• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang (Penaeus Monodon)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang (Penaeus Monodon)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

ARYADI DAMANIK

030305027/THP

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

STUDI PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG

(

Penaeus monodon

)

SKRIPSI

OLEH:

ARYADI DAMANIK 030305013/THP

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Melakukan Penelitian di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Ir. Terip Karo Karo, MS Dr. Ir. Elisa Julianti,M.Si Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini budidaya udang berkembang dengan pesat sehingga udang dijadikan komoditas ekspor non migas yang dapat dihandalkan dan merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang pada umumnya dimanfatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Udang di Indonesia umumnya diekspor dalam bentuk beku yang telah dibuang kepala, ekor dan kulitnya. Limbah udang dapat dimanfaatkan menjadi senyawa kitosan. Namun hingga saat ini limbah tersebut belum diolah dan dimanfaatkan secara maksimal, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya bau dan estetika lingkungan yang buruk.

Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan pengusaha udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25% - 40%), kitin (15% -20%), dan kalsium karbonat (45% - 50%). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibanding kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai (50%-60%). Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses pembuatan kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Soetomo, 1990).

(4)

Lampung dan Jawa Barat. Perkembangan produksi udang nasional pada tahun 1997-2001 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 . Perkembangan produksi udang nasional pada tahun 1997-2001.

Tahun Volume (Ton) Pertumbuhan (%)

Sumber: Badan Pusat Statistik, Jakarta 2003

Indonesia diprediksikan mampu menghasilkan kitin dan kitosan dari limbah udang dan rajungan 12 ribu hingga 17 ribu ton per tahun. Produksi itu dapat menghasilkan pendapatan sebesar 60 hingga 89 juta dolar AS. Potensi tersebut merupakan estimasi dari jumlah potensi bahan baku kitin dan kitosan di dua pulau, yaitu Sumatera dan Bali. Di Sumatera, dari komoditas udang, 40% hingga 60% adalah limbah cangkang (shrimp shell). Potensi bahan baku kitin dan kitosan di pulau Sumatera 76.657 hingga 114.986 ton per tahun. Sedangkan di Bali, dari komoditas kepiting 75% hingga 85% berupa cangkang (scrab shell). Potensi bahan baku adalah 3.643 hingga 4.128 ton per tahun (Lampungpost, 2006).

(5)

maksimal menjadi kitosan. Kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengolahan limbah cair industri, pangan, kesehatan dan industri-industri lainnya.

Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai macam aplikasi industri diantaranya : Bahan tambahan dan penolong di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik. Kitosan bisa juga berfungsi sebagai pengawet dan penyerap lemak. Manfaat lain di bidang industri adalah menyerap logam berat.

Dalam proses pembuatan kitosan konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan, akan mempengaruhi mutu kitosan yang dihasilkan. Menurut Yunizal, dkk (2001) ekstraksi kitosan dari kulit udang dengan kondisi perlakuan yang tepat adalah deproteinasi dengan NaOH 3%, demineralisasi dengan HCl dan deasetilasi dengan NaOH 50% dengan suhu 80-140oC).

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang pembuatan kitosan dengan melihat pengaruh konsentrasi NaOH dan Suhu pemanasan terhadap mutu kitosan yang dihasilkan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi basa (NaOH) dan suhu pemanasan terhadap rendemen dan mutu kitosan dari kulit udang. Kegunaan Penelitian

(6)

 Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hipotesa Penelitian

 Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap rendemen dan mutu kitosan dari kulit udang.

 Suhu pemanasan berpengaruh terhadap rendemen dan mutu kitosan dari kulit udang.

(7)

TINJAUAN PUSTAKA

Udang (Penaeus modonon)

Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang biasa disebut udang penaeid oleh para ahli (Menristek, 2003).

Udang dapat kita klasifikasikan sebagai berikut: Klas : Crustacea (binatang berkulit keras)

Sub Kelas : Malacostraca (udang-udangan tingkat tinggi) Super Ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh) Sub Ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang) Famili: : Palaemonidae, Penaeidae

(Menristek, 2003).

(8)

keseluruhan 24-41% dan kulit ekor 17-23% dari seluruh berat badan, tergantung juga dari jenis udangnya (Suparno dan Nurcahaya, 1984).

Pendayagunaan Limbah Udang

Limbah udang yang mencapai 30-40% dari produksi udang beku belum banyak dimanfaatkan. Moelyanto (1979) mengatakan bahwa pemanfaatan limbah udang menjadi produk udang yang bernilai ekonomis tinggi merupakan contoh yang sangat baik untuk memperoleh bahan makanan dengan kandungan protein tinggi.

Selama ini jengger udang telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuat terasi, keripik udang dan petis serta pasta udang dan hidrolisat protein yang merupakan produk jenis baru dari limbah jengger udang. Akan tetapi pemanfaatan limbah ini hanya 3% dari skala limbah udang (Suparno dan Nurcahaya, 1974).

Menurut Moelyanto (1979), limbah udang selain dimafaatkan sebagai bahan pangan, dapat juga dipergunakan untuk keperluan industri. Pembuatan kitosan dari kulit udang dapat dipakai sebagai bahan kimia untuk industri dan kertas.

Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimafaatkan, yaitu dibuat tepung kepala udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982).

(9)

sedang kitin dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan, zat pengemulsi, bahan tambahan untuk antibiotika dan kosmetik (Knorr, 1984).

Susunan Kimia Limbah Udang

Produk hasil perikanan mengandung dua unsur utama, yaitu air dan protein selain unsur lain yang terdapat dalam jumlah kecil. Susunan kimia limbah udang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan kimia limbah udang (%)

Unsur Kepala udang Jengger udang

Kulit udang yang terdapat pada kepala, jengger dan tubuh udang mengandung protein 34,9%, kalsium 26,7%, khitin 18,1% dan unsur lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4% (Casio dkk.,1982).

Kitin dan Kitosan

Kitin

(10)

pada tahun 1940-an, terlebih dengan makin diperlukannya bahan alami oleh berbagai industri sekitar tahun 1970-an. Penggunaan kitosan untuk aplikasi khusus, seperti farmasi dan kesehatan dimulai pada pertengahan 1980 - 1990. Umumnya kitin diisolasi melalui rangkaian proses produksi. Pertama, demineralisasi atau proses penghilangan mineral menggunakan asam. Kedua, deproteinasi atau proses penghilangan protein menggunakan basa. Ketiga, dekolorisasi atau proses penghilangan warna menggunakan oksidator atau pelarut organik (Rismana, 2006).

Kitin merupakan salah satu biopolimer homopolisakarida yang tersedia sangat banyak di alam. Kitin terutama terdapat pada invertebrata laut, serangga, kapang dan beberapa jenis khamir. Kitin biasanya banyak ditemukan dalam keadaan bergabung dengan protein (Knorr, 1984).

Kitin merupakan biopolimer alami yang melimpah dari kulit luar kepiting, udang dan juga dinding sel jamur dan serangga. Pada saat ini hanya sedikit jumlah limbah dan cangkang yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau sumber bahan kitin, sehingga pengolahan kerang kerangan menimbulkan pencemaran lingkungan (SynowieckyandAl-Khateeb, 2003).

(11)

Tabel 3 . Komposisi (%) kitin dan protein berdasarkan berat kering pada limbah

Udang karang:Procamborus clarkii 29,8 13,2

Krill:Euphausia superba 41,0 24,0

Udang biasa 61,6 33,0

Sumber: SynowieckyandAl-Khateeb (2003) Kitosan

Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin yang diisolasi dari limbah perikanan, seperti kulit. udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 persen. Sumber bahan baku kitosan yang lain di antaranya kalajengking, jamur, cumi, gurita, serangga, laba - laba dan ulat sutera dengan kandungan kitin antara 5-45 persen. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan basa natrium bidroksida atau proses enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna dan tidak diserap tubuh. Sifat menonjol kitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya (Rismana, 2006).

(12)

Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber utamanya ialah cangkangCrustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan yang bercangkang lainnya, terutama asal laut. Sumber ini diutamakan karena bertujuan untuk memberdayakan limbah udang (Hawab, 2005).

Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan fungi (Sanford and Hutchings, 1987). Diperkirakan lebih dari 109-1.010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah. Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $ 60.000/ton.

(13)

cara monosakarida monosakarida berikatan membentuk polisakarida (Rismana, 2006).

Sifat sifat Kimia Kitin dan Kitosan

Sebagian besar polisakarida yang terdapat secara alami seperti sellulosa, dekstran, pektin, asam alginat, agar, karangenan bersifat netral atau asam di alam, sedangkan kitosan merupakan polisakarida yang bersifat basa (Kumar, 2000).

Kitin dicirikan oleh sifatnya yang sangat susah larut dalam air dan beberapa pelarut organik, rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik. Ketiga sifat tersebut menyebabkan penggunaan kitin relatif lebih sedikit dibandingkan kitosan dan derivatnya. Aplikasi kitin yang utama adalah sebagai senyawa pengkelat logam dalam instalasi pengolahan air bersih atau limbah, kosmetik sebagai fungisida dan fungistatik penyembuh luka (Rismana 2006).

Menurut Rismana (2006) sifat alami kitosan dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain:

 Merupakan polimer poliamin berbentuk linear.

 Mempunyai gugus amino aktif.

 Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam.

(14)

 Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable).

 Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.

 Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.

 Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat.

Dalam hal kelarutan kitin berbeda dengan selulosa karena kitin merupakan senyawa yang stabil terhadap pereaksi kimia. Kitin bersifat hidrofobik, tidak larut dalam air, alkohol dan hampir semua pelarut organik. Kitin dapat larut dalam asam klorida, asam sulfat dan asam fosfat pekat (Roberts, 1992).

Kitosan dengan bentuk amino bebas tidak selalu larut dalam air pada pH lebih dari 6,5 sehingga memerlukan asam untuk melarutkannya. Kitosan larut dalam asam asetat dam asam formiat encer. Adanya dua gugus hidroksil pada kitin sedangkan kitosan dengan 1 gugus amino dan 2 gugus hidroksil merupakan target dalam modifikasi kimiawi (Hirano, dkk.,1987).

(15)

hidroksil yang reaktif. Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat sifat kationik, biologi dan kimianya (Sandfordandhutchings, 1987).

Ekstraksi Kitin

Kitin secara komersil umumnya diekstraksi dari kulit udang, cangkang kepiting yang diperoleh dari limbah industri pengolahan. Proses ekstraksi kitin dari kulit udang adalah dan cangkang kepiting adalah proses reaksi kimia yang sederhana. Alternatif lain untuk menggantikan proses ekstraksi kimia yaitu dengan proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme bakteri proteolitik atau bakteri asam laktat (Peberdy, 1999).

(16)

Menurut Yunizal, dkk (2001) ekstraksi kitosan dari kulit udang dengan kondisi perlakuan yang tepat adalah deproteinisasi dengan NaOH 3%, demineralisai dengan HCl 1,25 N dan proses deasetilasi menggunakan NaOH 50%.

Demineralisasi

Demineralisai biasanya dapat dilakukan dengan HCl 1 8% selama 1 -3 jam pada suhu kamar. Demineralisai sempurna dapat dicapai dengan memakai asam yang secara stokiometrik melebihi kandungan mineral. Jika reaksi demineralisasi terlampau lama sampai 24 jam maka degradasi kitin akan terjadi (Synoweiecky and Al-Khateeb, 2003).

Proses demineralisasi menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH, dan HCOOH, umumnya menggunakan HCl dengan

konsentrasi 0,275 1 N, dengan kisaran suhu perendaman -20oC sampai dengan

22oC. perendaman pada suhu kamar lebih banyak dilakukan untuk meminimalkan

hidrolisis pada rantai polimer. Proses ini bertujuan memisahkan kitin dari CaCO3

(Roberts, 1992).

Deproteinisasi

(17)

hidroksida dengan konsentrasi yang berkisar antara 1-10% dan suhu dinaikan sampai 65 ke 100oC (SynoweieckyandAl-Khateeb, 2003).

Proses deproteinisasi menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3,

NaHCO3, KOH, Na2SO4, Na2S, Na3PO4 dan NaOH. Tetapi NaOH yang lebih banyak

digunakan. Perlakuan dengan larutan NaOH bervariasi antara 0,25N hingga 2,5N (Roberts, 1992).

Deproteinisasi dapat juga dilakukan dengan cara enzimatis untuk mempertahankan nilai biologis protein yang dihasilkan. Tetapi cara ini tidak menjamin pemisahan protein secara sempurna. Pada pemisahan protein secara enzimatik, demineralisasi terlebih dahulu sangat menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan permeabilitas jaringan untuk penetrasi enzim dan mengeluarkan mineral (SynoweieckyandAl-Khateeb, 2003).

Proses ekstraksi kitosan dimulai dengan mencuci kulit udang dengan air tawar bersih. Selanjutnya dihancurkan dengan blender, untuk kemudian dilakukan deproteinasi menggunakan larutan alkali (0,5 N NaOH) sambil dipanaskan, dan disaring. Residu (padatan), lanjutnya, dicuci dengan aquades, untuk memasuki proses demineralisasi menggunakan 1 N HCl pada suhu kamar. Setelah itu dilakukan penyaringan, residu dicuci dengan aquades. Residu kemudian diputihkan menggunakan larutan NaOCl 0,5%, kemudian dilakukan penyaringan dan pencucian serta pengeringan pada suhu 30-40oC selama 8-12 jam. Dari tahap ini akan diperoleh

(18)

Ekstraksi Kitosan

Proses pengolahan cangkang menjadi kitin dan kitosan, adalah sebagai berikut: cangkang demineralisasi yaitu dikurangi kandungan mineralnya dengan HCL. Kedua, deproteinisasi, yaitu mengurangi kandungan protein dengan NaOH dalam suhu medium. Cuci netral lalu dikeringkn, dinamakan kitin. Pengolahan kitin menjadi kitosan, yaitu cangkang diberi NaOH suhu tinggi (Menristek, 2003).

Kitin dideasetilasi menggunakan NaOH 40%, dilanjutkan dengan penyaringan dan pencucian sampai bersih lalu dikeringkan. Bubuk Kitosan yang dihasilkan disimpan dalam wadah yang kedap udara. Pemanfaatan kitosan dalam bidang budidaya pertanian, antara lain sebagai pelapis benih gandum sehingga relatif lebih tahan terhadap kerusakan ketika disimpan. Selain itu, kualitas benih tetap terjaga baik sehingga mampu meningkatkan produksi (Djagal, 2003).

Kitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi kitin. Sedangkan kitin dapat kita peroleh dari kulit udang, kulit kepiting dan serangga. Kitin banyak juga terdapat pada jamur. Konversi kitin menjadi kitosan pertama kali dilakukan tahun 1859 oleh C. Rouget (Lampungpost 2004).

Deasetilasi

(19)

maka daya adsorbsi kitin meningkat dengan bertambahnya gugus amina. Perubahan kitin menjadi kitosan dapat dilakukan secara enzimatis dan kimiawi (Muzzarelli, 1977).

Biasanya kitosan dibuat dengan proses deasetilasi dari kitin kepiting dan udang halus. Proses ini dilakukan pada kombinasi yang berbeda dari suhu (80-140oC)

selama 10 jam dengan menggunakan larutan natrium atau kalium hidroksida 30-60%. (SynoweieckyandAl-Khateeb, 2003).

Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Larutan NaOH 40% dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70oC selama 6 jam menghasilkan kitosan dengan

derajat deasetilasi 92%. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (HwangdanShin, 2000).

(20)

Tabel 4. Variasi deasetilasi

Kitosan dewasa ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik sebagai makanan yang menjaga kesehatan maupun industri. Kitosan dipakai untuk mengawetkan biji-bijian dari serangan hama, membersihkan dan menjernihkan air, bahan baku kosmetik, bahan baku industri pangan, pemupukan lahan pertanian, dan pengolahan lingkungan. Dewasa ini manfaat kitosan sebagai makanan kesehatan (bukan obat) banyak diteliti, bahkan sudah diaplikasikan (Hawab, 2004).

(21)

Medis

Dalam dunia medis, kitosan dipakai sebagai bahan benang operasi. Di Malaysia, sudah dikembangkan pemanfaatan kitosan untuk pelapis luka. Manfaatnya lebih baik jika dibandingkan dengan perban, termasuk bioplasenta yang juga dikembangkan Malaysia. Sementara itu, upaya menambah nilai dari produk perikanan itu sendiri kurang optimal. Di dunia medis, kitosan memiliki keunggulan yaitu dapat melepas senyawa berdasarkan waktu. Jika kitosan menjadi campuran dalam obat, ketika di pencernaan maka melepas senyawa obat dalam tahapan berbeda. (Hawab 2004).

Menurut Krissentiana (2004), pemanfaatan Kitosan pada industri sudah hampir mencakup semua ruang lingkup industri seperti: Industri tekstil, bidang fotografi, industri fungisida, kosmetik, pengolahan pangan dan kesehatan.

Industri Tekstil.

(22)

Bidang Fotografi.

Jika kitin dilarutkan dalam larutan dimetilasetamida, maka dari larutan ini dapat dibuat film untuk berbagai kegunaan. Pada industri film untuk fotografi, penambahan tembaga kitosan dapat memperbaiki mutu film yaitu untuk meningkatkan fotosensitivitasnya.

Industri Fungisida.

Kitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari Kitin. Jika Kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan mikrobia yang dapat mengurai jamur. Selain itu Kitosan juga dapat disemprotkan langsung pada tanaman. Misalnya larutan 0,4% kitosan jika disemprotkan pada tanaman tomat dapat menghilangkan virustobacco mozaik.

Industri Kosmetika.

(23)

Industri Pengolahan Pangan.

Karena sifat kitin dan kitosan yang dapat mengikat air dan lemak, maka keduanya dapat digunakan sebagai media pewarnaan makanan. Mikrokristalin kitin jika ditambahkan pada adonan akan dapat meningkatkan pengembangan volume roti tawar yang dihasilkan. Selain itu juga sebagai pengental dan pembentuk emulsi lebih baik dari pada mikrokristalin sellulosa. Pada pemanasan tinggi kitin akan menghasilkan pyrazine yang potensial sebagai zat penambah cita rasa. (Krissentiana, 2004).

Kesehatan

(24)

Kitosan tidak bisa dicerna sehingga tidak mempunyai nilai kalori. Sifat ini sangat penting untuk produk-produk pelangsing tubuh. Tetapi, tak seperti serat lain, kitosan mempunyai daya pengikatan lemak yang sangat tinggi (superabsorban) sehingga mampu menghambat absorpsi lemak oleh tubuh. Kitosan adalah serat yang tidak diabsorpsi sehingga bila lemak terikat dengannya akan menjadi senyawa yang tak diabsorpsi. Hasil penelitian pada hewan percobaan menunjukkan, hewan yang diberi makanan mengandung kitosan mampu mengekskresi lemak di kotorannya hingga 5-10 kali serat lain. Kitosan mampu menurunkan kolesterol LDL (Low density lipoprotein) sekaligus meningkatkan komposisi perbandingan kolesterol HDL (High density lipoprotein) terhadap LDL (Rismana, 2006).

(25)

Penelitian Sebelumnya

Menurut Roberts (1992), standar mutu kitosan belum ada, sehingga analisa kitosan ditujukan untuk menentukan karakterisasi yang berhubungan dengan sumber bahan kitosan dan tujuan penggunaannya.

Secara umum grade kitosan dikelompokkan atas pemanfaatannya pada berbagai bidang dan sumber bahan, seperti untuk farmasi dan kosmetika, untuk bahan pangan dan untuk aplikasi bahan teknis lainnya. Kitosan yang hendak diaplikasikan di bidang farmasi dan medis tidak boleh tercemar logam berat dan residu protein (Roberts, 1992).

Pada penelitian Sirait (2002), parameter yang diuji adalah kadar air, rendemen, kadar abu, kadar protein dan uji kelarutan dalam asam asetat. Deasetilasi

(26)

BAHAN DAN METODA

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang dari industri pengolahan udang beku PT. Centra Windu Sejahtera di kawasan Industri Medan. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2008 di Laboratorium Analisa Pangan Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Reagensia

- HCl - K2SO4

- NaOH - CuSO4

- Aquadest - CH3COOH

- H2SO4

Alat Penelitian

- Beaker Glass - Termometer

- Erlemenyer - Baskom

- Gelas ukur - pH meter

- Labu Ukur - Blender

- Pipet Ukur - Hot Plate

- Petridish - Pisaustailess stell

(27)

Metoda Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metoda Rancang Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:

Faktor I : Konsentrasi NaOH (L) L1 = 30 %

L2 = 40 %

L3 = 50%

L4 = 60 %

Faktor II : Suhu Pemanasan (S) S1 = 85oC

S2 = 90oC

S3 = 95oC

S4 = 100oC

Banyaknya kombinasi perlakuan (Tc) adalah 4 x 4 = 16, dengan jumlah ulangan 2 (dua) kali.

Model Rancangan (Bangun, 2001)

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan model :

ijk= µ + i+ j+ ( )ij+ ijk

ijk : Hasil Pengamatan dari Faktor L dari taraf ke- I dan Faktor L

(28)

µ : Efek nilai tengah

i : Efek dari Faktor Konsentrasi NaOH (L) pada taraf ke i j : Efek dari Faktor Suhu Pemanasan (S) pada Taraf ke j

( )ij : Efek interaksi faktor L pada taraf ke I dan faktor S pada taraf

ke j

ijk : Efek galat dari faktor L pada taraf ke I dan faktor S pada

taraf ke j dalam ulangan k. Pelaksanaan Penelitian

Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Perlakuan Pendahuluan

 Kulit udang dicuci dan dibersihkan, kemudian ditiriskan dan dikeringkan Deproteinisasi

 Ditimbang 50 gram kulit udang kemudian dibuat larutan NaOH 5%, kulit udang dimasukkan dalam NaOH (Perbandingan kulit udang dan NaOH adalah 1:6) kemudian dipanaskan selama 1 jam dengan suhu 60-70oC.

Penyaringan

 Kulit udang yang sudah dipanaskan dicuci dengan air kemudian disaring Demineralisasi

(29)

Pengeringan

 Setelah dipanaskan bahan dicuci dengan air sampai pH netral, kemudian diovenkan dengan suhu 50-55oC selama 24 jam.

Ektraksi Kitosan dari Kitin

Deasetilasi

 Kitin yang telah kering dimasukkan ke dalam larutan NaOH (untuk semua perlakuan yaitu 30%, 40%, 50% dan 60%) perbandingan bahan dan larutan 1:10, kemudian dipanaskan selama 1` jam dengan suhu 85oC, 90oC, 95oC dan 100oC

Pencucian

 Bahan yang sudah selesai dideasetilasi diangkat dan dicuci dengan air sampai pH 8-10 kemudian ditiriskan.

Pengeringan

 Bahan dicuci dengan air sampai pH netral kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50-55oC selama 24 jam.

Penghalusan

 Bahan yang sudah kering dihaluskan dengan cara diblender selama 10 menit. Pengangkatan

 Setelah itu bahan diangkat dan dianalisa. Pengamatan dan Pengukuran Data

(30)

1. Rendemen 2. Kadar Air 3. Kadar Protein 4. Uji Organoleptik 5. Kadar Abu

6. Uji Kelarutan Dalam Air

7. Uji kelarutan dalam Asam Asetat 8. Ukuran Partikel

Penentuan rendemen (Sudarmaji, dkk.,1989)

Rendemen ditentukan sebagai persentase perbandingan berat kitosan yang diperoleh dengan berat bahan (kulit udang).

100% udang

kulit BeratBeratkitosan

Rendemen 

Penentuan kadar air (Sudarmaji, dkk.,1989)

Ditimbang 2 gr kitosan kedalam petridish yang telah diketahui beratnya. Kemudian dimasukkan dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam. Lalu contoh dari

oven didinginkan kedalam desikator selama ± 15 menit. Kemudian Contoh ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya dan dihitung kadar air dengan rumus:

100%

(31)

2,0-2,5 gram bahan uji dimasukkan ke dalam kjeldahl 100ml dan ditambahkan 2 gram campuran K2SO4 dan CuSO4, (1:1) dan 5 ml H2SO4 pekat lalu didestruksi

sampai larutan berwarna hijau jernih dan dibiarkan dingin. Setelah dingin ditambahkan 10 ml aquadest dan dipindahkan ke dalam labu suling. Kemudian ditambahkan NaOH pekat 40% sampai terbentuk warna hitam dan segera didestilasi. 4 tetes indikator mengsel (425 mg methylen red dan 500 mg methylen blue) yang dilarutkan dalam 100 ml alkohol 96%. Hasil sulingan diitrasi dengan larutan 0,1 HCl dan juga dilakukan dengan cara yang sama pada blanko dan dihitung dengan rumus

%

Penentuan Kadar Abu (Sudarmaji, dkk.,1989)

Ditimbang bahan sebanyak 2 - 4 gram dalam kurs porselin an kering dan telah diketahui beratnya. Kemudian dipijarkan dalam muffle selama 12 jam sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Kemudian kurs dan abu dimasukkan dalam desikator dan ditimbang berat abu setelah dingin. Dihitung dengan rumus:

(32)

Uji Kelarutan Dalam Air

Uji kelarutan dalam air dilakukan dengan cara uji deskriptif terhadap kelarutan kitosan dalam air. Kitosan sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam air (200 ml) dan dibiarkan selama 1 jam, diaduk setiap 10 menit. (kelarutan kitosan dalam air dilihat secara visual) yaitu

Kelarutan : - Tidak larut - Setengah larut - Larut

- Sangat larut

Uji Kelarutan Dalam Asam Asetat (CH3COOH)

Uji kelarutan dalam asam asetat dilakukan dengan cara uji deskriptif terhadap kelarutan kitosan dalam asam asetat. Kitosan sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam asam asetat (200 ml) dan dibiarkan selama 1 jam,diaduk setiap 10 menit. (kelarutan kitosan dalam asam asetat dilihat secara visual) yaitu

Kelarutan : - Tidak larut - Larut

- Setengah larut - Sangat larut Ukuran Partikel

(33)

Karakteristik partikel :

- Halus seperti tepung - Agak kasar

- Kasar - Sangat kasar Uji organoleptik

Penilaian organoleptik dilakukan dengan cara uji deskriptif terhadap warna dari kitosan (warna kitosan dilihat secara visual) yaitu:

Warna : - Putih - Putih kekuningan

(34)

Gambar 1. Proses ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Dibersihkan Kulit Udang

Deproteinisasi NaOH 5%, 60-70oC selama 1 jam

Penyaringan

Demineralisasi HCl 5%, 60-70OC

Kitin

(35)

NaOH: 85oC,90oC,95oC,100oC

30%, 40%, 50%,60%

Gambar 2. Proses ekstraksi Kitosan Dari Kitin

Deasetilasi dengan NaOH

Dikeringkan pada suhu 50-55oC, 24 jam

Kitosan Kitin

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Parameter yang Diamati

Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, secara umum menunjukan bahwa konsentrasi NaOH memberikan pengaruh terhadap rendemen, kadar protein, kadar air, kadar abu. Dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap parameter yang diamati Konsentrasi Rendemen Kadar Kadar Kadar

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi NaOH maka, rendemen dan kadar abu semakin meningkat sedangkan kadar air dan kadar protein, semakin menurun dengan bertambahnya konsentrasi NaOH. Rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan L4(60 %) yaitu sebesar 7,02 % dan terendah diperoleh pada

perlakuan L1 (30 %) yaitu sebesar 6,33%. Kadar protein tertinggi diperoleh pada

perlakuan L1 (30%) yaitu sebesar 18,41% dan terendah pada L4 (60%) yaitu sebesar

11,68%. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan L1 (30 %) yaitu sebesar 7,61%

dan terendah diperoleh pada perlakuan L4 (60 %) yaitu sebesar 5,01 %. Kadar abu

tertinggi diperoleh pada perlakuan L4 (60%) yaitu sebesar 1,73 % dan terendah

(37)

Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Parameter yang Diamati

Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, secara umum menunjukan bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap rendemen, kadar protein, kadar air, kadar abu. Dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap parameter yang diamati

Suhu Rendemen Kadar Kadar Kadar

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka, rendemen dan kadar abu semakin meningkat sedangkan kadar air dan kadar protein, semakin menurun dengan bertambahnya suhu pemanasan. Rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (100oC) yaitu sebesar 6,86 % dan terendah diperoleh

pada perlakuan S1(85oC) yaitu sebesar 6,52%. Kadar protein tertinggi diperoleh pada

perlakuan S1(85oC) yaitu sebesar 16,16% dan terendah pada S4(100oC) yaitu sebesar

14,41%. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan S1(85oC) yaitu sebesar 6,72%

dan terendah diperoleh pada perlakuan S4 (100oC) yaitu sebesar 6,09 %. Kadar abu

tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (100oC) yaitu sebesar 1,48 % dan terendah

diperoleh pada perlakuan S1(85oC) yaitu sebesar 1,31 %.

Rendemen (%)

(38)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi NaOH memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap rendemen. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Rendemen (%)

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan L2, L3 dan L4.Perlakuan L2berbeda sangat nyata dengan perlakuan L3dan

L4. Perlakuan L3 berbeda tidak nyata dengan perlakuan L4.. Rendemen tertinggi

diperoleh pada perlakuan L4 yaitu sebesar 7,02 dan rendemen terendah diperoleh

pada perlakuan L1yaitu sebesar 6,33 %.

(39)

Gambar 3. Hubungan Konsentrasi NaOH dengan Rendemen

Dari Gambar 3 diketahui semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan makin tinggi. Hal ini disebabkan NaOH berfungsi mengeluarkan protein dari bahan. Dengan semakin banyaknya protein yang dikelurkan dari bahan maka persentasi rendemen semakin tinggi.

Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Rendemen

(40)

Tabel 8 . Uji LSR Efek Utama Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Rendemen

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan S2, S3 dan S4.Perlakuan S2 berbeda tidak nyata dengan perlakuan S3dan

S4. Perlakuan S3 berbeda tidak nyata dengan perlakuan S4.. Rendemen tertinggi

diperoleh pada perlakuan S4 yaitu sebesar 686 % dan rendemen terendah diperoleh

pada perlakuan S1yaitu sebesar 6,52 %.

Hubungan antara suhu pemanasan dengan rendemen mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Suhu Pemanasan dengan Rendemen

(41)

Dari Gambar 4 diketahui peningkatan suhu pemanasan yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan meningkat. Hal ini terjadi karena suhu pemanasan yang semakin tinggi akan semakin merusak protein dalam bahan, hal ini mengakibatkan rendemen dalam bahan meningkat.

Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan terhadap Rendemen (%)

(42)

Tabel 9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Interaksi Konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan Terhadap Rendemen (%)

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L1S1 6,00 h E

2 0,229 0,316 L1S2 6,38 g DE

3 0,241 0,332 L1S3 6,41 fg DE

4 0,247 0,340 L1S4 6,55 efg CD

5 0,252 0,347 L2S1 6,65 def BCD

6 0,255 0,352 L2S2 6,78 cde ABC

7 0,258 0,357 L2S3 6,81 bcd ABC

8 0,259 0,361 L2S4 6,85 abcd ABC

9 0,261 0,364 L3S1 6,88 abcd ABC

10 0,262 0,366 L3S2 6,91 abcd ABC

11 0,262 0,368 L3S3 6,92 abc AB

12 0,263 0,370 L3S4 6,95 abc AB

13 0,263 0,372 L4S1 6,96 abc AB

14 0,264 0,373 L4S2 7,00 abc AB

15 0,264 0,375 L4L3 7,05 ab A

16 0,264 0,375 L4S4 7,08 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Tabel 9 menunjukkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan L4S4yaitu 7,08 % dan rendemen terendah diperoleh pada perlakuan L1S1 yaitu 6,00

%.

(43)

Gambar 5. Hubungan Interaksi Konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan Terhadap

Rendemen

Dari Gambar 5 diketahui semakin banyak konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan yang ditambahkan maka rendemen akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena peningkatan konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan menyebabkan penurunan kadar protein dan kadar air sehingga persentase rendemen yang dihasilkan meningkat. Kadar Protein (%)

Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar Protein

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa konsentrasi NaOH memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01)

(44)

terhadap kadar protein. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar protein untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10

Tabel 10. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Protein (%)

Jarak LSR Konsentrasi Rataan Notasi

0,05 0,01 NaOH 0,05 0,01

- - - L1= 30 18,41 a A

2 1,358 1,870 L2= 40 16,89 b B

3 1,426 1,965 L3= 50 13,77 c C

4 1,462 2,015 L4= 60 11,68 d D

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan L2, L3 dan L4.Perlakuan S2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan L3dan

berbeda tidak nyata L4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan L4..

Kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan L1yaitu sebesar 18,41 % dan kadar

air terendah diperoleh pada perlakuan L4yaitu sebesar 11,68 %.

(45)

Gambar 6. Hubungan Konsentrasi NaOH dengan Kadar Protein

Dari Gambar 6 diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka kadar protein dari kitosan semakin menurun. Hal ini terjadi karena NaOH yang digunakan berfungsi untuk mengeluarkan protein dari dalam bahan, jadi peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan makin banyak protein yang dikeluarkan (Menristek, 2003).

Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Kadar Protein

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa lama pemanasan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar kadar protein sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

(46)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi NaOH dan lama pemanasan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar kadar protein sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Air ( % )

Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar Air

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi NaOH memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar air untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 11. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Air (%)

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda nyata dengan perlakuan L3 dan

(47)

Kadar Air tertinggi diperoleh pada perlakuan L1 yaitu sebesar 7,61 % dan kadar air

terendah diperoleh pada perlakuan L4yaitu sebesar 5,01%.

Hubungan antara konsentrasi NaOH dengan kadar air mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 7 .

Gambar 7. Hubungan Konsentrasi NaOH dengan Kadar Air

Dari Gambar 7 diketahui peningkatan konsentrasi NaOH yang digunakan menyebabkan kadar air semakin menurun. Hal ini terjadi karena dipengaruhi penurunan kadar protein dimana protein mempunyai kemampuan mengikat air (water holding capacity). Jadi kadar protein yang turun menyebabkan penurunan kadar air.

Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Kadar Air

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh suhu pemenasan terhadap kadar air untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12

(48)

Tabel 12 . Uji LSR Efek Utama Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Kadar Air (%)

Jarak LSR Suhu Rataan Notasi

0,05 0,01 Pemanasan 0,05 0,01

- - - S1=85 6,72 a A

2 0,455 0,627 S2= 90 6,56 b B

3 0,478 0,659 S3= 95 6,20 bc B

4 0,490 0,675 S4= 100 6,09 c B

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan S2, S3 dan S4.Perlakuan S2 berbeda tidak nyata dengan perlakuan S3dan

berbeda nyata S4. Perlakuan S3 berbeda tidak nyata dengan perlakuan S4.. Kadar Air

tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 yaitu sebesar 6,72 % dan kadar air terendah

diperoleh pada perlakuan S4yaitu sebesar 6,09 %.

(49)

Gambar 8. Hubungan Suhu Pemanasan dengan Kadar Air

Pengaruh Interaksi Konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan Terhadap Kadar Air (%)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi NaOH dan lama pemanasan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar kadar air sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Abu (%)

Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kadar Abu

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa konsentrasi NaOH memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar abu. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar abu untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13

(50)

Tabel 13. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan L2, L3, L4.Perlakuan L2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan L3, L4dan

Perlakuan L3berbeda tidak nyata dengan perlakuan L4.. Kadar abu tertinggi diperoleh

pada perlakuan L4 yaitu sebesar 1,73 % dan kadar abu terendah diperoleh pada

perlakuan L1yaitu sebesar 1,01%.

Hubungan antara konsentrasi NaOH dengan kadar abu mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 9

Gambar 9. Hubungan Konsentrasi NaOH dengan Kadar Abu

(51)

Dari Gambar 9 diketahui terjadi peningkatan kadar abu yang disebabkan peningkatan konsenntrasi NaOH yang digunakan. Hal ini dapat dijelaskan karena peningkatan konsentrasi NaOH yang digunakan menyebabkan kandungan Na semakin tinggi, sehingga meningkatkan kadar abu.

Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Kadar Abu

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa lama pemanasan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar abu sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Pengaruh Interaksi Konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan Terhadap Kadar Abu

(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian pengaruh konsentrasi NaOH dan Suhu Pemanasan terhadap parameter yang diamati dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konsentrasi NaOH memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen, kadar protein, kadar air dan kadar abu. Peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan peningkatan rendemen dan kadar abu sedangkan kadar air dan kadar protein menurun.

2. Suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen, berbeda nyata terhadap kadar air dan berbeda tidak nyata terhadap kadar protein dan kadar abu. Dimana naiknya suhu pemanasan menyebabkan rendemen naik sementara kadar air turun.

3. Interaksi antara konsentrasi NaOH dan suhu pemanasan memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen dan berbeda tidak nyata untuk kadar protein, kadar air dan kadar abu. Konsentraasi NaOH dan suhu pemanasan yang meningkat menyebabkan peningkatan rendemen.

(53)

Saran

1. Untuk membuat kitosan yang baik mutunya disarankan menggunakan konsentrasi NaOH 60% dan suhu pemanasan 100oC.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 1970. Official methods of analysis 11th edition. Association of official

analytical chemist Inc., Washington,D.C.

Bangun,M.K., 2001. Perancangan Percobaan. Fakultas Pertanian USU-Press, Medan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2003. Perkembangan Produksi

Udang.http://www.bppt.go.id. (1 April 2008).

Casio, G. Ignatio, Fischer, Robert, Carrod dan A. Paul. 1982. Biocoversion of shellfish chitin waste. J. Food Sci. 47 (1);901.

Djagal., 2003. Biokatalis Mampu kurangi polutan limbah.

http://www.sinarharapan.com. (16 Februari 2008).

Hawab, H.M., 2004. Perlu Berhati-hati Mengkonsumsi Kitosan.

http://www.kompas.com. (16 Februari 2008).

Hirano, S., N. Sato, S. Yoshida, and S. Kitagawa. 1987. Chemichal Modifcation of Chitin and Chitosan, and Their Novel Application. In: Industrial polisaccharides. Yalpani , M. Elsevier, Amsterdam, pp. 163-164.

Hwang, J.K.andShin, H.H, 2000. Rheologgical Properties of Chitosan Solutions. In: Korea-Australia Rheology Journal. (12); 175-179.

Juhairi, 1986. Pembuatan Tepung dan Protein Konsentrat Dari Limbah Industri Udang Beku. IPB, Bogor.

Knorr, D. 1983. Functional properties of chitin and chitosan. J. Food. Sci. 47;36. Knorr, D. 1984. Functional properties of chitin and chitosan. J. Food. Sci.

38 (1) :85.

Krissentiana, H. 2004. Kitin dan kitosan dari limbah udang.

http://www.suaramerdeka.com. (16 Februari 2008).

Kumar, M.N.V.R., 2000. Chitin and chitosan for versatile applicatons

http://members.tripod.com(16 Februari 2008).

(55)

Moelyanto, R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. LPTP, Departemen Pertanian, Jakarta.

Menristek. (2003) Budidaya udang windu.http://warintekbantul.com. (16 Februari 2008)

Mudjiman, A. 1982. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. Muzzarelli, R.A.A., 1977. Chitin. Pergamon Press Ltd. Oxford, England.

Paberdy,J.F., 1999. Biotechnologycal approaches to the Total utilisation of crustacean Shelfish and shelfish waste.http://agricta.org.com. (16 Februari 2008).

Rismana, 2001. Langsing dan sehat lewat limbah perikanan.

http://www.terranet.or.id. (16 Februari 2008).

Roberts, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd, London. Rismana, 2003. Serat kitosan kengikat lemak.http://www.kompas.com.

(16 Februari 2008).

Sanford, P.A and G.P. Hutchings. 1987. Chitosan- a natural cationic biopolimer: Comercial Applications In: Industrial polisaccharides. Yalpani, M. Elsevier Amsterdam, pp. 365-371.

Sirait, R.I.,2002. Pemanfaatan kulit udang (Penaeus monodon) sebagai kitosan untuk menurunkan konsentrasi limbah cair industri pelapisan logam. USU-Press, Medan.

Soetomo, M., 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru, Bandung.

Sudarmadji,S., B. Haryanto dan Suhardi,1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yokyakarta.

Suparno dan Nurcahaya, 1984. Pemanfaatan Limbah Udang. Balai Penelitian Limbah Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Synowiecki, J And N.A. Al-Khateeb, 2003. Production, properties and some new applications of chitin and Its derivates, Crit.rev.Food Sci.Nutr;43(2); 145-171. Tharanathan, R.N. and F.S Kittur, 2003. The undisputed biomolecule of great

(56)
(57)

Lampiran 1. Data Pengamatan Analisa Rendemen (%) Perlakuan IUlanganII Total Rataan

L1S1 6,00 6,00 12,00 6,00

Daftar Analisis Sidik Ragam Rendemen (%)

SK db JK KT F hit. F.05 F.01

Perlakuan 15 3,063 0,204 17,473 ** 2,35 3,41

(58)

tn = tidak nyata

Lampiran 2. Data Pengamatan Analisa Kadar Protein (%) Perlakuan I UlanganII Total Rataan

L1S1 18,65 20,00 38,65 19,33

Daftar Analisis Sidik Ragam Kadar Protein(%)

SK db JK KT F hit. F.05 F.01

Perlakuan 15 250,666 16,711 10,189 ** 2,35 3,41

L 3 220,917 73,639 44,900 ** 3,63 5,29

L Lin 1 217,552 217,552 132,648 ** 4,49 8,53

L Kuad 1 0,658 0,658 0,401 tn 4,49 8,53

LxS 9 16,061 1,785 1,088 tn 2,54 3,78

(59)

Lampiran 3. Data Pengamatan Analisa Kadar Air (%) Perlakuan IUlanganII Total Rataan

L1S1 8,06 7,98 16,04 8,02

Daftar Analisis Sidik Ragam Analisa Kadar Air (%)

SK db JK KT F hit. F.05 F.01

Perlakuan 15 32,934 2,196 11,912 ** 2,35 3,41

L 3 29,928 9,976 54,122 ** 3,63 5,29

L Lin 1 29,713 29,713 161,202 ** 4,49 8,53

L Kuad 1 0,203 0,203 1,102 tn 4,49 8,53

LxS 9 0,928 0,103 0,559 tn 2,54 3,78

(60)

tn = tidak nyata

Lampiran 4. Data Pengamatan Analisa Kadar Abu (%) Perlakuan IUlanganII Total Rataan

L1S1 0,900 1,000 1,90 0,95

Daftar Analisis Sidik Ragam Kadar Abu (%)

SK db JK KT F hit. F.05 F.01

Perlakuan 15 3,396 0,226 11,744 ** 2,35 3,41

L 3 2,862 0,954 49,483 ** 3,63 5,29

LxS 9 0,330 0,037 1,904 tn 2,54 3,78

(61)

tn = tidak nyata

Lampiran 5. Data Uji Kelarutan Dalam Asam Asetat dan Air

Perlakuan Kelarutan

Asam Asetat Air

L1S1 Larut Tidak Larut

L1S2 Larut Tidak Larut

L1S3 Larut Tidak Larut

L1S4 Larut Tidak Larut

L2S1 Larut Tidak Larut

L2S2 Larut Tidak Larut

L2S3 Larut Tidak Larut

L2S4 Larut Tidak Larut

L3S1 Larut Tidak Larut

L3S2 Larut Tidak Larut

L3S3 Larut Tidak Larut

L3S4 Larut Tidak Larut

L4S1 Larut Tidak Larut

L4S2 Larut Tidak Larut

L4S3 Larut Tidak Larut

(62)

Lampiran 6. Uji Organoleptik Warna (Deskriptif)

Perlakuan Warna

L1S1 Putih Kecoklatan

L1S2 Putih Kecoklatan

L1S3 Putih Kecoklatan

L1S4 Putih Kecoklatan

L2S1 Putih Kecoklatan

L2S2 Putih Kecoklatan

L2S3 Putih Kecoklatan

L2S4 Putih Kecoklatan

L3S1 Putih Kecoklatan

L3S2 Putih Kecoklatan

L3S3 Putih Kecoklatan

L3S4 Putih Kecoklatan

L4S1 Putih Kecoklatan

L4S2 Putih Kecoklatan

L4S3 Putih Kecoklatan

(63)

Lampiran 7. Ukuran Partikel (Deskriptif)

Perlakuan Ukuran Partikels

L1S1 Halus Seperti Tepung

L1S2 Halus Seperti Tepung

L1S3 Halus Seperti Tepung

L1S4 Halus Seperti Tepung

L2S1 Halus Seperti Tepung

L2S2 Halus Seperti Tepung

L2S3 Halus Seperti Tepung

L2S4 Halus Seperti Tepung

L3S1 Halus Seperti Tepung

L3S2 Halus Seperti Tepung

L3S3 Halus Seperti Tepung

L3S4 Halus Seperti Tepung

L4S1 Halus Seperti Tepung

L4S2 Halus Seperti Tepung

L4S3 Halus Seperti Tepung

Gambar

Tabel 1 . Perkembangan produksi udang nasional  pada tahun    1997-2001.
Tabel 2. Susunan kimia limbah udang (%)
Tabel 3 . Komposisi (%) kitin dan protein berdasarkan berat kering pada limbahCrustaceae
Tabel 4. Variasi deasetilasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis sidik ragam pada (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi gula dengan lama fermentasi memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap

Interaksi konsentrasi asam sulfat 97 % dan natrium metanolat memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rendemen, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda tidak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap organoleptik warna, viskositas dan kestabilan relatif larutan kitosan larut

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat menunjukkan bahwa jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 11) dapat dilihat bahwa interaksi antara konsentrasi larutan garam dengan suhu fermentasi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P &gt;

Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kehalusan bahan dan konsentrasi perekat memberi pengaruh beda tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 6)dapat dilihat bahwa interaksi konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P&gt;0,05)

Interaksi konsentrasi asam sulfat 97 % dan natrium metanolat memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rendemen, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda tidak