• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Negara Kesejahteraan dari Waktu ke Waktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Negara Kesejahteraan dari Waktu ke Waktu"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Negara Kesejahteraan

dari Waktu ke Waktu

MURYANTO AMIN

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760,

Email: muryanto.amin@yahoo.com

Diterima tanggal 1 Januari 2011/Disetujui tanggal 4 Februari 2011

The concept of the welfare state is a concept that is still being debated. The debate is the events of the past and present. This study discusses the debate. This study found, in the debate, there are four meanings of the welfare state concept: First, the concept of the welfare state understood as the power of the state addressed to the national welfare; Second, the concept of the wel-fare state understood as undercover state collectivism by directing spending; Third, the concept of the welfare state understood as the beginning phase of the political absolutism; Fourth, the concept of the welfare state understood as a way to pay attention condition of the people who are not rich (poor). This debate can not be separated from the pull of the ideology social-ism and capitalsocial-ism. The implication is that the welfare state can be called a middle way.

Keywords: Welfare state, laissez faire, empirical libertarian.

Pendahuluan

Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan bahwa kesejahteraan dianggap sebagai kon-sep yang tersirat dari tujuan alami negara, terlepas bentuk dan tujuan negara itu, ter-masuk juga pada masa laissez faire. Adam Smith misalnya, dalam The Wealth of Nation dan penganjur survival of the fittest, kemudi-an sadar bahwa penumpukkemudi-an kekayakemudi-an bu-kan satu-satunya tujuan keberadaan manusia. Ebenstein mengutip pendapat Adam Smith bahwa ada tiga tugas negara yang berkaitan dengan masyarakat, pertama adalah bidang pertahanan yaitu memberikan kebebasan kepada orang-orang yang melawan penye-rangan dan perbudakan, meskipun memerlu-kan biaya yang besar. Kedua, melindungi setiap anggota masyarakat untuk melawan ketidakadilan atau tekanan dari anggota masyarakat lainnya atas dasar keadilan dan kewajaran melalui penyediaan keamanan dan tidak memihak. Artinya, negara kemudian bertindak untuk mencegah adanya monopoli dari private property. Ketiga, negara

memba-ngun infrastruktur seperti memelihara peker-jaan umum dan institusi masyarakat yang bermanfaat, bukan untuk keuntungan indivi-du atau sekelompok orang. Membangun ja-lan, pelabuhan, kanal, dan lain sebagainya termasuk pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat umum.

Dari pengertian tersebut, konsep kesejahtera-an menunjukkkesejahtera-an tidak hkesejahtera-anya berkaitkesejahtera-an kesejahtera-antara analisis dan kebijakan ekonomi namun harus dilihat secara menyeluruh. Perdebatannya justru terletak pada peran pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dan perlakuan negara bagi mereka yang kalah dalam persaingan atau kompetisi. Para penganut ekonomi klasik pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba tetap meletakkan analisis dan kebijakan ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari tekanan politik, kebiasaan masa lalu, dan konflik agama.

Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan kebijakan ekonomi adalah pada aspek kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau

(2)

institusi yang dapat menyatakan kebenaran mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan manusia. Penganjur utama ekonomi klasik berpendapat sekurang-kurangnya kebahagia-an mkebahagia-anusia dicapai melalui laissez faire. Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari Smith sampai Mill tidak membenarkan ha-rapan tersebut menjadi ajaran intelektual yang kaku.

Perubahan laissez faire terjadi secara perlahan-lahan akibat industrialisasi pada abad 19 terutama mengenai kehidupan manusia sehari-hari. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill misalnya kemudian meng-adopsi filsafat sosial dan politik yang sangat dekat dengan negara kesejahteraan abad keduapuluh. Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan dari laissez faire ke konsep peran negara dalam melakukan kesejah-teraan, membuat Bentham dan Mill masih tetap mempertahankan tujuan kebahagiaan manusia hanya dicapai melalui laissez faire. Perubahan alamiah itu dimaksudkan dilaku-kan oleh negara dalam mendukung laissez faire. Perbedaan filosofi yang ada menunjuk-kan bahwa terjadi perubahan konsep negara kesejahteraan dari waktu kewaktu.

Pendekatan dan Metode

Studi ini membahas tentang perdebatan kon-sep negara kesejahteraan. Studi ini dilakukan dengan pendekatan sejarah pemikiran ekono-mi politik. Fokusnya pada peekono-mikiran para tokoh tentang negara kesejahteraan. Pengum-pulan data dilakukan dengan cara studi pusta-ka. Analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif.

Evolusi Negara Kesejahteraan

Kekuatan di balik evolusi perubahan libera-lisme klasik barat dari laissez faire ke negara kesejahteraan terjadi karena aspek ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh ekonomi terjadi disebabkan, pada abad delapan belas atau awal abad sembilan belas, unit ekonomi utama adalah pertanian, perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu keluarga. Ke-mudian, manusia menginginkan dibebaskan dari ketidaktahuannya dan campur tangan pemerintah, biarkan manusia bekerja sendiri,

dia merasa mampu mengerjakan aspek eko-nomi lebih baik sampai terpenuhi kebutuhan untuk kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu kemudian bertepatan dengan adanya teknolo-gi yang sangat efisien sehingga menjadi relatif sederhana. Jika dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi, tujuan negara kese-jahteraan adalah untuk mengurangi pengaruh dari bahaya pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan yang mengancam individu. Faktor kedua dibalik evolusi negara kesejah-teraan adalah politik. Banyak individu yang mendapatkan hak pilih yang bukan hanya digunakan untuk memilih parlemen tapi juga banyak kekuasaan sosial dan ekonomi. Penggunaan hak pilih itu dilakukan untuk memilih parea pegawai pemerintah, dan mempercayakan pilihan tersebut atas dasar keinginan dan pemikian mereka. Setelah itu, masyarakat pemilih memahami bahwa suara mereka dianggap sebagai instrumen kekuasa-an politik untuk meningkatkkekuasa-an kondisi kehi-dupan akan kebutuhan dan kepemilikan. Siapapun yang dipilih dalam pemilihan peja-bat publik akan berjanji meningkatkan keun-tungan sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat, dan yang berbuat sesuai dengan janjinya akan diberi kesempatan lagi dalam pemilihan berikutnya. Dalam konsep negara kesejahteraan, ada satu alasan yang mendasar yakni sikap permusuhan atau ketidakpedulian itu harus diiringi dengan luasnya program keamanan sosial dan ekono-mi, dan kesejahteraan dibuat untuk mencapai kesuksesan politik.

Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di belahan dunia ini, termasuk negara ber-kembang, tidak akan menerima penderitaan yang berkepanjangan dan mengiginkan per-ubahan nasib. Menurunnya pengaruh agama akan berimplikasi pada janji kehidupan yang lebih baik dalam waktu yang tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan bahkan keyakinan agama sangat kuat untuk men-capai kebahagiaan manusia sebagai haknya. Faktor psikologi ini kemudian berkembang dan menjadi gerakan reformasi sosial di Eropa dan Amerika Serikat khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa keinginan untuk hidup lebih baik, atas dasar ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan politik yang

(3)

dilakukan pada berbagai gerakan reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.

Perkembangan negara-negara di dunia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi yang cepat dan standar kehidupan yang lebih tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh secara alamiah. Minat akan negara kesejahte-raan tidak didasarkan atas sentimen murni dan kekuatan psikologi, tapi diperoleh dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus diha-puskan dari muka bumi. Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya ditakdirkan untuk tidak dapat diubah. Saat ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan mengubah institusi masyarakat.

Prinsip utama negara kesejahteraan relatif sederhana, pertama, mengenalkan setiap anggota masyarakat tentang hak sebagai manusia untuk mencapai standar kehidupan minimum. Kedua, membuat kebijakan stabi-litas ekonomi dan kemajuannya, menghapus-kan siklus kekerasan dari kenaimenghapus-kan harga yang tiba-tiba melalui kebijakan publik ketika perusahaan swasta tidak mampu men-cegah dirinya sendiri dari ancaman ketidak-stabilan atau kemunduran ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja sebagai prioritas utama kebijakan publik.

Perdebatan Politik dan Penerapan Negara Kesejahteraan

Konsep negara kesejahteraan dianggap seba-gai jalan tengah, untuk mengatasi persoalan kemunusiaan, ketika Depresi Besar terjadi pada abad 19 yang menunjukkan tidak hanya hancurnya ekonomi dan pengangguran, tapi juga penurunan kemanusiaan yang diakibat-kannya. Penganut paham negara kesejahtera-an percaya bahwa kebebaskesejahtera-an berusaha dapat menyediakan dan menguatkan kebijakan kesempatan kerja tanpa melakukan nasiona-lisasi. Sistem perpajakan disesuaikan untuk kemakmuran, suku bunga ditentukan oleh keputusan pemerintah menurut kebutuhan ekonomi, kebijakan fiskal dirancang untuk kemampuan pemerataan pembelian yang seimbang dengan mengutamakan kepenting-an bkepenting-angsa, insentif investasi harus dikurkepenting-angi, pekerjaan umum diciptakan untuk mengatasi pengangguran, menyediakan kredit

pemerin-tah untuk pengembang atau pembeli peru-mahan. Itulah beberapa ukuran yang dapat dilakukan pemerintah untuk menstabilkan ekonomi tanpa mengubah unsur fondasinya. Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebat-an yperdebat-ang terjadi berdasarkperdebat-an sejarah di Ameri-ka SeriAmeri-kat, khususnya ketiAmeri-ka terjadi Depresi Besar tahun 1932. Pertama, arsitek utama New Deal, Franklin D. Roosevelt (1882-1945). Ia memulai dengan premis utama dari liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial tidak cukup untuk membawa terlalu jauh campur tangan pemerintah sebab yang kaya tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak juga terlalu miskin.

Perubahan terjadi ketika Revolusi Industri pada pertengahan abad 19 dan pertumbuhan industri serta kekuatan finansial dengan ma-salah utamanya adanya konsentrasi kekuatan ekonomi pada beberapa korporasi besar, dan menyebabkan beberapa orang berhenti dari bisnis dan industri itu. Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali untuk mendistribusikan kesejahteraan dan produksi agar lebih sesuai. Konstitusi Amerika kemudian mengatur ke-kuatan negara yang ditujukan kepada kese-jahteraan nasional. Perusahaan besar harus mengikuti perintah konsitusi, menyesuaikan kepentingan perusahaannya dengan kepen-tingan masyarakat secara keseluruhan. Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup, tapi juga untuk membuat kehidupan lebih nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah harus mengatur aktivitas ekonomi hanya se-bagai jalan terakhir, dan melakukannya ha-nya ketika inisiatif perusahaan gagal. Fungsi utama pemerintah bukan melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh individu, tapi untuk memelihara keseimbangan. Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan akan keberha-silan perusahaan masyarakat Amerika de-ngan adanya penurunan kemiskinan.

Kedua yang tidak setuju dengan konsep negara kesejahteraan adalah Presiden Hoover (1929-1933) yang pada saat kekuasaannyalah terjadi Depresi Besar dengan puncaknya di

(4)

tahun 1932. Dia tidak pernah bimbang akan keyakinannya bahwa pelaksanaan New Deal adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya dari tradisi masyarakat Amerika tentang kebebasan. Meningkatnya jumlah penduduk akan berpengaruh kepada pemerintah, me-ningkatnya isu-isu serius mengenai hubungan individu dengan pemerintahannya dalam masyarakat bebas. Ancaman serius dari ne-gara kesejahteraan adalah kebebasan masya-rakat Amerika dan pengaruh pengikut komu-nis di Amerika,

Konsep negara kesejahteraan dengan demiki-an didefinisikdemiki-an oleh Hoover sebagai ”pe-nyamaran negara kolektivisme dengan me-ngarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan in-dividual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk ”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia menyalahkan kelompok penekan dan politisi yang mengakomodasikan banyak gangguan yang disebabkan oleh pertumbuhan pemerin-tah pusat.

Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga disuarakan oleh Roscoe Pound (1870-), satu dari ahli hukum yang berpengaruh. Ketidak-sesuaian Pound adalah bukan tugas negara yang melaksanakan banyak pelayanan pub-lik, tapi adanya konsep tentang pelayanan publik yang hanya dilaksanakan oleh negara serta tidak ada batas dalam memberikan pela-yanan kemanusiaan. Negara kesejahteraan mensyaratkan adiministrator yang sangat kuat dalam seluruh lingkup kesejahteraan manusia. Pound beranggapan, seperti negara supersevice, harus mengembangkan birokrasi yang besar, dan akhirnya akan menjadi nega-ra totaliter dengan komunisme Marxian. Ka-rena itu, negara kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik. Pound mengu-tuk kecenderungan dalam negara kesejahtera-an akkesejahtera-an pembkesejahtera-angunkesejahtera-an konsep baru tentkesejahtera-ang kebebasan sebagai keutamaan dari keinginan dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai kepentingan individu itu sendiri dan penentu-an nasib sendiri

Keempat, dari aspek ekonomi negara kese-jahteraan, A.C. Pigou mendukung konsepsi itu. Dalam Some Aspects of the Welfare Sta-te, Pigou memperhatikan keutamaan kesejah-teraan ekonomi, dengan mendefinisikan

ke-puasan dan ketidakke-puasan yang diperoleh dari keadaan ekonomi. Pigou mengingatkan bahwa negara kesejahteraan memerlukan demokrasi dan bukan sebuah monopoli atau identik dengan lemahnya negara demokrasi. Negara kesejahteraan adalah bentuk yang pantas dipertimbangkan untuk menolong kelas-kelas masyarakat miskin begitu juga untuk kebutuhan kolektif seperti kekuatan bersenjata, polisi, pengadilan, birokrasi, dan bangunan publik yang harus disediakan atau setidaknya dibayar oleh negara. Kepuasan pemenuhan kebutuhan individu seharusnya berkisar tentang kebaikan dan keinginan untuk mendapatkannya yang sering sekali didapat karena penipuan, pernyataan yang keliru dari iklan misalnya. Fungsi penguasa negara dalam negara kesejahteraan juga ha-rus menyediakan sekolah untuk anak-anak dengan makan siang dan susu gratis atau menjual sesuatu barang konsumsi dibawah harga pasar. Tindakan monopoli hanya dila-kukan untuk kepentingan nasional terutama dalam rangka menciptakan perdamaian, mengatur kekuatan produksi dan lain seba-gainya.

Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan jika dilihat dari filosopi dan empirik, meng-alami perdebatan. Meskipun konsep ini tidak begitu populer dengan minimal state-nya kaum neoliberal namun harapan akan negara kesejahteraan masih menarik untuk dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang pernah melaksanakan sosialisme demokrat. Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai terutama etika Katolik dan pengaruh doktrin karikatif sosial (social charity) gere-ja. Huber dan Stephens83 dan Manow84 men-jelaskan adanya pengaruh doktrin sosial Ka-tolik dalam desain dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara Eropa. Kelley (1994) menyatakan bahwa etika Kato-lik memunculkan paham keadilan sosial (so-cial justice) yang menjadi legitimasi inter-vensi negara terhadap mekanisme pasar.

83 E. Huber, dan JD. Stephens, Development and

Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in Global Market, (The University of Chicago Press, 2001).

84 P. Manow, The Good, the Bad, and the Ugly:

Esping-Andersen’s Regime Typology and the Re-ligious Roots of the Western Welfare State, (Max Planck Institute, 2004).

(5)

Kelley membagi paham keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan egalitarianism. Welfarism memandang bah-wa individu mempunyai hak untuk menda-patkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup, sehingga menjadi kewajiban masyarakat untuk memastikan setiap individu mempu-nyai akses pada kebutuhan-kebutuhan ter-sebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak mampu menjamin tercapainya hal tersebut, sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa memenuhi tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism menyatakan bahwa kemakmuran (wealth) yang diproduksi oleh masyarakat harus didis-tribusikan dengan adil (fair). Sistem kapitalis berbasis pasar cenderung membenarkan bahkan mendorong terjadinya kesenjangan, baik pendapatan maupun kemakmuran dian-tara individu-individu. Inilah yang menye-babkan dibutuhkannya negara untuk memas-tikan terjadinya distribusi kemakmuran yang lebih merata.85 Paham ini sangat dekat sekali pandangan liberal, yang memandang bahwa kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien dibandingkan dengan sistem yang ada. Meskipun begitu, kapitalisme mempu-nyai efek negatif berupa kemiskinan dan ke-timpangan. Untuk mengatasi hal itulah, nega-ra harus mampu mengatasi efek negatif ter-sebut.

Berbeda dengan pandangan kaum libertarian lainnya seperti Robert Nozick, yang meman-dang intervensi negara sebagai hal yang salah secara moral.86 Seperti juga halnya Hayek dan Friedman87, kaum empirical libertarian, yang memandang bahwa campur tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat. Kaum liberal kelompok yang dise-butkan terakhir merasa tidak keliru ketika mereka mengkritik program-program welfare

85

Kelley. D, ”Altruism and Capitalism” {Artikel online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.asp; diunduh 11 Oktober 2008.

86 Lihat misalnya Robert Nozick, Anarchy, State,

and Utopia, (New York: Basic Books, 1974).

87

Lihat Friedrich A. Hayek, The Road to Serf-dom, (Chicago: University of Chicago Press, 1944); dan Milton Friedman, Capitalism and Freedom, (Chicago: University of Chicago Press, 1962).

sebagai mekanisme yang sering melahirkan kultur ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau kehilangan pekerjaan) negara atau pe-merintah selalu siap memberi jaminan, yang tidak jarang terjadi adalah orang itu akan hi-dup saja dari jaminan negara. Maka etos ker-ja dan ”wirausaha” dalam masyarakat secara perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap welfare state adalah pada tahap implementasi programnya.

Klaim kaum libertarian itu berkisar pada agenda kepentingan umum yang dilandaskan dalam negara kesejahteraan sebagai tidak begitu meyakinkan. Mereka beranggapan bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada hanyalah individu”. Dengan kata lain, tidak ada kepentingan umum, yang ada hanya kepentingan individual. Karena individu per-tama-tama dipahami sebagai homo eco-nomicus, maksimalisasi laba individual pula yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu ke-pentingan umum dapat terselenggara atau ti-dak, bukan menjadi perhatian kaum liberta-rian ini.

Dalam gagasan liberalisme klasik laissez fai-re seperti Adam Smith, negara masih punya otoritas sebagai badan yang menyelenggara-kan barang/jasa publik (pendidimenyelenggara-kan, kesehat-an publik, dkesehat-an infrastruktur lain), sedkesehat-ang sek-tor privat menjadi mosek-tor pengadaan barang/ jasa privat. Namun, para empirical liberta-rian (Hayek dan Friedman) menolak pem-bagian kerja yang lunak antara sektor negara dan privat ini. Alasannya, bagi mereka ba-rang/jasa publik pun diciptakan bukan karena baik/berguna untuk khalayak umum, melain-kan karena barang/jasa itu mendatangmelain-kan la-ba la-bagi penyedianya. Adanya fakta la-bahwa pemerintah mencampuri atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif dan pajak prog-resif) sudahlah cukup membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.

Kepercayaan empirical liberal akan pertum-buhan ekonomi – investasi – tabungan – in-come – tabungan – investasi – pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki income berlebih. Pertum-buhan tabungan akan menyebabkan investasi dan menghasilkan pembangunan yang akan menghasilkan tetesen ke bawah (trickle down

(6)

effect) dari golongan menengah dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai se-cara maksimal dengan membiarkan distribusi income ditentukan oleh mekanisme pasar be-bas.88 Tidak satu pun instansi masyarakat, termasuk pemerintah, yang harus membuat kebijakan atau program pemindahan income dari kaum kaya ke kaum miskin. Maka pajak progresif, subsidi pangan, ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan petani, program khusus lapangan kerja, jaring pen-gaman sosial, dan program-program seperti itu menjadi tidak dibenarkan dalam pandan-gan kaum empirical libertarian.

Meskipun demikian, dalam pandangan ke-lompok liberal lainnya masih meyakini pen-tingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari negara untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah dimak-sudkan untuk mengeliminasi peran pasar se-bagai penyedia kesejahteraan bagi individu dan masyarakat. Negara kesejahteraan di-bangun dalam kerangka ekonomi pasar dan tidak pernah menolak ekonomi pasar kapita-lis.89

Seperti halnya Gooding, Keynes juga me-mandang bahwa kapitalisme tidak mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan yang dijanji-kan Hukum Pasar Say, permintaan tidak se-lalu bisa mengimbangi produksi. Keynes menunjuk bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, tidak selalu akan dengan sendirinya mengoordinasikan permintaan dan penawaran dengan harmonis melalui meka-nisme pasar bagi keseluruhan perekonomian, khususnya ketika terjadi defisit permintaan agregat. Karena itu, Keynes percaya peran negara dalam perekonomian. Negara dibu-tuhkan untuk memikul tanggung jawab pen-gelolaan perekonomian guna memelihara suatu permintaan agregat permintaan yang akan menjamin kesempatan kerja penuh.

88 Arthur McEwan, Neoliberalism or Democracy:

Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the 21th Century, (London: Zed Books, 1999), hal. 72-73.

89 RE, Goodin, Reason for Welfare: The Political

Theory of the Welfare State, Studies in Moral, Po-litical, and Legal Philosophy, (Princenton Uni-versity Press, 1988).

reka juga percaya bahwa tanpa tindakan pe-merintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu menghapuskan kemiskinan.

Namun, negara kesejahteraan bukanlah wu-jud dari sosialisme. Dalam format negara ke-sejahteraan memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam area ”sosial jus-tice” dan ”mutual responsibility and the duty of the strong aid to the weak”90

Namun, per-singgungan tersebut tidak bisa menghapus-kan perbedaan dasar diantara pandangan ko-lektivis dan liberal. Kaum koko-lektivis menilai negara kesejahteraan sebagai bentuk peralih-an dari kapitalisme laissez faire menuju so-sialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu ”tahapan antara” (a staging post in the transition).91

Keynes misalnya bukanlah kolektivis, dia memandang kapitalisme sebagai sistem yang paripurna dan negara kesejahteraan adalah upaya untuk menyelamatkan kapitalisme agar bisa lebih diterima secara moral dengan menggunakan campur tangan negara. Apa yang ingin mereka capai adalah menyelemat-kan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya, sambil mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat diterima. Keynes melihat kesalahan-kesalahan kapitalisme lebih sebagai kesalahan teknis daripada kesa-lahan yang mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk mencapa tujuan ekonomi di-bandingkan dengan sistem lain mana pun yang dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat, ia percaya bahwa suatu jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez faire dan kelaliman totalitarianisme. Negara kese-jahteraan dapat disebut sebagai jalan tengah dari kedua pilar ideologi itu.

Penutup

Konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang masih menjadi perdebatan. Dalam per-debatan tersebut terdapat empat pemaknaan

90 N Barr, The Economics of the Welfare State,

(Stanford: Stanford University Press, 1998), hal. 44-63.

(7)

konsep negara kesejahteraan, antara lain: Pertama, konsep negara kesejahteraan di-maknai sebagai kekuatan negara yang dituju-kan kepada kesejahteraan nasional; Kedua, konsep negara kesejahteraan dimaknai seba-gai penyamaran negara kolektivisme dengan mengarahkan pembelanjaan; Ketiga, negara kesejahteraan hanya awal dari fase ab-solutisme politik; Keempat, konsep negara kesejahteraan dimaknai sebagai cara mem-perhatikan keutamaan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Perdebatan ini tidak ter-lepas dari adanya tarik menarik antara ideo-logi sosialisme dan kapitalisme. Implikasinya negara kesejahteraan dapat juga disebut seba-gai jalan tengah.

Daftar Pustaka

Barr, N.. 1998. The Economics of the Welfare State. Stanford: Stanford University Press. D, Kelley. ”Altruism and Capitalism” {Artikel

online}, (1994), tersedia di:

www.objectivist- center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.-asp; diunduh 11 Oktober 2008.

Friedman, Milton. 1962. Capitalism and Free-dom. Chicago: University of Chicago Press. Goodin, RE.. 1988. Reason for Welfare: The

Po-litical Theory of the Welfare State, Studies in Moral, Political, and Legal Philosophy. Princenton University Press.

Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press. Huber, E. dan JD. Stephens. 2001. Development

and Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in Global Market. The University of Chicago Press.

Manow, P.. 2004. The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology and the Religious Roots of the Western Wel-fare State. Max Planck Institute.

McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or Democ-racy: Economic Strategy, Markets, and Al-ternatives for the 21th Century. London: Zed Books.

Nozick, Robert. 1974. Anarchy, State, and Uto-pia. New York: Basic Books.

Referensi

Dokumen terkait

%HUGDVDUNDQ JUD¿N SDGD *DPEDU GDQ GDSDW GLDPDWL EDKZD PHVNLSXQ NRH¿VLHQ GHWHUPLQDVL 5 persamaan regresi pendugaan kadar hara potensial 3KRVSRU 3 PHPLOLNL QLODL \DQJ FXNXS WLQJJL

Pengoptimalan sumber daya ditempuh dengan merancang perangkat keras untuk enkripsi dengan dekripsi yang saling berbagi sumber daya, menggunakan arsitektur iteratif

Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai CPNS/PNS, Anggota TNI/POLRI, atau diberhentikan tidak dengan hormat

Hasil analisis gabungan LQ dan DLQ menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan laju hasil produksi komoditas perkebunan serupa yang dihasilkan oleh Kabupaten lain di Provinsi

Beliau mengatakan : Di dalam keterangan ini terkandung penjelasan bahwa jalan keluar/solusi dari kezaliman para penguasa -yang mereka itu berasal dari bangsa kita sendiri dan

1) Mode numerik untuk digit desimal dari 0 sampai 9. Namun, beberapa code scanner QR dapat secara otomatis mendeteksi jika UTF-8 digunakan dalam mode byte

Pada proses pembuatan Laporan Praktik Kerja Lapangan penulis tidak Pada proses pembuatan Laporan Praktik Kerja Lapangan penulis tidak merasa kesulitan karena penulis

Perilaku afiliasi dan agonistik yang dilakukan oleh satu individu berhubungan dengan peringkat individu tersebut dalam kelompok.. Penelitian ini menunjukkan bahwa