg, dan 514.2 kg). Nilai tertinggi untuk parameter B (koefisien integrasi atau proporsi bobot dewasa yang dicapai setelah lahir), dicapai pada model Logistic diikuti Gompertz dan von Bertalanffy. Disamping itu untuk nilai k (rata-rata kecepatan dewasa) tertinggi terdapat pada model Logistic diikuti oleh Gompertz dan von Bertallanfy.

(38)

Gambar 4 Kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin dengan lama pencatatan (A) 29 bulan, (B) 21 bulan dan (C)

Baturaden. Simbol (●) bobot teramati, (×) kurva Gompers, (▲) kurva Von Bertalanffy, dan (+) kurva Logistic

Kurva pertumbuhan secara umum berpola sigmoid (Gambar 4) yang mencerminkan pertumbuhan ternak dari awal dilahirkan, kemudian fase percepatan sampai mencapai titik infleksi, selanjutnya ternak mencapai dewasa tubuh dan pada fase ini sudah mulai terjadi perlambatan sampai pertumbuhan relatif konstan. Pada kurva pertumbuhan terdapat titik penting, yaitu titik balik pada saat ternak mencapai umur pubertas atau disebut titik infleksi. Hasil penelitian ini ternyata pada model von Bertalanffy umur pubertas dicapai lebih muda dibandingkan dengan model Gompertz dan Logistic.

Umur pubertas untuk pencatatan 29 bulan, 21 bulan dan Baturraden pada model von Bertalanffy dicapai pada umur 4.98 bulan, 4.39 bulan dan 9.01 bulan dengan bobot badan 109.60 kg, 100.59 kg dan 209.51 kg. Pada model Gompertz dicapai pada umur 6.45 bulan, 5.50 bulan dan 9.12 bulan dengan bobot badan 130.41 kg, 117.39 kg dan 211.53 kg sedangkan pada model Logistic dicapai pada umur 7.54 bulan, 6.29 bulan dan 9.29 bulan dengan bobot badan 145.45 kg, 129.19 kg dan 214.70 kg. Pubertas pada sapi FH terjadi pada umur 8-12 bulan (Folley et al. 1973), sedangkan Noor (2001) menyatakan bahwa pubertas pada sapi terjadi pada umur 8-18 bulan.

Umur dan bobot badan pada saat pubertas yang diprediksi dengan tiga model menunjukkan perbedaan. Model Logistic lebih mendekati untuk memprediksi umur dan bobot saat pubertas, diikuti dengan model Gompertz, sedangkan model von Bertalanffy menunjukkan nilai underestimate untuk memprediksi kriteria pubertas.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920212223242526272829

(39)

Bobot pada saat terjadinya titik infleksi dipengaruhi oleh faktor yang juga mempengaruhi bobot dewasa (A), karena bobot saat infleksi didapatkan melalui perkalian persentase dewasa pada titik infleksi (ti) dengan bobot dewasa (A). Umur pada saat terjadinya titik infleksi pertumbuhan merupakan titik yang paling ekonomis pada ternak. Titik tersebut mengindikasikan beberapa hal yaitu (1) terdapatnya pertumbuhan maksimal dari ternak, (2) umur pada saat pubertas, (3) titik terendah dalam mortalitas dan (4) titik tersebut bisa digunakan dalam determinasi geometris dalam perbandingan antar spesies (Brody 1945).

Tingkat Kemudahan Perhitungan

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa model von Bertalanffy dan Logistic memerlukan proses iterasi yang lebih banyak dibandingkan dengan model Gompertz pada pencatatan 29 bulan, sedangkan pada pencatatan 21 bulan model Logistic memerlukan iterasi lebih banyak dibandingkan dengan model von Bertalanffy dan Gompertz, serupa dengan Baturraden model Logistic memerlukan prosesiterasi yang lebih banyak dibandingkan dengan Gompertz dan von Bertalanffy. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparyanto et al. (2001) yang membandingkan model yang sama pada ternak domba Sumatera dan Persilangannya dengan menggunakan data populasi dan penelitian yang dilakukan oleh Inounu et al. (2007), bahwa proses iterasi model von Bertallanfy merupakan model paling sulit untuk mencapai kriteria konvergen dan diikuti oleh model Logistic dan Gompertz pada analisis kurva pertumbuhan domba Garut dan persilangannya.

Tabel 5 Jumlah iterasi untuk setiap model

Model Jumlah Iterasi

Pencatatan 29 bulan Pencatatan 21 bulan Baturraden --- kali ---

Logistic 72 63 99

Gompertz 64 48 6

Von Bertalanffy 72 56 7

Penelitian lain yang dilakukan oleh DeTorre et al. (1992) yang membandingkan model von Bertalanffy dengan model Richards dan Brody pada data individu ternak sapi Retinta melaporkan bahwa model von Bertalanffy dan Brody memerlukan proses iterasi yang sedikit. Perbedaan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh perbedaan spesies yang menyebabkan perbedaan proses pertumbuhan, karena proses pertumbuhan sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat kemudahan estimasi parameter kurva pertumbuhan non linear (Carrijo dan Duarte 1999).

Gambar

Gambar 1 Alur metode analisis data
Gambar 2 Alur pembuatan simulasi pertumbuhan
Tabel 4 Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas
Gambar 4 Kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil regresi pengaruh pendapatan daerah dan Kinerja Keuangan terhadap Kesejahteraan Masyarakat yang diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah

Berdaparkan hasil wawancara dengan Bpk. Barokah, S.Ag selaku guru agama pada hari Selasa tanggaI 18 Juli 2006 pada jam 08.30 dan observasi serta diperkuat dengan doktunentasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses jual beli gamelan berawal dari pembeli memesan gamelan kepada pengrajin gamelan, proses penyelesaian perkara jual beli

Tabel 4 menunjukkan nilai % SID untuk uji kesesuaian titik pusat image intensifier dengan monitor yang diujikan pada pesawat fluoroskopi intervensional masih di

Performance Indicator ) nya adalah kuat sinyal yang diterima sebesar 60.52%,. kualitas sinyal yang diterima sebesar 57.36%, kualitas suara yang

Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Aylin et al tentang kontrol asma dan kualitas hidup yaitu rerata skor Tes Kontrol Asma adalah 20 yang berarti tingkat kontrol

Kita hendaknya juga mulai belajar untuk menerapkan nilai-nilai dalam agama yang telah kita pelajari dan terima, kita juga hendaknya lebih peduli terhadap sesama kita dan juga

Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian terdahulu menggunakan kepemilikan institusional sebagai variabel independen, sedangkan