Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
*Kontribusi penulis: Kurniawati Purwaka Putri, Yuliati, Dida Syamsuwida, Nurin Widyani sebagai kontributor utama; Dede Jajat
PEMANFAATAN FUNGI Mikoriza arbuskula DAN DARK SEPTATE ENDOPHYTE PADA BIBIT BALSA (Ochroma pyramidale) UNTUK MENDUKUNG REHABILITASI LAHAN KRITIS
(Utilization of Arbuscular mycorrhizal Fungi and Dark Septate Endophyte in Balsa (Ochroma pyramidale) Seedlings in Relation to Support Critical Land Rehabilitation)
Kurniawati Purwaka Putri, Yulianti, Dida Syamsuwida, Nurin Widyani, Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan/and Nurhasybi
Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, Kehutanan, Kebun Raya Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk:24 April 2022; Naskah direvisi:7 Juni 2022; Naskah diterima:21 Agustus 2022 ABSTRACT
Seedlings that are capable of symbiosis with soil microorganisms are the potential to increase the seedling survival in degraded or critical land. Balsa (Ochroma pyramidale) is one of the potential plants to be used in land rehabilitation and revegetation. Completely Randomized Design (CRD) was used in this study with 8 (eight) types of stimulants i.e: (1) FMA, (2) DSE CPP, and (3) DSE MM. (4) DSE KSP, (5) Mixture of FMA and DSE CPP, (6) Mixture of FMA and DSE MM, (7) Mixture of FMA and DSE KSP, (8) Control. The findings showed that some morphological seedling growth was influenced by the DSE KSP stimulant. The shoot root ratio and root colonization with DSE increased after being treated with FMA + DSE CPP and DSE KSP or DSE MM, respectively. Inoculation of FMA and DSE either with single or double inoculation was able to increase the nutrition uptake and chlorophyll content of seedling’s leave. The treatment of FMA or DSE, as well as its combination, increased the content of organic C and N in seedling media.
Keywords: a stimulant, Balsa (Ochroma pyramidale), beneficial fungi, seedling, symbiosis ABSTRAK
Bibit yang mampu bersimbiose dengan mikroorganisme tanah berpotensi meningkatkan kemampuan hidup bibit di lahan terdegradasi atau lahan kritis. Balsa (Ochroma pyramidale) merupakan salah satu tanaman yang potensial untuk digunakan dalam rehabilitasi dan revegetasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stimulant Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA ) dan Dark Septate Endophyte (DSE) terhadap kualitas bibit balsa (Ochroma pyramidale) di persemaian dalam rangka mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan kritis. Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 (delapan) perlakuan, yaitu (1) FMA, (2) DSE CPP, (3) DSE MM. (4) DSE KSP, (5) Campuran FMA dan DSE CPP, (6) Campuran FMA dan DSE MM, (7) Campuran FMA dan DSE KSP dan (8) Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter pertumbuhan morfologi bibit dipengaruhi oleh stimulan DSE KSP. Ratio pucuk akar dan kolonisasi akar pada bibit yang diberi DSE dalam bentuk tunggal (DSE MM dan DSE KSP) maupun campuran (FMA + DSE CPP ) menunjukkan peningkatan dibanding kontrol. Inokulasi FMA dan DSE baik yang single maupun double inoculation mampu meningkatkan serapan hara dan kandungan klorofil daun bibit. Pemberian FMA atau DSE serta kombinasinya menaikan kandungan bahan organik C dan hara N media bibit. Kondisi ini sangat mendukung apabila bibit akan ditanam pada lahan kritis atau marjinal.
Kata kunci : balsa (Ochroma pyramidale), bibit, fungi menguntungkan, simbiose, stimulator I. PENDAHULUAN
Keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan bibit untuk hidup pada kondisi lahan kritis seperti kekeringan, daerah tergenang dan cekaman lingkungan lainnya.
Bibit dengan kemampuan adaptasi yang rendah sering mengalami kematian setelah dipindah ke
lapangan, karena tidak cukup memperoleh air dan unsur hara, kondisi fisik tanah yang tidak memungkinkan akar untuk berkembang atau karena proses infiltrasi air hujan.
Upaya meningkatkan keberhasilan hidup bibit di lahan terdegradasi atau lahan kritis salah satunya dengan menyiapkan bibit yang mampu bersimbiosis dengan mikroorganisme
tanah seperti fungi mikoriza. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) adalah salah satu fungi mikoriza dari filum Glomeromycota yang hidup secara mutualisme dengan akar tanaman hidup (Iffis, St-arnaud, & Hijri, 2014). Manfaat FMA bagi perkembangan tanaman inangnya antara lain meningkatkan absorbsi hara dari dalam tanah, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman seperti kekeringan, tanah masam, tercemar logam berat, melindungi tanaman dari infeksi pathogen akar serta meningkatkan hormon pemacu tumbuh (Purba, Rahmawati, Kardhinata, & Sahar, 2014; Rahmawati, Putir, Damiri, Tanduh, & Nursiah, 2020).
Penggunaan FMA telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman hutan, baik dalam bentuk single maupun campuran dari beberapa spesies yang berbeda. Kombinasi beberapa mikoriza (double inoculation) seperti Glomus sp. dan G. margarita terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan Aguilaria malaccensis (Susilowati, Riniarti, & Rini, 2019). FMA juga dapat dikombinasikan dengan mikroorganisme lainnya seperti dari kelompok endofit dan terbukti cukup efekti meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya (Fitriani, Wiyono, & Sinaga, 2019).
Seperti halnya FMA, kehadiran fungi endofit memberikan banyak keuntungan bagi tanaman inangnya antara lain mampu memacu
pertumbuhan tanaman dan memproteksi tanaman dari serangan pathogen tanaman (Sari, 2020; Yulianti, 2013). Selain itu potensi simbiotik dari endofit adalah kemampuannya dalam menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri, antifungi, bio- fungisida, dan antioksidan yang dapat menekan penyakit pada tanaman dan meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap kondisi stress lingkungan biotik dan abiotic (Sari, 2020;
Sudha, Govindaraj, Baskar, Al-dhabi, &
Duraipandiyan, 2016; Sukapiring, Soekarno, &
Yuliani, 2016). Salah satu kelompok fungi endofit adalah fungi Dark Septate Endophyte (DSE) yang menurut Surono dan Narisawa (2018), DSE mampu mengkolonisasi akar tanaman baik secara interseluler maupun intraseluler tanpa menyebabkan penyakit.
Balsa (Ochroma pyramidale) dari famili Bombacaceae termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing spesies) yang seringkali dijadikan sebagai indikator regenerasi hutan akibat kerusakan (hutan sekunder). Hal ini disebabkan kemampuannya untuk memperbaiki kondisi tempat tumbuh yang rusak dalam waktu relatif singkat setelah penanaman. Secara ekologi, tanaman balsa potensial untuk kegiatan reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis. Tanaman balsa juga dimungkinkan dimanfaatkan dalam fitoremediasi logam berat karena memiliki biomassa dan transpirasi tinggi, serta
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
sistem perakaran yang luas seperti umumnya tanaman cepat tumbuh lainnya (Istiqomah, Wilarso, & Wulandari, 2017). Istiqomah et al.
(2017) melaporkan bahwa balsa termasuk jenis tanaman yang memiliki nilai ketergantungan terhadap FMA yang tinggi pada kondisi tanah yang tidak subur, akan tetapi apabila kandungan aluminium sangat tinggi dan pH sangat rendah maka tanaman tidak dapat bertahan hidup. Untuk itu dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungi FMA dan endofit DSE terhadap kualitas bibit balsa (Ochroma pyramidale) di persemaian untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan kritis.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2021 sampai dengan Agustus 2021 di Laboratorium rumah kaca Laboratorium Balai Penerapan Standar Instrument Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bogor (BPSILHK Bogor). Analisis kimia tanah dan kandungan nutrisi bibit dilakukan di Laboratorium Penguji Balai Penelitian Tanah, Bogor. Proses pewarnaan (staining) sampel akar dari bibit dilakukan di Laboratorium PT Intidaya Agrolestari (INAGRO).
Benih balsa (Ochroma pyramidale) dikumpulkan dari kawasan hutan Perum Perhutani KPH Madiun, Jawa Timur pada bulan Oktober 2020. Fungi yang digunakan
adalah (1) FMA yang diproduksi PT INAGRO dan (2) tiga jenis single strain DSE yaitu DSE unidentified isolate (MM 15); DSE Cladosporium sp. (KSP); dan DSE Dendrothyrium sp. (CPP 1.1.4) dari Laboratorium Pusat Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian. Isolat fungi DSE yang digunakan dalam studi ini berbentuk cairan dengan jumlah kerapatan105 hyfa mL-1.
B. Prosedur Penelitian 1. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan fungi sebagai stimulan kualitas bibit. Perlakuan fungi tersebut adalah (1) Kontrol; (2) FMA; (3) DSE CPP; (4) DSE MM; (5) DSE KSP; (6) Campuran FMA dan DSE CPP; (7) Campuran FMA dan DSE MM; (8) Campuran FMA dan DSE KSP. Masing-masing perlakuan terdiri dari 15 bibit dengan 5 kali ulangan.
2. Penyiapan media tanam
Media tabur yang digunakan adalah campuran tanah dan pasir (1:1, v/v) yang dimasukkan ke dalam bak kecambah. Media tabur diayak dan disterilisasi dengan menggunakan autoclave suhu 120°C selama 15 menit. Media sapih menggunakan campuran tanah, sekam padi dan kompos (2:2:1,v/v/v) yang dimasukkan dalam polybag ukuran 12 cm x 15 cm.
3. Penyiapan bibit balsa dan inokulasi DSE
Inokulasi fungi DSE dilakukan bersamaan dengan perlakuan pendahuluan benih atau sebelum penaburan benih. Benih balsa direndam secara terpisah dalam larutan DSE yang digunakan dalam penelitian ini selama 24 jam. Benih untuk kontrol direndam dalam air selama 24 jam. Benih ditabur pada media tabur steril. Setelah berumur 3-4 minggu dari waktu tabur atau minimal sudah tumbuh sepasang daun, kecambah disapih ke media sapih yang telah disiapkan.
4. Penyapihan dan inokulasi FMA
Inokulasi spora FMA dilakukan dengan cara membenamkan kapsul spora FMA (5-7 butir kapsul per-polybag= 5 g) sedalam 1-2 cm kedalam media sapih, sekitar daerah perakaran semai. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan penyapihan semai pada polybag. Bibit hasil penyapihan diletakkan di area naungan, dengan kerapatan naungan sebesar 50%.
5. Pengamatan
a. Karakter morfologis
Karakter morfologis bibit balsa yang diukur meliputi tinggi, diameter, panjang batang berkayu, panjang akar dan biomassa.
Pengukuran tinggi, dan diameter dilakukan pada saat bibit berumur 3 bulan dan 5 bulan setelah tanam. Pengukuran tinggi dilakukan menggunakan penggaris. Tinggi bibit diukur mulai dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh tertinggi pada jalur batang. Pengukuran diameter dilakukan menggunakan caliper dan
diukur pada ketinggian sekitar 1 cm di atas pangkal batang bibit. Sedangkan pengukuran panjang batang berkayu, panjang akar dan biomassa dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada saat bibit umur 5 hulan setelah sapih.
Biomassa semai dihitung berdasarkan berat kering semai. Pengukuran biomassa dilakukan dengan cara memotong atau memisahkan bagian pucuk dan akar bibit, selanjutnya setiap bagian tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 800C selama 72 jam dan dilakukan penimbangan hingga mencapai berat konstan.
Pengukuran rasio pucuk akar, indeks kekokohan bibit (sturdiness quotient) dan indeks mutu bibit yang merupakan kombinasi dari beberapa parameter morfologis bibit.
a. Rasio pucuk akar (RPA) adalah perbandingan antara biomassa pucuk dengan biomassa akar semai (Andrade et al., 2015). RPA merupakan ukuran keseimbangan antara areal transpirasi (pucuk) dengan areal penyerapan air (akar).
b. Indeks kekokohan (sturdiness quotient) adalah perbandingan antara tinggi (dalam cm) dengan diameter (dalam mm). Rasio yang tinggi menunjukkan bibit relatif tinggi kurus, sedangkan rasio yang rendah menunjukkan bibit yang kokoh.
c. Indeks mutu bibit dihitung dengan menggunakan rumus Dickson sebagai berikut (Binotto, Dal, Lúcio, & Lopes, 2010) :
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
Indeks mutu bibit =…(1)
b. Karakter fisiologis
• Kandungan Klorofil
Analisis total klorofil dan antosianin dilakukan dengan menggunakan metode Sims dan Gamon (2002) yang dimodifikasi (Ramadhan, Aziz, &
Ghulamahdi, 2015).
• Serapan nutrisi (Nutriett uptake)
Kandungan nutrisi yang diukur adalah kadar C, N, P, K. Analisis kadar C menggunakan metode Walkey dan Black, kadar N Total dengan metode Kjeldahl serta P dan K menggunakan metode HNO3-HClO4. Serapan C, N, P, K, Mg, dan Ca, diperoleh dengan mengalikan nilai kadar dari hara tersebut (C, N, P, K, Mg, dan Ca) dengan berat kering total jaringan tanaman.
Analisis kandungan nutrisi dilakukan di Laboratorium Penguji Balai Penelitian tanah, Kementerian Pertanian.
c. Persentase kolonisasi fungi FMA dan DSE pada akar
Sampel akar yang telah dilakukan pewarnaan diamati di bawah mikroskop compound dengan
perbesaran 100 x. Bidang pandang yang terkolonisasi dapat dilihat dengan adanya hifa, vesikula, dan arbuskula yang menginfeksi akar.
Persentase kolonisasi akar yang terinfeksi FMA atau DSE dihitung berdasarkan rumus:
…...(2) C. Analisis Data
Data hasil pengukuran dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Jika hasil menunjukan hasil nyata maka dilanjutkan menggunakan uji BNT dengan taraf 5%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
Inokulasi fungi berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, panjang akar dan rasio pucuk akar (α < 0,05), namun tidak berpengaruh terhadap persentase hidup, diameter, biomassa bibit serta indeks kekokohan dan indeks mutu bibit balsa (α >
0,05).
Tabel (Table) 1. Rangkuman Analisis ragam pengaruh inokulan fungi FMA dan DSE terhadap morfologi bibit balsa umur 5 bulan di persemaian (Summary Analysis of the influence of AMF and DSE fungal inoculants on the morphology of 5-month-old balsa seedlings in nurseries).
Persentase hidup (Survival Percentage)
Tinggi (Height)
Diameter (Diametre)
Panjang akar (Root length)
Biomassa (Biomass)
Rasio pucuk akar (Top root ratio)
Indeks kekokohan
bibit (sturdiness
quotient)
Indeks mutu bibit
(seedling index quality)
F-Hit 0,03 79,94 1,02 3,54 1,46 3,60 0,50 1,42
Sig 1,00 ns 0,00** 0,44 ns 0,01** 0,22 ns 0,01 * 0,82 ns 0,23 ns Keterangan (Remark): ns = tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (not significant at 95% confidence level);
* = berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (significant at 95% confidence level).
Gambar (Figure) 1. Rata-rata rasio pucuk akar, tinggi bibit dan panjang akar bibit balsa pada berbagai perlakuan inokulasi fungi FMA dan DSE (The average value of root shoot ratio, seedling height and root length of balsa seedlings in various AMF and DSE fungi inoculation treatments)
Pertumbuhan tinggi tercepat ditunjukkan oleh bibit yang dinokulasi FMA+ DSE CPP (42,5 cm), dan diikuti oleh bibit yang dinokulasi DSE CPP (40,9 cm) (Gambar 1).
Bibit dengan panjang akar tertinggi ditunjukkan oleh bibit yang dinokulasi FMA yaitu sebesar 22,2 cm. Selain itu inokulasi FMA pada bibit balsa juga menghasilkan nilai rasio pucuk yang lebih rendah (4,45) dibanding control (5,05), namun tidak berbeda secara nyata dengan nilai rasio pucuk dari bibit dengan inokulasi DSE CPP (3,85) dan FMA+DSE KSP (4,49). Nilai
rasio pucuk akar tersebut mengindikasikan bahwa fungi FMA cukup efektif merangsang pertumbuhan akar bibit dibanding pertumbuhan bagian atas (pucuk). Semakin rendah nilai rasio pucuk akar semakin besar biomassa akar bibitnya.
Rata-rata persentase hidup bibit balsa umur 5 bulan sebesar 93,02%, dengan diameter batang mencapai 5,27 mm dan biomassa bibit sebesar 2,18 gram. Rata-rata indeks kekokohan dan indeks mutu bibit balsa sebesar 8,58 dam 0,19 (Tabel 2).
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
Tabel (Table) 2. Rata –rata persentase hidup, diameter bibit, biomassa serta indeks kekokohan dan indeks mutu bibit balsa umur 5 bulan di persemaian/The average of survival percentage, seedling diameter, biomass as well as the sturdiness quotient and seedling quality index of 5-month-old balsa seedlings in the nursery
Perlakuan (Treatments)
Persentase hidup (Survival percentage)
(%)
Diameter (Diametre)
(mm)
Biomassa (Biomass)
(gr)
Indeks kekokohan bibit
(sturdiness quotient)
Indeks mutu bibit (seedling quality
index)
Kontrol (Control) 93,33 4,66 5,82 5,30 4,83 5,52 5,76 4,97 5,30
1,57 2,53 2,00 2,24 2.,69 2,41 2,37 2,11
9,53 8,60 9,50 7,87 8,77 8,13 8,23 8,03
0,14 0,23 0,14 0,18 0,24 0,21 0,21 0,13
FMA 93,33
93,33 92,50 92,50 93,33 92,50 93,33 DSE MM
DSE KSP DSE CPP FMA+ DSE MM FMA+ DSE KSP FMA+ DSE CPP Rata-rata
(Average) 93,02 5,27 2,18 8,58 0,19
Hasil analisis karakter fisiologis bibit balsa dengan pelakuan inokulasi fungi FMA dan DSE disajikan pada Tabel 3. Secara umum inokulasi FMA dan DSE meningkatkan serapan hara dan kandungan klorofil daun pada bibit balsa. Fungi DSE CPP cenderung menghasilkan tingkat
serapan hara NPK tertinggi yaitu masing-masing sebesar 35,2 mg/bibit; 17,5 mg/ bibit dan 63,5 mg/bibit (Tabel 3). Fungi DSE MM dan campuran FMA dengan DSE MM cenderung menghasilkan kandungan klorofil daun terbesar (Tabel 3).
Tabel (Table) 3. Karakter fisiologis bibit balsa dengan pelakuan fungi FMA dan DSE pada umur bibit 5 bulan/Physiological characters of balsa seedlings with the application of AMF and DSE fungi on 5 month old seedlings in the nursery
Perlakuan / Treatment
Serapan hara (Nutrient
uptake 1 ) (mg/bibit) Klorofil (pigmen/massa)
N P K Klorofil a Klorofil b Antosianin Karoten Total Klorofil Kontrol (tanpa
inokulan)/control (without inoculant)
18,7 12,6 41,9 0,939 0,390 0,078 0,282 1,328
FMA 30,1 17,0 53,2 1,166 0,443 0,047 0,355 1,609
DSE MM 28,7 11,4 45,1 1,507 0,645 0,090 0,484 2,151
DSE KSP 30,7 14,1 59,1 1,257 0,480 0,081 0,370 1,737
DSE CPP 35,2 17,5 63,7 1,256 0,463 0,056 0,394 1,720
FMA + DSE MM 22,7 14,2 49,0 1,556 0,716 0,182 0,460 2,272
FMA + DSE KSP 21,8 15,4 44,3 1,214 0,446 0,071 0,349 1,660
FMA + DSE CPP 10,3 14,5 51,0 1,034 0,428 0,095 0,284 1,462
Keterangan (Remarks) :1) Keterangan (Notes): Laboratorium Balai Penelitian tanah, Kementerian Pertanian (Laboratory of Soil Research Center, Ministry of Agriculture)
Hasil analisis kandungan hara pada media bibit yang diinokulasi dengan fungi DSE MM
mengandung unsur hara P dan K yang tertinggi (Tabel 4). Media yang digunakan tergolong
netral karena memiliki pH 6,5-7,4. Media sapih ini memiliki kandungan C-organik yang tinggi, N-total sedang (0,21-0,5). Adapun kandungan
P tersedia tergolong sangat tinggi, Pemberian FMA dan DSE secara umum tidak mempengaruhi perubahan pH tanah (Tabel 4).
Tabel (Table) 4. Kandungan hara pada media bibit balsa dengan berbagai perlakuan (Nutrient content of balsa seedling media with various treatment)
Perlakuan / Treatment
pH H2O
pH KCl
C (%) N (%) C/N P2O3
(ppm)
K2O (ppm)
KTK Walkley
& Black
Kjedahl Olsen Morgan (NH4-Acetat
1 N, pH7) Kontrol (tanpa
inokulan)/control (without inoculant)
7,4 6,8 3,60 0,27 13 312 898 24,62
FMA 7,3 6,6 3,95 0,28 14 360 1097 23,34
DSE MM 7,4 6,8 6,05 0,39 16 663 1771 25,72
DSE KSP 6,7 6,2 4,15 0,29 14 184 619 20,24
DSE CPP 7,2 6,6 6,14 0,39 16 518 1165 26,82
FMA + DSE MM 7,2 6,6 5.37 0,36 15 246 1136 24,00
FMA + DSE KSP 6,5 5,6 4,72 0,34 14 108 439 19,78
FMA + DSE CPP 7,3 6,6 6,09 0,39 16 275 1304 24,21
Keterangan (Remarks): Laboratorium Balai Penelitian tanah, Kementerian Pertanian (Laboratory of Soil Research Center, Ministry of Agriculture)
Kolonisasi fungi FMA dan DSE pada akar memperlihatkan nilai yang bervariasi. Hasil analisis memperlihatkan bahwa pemberian kedua fungi pada media bibit berpengaruh nyata terhadap pembentukan koloni pada bibit balsa umur 5 bulan. Kolonisasi fungi FMA dan DSE juga terlihat pada perlakuan kontrol (media tanpa diberi
perlakuan), dengan persentase kolonisasi rata-rata dibawah 10 %. Demikian pula pada media yang hanya di inokulasi dengan fungi FMA, namun terdapat pula kolonisasi fungi DSE, dan sebaliknya. Nilai rata-rata dan hasil analisis uji lanjut persentase kolonisasi pada akar untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel (Table) 5. Nilai rata-rata dan hasil uji lanjut kolonisasi akar oleh fungi FMA dan DSE pada bibit balsa umur 5 bulan (Average value and Duncan’s Test of root colonitation percentage by FMA and DSE fungal)
Perlakuan/ Treatment Persentase kolonisasi FMA / Colonization
Percentage of FMA (%)
Persentase kolonisasi DSE/ Colonization percentage of DSE
(%)
Kontrol (tanpa inokulan)/control (without inoculant) 5,00 ± 8,66 a 9,67 ± 1,04 a
FMA 100,00 ± 0,00 b 10,00 ± 9,16 a
DSE MM 95,57 ± 7,68 b 74,00 ± 10,39 c
DSE KSP 98,00 ± 3,46 b 75,33 ± 2,31 c
DSE CPP 91,33 ± 10,26 b 44,00 ± 14,42 b
FMA + DSE MM 99,33 ± 1,15 b 67,17 ± 23,13 bc
FMA + DSE KSP 93,33 ± 11,55 b 44,00 ± 7,21 b
FMA + DSE CPP 100,00 ± 0,00 b 62,47 ± 8,71 bc
F-Hit 66,13 ** 10,73 *
Keterangan (Remark) : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. (Values in rows followed by the same letter are not significantly different at level of 5 %); ** : sangat nyata taraf uji 0,01 (significantly at 0.01 level);* : nyata pada taraf uji 0,05 (significantly at 0,05 level)
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
Persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman balsa (Tabel 5), berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang telah dimodifikasi (Nusantara, Bertham, & Mansur, 2012). Semua perlakuan memberikan nilai persentase kolonisasi akar yang masuk dalam kategori Kelas 5 (persentase > 75% = sangat tinggi) kecuali perlakuan kontrol (masuk kategori Kelas 1 < 5% = sangat rendah). Hasil persentase kolonisasi DSE pada akar balsa menunjukkan hasil yang bervariasi (kategori Kelas 1 untuk kontrol, Kelas 2 untuk perlakuan FMA, Kelas 3 untuk DSE CPP dan FMA + DSE KSP, Kelas 4 dan Kelas 5 untuk perlakuan yang lainnya) (Nusantara, 2011).
Gambar (Figure) 2. Akar balsa yang terinfeksi FMA dan DSE (Balsa root infected by AMF and DSE) B. Pembahasan
Mekanisme simbiosis mikoriza dengan tanaman melalui perubahan fisiologi akar yang akan meningkatkan luasan penyerapan hara,
sehingga akar dapat menyerap unsur hara lebih banyak terutama fosfat (Lehmann, Veresoglou, Leifheit, & Rillig, 2014). Tanaman membutuhkan unsur hara untuk membentuk karbohidrat dalam proses fotosintesis, yang selanjutnya akan bersenyawa dengan bahan- bahan anorganik membentuk protoplasma pada titik tumbuh apikal batang yang tersusun atas jaringan meristem. Selanjutnya jaringan meristem apikal akan mengalami pembelahan yang diikuti dengan pembesaran dan diferensiasi sehingga mendorong pertumbuhan batang keatas, sehingga tanaman akan bertambah tinggi (Prayudyaningsih &
Ramdhana, 2016). Jaringan meristem juga terdapat pada ujung akar yang aktif membelah untuk membentuk akar primer, sehingga terjadi peningkatan panjang akar tanaman (Oktaviani
& Usmadi, 2019).
Dalam penelitian ini, inokulasi FMA secara tunggal belum menunjukkan pertumbuhan tinggi bibit balsa terbaik.
Sedangkan inokulasi FMA + DSE CPP (double inoculation) menghasilkan bibit dengan pertumbuhan tinggi tercepat yaitu sebesar 42,5 cm atau terjadi peningkatan terhadap kontrol sebesar 26,87%. Tinggi bibit yang diinokulasi FMA tunggal hanya mencapai 38,7 cm atau menghasilkan peningkatan terhadap kontrol sebesar 15,52 %. Efektivitas FMA tunggal akan berbeda reaksinya pada setiap jenis tanaman. Pada jenis kayu kuku (Husna, Wilarso, Mansur, & Kusmana, 2015) dan
lonkida (Tuheteru, Arif, Widiastuti, &
Rahmawati, 2017), inokulasi FMA terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Dengan demikian, inokulasi tunggal cukup efektif untuk pertumbuhan tanaman, namun demikian pemberian inokulasi ganda jauh lebih efektif daripada inokulasi tunggal.
Sinergi antara FMA dan DSE menghasilkan energi positip terhadap tanaman dimana FMA sendiri dilaporkan mampu melakukan penyerapan hara dalam tanah, dan DSE membantu menginfeksi akar tanaman secara inter/intra seluler, sehingga dengan adanya sinergi antar keduanya maka efektifitas penyerapan hara dari tanah lebih meningkat.
Efektfitas inokulasi FMA tunggal untuk bibit balsa ditunjukkan oleh parameter panjang akar. Inokulasi FMA tunggal menghasilkan panjang akar terbesar yaitu mencapai 22,2 cm atau mengalami peningkatan terhadap control sebesar 164,3%. Hasil ini menggambarkan bahwa unsur hara yang diserap mencukupi untuk dapat memacu dan mendorong pertumbuhan akar pada bagian ujung, sehingga panjang akar meningkat. Kondisi bibit tersebut diharapkan kelak akan mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal di lapangan, karena semakin panjang akar tanaman maka akan semakin besar kemampuan tanaman dalam menyerap air dan unsur hara.
Sejalan dengan respon panjang akar, nisbah pucuk-akar dari bibit yang diinokulasi
FMA tunggal adalah yang terbaik karena menghasilkan nilai terendah (4,45). Nilai nisbah pucuk-akar yang rendah menggambarkan perkembangan bagian akar yang lebih baik dibanding bagian atas (pucuk).
Nisbah pucuk-akar merupakan salah satu indikator kesiapan bibit di lapangan. Bibit siap tanam apabila memiliki nilai rasio pucuk akar berkisar 2-5 (Junaedi, Hidayat, & Frianto, 2010). Berdasarkan nilai nisbah pucuk-akar yang dihasilkan tersebut, maka inokulasi FMA mampu menghasilkan bibit balsa siap tanam, sehingga diharapkan mampu mendukung keberhasilan kegiatan penanaman terutama pada kondisi lahan kritis dan marjinal. Selain itu berdasarkan nilai nisbah pucuk-akar, proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari tanaman dengan kemampuan penyerapanair dan mineral lebih seimbang dibanding inokulasi DSE atau FMA dalam bentuk double inoculation.
Pengukuran kondisi fisiologi bibit yang berkaitan erat dengan laju fotosintesis tanaman adalah kandungan klorofil. Secara umum inokulasi FMA dan DSE cenderung meningkatkan total klorofil daun balsa dengan kisaran peningkatan 10,1 % - 71,1% dari kontrol. Peningkatan tersebut kemungkinan berkaitan dengan meningkatnya serapan hara N pada daun yang mampu memberikan stimulan bagi peningkatan kandungan klorofil total untuk bibit balsa. Kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan karbohidrat
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
atau asimilat dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Peningkatan terbesar ditunjukkan pada bibit yang diinokulasi FMA + DSE MM yang meningkat sebesar 71,1% dari kontrol.
Semakin tinggi laju fotosintesis, maka biomassa juga akan semakin tinggi. Biomassa merupakan mencerminkan status hara tanaman, laju fotosintesis dan respirasi tanaman (Husna et al., 2015; Prayudyaningsih & Ramdhana, 2016). Secara umum peningkatan biomassa tanaman terkait erat dengan meningkatnya penyerapan unsur hara oleh tanaman.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa serapan hara N, P, dan K pada bibit balsa yang diinokulasi FMA dan DSE cenderung meningkat dibanding bibit yang tidak diinokulasi (kontrol). Peningkatan serapan hara terbesar ditunjukkan oleh bibit yang diinokulasi DSE CPP yaitu berturut-turut mencapai 88,24 %; 38,89 %; dan 52,03 % untuk hara N, P dan K.
Peningkatan serapan hara tersebut terbukti masih belum cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan diameter batang dan biomassa bibit balsa yang diinokulasi FMA baik tunggal maupun double inoculation dengan DSE.
Tetapi berbeda hasilnya dengan Istiqomah et al.
(2017) yang melaporkan bahwa aplikasi fungi FMA asal hutan karet alam pada semai balsa cukup efektif dalam meningkatkan diameter serta biomassa akar dan pucuk semai. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan media sapih
yang digunakan tergolong subur sehingga inokulasi FMA dan DSE tidak berfungsi secara optimal. Umumnya efektifitas FMA akan maksimal pada tanah yang kondisinya kurang subur atau pada daerah yang mengalami kekeringan. Komposisi media sapih adalah terdiri dari campuran tanah, sekam padi dan kompos (2:2:1,v/v/v).
Hasil analisis kimia tanah menunjukkan bahwa media sapih memiliki pH netral (6,5- 7,4) dan KTK termasuk tingkat sedang dengan kandungan C-organik (3,60 %-6,14 %) yang termasuk tinggi dan sangat tinggi. Tanah dengan nilai pH netral cukup ideal untuk pertumbuhan tanaman karena kandungan senyawa organic, mikroorganisme, unsur hara dan mineral-mineral dalam kondisi yang optimal. Kesuburan media sapih balsa dapat dibuktikan dari pertumbuhan tinggi dan diameter bibit tanpa FMA yang mencapai 33,5 cm untuk tinggi dan 4,6 mm untuk diameter batang, yang berdasarkan kriteria standar mutu bibit tanaman hutan (SNI: 8420-2018) termasuk berkualitas baik (Badan Standar Nasional, 2018). Selain itu juga kemungkinan berkaitan dengan kondisi media sapih secara alami sudah mengandung mikoriza, terlihat dari rata-rata persen infeksi akar pada bibit kontrol sebesar 3,75 %. Inokulasi mikoriza juga terbukti tidak berpengaruh terhadap penambahan jumlah daun, jumlah ruas, dan jumlah cabang tanaman lada (Ali, Subechan, &
Prasetia, 2017).
Efektivitas mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti faktor fisika dan kimia tanah. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa umumnya mikoriza memiliki respon yang berbeda-beda terhadap besarnya ketersediaan unsur P dan cenderung tidak berkembang secara optimal pada kondisi yang kaya hara seperti contohnya pada bibit E.
deglupta (Rosita, Budi, & Wulandari, 2017) dan Piper ningrum L. (Kumalawati, Kafrawi, &
Elfasila, 2015). Dalam penelitian ini kandungan hara P tersedia pada media sapih balsa tergolong sangat tinggi. Hal ini disebabkan proses simbiosis antara fungi mikoriza dengan akar tanaman terhambat akibat hara yang tersedia di sekitar perakaran dalam jumlah yang memadai (Kumalawati et al., 2015).
Demikian juga DSE yang berperan dalam pengambilan nutrisi dan air terutama dalam kondisi lingkungan tidak menguntungkan (Jumpponen, Mattson, & Trappe, 1998).
Carvalho et al., (2006) menyatakan bahwa eksudat DSE (Dreschlera sp.) dapat meningkatkan percabangan dan panjang hifa fungi mikoriza Gigaspora rosea. Selanjutnya Usuki dan Narisawa (2007) menyatakan bahwa DSE dapat bertindak sebagai fungi mikoriza melalui transfer nutrisi dua arah secara in vitro.
Namun dalam penelitian ini inokulasi FMA dan DSE secara bersamaan (double inoculation) pada suatu tanaman inang cenderung
menurunkan serapan hara P dari inokulasi FMA tunggal.
Persentase kolonisasi menggambarkan adanya simbiosis dan kesesuaian antara bibit balsa sebagai tanaman inang dengan FMA dan DSE. Namun besarnya kolonisasi akar tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan tanaman yang dikolonisasi, karena kemampuan dari FMA dalam mengikat unsur hara dari tanah dan mentransfer kembali hara tersebut ke dalam akar tanaman berbeda-beda (Iffis et al., 2014;
Rosita et al., 2017). Sesungguhnya bentuk simbiosis antara beberapa agens biokontrol dapat bersifat independen, sinergis, maupun antagonis, sehingga dapat menyebabkan berbagai kemungkinan seperti tidak saling memengaruhi, saling berkompetisi, sinergis dalam menimbulkan gejala penyakit atau menekan insidensi penyakit (Fitriani et al., 2019).
Selain rasio pucuk akar, parameter kesiapan bibit di lapangan lainnya adalah nilai indeks kekokohan bibit (sturdiness quotient) dan indeks mutu bibit. Kedua parameter tersebut menggambarkan performa bibit setelah ditanam di lapangan karena diukur berdasarkan kombinasi parameter morfologi bibit. Indeks kekokohan bibit dan indeks mutu bibit masing- masing berkisar 7,87 -9,53 dan 0,13-0,24.
Fungi FMA dan DSE cenderung menurunkan indeks kekokohan yang menggambarkan bibit yang kokoh.
Dede J. Sudrajat, Eliya Suita, dan Nurhasybi
IV. KESIMPULAN
Stimulan DSE KSP terbukti efektif pada beberapa parameter pertumbuhan morfologi bibit balsa. Kombinasi perlakuan FMA + DSE CPP dan FMA + DSE CPP serta FMA + DSE MM efektif meningkatkan ratio pucuk akar dan kolonisasi akar oleh DSE. Inokulasi FMA dan DSE baik secara single maupun double inoculation mampu meningkatkan serapan hara N,P, K dan kandungan klorofil daun pada bibit.
Pemberian FMA atau DSE serta kombinasinya menaikkan kandungan bahan organik C dan hara N media bibit. Selain itu terlihat pula kolonisasi fungi FMA dan DSE pada perakaran bibit balsa, sehingga diharapkan bibit dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang kurang subur, karena keberadaan kedua fungi tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih kepada Balai Penerapan Standar Instrument Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bogor, atas dukungan finansial serta perkenannya dalam penggunaan fasilitas laboratorium dan persemaian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Tati Suharti S.P., MSc Dina Agustina S.Si, Bapak Suherman serta Ibu Wildani Hafsari S.Hut, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, F., Subechan, M. A., & Prasetia, B. (2017).
Respons Pertumbuhan Lada Perdu terhadap Pemberian Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza ( Growth Response of Shrub Pepper to Application of Doses of Cow Manure and
Mycorrhiza ). Jurnal Agro Industri Perkebunan, 5(2), 79–88.
Binotto, A. F., Dal, A., Lúcio, C., & Lopes, S. J.
(2010). Correlations between growth variables and the Dickson quality index in forest seedling. Cerne Lavras, 16(4), 457–464.
Carvalho, L. M., Caçador, I., & Martins-Loução, M.
A. (2006). Arbuscular mycorrhizal fungi enhance root cadmium and copper accumulation in the roots of the salt marsh plant Aster tripolium L. Plant and Soil, 285(1- 2), 161–169. http://doi.org/10.1007/s11104- 006-9001-y
Fitriani, M. L., Wiyono, S., & Sinaga, M. S. (2019).
Potensi Kolonisasi Mikoriza Arbuskular dan Fungi Endofit dan Kemampuannya dalam Pengendalian Layu Fusarium pada Bawang Merah Colonization Potential of Arbuscular Mycorrhiza and Endophytic Fungi and Its Effectiveness in Control Fusarium Wilt on Shallot. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 15(6), 228–238. http://doi.org/10.14692/jfi.15.6.
Husna, Wilarso, S., Mansur, I., & Kusmana, C.
(2015). Respon pertumbuhan bibit kayu kuku (Pericopsis mooniana ( Thw.) terhadap inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Lokal.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 9(3), 131–
148.
Iffis, B., St-arnaud, M., & Hijri, M. (2014). Bacteria associated with arbuscular mycorrhizal fungi within roots of plants growing in a soil highly contaminated with aliphatic and aromatic petroleum hydrocarbons. FEMS Microbiol Lett, 358, 44–54. http://doi.org/10.1111/1574- 6968.12533
Istiqomah, N. F., Wilarso, S., & Wulandari, S. A.
(2017). Peran Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan asam humat terhadap pertumbuhan balsa (Ochroma bicolor Rowlee .) pada tanah terkontaminasi timbal (Pb).
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 7(1), 72–78.
Jumpponen, A., Mattson, K. G., & Trappe, J. M.
(1998). Mycorrhizal functioning of Phialocephala fortinii with Pinus contorta on glacier forefront soil: Interactions with soil nitrogen and organic matter. Mycorrhiza, 7(5), 261–265.
http://doi.org/10.1007/s005720050190 Junaedi, A., Hidayat, A., & Frianto, D. (2010).
Kualitas fisik bibit meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.) asal stek pucuk pada tiga tingkat umur. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, VII(3), 281–288.
Kumalawati, Z., Kafrawi, & Elfasila, I. (2015).
Kelimpahan Spora Dua Jenis Fungi Mikoriza Arbuskula pada Rizosfer bibit lada (Piper ningrum L.) setelah aplikasi pupuk majemuk.
Jurnal Agroplantae, 4(1), 35–40.
Lehmann, A., Veresoglou, S. D., Leifheit, E. F., &
Rillig, M. C. (2014). Arbuscular mycorrhizal in fl uence on zinc nutrition in crop plants - A meta-analysis. Soil Biology & Biochemistry, 69, 123–131.
Nusantara, A. D., Bertham, R. Y. H., & Mansur, I.
(2012). Bekerja dengan fungi mikoriza (Desember 2). Bogor: SEAMEO BIOTROP.
Oktaviani, M. A., & Usmadi. (2019). Pengaruh Bio- Slurry dan Fosfor terhadap pertumbuhan dan hasil bunga kol (Brassica oleraceae L.) dataran rendah. Jurnal Bioindustri, 01(02), 125–137.
Prayudyaningsih, R., & Ramdhana, S. (2016).
Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan kompos untuk meningkatkan pertumbuhan semai jati (Tectona grandis Linn . f .) pada media bekas tambang kapur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 5(1), 37–46.
Purba, P. R. O., Rahmawati, N., Kardhinata, E. H.,
& Sahar, A. (2014). Efektivitas beberapa jenis fungi mikoriza arbuskular terhadap pertumbuhan tanaman karet (Hevea brassiliensis Muell.Arg.) di pembibitan.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 2(2), 919–
932.
Rahmawati, R., Putir, P. E., Damiri, Tanduh, Y., &
Nursiah, N. (2020). Keragaman fungi mikoriza arbuskula( FMA ) di lahan gambut konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Jurnal Hutan Tropika, XV(1), 8–
19.
Ramadhan, B. C., Aziz, A. S., & Ghulamahdi, M.
(2015). Potensi kadar bioaktif yang terdapat pada daun kepel (Stelechocarpus burahol ).
Bul. Litrro, 26(2), 99–108.
Rosita, I., Budi, S. W., & Wulandari, A. S. (2017).
Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula dan
pupuk P terhadap pertumbuhan bibit leda (Eucalyptus deglupta Blume) di media tanah pasca tambang. Jurnal Silvikultur Tropika, 08(2), 96–102.
Sari, N. (2020). Review fungi endofit sebagai agen biokontrol serangan patogen pada tanaman.
Gontor Agrotech Science Journal, 6(1), 55–
73.
Sudha, V., Govindaraj, R., Baskar, K., Al-dhabi, N.
A., & Duraipandiyan, V. (2016). Biological properties of Endophytic Fungi.
Braz.Arch.Biol.Technol, 59(Jan/Dec), 1–7.
Sukapiring, D. N., Soekarno, B. P. W., & Yuliani, T. S. (2016). Potensi Metabolit Sekunder Fungi Endofit Tanaman Cabai sebagai Penghambat Fusarium sp . Patogen Asal Biji Secara in Vitro. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 12(1), 1–8.
http://doi.org/10.14692/jfi.12.1.1
Surono, Narisawa K. 2018. The inhibitory role of dark septate endophytic fungus Phialocephala fortinii against Fusarium disease on the Asparagus officinalis growth in organic source conditions. Biological Control. 121:159-167.
Susilowati, E., Riniarti, M., & Rini, M. V. (2019).
Asosiasi Glomus sp. dan Gigaspora matgarita pada bibit Aguilaria malaccensis. Menara Perkebunan, 87(2), 104–110.
Tuheteru, F. D., Arif, A., Widiastuti, E., &
Rahmawati, N. (2017). Serapan Logam berat oleh fungi mikoriza arbuskula lokal pada Nauclea orientalis L. dan potensial untuk fitoremediasi tanah serpentine. Jurnal Ilmu Kehutanan, 11, 76–84.
Usuki, F., & Narisawa, K. (2007). A mutualistic symbiosis between a dark septate endophytic fungus, Heteroconium chaetospira, and a nonmycorrhizal plant, Chinese cabbage.
Mycologia, 99(2), 175–184.
http://doi.org/10.3852/mycologia.99.2.175 Yulianti, T. (2013). Pemanfaatan Endofit Sebagai
Agensia Pengendali Hayati Hama dan Penyakit Tanaman. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Atsiri, 5(1), 40–
49.