• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon)."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERHASILAN APLIKASI PANGKAS AKAR DAN

INOKULASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT

MELINJO (

Gnetum gnemon

)

ASEP KURNIAWAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ASEP KURNIAWAN. Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon). Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI.

Aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo dapat meningkatkan kolonisasi ektomikoriza tetapi belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo selama 6 bulan inokulasi. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui pengaruh penambahan media tanam dan waktu pengamatan terhadap keberhasilan aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi, sumber inokulum sebagai petak utama terdiri atas 3 taraf (kontrol, bibit bermikoriza, inokulum tanah). Tingkat pangkas akar sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf (0%, 30%, dan 50%). Pengamatan dilakukan pada bulan ke-9, 10, 11 setelah bibit diinokulasi. Penambahan media tanam dan penambahan waktu pengamatan dapat meningkatkan keberhasilan aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza terlihat dari pertumbuhan bibit melinjo. Inokulasi fungi ektomikoriza mulai memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Kombinasi tingkat pangkas akar 50% dengan inokulasi menggunakan inokulum tanah memberikan interaksi yang terbaik pada peubah banyaknya cabang akar baru yang terbentuk pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Pada bulan ke 11 setelah inokulasi ditemukan tubuh buah Scleroderma sp. pada bibit melinjo yang diinokulasi fungi ektomikoriza.

Kata kunci : ektomikoriza, inokulasi, melinjo, pangkas akar, scleroderma

ABSTRACT

ASEP KURNIAWAN. The Success Root Pruning Application and Ectomycorrizhal Fungi Infection of Melinjo (Gnetum gnemon) Seedling’s. Supervised by ARUM SEKAR WULANDARI.

The application of root pruning and ectomycorrizhal fungi inoculation can be

increase ectomycorrizha’s colonization but no significan effect to melinjo seedling’s growth on the 6th month after inoculation. The aim of this research are to knowing the influence of the additional planting medium and the observation’s duration of root pruning application and ectomycorrizhal fungi inoculation on melinjo seedling’s. This research is conducted by split plot design. The ectomycorrizhal fungi inoculation as the main plot consists 3 types: control, ectomycorrizhae seedling, and soil inoculum. The root pruning as sub plot also consists 3 types, there are: 0%, 30%, and 50%. Observation is conducted on the 9th, 10th, 11th month after inoculation. The additional of planting medium and the additional of observations’s duration can increase success root pruning application and ectomycorrizhal fungi inoculation of melinjo seedling’s growth. Ectomycorrizhal fungi inoculation influenced of melinjo seedling’s growth on the 9th month after inoculation. The combination of root pruning level of 50 % and inoculation by soil inoculum showed the best interaction of new branches rooted on 9th month after inoculation. On the 11th month after inoculation the fruiting bodies of scleroderma sp. of melinjo seedling had found.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

KEBERHASILAN APLIKASI PANGKAS AKAR DAN

INOKULASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT

MELINJO (

Gnetum gnemon

)

ASEP KURNIAWAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada M. Toha dan Titin selaku orang tua, serta seluruh keluarga penulis atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Wahyu, Devina, dan Vivi, kepada teman-teman Departemen Silvikultur 47 dan keluarga besar Silvikultur yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Penelitian 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Hasil 5

Pembahasan 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi 4 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo yang

diberi perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza selama

3 bulan pengamatan 5

3 Pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan pangkas akar selama

3 bulan pengamatan 6

4 Korelasi antara pangkas akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan

ke-11 setelah inokulasi 7

5 Pertumbuhan bibit melinjo dengan diberi perlakuan inokulasi fungi

ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan 8

6 Interaksi antara perlakuan pangkas akar dengan inokulasi fungi ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo 9 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektimikoriza pada

bibit melinjo dengan perlakuan pangkas akar dengan inokulasi fungi

ektomikoriza 9

8 Persentase bibit terinfeksi akibat pangkas akar dan inokulasi fungi

ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan 10

DAFTAR GAMBAR

1 Percabangan akar melinjo setelah diberikan perlakuan pemangkasan

akar 7

2 Performasi pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pangkas akar

terhadap inokulasi fungi ektomikoriza 8

3 Akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza 10

4 Persentase akar melinjo yang terinfeksi berdasrkan tingkat pangkas akar

pada bulan ke-11 setelah inokulasi 10

5 Persentase akar melinjo terinfeksi akibat inokulasi fungi ektomikoriza

pada bulan ke-9 setelah inokulasi 11

6 Tubuh buah pada bibit melinjo yang terbentuk akibat infeksi akar

(11)
(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ektomikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara fungi pembentuk ektomikoriza dengan akar tanaman tingkat tinggi, tanaman memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Beberapa manfaat ektomikoriza bagi pertumbuhan tanaman antara lain; mikoriza membantu penyerapan unsur hara (Allen et al. 2003; Dehlin et al. 2004; Lilleskov et al. 2002; Baghel et al. 2009), meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Dell 2002; Dunabeitia et al. 2004), meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Onguene dan Kuyper 2002; Whipps 2004), dan pada beberapa spesies fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) (Hall et al. 2003; Wulandari 2002; Yamada et al. 2007). Fungi ektomikoriza merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan dan umum ditemukan pada hutan-hutan tropis di daerah Asia (Simard dan Durral 2004; Dell 2002; Brearly et al. 2007; Amaronpitak et al. 2006), berasosiasi dengan tanaman dari famili Dipterocarpaceae (Turjaman et al. 2006), Pinaceae (Chen 2006), dan Gnetaceae (Wulandari 2002).

Melinjo (Gnetum gnemon) memiliki syarat tumbuh yang tidak sulit, dapat tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan seperti tanah liat, berpasir ataupun lempung, dengan kisaran pH yang cukup luas, sedikit asam hingga netral (4−6). Melinjo memiliki berbagai manfaat seperti biji melinjo bisa diolah menjadi bahan makanan, kulit melinjo memiliki kandungan senyawa antimikroba, zat pewarna alami yang aman digunakan untuk makanan, dan enzim pensintesis asam urat (Wulandari et al. 2012). Tanaman melinjo diketahui dapat membentuk asosiasi dengan fungi ektomikoriza tetapi kajian tentang hal tersebut masih sedikit dilakukan (Wulandari 2002, Riniarti 2010). Asosiasi ektomikoriza pada melinjo dapat terjadi secara alami, tetapi ketersediaan bibit berektomikoriza masih sangat sedikit, sehingga diperlukan penyediaan bibit melalui inokulasi buatan untuk menghasilkan bibit melinjo bermutu baik, karena penampakan fisik bibit berektomikoriza umumnya lebih kekar (vigor), tumbuh lebih cepat, dan mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan penanaman yang baru (Jones et al. 2003).

Menurut Riniarti (2010), keberhasilan aplikasi ektomikoriza pada tanaman kehutanan ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aplikasi teknologi inokulasi yang sesuai (Riniarti 2010). Inokulasi bibit melinjo dengan fungi ektomikoriza sebaiknya dilakukan pada saat bibit masih muda, untuk mendapatkan bibit yang terkolonisasi dengan baik (Krüger et al. 2004). Inokulasi yang dilakukan pada bibit berumur 16 bulan menghasilkan jumlah bibit terinfeksi sebesar 40% (Wulandari 2002). Jaringan akar yang sudah banyak yang berkayu kemungkinan besar menjadi faktor penyebab kecilnya persentase bibit melinjo yang terinfeksi oleh ektomikoriza. Metode pangkas akar dapat meningkatkan tumbuhnya akar-akar lateral baru (Pourmajidian et al. 2009). Tumbuhnya akar lateral akibat pangkas akar diharapkan dapat meningkatkan infeksi fungi ektomikoriza.

(14)

2

keterbatasan nutrisi dalam polibag dan waktu pengamatan yang kurang lama (Febrianingrum 2014). Pada tahap awal inokulasi umumnya sebagian besar hasil fotosintesis digunakan untuk mendukung terbentuknya asosiasi ektomikoriza. Adanya ektomikoriza pada bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-6 belum tentu membantu bibit melinjo dalam meningkatkan pertumbuhan, karena terbentuknya kolonisasi ektomikoriza yang efektif membutuhkan waktu yang lama yaitu 10 sampai 12 bulan (Santoso et al .2007). Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan dengan penambahan unsur hara dan penambahan waktu pengamatan lebih dari 6 bulan.

Perumusan masalah

Teknik pangkas akar pada bibit melinjo dapat meningkatkan keberhasilan kolonisasi ektomikoriza 4 bulan setelah perlakuan, tetapi kolonisasi ektomikoriza yang terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari et al. 2013). Kolonisasi ektomikoriza juga belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan. Hal tersebut diduga karena keterbatasan nutrisi dan waktu pengamatan yang kurang lama (Febrianingrum 2014). Ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya pada tahap awal infeksi (Bertham 2011). Kolonisasi ektomikoriza berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit setelah 10 sampai 12 bulan inokulasi (Santoso et al. 2007), sehingga dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan unsur hara dan penambahan waktu pengamatan.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan media tanam dan waktu pengamatan terhadap keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi (BSI).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu diperolehnya tingkat pangkas akar yang tepat pada bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi (BSI) yang dapat meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, dari bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014. Lokasi penelitian di laboratorium dan rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Alat

(15)

3

Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Tanam

Bibit Melinjo. Bibit melinjo yang digunakan berumur 14 bulan yang telah diberi perlakuan pangkas akar dan diinokulasi dengan fungi ektomikoriza pada saat berumur 7 bulan. Perlakuan pangkas akar dilakukan dengan 3 taraf, yaitu 0% (kontrol), 30%, dan 50%. Inokulasi fungi ektomikoriza dilakukan dengan 3 taraf, yaitu tanpa inokulasi (kontrol), inokulasi dengan inokulum bibit bermikoriza, dan inokulasi dengan inokulum tanah.

Persiapan Media Tanam. Media awal yang digunakan pada bibit melinjo umur 14 bulan adalah campuran tanah, pasir, kompos dan arang sekam. Media sapih yang digunakan ialah campuran tanah, kompos, cocopeat, dan arang sekam dengan perbandingan 3:3:3:1 (v/v/v/v). Media yang sudah tercampur dimasukkan ke dalam polibag yang berukuran lebih besar dari polibag awal. Pemindahan bibit dilakukan dengan melepas polibag sebelumnya dan menyertakan tanah awal dengan hati-hati agar tanah tetap utuh dan tidak hancur ketika dipindahkan ke media baru. Penyiraman dilakukan 3 hari sekali.

Pengamatan dan Pengambilan Data

Tinggi Bibit (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan penggaris. Bibit diukur mulai dari leher akar (batas antara batang dengan akar diatas permukaan tanah) hingga pucuk. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali.

Diameter Batang (mm). Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan kaliper. Bibit diukur dengan jarak 1−2 cm di atas leher akar yang sudah diberi tanda dengan spidol permanen. Pengkuran dilakukan 6 minggu sekali.

Biomassa Akar dan Pucuk (g). Perhitungan biomassa dilakukan dengan mengukur berat basah (BB) dan berat kering (BK) akar dan pucuk. Pengambilan data dilakukan pada 9, 10, 11, bulan setelah inokulasi (BSI). Pengukuran berat basah dan berat kering dilakukan dengan memisahkan tanaman dari media tanam, Akar dicuci dari kotoran dan tanah yang menempel, kemudian bagian akar dan pucuk dipisahkan. Berat basah ditimbang sebelum akar dan pucuk dikreingkan, berat kering didapatkan setelah akar dan pucuk dikeringkan dalam oven pada suhu 70 °C selama 120 jam.

Pengamatan Akar. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan bibit dari media tanam, kemudian diamati dengan kaca pembesar dan mikroskop. Pemeriksaan dilakukan pada 9, 10, 11 bulan setelah inokulasi (BSI). Pemeriksaan akar dilakukan untuk mengetahui persentase kolonisasi ektomikoriza, pertumbuhan akar setelah dipangkas, dan jumlah bibit yang terinfeksi. Pertumbuhan akar setelah dipangkas diamati dengan menghitung jumlah akar yang bercabang akibat pemangkasan akar dan banyaknya cabang yang terbentuk. Persentase kolonisasi ektomikoriza dan bibit terinfeksi dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase kolonisasi mikoriza umlah akar lateral terinfeksi mikoriza umlah seluruh akar lateral 100

(16)

4

Analisis Data

Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi. Inokulasi fungi ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri atas 3 taraf yaitu: tanpa inokulasi (kontrol), inokulasi dengan bibit berektomikoriza dan inokulasi dengan inokulum tanah. Sebagai anak petak ialah tingkat pangkas akar yang terdiri atas 3 taraf yaitu: 0%, 30%, dan 50%. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan, dengan 1 ulangan terdiri atas 7 bibit melinjo. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA), apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf kesalahan 5%. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SAS versi 9.1.3 portable dan SPSS. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara pangkas akar dengan kolonisasi ektomikoriza maupun pertumbuhan bibit. Pedoman untuk memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi*

*Sumber: Sarwono (2008).

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

= Nilai pengamatan pada faktor inokulasi fungi ektomikoriza taraf ke-i, faktor tingkat pemangkasan akar taraf ke-j, dan ulangan ke-k

= Nilai tengah (rataan) umum

= Pengaruh perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada taraf ke-i = Pengaruh perlakuan taraf pemangkasan akar pada taraf ke-j

= Pengaruh interaksi antara perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada taraf ke-i dan pemangkasan akar pada taraf ke-j

= Galat acak dari perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada taraf ke-i dan ulangan ke-k

= Galat acak percobaan

= Taraf inokulasi fungi ektomikoriza (tanpa diinokulasi fungi ektomikoriza,

(17)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Ragam Data Hasil Pengukuran

(18)

6

Tabel 3 Pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan pangkas akar selama 3 bulan pengamatan BB: berat basah, BK: berat kering, tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf 5%, **: berbeda nyata pada taraf 1 % (uji jarak berganda Duncan)

Pengamatan bibit melinjo dilakukan pada bulan ke-9, 10, 11 setelah bibit diinokulasi (BSI). Pertumbuhan bibit melinjo yang diamati meliputi perkembangan akar bibit dan pertumbuhan tajuk bibit. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Tabel 2.

(19)

7

Gambar 1 Percabangan akar melinjo setelah diberikan perlakuan pemangkasan akar: (a) akar lateral normal, (b) akar lateral bercabang 2, (c) akar lateral bercabang 3.

Pertumbuhan Bibit Melinjo

Perlakuan pangkas akar berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan bibit melinjo yang diamati. Pangkas akar 30% memberikan pengaruh sangat nyata terhadap peubah jumlah akar yang bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk dibandingkan dengan perlakuan pangkas akar yang lainnya. Perlakuan pangkas akar juga memberikan pengaruh nyata terhadap berat basah dan berat kering akar, selain itu perlakuan pangkas akar memberikan pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan tajuk bibit. Pengaruh perlakuan pangkas akar disajikan pada Tabel 3. Korelasi antara perlakuan pangkas akar dengan peubah pertumbuhan tinggi dan berat kering akar menunjukkan korelasi yang lemah dan positif. Artinya semakin tinggi tingkat pangkas akar maka akan diikuti peningkatan nilai peubah tersebut dan hubungan keduanya signifikan. Korelasi pangkas akar dengan peubah pertumbuhan diameter batang positif, korelasinya sangat lemah, dan hubungan keduanya tidak signifikan. Korelasi kuat dan positif terlihat pada perlakuan pangkas akar dengan peubah berat kering pucuk, hubungan keduanya signifikan. Nilai korelasi yang tidak signifikan menunjukkan bahwa peningkatan pangkas akar tidak memberikan peningkatan pertumbuhan yang signifikan terhadap bibit melinjo tersebut, begitu juga sebaliknya. Nilai korelasi antara pangkas akar dengan peubah pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Korelasi antara pangkas akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-11 setelah inokulasi

tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf 5%, **: berbeda nyata pada taraf 1%

Peubah Uji F Koefisien korelasi (r)

Pertumbuhan tinggi bibit (cm) * 0.436

Pertumbuhan diameter batang (mm) tn 0.090 Berat kering akar ( ) * 0.481 Berat kering pucuk ( ) ** 0.533

(20)

8

Tabel 5 Pertumbuhan bibit melinjo dengan diberi perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

BB: berat basah, BK: berat kering, angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan inokulasi ektomikoriza mulai memberikan pengaruh pada peubah jumlah akar yang bercabang, banyaknya cabang baru, dan tinggi pada bulan ke-9 setelah inokulasi (BSI). Inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah memberikan hasil yang baik pada peubah tinggi. Gambar 2 menunjukkan performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat perlakuan pangkas akar.

Gambar 2 Performansi pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pangkas akar 0%, 30%, dan 50% terhadap inokulasi fungi ektomikoriza: (a) kontrol, (b) bibit bermikoriza, dan (c) inokulum tanah

Pengaruh Interkasi Tingkat Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza terhadap Pertumbuhan Bibit Melinjo

Interaksi antara tingkat pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo terlihat pada komponen perkembangan akar bibit yaitu pada jumlah akar yang bercabang 10 BSI dan banyaknya cabang baru

Peubah Umur

(BSI) Uji

F

Inokuasi fungi ektomikoriza Kontrol Bibit

bermikoriza

Inokulum tanah Perkembangan akar bibit

Jumlah akar yang bercabang 9 tn 1.55a 3.75a 1.66a 10 * 1.00b 1.11ab 1.89a

11 tn 2.89a 1.33a 1.89a

Banyaknya cabang baru 9 ** 1.57b 5.14ab 6.58a

10 tn 3.50a 4.81a 4.47a

11 tn 4.67a 6.66a 6.00a

Pertumbuhan tajuk bibit

Tinggi bibit (cm) 9 * 3.87b 4.76ab 5.50a

10 ** 5.01b 5.92ab 7.86a 11 * 6.31b 6.67ab 8.71a

(21)

9 yang terbentuk 9 BSI. Pada Tabel 5 dapat terlihat bahwa jumlah akar yang bercabang tertinggi 10 BSI dihasilkan oleh interaksi antara tingkat pangkas akar 30% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah, dan untuk banyaknya cabang baru yang terbentuk tertinggi 9 BSI dihasilkan oleh kombinasi antara tingkat pangkas akar 50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah.

Tabel 6 Interaksi antara perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo

Tingkat pangkas akar (%)

Inokulasi fungi ektomikoriza

Kontrol Bibit bermikoriza Inokulum tanah Jumlah akar yang bercabang 10 BSIª

0 0.00c 0.00c 0.00c 30 2.00ab 1.00bc 3.00a 50 1.00bc 2.33a 2.66a

Banyaknya cabang baru yang terbentuk 9 BSIª

0 0.00c 2.50bc 1.00bc

30 4.72bc 5.00bc 6.08b

50 5.44b 4.55bc 12.66a ªAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); BSI: bulan setelah inokulasi.

Tingkat Kolonisasi Ektomikoriza

Peubah yang diamati pada kolonisasi ektomikoriza ialah persentase akar terinfeksi dan persentase bibit terinfeksi. Pengamatan tingkat kolonisasi ektomikoriza bertujuan untuk mengetahui keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza akibat diberikan perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza. Hasil analisis ragam tingkat kolonisasi fungi ektomikoriza dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa persentase akar terinfeksi berpengaruh nyata terhadap perlakuan pangkas akar dan sumber inokulum pada pengamatan bulan ke-9, 10, 11 setelah inokulasi (BSI), namun tidak adanya interaksi antara kedua peubah tersebut. Peubah persentase infeksi bibit dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo dengan perlakuan tingkat pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%

(22)

10

Tabel 8 Persentase bibit terinfeksi akibat diberikan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

BSI: bulan setelah inokulasi

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa bibit-bibit yang terinfeksi fungi ektomikoriza akibat pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza mengalami peningkatan persentase infeksi bibit setiap bulannya. Pada pengamatan bulan terakhir menunjukkan bahwa semua bibit yang diamati terinfeksi fungi ektomikoriza akibat perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza. Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza dapat menyebabkan akar melinjo terinfeksi fungi ektomikoriza.

Gambar 3 Infeksi fungi ektomikoriza: (a) akar yang tidak terinfeksi, (b) akar yang teriinfeksi, (c) ektomikoriza

Perlakuan pangkas akar memberikan pengaruh yang nyata terhadap akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada bulan ke-11 setelah inokulasi tingkat pangkas akar 50% memberikan hasil infeksi akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pangkas akar lainnya.

Gambar 4 Persentase akar melinjo yang terinfeksi berdasarkan tingkat pangkas akar pada bulan ke-11 setelah inokulasi. Garis vertical di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf uji 5%.

(23)

11

Gambar 5 Persentase akar melinjo terinfeksi akibat inokulasi fungi ektomikoriza pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Garis vertical di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf uji 5%.

Gambar 5 menunjukkan persentase akar melinjo yang terinfeksi fungi ektomikoriza akibat perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa bibit melinjo yang diinokulasi menggunakan inokulum tanah memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan sumber inokulum lainnya.

Gambar 6 Tubuh buah pada bibit melinjo yang terbentuk akibat infeksi akar bermikoriza: (a) muncul di permukaan, (b) di samping

Perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza mengakibatkan terjadinya kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. Pada tahap yang lebih lanjut infeksi akar ini akan mengakibatkan terbentuknya tubuh buah dari fungi ektomikoriza seperti pada Gambar 6. Tubuh buah tersebut ditemukan pada bibit melinjo bermikoriza yang sebelumnya diberi perlakuan pangkas akar 30%. Pada penelitian ini ditemukan 3 bibit yang muncul tubuh buahnya.

(24)

12

Pembahasan

Teknik pangkas akar pada bibit melinjo dapat meningkatkan keberhasilan kolonisasi ektomikoriza 4 bulan setelah perlakuan, tetapi kolonisasi ektomikoriza yang terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari et al. 2013). Inokulasi fungi ektomikoriza belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan, hal tersebut diduga karena keterbatasan nutrisi dalam polibag dan waktu pengamatan yang kurang lama (Febrianingrum 2014). Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa penambahan media tanam pada bibit meinjo dapat membantu proses pertumbuhan bibit melinjo 11 bulan setelah diinokulasi. Unsur hara yang terkandung dalam media tanam digunakan sebagai bahan baku nutrisi untuk pertumbuhan bibit melinjo. Fungi ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk mendukung petumbuhannya (Bertham 2011). Inokulasi fungi ektomikoriza berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan bibit melinjo yaitu pada peubah tinggi bibit setelah 11 bulan inokulasi. Pembentukan struktur mikoriza terjadi setelah 3 bulan diinokulasi, sedangkan peningkatan pertumbuhannya baru dapat dilihat setelah enam bulan. Data yang didapat menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza memberikan hasil pertumbuhan tanaman yang lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa inokulasi, hal tersebut disebabkan inokulasi fungi ektomikoriza setelah 6 bulan perlakuan telah melewati tahap perkembangan struktur vegetatif dengan jalan pemberian unsur P yang lebih banyak sehingga mendorong pertumbuhan tanaman.

Adanya fungi ektomikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan penyerapan unsur hara P. Peningkatan kandungan P dalam jaringan tanaman dapat mempercepat pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem tanaman sehingga berakibat lebih lanjut terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter. Bibit yang diinokulasi dengan inokulum tanah pada bulan ke-11 setelah inokulasi menunjukkan pertumbuhan yang tertinggi, lebih baik 57.9% dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan penelitian Riniarti (2010) inokulasi fungi ektomikoriza memberikan pertambahan tinggi bibit melinjo yang terus meningkat setiap bulannya. Inokulasi menggunakan inokulum tanah lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan oleh fragmen-fragmen miselium dari inokulum tanah lebih mudah menyebar di sela-sela akar lateral dibandingkan dengan miselium dari bibit bermikoriza, sehingga memudahkan fungi kontak dengan akar untuk menginfeksi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penyerapan unsur P dari dalam tanah untuk proses pertumbuhan bibit. Miselium dari akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza merupakan organ penting yang berperan dalam penyerapan unsur hara pada tanaman inang (Nara 2006).

(25)

13 pangkas akar memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah akar yang bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk. Pangkas akar dapat merangsang pertumbuhan akar lateral pada bibit melinjo umur 7 bulan (Wulandari et al. 2013) dan 2 bulan (Pamujianto 2014). Penambahan jumlah akar dan banyaknya cabang baru yang terbentuk akibat pangkas akar berpengaruh terhadap biomassa akarnya.

Tingkat pangkas akar 30% dan 50% memberikan hasil yang lebih baik terhadap pertumbuhan tinggi bibit melinjo dan biomassa bibit melinjo dibandingkan bibit melinjo yang tidak diberikan perlakuan pangkas akar. Pangkas akar pada bibit melinjo memberikan pengaruh nyata terhadap biomassa akar tanaman bulan ke-10 dan ke-11 setelah inokulasi. Hal tersebut terjadi karena nutrisi yang diserap oleh akar tanaman sudah digunakan untuk pertumbuhan akar sehingga mengkakibatkan biomassa akar tanaman tersebut bertambah. Pertumbuhan akar yang baik ditandai oleh tingginya nilai biomassa akar yang menunjukkan volume akar. Volume akar yang besar mengakibatkan serapan air dan unsur hara yang baik. Dengan semakin banyaknya jumlah akar dan cabang baru yang terbentuk akibat pangkas akar, maka semakin besar pula luas bidang penyerapan air dan mineral oleh tanaman (Campbell et al. 2003).

Perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kolonisasi fungi ektomikoriza. Pada bulan ke-11 setelah inokulasi pangkas akar 30% dan 50% meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada akar bibit melinjo dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat pangkas akar 30% dan 50% mampu meningkatkan tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo umur 6 bulan setelah inokulasi (Febrianingrum 2014). Inokulasi fungi ektomikoriza juga memberikan pengaruh nyata pada bulan ke-9 setelah inokulasi.

Kolonisasi mikoriza pada akar bervariasi dari sangat tinggi (100%) sampai sangat rendah (0%) bergantung kepada jenis pohon dan spesies fungi mikorizanya (Santosa 2007). Inokulasi fungi ektomikoriza menggunakan bibit yang bermikoriza menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada inokulasi menggunakan inokulum tanah. Hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara bibit melinjo perlakuan dengan bibit melinjo sebagai sumber inokulum dalam alokasi nutrisi dan air dalam polibag yang sama. Ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya pada awal infeksi (Bertham 2011). Kompetisi didefinisikan sebagai pengaruh negatif suatu spesies terhadap spesies lainnya yang berhubungan dengan alokasi sumberdaya, atau pembatasan akses sumberdaya yang ada (Keddy 2007). Hasil penelitian Kennedy et al. (2009) menunjukkan bahwa waktu pembentukkan kolonisasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kompetisi antar fungi ektomikoriza.

(26)

14

digunakan dalam penelitian ini ialah Scleroderma sp., termasuk dalam divisi Basidiomycota. Beberapa fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia. Salah satu fungi ektomikoriza yang tubuh buahnya dapat dikonsumsi ialah Scleroderma sinnamariense. Tubuh buah yang masih muda (warna glebanya masih putih dapat dikonsumsi sebagai bahan sayuran (Wulandari 2002).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan media tanam dan penambahan waktu pengamatan dapat meningkatkan keberhasilan aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo setelah 11 bulan perlakuan. Kolonisasi ektomikoriza memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-10 dan ke-11 setelah inokulasi. Tingkat pangkas akar 50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah memberikan kolonisasi terbaik pada bibit melinjo setealah 11 bulan dinokulasi.

Saran

Perlakuan pangkas akar 50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan menggunakan inokulum tanah dapat memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan akar dan tajuk bibit melinjo, oleh karena itu perlu penerapan perlakuan tersebut terhadap tanaman kehutanan lainnya untuk mengetahui pengaruhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Allen MF, Hipps LE, Wooldridge GL. 1998. Wind dispersal and subsequent establishment of VA mycorrhizal fungi across a successional arid landscape. Landscape Ecology 2(3):165-171.

Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303.

Baghel RK, Sharma R, Pandey AK. 2009. Activity of acid phosphatase in the ectomycorrhizal fungus Cantharellus tropicalis under controlled conditions. J Trop For Sci 21(3):218–222.

(27)

15 kedelai di ultisol, Bengkulu, Indonesia. Di dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 11-19.

Brearly FQ, Scholes JD, Press CM, Palfner G. 2007. How does light and phosphorus fertilization affect the growth and ectomycorrhizal community of two contrasting dipterocarp spesies. Plant Ecol 192:237–249.

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Chen Y. 2006. Optimizing Scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University.

Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi for inoculating plantationsin south China: effect of Scleroderma on colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259.

Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586.

Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J 1:47–55.

Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role inthe mycorrhization of Pinus radiata D. Don. Mycorrhiza 14:11–18.

Febrianingrum HW 2014. Pruning akar untuk meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 7 bulan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal

mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438.

Jones MD, Durall DM, Cairney WG. 2003. Ectomycorrhizal fungal communities at forest edges. New Phytol. 157:399-422.

Keddy PA. 2007. Plant and Vegetation. New york (US): Cambridge University Press.

Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107. Krüger A, Berghöfer TP, Frettinger P, Herrmann S, Buscot F, Oelmüller R. 2004.

Identification of premycorrhiza-related plant genes in the association between Quercus robur and Piloderma croceum. New Phytol. 163:149-157. doi:10.1111/j.1469-8137.2004.01091.x.

Lilleskov EA, Fahey TJ, Horton TR, Lovett GM. 2002. Belowground ectomycorrhizal fungal community change over a nitrogen deposition gradient in Alaska. Ecology 83:104–115.

(28)

16

Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17.

Pamujianto R. 2014. Pruning akar untuk meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 2 bulan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pourmajidian MR, Ammi S, Taban M, Spahbodi K, Parsakhoo A. 2009. Effect of the extent of root pruning on growth, biomass, and nutrient content of oak (Quercus castaneifolia C.A.Mey,) seedlings. JABS 3(1):87-91.

Riniarti M. 2010. Dinamika kolonisasi 3 fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dan hubungannya dengan pertumbuhan tanaman inang [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santosa PB et al. 2011.Kolonisasi mikoriza pada jenis-jenis tanaman hutan rawa gambut. Di dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 290-294.

Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian; 2006 Sep 20; Padang, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. hlm:71-80.

Sarwono. 2008. Prosedur-prosedur popular statistik untuk mempermudah riset skripsi. Korelasi. [Internet]. [diunduh 2014 agu]. Tersedia pada; http//www.jonathansarwono.infokorelasi/korelasi.htm.

Simard SW, Durral DM. 2004. Mycorrhizal networks: a review of their extent, function, and importance. Can J Bot 82:1140–1165.

Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growthand nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of

Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 116—203.

Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82:1198–1227.

Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wulandari S, Subandi, Muntolib. 2012. Inhibisi xantin oksidase oleh ekstra etanol

(29)

17 http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel5ECD9DCBF08E100E0AC A3C5AF4C0 7164.pdf.

Wulandari AS, Supriyanto, Febrianingrum HW. 2013. Pruning akar: teknik untuk meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. [editor tidak diketahui]. Mikoriza untuk Membangun Kemandirian Pertanian dan Pelestariam Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza III; 2013 Nov 25-26; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm: 21-22.

Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108.

(30)

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Juni 1992 dari ayah M. Toha dan ibu Titin. Penulis adalah putra ke-5 dari 6 bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di keanggotaan TGC (Tree Grower Community) dan beberapa kepanitian di dalam kampus maupun di luar kampus. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang Timur-Papandayan, kegiatan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat serta kegiatan Praktik Kerja Profesi (PKP) di Divisi Rehabilitation and Reclamation di PT Jorong Barutama Greston, Kalimantan Selatan.

Gambar

Tabel 1  Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi*
Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo yang
Tabel 3  Pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan pangkas akar selama 3
Tabel 5 Pertumbuhan bibit melinjo dengan diberi perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

kognitif, afektif dan psikomotorik berdasarkan ajaran Islam kearah terbentuknya kepribadian yang utama. Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua

Graph demand curve for good X from indifference and budget constraint curve, show the quantity of demand at any level of pricea. What is difference between Marshallian Demand

Kesibukan para pemerintah negeri Islam terhadap masalah peribadi, perpecahan dalaman seperti perebutan kuasa di antara mereka, serta minat pihak berkuasa dalam

Kelompok kontrol akan tetap diberikan pakan standar, sedangkan kelompok perlakuan akan diberikan yoghurt koro pedang selama 3 minggu (hari ke-19 sampai 39).. Pengukuran

Hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi kadar lemak yang dihasilkan semakin tinggi karena semakin lama waktu fermentasi maka bobot air bahan semakin

Diketahui sifat organoleptik pada rasa dari snack bar berbahan campuran tepung cassava dan tepung kacang merah, dan snack bar yang memiliki tingkat kesukaan

Tehnik bermain sepakbola adalah semua gerakan- gerakan tanpa bola dan dengan bola (Sukatamsi, 1985:33), tehnik dasar pemain sepakbola mahasiswa Unsri sejauh ini masih kategori belum

Informasi yang dihasilkan dari proses penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk pemahaman terhadap objek yang berhasil direkam,.. menghasilkan informasi baru yang