PENGARUH SUHU PEMANASAN dan KONSENTRASI
GAS CO
2PADA PEMBUATAN KITOSAN
KULIT UDANG LARUT AIR
SKRIPSI
OLEH :
BOYDO R. PARDEDE
050305038 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
KULIT UDANG LARUT AIR
SKRIPSI
OLEH :
BOYDO R. PARDEDE
050305038 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Melakukan
Penelitian di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing :
Ir. Terip Karo-Karo, MS. Ir. Setyohadi, MSc. Ketua Anggota
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
Boydo R. Pardede: PENGARUH SUHU PEMANASAN DAN KONSENTRASI
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 pada pembuatan kitosan kulit udang larut air. Penelitian ini
menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu suhu pemanasan (S1= 50
K2=10%, K3=15%, K4=20%). Parameter yang dianalisa yaitu uji organoleptik warna dan
aroma, total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, stabilitas relatif dan konsentrasi larutan jenuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap organoleptik warna, viskositas dan kestabilan relatif larutan kitosan larut air; berbeda tidak nyata terhadap organoleptik aroma, total mikroba, kejernihan larutan dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air. Konsentrasi gas CO2
memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, kestabilan relatif dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air; berbeda tidak nyata terhadap organoleptik warna dan aroma. Interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh berbeda nyata terhadap uji organoleptik warna
tetapi berbeda tidak nyata terhadap uji organoleptik aroma, total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, kestabilan relatif dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air. Suhu pemanasan 80oC dan konsentrasi gas CO2 20 % menghasilkan kitosan larut air yang
paling baik.
Kata Kunci : Suhu pemanasan, Konsentrasi gas CO2 dan Kitosan larut air
Boydo R. Pardede: EFFECT OF HEATING TEMPERATURE AND CO2 GAS CONCENTRATION ON MAKING THE SKIN SHRIMP
WATER SOLUBLE CHITOSAN Supervised by: Terip Karo-Karo
Setyohadi ABSTRACT
This aim of the research was to know the effect of heating temperature and the concentration of CO2 gas in the manufacture of water solubl shrimp shell chitosan. This study was conducted using completely randomized design (CRD) with two factors: heating temperature (S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70°C, S4 = 80°C) and CO2 gas concentrations (K1 = 5%, K2 = 10%, K3 = 15%, K4 = 20%). Parameters analyzed were organoleptic value of colour and flavour, total microbe, solution clarity, viscosity, relative stability and the saturated concentration of solution.
concentration of water-soluble chitosan solution. Heating temperature of 80°C and 20% concentration of CO2 gas produces the best water soluble chitosan.
RINGKASAN
BOYDO R PARDEDE, “ Pengaruh Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Gas
CO2 pada Pembuatan Kitosan Kulit Udang Larut Air “ dibimbing oleh Ir. Terip
Karo – Karo , MS dan Ir. Setyohadi, MSc sebagai ketua dan anggota komisi
pembimbing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan
dan konsentrasi gas CO2 pada pembuatan kitosan kulit udang larut air.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2
faktor yaitu:1. Suhu pemanasan terdiri dari 4 taraf yaitu S1 = 50oC; S2 = 60oC; S3 =
70oC dan S4 = 80oC dan factor 2. Konsentrasi gas CO2 terdiri dari 4 taraf yaitu K1 =
5%; K2 = 10%; K3 = 15% dan K4 = 20%.
1. Rendemen Kitosan
Rendemen kitosan yang dihasilkan adalah 1,3 g untuk semua perlakuan.
2. Uji Organoleptik Warna
Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap organoleptik warna. Nilai Organolepti warna (numerik) larutan kitosan
larut air tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (suhu pemanasan 50 oC) dan S2
(suhu pemanasan 60 oC) yaitu sebesar 2,288 dan terendah diperoleh pada S4 (suhu
pemanasan 80 oC) yaitu sebesar 1,763.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (p>0,05)
nyata (P<0,05) terhadap organoleptik warna larutan kitosan larut air. nilai
organoleptik warna (numerik) tertinggi terdapat pada perlakuan S2K1 yaitu
sebesar 2,600 dan terendah pada perlakuan S4K1 sebesar 1,500.
3. Uji Organoleptik Aroma
Suhu pemanasan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (p>0,05)
terhadap organoleptik aroma larutan kitosan larut air.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata
(p>0,05) terhadap organoleptik aroma larutan kitosan larut air.
suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang berbeda
tidak nyata (p>0.05) terhadap organoleptik aroma kitosan larut air.
4. Total Mikroba
Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (p>0.05)
terhadap total mikroba larutan kitosan larut air.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap total mikroba larutan kitosan larut air. Total mikroba tertinggi diperoleh
pada perlakuan K1 (konsentrasi gas CO2 5%) sebesar 27,916 kol/ml dan terendah
pada perlakuan K4 (konsentrasi gas CO2 20 %) sebesar 14,167 kol/ml.
Suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata (p>0,05) terhadap total mikroba larutan kitosan larut air.
5. Kejernihan Larutan
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap kejernihan larutan kitosan larut air. Kejernihan larutan tertinggi
diperoleh pada perlakuan K1 (konsentrasi gas CO2 5%) sebesar 75,113 %T dan
terendah pada perlakuan K4 (konsentrasi gas CO2 20 % T) sebesar 63,239 % T.
Suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata (p>0,05) terhadap kejernihan larutan kitosan larut air.
6. Viskositas
Suhu pemanasan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata
(p<0,01) terhadap viskositas larutan kitosan larut air. Viskositas tertinggi terdapat
pada perlakuan S4 (suhu pemanasan 80oC) yaitu sebesar 1,772 cPoise dan
terendah pada perlakuan S1 (suhu pemanasan 50oC) yaitu sebesar 1,485 cPoise.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap viskositas larutan kitosan larut air. Nilai viskositas larutan kitosan larut
air tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (konsentrasi gas CO2 20%) sebesar 2,013
cPoise dan terendah pada perlakuan K1 (konsentrasi gas CO2 5%) sebesar 1,132
cPoise.
Suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata (p>0.05) terhadap viskositas kitosan larut air.
7. Kestabilan Relatif
Suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap kestabilan relatif larutan kitosan larut air. Nilai kestabilan relatif larutan
50oC) selama 8.125 jam.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap kestabilan relatif larutan kitosan larut air. Nilai kestabilan relatif larutan
kitosan larut air tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (konsentrasi gas CO2 20%)
selama 16,375 jam dan terendah terdapat pada perlakuan K1 (konsentrasi gas CO2
5%) selama 3,875 jam.
Suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata (p>0.05) terhadap kestabilan relatif larutan kitosan larut air
kitosan larut air.
8. Konsentrasi Larutan Jenuh Kitosan Larut Air
Suhu pemanasan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (p>0,05)
terhadap konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air.
Konsentrasi gas CO2 memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (p<0,01)
terhadap konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air. Nilai konsentrasi larutan jenuh
kitosan larut air tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (konsentrasi gas CO2 20%)
sebesar 1.268 g dan terendah terdapat pada perlakuan K1 (konsentrasi gas CO2
5%) sebesar 0.273 g.
Suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh yang
RIWAYAT HIDUP
BOYDO R PARDEDE dilahirkan di Sibolga pada tanggal 08 November 1986. Anak pertama dari bapak Bongsu Pardede dan ibu Ramla Hutapea. Penulis
merupakan anak pertama dari satu bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari TK Maria Mutiara Sibolga, tahun 1999 lulus
dari SD Sw. RK 4 Sibolga, tahun 2002 lulus dari SMP Sw. Fatima Sibolga dan
pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sibolga. Pada tahun 2005 lulus
seleksi masuk USU melalui jalur SPMB di Program Studi Teknologi Hasil
Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian.
Penulis telah mengikuti Praktek Kerja Lapangan di PKS Wilmar Asahan,
Sumatera Utara Juli 2008. Selama mengikuti perkuliahan juga aktif berorganisasi
di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 2008 - 2009, anggota
Majelis Musyawarah Fakultas (MMF) di pemerintahan mahasiswa Fakultas
pertanian periode 2009 – 2010, wakil ketua Kumpulan Aspirasi Mahasiswa
Bersatu (KAM Bersatu) periode 2008 – 2009, anggota Ikatan Mahasiswa
Teknologi Hasil Pertanian (IMTHP) periode 2008 – 2009.
Puji dan syukur terlebih dahulu penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai.
Skripsi ini berjudul ” Pengaruh Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Gas CO2
Pada Pembuatan Kitosan Kulit Udang Larut Air ”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Ir. Terip Karo-Karo, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta
Bapak Ir. Setyohadi MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, pengarahan serta saran-saran dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, terutama ibu
tercinta Ramla Hutapea yang telah banyak memberikan dukungan dan doa dalam
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada seluruh keluarga yang memberikan dukungan kepada penulis
selama melaksanakan tugas akhir yang penulis lakukan. Terima kasih yang
sebesar – besarnya penulis ucapkan kepada ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin atas
motivasi yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada seluruh staf Pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian atas
bimbingan dan motivasinya serta seluruh pegawai tata usaha yang selalu bersedia
membantu penulis dalam menyelesaikan segala administrasi.
Dan tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
P. Situmorang, STP, Asman S. Daulay, STP dan teman – teman dari departemen
lain yang telah membantu dan menberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Medan, Agustus 2011
Hal
Pendayagunaan Limbah Udang... 6
Kandungan Kimia Limbah Udang... . 7
Kitin dan Kitosan ... 8
Kitin ... 8
Kitosan ... 10
Kitosan Larut Air... 11
Sifat-sifat Kimia Kitin dan Kitosan... 14
Sifat Kimia Kitin... 14
Sifat Kimia Kitosan ... 15
Ekstraksi Kitin dan Kitosan ... 17
Deproteinasi ... 17
Demineralisasi ... 18
Ekstraksi Kitosan ... 19
Deasetilasi ... 19
Pemanfaatan Kitosan ... 20
Medis ... 20
Industri Tekstil ... 21
Bidang Pangan ... 21
Anti Bakteri ... 22
Industri Kosmetika ... 23
Penelitian Sebelumnya ... 24
BAHAN DAN METODA PENELITIAN
Pelaksanaan Penelitian ... ... 28
Pembuatan Tepung Kulit Udang ... 28
Ekstrasi Kitin dari Tepung Kulit Udang ... 29
Ektraksi Kitosan dari Kitin ... 29
Pembuatan Kitosan Larut Air ... 30
Pengamatan dan Pengukuran Data ... 30
Penentuan Rendemen Kitosan Larut Air ... 31
Uji Organoleptik Warna Kitosan Larut Air ... 31
Uji Organoleptik Aroma Kitosan Larut Air ... 31
Uji Total Mikroba Metode Agar Cawan Petri ... 32
Uji Kejernihan Larutan Kitosan Larut Air ... 32
Penentuan Viskositas ... ... 33
Uji Kestabilan Relatif Larutan Kitosan Larut Air ... 33
Penentuan Konsentrasi Larutan Jenuh Kitosan Larut Air... 34
SKEMA PENELITIAN Skema Pembuatan Tepung Kulit Udang... 35
Skema Ekstrasi Kitin dari Tepung Kulit Udang ... 36
Skema Ekstraksin Kitosan dari Kitin ... 37
Skema Pembuatan Kitosan Larut Air... 38
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Parameter ... 39
Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 Terhadap Parameter ... 40
Organoleptik Warna Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Organoleptik Warna ... 41
Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Organoleptik Warna ... 43
Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Organoleptik Aroma ... 45
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Organoleptik Aroma... 45
Total Mikroba
Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Total Mikroba ... 45 Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Total Mikroba ... 45
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Total Mikroba ... 48
Kejernihan Larutan
Pengaruh Suhu Pemanasan dengan terhadap Kejernihan Larutan .. 48 Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Kejernihan Larutan ... 49
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Kejernihan Larutan... ... 51
Viskositas
Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Viskositas ... 51 Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Viskositas ... 53
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Viskositas ... ... 55
Kestabilan Relatif Larutan Kitosan Larut Air
Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap kestabilan relatif larutan ... 55 Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap kestabilan relatif larutan 57
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap kestabilan relatif larutan ... 59
Konsentrasi Larutan Jenuh Kitosan Larut Air
Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap konsentrasi larutan jenuh .... 59 Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap konsentrasi larutan jenuh 59
Pengaruh Interaksi Antara Suhu Pemanasan
DAFTAR TABEL
No. JUDUL Hal
1. Komposisi Kimia Limbah Udang dan Kulit Udang ………..… 8
2. Kandungan Kitin dan Protein Berdasarkan Berat Kering Pada Limbah Crustaceae .... .... ………... 9
3. Spesifikasi Kitosan Niaga ... 16
4. Variasi Deasetilasi ...……. 20
5. Skala Uji Hedonik Warna ...………... 31
6. Skala Uji Hedonik Aroma ...………... 32
7. Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Parameter yang Diamati …… 39.
8. Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Parameter yang Diamati ... 40
9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Suhu Pelarutan Kitosan terhadap Organoleptik Warna ... ... ……… 41
10. Uji LSR Pengaruh Interaksi Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Organoleptik Warna Kitosan Larut Air ... ... ... ... … 44
11. Uji LSR Efek Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Total Mikroba ... 46
12. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Gas CO2 terhadap Kejernihan Larutan … … ... 49
13. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Viskositas ………... 51
Larutan Kitosan Larut Air ... 55
16. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Gas CO2
terhadap Kestabilan Relatif Larutan Kitosan Larut Air ……. ……… 57
17. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Gas CO2
DAFTAR GAMBAR
No. JUDUL Hal
1. Struktur tubuh Udang ………... ... .... 6
2. Struktur kitin ……….... .... .... .... .... .... .... .... .... .... 8
3. Struktur kitosan ………… .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... ... 11
4. Proses Pembuatan Tepung Kulit Udang ……... 35
5. Proses Ekstraksi Kitin dari Tepung Kulit Udang …... 36
6. Proses Ekstraksi Kitosan Dari Kitin ………... 37
7. Proses Pembuatan Kitosan Larut Air ... … ... 38
8. Grafik Hubungan Suhu Pemanasan terhadap Organoleptik Warna Larutan Kitosan Larut Air ... 42
9. Grafik Hubungan Interaksi Suhu Pemanasan dan Konsentrasi CO2 terhadap Organoleptik Warna Larutan Kitosan Larut Air ... 45
10. Grafik Hubungan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Total Mikroba Larutan Kitosan Larut Air ... ... 47
11. Grafik Hubungan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Kejernihan Larutan Kitosan Larut Air ... 50
12. Grafik Hubungan Suhu Pemanasan terhadap Viskositas Larutan Kitosan Larut Air ... 52
13. Grafik Hubungan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Viskositas Larutan Kitosan Larut Air ... 54
Larutan Kitosan Larut Air ... 58
16. Grafik Hubungan Konsentrasi Gas CO2 terhadap Konsentrasi
Boydo R. Pardede: PENGARUH SUHU PEMANASAN DAN KONSENTRASI
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 pada pembuatan kitosan kulit udang larut air. Penelitian ini
menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu suhu pemanasan (S1= 50
K2=10%, K3=15%, K4=20%). Parameter yang dianalisa yaitu uji organoleptik warna dan
aroma, total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, stabilitas relatif dan konsentrasi larutan jenuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap organoleptik warna, viskositas dan kestabilan relatif larutan kitosan larut air; berbeda tidak nyata terhadap organoleptik aroma, total mikroba, kejernihan larutan dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air. Konsentrasi gas CO2
memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, kestabilan relatif dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air; berbeda tidak nyata terhadap organoleptik warna dan aroma. Interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 memberi pengaruh berbeda nyata terhadap uji organoleptik warna
tetapi berbeda tidak nyata terhadap uji organoleptik aroma, total mikroba, kejernihan larutan, viskositas, kestabilan relatif dan konsentrasi larutan jenuh kitosan larut air. Suhu pemanasan 80oC dan konsentrasi gas CO2 20 % menghasilkan kitosan larut air yang
paling baik.
Kata Kunci : Suhu pemanasan, Konsentrasi gas CO2 dan Kitosan larut air
Boydo R. Pardede: EFFECT OF HEATING TEMPERATURE AND CO2 GAS CONCENTRATION ON MAKING THE SKIN SHRIMP
WATER SOLUBLE CHITOSAN Supervised by: Terip Karo-Karo
Setyohadi ABSTRACT
This aim of the research was to know the effect of heating temperature and the concentration of CO2 gas in the manufacture of water solubl shrimp shell chitosan. This study was conducted using completely randomized design (CRD) with two factors: heating temperature (S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70°C, S4 = 80°C) and CO2 gas concentrations (K1 = 5%, K2 = 10%, K3 = 15%, K4 = 20%). Parameters analyzed were organoleptic value of colour and flavour, total microbe, solution clarity, viscosity, relative stability and the saturated concentration of solution.
concentration of water-soluble chitosan solution. Heating temperature of 80°C and 20% concentration of CO2 gas produces the best water soluble chitosan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi udang merupakan salah satu produksi terbesar saat ini di
Indonesia sehingga dapat dijadikan komoditas ekspor yang dapat dihandalkan
karena udang merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi.Selain diekspor
secara utuh udang juga digunakan dalam proses produksi di Indonesia. Produksi
udang yang besar tersebut umumnya meninggalkan limbah yang besar, karena
yang dimanfaatkan hanya dagingnya sehingga kulit, ekor dan kepalanya menjadi
limbah produksi. Limbah dari kulit udang ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai
bahan pembuatan kitosan, namun hingga saat ini pemanfaatannya masih kurang
maksimal.
Selain dagingnya, limbah udang juga mengandung berbagai zat nutrisi
maupun zat lain yang bermanfaat untuk dijadikan penunjang bahan pangan
lainnya. Kulit udang mengandung protein (25% - 40%), kitin (15% - 20%) dan
kalsium karbonat (45% - 50%). Kandungan kitin pada kulit udang lebih sedikit
dibandingkan pada kulit kepiting. Kandungan kitin pada kulit kepiting mencapai
(50% - 60%). Namun bahan baku yang umumnya digunakan untuk pembuatan
kitin adalah kulit udang karena lebih mudah diperoleh dan lebih murah.
Produksi udang nasional relatif stabil. Kondisi ini menunjukkan usaha
tambak udang memberikan nilai ekonomi yang layak dan menguntungkan.
Sentra-sentra produksi utama tambak udang adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
merupakan daerah yang memiliki perairan luas berpotensi dalam bidang kelautan
di Indonesia.
Dengan besarnya produksi udang di Indonesia, maka diprediksikan
produksi kitin di Indonesia mampu mencapai 12.000 hingga 17.000 ton per tahun
dimana kitin tersebut dapat digunakan bahan pembuat kitosan. Produksi kitin
tersebut diperoleh pada umumnya dari limbah udang dan rajungan. Dengan
besarnya produksi kitin tersebut maka pendapatan Indonesia akan diperoleh
sebesar 60 hingga 89 juta dollar AS. Potensi tersebut merupakan estimasi dari
jumlah potensi bahan baku kitin dan kitosan di dua pulau, yaitu Sumatera dan
Bali.
Produksi terbesar penghasil kitin adalah pulau Sumatera dengan perkiraan
76.657 hingga 114.986 ton pertahun sedangkan Bali menghasilkan 3.643 hingga
4.128 ton per tahun. Hal ini didukung oleh perairan Sumatera dan Bali yang luas
dengan potensi sumber daya perairan khususnya potensi udang yang cukup besar
di kedua ulau tersebut.
Dengan memperhatikan bahan baku untuk produksi kitin yang besar,
Indonesia semestinya mampu memproduksi kitosan dalam jumlah yang besar
pula. Dimana kitosan sangat penting untuk perindustrian Indonesia yang sebagian
besar merupakan indutri makanan dan obat-obatan. Namun kenyataannya saat ini
kitosan di Indonesia diimport dari luar seperti Korea, India dan Jepang.
Sedangkan Indonesi hanya mampu memproduksi sekitar 40% dari jumlah
persediaan kitosan dalam negri. Hal ini karena kondisi perlengkapan dan ilmu
pengetahuan yang kurang baik sehingga negara kita tegantung pada import dari
Untuk memproduksi kitosan dari kitin dilakukan melalui beberapa tahap
dan menggunakan bahan kimia seperti NaOH dan suhu pemanasan. Dimana kedua
faktor tersebut menentukan mutu kitosan yang dihasilkan. Ektraksi kitosan dari
kulit udang dengan kondisi perlakuan yang tepat adalah demineralisasi dengan
HCl 10%, deproteinasi dengan NaOH 10% dan deasetilasi dengan NaOH 50%
dengan suhu 60 – 140oC.
Saat ini juga telah dilakukan penelitian tentang pembuatan kitosan larut
air, dimana ini merupakan penyempurnaan kitosan sebelumnya untuk
mempermudah penggunaanya dalam berbagai bidang. Untuk menghasilkan
kitosan larut air tersebut digunakan berbagai bahan pengencer salah satunya
adalah asam klorida.
Untuk memperoleh kitosan larut air perlu adanya bahan tambahan yang
digunakan salah satunya gas CO2, yaitu dengan melakukan pencampuran kitosan
dengan CO2 melalui pembuatan gel kitosan, yang mana suspensi gel menjadi
transparan dan viskositasnya akan meningkat seiring dengan penambahan
gelembung-gelembung gas CO2 yang menunjukkan bahwa kitosan telah larut
dalam air.
Gas CO2 dapat meningkatkan kelarutan kitosan didalam air, dimana akan
terbentuk gelembung – gelembung gas yang bercampur dengan kitosan dan air
akan meresap kedalam partikel kitosan dan dengan bantuan suhu yang tinggi
menyebabkan partikel tersebut akan menyatu dengan cairan. CO2 yang digunakan
dapat menggunakan gas CO2 dalam tabung gas atau mencampurkan bikarbonat
kedalam asam asetat yang mana hasil reaksi akan menghasilkan gas CO2.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang
” Pengaruh Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Gas CO2 Pada Pembuatan Kitosan Kulit Udang Larut Air” yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu
pemanasan dan konsentrasi gas CO2 terhadap pembuatan kitosan larut air dari
kulit udang.
Kegunaan Penelitian
Sebagai sumber informasi pada pembuatan kitosan larut air.
Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Program Studi
Teknologi
Hasil Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Hipotesa Penelitian
Suhu pemanasan berpengaruh terhadap rendemen dan mutu kitosan larut air. Konsentrasi gas CO2 berpengaruh terhadap rendemen dan mutu kitosan
larut air.
Interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi gas CO2 berpengaruh
TINJAUAN PUSTAKA
Udang (Peneus monodon)
Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya
alam yang tidak ada habisnya. Belum semua potensi kelautan yang ada telah
dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan udang untuk keperluan konsumsi
menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara
komersial. Cangkang hewan invertebrata laut, terutama Crustacea mengandung
kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies sedangkan
cangkang kepiting dapat mengandung kitin sampai 70%. Lebih dari 80.000 metrik
ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun, sedangkan di Indonesia
limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per tahun
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Udang dapat diklasisifikasikan sebagai berikut:
Klas : Crustacea (binatang berkulit keras)
Sub Kelas : Malacrostraca (udang-udangan tingkat tinggi)
Super Ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh)
Sub Ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang)
Famili : Palaemonidae, Penaidae
(Departemen Kelautan dan perikanan Republik Indonesia, 2003).
Produksi udang tambak meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan ekspor. Udang yang diekspor diantaranya dalam bentuk beku (block
peeled (tanpa kepala dan kulit).Usaha tersebut menghasilkan limbah udang dalam
jumlah cukup besar yang terdiri dari bagian kepala, kulit dan ekor. Kepala udang
merupakan salah satu hasil proses pengolahan produk perikanan yang dapat dibuat
menjadi silase. Selain menghasilkan produk berupa filtrat, silase kepala udang
juga menghasilkan limbah berupa ampas silase. yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku kitosan (Zahiruddin, et al., 2008).J).
Sekitar 35% dari cangkang kering udang mengandung kitin. Dari kitin
udang dapat dihasilkan sekitar 80% kitosan. Harga kitosan di pasaran dunia
adalah sekitar US$ 7.5/10g untuk kitosan dengan standar baik. Saat ini, 90%
pasaran kitosan dunia dikuasai oleh Jepang dengan produksi lebih dari 100 juta
ton setiap tahunnya. Indonesia dengan potensi laut lebih luas daripada Jepang
mempunyai peluang untuk mengambil bagian dari pasaran kitosan dunia (No dan
Meyer, 1997).
Struktur tubuh udang dapat dilihat pada gambar 1.
Pendayagunaan Limbah Udang
Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa kitin, 21% protein
dan 40-50% mineral. Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah
selulosa yang mempunyai rumus kimia poli(2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa)
dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.
Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang
terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah
OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. (Muzzarelli, 1985).
Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri
udang beku baru sebagian kecil yang dimanfaatkan, yaitu dibuat tepung kepala
udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan
ternak. Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor dengan mudah
didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini
dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang
dihasilkan oleh limbah industri (Mudjiman, 1982).
Kandungan Kimia Limbah Udang
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan
udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat
udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan
udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang
terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain
(Anonim, 1994).
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata)
yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969).
Kulit udang mengandung protein sebanyak (25 % - 40%), kalsium
karbonat (CaCO3) (45% - 50%) dan kitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan
komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. (Focher et al., 1992).
Komposisi Kimia Udang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Limbah Udang dan Kulit Udang.
Komposisi Limbah Udang Kulit Udang
Protein kasar (%) 35,8 16,9 Lemak (%) 9,9 0,6 Serat Kasar (%) 13,20 0 Abu (%) 38,1 63,6 Ca (%) 12,3 24,8 Astaxanthin (ppm) 78 108
Sumber: No et al, 1989.
Kitin dan Kitosan Kitin
Kitin sebagai prekusor kitosan pertama sekali ditemukan pada tahun 1811
oleh Henri Braconnot yang diisolasi dari jamur, dan 10 tahun kemudian
ditemukan kitin dari kulit serangga. Kitin merupakan polimer kedua terbesar
dibumi setelah selulosa dan merupakan konstituen utama dari kulit luar binatang
Struktur kitin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kitin (poli-N-asetil-glukosamin) (Kaban , 2009).
Kitin memiliki rumus molekul (C8H13NO5)n dengan komposisi
perbandingan massa atom C : 47,29%, H : 6,45%, N : 6,89%, O : 39,37%.
Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral dan berbagai
macam pigmen (Hirano, 1986).
Dalam cangkang udang, kitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang
berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3),
protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh
kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein
(deproteinasi) danpemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk
mendapatkan kitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi
(Wardaniati dan Setyaningsih, 1999).
Kandungan kitin dan protein pada limbah Crustaceae dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Kitin dan Protein Berdasarkan Berat Kering Pada Limbah
Sumber: Synowiecky dan Al-Khateeb (2003)
Sifat kitin adalah berbentuk hablur, berwarna putih, tidak larut dalam air,
asam, basa alkohol dan pelarut organik tetapi larut dalam asam fosfat, asam sulfat
pekat, asam klorida pekat dan asam format anhidrat. Campuran dimetil asetamida
yang mengandung 5 % litium klorida merupakan sistem pelarut yang efektif
melarutkan kitin (Gupta dan Kumar, 2000 ; Suhartono dan Lestari, 2000).
Kitosan
Kitosan ditemukan pertama sekali oleh C. Rouget pada tahun 1859 dengan
cara merefluks kitin dengan kalium hidroksida pekat. Dalam tahun 1934, dua
paten didapatkan oleh Rigby yaitu penemuan mengenai pengubahan kitin menjadi
kitosan dan pembuatan film dari serat kitosan. Perkembangan penggunaan kitin
dan kitosan meningkat pada tahun 1940-an, dan semakin berkembang pada tahun
1970-an seiring dengan diperlukannya bahan alami dalam berbagai bidang
industri (Kaban, 2009).
Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer
alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada
serangga, krustasea, dan fungi. Diperkirakan lebih dari 109-1010 ton kitosan
berpotensi menghasilkan kitin danproduk turunannya. Limbah cangkang rajungan
di Cirebon saja berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri
kecil. Kitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan
masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang memiliki industri
pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah. Pasar dunia untuk
produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer kitosan adalah produk yang
termahal, yaitu senilai $ 600.000/ton (Sandford, 2003).
Secara garis besar pembuatan kitosan meliputi : cangkang udang basah
→ dicuci dan dikeringkan → digrinding dan diayak sampai lolos ayakan dengan
diameter rata-rata 0,356 mm→ penghilangan protein (deproteinasi) → dicuci
dengan air → penghilangan mineral (demineralisasi)→ dicuci dengan air → penghilangan warna → dicuci dengan air dan dikeringkan (terbentuk kitin) →
penghilangan gugus asetil (deasetilasi) → dicuci dengan air dan dikeringkan →
terbentuk produk biopolimer kitosan (Hargono, et al, 2008).
Struktur kitosan dapat diliha pada Gambar 3.
Gambar 3. Kitosan (poli-glukosamin) (Kaban , 2009).
Kitosan Larut Air
Kitosan dari kulit udang mempunyai berat molekul yang cukup tinggi dan
tergantung dari sumber bahan baku. Oleh karena itu, untuk memperluas aplikasi
dari kitosan perlu dilakukan usaha untuk memperkecil berat molekul dari kitosan
ikatan β-glikosidik dari kitosan. Selain itu hasil dari penelitiannya Li et al (2005)
menemukan bahwa nilai berat molekul kitosan yang semakin rendah karena
proses hidrolisis enzimatis akan menurunkan nilai dari derajat deasetilasi juga
karena enzim selektif dalam memutus ikatan glikosidiknya.
Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang berperan dalam pemecahan
kitin. Kemampuannya dalam menghidrolisis kitin pada suhu tinggi merupakan hal
yang menarik dalam pengisolasian bakteri kitinase termofilik. Pengaruh suhu
terlihat pada reaksi – reaksi kimia, yang dikatalisis terhadap enzim. Hal ini
disebabkan karena enzim merupakan struktur protein yang akan mengalami
denaturasi jika suhunya dinaikkan (Girindra, 1993).
Lehninger (1998) menyatakan bahwa aktifitas suatu enzim dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu pH, konsentrasi substrat dan enzim, suhu dan adanya
aktivator dan inhibitor. Menurut Darwis dan Sunarti (1992) enzim mampu
mempercepat reaksi paling sedikit 1 juta kali lebih cepat dari reaksi yang tidak
dikatalis.
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis kitosan merupakan
proses pemecahan molekul menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih
sederhana monosakaridanya. Proses hidrolisis ini bisa dibagi menjadi 2 katagori
yaitu kimiawi dan enzimatis. (Akiyama, et al., 1995).
Faktor- faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis kimia antara lain
konsentrasi katalis, ukuran partikel, temperatur hidrolisis, lama hidrolisis, dan
pengadukan. Faktor lain yang berpengaruh adalah ukuran partikel dimana
kelarutannya dalam air. Temperatur hidrolisis akan mempengaruhi laju reaksi
hidrolisis. Semakin tinggi temperatur hidrolisis, maka hidrolisis akan berlangsung
lebih cepat. Hal ini disebabkan konstanta laju reaksi meningkat dengan
meningkatnya temperatur operasi, sedangkan semakin lama reaksi akan
meningkatkan yield dan konversi yang dicapai. Pengadukan larutan sangat
penting dalam proses hidrolisis karena akan meningkatkan transfer massa reaksi
yang berakibat adanya peningkatan laju reaksi hidrolisis (Savitri, et al., 2009).
Adanya gugus karboksil merupakan suatu indikasi kuat kitosan larut air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen kitosan larut air antara
118,0 - 129,4 % yang dihitung terhadap bobot kitosan. Dalam pembuatan kitosan
larut air suhu sangat berpengaruh. Nilai rendemen meningkat seiring dengan
peningkatan suhu. Nilai rendemen tertinggi ditemukan pada suhu 90oC.
Peningkatan rendemen melebihi 100 % (Basmal, et al., 2007).
Menurut Bastaman (1989) suhu yang semakin tinggi pada pelarutan
kitosan mengakibatkan konsentrasi kitosan yang larut pada asam semakin tinggi.
Namun biasanya pelarutan kitosan pada suasana asam hanya menggunakan suhu
kamar. Kenaikan viskositas lebih dipengaruhi oleh kenaikan suhu dari pada
perpanjangan waktu. Peningkatan viskositas diduga karena masih tingginya
kandungan asetil dalam kitosan sehingga dengan kenaikan suhu yang semakin
tinggi, semakin banyak asetil terlarutkan, sehingga derajat deasetilasi meningkat
dan viskositas meningkat (menjadi lebih kental seperti gel) dengan meningkatnya
suhu.
Pada proses hidrolisis kitosan di dalam asam monokloroasetat bahwa
memeprcepat reaksi antara kitosan dengan asam monokloroasetat
(Basmal, et al., 2007).
Gel kitosan dan kitin terdeasetilasi (DAC 50) terdispersi dalam air dengan
mudah dan dilarutkan oleh gelembung gas CO2 pada emulsi. Molekul CO2
terlarut bereaksi dengan molekul H2O membentuk H2CO3. Molekul H2CO3
terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. H2CO3 dikenal sebagai asam. Seperti asam
asetat dan laktat yang memiliki kemampuan untuk melarutkan kitosan, CO2 juga
dapat menghancurkan kitosan menjadi gel kitosan (Sakai et al., 2002).
Dalam penggunaan kitosan CO2, bagaimanapun CO2 yang terlarut mudah
terlepas ke udara sebagai gas selama penguapan air. Sehingga, molekul H2CO3
terurai kembali menjadi CO2, dan perubahan ini juga menyebabkan penurunan ion
HCO3- yang berperan dalam melarutkan kitosan. Akibatnya, kitosan yang
dilarutkan kehilangan stabilitas dan membentuk lapisan film tanpa asam
(Sakai, et al., 2002).
Menurut Juliantara (2009) larutan jenuh yaitu suatu larutan yang
mengandung sejumlah solute yang larut dan mengadakan kesetimbangn dengan
solut padatnya. Atau dengan kata lain, larutan yang partikel- partikelnya tepat
habis bereaksi dengan pereaksi (zat dengan konsentrasi maksimal).
Penampilan gel berubah tergantung pada konsentrasi NaOH yang
digunakan untuk menetralisasi pH. Ketika konsentrasi NaOH tinggi, tepung
kitosan yang mengendap sangat sulit dilarutkan dengan CO2. Sebaliknya, gel
menjadi lembut dan mudah larut saat konsentrasi rendah. Dalam hal ini, gel
dengan mudah dilarutkan oleh gelembung gas CO2. Hasil ini berarti bahwa nilai
konsentrasi NaOH yang digunakan tinggi. Namun, kitosan masih bisa dilarutkan
ketika konsentrasi NaOH yang digunakan rendah dan hanya sebagian kecil dari
kitosan tidak larut dan menggumpal, sehingga membentuk gel tidak larut.
(Sakai et al., 2002).
Kekuatan mekanik dari hidrogel dapat ditentukan dengan mengukur
kekuatan gel, perpanjangan atau elongasi dan viskoelastisitas. Faktor – factor
yang mempengaruhi sifat gel yaitu panas, pH, konsentrasi larutan, kekuatan ionok
dan adanya unsure lain (Mulyani, 2001).
Peningkatan konsentrasi asam akan memperbesar laju reaksi hidrolisis
sehingga rantai utama kitosan yang dapat terpotong semakin banyak dan berat
molekul kitosan menurun, sedangkan temperature hidrolisis juga memberikan
pengaruh terhadap penurunan berat molekul pada kitosan. (Savitri, et al., 2009).
Sifat – sifat Kimia Kitin dan Kitosan Sifat Kimia Kitin
Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus
yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2
adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida.
(Muzzarelli, 1985).
Sifat utama kitin sangat sulit larut dalam air dan beberapa pelarut organik.
Rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik, menyebabkan penggunaan
kitin relatif kurang berkembang dibandingkan dengan kitosan dan derivatnya.
Reaksi pada kondisi heterogen menimbulkan beberapa permasalahan termasuk
ketidakseragaman struktur produk, dan degradasi parsil disebabkan kondisi reaksi
yang kuat (Kaban, 2009).
Sifat Kimia Kitosan
Kitosan tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut asam dengan pH di
bawah 6,0. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam
asetat 1%, dengan pH sekitar 4,0. Pada pH di atas 7,0 stabilitas kelarutan kitosan
sangat terbatas. Pada pH tinggi, cenderung terjadi pengendapan dan larutan
kitosan membentuk kompleks polielektrolit dengan hidrokoloid anionik
menghasilkan gel (Kaban, 2009).
Menurut Kaban (2009), karena adanya gugus amino, kitosan merupakan
polielektrolit kationik (pKa 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami.
Karena sifatnya yang basa ini, maka kitosan:
a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental, sehingga
dapat digunakan untuk pembuatan gel dalam beberapa variasi konfigurasi
seperti butiran, membran, pelapis, kapsul, serat dan spons.
b. Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polielektrolit anion
yang dapat digunakan untuk pembuatan butiran, gel, kapsul dan membran.
c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat di mana gel-nya
menyediakan sistim proteksi terhadap efek destruksi dari ion.
Sedangkan sifat biologi kitosan antara lain:
a. Bersifat biokompatibel (sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat
samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna serta mudah diuraikan oleh
mikroba).
c. Mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan
tulang.
d. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.
e. Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat.
Sugita et al (2009) menyatakan bahwa kitosan adalah salah satu polimer
alami yang bersifat non – toksik, biokompatibel, biodegradabel dan bersifat
polikationik dalam suasana asam serta dapat membentuk gel (hidrogel) karena
adanya tautan silang ionik kitosan – kitosan.
Spesifikasi Kitosan Niaga yang beredar di pasaran dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi Kitosan Niaga
Parameter Ciri
Sumber: Purwatiningsih et al (2009).
Ekstraksi Kitin dan Kitosan Ekstraksi Kitin
Deproteinasi
Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa kitin, 21% protein
dan 40-50% mineral. Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah
β
dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.
Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang
terikat pada atom C-2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C-2 adalah
OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. (Muzzarelli, 1985).
Proses ini dilakukan pada suhu 60-70°C dengan menggunakan larutan
NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:10 (gr
serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 60 menit. Kemudian campuran
dipisahkan dengan disaring untuk diambil endapannya. Pencucian endapan
dilakukan dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Selanjutnya disaring
untuk diambil endapannya dan dikeringkan (Hargono et al,2008).
Efesiensi deproteinasi tidak hanya bergantung pada konsentrasi basa dan
suhu, tetapi juga spesies sumber kitin . Pada tahap deproteinasi. Protein diubah
menjadi garam natrium proteinat yang larut air. Purwatiningsih (1992) melakukan
penghilangan protein yang terkandung dalam limbah kulit udang windu (Peneus
monodon) menggunakan larutan NaOH 3,5 % (b/b) selama 2 jam pada 65o C
dengan pengadukan tetap dan nisbah padatan-pelarut 1 : 10 (b/v). Pengendapan
protein dari larutan garam natrium proteinat dilakukan dengan menggunakan HCl
pekat tetes demi tetes sampai tercapai titik isoelektriknya. Hasil analisis destruksi
endapan protein tersebut dengan HCl 6 N telah menunjukkan adanya kurang
lebih 15 jenis asam amino menggunakan metoda kromatografi cair kinerja tinggi
(HPLC).
Demineralisasi
Penghilangan mineral dilakukan pada suhu 25-30°C dengan menggunakan
serbuk/ml HCl) sambil diaduk selama 120 menit. Kemudian disaring untuk
diambil endapannya. Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan
aquadest sampai pH netral. Kemudian disaring, dan endapan dikeringkan
(Hargono, et al., 2008).
Kandungan mineral yang terbanyak dalam kulit udang adalah CaCO3
(kalsium karbonat). Menurut Knorr (1991) mineral CaCO3 lebih mudah
dipisahkan dibandingkan protein karena garam anorganik ini dapat dihilangkan
dari senyawa kitin dengan menggunakan HCl. Proses demineralisasi
menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH
dan HCOOH, umumnya menggunakan HCl dengan konsentrasi 10%, dengan
suhu perendaman menggunakan suhu kamar (36oC). Perendaman pada suhu
kamar lebih banyak dilakukan untuk meminimalkan hidrolisis pada rantai
polimer. Proses ini bertujuan memisahkan kitin dari CaCO3.
Asam klorida efektif untuk melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida,
biasanya dapat dilakukan dengan HCl 3 – 10% selama 5 - 7 jam pada suhu kamar.
Jika reaksi demineralisasi lama melebihi 24 jam maka akan merusak
kitin dimana proses deproteinasi dan desetilasi tidak sempurna
(Synoweiecky dan Al-Khateeb, 2003).
Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun
dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan
(Muzzarelli, 1985).
Ekstraksi Kitosan Deasetilasi
Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoretis ialah sebesar 21,2 %
(No et al., 1989).
Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa
kuat NaOH atau KOH. Penggunaan KOH ini dapat memutuskan ikatan hidrogen
yang kuat antar rantai kitin (Hirano, 1986).
Pada proses deasetilasi, degradasi oksidatif harus dicegah agar bobot
molekul kitosan yang diperoleh tinggi. Cara yang dapat ditempuh untuk
menghindari degradasi oksidatif ialah penapisan nitrogen atau penambahan
larutan basa sebelum reaksi (Johnson dan Peniston, 1982).
Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas dimasukkan dalam larutan
NaOH dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50 dan 60% (berat) pada suhu 90-100°C
sambil diaduk kecepatan konstan selama 60 menit. Hasilnya berupa slurry
disaring, endapan dicuci dengan aquadest lalu ditambah larutan HCl encer agar
pH netral kemudian dikeringkan (Hargono, et al,. 2008).
Proses deasetilasi bertuajuan untuk memutuskan ikatan hidrogen yang kuat
antar rantai kitin. Pada proses deasetilasi, degradasi oksidatif harus dicegah agar
bobot molekul kitosan yang diperoleh tinggi. Waktu deasetilasi yang panjang
dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peneurunan rendemen dan
bobot molekul kitosan dan kemampuan mekanik film kitosan (Johnson dan
Peniston, 1982).
Beberapa variasi konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan pada proses
Tabel 4. Variasi Deasetilasi
NaOH (%) Suhu (oC) Lama Pemanasan (Jam)
5 150 24
40 100 18
50 100 3 - 6
Sumber : Roberts (1992).
Pemanfaatan Kitosan
Sifat dan fungsi kitin dan kitosan sangat beragam kitin sangat menonjol dalam
kemampuannya sebagai absorben, sedangkan kitosan menonjol dalam
kemampuannya sebagai pengikat atau pengkelat dalam proses koagulasi dan
flokulasi, disamping itu juga berfungsi sebagai penstabil, pengental, pengisi, pen-jel,
film pembungkus dan lain-lain, sehingga sangat dibutuhkan dalam industri
obatobatan, kosmetik, pangan, cat, perekat, kertas, pengolahan limbah, pupuk dan
lainlain (Knorr, 1991).
Semakin tinggi mutu kitosan atau kitin berarti semakin tinggi pula
kemurniannya, salah satu parameter mutu kitin atau kitosan yang cukup penting
adalah derajat deasetilasinya. Semakin tinggi derajat deasetilasinya semakin tinggi
kemurniannya artinya kitin dan kitosan sudah murni dari pengotornya yaitu
protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan yang disertai
kelarutannya yang sempurna dalam asam asetat 1% (Suptijah, 2004).
Menurut Suptijah (2004), sehubungan dengan kebutuhan setiap industri
akan kitosan yang bermutu tertentu maka perlu didesain kondisi proses
Medis
Kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri, antimetastatik,
antiurikemik, antiosteoporotik dan immunoadjuvant (stimulator non spesifik
respons imun), menunjukkan potensi yang besar dalam meredakan dan mencegah
penyakit atau memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik. Material yang
dapat terurai dan nontoksik dapat mengaktifkan pasien menahan mencegah infeksi
dan mempercepat penyembuhan luka. Biokompatibilitas in vitro dari pembalut
luka dalam term toksisitas untuk fibroblast telah dinilai dan dibandingkan dengan
tiga pembalut luka komersial yang dibuat dari collagen, alginat dan gelatin.
Kitosan metil pirrolidin dan collagen adalah bahan yang paling kompatibel
(Kaban, 2009).
Industri Tekstil
Kitosan dan turunannya banyak digunakan sebagai coating material untuk
serat selulosa, nilon, kapas, dan wool. Penggunaan sebagai serat termodifikasi
antara lain meliputi bahan pembalut luka, tekstil, medikal, absorben yang sehat
dan tidak alergenik, penghilangan bau dan pakaian dalam antimikroba, pakaian
olahraga serta kaus kaki. Penambahan kitosan sebagai coating pada tekstil
meningkatkan permeabilitas terhadap uap air. Serat wool yang mengandung
kitosan turunannya meningkatkan daya celup (Kaban, 2009).
Bidang Pangan
Salah satu pemanfaatan kitosan di bidang pangan adalah sebagai film
edibel (kemasan yang dapat dimakan). Film edibel ini diharapkan dapat menjadi
alternatif pengganti kemasan sintetik (plastik) yang sulit terurai. Dengan
limbah sebagai beban lingkungan, tetapi juga diharapkan dapat menghasilkan
produk dengan nilai ekonomis yang tinggi (Sumarto, 2008).
Pengurangan kekuatan sinar diakibatkan oleh interaksi antara cahaya
dengan partikel penyerap yang ada di dalam larutan. Jadi dengan terjadinya
interaksi maka kekuatan cahaya yang diteruskan semakin kecil karena sebagian
cahayanya telah terserap. Semakin banyak cahaya yang diserap, maka cahaya
yang diteruskan akan semakin sedikit (Filyanti, 2009).
Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan
pangan, bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih
pada produk minuman. Selain itu, kitosan banyak diaplikasikan sebagai pangan
fungsional karena dapat berfungsi sebagai serat makanan, penurun kadar
kolesterol, antitumor serta prebiotik (Dunn et al., 1997; Shahidi et al., 1999).
Anti Bakteri
Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba,
karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap
bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation
bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang
(Wardaniati dan Setyaningsih, 1999).
Menurut Tsai et al (2000) aktivitas antibakteri oligomer kitosan beragam
tergantung jenis bakteri uji. Bakteri gram positif yaitu L.monocytogenes, B.cereus
dan S.aureus lebih dihambat oleh kitosan dibandingkan oligomernya, sedangkan
dihambat oleh bentuk oligomernya menghasilkan oligomer kitosan dengan DP 1-8
menggunakan selulase. Aktivitas antibakteri oligomer tersebut lebih besar jika
dibandingkan kitosan terhadap Aeromonas hydrophila, E.coli, L.monocytogenes,
P.aeruginosa, S.typhimurium, Shigella dysentriae, S.aureus, S.aureus, Vibrio
cholerae, dan V.parahaemolyticus. kitosan berbobot molekul rendah (12 kDa)
lebih efektif sebagai antibakteri dibandingkan oligomer kitosan dengan DP 1-8.
Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan,
dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang
merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner,
kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, yang akan menghambat
pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel
(Simpson, 1997) .
Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan
yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa
pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer
(lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami
kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel
(Wardaniati dan Setyaningsih, 1999).
Industri Kosmetika
Kitosan dan turunannya dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, pasta
gigi, krim badan dan tangan serta produk perawatan rambut. Biopolimer ini juga
telah diteliti sebagai bahan formulasi kosmetik khususnya untuk kulit yang
sensitif. Kitosan dapat mempengaruhi kelembaban kulit serta memberi
rambut, tergantung pada berat molekul dan derajat deasetilasinya. Krim kosmetik
yang ditambahkan 1,0% kitosan akan meningkatkan bioaktifasi unsur-unsur
lipofilik seperti vitamin, sehingga dapat meresap lebih baik pada permukaan kulit.
Kapasitas pembentukan film dan sifat antiseptik kitosan melindungi kulit dari
kemungkinan infeksi mikroba. Lagipula, glukosamin dari kitosan, mempengaruhi
perkembangan struktur glikosaminoglikan dan glukoprotein yang menguntungkan
dalam matriks ekstraselular kulit (Kaban, 2009).
Penelitian Sebelumnya
Menurut Chung et al, (1992), kelarutan turunan kitosan modifikasi secara
signifikan lebih besar dari kitosan asli. Kelarutan kitosan-glukosamin lebih tinggi
dibandingkan dengan kitosan-glukosa, dan turunan kitosan-glukosamin tetap larut
pada pH 10. Tingkat deasetilasi derivatif menurun dengan waktu reaksi
meningkat. Investigasi rheologi mengungkapkan bahwa viskositas nyata dari
turunan kitosan yang larut dalam air dalam larutan air tergantung pada kondisi
sistem seperti pH, kekuatan ion dan suhu larutan.
Kitosan adalah produk deasetilasidari kitin. Telah digunakan untuk bahan
berbagai fungsi, termasuk biomaterial. Namun, bila digunakan dalam bidang
biologis aplikasi terbatas karena tidak larut dalam air dan hanya dapat dilarutkan
dalam asam. Untuk meningkatkan kelarutan kitosan, banyak spesialis dan sarjana
telah mempelajari metode persiapan. Namun, metode ini memiliki beberapa cacat,
termasuk prosedur yang membosankan waktu reaksi yang lama, kebutuhan
sejumlah besar pelarut atau reagen dan berat molekul rendah dari produk akhir
(Lu et al., 2003).
Menurut Lu et al, (2003) sebuah metode persiapan kitosan larut air
melalui proses oleh N-asetilasi dengan anhidrida asetat. Manfaatnya adalah teknik
pengolahannya sederhana, waktu reaksi sangat singkat, reagen kecil, berat
molekul produk tinggi dan kelarutan air yang baik.
Menurut Sakai et al (2002) dalam penggunaan kitosan CO2, bagaimanapun
CO2 yang terlarut mudah terlepas ke udara sebagai gas selama penguapan air.
Sehingga, molekul H2CO3 terurai kembali menjadi CO2, dan perubahan ini juga
menyebabkan penurunan ion HCO3- yang berperan dalam melarutkan kitosan.
Akibatnya, kitosan yang dilarutkan kehilangan stabilitas dan membentuk lapisan
film tanpa asam.
Penampilan gel berubah tergantung pada konsentrasi NaOH yang
digunakan untuk menetralisasi pH. Ketika konsentrasi NaOH tinggi, tepung
kitosan yang mengendap sangat sulit dilarutkan dengan CO2. Sebaliknya, gel
menjadi lembut dan mudah larut saat konsentrasi rendah. Dalam hal ini, gel
dengan mudah dilarutkan oleh gelembung gas CO2. Hasil ini berarti bahwa nilai
pH sekitar molekul kitosan membuat partikel kitosan menjadi besar ketika
konsentrasi NaOH yang digunakan tinggi. Namun, kitosan masih bisa dilarutkan
ketika konsentrasi NaOH yang digunakan rendah dan hanya sebagian kecil dari
kitosan tidak larut dan menggumpal, sehingga membentuk gel tidak larut. (Sakai
Pada penelitian Yunzian et al (2008) disebutkan bahwa penggunaan H2O2
menunjukkan potensi yang luar biasa dalam mendegradasi kitosan kasar yang
tidak larut dalam air menjadi kitosan yang larut dalam air. Faktor yang digunakan
adalah konsentrasi H2O2, lama pemanasan dan suhu pemanasan menunjukkan
efek yang signifikan terhadap pemulihan kitosan yang larut dalam air. Kondisi
yang paling optimal terdapat pada konsentrasi 5,5% H2O2 dengan lama
pemanasan 3,5 jam dan suhu yang digunakan adalah 42,8oC.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang yang
berasal dari industri pengolahan udang beku PT. Centra Windu Sejahtera di
Kawasan Industri Medan (KIM) II.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2010 – April 2011 di
Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan Departemen Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Reagensia
- HCl 3% dan 10 %
- NaOH 10 % dan 50 %
- Aquadest
- Gas Karbondioksida (CO2)
Alat Penelitian
- Gelas Ukur - kuvet
- Labu Ukur - Erlemenyer
- Biuret - Beaker glass
- Timbangan - Termometer
- pH meter - Magnetik stirer
- Oven - Hot Plate
- Colony counter - Stirer
- Spektrofotometer - Jarum suntik
Metoda Penelitian
Penelitian ini mengguanakan Metoda Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:
Faktor I : Suhu Pelarutan Kitosan dengan Asam Klorida (HCl) (S)
S1 = 50o C
S2 = 60o C
S3 = 70o C
S4 = 80o C
Faktor II : Konsentrasi Gas CO2 (K)
K1 = 5 %
K2 = 10 %
K3 = 15 %
K4 = 20 %
Banyaknya kombinasi perlakuan (Tc) adalah 4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan (n)
adalah sebagai berikut :
Tc(n-1) > 15
16(n-1) > 15
16n-16 > 15
16n > 31
n ≥ 1,9 dibulatkan menjadi n = 2
Untuk memperoleh ketelitian dilakukan 2 kali ulangan.
Model Rancangan (Bangun, 1991)
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua
faktor dengan model sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk dimana :
Yijk : Hasil pengamatan dari faktor S pada taraf ke-i dan faktor K pada taraf ke-j dengan ulangan ke-k
µ : Efek nilai tengah
αi : Efek dari faktor S pada taraf ke-i
βj : Efek dari faktor K pada taraf ke-j
(αβ)ij: Efek interaksi dari faktor S pada taraf ke-i dan faktor K pada taraf ke-j
εijk : Efek galat dari faktor S pada taraf ke-i dan faktor K pada taraf ke-j dalam
ulangan ke-k
Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata dan sangat nyata maka uji
dilanjutkan dengan uji beda rataan dengan menggunakan uji LSR (Least
Significant Range).
Pelaksanaan Penelitian
1. Pembuatan Tepung Kulit Udang
- Dicuci dan dibersihkan kulit udang dengan menggunakan air mengalir
- Dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 105oC selama 24 jam
- Dihancurkan kulit udang dengan menggunakan blender
- Dilakukan pengayakan dengan Shive Shaker 60 Mesh
- Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 4
2. Ekstraksi Kitin dari Tepung Kulit Udang
- Direndam 100 gram tepung kulit udang dalam 10 % HCl 1 L selama 5 jam
pada suhu 60 – 70oC dengan perbandingan kulit udang dan larutan 1:10
(berat/volume) sambil diaduk konstan.
- Dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral kemudian
dikeringkan dengan oven suhu 60oC selama 12 jam.
- Diambil residu hasil pengeringan kemudian direndam dalam 10% NaOH.
Perbandingan kulit udang dan NaOH adalah 1:10 (berat/volume) dan
dipanaskan pada suhu 60oC selama 1 jam sambil diaduk konstan.
- Dicuci residu menggunakan aquadest sampai pH netral kemudian disaring.
- Dikeingkan dengan menggunakan oven pada suhu 60oC selama 12 jam.
- Diperoleh kitin kasar 30 gr
- Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 5
3. Ekstraksi Kitosan dari Kitin
- Dimasukkan kitin 100 gr kedalam NaOH 50% dengan perbandingan bahan
dan larutan 1 : 10 (volume/volume) kemudian dipanaskan pada suhu 90oC
selama 6 jam sambil diaduk konstan.
- Disaring residu kemudian dicuci dengan air sampai pH netral.
- Dikeringkan pada suhu 60oC selama semalam (12 jam)
- Diperoleh kitosan kasar
- Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 6
4. Pembuatan Kitosan Larut Air
- Dicampurkan 1 gram kitosan ke dalam 10 ml asam klorida 3 % dan air 100 ml
kemudian dipanaskan pada suhu (50oC, 60oC ,70oC dan 80oC) selama 15
menit sambil diaduk konstan.
- Dimasukkan larutan kitosan ke dalam erlemenyer 500 ml.
- Dititrasi dengan menggunakan NaOH 10% dengan pengadukan konstan
sampai pH netral = 7,0, hingga terbentuk gel berwarna putih.
- Ditutup erlemenyer dengan menggunakan gabus yang telah diberi lubang dua
buah lubang kemudian dimasukkan selang kapiler pada setiap lubang sebagai
pengalir gas CO2 dan pengukur konsentrasi gas CO2.
- Ditutup bagian atas erlemenyer dengan lilin elastis sampai seluruh permukaan
gabus tertutupi tanpa celah sedikitpun.
- Dimasukkan gas CO2 kedalam larutan kitosan dalam erlemenyer melalui salah
satu selang kapiler samapai terbentuk gelembung pada permukaan larutan
pada semua perlakuan (konsentrasi gas CO2 5 % , 10 %, 15 % , dan 20 % ),
sambil dihitung konsentrasi gas dalam erlemenyer dengan menggunakan
sambil diaduk konsntan.
- Dituang ke dalam cawan petri dan dikeringkan pada suhu 40oC selama 12 jam
hingga terbentuk endapan tepung putih.
- Terbentuk tepung kitosan larut air 13 g
Pengamatan dan Pengukuran Data
Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisa sesuai
dengan parameter:
1. Rendemen Kitosan Larut Air
2. Uji Organoleptik Warna dan Aroma
3. Uji Total Mikroba Metode Agar Cawan Petri
4. Uji Kejernihan Larutan Kitosan Larut Air
5. Penentuan Viskositas
6. Uji Kestabilan Relatif Larutan Kitosan Larut Air
7. Penetuan Konsentrasi Larutan Jenuh Kitosan Larut Air
Penentuan Rendemen (Sudarmaji, et al., 1989)
Rendemen ditentukan sebagai presentase peerbandingan berat kitosan
yang diperoleh dengan berat bahan (kulit udang).
Berat kitosan Rendemen = x 100% Berat kulit udang
Uji Organoleptik Warna (Soekarto, 1989 dimodifikasi)
Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik (kesukaan). Kitosan larut
Air yang akan diuji ditempatkan dalam wadah yang diberi kode sesuai dengan
kode sampel. Setelah itu sampel disajikan kepada 10 orang panelis dengan
menguji warna dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
Tabel 5. Skala Uji Hedonik Warna
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat jernih 4
Jernih 3
Agak Jernih 2
Tidak Jernih 1
Uji Organoleptik Aroma (Soekarto, 1989 dimodifikasi)
Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik (kesukaan). Kitosan larut
Air yang akan diuji ditempatkan dalam wadah yang diberi kode sesuai dengan
kode sampel. Setelah itu sampel disajikan kepada 10 orang panelis dengan
menguji aroma dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :
Tabel 6. Skala Uji Hedonik Aroma
Skala Hedonik Skala Numerik
Tidak berbau 4
Agak berbau 3
Berbau 2
Sangat berbau 1
Uji Total Mikroba Metode Agar Cawan Petri (Tim Mikrobiologi, 2011) Diambil sampel 1 g dan ditambahkan aquadest sampai 10 ml (Pengenceran
1 kali). Dilakukan pengenceran sebanyak 3 kali. Dimasukkan satu tetes suspense 3
kali pengenceran kedalam cawan petridish yang telah diisi media agar. Dibalik
cawan petridish dan diinkubasi selama 24 jam. Dihitung jumlah koloni dengan
koloni counter. Dihitung jumlah mikroorganisme dengan rumus.
Jumlah mikroba = 1 X banyaknya koloni (koloni/ml) Faktor Pengencer
Uji Kejernihan Larutan Kitosan Larut Air (Dhadhang, 2010; Underwood, 1999 dimodifikasi)
Diambil sebanyak 0,1 g kitosan dan dilarutkan dengan aquadest sampai 10
ml dari setiap perlakuan kemudian dimasukkan kedalam kuvet sampai batas
kuvet, lalu kuvet dimasukkan kedalam spektrofotometer kemudian dihitung nilai
transmitansinya. Larutan kitosan yang diukur berbentuk koloid yang membentuk
lapisan tipis transparan dan memliki warna dasar kuning oraange sehingga nilai
transmitansi (%T) dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 600
nm. Aquadest digunakan sebagai pembanding dengan tingkat kejernihan 100%.
Penentuan Viskositas (Yazid, 2005)
Dilarutkan 0,1 g kitosan kedalam 10 ml aquadest dan ditimbang beratnya.
Diperoleh massa jenis dengan pembagian antara berat zat dengan volume zat.
Dimasukkan 10 ml larutan kitosan kedalam viskosimeter Oswald. Diisap dengan
pompa kedalam bola sampai batas tanda yang terdapat pada alat. Dibiarkan
mengalir kebawah sampai batas tanda yang terdapat pada alat. Dicatat waktu yang
diperlukan dengan menggunakan stopwacth.
Dihitung viskositas larutan dengan rumus :
naq/nkit = daq . taq/dkit . tkit
naq = viskositas aquadest (0,01005 Poise)
nkit = viskositas kitosan
daq = massa jenis aquadest (0,9982)
dkit = massa jenis kitosan
taq = waktu alir aquadest (120 detik)
tkit = waktu alir kitosan