• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI MIKROENKAPSULAN MINYAK CENGKEH

UNTUK PESTISIDA NABATI

YUSLINAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

YUSLINAWATI. Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati. Dibimbing oleh Mulyorini Rahayuningsih dan Ono Suparno.

Minyak cengkeh merupakan salah satu sumber pestisida nabati yang banyak dilaporkan memiliki spektrum penggunaan yang sangat luas karena sangat efektif digunakan baik sebagai bakterisida, fungisida, insektisida, nematisida maupun moluskisida dikarenakan keberadaan bahan aktif eugenol dan komponen non fenolat lainnya yang terdapat pada minyak cengkeh tersebut. Dalam aplikasinya sebagai pestisida, minyak cengkeh dan bahan aktifnya bersifat volatil, mudah terurai, tidak larut dalam air dan sensitif terhadap suhu, panas, oksigen, kelembaban, dan cahaya matahari sehingga memberikan kondisi yang tidak efisien, efektif, dan praktis. Minyak cengkeh juga dilaporkan bersifat fitotoksik. Kemudahan penggunaan, efisiensi, dan menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan penting yang harus diperhatikan. Tipe produk mikroenkapsulan merupakan salah satu formulasi produk yang dapat mengatasi permasalahan tersebut yang diperoleh dengan teknik mikroenkapsulasi.

Dengan mikroenkapsulasi, bahan aktif akan terlindung dari pengaruh lingkungan selama penyimpanan dan aplikasi, pelepasan zat aktif dapat dikendalikan dan dapat merubah minyak cengkeh yang berwujud cair menjadi padatan sehingga memudahkan pada saat penanganan, pengemasan, dan pendistribusiannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi berdasarkan konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul untuk mendapatkan mikrokapsul dengan karakteristik yang baik, dan untuk menghitung efektivitas produk terhadap organisme pengganggu tanaman dan ketahanannya terhadap lingkungan.

Mikroenkapsulasi dilakukan dengan metode spray drying pada suhu inlet ±180oC dan suhu outlet ±70oC menggunakan bahan pengkapsul maltodekstrin dan Na-kaseinat. Penelitian utama menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Faktor yang dipelajari berupa konsentrasi minyak (faktor A) terdiri atas tiga taraf yakni A1=10%, A2=20%, dan A3=30% serta komposisi bahan pengkapsul (nisbah Na-kaseinat terhadap maltodekstrin) terdiri atas enam taraf, yaitu B1=1:2, B2=1:2.5, B3=1:3, B4=1:4, B5=1:5, dan B6=1:9 dengan dua kali ulangan. Variabel respon yang diukur berupa viskositas, total oil, surface oil, efisiensi enkapsulasi, rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi, aktivitas air, dan kelarutan dalam air. Struktur mikrokapsul, profil bahan aktif, dan uji toksisitas terhadap jamur dan serangga dari produk mikrokapsul terpilih melalui metode pembobotan diamati pula.

(6)

dihasilkan berbentuk bulat dan kisut yang berukuran sekitar 2-30 µm. Kandungan bahan aktif utama yakni eugenol mengalami penurunan sebesar 35% setelah proses enkapsulasi dan penurunan bahan aktif lainnya dalam jumlah sedikit. Minyak cengkeh yang sudah dienkapsulasi memiliki aktivitas yang lebih tinggi dan persistensi atau durasi aktivitas yang cukup lama dibanding minyak cengkeh yang tidak dienkapsulasi baik terhadap Fusarium oxysporum maupun Crocidolomia pavonana. Proses enkapsulasi minyak cengkeh dengan bahan pengkapsul maltodekstrin dan Na-kaseinat dapat mempertahankan aktivitas minyak cengkeh oleh pengaruh sinar matahari, dan dapat mengurangi efek fitotoksik pada tanaman. Proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh juga berpotensi untuk dikembangkan karena menghasilkan nilai tambah yang cukup besar yaitu sebnayak 45%.

(7)

SUMMARY

YUSLINAWATI. Formulation of Clove Oil Microencapsulan for Organic Pesticide. Supervised by MULYORINI RAHAYUNINGSIH and ONO SUPARNO.

Clove oil is one of organic pesticides which was reported has broad spectrume because its effectivity as bacteriside, fungiside, insectiside, nematiside or molusciside due to active ingeredients eugenol and non fenolat like caryophyllene. However, in application as pesticide, its has volatile, biodegradable, insolubility in water and sensitivity to temperature, heat, oxygen, and sun light lead to inefficiency, ineffectiveness, unpracticable, and unflexibility. Clove oil has fitotoxicity. Easily handle to use, efficiency and execelent product are important thing to be considered. Microancapsulan is one of formulation to handle it.

Microencapsulation can protect the active ingredients against harsh conditions of storage and processing. This technology also facilitate handling, packaging and transportation through the conversion of sticky liquid into free flowing powder. This research was aimed to determining the formulation based of oil concentration and encapsulating material compositition that produced good microcapsule properties.

Microencapsulation spray drying was operated at temperature 180oC inlet and 70oC outlet. Main experiments perfomed by using complete randomized factorial design with two factors, namely oil concentration (A) with 3 levels (A1=10%, A2=20%, and A3=30%), and ratio of sodium caseinates to maltodextrin (B) with 6 levels (B1=1:2, B2=1:2.5, B3=1:3, B4=1:4, B5=1:5, and B6=1:9). Parameters consist of viscosity, yield, oil encapsulated yield, total oil, surface oil, encapsulation efficiency, water activity, and solubility. Microstructure, active ingredients profile and toxixity on fungi and insect of selected microcapsule based on above parameters by rangking methode were also assayed.

Result showed that oil concentration and encapsulating material compositition affected to viscosity, total oil, surface oil, product yield, oil encapsulated yield, water activity and solubility. Encapsulation efficiency were only influenced by encapsulating material compositition. The selected microcapsule properties was obtained from microcapsules containing clove oil 10%, and ratio Na-caseinate to maltodextrin 1:3 with product yield 66,67%, oil yield 74,52%, encapsulation efficiency 99,14%, water activity 0,303 and good solubility is 99,08%. Structure of microcapsule were found to be nearly spherical with rough surface, but some particle with smooth surface also found which size 2-30 µm. There were loss of volatile compound in encapsulated oil. Encapsulated oil has higher activity as pesticide and long persistence than clove oil and commercial product. Microencapsulation of clove oil with maltodextrin and Na-caseinate could protect from sunlight and decreasing phitotoxic effect. Microencapsulation of clove oil is also potencial to develop, because it has added value was 45%.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

FORMULASI MIKROENKAPSULAN MINYAK CENGKEH

UNTUK PESTISIDA NABATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati

Nama : Yuslinawati NIM : F351100201

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. Ketua

Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T. Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Machfud. M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 hingga Maret 2014 ini ialah Formulasi Pestisida Nabati, dengan judul Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T. selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Dono Wahyuno, M.Sc. dan Ibu Dra. Rodiah Balfas, M.Sc yang telah banyak memberi bantuan dan saran dalam penelitian Bioassay. Tak lupa kepada Bapak dan Ibu laboran serta teknisi di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Fateta-IPB, dan laboratorium serta rumah kaca Hama dan Penyakit di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik, Balittro-Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Asep Awaludin, dan ananda tersayang Lizar Azqilla Awalina Tasanee, ibu, ayah dan ibu mertua terkasih, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Pestisida 3

Minyak Cengkeh dan Potensinya sebagai Pestisida Nabati 4

Teknologi Formulasi Pestisida 6

Mikroenkapsulasi 7

Bahan Pengkapsul 9

3 METODE 11

Bahan dan Alat 11

Metode 12

Rancangan Percobaan 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Persiapan Bahan Baku 20

Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul 21

Karakteristik Produk Mikrokapsul Minyak Cengkeh 24 Penentuan Formulasi Terbaik Melalui Metode Pembobotan 34

Struktur Morfologi Partikel Mikrokapsul 34

Profil Bahan Aktif Minyak Cengkeh Sebelum dan Sesudah Enkapsulasi 36 Efektivitas Minyak Cengkeh dan Produk Mikrokapsulnya sebagai

Pestisida Nabati 37

Analisis Nilai Tambah Produk Mikrokapsul Minyak Cengkeh 42

5 SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 52

(15)

ii

DAFTAR TABEL

2.1 Kadar minyak (%) dan eugenol (%) daun cengkeh dari berbagai tipe

dan ketuaan daun cengkeh 4

2.2 Jenis bahan pengkapsul 10

3.1 Bobot nilai masing-masing parameter analisis produk mikrokapsul 16 4.1 Hasil analisis viskositas, stabilitas emulsi, dan ukuran droplet emulsi

minyak cengkeh dengan perbedaan komposisi bahan pengkapsul dan

hasil uji performa spray drying-nya 22

4.2 Komposisi bahan aktif pada minyak cengkeh dan produk mikrokapsulnya (basis 100 gram minyak cengkeh sebelum

pemucatan) 37

4.3 Penghambatan pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum oleh minyak

cengkeh dan produk mikrokapsulnya 38

4.4 Data mortalitas ulat C. pavonana oleh minyak cengkeh dan

mikrokapsulnya 39

4.5 Pengaruh sinar matahari terhadap tingkat toksisitas produk

(pengamatan setelah 72 jam) 40

4.6 Perhitungan nilai tambah proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh 43

DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur eugenol (a) dan β-caryophyllene (b) (Sastrohamidjojo 2002) 5 2.2 Morfologi dari berbagai tipe mikrokapsul (Dubey et al. 2009) 8 2.3 Spray dryer skala laboratorium (Anonim 2014) 8

2.4 Struktur maltodekstrin (Anonim 2014) 11

3.1 Proses pemucatan minyak cengkeh (Marwati 2005) 12 3.2 Diagram alir proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh 14 4.1 Minyak cengkeh sebelum dan sesudah bleaching 20 4.2 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap viskositas emulsi 24 4.3 Skema interaksi pati dengan protein (Rao 2007) 25 4.4 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap total oil mikrokapsul

minyak cengkeh 26

4.5 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap surface oil

mikrokapsul minyak cengkeh 27

4.6 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap efisiensi enkapsulasi

mikrokapsul minyak cengkeh 28

4.7 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap rendemen produk

(16)

iii 4.8 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap rendemen minyak

terenkapsulasi mikrokapsul minyak cengkeh 30

4.9 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap aktivitas air

mikrokapsul minyak cengkeh 31

4.10 Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk flavour terenkapsulasi (Whorton dan Reineccius 1995) 32 4.11 Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)

dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap kelarutan dalam air

mikrokapsul minyak cengkeh 33

4.12 Struktur morfologi mikrokapsul minyak cengkeh, perbesaran 1000x 35 4.13 Skema proses mikroenkapsulasi melalui proses adsorpsi. Ket: (1) air,

(2) bahan inti, (3) polimer/ bahan pengkapsul, (4) deposisi polimer membungkus inti, (5) mikrokapsul (Martins et al. 2014) 36 4.14 Ikatan hidrogen antara hidroksil pada eugenol (OH) dengan rantai

samping asam amino (-R) (Baranauskiene 2006) 36 4.15 Efek fitotoksik pada tanaman oleh pengaruh: (a) minyak cengkeh

sebelum dienkapsulasi (b) minyak cengkeh setelah dienkapsulasi 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penelitian terdahulu mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying pada beberapa jenis minyak atsiri dan sejenisnya

52 2 Hasil analisis keragaman stabilitas emulsi dengan variasi komposisi

bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin) 58 3a Hasil analisis keragaman viskositas emulsi dengan variasi komposisi

bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin 58

3b Uji lanjut Duncan terhadap viskositas emulsi (α=5%) 58 4a Hasil analisis keragaman viskositas emulsi dengan variasi

konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 59

4b Uji lanjut Duncan terhadap viskositas (α=5%) 59 5a Hasil analisis keragaman total oil dengan variasi konsentrasi minyak

dan komposisi bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin) 61 5b Uji lanjut Duncan terhadap total oil (α=5% 61 6a Hasil analisis keragaman surface oil dengan variasi konsentrasi

minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 62

6b Uji lanjut Duncan terhadap surface oil (α=5%) 62 7a Hasil analisis keragaman efisiensi enkapsulasi dengan variasi

konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 63

(17)

iv

8a Hasil analisis keragaman rendemen produk dengan variasi konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 64

8b Uji lanjut Duncan terhadap rendemen produk (α=5%) 64 9a Hasil analisis keragaman rendemen minyak terenkapsulasi dengan

variasi konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 66

9b Uji lanjut Duncan terhadap rendemen minyak (α=5%) 66 10a Hasil analisis keragaman aktivitas air dengan variasi konsentrasi

minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 68

10b Uji lanjut Duncan terhadap aktivitas air (α=5% 68 11a Hasil analisis keragaman kelarutan dalam air dengan variasi

konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul

(na-kaseinat:maltodekstrin) 69

11b Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air (α=5%) 69 12 Neraca massa proses adsorpsi minyak cengkeh 70 13 Neraca massa proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh 71

14 Perhitungan pembobotan 73

15a Hasil kromatografi minyak cengkeh sebelum enkapsulasi 75 15b Hasil kromatografi minyak cengkeh setelah enkapsulasi 75

16 Rincian perhitungan analisis nilai tambah mikroenkapsulasi minyak

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cengkeh (Syzigium aromaticum) merupakan salah satu sumber pestisida nabati. Telah banyak dilaporkan bahwa cengkeh ini mempunyai aktivitas baik sebagai bakterisida (Hartati et al. 1993, Gupta et al. 2009), fungisida (Tombe et al. 1993, Manohara et al. 1993,Menon dan Garg 2001, El-Zemity dan Ahmed 2005, Chang et al. 2008, Cosic et al. 2010), insektisida (Wiratno et al. 1993, Darwis dan Baringbing 2005, Huang et al. 2002, Kim et al. 2003, Kim et al. 2004, Rajapakse dan Ratnasekera 2008, Mardiningsih et al. 2011, Atmadja 2011, Siswanto et al. 2011), nematisida (Mustika dan Slamet 1993) maupun moluskisida (Wiratno 2010), baik dalam bentuk tepung, ekstrak, minyak cengkeh, eugenol, maupun komponen-komponen lainnya dalam minyak cengkeh. Penggunaan cengkeh yang cukup luas tidak hanya untuk satu kelompok/ jenis OPT (organisme pengganggu tanaman) saja, menjadikan cengkeh sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pestisida.

Minyak cengkeh sebagai salah satu produk cengkeh juga telah banyak dilaporkan mempunyai aktivitas lebih baik dibandingkan dengan bentuk produk cengkeh lainnya, dalam menghambat pertumbuhan maupun meningkatkan kematian OPT target. Eugenol sebagai bahan aktif utama yang mendominasi jumlahnya sekitar 70-90%, dan komponen-komponen lainnya yakni senyawa non fenolat seperti kariofilen dalam jumlah sedikit, keberadaan keduanya dalam minyak cengkeh dapat meningkatkan aktivitas bahan aktif secara keseluruhan (berjalan secara sinergis) seperti yang diungkapkan Prijono (1999). Minyak cengkeh dapat bersumber dari daun, bunga, dan gagang cengkeh. Namun yang paling banyak diproduksi, paling murah, dan mudah didapatkan adalah minyak cengkeh. Sejauh ini pemanfaatan minyak cengkeh selain diekspor dalam bentuk mentah, digunakan juga oleh industri kimia aromatik lokal diproses kembali untuk didapatkan produk turunannya, sebagai bahan baku parfum, farmasi, kosmetik, dan lainnya. Penggunaan minyak cengkeh sebagai pestisida juga diharapkan dapat memberikan nilai tambah untuk penggunaan minyak cengkeh selama ini.

(19)

2

Formulasi produk pestisida berbasis minyak cengkeh dengan tipe mikroenkapsulan ini diperoleh melalui proses yang dikenal dengan mikroenkapsulasi. Teknik mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan secara langsung terhadap zat aktif/bahan sensitif yang berbentuk gas, cair atau padatan dengan suatu pelindung atau dinding atau pengkapsul yang homogen atau heterogen (Gharsallaoi et al. 2007). Bahan pengkapsul tersebut dapat melindungi bahan sensitif (inti) dari reaksi-reaksi kimia yang tidak diinginkan, kehilangan komponen volatil, dan dapat mengendalikan pelepasan zat aktif yang bersifat sensitif seperti halnya minyak atsiri (Riyajan dan Sakdapipanich 2009). Selain itu, teknologi mikroenkapsulasi juga dapat mengkonversi cairan menjadi bubuk sehingga penanganan dan distribusinya menjadi lebih mudah.

Teknik yang paling umum digunakan dan ekonomis untuk mikroenkapsulasi adalah dengan spray drying (Bharbosa et al. 2005). Dalam aplikasi teknologi mikroenkapsulasi dengan teknik ini, salah satu tantangannya terletak pada seleksi bahan pengkapsulnya, karena dapat mempengaruhi efisiensi proses enkapsulasi. Maltodekstrin (MD) banyak digunakan sebagai bahan pengkapsul karena memiliki sifat-sifat yang diperlukan pada proses enkapsulasi seperti viskositas rendah pada konsentrasi yang tinggi, dan kelarutan yang cukup baik (Gharsallaoi et al. 2007). Maltodekstrin juga dapat memberikan stabilitas terhadap oksigen yang baik untuk enkapsulasi minyak namun memiliki kapasitas dan stabilitas emulsi yang lemah dan retensi minyak rendah (Kenyon 1995). Oleh karena itu biasanya maltodekstrin dikombinasikan dengan bahan lain seperti gum arab, protein untuk keperluan stabilitas emulsinya. Na-kaseinat (Na-Cas) merupakan protein dari susu yang merupakan emulsifier yang baik, dan juga dikenal sangat stabil terhadap panas (Pederson et al. 1998) sehingga sangat sesuai digunakan sebagai bahan pengkapsul dalam proses mikroenkapsulasi dengan spray drying. Enkapsulasi bahan volatil berbasis protein juga perlu dipertimbangkan, mengingat protein mempunyai sebuah kemampuan pengikatan yang cukup tinggi. Namun penggunaan kaseinat secara tunggal juga tidak ekonomis dikarenakan harganya yang cukup mahal. Kombinasi kaseinat dengan maltodekstrin yang harganya relatif murah diharapkan dapat menjadi pilihan kombinasi bahan pengkapsul yang tepat, ekonomis, dan menghasilkan karakteristik mikrokapsul yang lebih baik. Hasil penelitian Jimenez et al. (2006) membuktikan bahwa penggunaan gabungan biopolimer sebagai bahan pengkapsul dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi dan umur simpan mikrokapsul.

Salah satu tahapan proses yang penting dan kritis dalam proses mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying terletak pada proses emulsifikasi. Eslamian dan Ashgriz (2011) mengatakan bahwa dalam proses emusifikasi, kekentalan dan konsentrasi larutan emulsi mempengaruhi mutu serbuk yang dihasilkan, yang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan inti. Oleh karena itu, pada penelitian ini, kajian mikroenkapsulasi dalam formulasi mikroenkapsulan ditekankan pada proses emulsifikasi sebagai faktor perlakuan, yakni pada komposisi bahan pengkapsul dan konsentrasi minyak sebagai bahan inti.

Tujuan Penelitian

(20)

3 1. Mendapatkan komposisi bahan pengkapsul dan konsentrasi minyak (bahan inti) terbaik pada proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh dan mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik produk mikrokapsul yang dihasilkan, 2. Menghitung efektivitas produk, dan mengetahui ketahanan aktivitasnya sebagai

pestisida oleh pengaruh sinar matahari terhadap OPT target dibandingkan dengan minyak cengkeh sebelum dienkapsulasi, serta mengetahui sifat fitotoksisitasnya.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan informasi sebuah teknik formulasi yang dapat membantu kemudahan dan keamanan penggunaan oleh konsumen serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi fungsi patogenitasnya.

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi:

1. Minyak cengkeh yang digunakan sebagai inti untuk dienkapsulasi adalah minyak yang telah dipucatkan.

2. Komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD) dipilih berdasarkan uji performa spray drying dan parameter viskositas, yang selanjutnya digunakan untuk tahap formulasi.

3. Proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh (tahap formulasi) dilakukan dengan perlakuan komposisi bahan pengkapsul terpilih dari tahap sebelumnya dan konsentrasi minyak sebagai bahan inti.

4. Karakteristik produk mikrokapsul yang dihasilkan meliputi efisiensi enkapsulasi melalui penentuan kadar minyak (total oil dan surface oil), rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi, aktivitas air dan kelarutan dalam air.

5. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan kombinasi perlakuan/formulasi terbaik, dan produk terpilih berdasarkan metode pembobotan tersebut dianalisis struktur morfologi dan bahan aktifnya.

6. Pada uji efikasi digunakan jamur Fusarium oxysporum dan serangga Crocidolomia pavonana sebagai organisme target, dan uji fitotoksisitas minyak cengkeh dilakukan terhadap tumbuhan brokoli dewasa.

7. Nilai tambah proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh ditentukan dengan menggunakan metode Hayami.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pestisida

(21)

4

tani akibat penggunaan pestisida kimia dengan dosis yang tinggi dan terus menerus.

Kelemahan pestisida kimia/sintetis di atas dapat diatasi dengan pestisida alami yang berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam yang dikelompokkan menjadi tiga golongan, yakni (Novizan 2002):

1) Pestisida nabati/botani yang berasal dari ekstrak tanaman.

2) Pestisida biologis yang mengandung mikroorganisme pengganggu OPT seperti bakteri, jamur, dan virus.

3) Pestisida berbahan dasar mineral anorganik yang terdapat pada kulit bumi. Contoh: minyak bumi, minyak nabati, dan sabun.

Minyak Cengkeh dan Potensinya sebagai Pestisida Nabati

Minyak cengkeh diperoleh dari hasil penyulingan yang berasal dari daun, bunga, dan gagang cengkeh (Syzygium aromaticum, Eugenia caryophyllata, dan Eugenia aromatica (Ketaren 1985). Dari ketiga bagian tersebut yang paling ekonomis adalah ekstrak bagian daunnya, karena diperoleh dari daun cengkeh yang sudah gugur. Oleh karena itu jenis minyak cengkeh yang banyak diperjualbelikan adalah minyak daun cengkeh (Nurdjannah et al. 1990).

Menurut Sastrohamidjojo (2002), komponen minyak cengkeh dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non fenolat yaitu β-kariofilen, α-kubeben, α-kopaen, humulen, -kadien, dan kadina 1, 3, 5 trien dengan β-kariofilen sebagai komponen terbesar. Hasil penelitian Bhuiyn et al. (2010) menyebutkan terdapat 38 komponen yang teridentifikasi dalam minyak cengkeh yang dihasilkan melalui proses destilasi air. Komponen utama antara lain eugenol (74,3%), eucalyptol (5,8%), caryophyllene (3,85%), α-cadinol (2,43%), limonene (2,08%) dan α- caryophyllene (1,52%).

Eugenol (C10H12O2.BM 164.20 g/mol) merupakan komponen utama dalam

minyak cengkeh, jumlahnya berkisar antara 70-95% tergantung pada sumber dan jenisnya (Tabel 2.1). Eugenol adalah senyawa dari golongan oxygenated hydrocarbon, berupa cairan minyak tidak berwarna atau agak kekuningan. Eugenol bersifat larut dalam alkohol, kloroform dan eter serta sukar larut dalam air. Sifat fisik eugenol antara lain bobot jenis 1,065, indeks bias 1,541, kelarutan dalam alkohol 70% adalah 1:1, dan memiliki titik didih 254-257oC (Sastrohamidjojo 2002). Konsentrasi eugenol yang cukup tinggi dalam minyak cengkeh diduga kuat berperan sebagai antimikroba dan anti serangga.

Tabel 2.1 Kadar minyak (%) dan eugenol (%) daun cengkeh dari berbagai tipe dan ketuaan daun cengkeh Keterangan: M= minyak cengkeh, E= eugenol

(22)

5 Kelompok kedua terbesar dalam minyak cengkeh yaitu seskuiterpen yang disebut kariofilen, yaitu α-kariofilen dan β-kariofilen yang berjumlah 5-12 persen. β-kariofilen mempunyai rumus empiris C15H24 dengan berat molekul 204,36.

Senyawa β-kariofilen berupa cairan tidak berwarna sampai agak kuning, larut dalam alkohol dan eter tetapi tidak larut dalam air, mempunyai titik didih 118-119oC (Sastrohamidjojo 2002). Bentuk molekul eugenol dan β-kariofilen ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat minyak cengkeh pada daftar urutan 25(b) yakni pestisida dengan minimum resiko, yang bebas dari persyaratan-persyaratan registrasi untuk kebanyakan pestisida termasuk uji toksisitas, bahkan dokumen keputusan kelayakan pendaftaran ulang untuk minyak cengkeh sudah dikeluarkan. Minyak cengkeh telah terdaftar pertama kali sebagai pestisida pada tahun 1972 dan didaftarkan kembali pada tahun 1993.

Minyak cengkeh banyak dilaporkan berpotensi sebagai fungisida maupun insektisida. Seperti yang telah dilakukan Manohara et al. (1993) dalam penelitiannya menggunakan minyak cengkeh pada konsentrasi 200-300 ppm menunjukkan efektivitas yang sangat baik dalam menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen pada tanaman budidaya yaitu P. capsici, P. palmivora, Sclerotiumspp, dan Rigidoporuslignosus. Hasil penelitian Menon dan Garg (2001) menunjukkan berkurangnya pertumbuhan populasi jamur patogen pada daging Listeria monocytogenes dari 7,7x103 cfu/g menjadi 1,8x105 cfu/g dengan penambahan minyak cengkeh sebesar 0,5% pada penyimpanan suhu 30oC.

Penelitian lainnya yang telah dilakukan El-Zemity dan Ahmed (2005) menghasilkan fakta bahwa minyak cengkeh terbukti paling efektif menghambat pertumbuhan pada beberapa jamur patogen salah satunya Fusarium oxysporum dengan nilai EC50 diperoleh pada konsentrasi yang paling rendah dibanding

minyak atsiri lainnya. Aktivitas antijamur yang diberikan oleh minyak cengkeh juga telah dilakukan terhadap beberapa dermathopytes (Park et al. 2007), menunjukkan efektivitas lebih dari 60% pada konsentrasi 0,2 mg/ml. Cosic et al. (2010) berdasarkan hasil penelitiannya juga memberikan fakta bahwa minyak cengkeh merupakan salah satu minyak atsiri yang sangat berpotensi dalam menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen pada konsentrasi 5 µl. Diperkuat juga oleh hasil penelitian Djiwanti dan Supriyadi (2011), bahwa minyak cengkeh sangat efektif menekan gejala busuk batang pada rimpang jahe yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium oxysporum pada konsentrasi 5000 ppm dengan mortalitas 100%.

Tidak hanya potensinya sebagai antijamur atau memiliki aktivitas fungisidal, efektivitas minyak cengkeh dalam mengendalikan populasi hama juga

Gambar 2.1 Struktur molekul: (a) eugenol dan (b)β-caryophyllene (Sastrohamidjojo 2002)

ambar2. Struktur Eugenol

(23)

6

telah banyak dilaporkan. Seperti oleh Kim et al. (2003) dan Kim et al. (2004) terhadap tungau Tyrophagus putrescentiae dan Dermanyssus gallinae yang ditunjukkan dengan nilai mortalitas sebesar 100% pada konsentrasi 12,7 µg/cm2 dan 0,35 mg/cm2. Pengujian terhadap Sitophylus sp menunjukkan efektivitas minyak cengkeh yang cukup baik, yakni kematian sebesar 93% pada hari ke-4 setelah perlakuan (Kim et al. 2003). Minyak cengkeh juga dilaporkan efektif dalam mengendalikan ulat grayak/Spodoptera littura dengan konsentrasi 10 ml/l air yang dibuktikan dengan nilai efikasi ≥50% (Atmadja 2011), dan Thripspalmi pada tanaman kentang dengan nilai mortalitas sebesar 82% dengan konsentrasi 2 ml/l air (Atmadja dan Rizal 2011).

Penelitian lain telah dilakukan Siswanto et al. (2011) bahwa minyak cengkeh sebagai racun perut dapat menyebabkan mortalitas >90% pada kumbang daun nilam (Longitarsus sp.) 3 hari setelah perlakuan pada konsentrasi 1 maupun 10%, dan sebagai racun kontak dengan konsentrasi 2% cukup efektif menyebabkan mortalitas kumbang >90% 1 jam setelah perlakuan. Minyak cengkeh juga berpotensi sebagai bahan aktif pestisida nabati untuk mengendalikan hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) dengan persentase kematian 100% pada hari ke-4 setelah aplikasi dengan konsentrasi 1% (Wiratno 2011). Aktivitas minyak cengkeh juga ditunjukkan terhadap Aspidiella hartii dengan mortalitas 100% pada konsentrasi 1% (Balfas dan Sugandi, 2012)

Teknologi Formulasi Pestisida

Bahan aktif pestisida tidak dijual dalam bentuk murni, selain harganya sangat mahal, aplikasinyapun tidak praktis di lapangan. Apalagi untuk bahan aktif yang tidak larut dalam air, seperti minyak cengkeh, perlu diformulasikan dengan pencampuran bahan lain untuk menghasilkan bentuk formula pestisida nabati yang dapat digunakan secara langsung, efektif, aman, dan efisien. Martin et al. (2009) menambahkan bahan aktif yang diformulasikan bertujuan selain untuk menambah efektivitas penggunaan pestisida di lapangan, meningkatkan keamanan, juga meningkatkan mutu penanganan.

Sediaan (formulasi) pestisida pada dasarnya terdiri dari 3 bentuk yaitu padat, cair, dan bentuk lainnya seperti aerosol dan fumigan. Sediaan padat dapat dibagi ke dalam dua tipe yaitu produk yang siap digunakan (ready to use) dan bentuk konsentrat yang harus dicampur dengan air ketika akan diaplikasikan sebagai spray. Bentuk dust (tepung hembus), granule (butiran), dan pellet termasuk sediaan padat yang siap digunakan, sedangkan wettable powder (WP/tepung), dry flowables (DF/butiran), dan soluble powder (SB/tepung) adalah sediaan padat dalam bentuk konsentrat. Sediaan cair merupakan formulasi yang umumnya digunakan carrier sebagai pencampur seperti air, minyak nabati atau bahkan bahan bakar pada saat akan digunakan. Beberapa jenis sediaan cair seperti emulsifiable concentrate (EC), soluble liquid (SL), flowable in water (FW), aquaeous concentrate (AC), dan jenis terakhir yaitu microencapsulates (Martin et al. 2009).

(24)

7 beberapa keuntungan pestisida dalam formulasi mikrokapsul ini (controlled release) antara lain:

 Mengurangi toksisitas terhadap mamalia untuk substansi dengan daya toksik tinggi,

 Memperpanjang durasi aktivitas dari bahan aktif pada konsentrasi yang sama,  Mengurangi kehilangan evaporasi dan kemudahan terbakar,

 Mengurangi fitotoksisitas,  Menjaga kerusakan lingkungan,

 Memisahkan komponen-komponen yang reaktif,  Mengontrol pelepasan bahan aktif, dan

 Memudahkan penanganan.

Metode untuk menghasilkan produk sediaan pestisida dalam bentuk mikrokapsul ini disebut dengan mikroenkapulasi.

Mikroenkapsulasi

McNamee (1998) mendefinisikan mikroenkapsulasi sebagai suatu teknik mengemas atau melapisi komponen aktif berbentuk cairan, padatan atau gas dengan suatu dinding, lapisan film atau pengkapsul yang dapat melindungi dari kerusakan kimia dan menghambat volatilisasi. Mikroenkapsulasi juga dilakukan untuk mengurangi reaksi inti dengan lingkungan luar, mengurangi evaporasi atau laju transfer inti ke lingkungan luar dan menjadi bahan yang mudah ditangani. Paramitra (2010) menambahkan proses enkapsulasi bertujuan untuk mempertahankan kestabilan bahan yang mudah menguap, sensitif terhadap cahaya, oksigen dan panas.

Proses mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap dalam suatu pengadukan yang sinambung, yaitu (Martins et al. 2014):

a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa (air), fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul.

b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang terbentuk antara materi inti dan bahan cair.

c. Pemadatan lapisan bahan pengkapsul untuk membentuk mikrokapsul yang biasanya terjadi akibat panas.

Menurut Madene et al (2006), ukuran mikrokapsul dapat berkisar antara 1-2000 µm yang bergantung pada metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Begitu juga dengan Gharsallaoui et al. (2007) dan Dubey et al. (2009) menyatakan bahwa diameter rata-rata dari mikrokapsul berada pada kisaran satu hingga ribuan mikrometer (beberapa millimeter).

(25)

8

MONOCORE POLYCORE MATRIX

Gambar 2.2 Morfologi dari berbagai tipe mikrokapsul (Dubey et al. 2009) Secara umum metode-metode proses mikroenkapsulasi dapat dikelompokkan dalam dua kategori utama, yaitu metode kimia dan metode fisik/mekanik. Adapun yang termasuk dalam metode kimia adalah polimerisasi suspensi, polimerisasi emulsi, dispersi dan polikondensasi permukaan (Dubey et al. 2009), dan menurut Gouin (2004), yang termasuk metode fisik/mekanik antara lain spray drying, spray chilling/cooling, extrusion coating, fludized bed coating, liposome entrapment, coacervation, inclusion complexation, centrifugalextrusion, rotational suspension separation, dan lain-lain.

Menurut Gouin (2004), enkapsulasi menggunakan teknik spray drying telah digunakan dalam industri pangan sejak tahun 1950an untuk memberikan perlindungan minyak flavor melawan degradasi atau oksidasi. Ciri khas dari penggunaan alat spray dryer ini adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi dalam ruang pengering singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai proses. Gambar 2.3 menunjukkan contoh alat spray dryer skala laboratorium.

Keterangan:

A: larutan/suspensi yang akan dikeringkan B: udara atomisasi

1: udara pengering masuk 2: pemanasan udara pengering 3: atomisasi larutan/suspensi 4: tabung pengeringan

5: bagian antara tabung pengeringan dan siklon

6: siklon

7: udara pengering keluar 8: wadah penampung produk

Menurut Masters (1979), teknik spray drying terdiri dari empat tahap proses, yaitu atomisasi bahan sehingga membentuk semprotan sehalus mungkin, kontak antara bahan dengan udara pengering, evaporasi, dan pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya.

Fungsi utama atomisasi adalah untuk menghasilkan droplet berukuran kecil, sehingga luas permukaannya menjadi lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Di samping itu atomizer bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan. Atomizer

(26)

9 mendistribusikan cairan pada aliran udara dengan cara yang relatif seragam dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan (Heldman et al. 1981).

Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Transfer panas tersebut digunakan sebagai panas laten selama evaporasi. Evaporasi terjadi pada masing-masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan. Semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat. Partikel kering yang dihasilkan dipisahkan dari udara dan dikumpulkan oleh siklon atau filter. Pemisahan dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap tergantung pada desain alat (Heldman et al. 1981).

Keuntungan penggunaan metode ini adalah produk akan kering tanpa bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif rendah walaupun pengeringan dilakukan pada suhu tinggi, penguapan berlangsung sangat cepat karena luasnya permukaan bahan, produk yang dihasilkan berupa bubuk sehingga memudahkan dalam penanganan dan pengangkutan (Masters 1979). Keuntungan lain dari metode spray drying adalah biaya operasinya rendah, banyak pilihan untuk bahan penyalut yang digunakan, mampu memproduksi kapsul dalam waktu yang singkat, mutu dan stabilitas kapsul tinggi, ukuran kapsul yang dihasilkan kecil, dan produksi skala besar dapat dilakukan secara kontinyu (Reineccius 1988, Madene et al. 2006).

Bahan Pengkapsul

Pada proses mikroenkapsulasi, terdapat dua bahan yang terlibat di dalamnya, yaitu inti dan pengkapsul. Inti adalah zat yang akan dikapsulkan. Zat ini umumnya berbentuk padat, gas, atau cair yang mempunyai sifat permukaan hidrofil atau hidrofob (Dubey et al. 2009). Minyak cengkeh yang dikapsulkan ini berbentuk cair dan bersifat hidrofob.

Pengkapsul adalah zat yang digunakan untuk menyelaputi inti dengan tujuan tertentu. Menurut Gharshalloui et al (2007), struktur dinding dari bahan penyalut dirancang untuk melindungi bahan inti dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan, mencegah terjadinya interaksi antara bahan inti dengan komponen lain, membatasi kehilangan komponen volatil, dan juga mengontrol atau menjaga pelepasan bahan inti pada kondisi yang diinginkan. Menurut Madeneet al (2006), bahan pengkapsul yang biasa digunakan dikelompokkan berdasarkan asal/sumber bahan tersebut seperti karbohidrat, protein, lemak, gum, dan selulosa (Tabel 2.2). Sifat pengkapsul yang optimal untuk proses spray drying yaitu memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, viskositas rendah pada konsentrasi tinggi, memiliki sifat emulsifier dan pembentuk film yang baik serta pengeringan yang efisien (Re’ 1998).

(27)

10

Tabel 2.2 Jenis bahan pengkapsul

Kelompok Jenis

Gum Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan Karbohidrat Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung

Selulosa CMC, metilselulosa, etilselulolsa, nitroselulosa, asetilselulosa,

Lipid Lilin, parafin, tristearin, asam stearat, monogliserida, digliserida, beeswax, minyak, lemak

Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin, isolat protein Bahan anorganik Kalsium sulfat, silikat, alumunium oksida Lainnya Polivinilalkohol (PVA), parafin

Sumber: Madene et al. (2006)

Penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan karbohidrat juga telah dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat protein kedelai dan isolat protein gandum untuk minyak jeruk (Kim et al. 1996), dan penggunaan campuran isolat protein gandum dan laktosa untuk lemak susu (Moreau dan Rosenberg 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasinya dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai penyalut. Pada beberapa kasus, bahan pengkapsul yang mengandung protein dan karbohidrat menghasilkan produk dengan daya alir dan karakteristik rehidrasi yang baik. Peningkatan stabilitas oksidasi juga terjadi pada minyak yang dienkapsulasi dalam matriks protein-karbohidrat (Lin et al. 1995).

Penelitian lainnya dilakukan Soottitantawatet al.(2003) yang menggunakan kombinasi maltodekstrin dengan polisakarida terlarut kedelai dalam mikroenkapsulasi d-limonene, menghasilkan ukuran droplet emulsi yang kecil 0,88-2,95 µm dan surface oil yang rendah 0-6%. Hasil penelitian lainya juga telah dilakukan Gonzalez etal. (2012), yang melaporkan kombinasi gum arab dengan konsentrat protein whey dalam menyalut minyak atsiri chia (Salvia hispanica L.) menghasilkan efisiensi enkapsulasi di atas 70%, dan ukuran mikrokapsul antara 13,17-28,20 µm.

Telah banyak pula penelitian mengenai penggunaan kombinasi Na-kaseinat dengan maltodekstrin. Hogan et al (2001) melaporkan pada perbandingan kaseinat dan maltodekstrin 1:19 dalam mikroenkapsulasi minyak kedelai memberikan hasil terbaik terutama dalam hal efisiensi enkapsulasi. Penelitian yang dilakukan Yuliani et al. (2007) menunjukkan bahwa kombinasi maltodekstrin dan Na-kaseinat (2:1) pada mikroenkapsulasi oleoresin jahe memberikan oil retention yang tinggi (92,17%) dan surface oil yang rendah (0,15%). Penelitian yang sama juga dilakukan Harimurti et al (2007) dalam mikroenkapsulasi oleoresin jahe, dengan hasil terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi oleoresin 10% dan nisbah maltodekstrin terhadap Na-kaseinat pada 92,5:7,5 dengan oil recovery yang tinggi (87,5%), dan surface oil yang rendah (0,27%). Adapun beberapa penelitian terdahulu mengenai proses mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying dan berbagai jenis bahan penyalut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Maltodekstrin (C6H12O5)nH2O adalah produk hidrolisat pati dengan

(28)

11 hidrofil) dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavor dalam larutan berviskositas. Maltodekstrin dapat memberikan stabilitas terhadap oksigen yang baik untuk enkapsulasi minyak tetapi memiliki kapasitas dan stabilitas emulsifikasi yang lemah dan retensi minyak yang rendah. Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasi dengan bahan pengkapsullain untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson 1995).

Gambar 2.4 Struktur maltodekstrin (Anonim 2014)

Na-kaseinat (Na-Kas) adalah salah satu contoh senyawa protein susu yang merupakan bahan pengkapsul potensial. Sebagai senyawa protein, Na-kaseinat memiliki rantai samping hidrofilik dan hidrofobik (Dalgleish 2001) dan memiliki sifat permukaan aktif. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan kasein baik sebagai bahan pengemulsi, mampu bertindak sebagai surfaktan dengan membentuk lapisan penstabil yang meluas di sekeliling droplet emulsi dan mudah diaplikasikan pada proses spray drying. Ruis (2007) menambahkan Na-kaseinat memiliki kemampuan fungsional seperti emulsifikasi, water fat binding, agen pengeras, dan pengental (gelation). Berdasarkan fungsinya sebagai penstabil emulsi, kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase. Na-kaseinat juga dilaporkan mempunyai stabilitas panas yang cukup baik, mampu bertahan dalam air hingga suhu pemanasan 140oC selama >60 menit pada pH 6.7. Hal ini disebabkan oleh kurangnya struktur sekunder dan tersier serta lebih banyak mengandung struktur kompleks kuartener dari protein (Fox 1986).

3 METODE

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak cengkeh yang berasal dari daun. Minyak cengkeh yang digunakan merupakan hasil penyulingan rakyat yang didapatkan di daerah Leuwiliang, Bogor. Bahan-bahan lainnya antara lain bentonit sebagai adsorben, maltodekstrin dan Na-kaseinat sebagai bahan pengkapsul, air destilat sebagai pelarut, jamur Fusarium oxysporum f.sp vanillae dan ulat Crocidolomia pavonana untuk uji efikasi, kertas saring dan bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis dan uji toksisitas produk.

(29)

12

digunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS Agilent Technologies 6890), Scanning Electron Microscopy (SEM ZEISS EVO50), viskosimeter Brookfield, WaterActivity Meter MS1 Novasina, alat destilasi Clavenger, timbangan, oven, dan peralatan gelas (labu lemak, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, dll), serta botol-botol kaca untuk wadah penyimpanan.

Metode Tahap I. Persiapan Bahan Baku

Minyak cengkeh yang diperoleh dari penyulingan rakyat berwarna hitam pekat dan kotor. Penggunaan ketel besi pada proses penyulingan kukus yang dilakukan oleh penyuling kemungkinan besar yang menyebabkan warna hitam pada minyak yang dihasilkan, diakibatkan logam besi dan lainnya yang ikut teruapkan bersama minyaknya. Kondisi fisik minyak cengkeh demikian dikhawatirkan dapat mempengaruhi sifat fisik produk mikrokapsul yang akan dihasilkan. Untuk itu dilakukan proses pemucatan (bleaching) dengan cara adsorpsi menggunakan bentonit 10%, yang dapat menghasilkan minyak cengkeh dengan sifat fisik kimia yang paling baik, termasuk tidak ada penurunan pada kadar eugenolnya, dan berdasarkan hasil evaluasi secara teknis dan finansial, proses adsorpsi lebih prospektif dikembangkan dibandingkan pengkelatan. Prosedurnya dapat dilihat pada Gambar 3.1, mengacu pada hasil penelitian Marwati (2005).

Gambar 3.1 Proses pemucatan minyak cengkeh (Marwati 2005) Tahap II. Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul

Tahap ini bertujuan untuk menentukan kombinasi konsentrasi bahan pengkapsul. Komposisi bahan pengkapsul ditentukan berdasarkan sifat dari bahan pengkapsulnya. Maltodekstrin diketahui memiliki sifat kelarutan dan ketahanan oksidasi yang sangat baik, dan dapat menurunkan viskositas pada konsentrasi tinggi dikombinasikan dengan Na-kaseinat yang memiliki sifat emulsifikasi yang baik, tetapi viskositasnya cukup tinggi, sehingga pada penelitian ini dibuat perbandingan dengan komposisi Na-kaseinat dengan porsi yang semakin sedikit

Minyak cengkeh coklat kehitaman dan kotor

Bentonit 10%

Pencampuran dan pengadukan dalam erlenmeyer, dengan hotplate

stirrer, T=55oC, selama 1 jam

Pendinginan (didiamkan selama 24 jam)

Minyak cengkeh kuning jernih

(30)

13 dibanding penggunaan maltodekstrin, yaitu Na-Cas:MD (1:1, 1:1.25, 1:1.5, 1:1.75, 1:2,1:2.5, 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, 1:7, 1:8, 1:9). Konsentrasi total bahan pengkapsul yang digunakan yaitu sebesar 30%, sedangkan konsentrasi minyak cengkeh yang digunakan sebesar 10% dari total bahan pengkapsul, dan sisanya adalah pelarut yakni air.

Dalam penentuan komposisi/rasio bahan pengkapsul (Na-Cas:MD), dilakukan proses mikroenkapsulasi secara keseluruhan mulai persiapan suspensi bahan pengkapsul hingga proses pengeringan. Metode yang digunakan diadopsi dari metode Krishnan et al. (2005) dan Franscarelli et al. (2012). Setiap kombinasi bahan pengkapsul (9 rasio Na-Cas:MD) disuspensi dengan air dengan menggunakan blender agar semua bahan larut dan bercampur merata. Prinsip penggunaan blender adalah pengadukan secara mekanik dengan kecepatan tinggi, sehingga diharapkan dapat membuka molekul-molekul bahan pengkapsul danakhirnya molekul-molekul tersebut dapat bereaksi satu dengan yang lainnya. Total bahan pengkapsul yang digunakan sebanyak 30%, kemudian suspensi bahan pengkapsul dihidrasi selama 12 jam pada suhu 10oC. Selanjutnya, membuat emulsi minyak cengkeh dengan cara menambahkan minyak cengkeh sebanyak 10% dari total bahan pengkapsul ke dalam suspensi bahan pengkapsul, kemudian diaduk menggunakan homogenizer pada kecepatan 14000 rpm selama 10 menit. Emulsi yang dihasilkan diukur viskositas, stabilitas, dan ukuran dropletnya.

Semua campuran emulsi dengan berbagai variasi komposisi Na-kaseinat:maltodekstrin (13 kombinasi) tersebut dikeringkan dengan spray dryer pada suhu inlet sekitar 180±2oC, suhu outlet 70±2oC kemudian diamati proses atomisasinya, apakah terdapat penyumbatan pada pipa input bahan dan pelengketan (clogging) pada dinding tabung inlet atau tidak. Komposisi bahan pengkapsul yang menyebabkan penyumbatan dan clogging cukup banyak, tidak dipilih pada tahap penelitian selanjutnya. Komposisi bahan pengkapsul terpilih diuji statistik berdasarkan nilai viskositas. Jika suatu sampel menunjukkan beda nyata dengan sampel lainnya, maka sampel tersebut dipilih, jika tidak beda nyata, maka dipilih sampel dengan nilai viskositas yang lebih rendah.

Tahap III. Formulasi Mikroenkapsulasi dengan Variasi Komposisi Bahan Pengkapsul dan Konsentrasi Bahan Inti

Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan bubuk mikrokapsul minyak cengkeh dan mengetahui pengaruh komposisi bahan pengkapsul dan konsentrasi minyak terhadap mikrokapsul yang dihasilkan sehingga formula terbaik dapat ditetapkan. Proses mikroenkapsulasi seperti yang diungkapkan Onwulata (2005), terdiri atas beberapa tahapan, yaitu (1) persiapan larutan matriks pelindung/bahan pengkapsul, (2) pencampuran perisa pada larutan dan dibuat emulsi dengan proses homogenisasi (emulsifikasi), dan (3) proses atomisasi perisa emulsi ke dalam dry chamber untuk menguapkan fase air pada droplet emulsi (pengeringan).

(31)

14

ml/menit (berdasarkan hasil penelitian Jafari et al. 2007). Suhu inlet tersebut tidak akan menguapkan bahan aktif (minyak cengkeh), karena menurut Desai dan Park (2005), walaupun suhu inlet lebih dari 200oC, namun karena proses penguapan berlangsung sangat singkat, suhu bahan aktif tetap rendah (<100oC). Sampel disimpan di bawah suhu 0oC sebelum dianalisis. Diagram alir tahap ini disajikan pada Gambar 3.2.

Tahap IV. Karakterisasi Produk Pestisida Mikrokapsul Cengkeh

Emulsi minyak cengkeh sebelum dikeringkan dianalisis viskositasnya karena viskositas emulsi memberikan pengaruh yang signifikan pada proses mikroenkapsulasi dengan spray drying (Rosenberg et al. 1990) dan dapat dihubungkan dengan sifat mikrokapsul yang dihasilkan. Berikut adalah prosedur/metode penentuan viskositas emulsi minyak cengkeh:

Sampel sebanyak 500 ml dimasukkan dalam wadah kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan viskosimeter Brookfield dengan kecepatan 60 rpm. Faktor koreksi untuk spindel 1 adalah 1, spindel 3 adalah 20, spindel 4 adalah 100. Viskositasnya (cp) adalah angka hasil pengukuran x faktor koreksi.

Parameter yang diamati untuk mikrokapsul pestisida cengkeh dari setiap kombinasi perlakuan adalah rendemen, rendemen minyak terenkapsulasi, efisiensi enkapsulasi melalui pengukuran total oil dan surface oil, kelarutan dalam air, dan stabilitas bahan aktif melalui pengukuran aktivitas air.

Na-Cas:MD (30%) (1:2, 1:2.5, 1:3, 1:4, 1:5, 1:9)

Pencampuran

Suspensi bahan pengkapsul Air

Suspensi bahan pengkapsul terhidrasi

Emulsi minyak cengkeh

Mikrokapsul minyak cengkeh Hidrasi 12 jam pada suhu 10oC

Homogenisasi (14000 rpm, 10 menit)

Spray Drying

(suhu inlet 180oC, outlet 70oC)

Minyak cengkeh (10%, 20%, 30%)

(32)

15 1. Rendemen Produk

Rendemen (RP) merupakan perolehan produk hasil proses enkapsulasi keseluruhan yang dihitung berdasarkan rasio antara bobot produk mikrokapsul yang diperoleh dengan bobot total bahan padatan (bahan pengkapsul dan bahan inti) yang digunakan, dan dihitung dalam persen, seperti pada rumus berikut:

RP (%) =

x 100%

2. Penentuan minyak yang tidak terkapsul atau surface oil (Shahidi dan Wanasundara 1997)

Sebanyak 10 gsampel ditimbang (Ws) kemudian dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian dicuci (selama 1 menit dilarutkan) dengan menggunakan heksan sebanyak 20 ml. Hasil pencucian disaring dengan kertas saring dan hasil saringan ditampung dalam labu penguapan yang telah diketahui bobot tetapnya (Wb1). Selanjutnya dilakukan pencucian hingga tiga ulangan dengan membilas bagian sampel yang ada pada kertas saring dengan heksan sebanyak 10 ml tiap pencucian.

Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vaccum evaporator hingga semua pelarut menguap. Bobot labu akhir ditimbang (Wb2). Minyak yang terdapat pada labu dihitung sebagai surface oil atau kadar minyak cengkeh tak terkapsul.

Kadar minyak cengkeh tak terkapsul (%) =

x 100%

3. Penentuan total oil (Soottitantawat et al. 2003)

Sebanyak 15 g sampel (a) dicampurkan dengan air destilata 500 ml dalam sebuah labu 1 liter. Kemudian ditambahkan batu didih. Sampel didistilasi selama 3 jam. Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak yang terukur dari distilasi dengan bobot jenis minyak atsiri.

Total oil (%) = x 100% 4. Efisiensi enkapsulasi

Efisiensi enkapsulasi (EE) minyak cengkeh di dalam mikrokapsul didapatkan dari kandungan surface oil dan total oil sesuai dengan persamaan di bawah ini (Jafari et al. 2007).

Efisiensi enkapsulasi (%)=

x 100

dengan total oil adalah kandungan minyak yang terdapat di dalam dan di permukaan mikrokapsul, dan surface oil dihubungkan dengan kandungan minyak yang tidak terenkapsulasi yang terdapat di permukaan mikrokapsul. 5. Rendemen minyak terenkapsulasi

Rendemen minyak terenkapsulasi (RMT) ini digunakan untuk menghitung jumlah minyak cengkeh yang terbuang (loss) selama proses mikroenkapsulasi baik pada tahap emulsifikasi maupun pengeringan, yang dihitung berdasarkan rasio antara bobot minyak yang terenkapsulasi dengan bobot minyak awal yang digunakan, dan dihitung dalam persen, seperti pada rumus berikut:

RMT (%) =

(33)

16

6. Kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al. 1992)

Pengukuran kelarutan dihitung berdasarkan pada persentase berat residu yang tidak dapat melalui kertas saring Whatman no. 42 terhadap berat contoh bahan yang digunakan.

Sebanyak 1 (satu) g bahan (a) ditimbang lalu dilarutkan dalam 100 ml air. Campuran diaduk dengan cara sonikasi untuk memperkecil ukuran agar sampel lebih mudah larut. Kemudian larutan tersebut disaring dengan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas saring dan bagian sampel yang tidak tersaring di oven selama satu jam pada suhu 105±1oC, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Bobot sampel yang tidak tersaring (b) diperoleh dari selisih bobot kertas saring akhir dengan bobot kertas saring awal.

Kelarutan dalam air (%)= x 100 7. Aktivitas air (aw) mikrokapsul

Aw produk mikroenkapsulasi diukur dengan menggunakan Aw-meter Novasina. Sebelum dilakukan pengukuran, alat dikalibrasi dengan larutan garam NaCl jenuh. Kalibrasi selesai dan dinyatakan berhasil apabila angka yang tertera di alat menunjukkan 0,750. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tempat sampel dengan cawan khusus kemudian ditutup. Tombol mulai ditekan. Pengukuran selesai apabila nilai sudah stabil dan tertera tulisan completed.

Tahap V. Pemilihan Formula Terbaik Mikrokapsul Minyak Cengkeh

Pemilihan formula/ kombinasi perlakuan/ produk terbaik pada penelitian ini didasarkan pada hasil analisis produk mikrokapsul. Prioritas utama pemilihan formula terbaik adalah hasil karakteristik produk, meliputi efisiensi enkapsulasi, rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi, aktivitas air,dan kelarutan dalam air. Tabel 3.1 menunjukkan bobot nilai untuk masing-masing parameter analisis produk berdasarkan urutan prioritasnya.

Parameter dengan bobot nilai yang lebih besar dianggap lebih penting setelah disesuaikan dengan aplikasi penggunaan produk dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Misalnya, untuk parameter efisiensi enkapsulasi dan rendemen, baik itu rendemen produk maupun rendemen minyak terenkapsulasi diberikan bobot paling besar, karena ketiga parameter tersebut menunjukkan berjalan baik atau tidaknya sebuah proses enkapsulasi. Efisiensi dan rendemen akan berhubungan dengan penghematan penggunaan sumber daya, penghematan penggunaan energi dan pada akhirnya akan berimplikasi pada pengurangan biaya produksi. Rendahnya biaya produksi akan mempengaruhi harga jual yang nanti nya akan diterima oleh konsumen, dalam hal ini petani.

Tabel 3.1 Bobotnilai masing-masing parameter analisis produk mikrokapsul

Parameter Analisis Bobot nilai

Efisiensi enkapsulasi 0,217

Rendemen produk 0,217

Rendemen minyak terenkapsulasi 0,217

Aktivitas air 0,174

(34)

17 Setelah dilakukan pemberian bobot untuk setiap parameter analisis, selanjutnya dilakukan pemberian skor (1 sampai dengan 5) untuk tiap kombinasi perlakuan/formula mikrokapsul terpilih. Skor yang lebih tinggi diberikan pada formula dengan hasil analisis yang lebih baik untuk tiap parameter analisisnya, yang dibuat dengan 5 tingkatan range. Formula yang memiliki total skor tertinggi dari hasil perkalian antara bobot nilai parameter analisis dengan skor tiap formula adalah formula terbaik yang dihasilkan. Formula terbaik/produk terpilih kemudian diamati struktur morfologi partikel dan profil bahan aktifnya.

Morfologi Mikrokapsul Prinsip kerja:

Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya.

Cara terbentuknya gambar pada SEM dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur objek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat objek dari sudut pandang tiga dimensi.

Preparasi sampel dilakukan dengan cara kering yaitu hanya dengan menjatuhkan sampel serbuk di atas preparat yang telah ditempel di sebuah tubs logam setipis mungkin. Sampel siap diamati dengan SEM voltase akselerasi sebesar 5 kv. Merk alat SEM yang digunakan yaitu ZEISS dengan tipe EVO50. Analisa Bahan Aktif Minyak Cengkeh Sebelum dan SesudahEnkapsulasi

(35)

18

Tahap VI. Uji Toksisitas Minyak Cengkeh dan Produk Mikrokapsulnya Pengujian toksisitas produk terdiri dari:

1. Uji toksisitas produk terhadap jamur Fusarium oxysporum secara in-vitro (Manohara et al. 1993)

Produk minyak cengkeh sebelum dan sesudah dienkapsulasi diteteskan pada sedikit kapas yang diletakkan pada tutup cawan petri. Konsentrasi minyak cengkeh sebelum enkapsulasi yang digunakan yaitu 0,14; 0,28; 0,48% sedangkan untuk produk enkapsul minyak cengkeh digunakan konsentrasi 2, 4, dan 6%. Dilakukan dengan 3x ulangan. Inokulum jamur berdiameter 0,5 cm diletakkan di tengah cawan petri yang telah diberi media PDA, kemudian diinkubasi pada suhu kamar. Cawan diletakkan terbalik sehingga media agar menghadap ke bagian tutup cawan yang telah diberi minyak cengkeh dan larutan produk enkapsulasinya. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur pertumbuhan (diameter) koloni dari masing-masing jamur dan melihat perubahan bentuk miselia.

2. Uji toksisitas produk terhadap ulat kubis Crocidolomia pavonana secara in-vitro (Kim et al. 2004 dimodifikasi)

Konsentrasi minyak cengkeh yang diujikan yaitu 0,5, 1, dan 1,5% dari pelarut air dan ditambah tween 0,02%. Sementara untuk produk mikrokapsul pestisida minyak cengkeh konsentrasi yang digunakan 5, 10, dan 15% dengan pelarut air saja. Masing-masing dilakukan 3x ulangan. Perlakuan diberikan dengan cara menyemprotkan produk pada 10 ekor ulat Crocidolomia pavonana sebanyak 2 ml. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas serangga uji pada 1, 3, 6, 24, 48, 72 jam setelah infestasi. Serangga diberi makanan berupa daun brokoli bebas pestisida dan kotorannya selalu dibersihkan setiap harinya.

3. Uji ketahahan aktivitas bahan aktif dari pengaruh sinar matahari (Dadang et al. 2007)

Sebanyak 10 ekor ulat Crocidolomia pavonana diinfestasikan pada satu tanaman brokoli, kemudian pestisida disemprotkan sebanyak 5-10 ml/tanaman sehingga mengenai ulat dan tanamannya. Pestisida yang digunakan adalah minyak cengkeh dengan konsentrasi 1,5% dalam air ditambah tween 0,02% dan produk mikrokapsul insektisida minyak cengkeh hasil penelitian dengan konsentrasi 15% dalam pelarut air saja. Selanjutnya tanaman dijemur di bawah sinar matahari selama 7 jam, kemudian diberi sungkup. Pengamatan jumlah mortalitas larva dilakukan per 24 jam selama 72 jam setelah infestasi.

4. Uji fitotoksisitas

(36)

19 Tahap VII. Analisis Nilai Tambah

Analisis nilai tambah secara ekonomi pada proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh ini ditentukan melalui metode Hayami (1987) dengan prosedur dapat dilihat pada Tabel 3.2. Informasi yang dihasilkan melalui metode Hayami berupa: (a) nilai tambah (Rp), (b) rasio nilai tambah (%) yang menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk, (c) balas jas tenaga kerja (Rp) yang menunjukkan besarnya upah yang diterima oleh tenaga kerja langsung, (d) pangsa tenaga kerja (%) yang menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah, (e) keuntungan (Rp) yang menunjukkan bagian yang diterima pengusaha, dan (f) tingkat keuntungan (%) yang menunjukkan persentase nilai tambah.

Tabel 3.2 Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987)

No Variabel Satuan Nilai

I. Output, Input, dan Harga

1 Output (volume penjualan) Kg/produksi A

2 Input bahan baku Kg/produksi B

3 Input tenaga kerja HOK C

4 Faktor konversi D = A/B

5 Koefisien tenaga kerja E = C/B

6 Harga output Rp/kg F

7 Upah tenaga kerja Rp/HOK G

II. Penerimaan

8 Harga input bahan baku Rp/kg H

9 Sumbangan input lain Rp/kg I

10 Nilai output Rp/kg J = D x F

11 Nilai tambah Rp/kg K = J – H – I

Rasio nilai tambah (%) I = K/J x 100%

12 Pendapatan tenaga kerja Rp/kg M = E X G

Pangsa tenaga kerja (%) N = M/K x100%

13 Keuntungan Rp/kg O = K – M

Tingkat keuntungan (%) P = O/J x 100%

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam tahap utama pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2x ulangan, dengan faktor konsentrasi bahan inti (A) terdiri atas 3 taraf (10%, 20%, 30%) dan faktor komposisi/rasio bahan pengkapsul (B) dengan 6 taraf (1:2, 1:2,5, 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:9) dan model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + αβij + (ijk)... dengan:

Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan

ulangan ke-k yang terdapat pada pengamatan µ = rata-rata yang sebenarnya (nilai tengah populasi) αi = pengaruh perlakuan konsentrasi minyak taraf ke-i

βj = pengaruh perlakuan komposisi bahan pengkapsul taraf ke-j

(37)

20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Persiapan Bahan Baku

Minyak cengkeh sebagai bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penyulingan rakyat dengan cara kukus (water and steam distillation). Minyak cengkeh yang dihasilkan memiliki performa yang kurang baik yaitu berwarna hitam pekat dan kotor. Timbulnya warna gelap dalam minyak cengkeh dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:

- Zat alamiah yang terkandung dalam minyak cengkeh, seperti logam Mg yang merupakan satu-satunya logam penyusun klorofil (Leiwakabessy dan Sutandi 1995).

- Kotoran yang terbawa daun pada saat penyulingan. Pada penyulingan minyak daun cengkeh bahan baku diperoleh dari daun yang sudah gugur, sehingga sangat dimungkinkan terbawanya kotoran selama pengumpulan daun dan menyebabkan minyak yang dihasilkan berwarna hitam dan kotor.

- Hasil reaksi hidrolisa ester yang terkandung dalam minyak atsiri dengan adanya air dan asam sebagai katalisator (Ketaren 1985).

- Golongan fenol yang bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam yang mengakibatkan warna berubah menjadi gelap (Ketaren 1985).

- Proses polimerisasi yang terjadi karena pemanasan pada suhu tinggi pada waktu penyulingan yang menyebabkan terbentuknya polimer/resin yang mengakibatkan warna menjadi gelap dan terbentuknya endapan (Ketaren 1985). Ion logam sendiri dapat berasal dari daun maupun ketel besi yang digunakan untuk penyulingan.

- Oksidasi yang dipicu oleh keberadaan ion logam menghasilkan senyawa kromofor (pembawa warna) dengan ikatan rangkap terkonjugasi pada eugenol (Ketaren 1985).

Kondisi minyak cengkeh demikian dikhawatirkan dapat mempengaruhi sifat fisik produk enkapsulasi yang akan dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan proses untuk menghilangkan warna hitam dan kotoran tersebut dengan cara adsorpsi menggunakan bentonit sebagai adsorben dengan konsentrasi 10% dan penyaringan. Hasil proses pemucatan dengan cara adsorpsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Berdasarkan hasil proses adsorpsi warna pada minyak cengkeh secara fisik terlihat perbedaan warna yang sangat signifikan. Minyak yang telah dibleaching menghasilkan warna yang jauh lebih jernih dan bersih. Hal ini disebabkan karena

a b

Keterangan:

a. Minyak sebelum pemucatan b. Minyak setelah

pemucatan

Gambar

Tabel 2.1 Kadar minyak (%) dan eugenol (%) daun cengkeh dari berbagai tipe dan ketuaan daun cengkeh
Gambar 2.1 Struktur  molekul: (a) eugenol dan (b)β-caryophyllene (Sastrohamidjojo 2002)
Gambar 2.3 Spray dryer skala laboratorium (Anonim 2014)
Tabel 2.2 Jenis bahan pengkapsul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas pelayanan reliability dengan indicator memberikan informasi yang benar menunjukkan angka tertinggi pada criteria cukup baik yaitu sejumlah 47 (47%) responden

Penelitian dari Anggeria (2016) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan mekanisme koping dan kualitas hidup itu baik adalah dukungan keluarga, dengan

Tidak ada interaksi antara konsentrasi dan lama penyimpanan sehingga tidak mempengaruhi viskositas lotion.Analisis Tukey menunjukkan bahwa lotion minyak atsiri

Setelah dilakukan tahap evaluasi terhadap enam ahli guna mengetahui tingkat kelayakan permainan Mathematic Tower untuk digunakan dalam pembelajaran kognitif

Dalam menentukan jumlah armada yang dibutuhkan untuk melayani suatu trayek dalam sistem angkutan umum terdapat beberapa variabel utama yang perlu diketahui yaitu volume/frekuensi,

Berdasarkan hasil uji pendahuluan menggunakan metode BSLT dapat disimpulkan bahwa ketiga senyawa hasil sintesis berpotensi aktif sebagai senyawa antikanker yang

kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid- 19 dalam pembatasan sosial fisik di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, baik hindari berinteraksi dengan orang yang

Dipandang dari sisi lain, sadar ataupun tidak, wabah Corona yang melanda hampir di seluruh dunia menjadi bukti nyata bahwa Allah subhânahu wa ta'âlâ ingin