• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Prinsip Miranda Rule (Pendampingan Penasihat Hukum) Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia (Studi kasus No. 22/ Pid.B/ 2002/ PN.WNS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelanggaran Prinsip Miranda Rule (Pendampingan Penasihat Hukum) Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia (Studi kasus No. 22/ Pid.B/ 2002/ PN.WNS)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adisoeryo, Soeparno, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Administrasi Peradilan Sistem Peradilan Terpadu, Sinar Harapan, Jakarta, 2002. Amir, Ari Yusuf, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta, 2008. Atmasasmita, Romli Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung,

2003.

DPP PERADIN, Tinjauan Kritis Yuridis Bertolak Dari Kedudukan Tersangka, Sinar Harapan , 4-1-1982

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2008. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permaslahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Irianto, Bibit Samad, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional,Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat, Restu Agung, Jakarta, 2006.

Lubis, M. Sofyan dan M. Haryanto, Pelanggaran Miranda Rule, Juxtapose, Yogyakarta, 2008.

Mulyadi, Lilik, Hukum acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Mulyadi, Lilik Hukum Acara Pidana, Suatu Tunjauan Khusus terhadap Surat

Dakwaan, Eksepsi dan putusan peradila, Aditya Bhakti, Bandung, 2000. Nasution, Hasanuddin Mewujudkan Organisasi Advokat Yang Profesional, Sinar

Harapan, Jakarta, 2005.

P. A. F. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudinsi dan Ilmu Pengetahuan Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1995.

Prinst, Darwin, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta 1998.

(2)

Purnomo, Bambang, Pandangan Terhadap Azas-azas Hukum Acara Pidana, Erlangga, Yogyakarta, 1987.

R. Soesilo, Tehnik Berita Acara Ilmu Bukti dan Laporan, Politeia, Bandung, 1987.

Sadjijo, Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, 2008.

Samosir, Djisman Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bina Cipta, Bandung, 1988.

Satriyo, Rudi, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Senoadji, Oemar Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Liberty, Yogyakarta, 1993.

Soekanto Soerjono dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. V, IND-HILL-CO, Jakarta, 2001, hal. 13.

Subekti, Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan, Soerongan, Djakarta, 1955. Tresna, Komentar H.I.R, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.

Yuda Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, PT Abadi Jaya, Jakarta, 2001

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 8 tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Politeia, Bogor, 1995.

Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Sinar Grafika,, Jakarta, 2000.

Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam buku Himpunan Perundang-undangan Dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Ketentuan pokok Kepolisian Negara. Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

(3)

C. Sumber lain

Administrasi Peradilan Pidana Indonesia, http://www.legalitas.org/?q=Administrasi+Peradilan+Pidana+Indonesia.

Miranda Rule dalam KUHAP

Peradilan sesat,

Penegakan hukum antara harapan dan kenyataan,

Surat Dakwaan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor Register Perkara : PDM-06/Wsari/02/2002.

Putusan Sela Pengadilan Negeri Wonosari Nomor Register Perkara : 22/Pid.B/2002/PN.Wnsr.

Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor Register Perkara : 03/PID/PLW/2002/PTY.

Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor Register Perkara : 11/Pid.B/2003/PN.Blora.

Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor Register Perkara : 34/Pid.B/1995/PN. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor Register Perkara : 1565k/Pid/1991.

(4)

BAB III

PELANGGARAN PRINSIP MIRANDA RULE DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Macam-macam pelanggaran Miranda rule dalam praktik peradilan di Indonesia

1. Macam-Macam Pelanggaran Yang Sering Terjadi

Penerapan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tidak selalu mulus, justru cenderung diabaikan oleh penyidik maupun para pejabat pada semua tingkat peradilan. Pelanggaran demi pelanggaran sering terjadi dalam praktik peradilan di indonesia. Pelanggaran tersebut terjadi dalam lingkup instansi:

a. Kepolisian/ Instansi Penyidikan

Banyak oknum polisi menangkap tersangka dan di tempat kejadian tersebut tersangka langsung di interogasi tanpa terlebih dulu memberikan miranda warning.

Dengan dalih dalam rangka penyrlidikan, banyak oknum polisi sering menginterogasi seseorang yang diduga ada kaitannya dengan perkara pidana yang ditanganinya. Dengan dalih tersangka tidak mempunyai uang dan hak asasi manusia, beberapa oknum polisi menyarankan supaya tersangka tidak usah menggunakan penasihat hukum, dan membuatkannya pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum. dan tidak sedikit dari kalangan penyidik beranggapan, bahwa dengan adanya pernyataan dari diri tersangka tentang tidak bersedia adanya penasihat hukum unutk mendampinginya merupakan hak asasi tersangka sebagaimana diwajibkan dala pasal 56 ayat (1) KUHAP. Dengan dalih pula untuk memperlancar proses penyidikan, beberapa oknum polisi berupaya agar setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan penasihat hukum atau

(5)

Dengan dalih tidak ada penasihat hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, banyak penyidik mengabakan kewajiban yang diamanatkan kepadanya, seperti yang tercantum dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP.47

Dengan dalih sudah tidak dilakukan pemeriksaan lagi, maka banyak oknum jaksa atau penuntut umum tidak perlu menunjuk penasihat hukum guna mendampingi tersangka. Dengan dalih sudah ada surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasihat hukum yang dibuat ditingkat penyidikan, maka ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dianggap sudah terpenuhi. Dengan dalih tidak ada penasihat hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, banyak jaksa atau penuntut umum atau kepala Kejaksaan Negeri menagabaikan kewajiban yang diamanatkan pasal 56 ayat (1) KUHAP.

b. Tingkat Kejaksaan

48

47

M. Sofyan Lubis dan M. Hariyanto., Op.Cit., hal. 47.

48

Ibid, hal. 47 c. Tingkat Pengadilan

Dengan dalih masih terjadinya kontroversi perihal penerapan pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka Hakim bebas mengikuti pendapat yang mana saja. Dengan dalih Undang-Undang belum mengatur secara tegas, maka hakim berwenang untuk memutuskan sesuai dengan hati nuraninya. Dengan dalih demi kepentingan umum, maka hak hak terdakwa dapat dikesampingkan. Dalam hal ini Hakim menggunakan haknya untuk tidak bisa dipersalahkan atu dituntut ats kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

(6)

B. Penyebab terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule

Pelanggaran Miranda Rule dalam praktik peradilan di Indonesia dapat terjadi antara lain:49

Hal ini dapat tejadi bukan karena penyidik tidak menyikapi pasal 56 ayat (1) KUHAP, akan tetapi jika oknum penyidik tersebut merasa kehadiran penasihat hukum bagi tersangka akan mengurangi kebebasannya dalam mencapa target-target tertentu yang akan didapatkannya dari tersangka. Jika demikian, patut diduga oknum penyidik tersebut khawatir rahasia perlakuan kurang terpuji yang dilakukannya dalam proses penyidikan yang bertewntangan dengan undang undang akan diketahui oleh penasihat hukum, apalagi jika penasihat hukum tersebut adalah orang yang idealis dan profesional. Biasanya untuk mengatasi kewajiban penyidik untuk tidak menunjuk penasihat hukum, oknum penyidik tersebut akan berupaya keras mendapatkan surat pernyataan dari tersangka yang tidak bersedia didampingi penasihat hukum. Selama ini surat pernyataan dari a. Kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP

Dalam proses peradilan, banyak penyidik atau penyidik pembantu beranggapan bahwa kewajiban penyidik terhadap tersangka adalah kewajiban untuk memberitahukan kepada tersangka akan haknyauntuk mendapat bantuan hukum atau didampingi penasihat hukum bukan kewajiban menunjuk penasihat hukum. Anggapn dan penafsiran ini adalah penafsiran yang pincang dan tidak lengkap dari apa yang dimaksudka dalam pasal 114 KUHAP, atau penyidk hanya mengerti dan menjankan pasal 54 KUHAP yang berlaku untuk semua perkara pidana.

b. Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penyidik

49

(7)

tersangka yang tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum dengan mudah diperoleh penyidik darti tersangka.

Biasanya ditanya kepada terasangka tentang kemampuannya membiayai pengacara yang cukup mahal, dan oleh tersanka biasanya akan dijawab bahwa dirinya tidak punya uang untuk membiayai pengacara. Atas dasar itu, penyidik mempunyai alasan kuat untuk membuatkan pernyataan bahwa tersangka tidak bersedia didampingi penasihat hukum.

c. Tidak Adanya Penasihat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut

Hal ini dapat terjadi jika di wilayah hukum dimana tempat tersangka disidik tidak ada atau sulit dicari penasihat hukum yang akan ditunjuk penyidik untuk mendampingi tersangka, karena tempatnya terpencil atau jauh dari tempat praktik penasihat hukum.

d. Belum adanya mekanisme dan aturan pelaksanaan yang jelas yang mengatur kesediaan penasihat hukum untuk ditunjuk sebagai penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (2) KUHAP

(8)

ditunjuk dalam memberi batuan hukum kepada terdakwa. Akan tetapi dalam prakteknya sulit dilaksanakan anggaran bantuan hukum tersebut secara berkelanjutan dari tahun ketahun, dan penasihat hukum yang ditunjuk dalam memberi bantuan kepada terdakwa secara cuma cuma tersebut sering tidak menerima haknya sebagaimana mestinya. Hak tersebut sebenarnya sangat kecil yakni hanya sekedar untuk biaya operasional saja. Bahkan tidak jarang penasihat hukum yang bersangkutan hanya menerima 50% (lima puluh persen) dari dana yang seharusnya diterima.

e. Adanya Persepsi yang Keliru Bahwa Penunjukan Penasihat Hukum Memerlukan Suatu Anggaran Khusus dan di Instansi Peradilan Hal Tersebut Tidak Dianggarkan

(9)

khusus untuk itu, namun berkat keluesan dan hubungan baiknya dengan beberapa penasihat hukum atau advokat atau beberapa lembaha bantuan hukum yang ada, kebijakan dan kewajiban dalam penunjukan penasihatnhukum bagi tersangka sebagaimana diharuskan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP tetap dapat dilakukan penyidik.

C. Akibat atas adanya pelanggaran Miranda Rule

Akibat dari adanya pelanggaran Miranda Rule di Negara Indonesia masih tergolong “dimaafkan”. Padahal di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), pelanggaran terhadap Miranda Rule akan mengakibatkan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima dan pengakuan yang dibuat oleh tersangka tidak sah.

Di Indonesia, ada tiga pendapat tentang konsekuensi adanya pelanggaran Miranda Rule ini, yaitu :50

Akibat dari adanya pelanggaran Miranda Rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak diterima. Pertama, pelanggaran Miranda Rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.

Kedua, pelanggaran Miranda Rule bisa mengakibatkan tuntutan tidak dapat diterima, tetapi bisa juga untuk tetap diterima tergantung jenis Miranda Rule yang dilanggar.

Ketiga, pelanggaran Miranda Rule tidak mempengaruhi proses peradilan. Dengan ditegakkannya prinsip Miranda Rule di dalam praktik peradilan di Indonesia, akan memperkecil kesempatan para oknum aparat penegak hukum untuk bertindak menyalahgunakan kewenangannya kepada seorang tersangka dan atau terdakwa.

50

(10)

Dalam Kondisi Peradilan di Indonesia yang carut marut ini, ternyata ada beberapa perkara atau kasus yang dalam putusannya mnyatakan pelanggaran Miranda Rule tidak dapat ditolelir, dan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima.

Putusan-putusan pengadilan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September

1993 yang menyatakan “apabila syarat-syarat permintaan dana atau hak tersangka atau terdakwa tidak terpenuhi, seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima. 51

2. Putusan Pengadilan Negeri Tegal No. 34/Pid.B/1995/PN.Tgl tanggal 26 Juni 1995 sebagaimana dalam perkara tersebut, Jaksa penuntut Umum mendakwa terdakwa yang bernama Aki telah melakukan korupsi, yaitu memasukkan berbagai kayu dari Kalimantan ke Pelabuhan Tegal tanpa dilindungi dokumen yang sah berupa SAKO (Surat Angkutan kayu Olahan) dan SAKB (Surat Angkutan Kayu Bulat) sehingga negara menderita kerugian sebesar 16 Miliar Rupiah. Dalam Putusan sela perakara, terdakwa dibebeaskan oleh majelis Hakim, dengan alasan tersangka dalam proses penyidikan di Mabes Polri tidak didampingi oleh Penasihat Hukum.52

3. Putusan Pengadilan Negeri Blora No. 11/Pid.B/2003/PN.Bla tanggal 13 Februari 2003, dalam perkara tindaka pidana sebagaimana diancam pasal 50 ayat (3) sub h Jo. Pasal 78 ayat (7) dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam bagian pertimbangan Putusan tersebut, Majelis Hakim sependapat dengan eksepsi Penasihat Hukum yang mengatakan bahwa

51

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1565 K/Pid/1991

52

(11)

penyidikan terhadap tersangka haruslah didampingi oleh penasihat hukum dan mengharuskan penyidik untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sebagaimana diharuskan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Oleh karenanya BAP tersangka harus dinyatakan batal demi hukum.53

53

(12)

BAB IV

UPAYA PENANGGULANGAN PELANGGARAN MIRANDA RULE

A. Upaya Penal

Dengan adanya pelanggaran Miranda Rule dalam praktik peradilan di Indonesia, maka tersangka, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan atau keberatan melalui mekanisme atas prosedur-prosedur sebagai berikut :54

Keberatan terhadap pelanggaran Miranda Rule dalam proses peradilan, dapat juga dilakukan dengan mekanisme eksepsi (tangkisan yang dilakukan setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya), dengan alasan adanya pelanggaran Miranda Rule sehingga diharapkan dengan adanya eksepsi tersebut, Majelis Hakim Pemeriksa perkara tersebut dapat memutuskan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak sah.

1. Keberatan pada tingkat Penyidikan

Terhadap adanya pelanggaran Miranda Rule, seorang tersangka, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pejabat yang melakukan pelanggaran atau pada atasan pejabat tersebut. Memang hal ini belum diatur secara khusus dan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun secara prinsip hukum yang berlaku universal, maka pengajuan keberatan kepada pejabat yang bersangkutan dibenarkan. Tetapi yang menjadi persoalan, karena tidak diaturnya secara khusus dan tegas, maka keberatan terhadap pelanggaran Miranda Rule tersebut dapat dikabulkan atau juga tidak. Hal tersebut tergantung pada kebijakan dan pemahaman dari pejabat yang bersangkutan.

2. Eksepsi atau Keberatan Dalam Persidangan

54

(13)

3. Pledooi

Selain mekanisme eksepsi, penuntutan terhadap pelanggaran Miranda Rule yang dilakukan oleh penyidik dapat dilakukan di dalam pledooi atau pembelaan di sidang pengadilan. Penuntutan terhadap pelanggaran Miranda Rule merupakan keberatan terhadap proses peradilan. Adanya keberatan terhadap proses peradilan biasanya akan menjadi pertimbangan tersendiri oleh Hakim, disampung mempertimbangkan salah tidaknya tersangka. Banyak juga putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa proses penyidikan tidak sah. Oleh karenyanya penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk).

4. Kasasi

Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh peangdilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.

Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan Kasasi sudah diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang pada intinya adalah sebagai berikut :

1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tetapi tidak sesuai dengan semestinya.

2. Apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundangan yang berlaku.

3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.

(14)

berat. Dalam permohonan Kasasi, hal ini cukup untuk dijadikan alasan seorang terpidana untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan peraturan hukum pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, padahal pasal tersebut besifat imperatif atau wajib untuk dilaksanakan. 5. Peninjauan Kembali

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memeproleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP dilakukan atas dasar :

1. Apabila terdapat bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala penuntutan atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.

2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai yang dijadikan dasar dan alasan putusan yang dnyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan antara satu dengan lainnya.

3. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

(15)

maupun hakim, maka berarti pelanggaran Miranda Rule yang telah terjadi sebagai alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (herziening) pada saat dimana perkara yang bersangkutan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.

Upaya hukum PK dengan menggunakan alasan pelanggaran Miranda Rule sebenarnya dapat dihindari, jika Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan terlebih dahulu meneliti dan memeriksa berkas . Jika didalam berkas tersebut tidak ditemukan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan prinsip-prinsip Miranda Rule, maka mengingat sifat pemeriksaan perkara pidana yang mengharuskan majelis Hakim bersifat proaktif dalam memeriksa dan menemukan hal-hal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam putusannya, ditambah lagi dengan dasar bahwa hakim dalam memutus suatu perkara, bersifat bebas dan mandiri. Maka Jika di dalam berkas perkara terdapat bukti belum ditegakkannya prinsip Miranda Rule sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka majelis hakim harus berani secara sepihak memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam perakara tersebut, yang salah satu amar putusannya berbunyi bahwa tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.

B. Upaya Non Penal

(16)

dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement (pelaksanaan hukum) di negeri ini. Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain :55

55

Penegakan hukum antara harapan dan kenyataan,

Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(17)

2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya.

3. Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum (law enforcement) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum (vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU No.39 tahun 1999.

4. Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum .

5. Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama

(18)

dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri.

6. Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (rechtsstaat). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol

(19)

dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.

Mahkamah Agung pada bulan Maret 2007 membentuk Tim Kajian yang merancang konsep peraturan Mahkamah Agung atau yang sejenisnya, agar publik dapat mengakses putusan pengadilan dengan cepat, ketentuan mengenai biaya perkara, informasi tentang perkembangan penanganan perkara. Upaya ini, merupakan bagian dari semangat Mahakamah Agung mewujudkan transparansi administrasi peradilan dan pelaksanaan amanat UU No. 4 Tahun 2004. Dalam upaya mencapai Visi tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Misi, yaitu : Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta

memenuhi rasa keadilan masyarakat;

Mewujudkan Peradilan yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain; Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat; Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan; Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati; Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan.56

Sebagai dasar penulisan skripsi ini penulis menyertakan suatu contoh kasus yang disertai dengan putusan yang menerapkan prinip Pelanggan Miranda Rule sebagi berikut :

56

(20)

C. ANALISIS PUTUSAN SELA PENGADILAN NEGERI WONOSARI Nomor register perkara No. 22/Pid.B/2002/PN/WNSR

a. KASUS 1. Posisi Kasus

(21)

- Pada hari Sabtu tanggal 17 November 2001 setelah tiba di Yogyakarta sekitar jam 17.00 WIB, para terdakwa ditelepon oleh Sukarminingsih yang mengatakan kalau sudah mendapat uang palsu agar segera menyerahkan kepada Sukarminingsih. Kemudian sekitar jam 21.00 WIB terdakwa I dan terdakwa II menyerahkan uang palsu kepada Sukarminingsih pecahan Rp. 50.000,- senilai Rp. 7.500.000,- yang kemudian diserahkan kepada Adi Suyanto alias Gino dan ternyata uang palsu tersebut tidak berjumlah 150 lembar namun berjumlah 146 lembar, sedangkan sisanya uang palsu pecahan Rp. 50.000,- senilai Rp. 2.500.000,- dan ternyata berjumlah 43 lembar tetap dibawa dan disimpan oleh terdakwa II, yang kemudian setelah menyerahkan uang palsu tersebut para terdakwa pulang.

- Pada hari Senin tanggal 19 November 2001, datang ke rumah Sukarminingsih petugas Polres Gunungkidul yang sebelumnya mendapat informasi untuk melakukan penagkapan terhadap Sukarminingsih dengan para terdakwa, oleh petugas Polisi, Sukarminingsih diminta untuk menghubungi terdakwa I dan terdakwa II agar datang ke rumah Sukarminingsih, yang tidak lama kemudian para terdakwa pulang.

(22)

2. Dakwaan

Terhadap perbuatan Terdakwa sebagaimana posisi kasus di atas maka Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Wonosari mengajukan terdakwa ke persidangan dengan dakwaan sebagai berikut :57

57

Surat Dakwaan Nomor Register Perkara. PDM-06/Wsari/02/2002

Terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri pada hari Sabtu tanggal 17 November 2001 sekira jam 21.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan November 2001 bertempat si rumah Sukarminingsih di dusun Ngangruk, Kebon dalem, Prambanan Klaten atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Klaten, namun mengingat saksi-saksi banyak yang bertempat tinggal di daerah hukum Wonosari, serta para terdakwa di tahan daerah hukum Pengadilan Negeri Wonosari, maka berdasarkan pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri Wonosari berwenang memeriksa dan mengadili, dengan sengaja menjalankan serupa mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang ditiru atau dipalsukan sendiri atau yang pada waktu diterima atau diketahuinya palsu atau dipalsukan atau menyimpan mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang demikian dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan yang tiada yang dipalsukan sebanyak 189 (seratus delapan puluh) lembar uang palsu pecahan Rp. 50.000,- perbuatan tersebut merupakan pelanggaran pasal 245 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

3. Pengajuan Eksepsi

I. Dasar hukum pengajuan Eksepsi

(23)

1. Bahwa pada dasarnya memang Pasal 156 ayat (1) KUHAP memberikan kewenangan kapada terdakwa atau panasihat hukum untu mengajukan keberatan/Eksepsi, yang meliputi :

A. Eksepsi pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya B. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima

C. Eksepsi surat dakwaan harus dibatalkan

2. Bahwa selain keberatan yang dimaksud dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut. Ternyata dalam praktik atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya ada juga keberatan-keberatan lainnya yang dapat diajukan oleh terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Adapun keberatan-keberatan (Eksepsi) tersebut adalah sbb:

A. Eksepsi kewenangan menuntut gugur

Eksepsi ini memohon kepada Majelis Hakim supaya memutuskan bahwa kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur. Yang masuk dalam kategori Eksepsi ini adalah :

- Exceptio Judicate atau nebis in idem (pasal 76 KUHP) - Exceptio in tempores (pasal 78 KUHP)

- Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)

B. Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima

Putusan atau Eksepsi ini diatur dalam pasal 263 ayat (2) huruf a dan pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP. Didalam ketentuan pasal-pasal tersebut menyatakan dibolehkannya putusan hakim dengan amar putusan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Eksepsi jenis ini merupakan keberatan terhadap tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum.

(24)

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, Penerbit Sinar Grafika, tahun 2000, pada halaman 121, menjelaskan :

Eksepsi tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima adalah Eksepsi yang dilakukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan terhadap terdakwa tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan Undang-undang. Dalam mengajukan Eksepsi ini, permohonan yang terhadap hakim adalah agar hakim menjatuhkan putusan dengan amar menyatakan bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.

Yang masuk dalam kategori Eksepsi ini adalah :

- Eksepsi pelanggaran Miranda Rule, bahwa penyidikan tidak memenuhi ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP.

- Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat klacht delict

- Eksepsi penyidikan tidak memenuhi ketentuan yang diwajibkan dalam KUHAP dan atau peraturan perundangan lainnya yang berkaitan.

Sedangkan menurut Lililik Mulyadi, SH., MH., menjelaskan :58

- Apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya telah Kadaluwarsa.

Yang dimaksud Eksepsi tuntutan Penuntut umum tidak dapat diterima, adalah:

- Bahwa adanya asas nebis in idem, yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya terhadap perbuatan yang sama.

- Bahwa tidak ada unsur penagdual padahal terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana yang masuk dalam kategori delik aduan (klacht delict)

58

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Suatu Tunjauan Khusus terhadap Surat

(25)

- Adanya unsur yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan,disangkakan.

- Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup dalam bidang hukm perdata. Dasar hukum yang membolehkan dilakukannya Eksepsi jenis ini, juga didapat dari yurisprudensi-yurisprudensi sebagai berikut:

- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 510 K/Pid?1988, tanggal 28 April 1988, yang menyatakan : tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. - Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16

September 1993, yang menyatakan: apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sjak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.

- Putusan Pengadilan Negeri Tegal No. 34/Pid.B/1995/PN.Tgl, tanggal 26 Juni 1995, yang menyatakan : penyidikan yang dilakukan oleh Mabes Polri tidak sah karena Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak diterapkan sebagaiman mestinya, sehingga penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.

II. Jenis Eksepsi yang diajukan

Bahwa dalam kasus ini (incasu) Eksepsi atau keberatan yang kami ajukan ini, adalah EKSEPSI/KEBERATAN terhadap adanya Pelanggaran Pasal 56 ayat (1) KUHAP oleh Penyidik POLRI, yang lebih dikenal dengan Pelanggaran Miranda Rule di dalam proses peradilan, dengan alasan :

(26)

3). Fakta hukum menunjukan bahwa Penyidik telah melalaikan kewajibannya dalam menunjuk Penasihat Hukum bagi para tersangka; Bahwa dalam “Due Process Of Law” sekalipun pihak Kepolisian di dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan: dan “penyidikan”, oleh Undang-undang telah diberi hak istimewa atau hak privilise kepada Polri untuk : memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap dan dari diri tersangka, akan tetapi di dalam melaksanakan hak-haknya Polri tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip The Right of Due Process, yaitu para tersangka berhak diselidiki atau disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”.

Bertitik tolak dari azas ini, Polri di dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang pada “ketentuan khusus” yang diatur dalam “Hukum Acara Pidana” (Criminal Procedure) yaitu dalam hal ini adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP).

Konsep “due process” merupakan bagian yang integral dari upaya menjunjung tinggi “supremasi hukum” dalam menagani tindak pidana yang pelaksanaannya harus berpedoman dan meghormati doktrin “inkorporasi” yang memuat berbagai hak yang antara lain telah dirumuskan dalam Bab VI KUHAP, salah satunya adalah hak untuk mendapat bantuan hukum seperti yang terdapat didalam Pasal 54 KUHAP;

(27)

mengatakan bahwa : “Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka”.

Kewajiban untuk menunjuk Penasihat Hukum seperti dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut adalah bersifat imperatif. Dan apa yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari asas “presumption of innocence” dan hak-hak asasi serta berkaitan dengan pengembangan “Miranda Rule” yang juga telah diadaptasi dalam KUHAP, seperti:

1. Melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan”(brutality to coerce confession)

2. Melarang Penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation);

Berbarengan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberika hak untuk diperingatkan “hak konstitusionalnya” yang disebut dengan “Miranda Warning” antara lain :

1. Hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent);

2. Hak didampingi Penasihat Hukum (a right to presence of an attorney); Namun khusus untuk pasal 56 ayat (1) KUHAP, Penyidik tidak hanya wajib memberitahukan atas hak tersangka untuk meendapatkan bantuan hukum, namun penyidik wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi Terdakwa. Namun kemudian jika terjadi setelah ada penunjukan Penasihat Hukum oleh Penyidik, tersangka menolak untuk didampingi Penasihat hukum, hal penolakan tersangka itu hendaknya terjadi setelah Penyidik melaksanakan kewajibannya menunjuk Penasihat Hukum. Dan jika memang ada penolakan tersangka untuk didampingi penasihat hukum, demi terciptanya kejujuran di dalam proses penegakan hukum,

(28)

penolakn oleh tersangka itu hendaknya dilakukan dan/atau diketahui langsung dihadapan Penasihat hukum yang telah ditunjuk penyidik.

Bahwa adapun yang menjadi kebiasaan penyidik selama ini yang membuat dan mendapatkan”surat pernyataan Tersangka yang tidak bersedia didampigi Penasihat Hukum”, sesungguhnya keberadaan “surat pernyataan”tersebut TIDAK DAPAT MELUMPUHKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG seperti yang dimaksud didalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.

Bahwa dari segala pendekatan formalistic legal thinking ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, sebagaiman diterangkan dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya yang berjudul, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, hal. 327, Penerbit Sinar Grafika, tahun 2000”, menjelaskan pasal 56 ayat (1) KUHAP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum yaitu :

1. Mengandung aspek nilai HAM, sesuai dengan deklarasi “universal” HAM yang menegaskan bahwa hadirnya Penasihat Hukum mendampingi Tersangka atau Terdakwa merupakan nilai yang inherent pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM.

2. Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban bagi Pejabat yang bersangkutan, sehingga mengabaikan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum;

(29)

pemeriksaan adalah tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).

Atas uraian keberatan kami tersebut diatas dan atas dasar Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP maka dengan ini kami Penasihat Hukum para Terdakwa memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksaan perkara ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan sbb :

1. Menerima dalil-dalil serta alasan-alasan yang kami uraikan dalam eksepsi atau keberatan kami atas surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum.

2. Menyatakan hasil Berita Acara Penyidikan (BAP) oleh Penyidik dari Polres Gunungkidul terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut batal demi hukum dan/atau Dibatalkan.

3. Menyatakan surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum terhadap terdakwa I dan Terdakwa II dalam perkara pidana nomor : 22/Pid.B/2002/PN.Wnsr batal demi hukum dan/atau dibatalkan.

4. Demi hukum memerintahkan kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan Terdakwa I dan Terdakwa II dari tahanan.

Demikianlah tangkisan/eksepsi/keberatan ini kami ajukan kehadapan Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini, kemudian atas perhatian serta terkabulnya eksepsi/tangkisan/keberatan kami diucapkan banyak terima kasih. 4. Studi Kasus Putusan Sela Pengadilan Negeri Wonosari

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari pada persidangan menjatuhkan putusan sela atas eksepsi atas Terdakwa Yusran dan Junaedi sebagai berikut :59

1. Menerima Eksepsi penasihat hukum para terdakwa

59

(30)

2. Menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima

3. Menetapkan menghentikan pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa I YUSRAN dan terdakwa II JUNAEDI tersebut

4. Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera mengeluarkan para terdakwa tersebut dari tahanan.

Bahwa atas Putusan Sela yang dijatuhkan terhadap para Terdakwa jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri wonosari pada tanggal 19 April 2002 mengajukan perlawanan terhadap putusan Pengadilan Negeri Wonosari tersebut.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada persidangan menjatuhkan putusan atas perlawanan yang diajukan Jaksa penuntut umum terhadap putusan sela sebagai berikut :60

1. Menolak perlawanan jaksa penuntut umum

2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN.Wns.,sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

a. Menerima eksepsi dari penasihat hukum para terdakwa.

b. Menyatakan, penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, sebagaimana tertuang dalam berita acara penyidikan, batal demi hukum.

c. Menyatakan, penuntutan jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa yang berdasarkan berita acara penyidikan yang batal demi hukum tidak dapat diterima.

d. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan. e. Membebankan semua biaya perkara ini kepada Negara.

60

(31)

b. ANALISIS KASUS

Setelah penulis mempelajari dan membaca pertimbangan hukum putusan Pengadilan tinggi Yogyakarta, maka dapat diketahui bahwasanya telah terjadi suatu pelanggaran prinsip Miranda Rule oleh penyidik.

Dalam kasus ini Hakim Pengadilan tinggi Yogyakarta mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang diajukan perlawanan yang terdiri dari berita acara penyidikan, berita acara pemeriksaan dipersidangan Pengadilan Negeri Wonosari, dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini, serta salinan resmi putusan sela pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN.Wns.,berkesimpulan sebagai berikut :

Bahwa walaupun putusan ini merupakan putusan atas keberatan dari penasihat hukum terdakwa, sehingga merupakan putusan sela, akan tetapi karena isi putusan tersebut adalah menerima keberatan dari penasihat hukum terdakwa, maka putusan tersebut menjadi putusan akhir, bukan putusan sela.

Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan majelis hakim tingkat pertama, sepanjang mengenai telah terbuktinya secara sah dan meyakinkan keberatan penasihat hukum terdakwa, dan menyatakan tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, maka sudah tepat dan benar. Sehingga majelis hakim pengadilan tinggi dapat menyetujuinya, selanjutnya diambil alih sebagai salah satu pertimbangan hukum sendiri dalam memeriksa dan memutus perlawanan ini.

(32)

tersebut juga laporan Polisi No. Pol. LP/K/26/XI/2001/Sek Semanu tanggal 19 November 2001.

Menimbang, bahwa pemeriksaan terhadap Yusran oleh penyidik pembantu pada tanggal 19 November 2001, sedangkan pemeriksaan terhadap terdakwa Junaedi oleh penidik pembantu pada tanggal 20 November 2001, di mana dalam pemeriksaan kedua terdakwa tersebut, oleh penyidik pembantu tidak pernah dijelaskan kepada para Terdakwa bahwa penyidik telah menunjuk seorang penasihat hukum, dan sekaligus memperkenalkan kepada para terdakwa siapa yang akan mendampingi mereka selama pemeriksaan perkaranya di tingkat penyidikan. Bahkan surat penunjukan sebagai penasihat hukum, para terdakwa tanggal 19 November 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/Serse tidak pernah dilampirkan dan berkas penyidikan oleh penyidik.

Menimbang, bahwa mengenai surat pernyataan yang dibuat oleh para terdakwa tanggal 21 November 2001, yang foto copynya dilampirkan dalam berkas, hal itu idak sesuai dengan isi Pasal 56 KUHAP. Sebab tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, sehingga para terdakwa memerlukan atau tidak untuk didampingi penasihat hukum. Apabila para terdakwa tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka penyidik wajib menunjuk penasihat hukum selama proses penyidikan. Dengan demikian, surat pernyataan tersebut tidak menghapuskan kewajiban penyidik tersebut, di samping pembuatannya seharusnya sebelum para terdakwa mulai diperiksa.

Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah, kapan sebenarnya penyidik mulai melakukan penyidikan dalam perkara ini.

(33)

Menimbang, bahwa jika mengacu pada surat perintah penyidikan No. Pol. Sp,Sidik/72/XI/2001/Serse tanggal 20 November 2001, maka surat penunjukan penasihat hukum tanggal 19 November 2001 No. Pol. B/78/XI/2001/Serse dan B/79/XI/2001/Serse telah dilakukan oleh penyidik sebelum dimulainya penyidikan, begitu pula pemeriksaan YUSRAN.

Akan tetapi, jika mengacu kepada surat pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan negeri Wonosari yang menyatakan penyidikan sudah dimulai tanggal 16 November 2001, maka penyidikan tersebut telah dimulai sebelum adanya laporan polisi.

Maka dengan demikian, terjadi ketidakpastian mengenai dasar hukum penyidik melakukan tindakan-tindakan dalam rangka penyidikan perkara ini.

Menimbang, bahwa dari pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan dalam putusan majelis hakim tingkat pertama yang telah diambil alih oleh majelis hakim tingkat banding, ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan diatas, dapatlah ditari kesimpulan, penyidikan yang dilakukan penyidik, sebagimana tertuang dalam berita acara penyidikan, tidak memenuhi syarat sebagaiman diharuskan dalam KUHAP, terutama Pasal 56. Karenanya, berita acara penyidikan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.

Menimbang, bahwa dengan demikian, maka perlawanan jaksa penuntut umum atas putusan sela Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No.22/Pid.B/2002/PN/Wns haruslah dinyatakan ditolak.

Menimbang, oleh karena para terdakwa berada dalam tahanan, maka perlu diperintahkan para terdakwa segera dibebaskan dari tahanan.

Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara ini sepenuhnya dibebankan kepada Negara.

(34)

Menimbang, bahwa dari semua pertimbangan, sebagaimana diuraikan diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Wonosari tanggal 15 April 2002 No. 22/Pid.B/2002/PN. Wns perlu diperbaiki.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas dapat dinyatakan bahwa dakwaan oleh Jaksa penuntut umum tidak dapat dilanjutkan lagi.

Maka, jika diperhatikan secara seksama kasus yang diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosari ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa majelis hakim dalam putusannya telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya sesuai dengan fakta-fakta yang telah diperoleh.

Selama proses penyelidikan dan penyidikan para penyidik berkewajiban untuk memberitahu tersangka tentang haknya untuk mencari dan memperoleh bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasihat hukum (Miranda warning). Dalam hal tersangka dianggap mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan hukuman mati atau hukuman lima belas tahun ke atas atau jika tidak mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun maka pada sisi ini diserahkan kepada kehendak tersangka untuk mempergunakan haknya mencari atau mendapatkan panasihat hukum. Hak tersangka ini menurut penulis bukan semata-mata hak dari tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi “kewajiban” penyidik atau kewajiban dari aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Dalam peristiwa dan keadaan seperti ini, dimana penyidik tidak memenuhi kewajibannya maka proses penyidikan dapat dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan perkara menurut KUHAP.

(35)

saja benar adanya. Dalam kasus ini penulis menyertakan dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa yakni Pasal 245 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dalam dakwaan memalsukan mata uang Negara tapi konsekuensi terhadap pelanggaran Miranda rule ini mengakibatkan tindakan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa/ penuntut umum menjadi tidak dapat diterima.

Melalui eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa pada saat proses peradilan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa, berdasarkan fakta hukum bahwa selama proses pemeriksaan terdakwa menurut ketentun Pasal 56 KUHAP mempunyai kewajiban untuk didampingi oleh penasihat hukum, yang pada kenyataannya terdakwa tidak mendapat penasihat hukum dari aparat penegak hukum. Selama proses pemeriksaan terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum maka Berita acara Penyidikan yang dibuat oleh penyidik melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM dan BAP tersebut batal demi hukum. Adapun jenis eksepsi yang dalam hal ini ialah tindakan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak dapat diterima dengan alasan penyidikannya tidak sah dikarenakan terdakwa tidak mendapatkan pendampingan penasihat hukum. Maka atas eksepsi ini Hakim menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa dan memberikan putusan sela.

Jika dicermati KUHAP mengutamakan prinsip “Due Process of law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan sesungguhnya memperoleh bantuan hukum merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan (Accses to justice) bagi mereka yang terkena atau berurusan dengan masalah hukum. Serta diharapkan negara melalui aparat penegak hukumnya dapat memberikan jaminan

(36)

perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang

Dengan tidak ditunjukannya penasihat hukum oleh pejabat penyidik terhadap terdakwa penulis berpendapat maka penyidik telah melakukan pelanggaran terhadap KUHAP dalam melakukan penyidikan terhadap terdakwa. Dengan demikian penyidik telah melakukan pelanggaran prinsipil, yakni pelanggaran terhadap hukum acara pidana dalam menegakan hukum, sehingga hasil BAP penyidik yang dijadikan dasar penyusunan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum adalah tidak berdasarkan hukum

Dengan ditegakannya prinsip-prinsip Miranda rule di dalam praktik peradilan di Indonesia, akan memperkecil kesempatan para oknum aparat penegak hukum untuk bertindak menyalahgunakan wewenangnya kepada tersangka/atau terdakwa.

Maka, menurut penulis putusan yang diambil majelis hakim terhadap terdakwa telah dapat memenuhi rasa keadilan baik menurut hukum maupun memenuhi rasa keadilan masyarakat.

(37)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah diulas, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pemeriksaan pendahuluan merupakan tugas kepolisian selaku penyidik tunggal yang meliputi kegiatan penyidikan dan kewenangan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas penyidik seperti melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat serta membuat berita acara pemeriksaan. Fungsi penasihat hukum dalam pemeriksaan pendahuluan adalah untuk mengikuti jalannya pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka secara pasif, dalam arti ia hanya dapat melihat dan mendengar pemeriksaan.Prinsip-prinsip Miranda Rule yang berlaku secara universal dan telah diakomodir dalam KUHAP banyak dilanggar oleh Penyidik, Jaksa dan Hakim.

2. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule dalam praktik peradilan pidana di Indonesia antara lain:

a.Kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP b.Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penyidik

c.Tidak Adanya Penasihat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut

(38)

e.Adanya Persepsi yang Keliru Bahwa Penunjukan Penasihat Hukum Memerlukan Suatu Anggaran Khusus dan di Instansi Peradilan Hal Tersebut Tidak Dianggarkan

Alpanya penasihat hukum yang berfungsi membela hak-hak terdakwa tersebut umumnya tidak hanya terjadi pada proses pemeriksaan di persidangan saja, ataupun pada tingkat kejaksaan, biasanya hal ini terjadi sejak pada tahapan penyidikan di kepolisian.

3. Upaya penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia dapat melalui upaya penal maupun Upaya non Penal. Adapun Upaya Penal dalam Penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia antara lain :

a. Keberatan pada tingkat Penyidikan

b. Eksepsi atau Keberatan Dalam Persidangan c. Pledooi

d. Kasasi

e. Peninjauan Kembali

Sedangkan Upaya Non Penal dalam Penanggulangan agar tidak terjadinya pelanggaran prinsip Miranda Rule di Indonesia antara lain :

a.Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada.

b.Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya.

(39)

d. Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum.

e.Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas.

f.Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten.

B. Saran

1. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi penasihat hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, penasihat hukum menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Penasihat hukum sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Masalah bantuan hukum oleh seorang penasehat hukum di tingkat pemeriksaan pendahuluan, sejak saat ditangkap atau ditahan wajib kita laksanakan. Sesuai dengan tujuan bantuan hukum itu sendiri yaitu memberikan kesempatan lebih banyak dalam mempersiapkan bagi pembelaannya selama hubungan itu tidak merugikan kepentingan penyidikan dan tetap dalam pengawasan penyidik.

(40)

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi tersebut maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, maka UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut juga telah mengatur mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat diberlakukan mulai dari sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Untuk mendukung pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat sebagai bagian dari kewajiban profesi maka perlu dirumuskan peraturan pemerintah.

3. Perlu memberikan penghargaan /reward kepada para penegak hukum yang yang telah menunjukan penghormatannya terhadap hak-hak tersangka sebagaimana dimaksud dalam Miranda rule dan perlunya memberikan sanksi yang tegas bagi penegak hukum yang terbukti benar-benar melanggar prinsip-prinsip Miranda rule.

(41)

BAB II

SISTEM PERADILAN DAN PROSES PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP

A. Peranan Penyidik dalam Penegakan Hukum

Tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia pada umumnya tercantum dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian negara lembaran negara nomor 2, yang mempunyai tugas pokok yaitu :23

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum, dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayan kepada masyarakat. Dalam hal tugas yang pertama yang disebut tugas Kepolisian prefentif tercantum dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang nomor 2 tahun 2002, yaitu :

a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kergiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknik terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

23

(42)

g. Melakukan penyelidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas yang kedua biasa disebut tugas Kepolisian Represif, yaitu mengadakan penyidikan terhadap kejahatan dan pelanggaran yang tercantum dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002.

Di dalam rangka melaksanakan tugasnya, aparat kepolisian sudah tentu tidak bekerja sendiri, akan tetapi selalu mengadakan koordinasi dan bekerja sama baik dengan aparat kejaksaan maupun dengan aparat lainnya seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI).24

24

Sadjijo, Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : Laksbang

(43)

B. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Penyidik

Mengenai penyidik ini dapat kita ketahui didalam pasal 6 ayat 1 KUHP, bahwa penyidik adalah :

a. Penjabat Penyidik Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Wewenang mengenai tindakan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dimana dengan bukti itu memuat tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Di dalam KUHAP penyidik mempunyai fungsi/tugas untuk melaksanakan penyidikan. Dalam rangkaian dari tugas penyidikan tersebut pihak penyidik diberi wewenang untuk mengadakan penyelidikan atas dasar pengaduan seseorang atau masyarakat yang telah menganggap atau menduga telah terjadi suatu tindak pidana disuatu tempat tertentu di wilayah kewenangannya, mengadakan penangkapan terhadap orang-orang ynag di curigai, menggeledah badan/rumah dan melakukan penyitaan barang-barang yang di duga keras ada hubungannya dengan tindak pidana yang telah dilakukan serta melakukan penahanan kemudian mengadakan pemeriksaan seperlunya terhadap tersangka pelaku tindak pidana beserta para saksi seperlunya.

Pada hakekatnya dalam KUHAP yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat Penyidik karena menurut sistem yang dianut oleh KUHAP dalam penyidikan dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang mengadakan pengawasan dan koordinasi, bahkan memberikan bantuan dan petunjuk yang diperlukan.

(44)

Setelah menguraikan tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka menunaikan tugasnya, khususnya dalam menangani perkara pidana, yaitu mulai dengan adanya laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana atau bahkan yang diketahui oleh pihak penyidik sendiri hingga penyidik melakukan tindakan penangkapan dan penahanan seorang yang dicuirigai dan diduga sebagai pelaku dari tindak pidananya, penggeledahan dan penyitaan yang dianggap perlu dan berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan itu. Sudah tentu dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, penyidik dibatasi oleh tugas dan wewenangnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Tugas dan wewenang ini dimaksudkan untuk melakukan batas-batas yang jelas dan tegas tentang tugas dan wewenangnya sehingga ada perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan adanya persyaratan serta pembatasaan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.25

1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

Hal mana dapat kita lihat dalam pasal 7 ayat 1 KUHAP, dimana dengan tegas menyebutkan antara lain :

a. Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

25

Peradilan sesat diakses pada tanggal 5 Desember

(45)

d. Melakukan Penangkapan, Penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan Pemeriksaan dan penyitaan surat f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

g. Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

i. Mengadakan penghentian penyidikan

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

2. Penyidik sebagaimana yang di maksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pegawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a.

3. Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Selanjutnya penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti penyidik (POLRI) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan dari penyidik POLRI (pasal 11 KUHAP). Kemudian didalam penjelasannya di sebutkan bahwa, pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik tidak di mungkinkan karena hal dan dalam keadaan dan sangat diperlukan atau dimana terdapat hambatan perhubungan didaerah atau ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.

(46)

Dengan adanya tugas penyidik pembantu dan penyidik seperti telah disebutkan diatas, yang secara tegas di cantumkan didalam KUHAP, maka petugas kepolisian (sebagai penyidik, penyidik pembantu) tidak akan kesulitan atau tidak akan ragu-ragu lagi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi hal-hal yang menyimpang dari apa yang sudah digariskan.26

Adapun dasar pemberian wewenang kepada penyidik dan penyidik pembantu itu bukanlah didasarkan pada kekuasaan, akan tetapi semata-mata berdasarkan pada kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara, sehingga dengan demikian wewenang dari masing-masing tersebut, disesuaikan dengan besar kecilnya kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak.27

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:

C. Tinjauan Tentang Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

28

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

26

Ibid., hal. 103

27

S. Djisman Samusir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, (Bandung: Bina Cipta , 1988), hal. 53 .

28

Prof. Dr. Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika,

(47)

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam menjunjung dan menegakan hukum, diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Keempat itu seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dalam sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Cakupan tugas dari sistem peradilan pidana ini memang luas karena didalamnya termasuk :

a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga keadilan ditegakkan dan yang bersalah dipidana

c.Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

(48)

menanggulangi kejahatan, semua komponen dalam sistem ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “Integrated criminal justice system.”29

sistem peradilan pidana terdiri dari Proses Perkara Pidana antara lain : 30

Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara:

a. Tahap Penyelidikan

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP. Penyelidik menrut Pasal 5 KUHAp karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

31

1. Laporan polisi;

29

Administrasi Peradilan Pidana

Indonesia,http://www.legalitas.org/?q=Administrasi+Peradilan+Pidana+Indonesia, diakses tanggal 23 januari 2009.

30

Rudi Satriyo, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta : Sinar Grafika, 2002) Hal. 43.

31

Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 30.

(49)

2. Berita acara pemeriksaan polisi; 3. Laporan hasil penyelidikan; 4. Keterangan saksi/Saksi ahli; dan 5. Barang bukti.

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik

Menurut Pasal 11 ayat (4) UU No. 26 tahun 2000 dan Pasal 102 ayat (2) KUHAP apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

b. Tahap Penyidikan

(50)

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) 32

32

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996),

hal. 121.

dan investigation (Inggris), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, sebagai berikut:

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh UU. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu ;

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

(51)

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.33

Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.

33

Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan

(52)

berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

c. Tahap Penuntutan

Setelah proses penyidikan dilakukan maka penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Ketika berkas perkara telah diterima oleh penuntut umum atau telah dianggap lengkap oleh penuntut umum maka telah masuk dalam penuntutan. Ketentuan dalam KUHAP memberikan batasan pengertian tentang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7, yaitu:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.”

Penuntutan perkara dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kemu- dahan tersebut aplikasi ini dapat menangani pengelolaan piutang mulai dari pencatatan piutang, pembayaran piutang, menganalisis umur piutang, perhitungan

Tujuan : Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dari terapi kombinasi metformin dan oksigen hiperbarik terhadap peningkatan jumlah sel fibroblas dan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pedoman atau kriteria masuknya awal bulan kamariah versi Badī’ah al-Miṡāl harus memenuhi beberapa syarat berikut: telah terjadi

Dalam adat masyarakat desa paterongan masa pertunangan adalah bila lamaran sang laki-laki sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua pihak orangtua dengan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

hasil dari penguatan, 5) pemahaman dan konsep, yaitu jenis hasil belajar yang diperoleh melalui kegiatan belajar secara rasional, 6) sikap, yaitu pemahaman, perasaan, dan

TAMAN BACAAN MASYARAKAT KARANG TARUNA BANTUAN PENGADAAN SARANA PRASARANA RW 09 KELURAHAN TUGU - KECAMATAN CIMANGGIS KOTA DEPOK.. - BELANJA HIBAH KEPADA KELOMPOK MASYARAKAT

Triterpenoid dan steroid dapat mengganggu proses terbentuknya membran dan atau dinding sel dengan merusak gugus lipofiliknya, sehingga sel bakteri rapuh dan lisis