NEGARA KESEJAHTERAAN
Muryanto Amin
BAHAN BACAAN
PEMBANGUNAN POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pendahuluan
Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan bahwa kesejahteraan dianggap sebagai konsep yang tersirat dari tujuan alami negara, terlepas bentuk dan tujuan negara itu, termasuk juga pada masa laissez faire. Adam Smith misalnya, dalam The Wealth of Nation (1776) dan penganjur survival of the fittest, kemudian sadar bahwa penumpukan kekayaan bukan satu-satunya tujuan keberadaan manusia. Ebenstein mengutip pendapat Adam Smith bahwa ada tiga tugas negara yang berkaitan dengan masyarakat, pertama
adalah bidang pertahanan yaitu memberikan kebebasan kepada orang-orang yang melawan penyerangan dan perbudakan, meskipun memerlukan biaya yang besar. Kedua, melindungi
setiap anggota masyarakat untuk melawan ketidakadilan atau tekanan dari anggota masyarakat lainnya atas dasar keadilan dan kewajaran melalui penyediaan keamanan dan tidak memihak. Artinya, negara kemudian bertindak untuk mencegah adanya monopoli dari private property. Ketiga, negara membangun infrastruktur seperti memelihara pekerjaan umum dan institusi masyarakat yang bermanfaat, bukan untuk keuntungan individu atau sekelompok orang. Membangun jalan, pelabuhan, kanal, dan lain sebagainya termasuk pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat umum.
Dari pengertian tersebut, konsep kesejahteraan menunjukkan tidak hanya berkaitan antara analisis dan kebijakan ekonomi namun harus dilihat secara menyeluruh. Perdebatannya justru terletak pada peran pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dan perlakuan negara bagi mereka yang kalah dalam persaingan atau kompetisi. Para penganut ekonomi klasik pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba tetap meletakkan analisis dan kebijakan ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari tekanan politik, kebiasaan masa lalu, dan konflik agama.
Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan kebijakan ekonomi adalah pada aspek kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau institusi yang dapat menyatakan kebenaran mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan manusia. Penganjur utama ekonomi klasik berpendapat sekurang-kurangnya kebahagiaan manusia dicapai melalui laissez faire. Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari Smith sampai Mill tidak membenarkan harapan tersebut menjadi ajaran intelektual yang kaku.
dengan negara kesejahteraan abad keduapuluh. Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan dari laissez faire ke konsep peran negara dalam melakukan kesejahteraan, membuat Bentham dan Mill masih tetap mempertahankan tujuan kebahagiaan manusia hanya dicapai melalui laissez faire. Perubahan alamiah itu dimaksudkan dilakukan oleh negara dalam mendukung laissez faire.
Evolusi Negara Kesejahteraan
Kekuatan di balik evolusi perubahan liberalisme klasik barat dari laissez faire ke negara kesejahteraan terjadi karena aspek ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh ekonomi terjadi disebabkan, pada abad delapan belas atau awal abad sembilan belas, unit ekonomi utama adalah pertanian, perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu keluarga. Kemudian, manusia menginginkan dibebaskan dari ketidaktahuannya dan campur tangan pemerintah, biarkan manusia bekerja sendiri, dia merasa mampu mengerjakan aspek ekonomi lebih baik sampai terpenuhi kebutuhan untuk kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu kemudian bertepatan dengan adanya teknologi yang sangat efisien sehingga menjadi relatif sederhana. Jika dilihat dari perspektif pembangunan
ekonomi, tujuan negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi pengaruh dari bahaya pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan yang mengancam individu.
Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di belahan dunia ini, termasuk negara berkembang, tidak akan menerima penderitaan yang berkepanjangan dan mengiginkan perubahan nasib. Menurunnya pengaruh agama akan berimplikasi pada janji kehidupan yang lebih baik dalam waktu yang tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan bahkan keyakinan agama sangat kuat untuk mencapai kebahagiaan manusia sebagai haknya. Faktor psikologi ini kemudian berkembang dan menjadi gerakan reformasi sosial di Eropa dan Amerika Serikat khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa keinginan untuk hidup lebih baik, atas dasar ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan politik yang dilakukan pada berbagai gerakan reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.
Perkembangan negara-negara di dunia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi yang cepat dan standar kehidupan yang lebih tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh secara alamiah. Minat akan negara kesejahteraan tidak didasarkan atas sentimen murni dan kekuatan psikologi, tapi diperoleh dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus dihapuskan dari muka bumi. Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya ditakdirkan untuk tidak dapat diubah. Saat ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan mengubah institusi masyarakat.
Prinsip utama negara kesejahteraan relatif sederhana, pertama, mengenalkan setiap anggota masyarakat tentang hak sebagai manusia untuk mencapai standar kehidupan minimum. Kedua, membuat kebijakan stabilitas ekonomi dan kemajuannya, menghapuskan siklus kekerasan dari kenaikan harga yang tiba-tiba melalui kebijakan publik ketika perusahaan swasta tidak mampu mencegah dirinya sendiri dari ancaman ketidakstabilan atau kemunduran ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja sebagai prioritas utama kebijakan publik.
Depresi Besar: Perdebatan Politik dan Penerapan Negara Kesejahteraan
kemampuan pemerataan pembelian yang seimbang dengan mengutamakan kepentingan bangsa, insentif investasi harus dikurangi, pekerjaan umum diciptakan untuk mengatasi pengangguran, menyediakan kredit pemerintah untuk pengembang atau pembeli perumahan. Itulah beberapa ukuran yang dapat dilakukan pemerintah untuk menstabilkan ekonomi tanpa mengubah unsur fondasinya.
Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebatan yang terjadi berdasarkan sejarah di Amerika Serikat, khususnya ketika terjadi Depresi Besar tahun 1932. Pertama, arsitek utama New Deal, Franklin D. Roosevelt. Roosevelt (1882-1945), ia memulai dengan premis utama dari liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial tidak cukup untuk membawa terlalu jauh campur tangan pemerintah sebab yang kaya tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak juga terlalu miskin.
Perubahan terjadi ketika Revolusi Industri pada pertengahan abad 19 dan pertumbuhan industri serta kekuatan finansial dengan masalah utamanya adanya konsentrasi kekuatan ekonomi pada beberapa korporasi besar, dan menyebabkan beberapa orang berhenti dari bisnis dan industri itu. Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika
ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali untuk mendistribusikan kesejahteraan dan produksi agar lebih sesuai. Konstitusi Amerika kemudian mengatur kekuatan negara yang ditujukan kepada kesejahteraan nasional. Perusahaan besar harus mengikuti perintah konsitusi, menyesuaikan kepentingan perusahaannya dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup, tapi juga untuk membuat kehidupan lebih nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah harus mengatur aktivitas ekonomi hanya sebagai jalan terakhir, dan melakukannya hanya ketika inisiatif perusahaan gagal. Fungsi utama pemerintah bukan melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh individu, tapi untuk memelihara keseimbangan. Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan akan keberhasilan perusahaan masyarakat Amerika dengan adanya penurunan kemiskinan
berpengaruh kepada pemerintah, meningkatnya isu-isu serius mengenai hubungan individu dengan pemerintahannya dalam masyarakat bebas. Ancaman serius dari negara kesejahteraan adalah kebebasan masyarakat Amerika dan pengaruh pengikut komnunis di Amerika,
Konsep negara kesejahteraan dengan demikian didefinisikan oleh Hoover sebagai ”penyamaran negara kolektivisme dengan mengarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan individual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk ”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia menyalahkan kelompok penekan dan politisi yang mengakomodasikan banyak gangguan yang disebabkan oleh pertumbuhan pemerintah pusat.
Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga disuarakan oleh Roscoe Pound (1870-), satu dari ahli hukum yang berpengaruh. Ketidaksesuaian Pound adalah bukan tugas negara yang melaksanakan banyak pelayanan publik, tapi adanya konsep tentang pelayanan publik yang hanya dilaksanakan oleh negara serta tidak ada batas dalam memberikan pelayanan kemanusiaan. Negara kesejahteraan mensyaratkan adiministrator yang sangat kuat dalam seluruh lingkup kesejahteraan manusia. Pound beranggapan, seperti negara supersevice,
harus mengembangkan birokrasi yang besar, dan akhirnya akan menjadi negara totaliter dengan komunisme Marxian. Karena itu, negara kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik. Pound mengutuk kecenderungan dalam negara kesejahteraan akan pembangunan konsep baru tentang kebebasan sebagai keutamaan dari keinginan dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai kepentingan individu itu sendiri dan penentuan nasib sendiri
mendapatkannya yang sering sekali didapat karena penipuan, pernyataan yang keliru dari iklan misalnya. Fungsi penguasa negara dalam negara kesejahteraan juga harus menyediakan sekolah untuk anak-anak dengan makan siang dan susu gratis atau menjual sesuatu barang konsumsi dibawah harga pasar. Tindakan monopoli hanya dilakukan untuk kepentingan nasional terutama dalam rangka menciptakan perdamaian, mengatur kekuatan produksi dan lain sebagainya.
Kritik Filosopi Negara Kesejahteraan Kontemporer dalam Paham Liberal
Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan jika dilihat dari filosopi dan empirik, seperti yang dijelaskan di atas juga mengalami perdebatan. Meskipun konsep ini tidak begitu populer dengan minimal state-nya kaum neoliberal namun harapan akan negara kesejahteraan masih menarik untuk dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang pernah melaksanakan sosialisme demokrat. Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai terutama etika Katolik dan pengaruh doktrin karikatif sosial (social charity) gereja. Huber dan Stephens1 dan Manow2
Kelley membagi paham keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan
egalitarianism. Welfarism memandang bahwa individu mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup, sehingga menjadi kewajiban masyarakat untuk memastikan setiap individu mempunyai akses pada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak mampu menjamin tercapainya hal tersebut, sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa memenuhi tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism menyatakan bahwa kemakmuran (wealth) yang diproduksi oleh masyarakat harus didistribusikan dengan adil (fair). Sistem kapitalis berbasis pasar cenderung membenarkan bahkan mendorong terjadinya kesenjangan, baik pendapatan maupun kemakmuran diantara individu-individu. Inilah yang menyebabkan dibutuhkannya negara untuk memastikan terjadinya distribusi
menjelaskan adanya pengaruh doktrin sosial Katolik dalam desain dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara Eropa.
Kelley (1994) menyatakan bahwa etika Katolik memunculkan paham keadilan sosial (social justice) yang menjadi legitimasi intervensi negara terhadap mekanisme pasar.
1
E. Huber, dan JD. Stephens. 2001. Development and Crisis of the Welfare State:Parties and Politics in Global Market. The University of Chicago Press.
2
kemakmuran yang lebih merata.3
Berbeda dengan pandangan kaum libertarian lainnya seperti Robert Nozick, yang memandang intervensi negara sebagai hal yang salah secara moral.
Paham ini sangat dekat dekat pandangan liberal, yang memandang bahwa kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien dibandingkan dengan sistem yang ada. Meskipun begitu, kapitalisme mempunyai efek negatif berupa kemiskinan dan ketimpangan. Untuk mengatasi hal itulah, negara harus mampu mengatasi efek negatif tersebut.
4
Seperti juga halnya Hayek dan Friedman5
Klaim kaum libertarian itu berkisar pada agenda kepentingan umum yang dilandaskan dalam negara kesejahteraan sebagai tidak begitu meyakinkan. Mereka beranggapan bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada hanyalah individu”. Dengan kata lain, tidak ada kepentingan umum, yang ada hanya kepentingan individual. Karena individu pertama-tama dipahami sebagai homo economicus, maksimalisasi laba individual pula yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu kepentingan umum dapat terselenggara atau tidak, bukan menjadi perhatian kaum libertarian ini.
, kaum empirical libertarian, yang memandang bahwa campur tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat. Kaum liberal kelompok yang disebutkan terakhir merasa tidak keliru ketika mereka mengkritik program-program
welfare sebagai mekanisme yang sering melahirkan kultur ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau kehilangan pekerjaan) negara atau pemerintah selalu siap memberi jaminan, yang tidak jarang terjadi adalah orang itu akan hidup saja dari jaminan negara. Maka etos kerja dan ”wirausaha” dalam masyarakat secara perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap welfare state adalah pada tahap implementasi programnya.
Dalam gagasan liberalisme klasik laissez faire seperti Adam Smith, negara masih punya otoritas sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur lain), sedang sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat. Namun, para empirical libertarian (Hayek dan Friedman) menolak pembagian kerja yang lunak antara sektor negara dan privat ini. Alasannya, bagi mereka
3
D, Kelley. 1994. ”Altruism and Capitalism”. diakses dari website
4
Lihat misalnya Robert Nozick.1974. Anarchy, State, and Utopia. New York: Basic Books.
5
barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena baik/berguna untuk khalayak umum, melainkan karena barang/jasa itu mendatangkan laba bagi penyedianya. Adanya fakta bahwa pemerintah mencampuri atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif dan pajak progresif) sudahlah cukup membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.
Kepercayaan empirical liberal akan pertumbuhan ekonomi – investasi – tabungan –
income – tabungan – investasi – pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki income berlebih. Pertumbuhan tabungan akan menyebabkan investasi dan menghasilkan pembangunan yang akan menghasilkan tetesen ke bawah (trickle down effect) dari golongan menengah dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai secara maksimal dengan membiarkan distribusi
income ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.6
Meskipun demikian, dalam pandangan kelompok liberal lainnya masih meyakini pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari negara untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah dimaksudkan untuk mengeliminasi peran pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi individu dan masyarakat. Negara kesejahteraan dibangun dalam kerangka ekonomi pasar dan tidak pernah menolak ekonomi pasar kapitalis.
Tidak satu pun instansi masyarakat, termasuk pemerintah, yang harus membuat kebijakan atau program pemindahan income
dari kaum kaya ke kaum miskin. Maka pajak progresif, subsidi pangan, ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan petani, program khusus lapangan kerja, jaring pengaman sosial, dan program-program seperti itu menjadi tidak dibenarkan dalam pandangan kaum empirical libertarian.
7
Seperti halnya Gooding, Keynes juga memandang bahwa kapitalisme tidak mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan yang dijanjikan Hukum Pasar Say, permintaan tidak selalu bisa mengimbangi produksi. Keynes menunjuk bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, tidak selalu akan dengan sendirinya mengoordinasikan permintaan dan penawaran dengan harmonis melalui mekanisme pasar bagi keseluruhan perekonomian, khususnya ketika terjadi defisit permintaan agregat. Karena itu, Keynes percaya peran negara dalam perekonomian. Negara dibutuhkan untuk memikul tanggung
6
Arthur McEwan. 1999. Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the 21th Century. London: Zed Books, p 72-73.
7
jawab pengelolaan perekonomian guna memelihara suatu permintaan agregat permintaan yang akan menjamin kesempatan kerja penuh. Mereka juga percaya bahwa tanpa tindakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu menghapuskan kemiskinan.
Namun, negara kesejahteraan bukanlah wujud dari sosialisme. Dalam format negara kesejahteraan memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam area ”sosial justice” dan ”mutual responsibility and the duty of the strong aid to the weak”8 Namun, persinggungan tersebut tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar diantara pandangan kolektivis dan liberal. Kaum kolektivis menilai negara kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari kapitalisme laissez faire menuju sosialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu ”tahapan antara” (a staging post in the transition).9
Keyness misalnya bukanlah kolektivis, dia memandang kapitalisme sebagai sistem yang paripurna dan negara kesejahteraan adalah upaya untuk menyelamatkan kapitalisme agar bisa lebih diterima secara moral dengan menggunakan campur tangan negara. Apa yang ingin mereka capai adalah menyelematkan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya, sambil mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat diterima. Keynes
melihat kesalahan-kesalahan kapitalisme lebih sebagai kesalahan teknis daripada kesalahan yang mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk mencapa tujuan ekonomi dibandingkan dengan sistem lain mana pun yang dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat, ia percaya bahwa suatu jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez faire dan kelaliman totalitarianisme. Negara kesejahteraan dapat disebut sebagai jalan tengah dari kedua pilar ideologi itu.
8
N Barr. 1998. The Economics of the Welfare State. Stanford: Stanford University Press. hal. 44-63.
9
Daftar Pustaka
Barr, N. 1998. The Economics of the Welfare State. Stanford: Stanford University Press.
Friedman, Milton. 1962. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press
Hayek, Friedrich, A. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press.
Huber, E. dan Stephens, JD. 2001. Development and Crisis of the Welfare State:Parties and Politics in Global Market. The University of Chicago Press.
Kelley, D, 1994, ”Altruism and Capitalism”, diakses dari website
Manow, P. 2004. The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State. Max Planck Institute.
McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the 21th Century. London: Zed Books.