• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Negara Kesejahteraan dari Waktu Kewaktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konsep Negara Kesejahteraan dari Waktu Kewaktu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ISSN: 0216-9290

POLITEIA

JURNAL ILMU POLITIK

Volume 3|Nomor 2|Juli 2011

MANAGEMENT DIRECTOR P. Anthonius Sitepu

CHIEF EDITOR & VICE CHIEF EDITOR Muryanto Amin & Warjio

SENIOR EDITOR Husnul Isa Harahap

JUNIOR EDITORS

Hendra M. Nur, Walid Mustafa, Rudi Salam Sinaga, Dana Permana (internship)

EDITORIAL BOARD Heri Kusmanto

Subhilhar Tonny P. Situmorang

Rosmeri Sabri Evi Novida Ginting

Zakaria Taher Ahmad Taufan Damanik

T. Irmayani Indra Kesuma Nasution

Indra Fauzan

MARKETING OFFICER Yusri Yanti Mandasari

Diterbitkan atas kerjasama:

ASOSIASI ILMU POLITIK CABANG MEDAN DAN

LABORATORIUM ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk berlangganan:

Satu tahun (2 Edisi) Rp.50.000,- (belum termasuk biaya pengiriman) Silahkan menghubungi Marketing Officer

Jurnal Politeia adalah wadah bagi para ilmuan atau peminat masalah-masalah politik dalam menuangkan pemikiran ilmiah. Jurnal Politeia menyampaikan undangan berpartisipasi menulis

kepada siapa saja dengan kriteria tulisan yang sesuai dengan tema politik.

Alamat:

POLITEIA Jurnal Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

(3)

Medan ©Copy Right 2007

Dilarang menggandakan, menerbitkan kembali seluruh atau sebahagian isi jurnal tanpa seizin dari penerbit.

(4)
(5)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

50

Konsep Negara Kesejahteraan

Dari Waktu Kewaktu

MURYANTO AMIN

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: muryanto.amin@yahoo.com

Diterima tanggal 1 Januari 2011/Disetujui tanggal 4 Februari 2011

The concept of the welfare state is a concept that is still being debated. The debate is the events of the past and present. This study discusses the debate. This study found, in the debate, there are four meanings of the welfare state concept: First, the concept of the welfare state understood as the power of the state addressed to the national welfare; Second, the concept of the welfare state understood as undercover state collectivism by directing spending; Third, the concept of the welfare state understood as the beginning phase of the political absolutism; Fourth, the concept of the welfare state understood as a way to pay attention condition of the people who are not rich (poor). This debate can not be separated from the pull of the ideology socialism and capitalism. The implication is that the welfare state can be called a middle way.

Keywords: Welfare state, laissez faire, empirical libertarian.

Pendahuluan

Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan bahwa kesejahteraan dianggap sebagai konsep yang tersirat dari tujuan alami negara, terlepas bentuk dan tujuan negara itu, termasuk juga pada masa laissez faire. Adam Smith misalnya, dalam The Wealth of Nation dan penganjur survival of the fittest, kemudian sadar bahwa penumpukan kekayaan bukan satu-satunya tujuan keberadaan manusia. Ebenstein mengutip pendapat Adam Smith bahwa ada tiga tugas negara yang berkaitan dengan masyarakat, pertama adalah bidang pertahanan yaitu memberikan kebebasan kepada orang-orang yang melawan penyerangan dan perbudakan, meskipun memerlukan biaya yang besar. Kedua, melindungi setiap anggota masyarakat untuk melawan ketidakadilan atau tekanan dari anggota masyarakat lainnya

atas dasar keadilan dan kewajaran melalui penyediaan keamanan dan tidak memihak. Artinya, negara kemudian bertindak untuk mencegah adanya monopoli dari private property. Ketiga, negara membangun infrastruktur seperti memelihara pekerjaan umum dan institusi masyarakat yang bermanfaat, bukan untuk keuntungan individu atau sekelompok orang. Membangun jalan, pelabuhan, kanal, dan lain sebagainya termasuk pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat umum.

(6)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

51

kompetisi. Para penganut ekonomi klasik pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba tetap meletakkan analisis dan kebijakan ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari tekanan politik, kebiasaan masa lalu, dan konflik agama.

Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan kebijakan ekonomi adalah pada aspek kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau institusi yang dapat menyatakan kebenaran mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan manusia. Penganjur utama ekonomi klasik berpendapat sekurang-kurangnya kebahagia-an mkebahagia-anusia dicapai melalui laissez faire. Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari Smith sampai Mill tidak membenarkan harapan tersebut menjadi ajaran intelektual yang kaku.

Perubahan laissez faire terjadi secara perlahan-lahan akibat industrialisasi pada abad 19 terutama mengenai kehidupan manusia sehari-hari. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill misalnya kemudian mengadopsi filsafat sosial dan politik yang sangat dekat dengan negara kesejahteraan abad keduapuluh. Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan dari laissez faire ke konsep peran negara dalam melakukan kesejahteraan, membuat Bentham dan Mill masih tetap mempertahankan tujuan kebahagiaan manusia hanya dicapai melalui laissez faire. Perubahan alamiah itu dimaksudkan dilakukan oleh negara dalam mendukung laissez faire. Perbedaan filosofi yang ada menunjukkan bahwa terjadi perubahan konsep negara kesejahteraan dari waktu kewaktu.

Pendekatan dan Metode

Studi ini membahas tentang perdebatan konsep negara kesejahteraan. Studi ini dilakukan dengan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi politik. Fokusnya pada pemikiran para tokoh tentang negara kesejahteraan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka. Analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif.

Evolusi Negara Kesejahteraan

Kekuatan di balik evolusi perubahan liberalisme klasik barat dari laissez faire ke negara kesejahteraan terjadi karena aspek ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh ekonomi terjadi disebabkan, pada abad delapan belas atau awal abad sembilan belas, unit ekonomi utama adalah pertanian, perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu keluarga. Kemudian, manusia menginginkan dibebaskan dari ketidaktahuannya dan campur tangan pemerintah, biarkan manusia bekerja sendiri, dia merasa mampu mengerjakan aspek ekonomi lebih baik sampai terpenuhi kebutuhan untuk kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu kemudian bertepatan dengan adanya teknologi yang sangat efisien sehingga menjadi relatif sederhana. Jika dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi, tujuan negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi pengaruh dari bahaya pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan yang mengancam individu.

(7)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

52

keamanan sosial dan ekonomi, dan kesejahteraan dibuat untuk mencapai kesuksesan politik.

Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di belahan dunia ini, termasuk negara berkembang, tidak akan menerima penderitaan yang berkepanjangan dan mengiginkan perubahan nasib. Menurunnya pengaruh agama akan berimplikasi pada janji kehidupan yang lebih baik dalam waktu yang tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan bahkan keyakinan agama sangat kuat untuk mencapai kebahagiaan manusia sebagai haknya. Faktor psikologi ini kemudian berkembang dan menjadi gerakan reformasi sosial di Eropa dan Amerika Serikat khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa keinginan untuk hidup lebih baik, atas dasar ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan politik yang dilakukan pada berbagai gerakan reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.

Perkembangan negara-negara di dunia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi yang cepat dan standar kehidupan yang lebih tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh secara alamiah. Minat akan negara kesejahteraan tidak didasarkan atas sentimen murni dan kekuatan psikologi, tapi diperoleh dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus dihapuskan dari muka bumi. Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya ditakdirkan untuk tidak dapat diubah. Saat ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan mengubah institusi masyarakat.

Prinsip utama negara kesejahteraan relatif sederhana, pertama, mengenalkan setiap anggota masyarakat tentang hak sebagai manusia untuk mencapai standar kehidupan minimum. Kedua, membuat kebijakan stabilitas ekonomi dan kemajuannya, menghapuskan siklus kekerasan dari kenaikan harga yang tiba-tiba melalui kebijakan publik ketika perusahaan swasta tidak mampu mencegah dirinya sendiri dari ancaman ketidakstabilan atau kemunduran

ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja sebagai prioritas utama kebijakan publik.

Perdebatan Politik dan Penerapan Negara Kesejahteraan

Konsep negara kesejahteraan dianggap sebagai jalan tengah, untuk mengatasi persoalan kemunusiaan, ketika Depresi Besar terjadi pada abad 19 yang menunjukkan tidak hanya hancurnya ekonomi dan pengangguran, tapi juga penurunan kemanusiaan yang diakibatkannya. Penganut paham negara kesejahteraan percaya bahwa kebebasan berusaha dapat menyediakan dan menguatkan kebijakan kesempatan kerja tanpa melakukan nasionalisasi. Sistem perpajakan disesuaikan untuk kemakmuran, suku bunga ditentukan oleh keputusan pemerintah menurut kebutuhan ekonomi, kebijakan fiskal dirancang untuk kemampuan pemerataan pembelian yang seimbang dengan mengutamakan kepentingan bangsa, insentif investasi harus dikurangi, pekerjaan umum diciptakan untuk mengatasi pengangguran, menyediakan kredit pemerintah untuk pengembang atau pembeli perumahan. Itulah beberapa ukuran yang dapat dilakukan pemerintah untuk menstabilkan ekonomi tanpa mengubah unsur fondasinya.

Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebatan yang terjadi berdasarkan sejarah di Amerika Serikat, khususnya ketika terjadi Depresi Besar tahun 1932. Pertama, arsitek utama New Deal, Franklin D. Roosevelt (1882-1945). Ia memulai dengan premis utama dari liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial tidak cukup untuk membawa terlalu jauh campur tangan pemerintah sebab yang kaya tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak juga terlalu miskin.

(8)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

53

kekuatan ekonomi pada beberapa korporasi besar, dan menyebabkan beberapa orang berhenti dari bisnis dan industri itu. Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali untuk mendistribusikan kesejahteraan dan produksi agar lebih sesuai. Konstitusi Amerika kemudian mengatur kekuatan negara yang ditujukan kepada kesejahteraan nasional. Perusahaan besar harus mengikuti perintah konsitusi, menyesuaikan kepentingan perusahaannya dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup, tapi juga untuk membuat kehidupan lebih nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah harus mengatur aktivitas ekonomi hanya sebagai jalan terakhir, dan melakukannya hanya ketika inisiatif perusahaan gagal. Fungsi utama pemerintah bukan melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh individu, tapi untuk memelihara keseimbangan. Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan akan keberhasilan perusahaan masyarakat Amerika dengan adanya penurunan kemiskinan.

Kedua yang tidak setuju dengan konsep negara kesejahteraan adalah Presiden Hoover (1929-1933) yang pada saat kekuasaannyalah terjadi Depresi Besar dengan puncaknya di tahun 1932. Hoover. Dia tidak pernah bimbang akan keyakinannya bahwa pelaksanaan New Deal adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya dari tradisi masyarakat Amerika tentang kebebasan. Meningkatnya jumlah penduduk akan berpengaruh kepada pemerintah, meningkatnya isu-isu serius mengenai hubungan individu dengan pemerintahannya dalam masyarakat bebas. Ancaman serius dari negara kesejahteraan adalah kebebasan masyarakat Amerika dan pengaruh pengikut komnunis di Amerika,

Konsep negara kesejahteraan dengan demikian didefinisikan oleh Hoover sebagai

”penyamaran negara kolektivisme dengan

mengarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan

individual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk

”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia

menyalahkan kelompok penekan dan politisi yang mengakomodasikan banyak gangguan yang disebabkan oleh pertumbuhan pemerintah pusat.

Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga disuarakan oleh Roscoe Pound (1870-), satu dari ahli hukum yang berpengaruh. Ketidaksesuaian Pound adalah bukan tugas negara yang melaksanakan banyak pelayanan publik, tapi adanya konsep tentang pelayanan publik yang hanya dilaksanakan oleh negara serta tidak ada batas dalam memberikan pelayanan kemanusiaan. Negara kesejahteraan mensyaratkan adiministrator yang sangat kuat dalam seluruh lingkup kesejahteraan manusia. Pound beranggapan, seperti negara supersevice, harus mengembangkan birokrasi yang besar, dan akhirnya akan menjadi negara totaliter dengan komunisme Marxian. Karena itu, negara kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik. Pound mengutuk kecenderungan dalam negara kesejahteraan akan pembangunan konsep baru tentang kebebasan sebagai keutamaan dari keinginan dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai kepentingan individu itu sendiri dan penentuan nasib sendiri

(9)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

54

dibayar oleh negara. Kepuasan pemenuhan kebutuhan individu seharusnya berkisar tentang kebaikan dan keinginan untuk mendapatkannya yang sering sekali didapat karena penipuan, pernyataan yang keliru dari iklan misalnya. Fungsi penguasa negara dalam negara kesejahteraan juga harus menyediakan sekolah untuk anak-anak dengan makan siang dan susu gratis atau menjual sesuatu barang konsumsi dibawah harga pasar. Tindakan monopoli hanya dilakukan untuk kepentingan nasional terutama dalam rangka menciptakan perdamaian, mengatur kekuatan produksi dan lain sebagainya.

Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan jika dilihat dari filosopi dan empirik, mengalami perdebatan. Meskipun konsep ini tidak begitu populer dengan minimal state-nya kaum neoliberal namun harapan akan negara kesejahteraan masih menarik untuk dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang pernah melaksanakan sosialisme demokrat. Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai terutama etika Katolik dan pengaruh doktrin karikatif sosial (social charity) gereja. Huber dan Stephens1 dan Manow2 menjelaskan adanya pengaruh doktrin sosial Katolik dalam desain dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara Eropa. Kelley (1994) menyatakan bahwa etika Katolik memunculkan paham keadilan sosial (social justice) yang menjadi legitimasi intervensi negara terhadap mekanisme pasar.

Kelley membagi paham keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan egalitarianism. Welfarism memandang bahwa individu mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup,

1

E. Huber, dan JD. Stephens, Development and Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in Global Market, (The University of Chicago Press, 2001).

2

P. Manow, The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State, (Max Planck Institute, 2004).

sehingga menjadi kewajiban masyarakat untuk memastikan setiap individu mempunyai akses pada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak mampu menjamin tercapainya hal tersebut, sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa memenuhi tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism menyatakan bahwa kemakmuran (wealth) yang diproduksi oleh masyarakat harus didistribusikan dengan adil (fair). Sistem kapitalis berbasis pasar cenderung membenarkan bahkan mendorong terjadinya kesenjangan, baik pendapatan maupun kemakmuran diantara individu-individu. Inilah yang menyebabkan dibutuhkannya negara untuk memastikan terjadinya distribusi kemakmuran yang lebih merata.3 Paham ini sangat dekat dekat pandangan liberal, yang memandang bahwa kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien dibandingkan dengan sistem yang ada. Meskipun begitu, kapitalisme mempunyai efek negatif berupa kemiskinan dan ketimpangan. Untuk mengatasi hal itulah, negara harus mampu mengatasi efek negatif tersebut.

Berbeda dengan pandangan kaum libertarian lainnya seperti Robert Nozick, yang memandang intervensi negara sebagai hal yang salah secara moral.4 Seperti juga halnya Hayek dan Friedman5, kaum empirical libertarian, yang memandang bahwa campur tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat. Kaum liberal kelompok yang disebutkan terakhir merasa tidak keliru ketika mereka mengkritik program-program welfare sebagai mekanisme

3

Kelley. D, ”Altruism and Capitalism” {Artikel online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.asp; diunduh 11 Oktober 2008.

4

Lihat misalnya Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia, (New York: Basic Books, 1974).

5

(10)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

55

yang sering melahirkan kultur ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau

seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau

kehilangan pekerjaan) negara atau pemerintah selalu siap memberi jaminan, yang tidak jarang terjadi adalah orang itu akan hidup saja dari jaminan negara. Maka etos kerja dan

”wirausaha” dalam masyarakat secara

perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap welfare state adalah pada tahap implementasi programnya.

Klaim kaum libertarian itu berkisar pada agenda kepentingan umum yang dilandaskan dalam negara kesejahteraan sebagai tidak begitu meyakinkan. Mereka beranggapan

bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada hanyalah individu”. Dengan kata lain, tidak

ada kepentingan umum, yang ada hanya kepentingan individual. Karena individu pertama-tama dipahami sebagai homo economicus, maksimalisasi laba individual pula yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu kepentingan umum dapat terselenggara atau tidak, bukan menjadi perhatian kaum libertarian ini.

Dalam gagasan liberalisme klasik laissez faire seperti Adam Smith, negara masih punya otoritas sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur lain), sedang sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat. Namun, para empirical libertarian (Hayek dan Friedman) menolak pembagian kerja yang lunak antara sektor negara dan privat ini. Alasannya, bagi mereka barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena baik/berguna untuk khalayak umum, melainkan karena barang/jasa itu mendatangkan laba bagi penyedianya. Adanya fakta bahwa pemerintah mencampuri atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif dan pajak progresif) sudahlah cukup membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.

Kepercayaan empirical liberal akan pertumbuhan ekonomi – investasi – tabungan

income – tabungan – investasi –

pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki income berlebih. Pertumbuhan tabungan akan menyebabkan investasi dan menghasilkan pembangunan yang akan menghasilkan tetesen ke bawah (trickle down effect) dari golongan menengah dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai secara maksimal dengan membiarkan distribusi income ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.6 Tidak satu pun instansi masyarakat, termasuk pemerintah, yang harus membuat kebijakan atau program pemindahan income dari kaum kaya ke kaum miskin. Maka pajak progresif, subsidi pangan, ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan petani, program khusus lapangan kerja, jaring pengaman sosial, dan program-program seperti itu menjadi tidak dibenarkan dalam pandangan kaum empirical libertarian.

Meskipun demikian, dalam pandangan kelompok liberal lainnya masih meyakini pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari negara untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah dimaksudkan untuk mengeliminasi peran pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi individu dan masyarakat. Negara kesejahteraan dibangun dalam kerangka ekonomi pasar dan tidak pernah menolak ekonomi pasar kapitalis.7

Seperti halnya Gooding, Keynes juga memandang bahwa kapitalisme tidak mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan yang dijanjikan Hukum Pasar Say, permintaan tidak selalu bisa mengimbangi produksi. Keynes menunjuk bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi,

6

Arthur McEwan, Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the 21th Century, (London: Zed Books, 1999), hal. 72-73.

7

(11)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

56

tidak selalu akan dengan sendirinya mengoordinasikan permintaan dan penawaran dengan harmonis melalui mekanisme pasar bagi keseluruhan perekonomian, khususnya ketika terjadi defisit permintaan agregat. Karena itu, Keynes percaya peran negara dalam perekonomian. Negara dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab pengelolaan perekonomian guna memelihara suatu permintaan agregat permintaan yang akan menjamin kesempatan kerja penuh. Mereka juga percaya bahwa tanpa tindakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu menghapuskan kemiskinan.

Namun, negara kesejahteraan bukanlah wujud dari sosialisme. Dalam format negara kesejahteraan memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam

area ”sosial justice” dan ”mutual responsibility and the duty of the strong aid to the weak”8

Namun, persinggungan tersebut tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar diantara pandangan kolektivis dan liberal. Kaum kolektivis menilai negara kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari kapitalisme laissez faire menuju sosialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu

”tahapan antara” (a staging post in the transition).9

Keynes misalnya bukanlah kolektivis, dia memandang kapitalisme sebagai sistem yang paripurna dan negara kesejahteraan adalah upaya untuk menyelamatkan kapitalisme agar bisa lebih diterima secara moral dengan menggunakan campur tangan negara. Apa yang ingin mereka capai adalah menyelematkan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya, sambil mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat diterima. Keynes melihat kesalahan-kesalahan kapitalisme lebih sebagai

8

N Barr, The Economics of the Welfare State, (Stanford: Stanford University Press, 1998), hal. 44-63.

9

Ibid., hal. 84.

kesalahan teknis daripada kesalahan yang mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk mencapa tujuan ekonomi dibandingkan dengan sistem lain mana pun yang dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat, ia percaya bahwa suatu jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez faire dan kelaliman totalitarianisme. Negara kesejahteraan dapat disebut sebagai jalan tengah dari kedua pilar ideologi itu.

Penutup

Konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang masih menjadi perdebatan. Dalam perdebatan tersebut terdapat empat pemaknaan konsep negara kesejahteraan, antara lain: Pertama, konsep negara kesejahteraan dimaknai sebagai kekuatan negara yang ditujukan kepada kesejahteraan nasional; Kedua, konsep negara kesejahteraan dimaknai sebagai penyamaran negara kolektivisme dengan mengarahkan pembelanjaan; Ketiga, negara kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik; Keempat, konsep negara kesejahteraan dimaknai sebagai cara memperhatikan keutamaan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Perdebatan ini tidak terlepas dari adanya tarik menarik antara ideologi sosialisme dan kapitalisme. Implikasinya negara kesejahteraan dapat juga disebut sebagai jalan tengah.

Daftar Pustaka

Barr, N.. 1998. The Economics of the Welfare State. Stanford: Stanford University Press. D, Kelley. ”Altruism and Capitalism” {Artikel

online}, (1994), tersedia di: www.objectivist- center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.-asp; diunduh 11 Oktober 2008.

Friedman, Milton. 1962. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press.

(12)

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290 Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

57

Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press. Huber, E. dan JD. Stephens. 2001. Development

and Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in Global Market. The University of Chicago Press.

Manow, P.. 2004. The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State. Max Planck Institute.

McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the 21th Century. London: Zed Books.

Referensi

Dokumen terkait

%HUGDVDUNDQ JUD¿N SDGD *DPEDU GDQ GDSDW GLDPDWL EDKZD PHVNLSXQ NRH¿VLHQ GHWHUPLQDVL 5 persamaan regresi pendugaan kadar hara potensial 3KRVSRU 3 PHPLOLNL QLODL \DQJ FXNXS WLQJJL

Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai CPNS/PNS, Anggota TNI/POLRI, atau diberhentikan tidak dengan hormat

Matakuliah yang dilakukan melalui telaah referensi, diskusi, tanya jawab dan praktek diharapkan mahasiswa mampu memahami, mempraktekkan dan merancang secara mandiri dan

Hasil analisis gabungan LQ dan DLQ menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan laju hasil produksi komoditas perkebunan serupa yang dihasilkan oleh Kabupaten lain di Provinsi

Semakin besar kepemilikan manajerial yang diproksikan dengan persentase kepemilikan saham perusahaan maka manajerial akan semakin konsen terhadap persentase kepemilikannya

Pengoptimalan sumber daya ditempuh dengan merancang perangkat keras untuk enkripsi dengan dekripsi yang saling berbagi sumber daya, menggunakan arsitektur iteratif

Pada proses pembuatan Laporan Praktik Kerja Lapangan penulis tidak Pada proses pembuatan Laporan Praktik Kerja Lapangan penulis tidak merasa kesulitan karena penulis

Perilaku afiliasi dan agonistik yang dilakukan oleh satu individu berhubungan dengan peringkat individu tersebut dalam kelompok.. Penelitian ini menunjukkan bahwa