• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning Dan Konsentrasi Kitosan Terhadap Mutu Mie Basah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning Dan Konsentrasi Kitosan Terhadap Mutu Mie Basah"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JUMLAH BUBUR LABU KUNING DAN

KONSENTRASI KITOSAN TERHADAP MUTU

MIE BASAH

SKRIPSI

OLEH :

ANDRIYANI FWB

040305024 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KONSENTRASI KITOSAN TERHADAP MUTU

MIE BASAH

SKRIPSI

OLEH :

ANDRIYANI FWB

040305024 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

RINGKASAN

Andriyani F.W.B “Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning dan

Konsetrasi Kitosan terhadap Mutu Mie Basah” dibimbing oleh Ir. Sentosa Ginting, M.P. sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Rona J. Nainggolan, SU sebagai anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan terhadap mutu mie basah

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor Jumlah Bubur Labu Kuning (L) dan Konsentrasi Kitosan ( C ). Faktor Jumlah Bubur Labu Kuning terdiri dari 4 taraf yaitu 5%, 10%, 15%, dan 20%. Faktor konsentrasi kitosan yaitu : 0%, 0,25 %, 0,5 %, dan 0,75 %.

Hasil penelitian yang dianalisa secara statistik menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

Kadar Air (%)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan L4 yaitu

sebesar 56.15 % dan terendah pada L1 yaitu sebesar 49.20 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air. Kadar air tertinggi terdapat pada C1 yaitu sebesar 55.20 % dan

(4)

memberi pengaruh memberi pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Protein (%)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein. Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu sebesar 15.88 % dan terendah pada L4 yaitu sebesar 11.46 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein. Kadar protein tertinggi terdapat pada C4 yaitu sebesar

14.77 % dan terendah pada C1 yaitu sebesar 13 %.

Interaksi antara jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan memberi pengaruh memberi pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Abu (%)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar abu. Kadar abu tertinggi terdapat pada L1 yaitu sebesar

0.73 % dan terendah pada L4 yaitu sebesar 0.31 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar abu. Kadar abu tertinggi terdapat pada C4 yaitu sebesar 0.58 % dan

terendah pada C1 yaitu sebesar 0.47%.

(5)

Nilai Organoleptik Warna (Numerik)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna (numerik). Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada L4 yaitu sebesar 3.66 % dan terendah pada L1 yaitu

sebesar 2.15 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik warna (numerik). Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada C4 yaitu sebesar 3.23 % dan terendah pada C1 yaitu sebesar 2.73 %.

Interaksi antara jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan memberi pengaruh tidak nyata terhadap nilai organoleptik warna yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan. Nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan L4C4 yaitu sebesar 3.900 % dan terendah diperoleh dari

kombinasi perlakuan L1C1 yaitu sebesar 1.950 %.

Nilai Organoleptik Rasa (Numerik)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik rasa (numerik). Nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat pada L4 yaitu sebesar 3.41 % dan terendah pada L1 yaitu

sebesar 2.8 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik rasa (numerik). Nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat pada C4 yaitu sebesar 3.35 % dan terendah pada C1 yaitu sebesar 2.88 %.

(6)

Jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik tekstur (numerik). Nilai organoleptik tekstur tertinggi terdapat pada L1 yaitu sebesar 3.61 % dan terendah pada L4 yaitu

sebesar 2.4 %.

Konsentrasi kitosan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai organoleptik tekstur (numerik). Nilai organoleptik tekstur tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %) yaitu sebesar 3.25 % dan terendah

pada C1 (konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar 2.84 %.

Interaksi antara jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan memberi pengaruh tidak nyata terhadap nilai organoleptik tekstur yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

(7)

RIWAYAT HIDUP

ANDRIYANI F.W.B dilahirkan di Tanjung Gading pada tanggal 18

Februari 1987 dari Ayahanda U.Z. Butar-butar dan Ibunda E. br. Sihombing Penulis merupakan anak ke-1 dari 4 bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus SMU Negeri 1 dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan dan menjadi anggota ikatan mahasiswa teknologi hasil pertanian (IMTHP) FP USU.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudu l “Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning dan

Konsentrasi Kitosan terhadap Mutu Mie Basah” yang disusun sebagai salah

satu syarat untuk dapat memperolah gelar sarjana di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Ir. Sentosa Ginting, M.P. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Rona J. Nainggolan, SU selaku anggota pembimbing atas arahan dan

bimbingan yang selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan ke depan.

Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada di dalam skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, April 2008

(9)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN ... i

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Labu Kuning ... 4

Komposisi Kimia Labu Kuning ... 6

Jenis-jenis Mie ... 7

Mie Basah ... 9

Standar Mutu dan Nilai Gizi Mie Basah ... 11

Bahan-bahan Pembuatan Mie Basah dari Labu Kuning ... 13

Tepung Terigu ... 13

Carboxy Methyl Cellulose ... 14

Telur ... 15

Air Abu ... 16

Garam ... 16

Air ... 17

Kitosan ... 18

Pembuatan Mie Basah dari Labu Kuning ... 22

Pembuatan Bubur Labu Kuning ... 22

Pencampuran Bahan ... 23

Pengulenan Adonan ... 23

Pembentukan Lembaran ... 24

Pembentukan Mie ... 24

Perebusan ... 25

Pendinginan ... 25

(10)

Bahan ... 27

Reagensia ... 27

Alat ... 27

Metoda Penelitian ... 28

Model Rancangan ... 28

Pelaksanaan Penelitian ... 29

Pembuatan Bubur Labu Kuning ... 29

Pembuatan Mie Labu Kuning ... 29

Pengamatan dan Pengukuran Data ... 30

Kadar Air ... 30

Kadar Protein ... 31

Kadar Abu ... 31

Uji Organoleptik (Warna, Rasa, dan Kekenyalan) ... 32

Skema Pembuatan Bubur Labu Kuning ... 33

Skema Mie Basah dari Labu Kuning ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Parameter yang Diamati ... 35

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Parameter yang Diamati ... 36

Kadar Air (%) ... 37

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Air (%) ... 37

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air (%) ... 39

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air (%) ... 41

Kadar Protein (%) ... 41

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein (%) . 41

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein (%) ... 43

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein (%) ... 44

Kadar Abu (%) ... 44

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Abu (%) ... 44

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Abu (%) ... 46

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Abu (%) ... 48

Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 48

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 48

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 49

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 51

Nilai Organoleptik Rasa (Numerik) ... 52

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Rasa (Numerik) ... 52

(11)

(Numerik) ... 53

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Rasa (Numerik) ... 55

Nilai Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 55

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 55

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 57

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 59

KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

Kesimpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

DAFTAR LAMPIRAN ... 65

(12)

No. Judul Hal

1. Komposisi Zat Gizi Labu Kuning per 100 gr Bahan ... 6

2. Komposisi Kimia Mie Basah per 100 g Bahan... 12

3. Standar Mutu Mie Basah ... 12

4. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 g Bahan ... 13

5. Uji Skala hedonik untuk warna, aroma, dan tekstur (kekenyalan) ... 32

6. Pengaruh Bubur Labu Kuning terhadap Parameter yang Diamati... 35

7. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Parameter yang Diamati ... 36

8. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Air (%) ... 37

9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi KItosan terhadap Kadar Air (%) ... 39

10. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein (%) ... 41

11. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein (%) ... 43

12. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Abu (%) ... 45

(13)

15. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai

Organoleptik Warna (Numerik) ... 50 16. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Rasa (Numerik) ... 52 17. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsenrasi Kitosan terhadap

Nilai Organoleptik Rasa (Numerik) ... 53 18. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap

Nilai Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 56 19. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai

(14)

No Judul Hal

1. Skema Pembuatan Bubur Labu Kuning ... 33

2. Skema Pembuatan Mie Basah Labu Kuning ... 34

3. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Air ... 38

4. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air ... 40

5. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein ... 42

6. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein ... 44

7. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Abu ... 46

8. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Abu... 47

9. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Warna ... 49

10. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Warna…….. 51

11. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Rasa ... 53

12. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Nilai Organoleptik Rasa ……. .. 55

13. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Nilai Organoleptik Tekstur ... 57

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Pengamatan Analisis Kadar Air (%) ... 65

2. Data Pengamatan Analisis Kadar Protein (%) ... 66

3. Data Pengamatan Analisis Kadar Abu (%) ... 67

4. Data Pengamatan Analisis Organoleptik Warna (Numerik) ... 68

5. Data Pengamatan Analisis Organoleptik Rasa (Numerik) ... 69

6. Data Pengamatan Analisis Organoleptik Tekstur (Numerik) ... 70

(16)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudu l “Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning dan

Konsentrasi Kitosan terhadap Mutu Mie Basah” yang disusun sebagai salah

satu syarat untuk dapat memperolah gelar sarjana di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Ir. Sentosa Ginting, M.P. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Rona J. Nainggolan, SU selaku anggota pembimbing atas arahan dan

bimbingan yang selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan ke depan.

Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada di dalam skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, April 2008

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudu l “Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning dan

Konsentrasi Kitosan terhadap Mutu Mie Basah” yang disusun sebagai salah

satu syarat untuk dapat memperolah gelar sarjana di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Ir. Sentosa Ginting, M.P. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Rona J. Nainggolan, SU selaku anggota pembimbing atas arahan dan

bimbingan yang selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan ke depan.

Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada di dalam skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, April 2008

(18)

Latar Belakang

Saat ini masyarakat sudah banyak menggunakan buah labu yang dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan karena memiliki cita rasanya sangat enak sehingga dapat digunakan sebagai sayuran lodeh, sayur asam dan juga sup. Selain itu juga memiliki tekstur lembut dan cita rasa sedikit manis sehingga cocok dipadankan dengan beragam bahan.

Namun masih sedikit yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai bahan pangan. Hal ini disebabkan masyarakat masih belum mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada buah labu tersebut. Tetapi secara umum tanaman labu ini kaya akan kandungan serat, vitamin, mineral dan juga air sehingga bermanfaat bagi kesehatan. Jadi dapat diketahui bahwa dari kandungan gizi yang lengkap dan harga yang relatif murah dapat dibuat sebagai bahan makanan yang memiliki sumber gizi yang baik.

Masyarakat sekarang banyak yang mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Selain mie yang harganya terjangkau, cara peyajiannya yang mudah dan rasanya yang enak, mie juga mudah membuat konsumen kenyang. Adapun jenis – jenis mie yang yang beredar di pasaran antara lain mie mentah, mie pangsit, mie basah, dan juga mie instan.

(19)

lama dan telah melekat pada kebudayaan daerah dalam bentuk makanan khas daerah. Di masa yang akan datang penggunaan mie akan semakin meluas karena sifat penggunaannya yang praktis serta rasanya yang enak.

Saat ini mie terkhusus mie basah banyak ditakuti oleh masyarakat karena banyak berita beredar bahwa mie menggunakan pengawet formalin dan boraks. Jika dikonsumsi secara berlebihan akan mengakibatkan kanker yang berbahaya bagi kesehatan. Mie yang baik umumnya memang tidak tahan lama karena tidak mengandung bahan pengawet. Mie tanpa pengawet hanya bertahan 10 – 12 jam sementara mie yang ditambahkan formalin dalam waktu 3 – 5 hari masih kelihatan segar.

Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan menyadarkan kita umumnya masyarakat konsumen akan perlunya kehati – hatinya mengkonsumsi makanan yang masuk ke mulut dan perut kita. Tujuannya yakni untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup kita. Makanan yang bergizi diutamakan dalam hidup kita, tetapi makanan sehat dan aman harus lebih diproritaskan.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan para ahli, banyak bahan – bahan pengawet makanan alami yang dapat menggantikan pemakaian formalin yang tersedia di alam ini. Yang sekarang berkembang yakni pemakaian kitosan yang ternyata dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

Hal ini disebabkan khasiat dari kitosan sebagai bahan anti bakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri sehingga dapat menjadikan kitosan sebagai bahan pengawet pada makanan. Jika dibandingkan dengan formalin kitosan jelas memiliki kelebihan yakni tidak menimbulkan efek kimia yang berbahaya bagi tubuh seperti halnya yang terdapat pada formalin. Oleh sebab itu,

(20)

untuk memperpanjang masa simpan dari mie dalam penelitian ini akan dilakukan penambahan kitosan pada pembuatan mie

Dengan alasan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan

terhadap Mutu Mie Labu Kuning” dengan harapan dapat memberikan

informasi mengenai cara memproduksi mie dari labu kuning dengan mutu yang baik juga menggunakan pengawet kitosan sehingga lebih efektif dan tidak berbahaya bagi konsumen.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembuatan mie basah dengan campuran bubur labu kuning serta menggunakan pengawet kitosan.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai sumber informasi dalam pembuatan mie basah.

- Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Hipotesa Penelitian

- Diduga ada pengaruh penambahan labu kuning terhadap mutu mie basah. - Diduga ada pengaruh penambahan kitosan terhadap mutu mie basah. - Diduga ada interaksi antara campuran labu kuning dan penambahan

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Labu Kuning

Labu kuning termasuk jenis tanaman menjalar dari family Cucurbitaceae dan sering disebut “labu kuning” karena daging buahnya berwarna kuning. Di Jawa Barat sering disebut waluh, ada juga yang menamakan labu manis atau labu merah, sementara nama Inggrisnya adalah pumpkin. Bentuk aneka ragam bergantung jenisnya : ada yang oval, berbentuk piala, berbentuk bokor, dan sebagainya. Buah ini awet bahkan dalam tempo 6 bulan masih tampak utuh

(Nova, 2006).

Adapun klasifikasi dari tanaman labu kuning yakni : Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Klas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Subklas : Dilleniidae

Ordo : Violales

Familia : Cucurbitaceae (suku labu – labuan) Genus : Cucurbita

Spesies : Cucurbita moschata Durch (Plantamor, 2005).

(22)

Labu adalah tanaman tahunan berumah satu yang berumur panjang dan banyak tumbuh di wilayah barat daya Amerika Serikat dan Barat Laut Meksiko serta mampu tumbuh pada kondisi kering dan sangat tahan terhadap kekeringan karena memiliki sistem perakaran yang dalam dengan simpanan makanan yang besar. Selain itu sangat peka terhadap tanah yang berdrainase jelek, tetapi tumbuh

cukup baik sekalipun pada tanah kering dan kurang subur (Rubatzky and Yamaguchi, 1998).

Walaupun manfaat dari labu kuning cukup banyak sayangnya di Indonesia labu kuning belum banyak dibudidayakan secara khusus. Tetapi seperti yang diketahui tanaman labu kuning bisa tumbuh di lahan yang kering atau tegalan, serta bisa ditanam secara tumpang sari bersama – sama dengan tanaman palawija atau kacang – kacangan. (Plantamor, 2005).

Tanaman labu kuning yang berumur 45 – 60 hari tanaman biasanya mulai berbunga. Buah matang dapat dipanen setelah berumur 100 – 140 hari setelah tanam. Tetapi labu yang masih muda kulitnya berwarna hijau, sedangkan buah labu yang telah tua kulit buahnya berwarna kuning sampai kecoklatan dan keras bila ditekan. Bobot buah waluh berkisar antara 3 – 10 kg. Tanaman yang baik pertumbuhannya dapat menghasilkan sampai 10 buah waluh per pohonnya (Sutarya, dkk., 1995).

(23)

Komposisi Kimia dan Manfaat Labu Kuning

Buah ini mempunyai kandungan kalium dan natrium yang tinggi, sedangkan karbohidratnya tergolong rendah. Bereaksi dengan basa dalam tubuh serta merupakan sumber vitamin B dan C. Buah ini cukup baik bila digunakan untuk diet lunak (Wirakusumah, 2000).

Labu kuning sangat sarat dengan kandungan gizi yang cukup tinggi dan lengkap. Kandungan gizi labu kuning yakni :

Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Labu Kuning per 100 g Bahan

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 29 Protein (g) 1,1 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 6,6 Kalsium (mg) 45 Fosfor (mg) 64 Besi (mg) 1,4 Nilai Vit. A (SI) 180 Vit B1 (mg) 0,08

Vit C (mg) 52 Air (g) 91,2 b.d.d. (%) 77 Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Labu kuning / labu parang / pumpkin dari sekian banyak jenis labu, labu kuning (Cucurbita moschata) paling sering digunakan dalam masakan. Teksturnya yang lembut dengan rasa sedikit manis cocok dipadupadankan dengan beragam bahan. Dari gizinya pun tidak mengecewakan, setiap 100 g labu mengandung 34 kal; 1,1 protein; 0,3 lemak; 0,8 mineral, dan 45 mg kalsium

(24)

pembuluh darah), jantung koroner, tekanan darah tinggi, bahkan bisa pula mencegah kanker. Labu kuning merupakan satu – satunya buah yang awet atau tahan lam

Daging dari labu yang juga kaya dengan kalsium, fosforus, zat besi, sodium, potassium, niasin, vitamin B dan C serta magnesium dimana dapat melancarkan fungsi – fungsi. Selain itu, biji dari labu kuning bisa digoreng karena mengandung lemak dan protein (Plantamor, 2005).

Buah labu ini sangat kaya akan kandungan serat, vitamin, mineral, dan air sehingga banyak pakar gizi dan kesehatan berkomentar kalau labu bermanfaat untuk kesehatan. Tetapi hanya sedikit yang dimanfaatkan manusia sebagai bahan panga

Jenis – jenis Mie

Berdasarkan kadar airnya serta tahap pengolahannya, mie yang terbuat dari tepung terigu dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :

1. Mie mentah atau segar, yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35 %,

2. Mie basah adalah mie mentah, yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu dengan kadar air 52 %,

3. Mie kering adalah mie mentah yang langsung dikeringkan dengan kadar air 10%,

4. Mie goreng adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng, 5. Mie instant adalah mie siap hidang

(25)

Walaupun pada prinsipnya mie dibuat dengan cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mie :

1. Mie Segar

Merupakan mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung air sekitar 35 %, sehingga cepat rusak. Penyimpanan dalam refrigerator bisa mempertahankan kesegaran mie hingga 50 – 60 jam. Setelah masa simpan, maka warna mie menjadi gelap. Contoh : mie ayam.

2. Mie Basah

Merupakan jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52 % sehingga daya simpannya relatif singkat. Contoh di Indonesia, mie basah dikenal sebagai mie bakso.

3. Mie Kering

Yakni mie segar yang telah dikeringkan hingga kadar air mencapai 8 – 10 %. Umumnya pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Sehingga daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya. Di Amerika Serikat penambahan telur merupakan suatu keharusan karena mie kering harus mengandung air kurang dari 13 % dan padatan telur lebih dari 5,5%. Contoh : mie telur.

4. Mie Instan

(26)

mencapai 5 – 8 %, sehingga memiliki daya simpan yang lama. Contoh : indomie (Astawan, 2006).

Secara umum mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya mie basah adalah mie yang belum dimasak, kandungan airnya cukup tinggi dan cepat basi. Jenis mie ini biasanya tahan 1 hari. Kategori kedua adalah mie kerin

Mie Basah

Mie ialah makanan khas dari Cina. Rasanya yang hambar membuat bahan makanan ini dapat diolah dengan bumbu yang sesuai selera si pembuatnya. Biasanya dibuat dari adonan terigu, air, garam, dan minyak. Lebih sering dibuat dengan mencampur air khi atau kansui atau lebih dikenal dengan air abu. Harus dipertimbangkan dalam memilih terigu terutama adalah kadar protein dan kadar abunya. Kadar protein mempunyai kolerasi erat dengan jumlah gluten. Sedangkan kadar abu erat dengan kualitas mie yang dihasilka

Mie basah disebut juga mie kuning adalah jenis mie yang mengalami perebusan dengan kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar hanya bertahan 10 – 12 jam. Setelah itu mie akan berbau asam dan berlendir atau basi (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Tips mie menjadi kenyal dan lezat yakni sebagai berikut :

1. Mie harus dibuat dengan memakai tepung terigu bergluten tinggi dengan tingkat protein lebih dari 12% sehingga mie yang dihasilkan elastis dan tidak gampang putus,

(27)

3. Uleni mie hingga kalis, artinya adonan itu tidak putus saat ditarik dan terasa elastis,

4. Telur juga dapat ditambahkan dalam adonan mie sehingga cita rasa mie menjadi lebih gurih dan warnanya menjadi lebih kuning,

5. Tutup selalu adonan mie dengan plastik atau lap lembab supaya mie tidak kering dan putus saat digiling,

6. Cetak mie menggunakan alat penggiling mie, taburi dahulu seluruh permukaan mie dengan tepung terigu atau tepung kanji atau tepung maizena sehingga mie tidak lengket,

7. Mie dapat diolah menjadi beragam sajian dengan cara direbus atau digoreng. Untuk mie basah cuci dahulu dengan air panas supaya minyak menghilang (Dirmanto, 2003).

Adapun ciri – ciri mie basah yang baik yakni : 1. Berwarna putih atau kuning terang

2. Tekstur agak kenyal 3. Tidak mudah putus

Kemudian tanda – tanda kerusakan mie basah adalah sebagai berikut : 1. Berbintik putih atau hitam karena tumbuhnya kapang

2. Berlendir pada permukaan mie

3. Berbau asam dan berwarna agak lebih gelap (Kristina, 2007).

Pada umumnya pengawasan dan pengetahuan masyartakat mengenai formalin sangat kurang. Bahkan untuk industri sering disalahgunakan sebagai pengawet mie basah demi mengejar keuntungan produsen, Tetapi membahayakan

(28)

dan merugikan kesehatan masyarakat. Adapun tanda – tanda mie basah yang mengandung formalin sebagai berikut:

1. Lebih kenyal 2. Awet beberapa hari

3. Tidak mudah basi dibandingkan dengan yang tidak mengandung formalin 4. Mie tampak mengkilat

5. Liat (tidak mudah putus) 6. Tidak lengket

7. Serta tanda yang paling mudah dikenali adalah lalat tidak mau mendekat padahal di sekitarnya banyak lalat

(Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Mie yang disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna kuning, bentuk khas mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap penerimaan konsumen (Setianingrum dan Marsono, 1999).

Standar Mutu dan Nilai Gizi Mie Basah

(29)

Adapun kandungan gizi mie basah dapat dilihat pada Tabel 2 yakni :

Tabel 2. Komposisi Kimia Mie Basah per 100 g bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (kal) 86

Protein (g) 0.6

Lemak (g) 3.3

Karbohidrat (g) 14.0

Kalsium (mg) 14

Fosfor (mg) 13

Besi (mg) 0.8

Nilai Vit. A (SI) 0

Vit.B1 (mg) -

Vit.C (mg) 0

Air (g) 80.0

b.d.d. (%) 100

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Menurut Departemen Perindustrian, standar mutu mie basah yakni:

Tabel 3. Standar Mutu Mie Basah

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan :

a. Bau normal b. Warna normal c. Rasa normal 2. Kadar air % bb 20 – 35 3. Abu % bb maksimum 3 4. Protein % bb minimum 8 5. Bahan tambahan makanan:

a. Boraks dan asam borat tidak boleh ada b. Pewarna yang diizinkan c. Formalin tidak boleh ada 6. Pencemaran logam;

a. Timbal (Pb) mg/kg maksimum 1,0 b. Tembaga (Cu) mg/kg maksimum 10,0 c. Seng (Zn) mg/kg maksimum 40,0 d. Raksa (Hg) mg/kg maksimum 0,05 7. . Arsen (As) maksimum 0.5 8. Pencemaran mikroba:

a. Angka lempeng total koloni/g maksimum 1,0 x 106 b. E. coli APM/g maksimum 10 c. Kapang koloni/g maksimum 1,0 x 104 Sumber: Departemen Perindustrian RI (1990) di dalam Astawan, (2006).

(30)

Bahan-bahan Pembuatan Mie Basah Dari Labu Kuning

Tepung Terigu

Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang berasal dari biji gandum dan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan mie, kue dan roti. Kata terigu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa portugis trigo yang berarti gandum. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam menetukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu

Tepung terigu yang digunakan sebaiknya yang mengandung gluten 8-12%. Terigu ini tergolong medium hard flour. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu. Gluten bersifat elastis sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mie yang dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

[image:30.595.111.517.475.676.2]

Komposisi kimia tepung terigu dalam 100 g bahan sebagai berikut :

Tabel 4. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 g Bahan

Komponen Jumlah

Kalori (kal) 365

Protein (g) 8.9

Lemak (g) 1,3

Karbohidrat (g) 77,3

Kalsium (mg) 16

Fosfor (mg) 106

Besi (mg) 1.2

Vitamin A (SI) 0

Vitamin B1 (mg) 0.12

Vitamin C (mg) 0

Air (g) 12,0

b.d.d. (%) 100

Sumber : Departemen Kesehatan, R.I., (1996).

(31)

adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8 – 12%, kadar abu 0,25 – 0,6% dan gluten basah 24 – 36% (Astawan, 2006).

Mie harus dibuat dengan menggunakan tepung terigu bergluten tinggi dengan tingkat protein lebih dari 12% sehingga ,mie yang dihasilkan elastis dan tidak gampang putus

Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

Carboxy Methyl Cellulose adalah turunan dari selulosa dan beberapa

sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Adapun fungsi CMC yang terpenting adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai pengemulsi dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik (Winarno, 1995).

CMC yang banyak dipakai pada industri makanan adalah garam Na-karboksi metil selulosa. Natrium karboksi selulosa adalah polimer selulosa

ester yang larut dalam air dibuat dengan mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-Khloroasetat.

ROH + NaOH R – ONa + HOH R – ONa + ClCH2COONa R – CH2COONa + NaCl

Karena CMC mempunyai gugus karboksil, maka viskositas larutan CMC dipengaruhi oleh pH larutan (Winarno, 1992).

Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki penampakan tekstur dari produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC

(32)

mampu mengikat air sehingga molekul – molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (Fardiaz, 1986).

Dalam pembuatan mie, CMC berfungsi sebagai pengembang. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan selama penyimpanan. Jumlah bahan pengembang yang digunakan berkisar antara 0,5 – 1,0 % dari berat tepung terigu, tergantung dari jenis terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan tekstur mie yang terlalu keras dan daya rehidrasi mie menjadi berkurang (Astawan, 2006).

Telur

Dalam pembuatan mie ada penambahan telur. Telur berfungsi untuk mempercepat penyerapan air pada terigu, mengembangkan adonan dan mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng bila menggunakan bahan pengembang (Merdeka, 2006).

Penambahan telur sangat diperlukan untuk pembuatan mie. Tujuan penggunaan telur dalam adonan mie yakni membuat cita rasa mie menjadi lebih gurih dan warnanya menjadi lebih kuni

Fungsi telur sebagai pengental, perekat, atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan, di samping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo, 1998).

(33)

lechitin. Selain sebagai emulsifier (pengemulsi), lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung untuk mengembangkan adonan (Astawan, 2006).

Air Abu

Air abu atau air khi atau kansui dipakai sejak dahulu sebagai bahan alkali untuk membuat mie. Komponen utamanya adalah K2CO3 dan NaCO3. Fungsi

penambahanair abu yakni : untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas, meningkatkan kehalusan tekstur dan meningkatkan sifat kenyal (Merdeka, 2006).

Air abu adalah bahan tambahan yang wajib ditambahkan pada proses pembuatan mie. Air abu merupakan dari garam natrium karbonat dan kalium karbonat (perbandingan 9:1) (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Garam

Garam yang digunakan adalah garam dapur atau NaCl. Fungsi garam antara lain untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat sehingga meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie dan mengikat air (Merdeka, 2006).

Garam memberi sejumlah pengaruh. Pertama – tama garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Garam juga memberi pengaruh aktivitas air (Aw) dari bahan, jadi mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme (Buckle, et al., 1987).

Garam dapur selain untuk memberi rasa, juga memperkuat tekstur mie, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, serta mengikat air. Garam dapur akan menghambat aktifitas enzim protease dan amylase sehingga mie tidak

(34)

bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Penggunaan garam 1 – 2 % akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan. Di Jepang, dalam pembuatan mie pada umumnya ditambahkan 2 – 3 % garam ke dalam adonan mie. Jumlah ini merupakan kontrol terhadap – amilase jika aktifitas rendah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan. Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa dalam bahan makanan dan dapat melarutkan berbagai bahan seperti garam, vitamin larut air, mineral, dan senyawa – senyawa cita rasa (Winarno, 1995).

Air yang digunakan haruslah memenuhi persyaratan mutu mie untuk industri baik secara kimiawi maupun mikrobiologis. Secara umum, air minum dapat digunakan untuk pembuatan mie. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohirat, melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal dari glute

(35)

Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar 28 – 38 % dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38 % adonan akan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28% adonan akan menjadi sangat rapuh sehingga sulit dicetak (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Kitosan

Kitosan adalah turunan kitin yang disolasi dari kulit udang, rajungan, kepiting, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam yang mempunyai bentuk lembaran tipis, tidak berbau, berwarna putih, dan terdiri dari dua jenis polimer, yaitu poli 2-asetilamin-2-glukosa) dan poli (2-deoksi-2-aminoglukosa) yang berikatan secara beta (1,4). Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer D – glukosamin dan mampu berikatan dengan protein (Rismana, 2003).

Kitosan merupakan senyawa kimia berasal dari bahan hayati kitin, suatu senyawa organik yang melimpah di alam setelah selulosa. Sebagai sumber utamanya adalah cangkang Crustacea sp., seperti udang, lobster, kepiting, dan hewan bercangkang lain terutama asal laut. Sumber ini diutamakan karena bertujuan untuk memberdayakan limbah udang (Hawab, 2004).

Kitin memenuhi kriteria serat pangan dan memiliki sifat yang sangat mirip dengan pangan nabati. Tidak tercernakannya pada bagian atas pencernaan, sifat polimerik dan kemampuan yang tinggi untuk mengikat air dan mengeluarkan air dari bahan, juga bertanggung jawab terhadap potensi hipokolesterolemik dari kitin dan kitosan. Karena kemampuannya membentuk ikatan ionik pada pH rendah,

(36)

kitin dan kitosan dapat mengikat berbagai ion in vitro, misalnya asam empedu dan asam lemak (Taranathan dan Kittur, 2003).

Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut :

1. menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat pathogen dan memperpanjang umur simpan pangan,

2. tidak menurunkan kualitas gizi, warna, aroma, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan,

3. tidak menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah,

4. tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan,

5. tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2006).

Sifat biologi kitosan antara lain :

- Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable).

- Bersifat hemostatik, fungistatik, antitumor, antikolesterol. - Bersifat sebagai depresan pada system saraf pusat.

(37)

Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan bahan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning dan tidak berbau. Sifat fisik kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain ; merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino aktif, dan mempunyai kemampuan mengkhelat beberapa logam (Rismana, 2001).

Sebagai biomaterial bahan makanan, kitosan banyak digunakan dalam makanan siap santap karena memiliki sifat – sifat biofisik yang menguntungkan, seperti kandungan kolesterolnya rendah bahkan sama sekali tidak mengandung kolesterol, tekstur disenangi, sebagai pengemulsi, dapat membentuk gel, dapat memfilter mikroba yang merugikan serta memiliki warna dan aroma yang disenangi (Hawab, 2004).

Kitosan memberikan karakteristik yang unik seperti biokompatibel, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable), bersifat anti bakteri, dan memiliki afinitas yang luar biasa terhadap protein. Selain itu kitosan inert secara biologi, aman untuk manusia dan lingkungan. Sehingga kitosan dapat digunakan untuk berbagai aplikasi biomedikal dan farmasetika, kosmetik, pertanian, dan pengawet makanan serta tekstil (Synowiecki and Al-Kahateb, 2003).

Banyak manfaat yang diperoleh dari pengawetan dengan kitosan ini. Selain harganya lebih murah ternyata efek yang ditimbulkan oleh kitosan lebih kecil bahkan hampir tidak ada apabila dibandingkan dengan formalin.hal ini dapat dilakukan dengan uji organoleptik yang meliputi penampakan, rasa, bau, dan tekstur. Pada konsentrasi 1,5 % dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan pada ikan asin. Kelebihan kitosan dibandingkan dengan formalin yakni kitosan merupakan pengawet yang aman, food safety, dan tidak mengandung

(38)

karsinogenik. Sedangkan efek penggunaan formalin dalam jangka waktu 10 – 20 tahun dapat menyebabkan kanker (Hawab, 2007).

Kitosan memiliki fungsi ganda yakni melapisi sehingga transfer rasa dan aroma dari produk dihalangi lapisan itu kemudian pengaruh dari luarpun dapat dihambat. Jadi, rasa dan penampilan produk lebih baik. Kitosan juga memiliki gugus aktif yang bermuatan, sehingga akan berikatan dengan mikroba perusak, hingga mikroba tersebut mati. Selain itu, dapat berfungsi sebagai antibiotik (Cahyadi, 2006).

Pembuatan Mie Basah dari Labu Kuning

Pembuatan Bubur Labu Kuning

Ada beberapa buah ada yang bisa langsung dimakan tanpa langsung dimasak. Kemudian cara membuat bubur buah yakni buah – buahan dikupas, dipotong – potong, lalu dimasak, bisa direbus atau dikukus lebih baik. Hal ini dikarenakan gizinya tidak terbuang ke dalam air. Buah – buahan matang dihaluskan, bisa menggunakan blender atau disaring. Kalau menggunakan blender, gunakan air sisa rebusan sebagai cairan memblender

(39)

Blansing yakni melayukan jaringan dengan cara mengeluarkan gas – gas dan udara, menonaktifkan enzim – enzim dan juga mempertahankan perubahan rasa, dan mengurangi produk sehingga lebih mungkin diisi dalam muatan. Blansing juga dapat melepaskan gas – gas, mengurangi tekanan pada lapisan kaleng selama proses (Luh and Woodroof, 1975).

Pencampuran Bahan

Bahan – bahan yang telah disiapkan, dicampur menjadi satu, kecuali minyak goreng. Pencampuran dapat digunakan dengan tangan atau mixer sampai membentuk adonan yang homogen, yaitu menggumpal bila dikepal dengan tangan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Dengan proses pengadukan ini serat gluten tertarik tersusun berseling dan terbungkus dalam pati sehingga diperoleh adonan yang lunak dan elastis. Adonan yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah air yang ditambahkan tergantung dari jenis tepung terigunya, sekitar 30 – 38 %. Semakin baik jenis terigu semakin sedikit air yang ditambahkan (Ubaidillah, 1997).

Pembuatan mie diawali dengan proses pencampuran tepung terigu dengan larutan alkali ke dalam suatu alat disebut mixer atau diaduk secara otomatis. Tujuannya agar tepung terigu terhidrasi (menyerap air) sehingga bercampur dengan merata. Penambahan air menyebabkan serat – serat gluten mengembang karena gluten menyerap air (Ubaidillah, 1997).

Pengulenan Adonan

Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni. Pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk silinder dengan diameter

(40)

7 cm dan 1,75 m. pengulenan adonan dilakukan secara berulang – ulang selama sekitar 15 menit (Astawan, 2006).

Pembentukan Lembaran

Adonan yang sudah kalis sebagian dimasukkan ke dalam mesin pembuat mie untuk mendapatkan lembaran – lembaran. Lalu Pembentukan lembaran ini diulang sampai beberapa kali untuk mendapatkan lembaran yang tipis (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Adonan dibagi dua bagian menggunakan pisau. Bagian pertama dimasukkan ke dalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali (4 – 5 kali) sampai ketebalan lembar mie mencapai 1.5 – 2 mm. Lembar yang kedua ditaburi dengan tepung tapioka agar tidak menyatu kembali. Bagian yang kedua diperlakukan seperti potongan pertama. Proses pembentukan lembaran ini berlangsung sekitar 20 menit (Astawan, 2006).

Pembentukan Mie

Proses pembentukan mie umumnya sudah dilakukan dengan alat pencetak mie (roll press) yang digerakkan oleh tenaga listrik. Alat ini memiliki dua rol. Rol pertama berfungsi menipiskan lembaran mie dan rol kedua berfungsi untuk mencetak mie. Pertama lembaran mie masuk ke rol pertama lalu ke rol kedua. Mie yang keluar dari rol pencetak dipotong tiap 1 m dengan gunting (Astawan, 2006).

Bahan – bahan yang telah tersedia diaduk menjadi satu menggunakan

mixer, setelah tercampur ditekan – tekan dan dimasukkan dalam mesin rolling

(41)

Perebusan

Perebusan dilakukan hanya pada pembuatan mie kuning. Air dimasukkan ke wajan kemudian dimasak sampai mendidih. Mie dimasak selama 2 menit sambil diaduk – aduk pelahan. Api yang digunakan untuk merebus mie harus besar agar waktu perebusan singkat. Jika waktu perebusan lama, mie akan menjadi lembek karena ada air yang masuk ke dalam mie (Astawan, 2006).

Pendinginan

Mie hasil dari perebusan itu ditiriskan, selanjutnya didinginkan secara cepat dengan disiram air serta dilakukan penambahan minyak agar tekstur mie

lebih kelihatan halus dan antar pilinan mie tidak lengket (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Pada saat pengolahan bahan pangan mempunyai mutu yang terbaik, tetapi hal ini hanya berlangsung sementara. Beberapa bahan pangan dapat menurun mutunya dalam satu atau dua hari atau dalam beberapa jam. Efek kerusakan oleh pertumbuhan mikroba, keefektifan enzim, perkembangbiakan serangga, pengaruh pemanasan atau pendinginan, kadar air, oksigen dan sinar, semuanya dipengaruhi oleh waktu. Umumnya waktu yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan bahan yang lebih besar (Winarno, et al., 1980).

Beberapa hal yang dapat membantu tercapainya tujuan pengawetan yakni : 1. menggunakan bahan yang segar dan masih baik.

2. bekerja di tempat yang bersih dengan udara yang segar. Di udara berkeliaran bakteri – bakteri antara lain bakteri pembusuk. Karena itu sebaiknya bekerja di tempat bersih, ventilasi yang baik, dan kenakan pakaian yang bersih pula.

(42)

3. menggunakan alat yang baik untuk pengolahan atau untuk menyimpan hasil pengawetan yang bersih dan sedapat mungkin bebas dari bakteri.

4. bekerja dengan tanga yang bersih. Usahakan untuk tidak memegang bahan yang akan diawetkan.

5. bekerja dengan teliti.

6. bakteri pembusuk dan jamur berkembang dengan baik dalam temperatur yang agak panas. Makin rendah temperature makin susah bakteri itu berkembang biak.

7. sering memeriksa keadaan hasil pengawetan. Bila terjadi pembusukan dan penjamuran, bagian yang busuk atau berjamur segera dihilangkan agar tidak merembet ke bagian yang masih baik

(43)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning, tepung terigu, Carboxy Methyl Cellulose, garam dapur, telur, air abu dan air.

Reagensia

- Kitosan - NaOH 15% - Selenium - H3BO3 3%

- H2SO4 (p) - Indikator metil red

- Aquadest - HCl 0,01 N

- Phenolphthalein 1%

Alat

- Timbangan analitik - Beaker glass - Oven

- Panci perebus - Erlenmeyer - Desikator

(44)

Metoda Penelitian

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, yang terdiri dari :

Faktor I : Jumlah Bubur Labu Kuning (L) terdiri dari empat taraf, yaitu L1 = 5 %

L2 = 10 %

L3 = 15 %

L4 = 20%

Faktor II : Konsentrasi Kitosan ( C ) yang terdiri dari empat taraf : C1 = 0 %

C2 = 0,25 %

C3 = 0,50 %

C4 = 0,75 %

Kombinasi perlakuan (Tc) = 4 x 4 = 16, dengan jumlah ulangan minimum perlakuan (n) adalah :

Tc (n – 1) ≥ 15 16 (n – 1) ≥ 15 15 n ≥ 31

n ≥ 1,94 . . . n ≥ 2

Untuk memperoleh ketelitian dilakukan ulangan sebanyak 2 kali.

Model Rancangan (Bangun, 1991)

(45)

Dimana :

Yijk = Hasil pengamatan dari faktor L pada taraf ke – I dan fakptor C

pada

taraf ke – j dengan ulangan k.

= Efek nilai tengah.

i = Efek dari faktor L pada taraf ke – i.

j = Efek dari faktor C pada taraf ke – j.

( )ij = Efek interaksi dari factor L pada taraf ke – i dan factor C taraf

ke – j.

ijk = Efek galat dari faktor L pada taraf ke – i dan faktor C pada taraf

ke – j dalam ulangan k.

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan Bubur Labu Kuning

- Labu kuning dikupas dan dicuci.

- Labu kuning yang telah dicuci lalu dipotong menjadi bagian yang lebih kecil.

- Labu diblanshing selama 5 menit. - Kemudian diblender hingga halus.

Pembuatan Mie Labu Kuning

- Tepung terigu dicampur dengan bubur labu kuning sesuai dengan perlakuan (5 %, 10 %, 15% dan 20%).

- Ditambahkan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebanyak 0,5 %

- Ditambahkan juga garam dapur (2 %), telur (18 %), air abu (0,5%), dan air secukupnya.

(46)

- Ditambahkan kitosan sesuai dengan perlakuan (0%; 0,25%; 0,50%; 0,75). - Dilakukan pengulenan adonan sampai kalis.

- Setelah itu pembentukan lembaran adonan yang dilakukan berulang kali sebanyak tiga kali.

- Kemudian pencetakan mie dengan alat pencetak mie.

- Dilakukan perebusan selama 1 menit, lalu diangkat dan didinginkan. - Dilumuri dengan minyak goreng agar antar pilinan mie tidak lengket. - Disimpan selama 2 hari.

- Lalu mie dianalisa yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar abu, dan uji organoleptik (warna, rasa, dan tekstur (kekenyalan)).

Pengamatan dan Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan berdasarkan hasil analisa yang meliputi beberapa parameter :

Kadar Air ( Dengan Metode Oven) (AOAC, 1970).

- Ditimbang contoh sebanyak 2 gram dalam aluminium foil yang telah diketahui beratnya.

- Dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 4 jam. - Didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.

- Dipanaskan kembali dalam oven selama 30 menit, didinginkan lagi dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi sehingga didapat berat yang konstan.

(47)

% Kadar Air = x100 Awal Berat Akhir Berat Awal Berat − %

Kadar Protein (Sudarmadji, et al., 1989).

- Contoh ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan dalam tabung dekstruksi.

- Ditimbang 2 gram campuran selenium dan H2SO4(p) dicampurkan ke

dalam bahan.

- Didekstruksi dalam labu kjeldhal hingga cairan berwarna hijau jernih, kemudian dibiarkan hingga dingin.

- Dibilas hasil dekstruksi dengan aquadest sebanyak 10 ml dan ditampung dalam erlenmeyer.

- Ditambahkan NaOH 50 % dan didetilasi.

- Ditampung hasil destilasi dalam erlenmeyer berisi 25 ml campuran HCl 0.02 N dan 2 tetes indikator mengsel (campuran metal merah 0.02 % dalam alkohol dan metal biru 0.02 dalam alkohol perbandingan 2:1) hingga 125 ml.

- Dititrasi dengan NaOH 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau. - Dibuat juga larutan blanko dengan mengganti bahan dengan aquadest,

dilakukan destruksi, destilasi, dan dititrasi seperti bahan contoh.

% N = . 14,008 100% 1000 ) ( ) ( . x x HCl N x x g sampel berat Blanko sample HCl ml

% Protein = % N x 5.70

(48)

Kadar Abu (Sudarmadji, et al., 1989).

- Dibersihkan bahan dari kotoran dan dihaluskan. - Ditimbang bahan sebanyak 5 gram lalu dikeringkan.

- Bahan yang telah kering dimasukkan dalam krus porselin yang kering yang telah diketahui beratnya.

- Kemudian dimasukkan dalam muffle pada suhu 600 OC sampai diperoleh abu berwarna keputih – putihan.

- Dimasukkan krus porselin ke dalam desikator dan ditimbang berat abu setelah dingin.

% Kadar Abu = x100%

Awal Berat

Akhir Berat Awal

Berat

Uji Organoleptik (Warna, Rasa, dan Kekenyalan) (Soekarto, 1985).

Uji organoleptik warna, rasa, dan tekstur (kekenyalan) dilakukan dengan uji hedonik. Sampel berupa mie yang telah dimasak diberikan kepada panelis sebanyak 10 orang dengan kode tertentu. Parameter yang diamati adalah warna, aroma, dan tekstur (kekenyalan) dari mie yang dihasilkan.

Skala hedonik untuk warna, aroma, dan tekstur (kekenyalan) adalah sebagai berikut :

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat Suka 4

Suka 3

Agak Suka 2

(49)
[image:49.595.145.443.96.572.2]

Gambar 1. Skema Pembuatan Bubur Labu Kuning

Labu kuning

Dikupas dan dicuci

Dipotong menjadi bagian yang lebih kecil

Diblanshing 5 menit

Diblender hingga halus

(50)

Tepung terigu

Dicampur dengan labu kuning

Jumlah Bubur Labu Kuning (L) : L1 = 5 %

L2 = 10 %

L3 = 15 %

L4 = 20%

Campuran tepung terigu dengan bubur labu kuning

Adonan Konsentrasi Kitosan :

C1 = 0%

C2 = 0,25 %

C3 = 0,50 %

C4 = 0,75 % Diulen adonan selama 20 menit

Dibentuk lembaran

Dicetak

Direbus selama 1 menit

Dilumuri minyak goreng

Mie Basah Dianalisa : 1. Kadar Air 2. Kadar Protein 3. Kadar Abu 4. Uji Organoleptik (Warna, rasa dan tekstur)

CMC 0,5 % Garam dapur 2 % Telur 18 % Air abu 0,5 % Air secukupnya

Ditiriskan

[image:50.595.78.552.117.710.2]
(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

[image:51.595.112.514.230.404.2]

Secara umum hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh terhadap kadar air, kadar protein, kadar abu dan nilai organoleptik seperti dapat terlihat pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Parameter yang Diamati

Jumlah

Bubur Kadar Kadar Kadar Organoleptik (Numerik) Labu Kuning Air Protein Abu Warna Rasa Tekstur

(%) (%) (%) (%) (Kekenyalan)

L1 = 5 49.2 8.4 0.73 2.15 2.8 3.61

L2 = 10 52.74 7.83 0.58 2.73 3 3.29

L3 = 15 54.24 7.04 0.47 3.34 3.29 2.84

L4 = 20 56.15 6.60 0.31 3.66 3.41 2.4

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah bubur labu kuning memberikan pengaruh terhadap parameter yang diuji. Dari Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat pada L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %) yaitu sebesar

56.15 % dan terendah pada L1 (jumlah bubur labu kuning 5%) yaitu sebesar

49.20 %. Kadar protein tertinggi terdapat pada L1 (jumlah bubur labu kuning 5%)

yaitu sebesar 8.40 % dan terendah pada L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %) yaitu

sebesar 6.60 %. Kadar abu tertinggi terdapat pada L1 (jumlah bubur labu kuning 5

%) yaitu sebesar 0.73 % dan terendah pada L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %)

yaitu sebesar 0.31 %. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada L4 (jumlah

bubur labu kuning 20 %) yaitu sebesar 3.66 % dan terendah pada L1 (jumlah

bubur labu kuning 5 %) yaitu sebesar 2.15 %. Nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat pada L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %) yaitu sebesar 3.41 % dan

(52)

organoleptik tekstur tertinggi terdapat pada L1 (jumlah bubur labu kuning 5 %)

yaitu sebesar 3.61 % dan terendah pada L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %) yaitu

sebesar 2.4 %.

[image:52.595.113.514.275.445.2]

Secara umum hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan memberi pengaruh terhadap kadar air, kadar protein, kadar abu dan nilai organoleptik seperti dapat terlihat pada Tabel 7 berikut :

Tabel 7. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Parameter yang Diamati

Konsentrasi Kadar Kadar Kadar Organoleptik (Numerik)

Kitosan Air Protein Abu Warna Rasa Tekstur

(%) (%) (%) (%) (Kekenyalan)

C1 = 0 55.20 6.96 0.47 2.73 2.88 2.84

C2 = 0.25 53.36 7.37 0.5 2.9 3.05 2.95

C3 = 0.5 52.34 7.62 0.54 3.03 3.23 3.1

C4 = 0.75 51.43 7.91 0.58 3.23 3.35 3.25

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsentrasi kitosan memberikan pengaruh terhadap parameter yang diuji. Dari Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat pada C1 (konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar

55.20 % dan terendah pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %) yaitu sebesar

51.43 %. Kadar protein tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %)

yaitu sebesar 7.91 % dan terendah pada C1 (konsentrasi kitosan 0%) yaitu sebesar

6.96 %. Kadar abu tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %) yaitu

sebesar 0.58 % dan terendah pada C1 (konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar

0.47 %. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan

0.75 %) yaitu sebesar 3.23 % dan terendah pada C1 (konsentrasi kitosan 0 %)

(53)

(konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar 2.88 %. Nilai organoleptik tekstur tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %) yaitu sebesar 3.25 % dan

terendah pada C1 (konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar 2.84 %.

Kadar Air (%)

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Air (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air.

[image:53.595.114.516.422.528.2]

Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur labu kuning terhadap kadar air untuk tiap – tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Air (%)

Jarak LSR Jumlah Bubur Rataan Notasi

0.05 0.01 Labu Kuning (%) 0.05 0.01

- - - L1 = 5 49.20 d C

2 1.154 1.589 L2 = 10 52.74 c B

3 1.212 1.670 L3 = 15 54.24 b B

4 1.243 1.712 L4 = 20 56.15 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %.

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 memberi pengaruh berbeda

sangatnyata terhadapperlakuan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 memberi pengaruh

berbeda nyata terhadapperlakuan L3 dan berbeda sangat nyata terhadapperlakuan

L4. Perlakuan L3 memberi pengaruh berbeda sangatnyata terhadapperlakuan L4.

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan L4 (jumlah bubur labu kuning 20 %) yaitu sebesar 56.15 % dan terendah

pada L1 (jumlah bubur labu kuning 5%) yaitu sebesar 49.20%. Hal ini

(54)

menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah bubur labu kuning, maka kadar air akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan labu kuning mengandung jumlah air yang cukup banyak, kemudian mengalami proses penghancuran dengan penambahan sejumlah air untuk menjadikan bentuk bubur labu kuning, sehingga jumlah air yang terkandung dalam bubur labu kuning menjadi lebih banyak. Inilah yang menyebabkan tingginya jumlah air yang terdapat pada bahan. Sehingga dengan semakin banyak jumlah bubur labu kuning yang dipergunakan, maka kadar air akan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan Tarwotjo, (1998) bahwa bubur mempunyai konsistensi yang lebih lembek dan lebih halus dari nasi tim. Kelembekannya tergantung banyaknya atau jumlah air yang digunakan. Untuk bubur kental dapat menggunakan perbandingan bahan dan air = 1: 7 – 10. Bila ingin lebih encer atau lebih halus lagi dapat menggunakan perbandingan bahan dan air = 1: 10 – 20. Kekentalan bubur yang dipilih tergantung kebutuhan.

Hubungan antara jumlah bubur labu kuning terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 3 yang mengikuti garis regresi linier :

= 0.447L + 47.495 r = 0.9628

46 48 50 52 54 56 58

0 5 10 15 20

Jumlah Bubur Labu Kuning (%)

K

ada

r A

[image:54.595.118.503.474.738.2]
(55)

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi kitosan memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar air.

[image:55.595.113.512.290.429.2]

Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kadar air untuk tiap – tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap

Kadar Air (%)

Jarak LSR Konsentrasi Rataan Notasi

0.05 0.01 Kitosan (%) 0.05 0.01

- - - C1 = 0 55.20 a A

2 1.154 1.589 C2 = 0.25 53.36 b B

3 1.212 1.670 C3 = 0.5 52.34 bc BC

4 1.243 1.712 C4 = 0.75 51.43 c C

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan C1 memberi pengaruh yang

berbeda sangat nyata terhadap perlakuan C2, C3 dan C4. Perlakuan C2 memberi

pengaruh berbeda tidak nyata terhadap perlakuan C3 dan berbeda sangat nyata

terhadapperlakuan C4 sedangkan perlakuan C3 memberi pengaruh berbeda tidak

nyata terhadapperlakuan C4.

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi terdapat pada C1

(konsentrasi kitosan 0 %) yaitu sebesar 55.20 % dan terendah pada C4

(56)

gugus amino aktif yang dapat mengikat air dari bahan sehingga semakin tinggi konsentrasi kitosan, maka akan semakin sedikit jumlah kadar air pada bahan. Hal ini sesuai dengan Taranathan dan Kittur, (2003) bahwa kemampuan yang tinggi dari kitosan dan kitin untuk mengikat air dan mengeluarkan air dari bahan. Juga menurut Rismana, (2001) yang menyatakan bahwa adanya sifat kimia kitosan sama dengan kitin yakni mempunyai gugus amino aktif yang dapat mengikat air dan mudah menjadi spons (bentuk yang berongga). Sehingga dengan diikatnya air, pengaruhnya yakni tidak dapat dipergunakan oleh mikroba untuk melanjutkan proses kehidupannya dan pertumbuhannya menjadi terganggu. Sesuai dengan pernyataan Cahyadi, (2006) bahwa kitosan juga memiliki gugus aktif yang bermuatan, sehingga akan berikatan dengan mikroba perusak dan mikroba tersebut mati dikarenakan tidak adanya air yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba tersebut.

(57)

= - 4.932 C+54.932

r = - 0.9692

50 51 52 53 54 55

0 0.25 0.5 0.75

Konsentrasi Kitosan (%)

K

a

d

a

r A

ir (%

[image:57.595.122.502.93.426.2]

)

Gambar 4. Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air

Pengaruh Interaksi Jumlah Bubur Labu Kuning dan Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Air (%)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat menunjukkan bahwa jumlah bubur labu kuning dan konsentrasi kitosan memberi pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap kadar air yang dihasilkan, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar Protein (%)

Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa jumlah bubur labu kuning memberi pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein yang dihasilkan.

(58)

Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur labu kuning terhadap kadar protein untuk tiap – tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein (%)

Jarak LSR Jumlah Bubur Rataan Notasi

0.05 0.01 Labu Kuning (g) 0.05 0.01

- - - L1 = 5 8.40 a A

2 0.395 0.544 L2 = 10 7.83 b B

3 0.415 0.571 L3 = 15 7.04 c C

4 0.425 0.586 L4 = 20 6.60 d C

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 memberi pengaruh yang

berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 memberi

pengaruh berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L3 dan L4. Perlakuan L3

memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadapperlakuan L4.

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa kadar protein tertinggi terdapat pada L1

(jumlah bubur labu kuning 5%) yaitu sebesar 8.40 % dan terendah pada L4

(59)

dalam bentuk gluten. Kemudian sesuai dengan Widyaningsih dan Murtini, (2006) yang menyatakan bahwa tepung terigu yang digunakan sebaiknya yang mengandung gluten 8-12%. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu. Terigu memiliki sifat yang unik yakni terigu akan membentuk gluten ketika dibasahi dengan air. Menurut Astawan, (2006) yang menyatakan bahwa keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air, sehingga semakin sedikit jumlah tepung terigu yang dipergunakan, maka akan sedikit protein yang terbentuk.

Hubungan antara jumlah bubur labu kuning terhadap kadar protein mengikuti garis regresi linear seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.

= - 0.1238 L + 9.015 r = - 0.9894

0 3 6 9

0 5 10 15 20

Jumlah Bubur Labu Kuning (%)

K

a

da

r P

rot

e

in (

%

[image:59.595.121.497.342.640.2]

)

Gambar 5. Pengaruh Jumlah Bubur Labu Kuning terhadap Kadar Protein

(60)

Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein (%)

Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi kitosan memberi pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein.

[image:60.595.113.515.303.399.2]

Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur labu kuning terhadap kadar protein untuk tiap – tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Uji LSR Efek Utama Pengaruh Konsentrasi Kitosan terhadap Kadar Protein (%)

Jarak LSR Konsentrasi Kitosan Rataan Notasi

0.05 0.01 (%) 0.05 0.01

- - - C1 = 0 6.96 c B

2 0.395 0.544 C2 = 0.25 7.37 bc AB

3 0.415 0.571 C3 = 0.5 7.62 ab A

4 0.425 0.586 C4 = 0.75 7.91 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %.

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan C1 memberi pengaruh yang

berbeda tidaknyata terhadapperlakuan C2, tetapi memberi pengaruh yang berbeda

sangat nyata terhadap perlakuan C3 dan C4. Perlakuan C2 memberi pengaruh

berbeda tidaknyata terhadapperlakuan C3 dan berbeda nyata terhadapperlakuan

C4. Sedangkan perlakuan C3 memberi pengaruh yang berbeda tidaknyata terhadap

perlakuan C4.

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa kadar protein tertinggi terdapat pada C4 (konsentrasi kitosan 0.75 %) yaitu sebesar 7.91 % dan terendah pada C1

(61)

berikatan dengan protein dalam bahan. Hal ini sesuai dengan Synowiecki and Al-Kahateb, (2003) bahwa kitosan memiliki afinitas yang luar

biasa terhadap protein. Juga sesuai dengan Rismana, (2003) bahwa kitosan merupakan kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer D – glukosamin dan mampu berikatan dengan protein.

Hubungan antara konsentrasi kitosan te

Gambar

Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Labu Kuning per 100 g Bahan                Komposisi Jumlah
Tabel 3. Standar Mutu Mie Basah Kriteria Uji
Tabel 4. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 g Bahan Komponen Jumlah
Gambar 1. Skema Pembuatan Bubur Labu Kuning
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari daftar sidik ragam (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa interaksi antara konsentrasi karbondioksida dan sukrosa memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap

Daftar sidik ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa interaksi antara perbandingan jamur tiram dan tempe dengan penambahan tapioka dan tepung labu kuning memberikan pengaruh

Daftar sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa interaksi antara perbandingan CMC dengan gum arab dan konsentrasi kuning telur memberikan pengaruh berbeda tidak nyata

Total asam minuman fungsional labu kuning yang dihasilkan berpengaruh sangat nyata dari perlakuan konsentrasi sari buah labu kuning dan konsentrasi gula terhadap mutu

Pengaruh proporsi pasta labu kuning dan cabai rawit serta konsentrasi ekstrak rosella merah terhadap sifat fisik kimia organoleptik saus labu kuning pedas.. Jurnal

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 6)dapat dilihat bahwa interaksi konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P&gt;0,05)

Berdasarkan daftar sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa interaksi perbandingan sari wortel dengan bubur labu siam dan jumlah pektin memberikan pengaruh

Uji LSR efek utama interaksi antara perbandingan bubur buah belimbing dengan bubur labu kuningdan konsentrasi natrium benzoat pada mutu saus belimbing terhadap total mikroba ...