• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penguasaan Lahan Di Kabupaten Lamongan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penguasaan Lahan Di Kabupaten Lamongan"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGUASAAN

LAHAN DI KABUPATEN LAMONGAN: ANALISIS SENSUS

PERTANIAN 2013

ALFIANA AINURRAHMA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan: Analisis Sensus Pertanian 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Alfiana Ainurrahma

(4)

ABSTRAK

ALFIANA AINURRAHMA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO.

Pola penguasaan lahan memengaruhi efektivitas sektor pertanian. Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan pertanian dan menghitung koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan. Data yang digunakan adalah data cross section rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan . Data diperoleh dari Sensus Pertanian 2013 dengan total observasi sebanyak 189.343 rumah tangga pertanian. Penelitian ini menggunakan Analisis Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, ukuran rumah tangga, dan jenis pendapatan utama secara signifikan memengaruhi penguasaan lahan basah. Sedangkan faktor yang tidak signifikan memengaruhi penguasaan lahan kering adalah jenis kelamin kepala rumah dan usia kepala rumah tangga. Terkait lahan basah sebagai sarana akumulasi aset bagi rumah tangga petani, hasil regresi menunjukkan bahwa petani mengalami penurunan dalam akumulasi marjinal lahan basah. Selain itu, koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan adalah 0,49 dan menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian antar rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan cukup moderat.

Kata kunci: Analisis Regresi Berganda, Akumulasi Aset, Koefisien Gini, Penguasaan Lahan

ABSTRACT

ALFIANA AINURRAHMA. The Determinants of Land Holding: An Analysis of Agricultural Census. Supervised by NUNUNG NURYARTONO

Pattern of land holding will affects agricultural sector’s effectivity. This study aims to identify determinants of wet land and dry land held by farm household and to determine Gini coefficient of agricultural land in Lamongan District. Data was obtained from Agricultural Census 2013. Specifically, this study utilizes household cross sectional data with 189,343 observations. This research utilizes Multiple Regression Analysis. The result shows that age, gender of household head, household size, main source of income, and dummy for asset are significantly influencing wet land holding, while factors insignificantly affecting dry land holding is gender of household head and age. Regarding wet land as an asset accumulation, the result shows that farmers experience a decreasing marginal accumulation on wet land. The Gini coefficient of agricultural land in Lamongan District is 0.49 and shows that Lamongan District experiences moderate inequality in term of land holding.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGUASAAN

LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN LAMONGAN:

ANALISIS SENSUS PERTANIAN 2013

ALFIANA AINURRAHMA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr Nunung Nuryartono selaku pembimbing dan kepada Dr Lukytawati Anggraeni, Dr Toni Irawan, Dr Syamsul Pasaribu, Dr Tanti Novianti, serta Triana Anggraenie, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Yeti Lis Purnamadewi sebagai penguji utama dan kepada Dr Eka Puspitawati sebagai penguji dari Komisi Pendidikan karena telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Penelitian ini merupakan bagian dari kerjasama penelitian antara Australia-Indonesia dan dibiayai oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Selain itu, penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada dosen-dosen Departemen Ilmu Ekonomi atas semua ilmu dan didikan yang telah diberikan. Kepada Komdik dan staf Departemen Ilmu Ekonomi, khususnya kepada Mbak Okta, penulis berterima kasih atas arahan dan dukungan selama berkuliah.

Selanjutnya, ucapan terima kasih tertuju kepada sahabat penulis: Ening Dwi Jawaty, Zulva Azijah, Try M. Subiha, Faizal Amir, Feriansyah, Khodijah Mustaqimah, dan 179.5A248. Mereka telah menjadi pendukung dan penghibur yang sangat menyenangkan. Kepada rekan “Pak Nunung’s Squad”: Pristi, Mico, Laung, Desna, dan Ulfah, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan selama pengerjaan skripsi. Selain itu, kepada Kak Bintan dan Kak Nisa, penulis berterima kasih karena mereka telah menjadi kakak yang sangat baik.

Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Yayasan Karya Salemba Empat dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk atas semua dukungan finansial dan non finansial selama penulis kuliah. Kepada Bapak Deni Puspahadi, Ibu Dwi, dan Mas Helmi, penulis berterima kasih karena telah memberi kepercayaan dan pengalaman yang sangat berharga.

Untuk rekan penulis di luar kampus IPB: Santo Elman P. Hura, Selusin Pemimpin, BISMA Batch 6, dan beaswan KSE se-Nusantara, penulis mengucapkan terima kasih atas rasa kekeluargaan yang tinggi. Kepada teman-teman Ilmu Ekonomi 48—ESP dan Eksyar, teman-teman Fasttrack Ilmu Ekonomi Batch 3, dan kakak-kakak Pascasarjana Ilmu Ekonomi, penulis mengucapkan terima kasih karena telah memberi dukungan.

Terima kasih juga penulis tujukan kepada rekan penulis: Manggolo Putro 48, DPM FEM IPB Dewan Hexagonal, Paguyuban dan Rumah Sahabat KSE IPB, MPM-KM IPB 2014, dan Formasi FEM. Mereka telah berbagi makna akan kerja keras.

Dan akhirnya, kepada sumber kekuatan dan semangat, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ibu, Siti Fatimah, kepada Bapak, Sudirman, dan kepada adik-adik penulis, Arifia Azizy dan Syifa Nooram Alfaz. Semua ini penulis dedikasikan untuk mereka.

Akhirnya. penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Konsep Penguasaan Lahan 8

Konsep Siklus Kehidupan dan Akumulasi Kekayaan 10

Konsep Koefisien Gini Penguasaan Lahan 12

Penelitian Terdahulu 14

Kerangka Pikir Penelitian 17

Hipotesis 19

METODE 19

Wilayah Penelitian 19

Data dan Sumber Data 19

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian di Kabupaten Lamongan 20 Model Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di

Kabupaten Lamongan 20

Analisis Data 21

GAMBARAN UMUM RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DAN

SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN LAMONGAN 24

HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasan Lahan di Kabupaten Lamongan 26 Koefisien Gini Penguasaan Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan 34

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

(12)

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 42

(13)

DAFTAR TABEL

Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian per Golongan Luas Lahan di Indonesia dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2003 dan Tahun 2013 6 Perbandingan Kontribusi Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah Terhadap Produksi Tanaman Pangan di Indonesia 2013 7 Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Penguasaan Lahan 15

Deskriptif Statistik Karakteristik Rumah Tangga Usaha Pertanian

Kabupaten Lamongan 2013 20

Karakteristik Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga Usaha Pertanian di

Kabupaten Lamongan 2013 24

Karakteristik Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten

Lamongan 2013 24

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan

Lahan Sawah di Kabupaten Lamongan 27

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan

Lahan Bukan Sawah di Kabupaten Lamongan 31

Jumlah dan Rata-Rata Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah yang Dikuasai Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Lamongan 2013 33 Perbandingan Kepemilikan Lahan Pertanian pada Tiap Kategori Luasan

Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan 2013 34

DAFTAR GAMBAR

Peranan Sektor Pertanian bagi PDB Indonesia 1

Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian 2010-2014 2 Perbandingan Total Produksi Beras dari 5 Provinsi Dengan Produksi

Beras Tertinggi (Ton) 2

Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Total Produksi Beras

Tertinggi 2013 (Ton) 3

Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Luas Panen Terbesar

2013 (hektar) 4

Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Kabupaten Lamongan 2013 (rumah

tangga) 4

Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Penguasaan Lahan Pertanian per Rumah Tangga Usaha Tani Tertinggi (m2) Tahun 2003 dan

2013 5

Jumlah RTUP Pengguna Lahan dan Jumlah RTUP Gurem 2003 dan 2013 5

Teori Siklus Kehidupan 12

Kurva Lorenz 13

Kerangka Pemikiran 18

Wilayah Kabupaten Lamongan 19

Bagan Statistik Durbin Watson 23

Perbandingan Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah di Kabupaten

Lamongan 2013 (hektar) 25

(14)

Perbandingan Produksi Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan

2013 (Ton) 26

Perbandingan Luas Panen Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan

2013 (hektar) 26

Statistik Deskriptif Hubungan Usia dan Penguasaan Lahan Sawah Oleh Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan 28 Statistik Deskriptif Hubungan Ukuran Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan 29 Perbandingan Luasan Lahan Sawah yang Dimiliki Rumah Tangga Dengan Kepala Laki-Laki dan Perempuan di Kabupaten Lamongan 2013 30 Hubungan Usia Kepala Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan Bukan

Sawah 32

Keragaan Data Hubungan Ukuran Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan

Bukan Sawah 32

Keragaan Data Penguasaan Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah 33 Keragaan Data Logaritma Penguasaan Lahan Sawah dan Logaritma

Penguasaan Lahan Bukan Sawah 34

Kurva Lorenz Penguasaan Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan 35

DAFTAR LAMPIRAN

Karakteristik Usia Kepala Rumah Tangga 42

Karakteristik Ukuran Rumah Tangga 44

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sector yang penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian memiliki banyak peran, antara lain dalam menyerap tenaga kerja, sumber bahan pangan, menyediakan input bagi industri, dan menunjang kehidupan bagi sebagian besar penduduk pedesaan. Ramadanti (2014) menyebutkan beberapa peranan strategis sektor pertania,n antara lain pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja di level nasional dan regional, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menjaga nilai tukar. Oleh karena itu, Indonesia disebut sebagai Negara agraris mengingat perekonomian Indonesia sangat tergantung pada sektor pertanian. Gambar 1 menunjukkan pentingnya peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Sektor pertanian berkembang secara konsisten meskipun kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB menurun dari tahun ke tahun. Penurun kontribusi dalam pembentukan PDB disebabkan oleh meningkatnya peranan sektor sekunder dan sektor tersier, seperti pengolahan dan jasa (BPS, 2013).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 1 Peranan Sektor Pertanian bagi PDB Indonesia

(16)

pertanian (iv) sektor pertanian memberikan pendapatan yang rendah (v) pertanian memberikan status sosial yang rendah.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 2 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian 2010-2014

Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan berbagai komoditas pertanian. Secara khusus, Pulau Jawa menjadi basis bagi produksi beras dan memiliki potensi yang tinggi dalam produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan. Dari Gambar 3 terlihat bahwa salah satu provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, merupakan provinsi penghasil beras tertinggi secara nasional. Pada tahun 2013, Total produksi beras Provinsi Jawa Timur sekitar 12.398.312 dari total produksi nasional 70.831.753. Secara persentase, Jawa Timur berkontribusi sekitar 17,5 persen dari total produksi nasional (Badan Pusat Statistik, 2013).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 3 Perbandingan Total Produksi Beras dari 5 Provinsi Dengan Produksi Beras Tertinggi (Ton)

Bappenas dalam RPJMN 2015-2019 menyatakan bahwa ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama yang hendak dicapai guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, Kementerian Pertanian (2014) juga menyatakan bahwa ketahanan pangan menjadi fokus untuk dicapai di tahun 2015. Fakta bahwa Provinsi Jawa Timur

Feb-10 Aug 10 Feb-11 Aug 11 Feb-12 Aug 12 Feb-13 Aug 13 Feb-14 Aug 14

Sektor Pertanian (tenaga kerja) % Kontribusi Sektor Pertanian

12398312

(17)

3 merupakan provinsi dengan produksi beras tertinggi secara nasional, peran Provinsi Jawa Timur menjadi penting dalam rangka menyukseskan program-program ketahanan pangan yang sudah digagas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa sampai saat ini, beras masih menjadi bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia (Mubyarto 1979).

Di satu sisi, Provinsi Jawa Timur cukup diandalkan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Namun ternyata, di sisi lain, Provinsi Jawa Timur masih mengalami tantangan yang bisa memengaruhi ketahanan pangan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah terkonsentrasinya penguasaan lahan pertanian pada rumah tangga petani kaya.

Penguasaan lahan pertanian menjadi penting untuk dikaji berdasarkan fakta bahwa penguasaan lahan akan memengaruhi performa sektor pertanian. Tomich, Kilby, dan Johnston dalam Vollrath (2007) menyatakan bahwa konsentrasi penguasaan lahan yang tinggi menyebabkan keterbatasan pada sektor pertanian secara meluas. Vollrath (2007) menemukan bahwa kesenjangan penguasaan lahan mengurangi produksi pertanian secara signifikan. Di Indonesia, permasalahan lahan sudah menjadi tantangan tersendiri. Badan Ketahanan Pangan (2014) secara jelas menyatakan bahwa permsalahan lahan menjadi salah satu kunci utama dalam sistem ketahanan pangan nasional.

Secara spesifik, studi ini mengambil Kabupaten Lamongan sebagai studi kasus. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan total produksi beras tertinggi. Total produksi beras Kabupaten Lamongan pada tahun 2013 adalah sebanyak 846.275 ton yang terdiri dari 797.596 ton padi sawah dan 48.679 ton padi ladang. Dalam persentase, Kabupaten Lamongan berkontribusi sebanyak 7,2 persen terhadap total produksi beras di Provinsi Jawa Timur (Badan Pusat Statistik 2013).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 4 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Total Produksi Beras Tertinggi 2013 (Ton)

Total produksi padi Kabupaten Lamongan yang cukup tinggi sejalan dengan ukuran luas panen padi Kabupaten Lamongan yang juga tinggi. Kabupaten Lamongan menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan luasan panen padi terluas, yakni 144.910 hektar pada tahun 2013 yang terdiri dari 135.925 hektar padi sawah dan 8.985 hektar padi ladang.

964,001

846,275

806,548 776,937

706,419

0 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000

(18)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 5 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Luas Panen Terbesar 2013 (hektar)

Kabupaten Lamongan juga merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah rumah tangga usaha tani padi tertinggi. Kabupaten Lamongan memiliki 160.306 rumah tangga usaha tani padi pada tahun 2013. Jumlah ini sekitar 92 persen dari total rumah tangga usaha tani tanaman pangan di Kabupaten Lamongan dan 5,5 persen dari total rumah tangga usaha tani padi di Provinsi Jawa Timur (Badan Pusat Statistik 2013).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 6 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Kabupaten Lamongan 2013 (rumah tangga) Dalam struktur lahan, Kabupaten Lamongan merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang secara konsisten berada dalam lima besar kabupaten dengan jumlah penguasaan lahan pertanian per rumah tangga tertinggi pada tahun 2003 dan tahun 2013. Di tahun 2003, Kabupaten Lamongan berada di urutan ketiga dengan luasan penguasaan lahan pertanian per rumah tangga adalah 3.250 m2. Di tahun 2013, Kabupaten Lamongan menempati urutan keempat, namun penguasaan lahan per rumah tangga usaha tani meningkat menjadi 5.035 m2 .

162,619

144,910 143,302

122,166

113,609

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 180,000

Jember Lamongan Bojonegoro Ngawi Banyuwangi

205,078

183,853

160,306

121,280

109,941

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000

(19)

5

6,132

5,309 5,236 5,035 4,918

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 7 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Penguasaan Lahan Pertanian per Rumah Tangga Usaha Tani Tertinggi (m2) Tahun 2003 dan 2013

Selain itu, Kabupaten Lamongan juga mengalami penurunan dalam jumlah rumah tangga usaha tani pengguna lahan. Pada tahun 2003, jumlah rumah tangga usaha tani pengguna lahan adalah 222.476 rumah tangga dan pada tahun 2013 jumlahnya menjadi 186,624 rumah tangga. Penurunan jumlah tersebut seiring dengan penurunan jumlah rumah tangga petani gurem, yakni 153.218 rumah tangga pada tahun 2003 menajdi 116,568 rumah tangga pada tahun 2013.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 8 Jumlah RTUP Pengguna Lahan dan Jumlah RTUP Gurem 2003 dan 2013

Pergeseran struktur penguasaan lahan di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena agrarian change yang berdimensi luas. Pertama, terjadi peningkatan jumlah penguasaan lahan pertanian per rumah tangga. Kedua, hal ini sejalan dengan penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dan bahkan penurunan pada jumlah rumah tangga usaha pertanian gurem. Rumah tangga usaha pertanian gurem

4,849

3,448 3,250

3,100 2,963

2003

222,476

153,218 186,624

116,568

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000

RTUP Pengguna Lahan RTUP Gurem

(20)

terindikasi untuk lebih memilih menyerahkan lahannya kepada petani kaya, menjadi buruh tani, atau mereka lebih memilih untuk terlibat dalam sektor non-pertanian. Hal ini bisa digambarkan melalui studi Zender dan Durr (2011) di Guatemala. Studi tersebut menunjukkan bahwa telah berlangsung kondisi di mana petani memilih untuk menjual lahannya karena alasan kemiskinan. Petani-petani tersebut pada akhirnya mejadi buruh tani harian, menjadi petani bagi-hasil, atau membuka lahan baru di area hutan lindung.

Pertimbangan terakhir untuk pemilihan Kabupaten Lamongan sebagai studi kasus dalam penelitian ini adalah karena telah terjadi konversi lahan pertanian secara besar-besaran. Konversi tersebut terjadi karena tingginya aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh swasta dan pemerintah seperti pembangunan jalan tol dan perumahan. Permasalahan konversi lahan juga telah menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian di Indonesia secara umu. Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik sektor pertanian di Kabupaten Lamongan, diharapkan Kabupaten Lamongan menjadi studi kasus yang tepat untuk menggambarkan tantangan pertanian di Provinsi Jawa Timur dan nasional. Pada akhirnya, tantangan akan ketahanan pangan juga diharapkan mampu diselesaikan secara baik.

Perumusan Masalah

Sektor pertanian di Indonesia menghadapi banyak tantangan. Perubahan struktur penguasaan lahan yang menyebabkan ketimpangan menjadi salah satu tantangan yang harus diselesaikan karena dapat menimbulkan permasalahan lain. Seperti yang tersaji dalam Tabel 1, telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan dan membuat sebagian kecil penduduk menguasai lahan yang sangat luas. Di tahun 2003, rumah tangga usaha tani di Indonesia dengan luas lahan kurang dari 1000 m2 sejumlah 9.380.000 rumah tangga. Di tahun 2013, jumlah tersebut menjadi hanya 4.338.849 rumah tangga. Di sisi lain, jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan lebih dari 30.000 m2 jumlahnya meningkat dari 1.309.896 rumah tangga di tahun 2003 menjadi 1.608.728 rumah tangga di tahun 2013. Di Jawa Timur juga telah terjadi perubahan dalam struktur penguasaan lahan. Tren yang terjadi adalah sama. Jumlah rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 1000 m2 jumlahnya menurun seiring dengan peningkatan jumah rumah tangga dengan penguasaan lahan lebih dari 30.000 m2.

Tren penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian kecil yang diiringi oleh peningkatan jumlah rumah tangga usaha pertanian besar kemungkinan terjadi akibat beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain: (i) peningkatan jumlah petani dengan lahan lebih dari 1 hektar (ii) pergeseran struktur aktivitas ekonomi ke sektor non-pertanian dan (iii) petani kecil menjadi buruh (Badan Pusat Statistik 2013).

Tabel 1 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian per Golongan Luas Lahan di Indonesia dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2003 dan Tahun 2013

Golongan Luas Lahan (m2)

Indonesia Jawa Timur

2003 2013 2003 2013

<1000 9,380,300 4,338,849 2,384,327 1,134,610 1000-1999 3,602,348 3,550,180 905,346 940,827 2000-4999 6,816,943 6,733,362 1,728,125 1,727,132 5000-9999 4,782,812 4,555,073 893,082 802,704 10000-19999 3,661,529 3,725,849 311,870 282,774 20000-29999 1,678,356 1,623,428 56,016 52,212

>30000 1,309,896 1,608,728 35,604 38,099

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

(21)

7 penguasaan lahan memiliki hubungan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Ketika jumlah penguasaan lahan meningkat, tingkat kemiskinan akan menurun. Darwis (2008) melakukan penelitian terhadap rumah tangga usaha pertanian di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendapatan petani di Indonesia sangat tergantung pada luasan lahan pertanian yang dimiliki. Booth (2002) berargumentasi bahwa dari hasil Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995, terindikasi bahwa 46% rumah tangga di area pedesaan menjadikan pertanian sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga mereka. Pada tahun 1993, 83% petani pemilik lahan juga sangat tergantung pada pertanian. Berdasarkan studi Yunilisiah (1996), jumlah lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian menjadi faktor utama yang menentukan besarnya total pendapatan rumah tangga usaha pertanian. Ketika luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga besar, total pendapatan rumah tangga akan meningkat.

Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penguasaan lahan memiliki pengaruh yang sangat penting bagi sektor pertanian dan ekonomi. Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia bahwa telah terjadi perubahan pada pola penguasaan lahan, mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan menjadi penting.

Penelitian ini memfokuskan objek penelitian pada faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah di Kabupaten Lamongan. Namun untuk membandingkan apakah terdapat efek substitusi antara penguasaan lahan sawah dan penguasaan lahan bukan sawah, diteliti juga faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan bukan sawah.

Spesifikasi penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah diadaptasi dari penelitian Pomp (1995). Penelitian tersebut memisahkan antara lahan sawah dan lahan bukan sawah karena lahan sawah memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan lahan bukan sawah. Selain itu, berdasarkan Minardi (1979), lahan sawah memiliki peran yang lebih besar dalam produksi tanaman pangan. Hal tersebut didukung oleh kondisi riil di Indonesia yang diringkas dalam Tabel 2, bahwa lahan sawah memiliki luas lahan garapan yang lebih besar dibandingkan luas lahan garapan bukan sawah (Badan Pusat Statistik 2013). Jumlah rumah tangga usaha pertanian yang terlibat dalam usaha pertanian sawah (padi sawah) jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jumlah rumah tangga usaha pertanian yang terlibat di usaha pertanian bukan sawah (padi ladang dan palawija). Selain itu, fakta dari Panel Petani Nasional (Patanas) tahun 2007 menunjukkan bahwa segmen tertinggi penguasaan lahan oleh petani-petani di Pulau Jawa adalah lahan sawah, yakni 86% dari total lahan yang dikuasai. Hal tersebut juga terjadi di luar Pulau Jawa, dengan segmen penguasaan lahan sawah mencapai 64%.

Tabel 2 Perbandingan Kontribusi Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah Terhadap Produksi Tanaman Pangan di Indonesia 2013

Padi Sawah Padi Ladang Palawija Luas Tanam (m2) 86,858,754,336 7,619,774,028 36,837,588,344 Jumlah Rumah Tangga 12,936,427 1,506,139 8,624,243

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

(22)

salah satunya adalah meningkatnya jumlah buruh tani. Nuryartono (2005) juga menjelaskan bahwa menganalisis distribusi penguasaan lahan penting untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan penguasaan antar rumah tangga. Ketimpangan tersebut, jika tinggi rawan menyebabkan konflik. Oleh karena itu, dua pertanyaan utama penelitian ini adalah: (i) apa saja faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan? (ii) bagaimana koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijabarkan dan mengingat studi mengenai penguasaan lahan di Indonesia masih sangat terbatas, tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah dan lahan bukan sawah di Kabupaten Lamongan. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah dan lahan bukan sawah di Kabupaten Lamongan

2. Menghitung koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan

Manfaat Penelitian

Keluaran dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut 1. Memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan

lahan di Indonesia

2. Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dan pembuat kebijakan di Kabupaten Lamongan, di Provinisi Jawa Timur, dan di Indonesia dalam mengelola sektor pertanian, terutama dalam manajemen lahan

3. Sebagai studi literatur bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan penguasaan lahan

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah dan lahan bukan sawah dan melihat besarnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian melalui penghitungan koefisien Gini. Observasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan. Data yang digunakan hanya mencakup data rumah tangga usaha pertanian tahun 2013.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Penguasaan Lahan

Hingga saat ini, belum ada definisi khusus mengenai arti penguasaan lahan. Riset-riset yang menjadikan penguasaan lahan sebagai topik utama juga masih terbatas. Sebagian riset-riset tersebut menjadikan lahan sebagai objek penelitian namun dalam konteks land tenure.

(23)

9 Deininger et al. (2003) mendefinisikan penguasaan lahan sebagai hak atas lahan dan menentukan akses terhadap lahan serta manfaat yang dihasilkan dari lahan tersebut. Pemerintah Amerika Serikat seperti dijelaskan dalam Agricultural Resources and Environmental Indicators mendefinisikan penguasaan lahan secara luas. Penguasaan lahan mencakup kepemilikan sederhana seperti sewa hingga hak untuk menjadikan lahan sebagai sarana peringanan dan jaminan oleh pemerintah atau swasta. FAO mendefinisikan penguasaan lahan sebagai hubungan secara legal antar masyarakat baik perorangan maupun kelompok dalam kaitannya terhadap lahan. Dalam konteks yang lebih sederhana, penguasaan lahan menentukan siapa yang berhak menggunakan sumber daya dari suatu lahan dan berapa lama dia serta kondisi apa saja yang membuat dia berhak menggunakan sumber daya tersebut.

The Environmental and Natural Resources Policy and Training Project (EPAT), sebuah riset yang didanai oleh USAID pada tahun 1995, mendefiniskan penguasaan lahan sebagai akses petani terhadap sumber daya, seara spesifik merujuk pada kondisi bagaimana petani-petani tersebut membuat keputusan terkait pemanfaatan lahan dan investasi lahan tersebut.

Pomp (1995) menjelaskan mengenai hal-hal yang memengaruhi perbedaan akses terhadap penguasaan lahan, antara lain: (i) perbedaan pada jumlah lahan yang diinginkan terkait dengan perbedaan ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan tenaga kerja (ii) perbedaan akses terhadap lahan yang disebabkan oleh lamanya waktu tinggal di suatu wilayah (iii) perbedaan pada kemampuan dalam membiayai akuisisi lahan.

Deininger et al. (2003) juga menjelaskan mengapa penguasaan lahan penting. Penguasaan lahan mengambil peranan penting dalam keamanan pangan dan mengurangi kemiskinan. Keamanan pangan bisa terpengaruh karena perseorangan dan keluarga bisa dikatakan aman-pangan tergantung dari besarnya kesempatan yang dimiliki untuk menguasai aset seperti lahan, sama pentingnya seperti kesempatan dalam mengakses pasar dan peluang ekonomis lainnya. Keluarga dan perseorangan yang memiliki lahan cenderung lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki lahan. Penguasaan lahan juga penting dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan. Hak atas lahan adalah sarana yang efektif membangun aset bagi masyarakat sehingga mereka bisa memperoleh kehidupan yang berkelanjutan. Hak atas lahan juga sumber daya yang ampuh bagi masyarakat untuk meningkatkan dan memperluas aset selain lahan, seperti aset dalam sumber daya alam, sosial, keuangan dan aset fisik lainnya.

Rahman dan Manprasert (2006) menghubungkan landless sebagai manifestasi dari kemiskinan, kerawanan, buruknya akses kredit, dan lemahnya rumah tangga pedesaan. Hidalgo et al. (2008) berargumen bahwa tingginya kesenjangan pada penguasaan lahan diasosiasikan dengan tingginya persentase masyarakat miskin dan membuat perekonomian menjadi sensitif terhadap guncangan. Myrdal dalam Asian Drama seperti dikutip dari Todaro dan Smith (2006) mengindentifikasi tiga elemen yang membentuk pola penguasaan lahan di Asia: kolonialisme oleh Eropa, tingginya monetisasi, dan tingginya pertumbuhan pendudukan. Maxwell dan Wiebe (1998) menjelaskan bahwa penguasaan lahan juga diperoleh dari pernikahan, kekuasaan, dan warisan.

(24)

Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano. Mereka menyatakan bahwa polarisasi penguasaan lahan di pedesaan benar-benar terjadi dan hal tersebut dibuktikan oleh Sensus Pertanian Tahun 1983-1993.

Konsep Siklus Kehidupan dan Akumulasi Kekayaan

Bodie et al. (2007) mengatakan bahwa model siklus hidup memberikan arahan dalam membuat keputusan keuangan seperti: (i) berapa banyak tabungan yang harus disiapkan oleh sebuah keluarga dalam rangka mempersiapkan pensiun? (ii) berapa banyak asuransi yang harus dibeli? (iii) berapa banyak saham yang harus dialokasikan ke dalam setiap jenis saham? (iv) bagaimana perusahaan menentukan alokasi aset sebagai sarana untuk tabungan pensiun? Teori tersebut mengajarkan untuk melihat aset keuangan sebagai sarana untuk menransfer sumber daya antar waktu yang berbeda. Teori tersebut juga memberikan pandangan kepada rumah tangga dan perencana keuangan untuk memikirkan keputusan keuangan secara logis dan tepat. Bodie et al.(2007)juga menjelaskan mengenai prinsip-prinsip yang dijelaskan oleh Model Siklus Kehidupan. Salah satu prinsip menjelaskan bahwa Model Siklus Kehidupan tidak hanya fokus pada perencanaan keuangan, namun fokus pada pola konsumsi. Kedua, Model Siklus Kehidupan melihat aset keuangan sebagai sarana untuk menransfer konsumsi dari masa sekarang ke masa yang akan datang. Prinsip lainnya menjelaskan bahwa nilai mata uang lebih tinggi pada masa di mana tingkat konsumsi lebih rendah dibandingkan masa di mana konsumsi tinggi. Teori Siklus Kehidupan juga menekankan pada apakah dan bagaimana rumah tangga menyiapkan kehidupan di masa mendatang (di beberapa penelitian biasanya disebut kehidupan pasca pensiun).

Borella dan Rossi (2014) menyatakan bahwa seorang individu hidup dalam tiga periode, yaitu:

(i) masa remaja (muda), yakni masa di mana individu lebih banyak berhutang untuk memenuhi konsumsi

(ii) masa menengah (dewasa), masa di mana individu mulai menabung sebagian dari pendapatan

(iii) masa konsumsi tabungan, masa di mana individu mengonsumsi tabungan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pasca pensiun

Borella dan Rossi (2014) juga menjelaskan bahwa tahap yang berbeda-beda dalam siklus kehidupan dicirikan oleh perbedaan pola menabung dan konsumsi, tergantung apakah pendapatan yang diperoleh sekarang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan pendapatan tetap.

Kesimpulan Borella dan Rossi (2014) mengenai model siklus kehidupan sejalan dengan temuan Milligan (2004) yang menemukan bahwa pada usia tua masyarakat cenderung untuk mendisakumulasi aset. Kontribusi aset portofolio terhadap aset rumah tangga naik seiring bertambahnya usia dan toleransi terhadap aset yang berisiko cenderung turun seiring bertambahnya usia. Hal ini konsisten karena memang sebuah keluarga cenderung memilih aset yang lebih likuid dan berisiko rendah ketika usia mereka bertambah.

Bazhenova dan Krtysun (2013) menjelaskan bahwa Model Siklus Kehidupan yang dicetuskan oleh Modigliani mengartikan bahwa distribusi pendapatan antara konsumsi dan tabungan terbentuk dari keinginan manusia untuk mendistribusikan pendapatan mereka ke dalam periode-periode kehidupan. Oleh karena itu, individu harus menabung agar tetap bisa melakukan konsumsi jika seandainya kehilangan pendapatan terjadi.

(25)

11 memengaruhi keputusan petani untuk meminjam, membeli, dan memperluas lahan yang dimiliki. Namun, Weber dan Key juga menjelaskan bahwa peningkatan kekayaan dari akumulasi lahan mendorong terjadinya pembelian lahan yang lebih tinggi tidak diimbangi dengan perluasan pada lahan pertanian produktif sehingga produksi pertanian tidak meningkat. Di sisi lain, apresiasi nilai lahan yang sangat cepat dan diasosiakan dengan peningkatan kekayaan membuat kepemilikan lahan menjadi sangat terkonsentrasi. Matteo (1997) memberikan bukti bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kekayaan dan penguasaan aset di Kanada antara lain urbanisasi, status kepemilikan lahan, literasi, jumlah anak, dan wilayah tempat tinggal.

Pada awalmya, Model Siklus Kehidupan dicetuskan oleh Modigliani (1986). Model tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pola alokasi sumberdaya terhadap konsumsi selalu stabil dari waktu ke waktu. Asumsi tersebut berimplikasi pada beberapa kondisi: jika pendapatan bertumbuh secara konstan, tabungan privat agregat dan kekayaan pribadi agregat akan cenderung bertumbuh pada tingkat yang sama sehingga tabungan dan rasio kekayaan-pendapatan akan bertumbuh secara konstan.

Modigliani (1986) juga mengatakan bahwa pertimbangan awal dari Model Siklus Kehidupan adalah hipotesis bahwa konsumsi dan keputusan menabung dari rumah tangga di waktu tertentu merefleksikan preferensi distribusi konsumsi selama hidup dengan kendala pendapatan. Secara rata-rata, kemampuan mendapatkan pendapatan cenderung untuk berkurang seiring waktu. Karena itu, rumah tangga harus menabung di tahap awal kehidupan finansial untuk mengakumulasi cadangan kekayaan yang digunakan untuk mengakomodasi konsumsi di kehidupan rumah tangga tersebut nanti.

Modigliani (1986) memberikan penjelasan bahwa fase-fase akumulasi aset pada akhirnya akan diimbangi dengan fase-fase disakumulasi di saat rumah tangga mencapai masa pensiun. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Tingkat kematian diasumsikan 0 hingga usia N dan 1 hingga usia L. Kurva Y(T) menunjukkan pendapatan per kapita dari tenaga kerja sebagai fungsi dari umur dan diasumsikan konstan pada tingkat Ȳ hingga usia N, dan 0 di sisa kehidupan setelah usia N. Pada tingkat pengembalian aset yang 0, kurva tersebut menunjukkan total pendapatan per kapita. Garis putus-putus menunujukkan tingkat konsumsi per kapita dan diasumsikan konstan sepanjang hidup. Karena konsumsi menghabiskan pendapatan, tingkat konsumsi konstan adalah (N/L)Ȳ. Jarak antara Y(T) dan C(T) adalah tabungan atau konsumsi tabungan per kapita, Garis titik-titik menunjukkan kekayaan bersih per kapita yakni akumulasi tabungan sebagai fungsi dari waktu. Nilai tersebut dimulai dari 0 kemudian meningkay secara linier sampai puncak waktu yakni masa pensiun (N) kemudian menurun secara linier sampai pada 0 di usia L.

(26)

Y,C,A

(L-N) N Ȳ L

A(T)

Ȳ Y(T)

C(T)=(N/L)Ȳ

SAVING

DISSAVING T

AGE N L

Sumber: Modigliani (1986)

Konsep Koefisien Gini Penguasaan Lahan

Konsep koefisien Gini menurut Todaro dan Smith (2012) adalah ukuran numerik yang secara agregat mengukur ketimpangan dan memiliki nilai antara 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini bisa dikur secara grafis dengan membagi area antara garis pemerataan sempurna 45 derajat dan kurva Lorenz dengan total area di atas garis pemerataan sempurna di kurva Lorenz. Semakin tinggi nilai koefisien Gini, semakin besar ketimpangan dan berlaku pula sebaliknya.

Untuk mengetahuo lebih lanjut mengenai koefisien Gini penguasaan lahan, konsep kurva Lorenz akan dibahas terlebih dahulu.

Kurva Lorenz

Kurva Lorenz adalah gambar yang memnunjukkan variasi distribusi, dalam hal ini lahan, dari pemerataan sempurna. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, persentase jumlah rumah tangga usaha pertanian di-plot ke sumbu horizontal secara kumulatif. Plotting tersebut didasarkan pada persentase jumlah rumah tangga, misalnya 20 persen, 40 persen, 60 persen, dan 80 persen dsri total. Sebagai contoh, titik 0,2 pada sumbu X menunjukkan nilai 20 persen dari jumlah total rumah tangga, dan seterusnya. Sumbu Y menggambarkan kumulatif persentase luasan lahan. Angka 0.2 menunjukkan nilai 20 persen dari luas keseluruhan lahan

(27)

13 dan seterusnya. Di garis diagonal 45 derajat, setiap titik yang berada di garis tersebut menunjukkan pemerataan sempurna. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis pemerataan sempurna, tingkat ketimpangan semakin tinggi. Demikian juga sebaliknya. Penjelasan mengenai kurva Lorenz ditunjukkan oleh Gambar 10 di bawah ini.

Sumber: Todaro dan Smith, 2012

Gambar 10 Kurva Lorenz

Koefisien Gini Penguasaan Lahan

Zheng et al. (2013) menjelaskan bahwa pada awalnya koefisien Gini digunakan untuk menhgitung ketimpangan distribusi pendapatan, namun saat ini koefisien Gini juga bisa digunakan untuk menganalisis struktur ketimpangan dalam penguasaan lahan. Todaro dan Smith (2012) mengatakan bahwa nilai koefisien Gini bervariasi dari 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna). Pengukuran ketimpangan menggunakan koefisien Gini memberikan konsekuensi bahwa beberapa prinsip yang membangun penghitungan tersebut sudah terpenuhi, yaitu:

(i) the anonymity, bahwa pengukuran ketimpangan menggunakan koefisien Gini tidak memedulikan siapa yang menjadi subjek dari pengukuran. Artinya, koefisien Gini tidak memerhitungkan apakah yang menguasai lahan luas adalah orang baik atau orang jahat

(ii) the scale independence, bahwa pengukuran ketimpangan menggunakan koefisien Gini tidak memedulikan satuan pengukuran—apakah dalam hektar, meter, rupiah, atau dolar—karena pengukuran menggunakan koefisien Gini hanya fokus pada ketimpangan bukan pada ukuran ketimpangan tersebut

(iii) the population independence, bahwa pengukuran menggunakan koefisien Gini tidak berdasar pada jumlah penerima lahan. Jika dilakukan transfer lahan dari petani kaya ke petani miskin, distribusi lahan yang baru akan lebih merata.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

K

u

m

u

latif

Per

sen

tase

Lu

as Lah

an

(28)

Selain menggunakan kurva Lorenz, menghitung koefisien Gini bisa dilakukan melalui beberapa cara yang lain. Khattak dan Hussain (2008) menderivasi persamaan di bawah ini untuk menghitung koefisien Gini penguasaan lahan.

+ 2A2 + 3A3 +...+ nAn] (1)

Di mana G adalah koefisien Gini penguasaan lahan dan Ā adalah rata-rata luas lahan yang dikuasai.

Jamal dan Khan (2005) juga mengenalkan metode penghitungan koefisien Gini dalam tipe data kategori. Persamaan di bawah menjelaskan mengenai penghitungan koefisien Gini dalam tipe data kategori.

| ∑

|

Di mana N adalah jumlah kategori, adalah nilai distribusi kumulatif, dan Y,X adalah proporsi rumah tangga usaha pertanian dan luas lahan yang dikuasai.

Sejalan dengan Jamal dan Khan, Vollrath (2006) juga memberikan cara untuk menghitung koefisien Gini penguasaan lahan dalam data yang bersifat kategorik. Cara tersebut mengadopsi cara yang digunakan oleh Deininger dan Square. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

( )

Di mana fi adalah share dari semua rumah tangga usaha pertanian yang berada di kategori i terhadap total rumah tangga keseluruhan sehingga ∑ sedangkan αi adalah

share semua lahan yang berada dalam kategori i terhadap total luas lahan keseluruhan sehingga ∑ .

Jenkins dalam Nuryartono (2005) mendeskripsikan cara lain untuk menghitung koefisien Gini. Cara tersebut dijelaskan oleh persamaan berikut:

( ) ∑

Di mana N adalah total populasi, m adalah rataan total luasan lahan, dan Yi adalah luas lahan yang dimiliki rumah tangga ke-i.

Penelitian Terdahulu

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penguasaan Lahan

Studi yang khusus meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan pertanian cukup sulit ditemukan. Dalam penelitian ini, penulis hanya menemukan empat studi yang relevan. Studi tersebut antara lain dilakukan oleh Pomp (1995), Ukoha et al.

(29)

15 dan Nuryartono (2005) melakukan studi di Sulawesi Tengah. Secara spesifik, studi-studi tersebut dirangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3 Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan

(30)

Koefisien Gini Penguasaan Lahan

Riset mengenai penghitungan koefisien Gini penguasaan lahan cukup banyak ditemukan. Riset oleh Tang dan Wang (2009) pada penggunaan lahan di Cina menunjukkan bahwa selama tahun 1989-2004 telah terjadi peningkatan luasan area lahan garapan namun luasan lahan menganggur juga meningkat. Kurva Lorenz ditemukan mendekati garis pemerataan sempurna dan distribusi cenderung seragam. Studi oleh Khattak dan Husai di Distrik Swat, Pakistan menunjukkan bahwa ketimpangan penguasaan lahan di Pakistan sekitar 0,77 dan menunjukkan ketimpangan yang tinggi. Vollrath (2006) melakukan penelitian pada pola penguasaan lahan di Amerika Serikat dan menunjukkan bahwa koefisien Gini penguasaan lahan di Amerika Serikat adalah 0,475 antar negara bagian.

akses digunakan antara lain: luasan lahan hutan, luasan lahan dari jalan, kapital sosial, indeks kemiskinan, dan variabel kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, etnis, indeks kemiskinan, dan variabel

(31)

17 Secara spesifik, di Indonesia telah sering dilakukan penghitungan koefisien Gini penguasaan lahan. Studi yang dilakukan oleh Otsuka et al. seperti dikutip dari Todaro dan Smith (2012) menunjukkan bahwa koefisien Gini penguasaan lahan di Indonesia adalah 0,56 pada tahun 1976. Sekitar 97,9 persen usaha pertanian menguasai lahan kurang dari 5 hektar. Riset yang dilakukan olek Studi Dinamika Pedesaan (SDP) pada tahu 1982 seperti dikutip dari Bachriadi dan Wiradi (2011) menunjukkan bahwa di hampir 12 desa di Pulau Jawa dan 3 desa di luar Pulau Jawa, koefisien Gini penguasaan lahan lebih dari 0,6. Khusus di Pulau Jawa, 6 dari 12 desa memiliki koefisien Gini penguasaan lahan lebih daro 0,8 dan mengindikasikan ketimpangan yang sangat tinggi. Berdasarkan Wiradi dan Makali (1984), lebih dari 30 persen rumah tangga usaha pertanian di Indonesia tidak memiliki lahan dan kurang dari 20 persen rumah tangga pertanian yang memiliki lahan lebih dari setengah total keseluruhan lahan. Tingginya ketimpangan dalam penguasaan lahan di Indonesia juga ditemukan oleh Timmer (1975). Timmer berargumentasi bahwa kendala teknis utama bagi petani oadi adalah kecilnya lahan garapan yang sangat ekstrim. Pada tahun ibservasi, lebih dari dua pertiga populasi petani memiliki lahan garapan kurang dari setengah hektar bahkan kurang dari sepertiga hektar. Dalam Bachriadi dan Wiradi (2011), hasil Sensus Pertanian 1963 menunjukkan bahwa pola penguasaan dan kepemilikan lahan di tahun tersebut tidak merata. Koefisien Gini penguasaan lahan adalah 0,55. Perkembangan koefisien Gini penguasaan lahan di Indonesia adalah sebagai berikut: 0,70 pada tahun 1973; 0,64 pada tahun 1983; 0,67 pada tahun 1993; dan 0,72 pada tahun 2003. Nuryartono (2005) meneliti koefisien Gini penguasaan lahan di Sulawesi Tengah dan menemukan bahwa koefisien Gini di sana adalah 0.46.

Ketika membandingkan koefisien Gini penguasaan lahan di Indonesia secara keseluruhan dengan koefisien Gini penguasaan lahan di tingkat yang lebih mikro, koefisien Gini penguasaan lahan di tingkat nasional relatif lebih kecil. Kano (1990) dalam studinya yang dilakukan di Malang Selatan menemukan bhawa koefisien Gini penguasaan lahan di sana adalah 0,81. Siahaan melakukan penelitian di Kabupaten Klaten pada tahun 1975 menemukan bahwa koefisien Gini penguasaan lahan di Kabupaten Klaten adalah 0,9 (Siahaan 1977). Survei Agro-Ekonomi (SAE) seperi yang disitasi dari Bachriadi dan Wiradi (2011) meneliti 15 desa di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa pada rentang tahun 1969 hingga tahun 1975 koefisien Gini penguasaan lahan di Indonesia antara 0,54 hingga 0,91. Pada studi Kano tahun 1990, ditemukan bahwa koefisien Gini penguasaan lahan di tujuh desa di Provinsi Jawa Tengah bagian utara adalah antara 0,65 hingga 0,89.

Lepas dari penemuan-penemuan dari riset yang terlah dijelaskan di atas, penelitian ini memiliki beberapa kebaruan dan menjadi pembeda dari riset sebelumnya. Studi ini memiliki wilayah untuk studi kasus yang berbeda, yakni Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini juga memiliki jumlah observasi yang sangat besar, melibatkan 189.343 rumah tangga usaha pertanian yang ada di area studi kasus.

Kerangka Pikir Penelitian

(32)

pertanian. Studi kasus yang diambil adalah Kabupaten Lamongan dengan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Dari data yang tersedia, faktor-faktor yang bisa dikaji antara lain usia kepala rumah tangga, ukuran rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, dan jenis pendapatan utama rumah tangga. Variabel-variabel tersebut akan dianalisis menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda.

(33)

19

Hipotesis

Dari beberapa penelitian terdahulu, hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Umur kepala rumah tangga usaha pertanian secara signifikan memengaruhi luas

penguasaan lahan. Pengaruh yang diberikan adalah positif sehingga seiring umur kepala rumah tangga bertambah, luas lahan yang dikuasai bertambah

2. Umur kepala rumah tangga kuadrat memiliki koefisien yang negatif karena umur kuadrat menggambarkan akumulasi aset marginal. Akumulasi aset dalam rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan diduga memiliki tren skala hasil yang menurun (decreasing return to scale).

3. Ukuran rumah tangga secara signifikan memiliki pengaruh positif terhadap penguasaan lahan.

4. Jika sumber utama pendapatan rumah tangga berasal dari pertanian, rumah tangga cenderung memiliki lahan yang lebih luas

5. Jika rumah tangga dikepalai oleh perempuan, rata-rata luas lahan yang dimiliki akan lebih rendah daripada luasan lahan yang dimiliki rumah tangga dengan kepala rumah tanggal laki-laki.

METODE

Wilayah Penelitian

Penelitian ini menjadikan Kabupaten Lamongan sebagai studi kasus. Kabupaten Lamongan berada di Provinsi Jawa Timur dan berada 50 km ke arah barat Kota Surabaya. Kabupaten Lamongan terdiri dari 27 kecamatan. Luas total Kabupaten Lamongan adalah 1.812,80 km2 atau sekitar 3,78 persen dari total luas wilayah Provinsi Jawa Timur.

Data dan Sumber Data

Data yang digunakan diperoleh dari Sensus Pertanian 2013 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Secara spesifik, studi ini menggunakan data cross-section rumah

(34)

tangga pertanian Kabupaten Lamongan. Untuk analisis data, digunakan software STATA dan Microsoft Excel 2013.

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian di Kabupaten Lamongan

Data yang digunakan dalam penelitian berjumah 189.343 observasi yang melibatkan seluruh rumah tangga pertanian di Kabupaten Lamongan, Karakteristik rumah tangga pertanian di Kabupaten Lamongan diringkas dalam Tabel 4 berikut ini. Pertama, rata-rata usia kepala rumah tangga usaha pertanian adalah 51 tahun. Tingginya usia kepala rumah tangga usaha pertanian merefleksikan tren umum mengenai tuanya usia petani di Indonesia . Kedua, mayoritas kepala rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan adalah laki-laki yakni sebanyak 168.099 rumah tangga. Ketiga, sumber pendapatan utama rumah tangga usaha pertanian didominasi oleh sektor pertanian. Keempat, rata-rata ukuran rumah tangga usaha pertanian adalah 4 orang per rumah tangga. Dan kelima, rata-rata ukuran lahan sawah yang dikuasai adalah 3802,4 m2 sedangkan rata-rata ukuran lahan bukan sawah yang dikuasai adalah 1232,8 m2. Persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah di atas rata-rata sebanyak 28,13% dan persentase rumah tangga yang memiliki lahan bukan sawah di atas rata-rata adalah 17,73%. Persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah sekaligus lahan bukan sawah di atas rata-rata sebanyak 6,25% dan persentase rumah tangga yang memiliki lahan sawah sekaligus lahan bukan sawah di bawah rata-rata adalah 47,89%.

Tabel 4 Deskriptif Statistik Karakteristik Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan 2013

Model Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan

Analisis Regresi Linier Berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan di Kabupaten Lamongan. Variabel penjelas yang digunakan antara lain: (i) usia kepala rumah tangga (Age) (ii) jenis kelamin kepala rumah tangga (GendHoH) (iii) jenis pendapatan utama rumah tangga (SourcInc), dan (iv) ukuran rumah tangga (HHSize). Jenis kelamin kepala rumah tangga (GendHoH) adalah variabel dummy

(35)

21 tangga dan menentukan kemampuan rumah tangga dalam menguasai lahan. DumWL dan DumDL bernilai 1 jika kepemilikan masing-masing jenis lahan di atas rata-rata. DumDLWL bernilai 2 jika rumah tangga memiliki lahan sawah sekaligus lahan bukan sawah di atas rata-rata. Satu kategori kepemilikan lain adalah kepemilikan lahan sawah sekaligus lahan bukan sawah di bawah rata-rata. Kategori tersebut memiliki dummy bernilai 0 sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam model.Variabel dependen yang terlibat dalam model (Y) adalah luas lahan sawah (m2) dan luas lahan bukan sawah (m2).

Persamaan berikut ini digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan di Kabupaten Lamongan yang diadaptasi dari Pomp (1995).

(5) Di mana:

Age,AgeSq : usia kepala rumah tangga (tahun) dan usia kepala rumah tangga kuadrat

GenHoH : jenis kelamin kepala rumah tangga

SourcInc : jenis sumber pendapatan utama rumah tangga HHSize : ukuran rumah tangga (orang)

DumWL : dummy kepemilikan lahan sawah di atas rata-rata DumDL : dummy kepemilikan lahan bukan sawah di atas rata-rata

DumDLWL : dummy kepemilikan lahan sawah dan lahan bukan sawah di atas rata-rata

Y : penguasaan lahan sawah atau lahan bukan sawah e : galat

Analisis Data

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan

Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan adalah analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier berganda dikembangkan dari metode analisis regresi linier sederhana yang dikembangkan okeh Carl Friedrich Gauss, seorang matematikawan berkebangsaan Jerman. Analisis regresi linier sederhana merupakan metoe analisis yang populer. Menurut Juanda (2009), analisis regresi linier sederhana sangat aplikatif dan bisa dioperasikan baik secara manual maupun menggunakan perangkat lunak khusus. Pada dasarnya, analisis regresi linier sederhana meminimisasi jumlah kuadrat galat antara data aktual (Yi) dan data yang diestimasi.

Persamaan umum regresi linier sederhana adalah sebagai berikut:

Yi = α + βXi + ɛi (6)

Di mana α adalah intersep, β adalah slope dan koefisien paramater, dan ɛ adalah komponen yang tidak terobservasi dan menjadi galat. Galat tersebut juga diasumsikan sebagai komponen yang bersifat stokastik dan tidak terlibat dalam model.

Analisis regresi linier sederhana berlaku di bawah beberapa asumsi yang disebut Asumsi Gauss-Markov. Asumsi tersebut antara lain:

1. Sisaan terdistribusi normal,

ɛ

i~N(0,

σ

2)

(36)

Salah satu asumsi dari analisis regresi linier sederhana adalah varian galat homogen atau bersifat homoskedastis. Varian galat yang tidak bersifat homoskedastis (bersifat heteroskedastis) biasanya sering terjadi pada data yang bersifat cross-section. Faktor-faktor yang bisa menyebabkan heteroskedastisitas dari ragam galat antara lain: adanya model error learning, mis-spesifikasi bentuk model, keberadaan pencilan pada data, serta adanya distribusi data dari regresor yang tidak asimetris. Davin Henry dalam Gujarati (2004) menyebutkan bahwa heteroskedastisistas juga bisa terjadi karena adanya transformasi data yang keliru serta bentuk fungsi yang salah.

Untuk mendiagnosa keberadaan heteroskedastisitas antara lain melalui metode pendekatan grafis, uji Park, uji Glejser, uji Breusch-Pagan, uji Goldfeld-Quandt, dan uji White. Namun, tidak ada cara yang baku untuk menangani heteroskedastisitas serta cukup rumit untuk memerbaiki masalah tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan antara lain mengoreksi standard error dari estimator melalui metode White dan melakukan inferensi statistika berdasarkan standard error.

3. Tidak ada korelasi sempurna antar-variabel dalam model (tidak ada multikolinearitas) Salah satu asumsi Gauss-Markov adalah tidak ada korelasi sempurna atar variabel independen. Jika korelasi antar variabel independen terjadi, hal itu mengindikasikan bahwa telah terjadi multikolinearitas. Juanda (2009) menjelaskan beberapa cara untuk mendeteksi multikolinearitas. Pertama, melakukan uji korelasi Perason antar variabel independen di dalam model. Jika korelasi tersebut signifikan, maka telah terjadi masalah multikolinearitas. Kedua, jika nilai dari R2 atau nilai F-statistik tidak wajar, misalnya nilai R2 sangat besar, maka multikolinearitas bisa saja terjadi. Ketiga, menurut Berk dalam Juanda (2009) jika nilai K dari K= (λmax/λmin)0.5 dan K ≥ 30 or K ≥

(VIFmax)0.5 . Mengingat efek negatif dari multikolinearitas, Juanda (2009) menjelaskan

beberapa cara untuk memerbaiki multikolinearitas antara lain: memanfaatkan informasi sebelumnya, menghilangnya variabel yang terindikasi multikolinearitas, melakukan transformasi data ke dalam bentuk turunan pertama (first difference) untuk data yang bersifat time-series, melakukan regresi komponen prinsipal, melakukan kombinasi data

cross section dan time series, melakukan pengecekan asumsi yang digunakan pada model, dan menambah data termutakhir.

4. Galat terdistribusi secara independen dan tidak terkorelasi, serta tidak ada korelasi antar observasi [Cov(

ɛ

i,

ɛ

j) = E(

ɛ

i,

ɛ

j) = 0, i≠j]

Asumsi lain dari model regresi linier adalah galat terdistribusi secara independen antar observasi serta tidak berkorelasi, serta tidak ada korelasi antar observasi atau Cov(

ɛ

i,

ɛ

j) = E(

ɛ

i,

ɛ

j) = 0, i≠j. Kondisi tersebut disebut juga serial independence atau bersifat bebas autokorelasi. Autokorelasi dalam data yang bersifat time series membuat hasil analisis regresi lebih besar dari yang seharusnya. Beberapa konsekuensi dari autokorelasi adalah: standard error memiliki nilai yang lebih kecil dari yang seharusnya dan varian galat tidak minimum. Uji Durbin-Watson bisa digunakan untuk mendiagnosa keberadaan autokorelasi pada data yang bersifat time series. Uji statisti Durbin-Watson dilakukan dengan persamaan di bawah ini.

∑ = 2(1- ̂) (7)

Untuk mendeteksi autokorelasi, nilai statistik Durbin-Watson dibandingkan dengan tabel sebaran Durbin-Watson sebagai berikut.

(37)

23

Jika nilai statistik Durbin-Watson kurang dari dL, maka secara signifikan telah terjadi autokorelasi positif. Jika nilai statistik Durbin-Watson lebih dari (4-dL), secara statistik telah terjadi autokorelasi negatif.

Lebih lanjut, untuk mengatasi autokorelasi bisa dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut ini:

1. Memastikan sumber terjadinya autokorelasi apakah murni autokorelasi atau terjadi karena mis-spesifikasi model

2. Jika terjadi autokorelasi murni, bisa dilakukan tranformasi model sehingga model yang baru terbebas dari autokorelasi

3. Pada observasi yang sangat besar, metode Newey-West bisa dilakukan untuk mengoreksi standard error model yang terdeteksi autokorelasi

Apabila model telah memenuhi keempat asumsi Gauss-Markov di atas, bisa dikatakan model bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).

Menghitung Koefisien Gini Penguasaan Lahan

Untuk menghitung koefisien Gini penguasaan lahan, riset ini mengadaptasi cara yang dilakukan Jenkins dalam Nuryartono (2005). Persamaan penghitungan koefisien Gini sama dengan persamaan (4) dan ditulis ulang sebagai berikut.

( ) ∑

Di mana N adalah total populasi, m adalah rataan total luasan lahan, dan Yi adalah luas lahan yang dimiliki rumah tangga ke-i.

Di samping menghitung koefisien Gini, kurva Lorenz juga penting untuk melihat sejauh mana pemerataan distribusi lahan dan seberapa besar ketimpangan distribusi dari pemerataan sempurna. Tahapan-tahapan untuk membuat kurva Lorenz adalah sebagai berikut.

1. Menghitung nilai dari 20%, 40%, 60%, dan 80% dari jumlah rumah tangga

2. Melakukan penghitungan jumlah lahan yang dikuasai oleh 20%, 40%, 60%, dan 80% rumah tangga tersebut. Jumlah lahan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok rumah tangga kemudian dibuat persentase terhadap luas lahan total 3. Melakukkan plotting secara kumulatif. Persentase penduduk di-plot secara

(38)

GAMBARAN UMUM RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DAN

SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN LAMONGAN

Berdasarkan data yang telah diperoleh, populasi rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan secara dominan dikepalai oleh laki-laki. Jumlah rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki-laki sekitar 168.009 rumah tangga dari total keseluruhan rumah tangga 189.343 rumah tangga. Dalam persentase, jumlah rumah tangga yang dikepalai laki-laki mencapai 88,78%. Berdasarkan Chendo et al.(2014), jenis pekerjaan di sektor pertanian yang membutuhkan tenaga besar membuat laki-laki lebih banyak terlibat dan lebih produktif dibandingkan laki-laki.

Tabel 5 Karakteristik Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Lamongan 2013

Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga Usaha Pertanian

Frekuensi Persentase Kumulatif

Laki-laki 168,099 88.78 88.78

Perempuan 21,244 11.22 100.00

Total 189,343 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Untuk karakteristik sumber utama pendapatan rumah tangga usaha pertanian, diketahui bahwa mayoritas rumah tangga mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pemasukan utama. Jumlah tersebut mencapai 87,62% atau sekitar 165.895 rumah tangga dari total 189.343 rumah tangga yang ada.

Tabel 6 Karakteristik Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan 2013

Jenis Sumber Pendapatan Utama Frek. Persen Cum.

Non Pertanian 23,448 12.38 12.38

Pertanian 165,895 87.62 100.00

Total 189,343 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Karakteristik usia kepala rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan didominasi oleh usia 50 tahun. Jumlah rumah tangga usaha pertanian yang dikepalai petani berusia 50 tahun sekitar 11.343 rumah tangga dari total 189.343 rumah tangga. Kepala rumah tangga termuda berusia 10 tahun sebanyak 10 rumah tangga dan kepala rumah tangga tertua berusia 99 tahun yakni sebanyak 270 rumah tangga. Karakteristik usia kepala rumah tangga dirinci pada Lampiran 1.

Karakteristik jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan tersaji pada Lampiran 2. Rumah tangga usaha pertanian Kabupaten Lamongan memiliki ukuran rumah tangga rata-rata 4orang per rumah tangga. Nilai rata-rata ukuran rumah tangga tersebut sama dengan nilai mayoritas ukuran rumah tangga sebanyak 4 orang per rumah tangga, yakni 26,69%.

(39)

25 merupakan sawah rawa lebak, 475, 58 adalah sawah pasang surut, 34.087,5 hektar sawah tadah hujan, 26.263, 46 hektar sawah dari irigasi lain, dan 9.912,38 hektar merupakan sawah irigasi teknis (Gambar 15).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 14 Perbandingan Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah di Kabupaten Lamongan 2013 (hektar)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 15 Karakteristik Lahan Sawah di Kabupaten Lamongan (hektar)

Tingginya luasan lahan sawah dan lahan bukan sawah di Kabupaten Lamongan membuat potensi pertanian di Kabupaten Lamongan cukup besar. Kabupaten Lamongan berpotensi untuk menciptakan swasembada pangan terutama melalui program-program yang sudah dicanangkan pemerintah yakni ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, serta rehabilitasi. Selain itu, tidak menutup kemungkinan adanya pembukaan lahan-lahan baru yang diperuntukkan bagi pertanian daerah. Tingginya potensi pertanian Kabupaten Lamongan terlihat dari jumlah total produksi padi pada tahun 2013 dan membuat Kabupaten Lamongan menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan produksi padi tertinggi. Selain itu, mengingat besarnya luas lahan sawah, padi masih menjadi komoditas pangan utama yang diproduksi oleh Kabupaten Lamongan (Gambar 16) dan masih mejadi priorotas tanaman pangan yang diusahakan petani, terlihat dari luas panen padi adalah yang paling tinggi jika dibandingkan luas panen komoditas pangan yang lain (Gambar 17).

71,995.70

(40)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan 2013

Gambar 16 Perbandingan Produksi Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan 2013 (Ton)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan 2013

Gambar 17 Perbandingan Luas Panen Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan 2013 (hektar)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan

Analisis regresi linier berganda digunakan sebagai metode ekonometrika untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan di Kabupaten Lamongan. Data yang digunakan dalam analisis adalah data Sensus Pertanian Kabupaten Lamongan tahun 2013. Observasi berada pada level rumah tangga dan terdiri dari 189,343 rumah tangga.

261 706.16

6 334.00 36 953

846 275

2 019.00 1 571.35 6 025.89 34 134.27

100 000.00 200 000.00 300 000.00 400 000.00 500 000.00 600 000.00 700 000.00 800 000.00 900 000.00

Jagung Kc.Tanah Kedelai Padi Sorghum Ubi Jalar Kc. Hijau Ubi Kayu

53 130.00

4 915.00 23 725

144 910

680.00 70 4 658.00 1 285.00

20 000.00 40 000.00 60 000.00 80 000.00 100 000.00 120 000.00 140 000.00 160 000.00

(41)

27 Tabel 7 dibawah ini merangkum hasil analisis regresi linier berganda dan memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah. Model tersebut signifikan secara statistik dengan nilai P-value adalah 0.000 pada taraf nyata 1 persen. Tabel 7 Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan Sawah

di Kabupaten Lamongan

Variabel Koefisien Robust Std.

Error t P-value

Age .014659 .0007902 18.55 0.000*

AgeSq -.0001186 7.37e-06 -16.11 0.000*

HHSize .1568562 .0068976 22.74 0.000*

SourcInc .1284221 .0051274 25.05 0.000*

GendHoH -.0922142 .0043663 -21.12 0.000*

DumDL .0162874 .004053 4.02 0.000*

DumWL 1.322103 .0029102 454.29 0.000*

DumDLWL .06260142 .0024077 260.01 0.000*

const 6.882009 .0215591 319.22 0.000*

R2 = 0.6266

*) Signifikan pada taraf nyata 1%

Semua variabel yang terlibat dalam model signifikan pada taraf nyata 1 persen. Usia kepala rumah tangga (Age), jenis pendapatan utama rumah tangga (SourcInc), dan ukuran rumah tangga (HHSize) secara positif menegaruhi penguasaan lahan. Artinya, seiring dengan bertambahnya usia kepala rumah tangga dan ukuran rumah tangga, maka penguasaan lahan sawah per rumah tangga usaha pertanian juga akan naik. Jika sumber pendapatan rumah tangga bersumber dari pertanian, rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga juga akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki rumah tangga dengan sumber pendapatan utama bukan dari pertanian. Untuk jenis kelamin kepala rumah tangga, rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan lebih sedikit jika dibandingkan rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki-laki.

Hasil analisis di atas sama halnya dengan hasil riset yang dilakukan oleh Pomp (1995). Pomp menemukan bahwa usia kepala rumah tangga, jenis pendapatan utaama, jenis kelamin kepala rumah tangga, dan ukuran rumah tangga secara signifikan memengaruhi kepemilikan lahan di Sulawesi Selatan. Ukoha et al. (2012) juga menemukan bahwa usia kepala rumah tangga dan jenis penerimaan utama memengaruhi penguasaan lahan secara signifikan. Demikian halnya dengan Chendo et al. (2014) yang juga membuktikan bahwa jenis kelamin kepala rumah tangga secara signifikan memengaruhi penguasaan lahan.

Usia kepala rumah tangga cenderung memiliki pengaruh positif terhadap penguasaan lahan sawah per rumah tangga usaha pertanian karena telah menjadi budaya bagi masyarakat Suku Jawa dan rumah tangga petani untuk mengakumulasi lahan sawah sebagai aset utama rumah tangga. Pengaruh usia terhadap peningkatan jumlah lahan sawah sebagai aset bisa dijelaskan melalui Teori Siklus Kehidupan dan Akumulasi Aset yang dicetuskan oleh Modigliani.

Gambar

Gambar 1 Peranan Sektor Pertanian bagi PDB Indonesia
Gambar 2 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian 2010-2014
Gambar 5 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Luas Panen Terbesar  2013
Gambar 7 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Penguasaan Lahan Pertanian per
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan keterampilan menulis paragraf aksara Jawa melalui model pembelajaran Student Team

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode

materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa

Adapun dalam penelitian ini dibagi berbagai tahapan-tahapan seperti dengan mengumpulkan data primer (seperti data volume parkir dan durasi parkir) dan data

Data yang diharapkan melalui observasi adalah berbagai kegiatan yang dilaksanakan dengan pihak- pihak yang terlibat dalam kegiatan termasuk observasi ter hadap fasilitas kegiatan

Dan plot ketiga menyatakan hubungan dengan sikap pada ekowisata yaitu iklan Central ( Means 4,75),dan variable dependent x3,angka signifikansi di bawah 0,05

Pendekatan CTL itu sendiri adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasikan di Indonesia pada tahun 1848 pada intinya mengatur hubungan hukum antara orang perorangan, baik mengenai