• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PRUNING

AKAR UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN

INFEKSI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT

MELINJO (

Gnetum gnemon

) UMUR 7 BULAN

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Hannum Wulan Febrianingrum

(4)

ABSTRAK

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM. Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan. Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI.

Keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo umur 7 bulan bisa ditingkatkan melalui metode pruning akar. Pruning akar dapat meningkatkan pertumbuhan akar lateral baru. Tujuan dari penelitian adalah menerapkan pruning

akar untuk meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo. Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi. Sumber inokulum ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri atas 3 taraf, yaitu kontrol, bibit berektomikoriza dan inokulum tanah. Tingkat

pruning akar sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0%, 30% dan 50%. Pengamatan dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6 setelah perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pruning akar mampu meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo dan meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza

(Scleroderma spp.) 6 bulan setelah perlakuan. Sumber inokulum belum

memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada 6 bulan setelah perlakuan, tetapi dapat meningkatkan kolonisasi ektomikoriza.

Kata kunci: ektomikoriza, melinjo, pruning akar, Scleroderma

ABSTRACT

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM. Root Pruning to Enhance Ectomycorrizha Fungi Infection Success on 7 Months Age of Melinjo (Gnetum

gnemon) Seedling. Supervised by ARUM SEKAR WULANDARI.

The success of ectomycorrizha fungi infection on 7 months age of melinjo seedling may be improved through root pruning technique. Root pruning may improve new lateral root’s growth. The purposes of this research are to implement root pruning to enhance ectomycorrizha fungi infection success and melinjo seedling’s growth. This research is done by using split plot design. The source of ectomycorrizha inoculum as main plot consist of 3 types: control, infected seedling of ectomycorrhiza, and soil inoculum. The root pruning rate as main plot also consist of 3 types, they are: 0%, 30%, and 50%. Observation is done on month 5th and month 6th after treatment. The result of this research indicates that root pruning is able to enhance melinjo seedling’s growth and increase ectomycorrhiza’s colonization (Scleroderma spp.) after 6 months observation. The source of inoculum is able to enhance ectomyrorrhiza’s colonization but had not give significant influence toward melinjo seedling’s growth on month 6th after treatment.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

PRUNING

AKAR UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN

INFEKSI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT

MELINJO (

Gnetum gnemon

) UMUR 7 BULAN

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan

Nama : Hannum Wulan Febrianingrum

NIM : E44090049

Disetujui oleh

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Desember 2013 ini ialah ektomikoriza, dengan judul Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo

(Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah membimbing penulis dalam kegiatan akademik maupun non akademik, Bapak Ir Siswoyo, MSi selaku dosen penguji dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku ketua sidang komprehensif. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Riri dan Arta teman seperjuangan, saudara Silvikultur 46 dan keluarga besar Silvikultur yang telah membantu selama pengumpulan data, menyumbang semangat dan menerima keluh kesah penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Bahan dan Alat 3

Prosedur Penelitian 3

Analisis Data 5

Hipotesis 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 10

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 13

(10)

DAFTAR TABEL

1. Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum pada bulan ke-5

dan ke-6 pengamatan 6

2. Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar pada bulan

ke-5 dan ke-6 pengamatan 7

3. Korelasi antara pruning akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan

ke-6 pengamatan 8

4. Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan sumber inokulum ektomikoriza pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan 9 5. Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza pada

bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum

ektomikoriza pada bulan ke-6 pengamatan 10

6. Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan tingkat pruning

akar pada bulan ke-6 pengamatan 10

7. Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan sumber

inokulum pada bulan ke-6 pengamatan 10

DAFTAR GAMBAR

1.

Sistem percabangan akar pada bibit melinjo: percabangan alami pada bibit tanpa pruning akar (a), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang 2 (b), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang

4 (c) 8

2.

Performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat kegiatan pruning akar, bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-5 (a), bibit melinjo

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ektomikoriza merupakan struktur yang terbentuk karena asosiasi fungi mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga permukaan akar terbentuk selubung jalinan hifa fungi (Indriyanto 2008). Hasil interaksi simbiosis mutualistik antara akar tanaman dan fungi ektomikoriza saling memberikan manfaat. Fungi ektomikoriza mampu (1) meningkatkan serapan hara P (fosfor) dan N (nitrogen) (Bechem dan Alexander 2012) yang diperlukan oleh tanaman, dapat merubah P dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa komplek Al (aluminium) maupun Fe (besi) menjadi bentuk tersedia melalui kemampuannya menghasilkan agen kelat seperti oksalat, unsur P dalam bentuk tidak tersedia juga dapat dirubah oleh enzim fosfatase yang dihasilkan fungi mikoriza menjadi bentuk tersedia dengan mendorong laju pelapukan (Smith dan Read 2008); (2) menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh seperti auksin atau IAA (Indol Acetic Acid), sitokinin, giberelin, dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya (Tranvan et al. 2000, Allen et al. 2003); (3) meningkatkan toleransi tanaman terhadap toksisitas logam berat (Jonnarth et al. 2004); (4) meningkatkan laju serapan nutrisi dan penyerapan air (Brundrett et al. 1996). Tanaman memberikan karbohidrat dan relung ekologi khusus yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fungi termasuk penyempurnaan siklus seksual yang diperlukan oleh fungi (Ohta dan Fujiwara 2003). Selain manfaat yang didapat oleh fungi ektomikoriza dan tanaman inang, manfaat ekologis dari keberadaan simbiosis tersebut adalah adanya siklus nutrisi dan perbaikan struktur tanah (Brundrett et al.

1996). Fungi ektomikoriza banyak dijumpai di alam berasosiasi dengan berbagai pohon kehutanan di antaranya meranti, pinus, eukaliptus, merbau, kayu putih, saninten, akasia dan melinjo (Mansur 2010).

Melinjo (Gnetum gnemon) merupakan salah satu jenis tanaman yang multiguna. Biji melinjo bisa diolah menjadi bahan makanan, kulit melinjo memiliki kandungan senyawa antimikroba, zat pewarna alami yang aman digunakan untuk makanan, dan enzim pensintesis asam urat (Wulandari et al.

2012). Melinjo termasuk famili Gnetaceae yang diketahui membentuk asosiasi dengan fungi ektomikoriza tetapi kajian tentang hal tersebut masih sedikit dilakukan (Wulandari 2002, Riniarti 2010). Asosiasi ektomikoriza pada melinjo dapat terjadi secara alami, tetapi ketersediaan bibit berektomikoriza masih sangat sedikit sehingga diperlukan penyediaan bibit melalui inokulasi buatan untuk menghasilkan bibit melinjo bermutu baik, karena penampakan fisik bibit berektomikoriza umumnya lebih kekar (vigor), tumbuh lebih cepat, dan mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan penanaman yang baru (Jones et al. 2003).

Keberhasilan aplikasi ektomikoriza pada tanaman kehutanan ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aplikasi teknologi inokulasi yang sesuai (Riniarti 2010). Inokulasi bibit dengan fungi ektomikoriza yang dilakukan pada bibit muda akan menghasilkan bibit dengan kolonisasi yang tinggi (Krüger

(12)

Inokulasi yang dilakukan pada bibit berumur 16 bulan menghasilkan jumlah bibit terinfeksi sebesar 40% (Wulandari 2002). Jaringan akar yang sudah banyak yang berkayu kemungkinan besar menjadi faktor penyebab kecilnya persentase bibit melinjo yang terinfeksi oleh ektomikoriza. Oleh karena itu diperlukan akar lateral muda untuk meningkatkan persentase bibit melinjo yang terinfeksi.

Metode pruning (pemangkasan) akar dapat meningkatkan tumbuhnya akar-akar lateral baru (Pourmajidian et al. 2009). Tumbuhnya akar lateral akibat

pruning diharapkan dapat meningkatkan infeksi fungi ektomikoriza, sehingga

pruning akar dapat diterapkan pada bibit tanaman kehutanan yang sudah tua. Perlakuan pruning akar yang dikombinasikan dengan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo umur 7 bulan berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman terinfeksi, persentase kolonisasi akar, jumlah akar yang bercabang dan banyaknya percabangan akar; tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, dan biomassa bibit melinjo selama 4 bulan pengamatan (Wulandari et al. 2013). Berdasarkam hasil penelitian tersebut, maka dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah waktu pengamatan menjadi 6 bulan.

Perumusan Masalah

Inokulasi bibit dengan fungi ektomikoriza sebaiknya dilakukan pada saat bibit masih muda. Hal ini karena jaringan akar pada bibit muda masih belum berkayu, sehingga memudahkan fungi ektomikoriza melakukan penetrasi ke dalam jaringan akar. Bibit yang terinfeksi fungi ektomikoriza memiliki keragaan dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit yang tidak terinfeksi fungi ektomikoriza. Oleh karena itu, perlu dicari metode yang dapat meningkatkan keberhasilan kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo berumur 7 bulan untuk mendapatkan bibit melinjo yang berkualitas. Pruning (pemangkasan) akar pada bibit melinjo (selama 4 bulan pengamatan) sudah meningkatkan keberhasilan kolonisasi ektomikoriza tetapi kolonisasi ektomikoriza yang terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari et al.

2013). Kolonisasi ektomikoriza yang efektif terhadap pertumbuhan membutuhkan waktu 10 sampai 12 bulan inokulasi (Santoso et al. 2007) sehingga diperlukan penelitian lanjutan dengan menambah waktu pengamatan menjadi 6 bulan (pengamatan difokuskan pada bulan ke-5 dan ke-6).

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk menerapkan pruning akar untuk meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo umur 7 bulan setelah 6 bulan pengamatan.

Manfaat Penelitian

(13)

3

infeksi fungi ektomikoriza dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, dari bulan Mei sampai dengan Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah bibit melinjo umur 7 bulan, bibit melinjo yang telah terinfeksi ektomikoriza, dan inokulum tanah yang mengandung miselium fungi ektomikoriza sebagai sumber inokulum. Media tanam (campuran tanah, pasir, kompos, dan arang sekam), fungisida (bahan aktif mankozeb 64% dan mefenoksam 4%) dengan konsentrasi 0.05% dan bakterisida (bahan aktif streptomisin sulfat 20%) dengan konsentrasi 0.01% sebagai bahan sterilisasi akar. Alat yang digunakan ialah polibag, autoklaf, timbangan ketelitian 0.01 g, gunting, penggaris, kaliper digital ketelitian 0.01 mm, mikroskop dan alat dokumentasi.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan

Persiapan Media Tanam. Media tanam yang digunakan ialah campuran tanah, pasir, kompos, dan arang sekam. Masing-masing bahan untuk campuran media disterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf dengan suhu 121 0C, tekanan 1 atm selama 1 jam. Tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 1:1:1 (v/v/v) dicampur terlebih dahulu. Media yang telah tercampur, kemudian ditambahkan arang sekam dengan perbandingan media:arang sekam = 9:1 (v/v).

(14)

dan bakterisida. Akar bibit dipangkas akarnya dengan intensitas 0%, 30% dan 50% sebagai perlakuan.

Inokulasi Fungi Ektomikoriza. Fungi ektomikoriza yang digunakan ialah

Scleroderma spp. Inokulum yang digunakan berupa bibit melinjo berektomikoriza

dengan persentase kolonisasi sebesar 5075% dan inokulum tanah yang mengandung miselium ektomikoriza dengan dosis 5 g/bibit. Media tanam dimasukkan ke dalam polibag dan disiram dengan air sampai jenuh. Bibit melinjo dipindahkan ke dalam polibag tersebut dan diinokulasi dengan cara meletakkan inokulum fungi di dekat perakaran bibit melinjo. Sebagai kontrol, bibit tidak diinokulasi dengan fungi ektomikoriza.

Pengamatan dan Pengambilan Data

Tinggi Bibit (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan penggaris. Bibit diukur mulai dari leher akar (batas antara batang dengan akar di atas permukaan tanah) hingga pucuk. Pengukurannya dilakukan 2 minggu sekali, mulai dari awal penanaman hingga akhir pengamatan, selama 6 bulan pengamatan.

Diameter Batang (mm). Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan kaliper dengan jarak 1–2 cm di atas leher akar. Pengukuran dilakukan 6 minggu sekali, selama 6 bulan pengamatan. Bagian batang terukur ditandai dengan selotip untuk menghindari kesalahan pengukuran.

Biomassa Akar dan Pucuk (g). Perhitungan biomassa dilakukan dengan mengukur berat basah dan berat kering akar dan pucuk. Pengambilan data ini dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan. Pengukuran berat basah dan kering pada akar dan pucuk dilakukan dengan cara memisahkan tanaman dari media tanam, kemudian akar dicuci dari kotoran yang menempel. Setelah bersih bagian akar dan pucuk dipisahkan. Pucuk dan akar kemudian ditimbang berat basahnya menggunakan neraca. Berat basah total diperoleh dengan cara menjumlahkan berat basah pucuk dan akar. Pucuk dan akar dikeringkan dalam oven pada suhu 70 0C selama 120 jam, kemudian ditimbang menggunakan neraca untuk mendapatkan berat keringnya. Berat kering total diperoleh dengan cara menjumlahkan berat kering pucuk dan akar.

Nisbah Pucuk Akar (NPA). Nisbah pucuk akar ditentukan dengan membandingkan bobot kering pucuk dengan bobot kering akar pada bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.

NPA = Berat Kering Pucuk (g) Berat Kering Akar (g)

(15)

5

dan berat kering akar. Persentase kolonisasi ektomikoriza dan bibit terinfeksi dihitung dengan menggunakan rumus:

ersentase olonisasi mi oriza umlah a ar lateral terinfe si mi oriza umlah seluruh a ar lateral

ersentase bibit terinfe si umlah seluruh bibit yang diamati umlah bibit terinfe si

Analisis Data

Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi. Sumber inokulum ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri atas 3 taraf yaitu: kontrol, bibit berektomikoriza dan inokulum tanah. Tingkat pruning akar sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf yaitu: 0%, 30%, dan 50%. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan, 1 ulangan terdiri atas 12 bibit melinjo. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA), apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf kesalahan 5%. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SAS versi 9.1.3 portable. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara pruning akar dengan kolonisasi ektomikoriza maupun pertumbuhan bibit. Model rancangan percobaan yang digunakan ialah:

ij i i j ij ij

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor sumber inokulum taraf ke-i, faktor

tingkat pruning akar taraf ke-j, dan ulangan ke-k µ = Nilai tengah (rataan) umum

αi = Pengaruh perlakuan sumber inokulum pada taraf ke-i

βj = Pengaruh perlakuan taraf pruning akar pada taraf ke-j

(αβ ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan sumber inokulum pada taraf

ke-i dan pruning akar pada taraf ke-j

δik = Galat acak dari perlakuan sumber inokulum pada taraf ke-i dan

ulangan ke-k

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. H0 = Pruning akar tidak dapat meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza

pada akar bibit melinjo.

H1 = Pruning akar dapat meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza pada

(16)

2. H0 = Pruning akar tidak dapat meningkatkan pertumbuhan pada bibit melinjo.

H1 = Pruning akar dapat meningkatkan pertumbuhan pada bibit melinjo.

Apabila nilai F hitung > F tabel maka tolak H0, sedangkan jika nilai F

hitung < F tabel maka terima H0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Analisis Ragam Data Pertumbuhan Bibit Melinjo dengan Perlakuan Pruning

Akar dan Sumber Inokulum Ektomikoriza

Pengamatan pertumbuhan bibit melinjo dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6 setelah perlakuan. Analisis ragam dilakukan pada data pengukuran bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Pertumbuhan bibit melinjo yang diamati meliputi perkembangan akar, pertumbuhan tajuk bibit dan nisbah pucuk akar.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan

(17)

7

Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan pruning akar pada bibit melinjo memberikan pengaruh pada peubah yang diamati. Perlakuan sumber inokulum hanya berpengaruh nyata pada peubah diameter batang pada bibit melinjo bulan ke-5 pengamatan. Tidak terdapat interaksi antara pruning akar dan sumber inokulum terhadap perkembangan akar dan pertumbuhan tajuk bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.

Pertumbuhan Bibit Melinjo dengan Perlakuan Pruning Akar dan Sumber Inokulum

Pengaruh perlakuan pruning akar terhadap perkembangan akar bibit dan pertumbuhan tajuk bibit dengan berbagai tingkat pruning akar memperlihatkan pengaruh nyata pada beberapa peubah yang diamati. Perlakuan pruning akar memberikan pengaruh sangat nyata pada peubah jumlah akar yang bercabang akibat kegiatan pruning akar dan banyaknya cabang baru yang terbentuk pada bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan. Perlakuan pruning akar memberikan pengaruh nyata pada peubah berat basah dan berat kering akar serta berat basah dan berat kering pucuk pada bibit melinjo, tetapi perlakuan pruning

akar tidak berpengaruh nyata pada peubah tinggi, diameter dan nisbah pucuk akar pada bibit melinjo. Pengaruh perlakuan pruning akar terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan

(18)

Pruning akar yang dilakukan pada bibit melinjo memberikan hasil berbeda nyata pada peubah pertumbuhan akar, tetapi belum memberikan hasil berbeda nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter tajuk. Meskipun nilai pertumbuhan tinggi dan diameter tidak berbeda nyata, nilai biomassa tajuk bibit melinjo menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal tersebut karena pertumbuhan biit melinjo akibat kegiatan pruning akar tidak selalu ke arah tinggi dan diameter, tetapi juga bisa ke pertumbuhan cabang dan daun yang mempengaruhi nilai biomassa tajuk. Kegiatan pruning akar memberikan perubahan pada bentuk akar bibit. Terdapat akar yang bercabang setelah dipruning dan memiliki percabangan baru. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Performansi bibit melinjo akibat kegiatan pruning akar ditunjukkan pada Gambar 2.

Tabel 3 Korelasi antara pruning akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-6 pengamatan

Peubah Uji F Koefisien korelasi (r)

Pertumbuhan tinggi bibit (cm) tn 0.169

Pertumbuhan diameter batang (mm) tn 0.145

Berat kering akar (g tanaman-1) tn 0.596

Berat kering pucuk (g tanaman-1) tn 0.630

tn: tidak berbeda nyata.

Gambar 1 Sistem percabangan akar pada bibit melinjo: percabangan alami pada bibit tanpa pruning akar (a), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang 2 (b), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang 4 (c)

c b

a

Gambar 2 Performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat kegiatan pruning akar, bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-5 (a), bibit melinjo pengamatan bulan ke-6 (b)

(19)

9

Korelasi positif antara tingkat pruning akar dengan pertumbuhan tinggi bibit ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingginya tingkat

pruning akar juga diikuti oleh pertumbuhan tinggi bibit melinjo dengan korelasi sangat rendah, pertumbuhan diameter batang dengan korelasi sangat rendah, berat kering akar dengan korelasi sedang dan berat kering pucuk dengan korelasi kuat. Tabel 4 Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan sumber inokulum

ektomikoriza pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan

Peubah

Pengamatan

BB: berat basah, BK: berat kering, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Tabel 4 memperlihatkan pengaruh perlakuan sumber inokulum ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo secara umum tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi pada peubah diameter bibit melinjo pengamatan bulan ke-5 memberikan pengaruh nyata. Bibit melinjo kontrol (tanpa inokulasi fungi etomikoriza) memiliki nilai diameter yang lebih baik daripada bibit melinjo yang diinokulasi fungi ektomikoriza.

Tingkat Kolonisasi Ektomikoriza berdasarkan Tingkat Pruning Akar dan Sumber Inokulum

(20)

persentase akar melinjo terinfeksi pada bulan ke-6 pengamatan tetapi tidak ada interaksi antara perlakuan pruning akar dan sumber inokulum terhadap tingkat kolonisasi ektomikoriza.

Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum ektomikoriza pada bulan ke-6 pengamatan

Peubah Pruning Inokulum PxI KK

akar (P) (I) (%)

Persentase akar terinfeksi (%) * * tn 31.87

Persentase bibit terinfeksi (%) * * tn 28.07

tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa perlakuan tingkat pruning akar memberikan pengaruh nyata pada persentase akar bibit melinjo terinfeksi. Pruning akar pada tingkat pruning akar 30% dan 50% memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase akar melinjo terinfeksi dan persentase bibit melinjo terinfeksi.

Tabel 6 Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan tingkat pruning akar pada bulan ke-6 pengamatan

Peubah Uji F Tingkat pruning akar (%)

0 30 50

Persentase akar terinfeksi (%) * 16.08b 27.66a 31.84a Persentase bibit terinfeksi (%) * 50.00b 69.44a 69.44a *: berbeda nyata pada taraf uji 5%, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Tabel 7 memperlihatkan bahwa perlakuan sumber inokulum memberikan pengaruh sangat terhadap persentase akar bibit melinjo. Pemberian sumber inokulum bibit berektomikoriza dan sumber inokulum tanah memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase akar melinjo terinfeksi dan persentase bibit melinjo terinfeksi. Persentase akar terinfeksi (%) * 10.66b 30.14a 34.79a Persentase bibit terinfeksi (%) * 27.78b 80.56a 80.56a *: berbeda nyata pada taraf uji 5%, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Pembahasan

Pruning akar dapat merangsang pertumbuhan akar lateral pada bibit melinjo

(21)

11

lateral membentuk percabangan akar baru karena akumulasi hormon auksin (Tranvan et al. 2000). Pada akar yang dipruning, konsentrasi hormon sitokinin menurun menyebabkan transportasi hormon auksin dari meristem apikal menuju akar berjalan lancar dan merangsang pertumbuhan akar lateral (Campbell et al.

2003; Allen et al. 2003). Akar lateral baru yang terbentuk membantu bibit melinjo dalam penyerapan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan bibit melinjo dan perkembangan akar. Adanya penambahan jumlah akar yang bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk akibat pruning akar berpengaruh pada biomassa akarnya.

Pruning akar pada bibit melinjo umur 7 bulan tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan biomassa tanaman selama 4 bulan pengamatan (Wulandari et al. 2013). Hal ini karena pruning akar dapat menimbulkan kondisi stres air pada tanaman (Setiadi 2009) sehingga nutrisi yang diserap tanaman hanya digunakan untuk pemulihan tanaman dari kondisi stres air agar dapat bermetabolisme secara normal. Penambahan waktu pengamatan selama 2 bulan menunjukkan bahwa secara umum perlakuan pruning akar memberikan pengaruh nyata pada perkembangan akar dan biomassa bibit melinjo. Nutrisi yang diserap oleh akar bibit melinjo sudah digunakan untuk pertumbuhan akar dan biomassa akar. Penyerapan nutrisi juga dibantu dengan adanya penambahan cabang akar baru.

Tingkat pruning akar 30% dan tingkat pruning akar 50% pada akar bibit melinjo menghasilkan pengaruh yang sama terhadap jumlah akar yang bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk karena pengaruh hormon. Banyaknya cabang baru yang terbentuk akibat pruning akar mempengaruhi nilai biomassa akar. Tingkat pruning akar 30 % dan 50% memiliki nilai berat basah yang lebih tinggi daripada nilai berat basah akar pada bibit melinjo kontrol (tanpa pruning) karena terdapat percabangan akar baru yang lebih banyak dan karakteristik cabang akar baru yang lebih banyak menyimpan air. Bibit melinjo kontrol (tanpa pruning) memiliki nilai biomassa yang lebih kecil karena jumlah akarnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah akar bibit yang dipruning.

Nisbah pucuk akar digunakan untuk mengetahui kualitas bibit (Darwo dan Sugiarti 2008). Nisbah pucuk akar bibit melinjo yang diberi perlakuan pruning

akar tidak berbeda nyata dengan bibit kontrol dengan kisaran nilai 1.40 sampai 3.25. Hal ini berarti kegiatan pruning akar tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Menurut Barnett (1984), pertumbuhan dan kemampuan hidup semai yang baik memiliki nilai nisbah pucuk akar 1 sampai 3. Pada bibit melinjo yang akarnya dipruning, pertumbuhan akar baru diikuti dengan pertumbuhan tajuk, hal ini dapat dilihat dari nilai biomassa pucuk bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar lebih baik daripada nilai biomassa pucuk bibit melinjo kontrol (tanpa pruning).

Teknik inokulasi fungi ektomikoriza yang digunakan adalah inokulasi dengan bibit melinjo yang bermikoriza dan inokulasi dengan menggunakan inokulum tanah. Jenis ektomikoriza yang digunakan adalah Scleroderma spp.

(22)

ditunjukkan oleh bibit melinjo yang diinokulasi dengan bibit berektomikoriza. Penanaman dua bibit melinjo umur 7 bulan dalam satu polibag kemungkinan mengakibatkan adanya persaingan nutrisi, sehingga pertumbuhan salah satu bibit melinjo menjadi tertekan.

Pruning akar dan sumber inokulum ektomikoriza memberikan pengaruh

nyata pada tingkat kolonisasi ektomikoriza. Pruning akar merangsang pertumbuhan akar lateral baru. Akar lateral baru akan mengundang aktivitas mikroba (Gardner et al. 1991); meningkatkan luas permukaan akar yang kontak langsung dengan fungi ektomikoriza dan memudahkan fungi ektomikoriza untuk menginfeksi (Balasubramanian et al. 2002), karena ektomikoriza hanya dapat menginfeksi jaringan akar yang masih muda (Tranvan et al. 2000). Pruning akar 30% dan 50% mampu meningkatkan tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo. Inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulasi fungi ektomikoriza juga berpengaruh nyata pada tingkat kolonisasi ektomikoriza. Penggunaan inokulum tanah yang mengandung miselium fungi ektomikoriza lebih efektif dalam meningkatkan tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo. Hal ini disebabkan miselium yang terkandung dalam tanah bisa melakukan kontak langsung dengan akar bibit melinjo. Tingkat kolonisasi ektomikoriza dengan inokulasi bibit berektomikoriza lebih kecil karena kemungkinan adanya nutrisi yang kurang memenuhi dalam polibag yang berukuran kecil. Bibit melinjo dengan sumber inokulum bibit berektomikoriza kemungkinan saling memanfaatkan nutrisi yang tersedia dalam polibag tersebut. Ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya pada tahap awal infeksi (Bertham 2011). Adanya ektomikoriza pada bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-6 belum tentu membantu bibit melinjo dalam meningkatkan pertumbuhan, karena terbentuknya kolonisasi ektomikoriza yang efektif membutuhkan waktu yang lama yaitu 10 sampai 12 bulan (Santoso et al. 2007). Pada tahap awal inokulasi umumnya sebagian besar hasil fotosintesis digunakan untuk mendukung terbentuknya asosiasi ektomikoriza.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tingkat pruning akar 30% dan 50% mampu meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan. Sumber inokulum belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan, tetapi dapat meningkatkan kolonisasi ektomikoriza.

Saran

(23)

13

DAFTAR PUSTAKA

Allen MF, Swenson W, Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: a conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol. 41:271-303. doi:10.1146/annurev.phyto.41.052002.095518.

Balasubramanian S, Kim SJ, Podila GK. 2002. Differential expression of a malate synthase gene during the preinfection stage of symbiosis in the ectomychorrhizal fungus Laccaria bicolor. New Phytol. 154:517-527. Barnett JP. 1984. Relating seedling physiology to survival and growth in

container-grown Southern Pines. Di dalam: Duryea ML, Brown GN, editor. Seedling Physiology and Reforestation Success. Forestry Sciences Series 14. Proceedings of the Physiology Working Group Technical

Session, Society of American Foresters National Convention; 1983 Oct

16-20; Portland, Oregon, USA. New York: Springer-Verlag. hlm 157-176. Bechem EET, Alexander IJ. 2012. Phosphorus nutrition of ectomychorrhizal

Gnetum africanum plantlets from Cameroon. Plant Soil. 353:379-393. doi: 10.1007/s11104-011-1038-x.

Bertham RYH. 2011. Inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan rhizobium lokal meningkatkan pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai di ultisol, Bengkulu, Indonesia. Di dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 11-44.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with mycorrhiza in forestry and agriculture. ACIAR Monograph 32. Canberra: Australian Centre for International Agriculture Research.

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Darwo, Sugiarti. 2008. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma

citrinum Persoon dn komposisi media terhadap pertumbuhan semai tusam di

persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (5):461-472. Gardner F, Pearce RB, Mitchell R. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati

S, penerjemah; Subiyanto, editor. Jakarta (ID): Penerbit UI Press. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Jones MD, Durall DM, Cairney WG. 2003. Ectomycorrhizal fungal communities at forest edges. New Phytol. 157:399-422.

Jonnarth UA, Roitto M, Markkola AM, Ranta H, Neuvonen S. 2004. Effects of nickel and copper on growth and mycorrhiza of Scots pine seedlings inoculated with Gremmeniella abietina. For Path. 34:337-348.

(24)

Mansur I. 2010. Teknik Silvikultur Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor (ID): Seameo Biotrop.

Ohta A, Fujiwara N. 2003. Fruit-body production of an ectomycorrhizal fungus in genus Boletus in pure culture. Mycoscience 44:295-300. doi:10.1007/s10267-003-0120-5.

Pamujianto R. 2014. Pruning akar untuk meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 2 bulan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pourmajidian MR, Ammi S, Taban M, Spahbodi K, Parsakhoo A. 2009. Effect of the extent of root pruning on growth, biomass, and nutrient content of oak (Quercus castaneifolia C.A.Mey,) seedlings. JABS 3(1):87-91.

Riniarti M. 2010. Dinamika kolonisasi 3 fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dan hubungannya dengan pertumbuhan tanaman inang [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian; 2006 Sep 20; Padang, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. hlm:71-80.

Setiadi Y. 2009. Reclamation and Forest Land Rehabilitation after Mining and

Oil Gas Operation. Bogor (ID): Green Earth Trainer.

Smith SE, Read DJ. 2008. Mychorrhizal Symbiosis. London (GB): Academic Pr. Tranvan H, Habricot Y, Jeannette E, Gay G, Sotta B. 2000. Dynamic of symbiotic

establishment between an IAA-overproducing mutant of the ectomychorrhizal fungus Hebeloma cylindrosporum and Pinus pinaster.

Tree Physiology 20:123-129.

Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wulandari S, Subandi, Muntolib. 2012. Inhibisi xantin oksidase oleh ekstra etanol kulit melinjo relatif terhadap allopurinol. Jurnal online Universutas Negeri Malang [Internet].[diunduh 2013 Nov 15]. Tersedia pada: http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5ECD9DCBF08E100E0ACA3C5AF4C0 7164.pdf.

(25)

15

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1  Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo dengan
Tabel 2  Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar pada bulan ke-
Gambar 1  Sistem percabangan akar pada bibit melinjo: percabangan alami pada
Tabel 4 Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan sumber inokulum

Referensi

Dokumen terkait

sebagai negara baru yang menerapkan Islamisasi di berbagai sektor. Sejak 2005, Malaysia dianggap sebagai yang terbaik dan konsisten dalam menggali dan mengembangkan

(2006) bahwa tanaman cabai yang terinfeksi ganda CMV dan ChiVMV menunjukkan Gambar 1 Gejala infeksi virus pada tanaman cabai di Rejang Lebong; a, mosaik pada daun muda; b,

Kelompok kontrol akan tetap diberikan pakan standar, sedangkan kelompok perlakuan akan diberikan yoghurt koro pedang selama 3 minggu (hari ke-19 sampai 39).. Pengukuran

Hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi kadar lemak yang dihasilkan semakin tinggi karena semakin lama waktu fermentasi maka bobot air bahan semakin

Diketahui sifat organoleptik pada rasa dari snack bar berbahan campuran tepung cassava dan tepung kacang merah, dan snack bar yang memiliki tingkat kesukaan

Dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dan mampu menerapkan model yang sesuai dengan materi sehingga

Hasil penelitian diperoleh bahwa secara keseluruhan persepsi kepuasan konsumen terhadap dimensi mutu produk adalah sangat puas, artinya konsumen produk

Graph demand curve for good X from indifference and budget constraint curve, show the quantity of demand at any level of pricea. What is difference between Marshallian Demand