• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat Periode 2007-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat Periode 2007-2011"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

PENGARUH INFEKSI HIV TERHADAP

MORTALITAS PASIEN TB PARU

DI PUSKESMAS KAMPUNG BALI J AKARTA PUSAT

PERIODE 2007-2011

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Mohammad Zul Hazmi

NIM: 109103000021

PROGRAM STUDI PENDIDIK AN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Assala mu’a laikum Wa rahma tullahi Waba ra ka tuh…

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membuka wawasan umat manusia dari zaman Jahiliyah ke zaman Islamiyah yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul, “Pengar uh Infeksi HIV ter hadap Mor talitas Pasien TB Par u di Puskesmas Kampung Bali J akar ta Pusat Per iode 2007-2011”sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, penulis tentunya mendapatkan banyak kendala dan hambatan. Untuk mengatasi kendala dan hambatan tersebut penulis mendapat bantuan, dukungan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Pembimbing riset penulis, dr. Rachmania Diandini, MKK dan dr. Yanti

Susianti, SpA yang telah mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku penanggung jawab riset Program Studi Pendidikan Dokter 2009.

3. dr. Marta dan Bu Murni yang telah memberi izin dan melayani penulis dalam mengambil data untuk sampel penelitian di Puskesmas Kampung Bali.

(6)

vi

5. Sahabat dan teman-teman beserta seluruh staf pengajar dari Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ikut membantu dan memberi dukungan dalam penelitian ini.

6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan, dapat dijadikan pelajaran bagi adik-adik penulis selanjutnya serta dapat menambah pengetahuan kita semua.

Jakarta, September 2012

(7)

vii ABSTRAK

Mohammad Zul Hazmi. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali, Jakarta Pusat Periode 2007-2011. 2012

Tuberkulosis merupakan penyebab penting kematian pada pasien yang terinfeksi HIV. Prevalensi HIV pada pasien TB paru adalah 2.8%. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Puskesmas Kampung Bali. Kajian dilakukan dari kartu pengobatan dan catatan medis dari semua pasien TB yang terdaftar dari Januari 2007 hingga Desember 2011 dan menerima terapi standar pengobatan anti-tuberkulosis. Analisis dilakukan dengan membandingkan data dari pasien TB tanpa infeksi HIV dan yang terinfeksi HIV. Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap hasil pemeriksaan sputum BTA (OR=3.23; IK95%, 1.35-7.75, P=0.006). Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap tingkat mortalitas (OR=12,41; IK95%, 4.69-32.81, P<0.001). Sebanyak 24 pasien dari 189 pasien TB (12,7%) meninggal selama menjalani masa pengobatan TB. Angka mortalitas tinggi pada pasien koinfeksi TB-HIV. Status HIV positif meningkatkan risiko mortalitas pada pasien TB paru. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai insidens dan prognosis pasien koinfeksi TB-HIV.

Kata kunci: angka mortalitas, pengobatan tuberkulosis, koinfeksi TB-HIV ABSTRACT

Mohammad Zul Hazmi. Medical Study Program. Effect of HIV infection toward mortality in Pulmonary Tuberculosis patients in Puskesmas Kampung Bali Central Jakarta Period 2007-2011. 2012.

Tuberculosis an important cause of death among patients infected with HIV. Prevalence of HIV in pulmonary TB patients was 2,8%. This research was cross sectional design. This study done in Puskesmas Kampung Bali. A review was performed on treatment cards and medical records of all TB patients registered on standardized anti-tuberculosis treatment from January 2007 to December 2011. This analysis was compared data of tuberculosis in HIV-negative and HIV-infected patients. There was significant correlation between HIV status in TB patients with smear sputum examination results (OR=3.23; CI 95%, 1.35-7.75, P=0.006). There was significant correlation between HIV status in TB patients with mortality rate (OR=12,41; CI 95%, 4.69-32.81, P<0.001). There were 24 patients from 189 TB patients (12,7%) was died during TB treatment. The rates of death were high among patients with co-infection TB-HIV. Positive HIV increased mortality risk in pulmonary TB patients. More research about incidence and prognosis in patients co-infection TB-HIV was needed.

(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJ IAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II ... 4

2.1. Definisi ... 4

2.2. Epidemiologi... 4

2.3. Pengaruh HIV terhadap Sistem Imun ... 5

2.3.1. Abnormalitas pada Imunitas Seluler ... 5

2.3.2. Abnormalitas pada Imunitas Humoral ... 6

2.4. Patogenesis Tuberkulosis ... 6

2.3.1. Tuberkulosis Primer ... 7

2.3.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) ... 8

2.5. Diagnosis TB ... 8

2.5.1. Diagnosis TB paru ... 8

2.5.2. Diagnosis TB ekstra paru ... 8

2.5.3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) ... 9

2.5.4. Diagnosis TB MDR ... 11

2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien ... 11

2.7. Pengobatan TB ... 13

2.8. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS ... 19

(9)

ix

2.10. Definisi Operasional ... 22

BAB III ... 23

3.1. Desain Penelitian ... 23

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.3. Populasi dan Sampel ... 23

3.3.1. Besar Sampel ... 23

3.3.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24

3.4. Kerangka Teori ... 24

3.5. Kerangka Konsep ... 25

3.6. Prosedur Pengumpulan Data ... 25

3.7. Analisis Data ... 25

3.8. Etika Penelitian... 25

BAB IV ... 26

4.1. Karakteristik Pasien ... 26

4.1.1. Karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin ... 27

4.1.2. Karakteristik berdasarkan Umur ... 28

4.1.3. Karakteristik berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA ... 28

4.2. Hubungan Infeksi HIV dengan Mortalitas Pasien TB Paru ... 30

4.3. Keterbatasan penelitian ... 32

BAB V ... 34

5.1. Simpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

(10)

x

DAF TAR TABEL

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT ... 15

Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama... 15

Tabel 2.3 Dosis paduan OAT-KDT Kategori 1 ... 17

Tabel 2.4 Dosis OAT-Kombiak Kategori 1 ... 17

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT-KDT Kategori 2 ... 17

Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak Kategori 2 ... 18

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan ... 18

Tabel 2.8 Dosis OAT-Kombipak untuk Sisipan ... 18

Tabel 2.9 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB ... 19

Tabel 2.10 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak ... 20

Tabel 2.11 Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur ... 21

Tabel 2.12 Definisi operasional, variabel penelitian, dan skala pengukuran ... 22

Tabel 4.1 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ...27

Tabel 4.2 Analisis Bivariat pada Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin 27 Tabel 4.3 Distribusi Jenis Kelamin pada Subyek Penelitian Terkini... 28

Tabel 4.4 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Umur ... 28

Tabel 4.5 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum- BTA ...29

Tabel 4.6 Analisis Bivariat pada Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksa-an Sputum BTA ... 29

Tabel 4.7 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pengamatan... 30

(11)

xi

DAF TAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru ... 9

Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang rawat jalan ... 10

Gambar 3.1 Kerangka Teori ...24

Gambar 3.2 Kerangka Konsep ... 25

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus).1 Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 34 juta jiwa hidup dengan terinfeksi HIV dan 2,7 juta jiwa dengan infeksi baru HIV disertai 1,8 juta jiwa meninggal. Sementara di Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta jiwa hidup dengan terinfeksi HIV dan 270.000 jiwa dengan infeksi baru HIV disertai 250.000 jiwa meninggal. Hal ini diperberat dengan kejadian tuberkulosis yang meningkat dengan 8,8 juta kasus TB di dunia dan 1,1 juta jiwa diantaranya terinfeksi HIV dengan estimasi 350.000 jiwa meninggal.2

Menurut Kemenkes RI Dirjen PP&PL, Indonesia berada pada peringkat ke-lima dengan beban TB tertinggi di dunia serta percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara Negara-negara di Asia. Estimasi Nasional prevalensi HIV pada pasien TB paru adalah 2.8%.3 Tuberkulosis dan HIV merupakan dua penyakit yang saling berkaitan dan jumlah kasusnya makin meningkat.4

Pengobatan pada pasien tuberkulosis dengan penemuan kasus baru HIV merupakan salah satu tantangan terbesar di bidang kedokteran. Pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV memerlukan pengobatan antituberkulosis sesuai dengan pemberian kombinasi obat yang terdiri atas rifampisin, isoniazid, dan streptomisin atau etambutol selama 56 hari pada fase intensif, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin atau etambutol selama 6 sampai 9 bulan pada fase lanjutan, serta 3 kombinasi standar terapi antiretroviral seumur hidup. Keadaan ini tentu memicu ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat terkait masa pengobatan yang panjang, efek samping, serta interaksi obat yang memicu toksisitas pada hati.5,6

(13)

2

secara dini dan bersamaan.6 Hal ini juga perlu dipertimbangkan terkait angka morbiditas dan mortalitas akibat AIDS (Acquired Immunodeficinecy Syndrome) yang juga semakin meningkat pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV.7

WHO telah merekomendasikan bahwa terapi antiretroviral diberikan 8 minggu setelah dimulainya pengobatan tuberkulosis terkait interaksi obat antara rifampin dengan beberapa obat antiretroviral serta meningkatnya risiko kejadian IRIS.8,9 Namun, tata laksana pada pasien TB koinfeksi HIV di Puskesmas Kampung Bali masih menggunakan prinsip pengobatan antiretroviral akan diberikan jika pengobatan antituberkulosis telah tuntas. Penundaan pemberian antiretroviral selama 6 sampai 9 bulan tentu meningkatkan risiko infeksi oportunistik pada pasien terkait semakin menurunnya kadar CD4+ dan meningkatnya kadar vira l load.7 Bagaimana pun juga belum ada pedoman yang spesifik mengenai waktu pemberian obat yang tepat sehingga dalam hal ini optimalisasi waktu yang tepat dalam pemberian obat antituberkulosis dan terapi antiretroviral masih dalam masa penelitian lebih lanjut.

Sebelum memulai terapi antiretroviral tentunya penting untuk mengetahui hasil akhir pengobatan antituberkulosis yang optimal, dengan melakukan monitoring dan evaluasi yang tepat. Hasil akhir pengobatan yang dimaksud adalah kesembuhan. Mortalitas dan morbiditas pada pasien TB koinfeksi HIV akan menentukan perencanaan selanjutnya sebelum memberikan terapi antiretroviral. Hal-hal yang mendukung dugaan infeksi HIV pada pasien TB adalah pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi, pasien termasuk kelompok risiko tinggi terkena HIV, dan keluhan pasien yang menimbulkan dugaan HIV.

(14)

1.2.Rumusan Masalah

Apakah tingkat mortalitas pada pasien TB paru koinfeksi HIV lebih tinggi daripada pasien TB paru selama menjalani masa pengobatan antituberkulosis? 1.3.Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan angka mortalitas berdasarkan data pada pasien tuberkulosis dengan koinfeksi HIV dibandingkan dengan pasien tuberkulosis tanpa koinfeksi HIV.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan status HIV dengan hasil pemeriksaan sputum BTA pada pasien TB paru.

b. Mengetahui karakteristik pasien yang meninggal selama menjalani masa pengobatan.

1.4.Manfaat Penelitian

(15)

4 BAB II

TINJ AUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menyerang sistem imunitas manusia yaitu sel limfosit T CD4+ (T helper) yang berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi sistem pertahanan tubuh yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons sistem kekebalan tubuh yang progresif, yang kemudian akan berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV akan menimbulkan manifestasi klinis berupa AIDS. Karakteristik penyakit ini yaitu penurunan sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis.11

2.2. Epidemiologi

Data WHO Globa l Report yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan pada tahun 2010 turun menjadi 244 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Data prevalensi tahun 2004 menggunakan uji konfirmasi laboratorium yang memberikan angka prevalensi Nasional TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopis BTA terhadap suspek adalah sebesar 104 kasus per 100.000 penduduk.12

(16)

2.3. Pengar uh HIV ter hadap Sistem Imun

HIV terutama menginfeksi limfosit CD4+ atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peran sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.11,13

2.3.1. Abnor malitas pada Imunitas Seluler

Untuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur, dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh sel limfosit CD4+. Demikian juga sel NK (Na tura l Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, di samping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus oleh antibodi melalui mekanisme antibodi dependent cell media ted cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.11,13

(17)

6

2.3.2. Abnor malitas pada Imunitas Humor al

Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan limfosit CD4+ yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B Cell Growth Factors), dan BCDF (B Cell Differentia tion Fa ctors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdeferensiasi menjadi sel plasma. Dengan adanya antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi.13

HIV meyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara polikolonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG. Selain memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada ODHA (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat. Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.13

2.4. Patogenesis Tuberkulosis

Patogenesis tuberkulosis pada individu imunokompeten yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkular. Gambaran patologik tuberkulosis, seperti granuloma perkijuan dan kavitas, terjadi akibat hipersensitivitas jaringan destruktif yang merupakan bagian penting dari respon imun pejamu. Karena sel efektor untuk kedua proses sama, gambaran hipersensitivitas jaringan juga menandakan akuisisi imunitas terhadap organisme.14,15

(18)

Oleh karena itu, fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi bakteremia dan penyemaian di banyak tempat. Meskipun terjadi bakteremia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimtomatik atau mengalami gejala mirip flu.14,15

Timbulnya imunitas seluler terjadi sekitar 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan histokompatibilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel TH0 CD4+ uncommitted yang memiliki reseptor sel Tαβ. Sel TH0 ini mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 karena pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh makrofag. Sel TH1 mampu mengeluarkan IFN-γ yang penting untuk mengaktifkan makrofag. Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik CD8+, yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh tuberkulosis.14

2.3.1. Tuber kulosis Pr imer

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada tidak adanya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, kuman akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel ≤ 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya.15

(19)

8

dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB primer.15

2.3.2. Tuber kulosis Pasca Pr imer (Tuber kulosis Sekunder )

Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.15

2.5. Diagnosis TB

2.5.1. Diagnosis TB par u

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.16

2.5.2. Diagnosis TB ekstr a par u

(20)

2.5.3. Diagnosis TB pada Or ang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Pada pasien ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:

1. TB paru BTA positif yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB paru BTA negatif yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis & radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.

3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.16

(21)

10

Ga mbar 2.2 Alur Diagnosis TB Par u pada ODHA yang r awat jalan16 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Keterangan:

a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.

b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.

(22)

d. BTA positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif.

e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.

f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinica l staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.

h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolone) untuk mengatasi typical & atypica l bacteria.

i. PCP = Pneumocystis ca rinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia pneumocystis jirovecii

j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.16 2.5.4. Diagnosis TB MDR

Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.16

2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

a. Klasifikasi ber dasar kan or gan tubuh (anatomical site) yang ter kena: 1) Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

(23)

12

b. Klasifikasi ber dasar kan hasil pemer iksaan dahak mikr oskopis, keadan ini ter utama ditujukan pada TB Par u:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.16

c. Klasifikasi ber dasar kan r iwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

2) Kasus yang sebelumnya diobati

(24)

b) Kasus setelah putus berobat adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

c) Kasus setelah gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

3) Kasus pindahan adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya.

4) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:

a) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya.

b) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya. c) Kembali diobati dengan BTA negatif.16

2.7. Pengobatan TB Kemoterapi bertujuan:

a. Mengobati pasien dengan sedikit mungkin mengganggu aktivitas hariannya, dalam periode pendek, tidak memandang apakah dia peka atau resisten terhadap obat yang ada.

b. Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya. c. Mencegah kambuh.

d. Mencegah munculnya resistensi obat. e. Mencegah lingkungannya dari penularan.17

(25)

14

Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell wall biosynthesis pa thway. INH dianggap sejenis obat yang aman. Efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.17

Rifampisin juga merupakan obat anti-TB yang ampuh, menghambat polymerase DNA dependent ribonucleic a cid (RNA) M. tuberkulosis. Efek samping yang sering diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndrome’s, dan trombositopenia. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan.17

Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraseluler dan agen anti tuberkulos ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang sering diakibatkan adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia.17 Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatik, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resistensi obat. 17

Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial VIII yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin, dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resisten multi obat.17

(26)

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT16

Golongan dan Jenis Obat

Golongan-1 (lini pertama) § Isoniazid (H) §Ethambutol (E)

§ Moxifloxacin (Mfx)

Golongan-4 (bakteriostatik lini kedua)

§ Ethionamide (Eto)

§ Prothionamide (Pto)

§ Cycloserine (Cs)

§ Thioacetazone (Thz)

§ Clarithromycin (Clr)

§ Imipenem (Ipm) Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 2 J enis, Sifat dan Dosis OAT lini per tama16

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3x seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40) Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35) Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

(27)

16

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia:

a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.

2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. 3) Paduan obat sisipan: HRZE

4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

5) Obat yang digunakan dalam tata laksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloxa cin, Ethiona mide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.

b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. c. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,

Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.16

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.16

Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya:

a. Paduan OAT kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru: 1) Pasien baru TB paru BTA positif.

(28)

Tabel 2. 3 Dosis paduan OAT-KDT Kategor i 116

Berat Badan

Tahap Intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3x seminggu selama 16 minggu RH (150/50)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 4 Dosis OAT-Kombiak Kategor i 116

Tahap

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

1) Pasien kambuh 2) Pasien gagal

3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 2. 5 Dosis untuk paduan OAT-KDT Kategor i 216 Berat

Badan

Tahap intensif (tiap hari) RHZE (150/75/400/275) + S

(29)

18

Tabel 2. 6 Dosis paduan OAT-Kombipak Kategor i 216

Tahap

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

c. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan16

Berat Badan Tahap intensif (tiap hari) selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tab 4KDT

38 – 54 kg 3 tab 4KDT

55 – 70 kg 4 tab 4KDT

≥ 71 kg 5 tab 4KDT

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 8 Dosis OAT-Kombipak untuk Sisipan16

Tahap

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

(30)

2.8. Pengobatan Tuber kulosis dengan infeksi HIV/AIDS

Tata laksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau kadar CD4. Pengobatan TB pada ODHA perlu diperhatikan apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB. Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip:

a. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun di bawah 200/mm3.

b. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.

c. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa memandang kadar CD4.

Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), Pasien tersebut dirujuk ke RS rujukan pengobatan ARV.16

Tabel 2.9 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB16 Obat ARV Paduan pengobatan ARV

pada waktu TB didiagnosis Pilihan obat ARV Lini

pertama

2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau

Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r

Lini kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila sementara menggunakan) paduan mengandung LPV/r Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

2.9. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

(31)

20

untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.16 Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel 2.10.

Tabel 2.10 Tindak Lanjut Hasil Pemer iksaan Ulang Dahak16 Tipe pasien

Negatif Tahap lanjutan dimulai

Positif

Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan.

Jika setelah sisipan masih tetap positif:

§ Tahap lanjutan tetap diberikan

§ Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pada bulan

ke-5 pengobatan

Negatif Pengobatan dilanjutkan

Positif

Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

Akhir pengobatan

Negatif Pengobatan dilanjutkan

Positif

Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR

Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan

Positif

Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif:

§ Tahap lanjutan tetap diberikan

§ Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pada bulan

ke-5 pengobatan

Negatif Pengobatan diselesaikan

Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-MDR

Akhir pengobatan

Negatif Pengobatan diselesaikan

Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB-MDR

(32)

b. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Tabel 2.11 Tatalaksana pasien yang ber obat tidak ter atur16 Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:

§ Lacak pasien

§ Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur

§ Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:

Tindakan-1 Tindakan-2

Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih dari 2 bulan (Default):

§ Periksa 3 kali diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan)

Bila satu atau lebih hasil BTA

positif

Kategori-1 Mulai kategori-2

Kategori-2 Rujuk, kasus TB resisten obat

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

c. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif 1) Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya

(33)

22

3) Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

4) Putus berobat (default) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5) Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 6) Pindah (tra nsfer out) adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan

pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

7) Keberhasilan pengobatan (treatment success) adalah jumlah pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA atau biakan positif.16

2.10. Definisi Oper asional

Tabel 2.12 Definisi oper asional, var iabel penelitian, dan skala penguk uran

Var iabel Definisi Oper asional Skala Skor

Variabel bebas: Status pasien

Kesediaan pasien mengikuti VCT dan hasil pemeriksaan antibodi HIV (rapid test)

Kategorik

1. TB dengan koinfeksi HIV

2. TB tanpa infeksi HIV

Variabel terikat:

Hasil pemeriksaan sputum pada saat awal diperiksa berdasarkan form TB.01:

§ BTA negatif adalah 3

spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

§ BTA positif adalah 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

Hasil pengamatan berdasarkan form TB.01 selama pasien menjalani masa pengobatan:

§ Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

(34)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian

Desain penelitian yang dipilih adalah rancangan studi analytical cross sectional. Pengambilan data diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik.

3.2.Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan dari bulan April sampai bulan Juni 2012. Penelitian dilakukan terhadap data sekunder di bagian rekam medis Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat.

3.3.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang menjalani masa pengobatan antituberkulosis. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang menjalani masa pengobatan antituberkulosis di Puskesmas Kampung Bali yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling.

3.3.1. Besar Sampel

Untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen dengan analitik kategorik tidak berpasangan, maka rumus yang digunakan:19,20

N1 = N2 =( 2 +( − ) + )

Keterangan:

Zα: Nilai baku alpha P2: Proporsi pada kelompok tidak berisiko Zβ: Nilai baku beta P1: Proporsi pada kelompok berisiko P1-P2: Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna

Q2= 1-P2 Q1= 1-P1 Q= 1-P

P: Proporsi total = 2 2

1 P

P 

(35)

24

Nilai Zα=1,96 untuk interval kepercayaan 95%, nilai Zβ=0,84 untuk power penelitian 80%, dan nilai P2 dari penelitian sebelumnya sebesar 19%. Nilai P1-P2 ditetapkan sebesar 20%.7,19,20

N1 = N2 = ( 1,96√2 × 0 ,29 × 0,71 + 0 ,84√0 ,3 9 × 0 ,61 + 0,19 × 0 ,81) ( 0,2)

N1 = N2 = 7 9,5 3

Dengan demikian, besar sampel minimal yang diperlukan pada tiap kelompok adalah 80 pasien.

3.3.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

1. Pasien yang berobat TB dan menerima OAT minimal 56 hari 2. Berusia 12-80 tahun

3. Pasien yang sudah melakukan pemeriksaan sputum BTA dengan hasil positif maupun negatif

4. Kasus baru dan kasus yang sebelumnya pernah diobati (kambuh, putus obat, gagal)

5. Pasien ODHA yang sudah melakukan pemeriksaan HIV Kriteria eksklusi:

1. Pasien dengan TB ekstra paru 2. Kasus pindahan

3. Pasien yang memerlukan terapi antiretroviral (ARV)

4. Pasien putus obat yang hilang dari pengamatan saat penelitian 3.4.Kerangka Teori

(36)

3.5.Kerangka Konsep

Penelitian ini mencari hubungan antara variabel bebas (independent) koinfeksi TB-HIV terhadap hasil pemeriksaan sputum dan proporsi mortalitas pasien sebagai variabel terikat (dependent).

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

3.6.Prosedur Pengumpulan Data

Data pasien di dapat dari form TB.01 berupa kartu pengobatan pasien TB dan form TB.02 berupa kartu identitas pasien TB yang terdapat di bagian rekam medis Puskesmas Kampung Bali yang tercatat dari Januari 2007 sampai Desember 2011. Data yang diinginkan kemudian disalin ke lembar pengumpulan data dan kemudian pindahkan ke Microsoft Excel 2007.

3.7.Analisis Data

Data yang diperoleh akan diskrining dengan data populasi digunakan untuk analisis deskriptif, dan data inklusi digunakan untuk menganalisis hubungan status HIV terhadap hasil pemeriksaan sputum dan proporsi mortalitas pasien TB paru. Pengolahan data menggunakan software SPSS 16.0

dengan menggunakan uji chi square.20

3.8.Etika Penelitian

(37)

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Pasien

Dalam melakukan pelayanan dan penatalaksanaan pasien tuberkulosis, tim dokter Puskesmas Kampung Bali mengacu pada pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Kemudian pedoman penatalaksanaan beralih ke pedoman yang baru yakni Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2011 yang diawali dengan keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 364/Menkes/SK/V/2009. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kewaspadaan terhadap terjadinya MDR-TB dan pentingnya masalah koinfeksi TB-HIV diakomodasi dengan ditambahkan bab

Kolaborasi TB-HIV.16

Berdasarkan gambar 4.1 diketahui bahwa pasien yang ikut serta dalam pengobatan TB paru dari Januari 2007 –Desember 2011 sebanyak 300 orang yang terdiri dari 217 pasien TB paru tanpa infeksi HIV dan 83 pasien TB paru dengan koinfeksi HIV. Pasien yang dieksklusi sebanyak 111 pasien sehingga 189 pasien yang dapat diikuti sampai akhir pengobatan dan akan dianalisis dengan proporsi yang terdiri dari 145 pasien TB paru tanpa infeksi HIV dan 44 pasien TB paru dengan koinfeksi HIV.

(38)

4.1.1. Karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa subyek penelitian sebagian besar didapatkan laki-laki sejumlah 134 pasien (70,9%), sedangkan perempuan sejumlah 55 pasien (29,1%). Secara nasional pada pasien TB paru, prevalensi penderita laki-laki adalah 0,8% dan perempuan 0,6%.

Tabel 4.1 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan J enis Kelamin (n=189)

J enis Kelamin J umlah Persentase (% )

Laki-laki 134 70.9

Perempuan 55 29.1

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin dapat dirinci sebagaimana tercantum pada tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa pada pasien TB dengan koinfeksi HIV didapatkan laki-laki sebanyak 38 pasien (86,4%) lebih banyak dari perempuan demikian juga pada kelompok pasien TB tanpa infeksi HIV didapatkan laki-laki sebanyak 96 pasien (66,2%). Didapatkan nilai p=0,01 yang menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis baik dengan koinfeksi HIV maupun tanpa infeksi HIV. Didapatkan nilai OR=3,23 yang menunjukkan pasien laki-laki mempunyai peluang 3,23 kali lebih besar daripada perempuan untuk mengalami tuberkulosis terutama pada kelompok dengan koinfeksi HIV.

Tabel 4.2 Analisis Bivar iat pada Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin (n=189)

(39)

28

Havlir dkk di 4 kontinen (Afrika, Asia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan), pasien laki-laki sejumlah 235 orang (59%); dan juga studi lanjutan Karim dkk di

Afrika Selatan, pasien laki-laki sebanyak sejumlah 112 orang (52,1%).7,21,22,23

Tabel 4.3 Distribusi Jenis Kelamin pada Subyek Penelitian Terkini

Penelitian Jumlah pasien TB Laki-laki (%)

Karim et al7 213 52,1%

Blanc et al20 210 63,8%

Havlir et al21 235 59%

Karim et al22 112 52,1%

4.1.2. Karakteristik berdasarkan Umur

Tabel 4.4 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Umur (n=189)

Kelompok Umur Jumlah Persentase (%)

13-19 11 5,8

20-26 39 20,6

27-33 50 26,5

34-40 19 10,1

41-47 19 10,1

48-54 20 10,6

55-61 19 10,1

62-68 7 3,7

69-74 5 2,6

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah responden sebagian besar berumur 27-33 tahun yaitu sejumlah 50 pasien (26,5%) diikuti oleh kelompok umur 20-26 tahun sejumlah 39 pasien (20,6%). Prevalensi TB secara nasional cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Angka tertinggi berada pada kelompok usia 55-64 tahun (1,3%) dan terendah pada kelompok umur 15-24

tahun (0,3%).12

4.1.3. Karakteristik berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA

(40)

Tabel 4.5 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA (n=189)

Tipe Kasus J umlah Persentase (% )

BTA negatif 127 67.2

BTA positif 62 32.8

Berdasarkan karakteristik tipe kasus dapat dirinci seperti tercantum pada tabel 4.6 didapatkan hasil pemeriksaan BTA negatif pada pasien TB dengan koinfeksi HIV sebanyak 37 pasien (84,1%) lebih banyak dari kasus temuan BTA positif sebanyak 7 pasien (15,9%). Kelompok pasien TB tanpa infeksi HIV juga didapatkan hasil pemeriksaan BTA negatif sebanyak 90 pasien (62,1%). Didapatkan nilai p=0,006 yang menunjukkan adanya hubungan antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan kejadian tuberkulosis baik dengan koinfeksi HIV maupun tanpa infeksi HIV. Didapatkan nilai OR=3,23 yang menunjukkan pada kasus TB koinfeksi HIV mempunyai peluang 3,23 kali lebih besar daripada kasus TB tanpa infeksi HIV yang dapat ditemukan hasil pemeriksaan sputum BTA negatif.

Tabel 4.6 Analisis Bivariat pada Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA (n=189)

Status HIV

(41)

30

baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut

tidak ditemukan dalam sputum mereka.14,15

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cain dkk di 3 negara (Kamboja, Thailand, dan Vietnam) pada tahun 2009, diketahui bahwa hasil pemeriksaan 3 spesimen (sewaktu, pagi, sewaktu) sputum BTA didapatkan 90,5% pasien TB koinfeksi HIV menunjukkan dua spesimen sputum yang hasilnya negatif, sehingga mereka harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan foto toraks dan hitung jumlah sel CD4+. Pemeriksaan lanjutan tersebut dapat menyaring 14%

pasien dengan sputum BTA negatif yang ternyata dapat didiagnosis pasti TB.25

4.2. Hubungan Infeksi HIV dengan Mortalitas Pasien TB Paru

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa jumlah responden sebagian besar didapatkan pada hasil akhir pengobatan sejumlah 165 pasien (87,3%) masih hidup, sedangkan 24 pasien (12,7%) meninggal pada saat masih menjalani pengobatan antituberkulosis.

Tabel 4.7 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pengamatan (n=189)

Hasil Pengamatan J umlah Persentase (% )

Meninggal 24 12.7

Masih Hidup 165 87.3

(42)

pasien TB dengan koinfeksi HIV mempunyai risiko mortalitas 12,41 kali lebih besar daripada pasien TB tanpa infeksi HIV.

Tabel 4.8 Hubungan Infeksi HIV dengan mortalitas pasien TB Paru (n=189)

Status Pasien

Insiden tuberkulosis primer progresif sangat tinggi pada pasien positif HIV

dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ <200 sel/mm3). Imunosupresi

menyebabkan pasien tidak mampu membentuk reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel T CD4+ untuk menahan infeksi; karena hipersensitivitas dan resistensi umumnya terjadi bersamaan, tidak adanya reaksi hipersensitivitas jaringan menyebabkan hilangnya granuloma perkijuan khas (tuberkulosis nonreaktif).14

Tuberkulosis sekunder juga harus selalu dipikirkan pada pasien positif HIV yang memperlihatkan penyakit paru. Perlu dicatat bahwa sementara infeksi HIV berkaitan dengan peningkatan risiko tuberkulosis pada semua stadium penyakit HIV, manifestasi berbeda bergantung pada derajat imunosupresi. Tingkat imunosupresi juga menentukan frekuensi keterlibatan jaringan di luar paru, yang meningkat dari 10% hingga 15% pada pasien dengan imunosupresi ringan

menjadi lebih dari 50% pada mereka yang mengalami imunodefisiensi berat.14

(43)

32

namun juga akan meningkatkan risiko kejadian IRIS (immune reconstitution

inflammatory syndrome).5,6,7 Keadaan ini menarik perhatian bahwa pemberian

terapi pada pasien TB koinfeksi HIV perlu mempertimbangan keuntungan dan

risiko yang akan diperoleh dengan tetap memantau jumlah sel CD4+.7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jonnalagada dkk di India pada tahun 2005-2009 didapatkan 6% pasien TB meninggal selama menjalani masa pengobatan antituberkulosis. Kasus fatal lebih tinggi pada kasus dengan riwayat TB sebelumnya yakni sebesar 12% kasus TB dan lebih sedikit pada kasus TB ekstraparu sebesar 2% kasus. Jonnalagada dkk mendapatkan 28% dari seluruh pasien yang meninggal selama masa pengobatan terjadi dalam 8 minggu pengobatan awal. Penelitiannya belum mempresentasikan kelompok TB dengan

koinfeksi HIV.27

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Fenner dkk di Swiss pada tahun 2000-2008 didapatkan bahwa 14,6% pasien TB dengan koinfeksi HIV meninggal selama menjalani masa pengobatan antituberkulosis. Penelitiannya tidak

mempresentasikan kondisi Negara berkembang.28 Tingkat mortalitas pada

penelitian Jonnalagada dan Fenner yang memperlihatkan survival pasien terlihat lebih baik dari penelitan yang dilakukan di Puskesmas Kampung Bali dengan tingkat mortalitas sebesar 38,6% kasus TB dengan koinfeksi HIV. Tingkat keberhasilan pengobatan dapat dipengaruhi pengawasan terhadap pasien agar patuh minum obat dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), pemantauan kualitas obat dengan melaksanakan surveilans kasus MDR (Multi Drug Resistance), dan perhatian ketat dengan penyakit yang memperberat kesuksesan hasil pengobatan, seperti HIV/AIDS dan Diabetes Mellitus.

4.3. Keterbatasan penelitian

1. Desain penelitian cross sectional tidak menggambarkan perjalanan

penyakit, insidens, maupun prognosis.

2. Pengumpulan data terlalu mengandalkan data sekunder dari rekam medis

(44)

3. Peneliti tidak mengetahui akurasi sertifikat kematian yang benar-benar disebabkan oleh tuberkulosis atau sebab kematian lainnya.

4. Adanya faktor bias yang tidak dianalisis namun mempengaruhi hasil akhir

(45)

34

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Tingkat mortalitas selama masa pengobatan antituberkulosis pada pasien

TB paru koinfeksi HIV sebesar 38,6% (17 dari 44 pasien) lebih tinggi daripada pasien TB paru tanpa infeksi HIV sebesar 4,8% (7 dari 145 pasien).

2. Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap hasil

pemeriksaan sputum BTA. Pasien TB dengan koinfeksi HIV mempunyai peluang temuan BTA negatif 3,23 kali lebih besar daripada pasien TB tanpa infeksi HIV. (OR=3.23; IK 95%, 1.35-7.75, P=0.006).

3. Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap

tingkat mortalitas. Pasien TB dengan koinfeksi HIV mempunyai peluang mortalitas 12,41 kali lebih besar daripada pasien TB tanpa infeksi HIV. (OR=12.41; IK 95%, 4.69-32.81, P<0.001).

5.2. Saran

1. Pada pasien TB dengan hasil pemeriksaan sputum BTA negatif perlu

pemeriksaan foto toraks dan anjuran test antibodi HIV (rapid test) pada pasien TB dengan risiko tinggi terinfeksi HIV serta pengukuran jumlah sel CD4+ untuk keperluan skrining kasus TB dengan koinfeksi HIV.

2. Dalam meningkatkan keberhasilan pengobatan tuberkulosis perlu

menjalankan kebijakan berupa pengawasan terhadap pasien agar patuh minum obat dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), pemantauan kualitas obat dengan melaksanakan surveilans kasus MDR (Multi Drug Resistance), dan perhatian ketat dengan penyakit yang memperberat kesuksesan hasil pengobatan, seperti infeksi oportunistik dan Diabetes Mellitus.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap populasi yang lebih luas dan

(46)

DAFTAR PUSTAKA

1. Global tuberculosis control: WHO report 2010. Geneva: World Health

Organization, 2010.

2. WHO, UNAIDS, and UNICEF. Global HIV/AIDS response: epidemic update

and health sector progress toward universal access. Progress report 2011 (http://www.who.int/hiv/pub/progress_report2011/hiv_full_report_2011.pdf. diakses 31 Januari 2012)

3. Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. 2011.

4. Karim SS. Durban 2000 to Toronto 2006: the evolving challenges in

implementing AIDS treatment in Africa. AIDS 2006;20:N7-9.

5. Breen RA, Smith CJ, Bettinson H, Dart S, Bannister B, Johnson MA, et al.

Paradoxical reactions during tuberculosis treatment in patients with and without HIV co-infection. Thorax 2004;59:704-7.

6. Burman W, Weis S, Vernon A, Khan A, Benator D, Jones B, et al. Frequency,

severity and duration of immune reconstitution events in HIV-related tuberculosis . Int J Tuberc Lung Dis 2007;11:1282-9.

7. Karim SS, Naidoo K, Grobler A, Padayatchi N, Baxter C, Gray AL, et al.

Timing of initiation of antiretroviral drugs during tuberculosis therapy. N Eng J Med 2010;362:697-706.

8. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes. 3rd ed.

Geneva: World Health Organization, 2003.

9. Piscitelli SC, Gallicano KD. Interaction among drugs for HIV and

opportunistic infections. N Eng J Med 2001;344:984-96.

10.Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia hingga Maret 2012. 2012.

11.Mitchell RN, Kumar V. Penyakit imunitas-AIDS. Dalam: Kumar V, Cotran

RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Ed.7th. Vol.I. Jakarta: EGC,

2007;164-77.

12.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset

(47)

36

13.Merati TP, Djauzi S. Respons imun infeksi HIV. Dalam: Sudoyo AW, dkk.

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.4th. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD

FKUI, 2006;272-6.

14.Maitra A, Kumar V. Paru dan saluran napas atas-tuberkulosis. Dalam: Kumar

V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Ed.7th. Vol.II. Jakarta:

EGC, 2007;544-51.

15.Amin Z, Bahar A. TB paru. Dalam: Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Ed.4th. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI,

2006;988-94.

16.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2011.

17.Amin Z, Bahar A. Pengobatan tuberkulosis mutakhir. Dalam: Sudoyo AW,

dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.4th. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan

IPD FKUI, 2006;995-1000.

18.Sastroasmoro S, Ismael S. Perkiraan besar sampel. Dalam: Dasar-dasar

metodologi penelitian klinis. Ed.4th. Jakarta: Sagung Seto, 2011;348-81.

19.Dahlan S. Menentukan besar sampel. Dalam: Langkah-langkah membuat

proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Ed.2th. Jakarta: Sagung

Seto, 2010;79-95.

20.Dahlan S. Uji hipotesis variabel kategorik tidak berpasangan. Dalam: Statistik

untuk kedokteran dan kesehatan. Ed.4th . Jakarta: Sagung Seto, 2009;121-39.

21.Blanc FX, Sok T, Laureillard D, Borand L, Rekacewicz C, Nerriene E, et al.

Earlier versus later start of antiretroviral therapy in HIV infected adults with tuberculosis. N Eng J Med 2011;365:1471-81.

22.Havlir DV, Kendall MA, Ive P, Kumwenda J, Swindells S, Qasba SS, et al.

Timing of antiretroviral therapy for HIV-1 infection and tuberculosis. N Eng J Med 2011;365:1482-91.

23.Karim SS, Naldoo K, Grobler A, Padayatchi N, Baxter C, Gray AL, et al.

(48)

24.Mukadi YD, Maher D, Harries A. Tuberculosis case fatality rates in high HIV prevalence populations in sub-Saharan Africa. AIDS 2001;15:143-52.

25.Cain KP, McCarthy KD, Heilig CM, Monkongdee P, Tasaneeyapan T, Kanara

N, et al. An algorithm for tuberculosis screening and diagnosis in people with HIV. N Eng J Med 2010;362:707-16.

26.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kebijakan nasional kolaborasi

TB/HIV di Indonesia. 2007.

27.Jonnalagada S, Harries AD, Zachariah R, Satyanarayana S, Tetali S, Chander

GK, et al. The timing of death in patients with tuberculosis who die during anti-tuberculosis treatment in Andhara Pradesh, South India. BMC Public Health 2011;11:921-7.

28.Fenner L, Gagneux S, Janssens JP, Fehr J, Cavassini M, Hoffmann M, et al.

(49)

38

(50)

LAMPIRAN 2. INSTRUMEN PENELITIAN

(51)

40

(52)
(53)

42

LAMPIRAN 3. DATA PENELITIAN

(54)
(55)

44

(56)
(57)

46

LAMPIRAN 4. HASIL PENELITIAN

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Std. Deviation 14.569

Minimum 13

Maximum 74

Interval umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(58)

Hasil Sputum

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Meninggal 24 12.7 12.7 12.7

Masih hidup 165 87.3 87.3 100.0

Total 189 100.0 100.0

Jenis Kelamin * Status Pasien Crosstabulation Status Pasien

Continuity Correctionb 5.706 1 .017

Likelihood Ratio 7.402 1 .007

Fisher's Exact Test .013 .006

Linear-by-Linear Association 6.612 1 .010

N of Valid Casesb 189

(59)

48

Ri sk Estimat e

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Jenis Kelamin

(Laki-laki / Perempuan) 3.233 1.279 8.170

For cohort Status Pasien = TB

with HIV 2.600 1.166 5.796

For cohort Status Pasien = TB

without HIV .804 .698 .926

N of Valid Cases 189

Status Pasien * Hasil Sputum Cross tabulati on Hasil Sputum

Total BTA Negatif BTA Positif

Status Pasien TB with HIV Count 37 7 44

Continuity Correctionb 6.461 1 .011

Likelihood Ratio 8.154 1 .004

Fisher's Exact Test .006 .004

Linear-by-Linear Association 7.387 1 .007

N of Valid Casesb 189

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.43. b. Computed only for a 2x2 table

Ri sk Estimat e

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Status Pasien

(TB with HIV / TB without HIV) 3.230 1.347 7.747 For cohort HasilSputum = BTA

Negatif 1.355 1.131 1.623

For cohort HasilSputum = BTA

Positif .419 .206 .854

N of Valid Cases 189

Status Pasien * Hasil Pengamatan Crosstabulati on Hasil Pengobatan

Total Meninggal Masih hidup

Status Pasien TB with HIV Count 17 27 44

Expected Count 5.6 38.4 44.0

TB without HIV Count 7 138 145

(60)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 34.805a 1 .000

Continuity Correctionb 31.822 1 .000

Likelihood Ratio 29.080 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 34.621 1 .000

N of Valid Casesb 189

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.59. b. Computed only for a 2x2 table

Ri sk Estimat e

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Status Pasien

(TB with HIV / TB without HIV) 12.413 4.696 32.811 For cohort Hasil Pengobatan =

Meninggal 8.003 3.550 18.044

For cohort Hasil Pengobatan =

Masih hidup .645 .509 .817

(61)

50

LAMPIRAN 5. RIWAYAT HIDUP

Nama : Mohammad Zul Hazmi

Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 12 Mei 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Adhi Karya 5B RT 09/05 Kedoya Selatan,

Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Telp/Hp : 021-58301546 / 085716396254

Email : zulhazmi90@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan :

1. SD Al Kamal (1997-2003)

2. SMPN 75 Jakarta (2003-2006)

3. SMAN 65 Jakarta (2006-2009)

Riwayat Hasil Penelitian :

1. Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas

Gambar

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru ...................................................................
gambaran klinis & radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan
Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang rawat jalan16
Tabel 2.1 Pengelompokan OAT16
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang ciri-ciri pengelolaan kurikulum dan pembelajaran, ciri-ciri pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan,

Dengan penelitian ini diharapkan dapat jadi sumber pengetahuan dan referensi mengenai kemitraan pemerintah dengan swasta dalam promosi kunjungan wisata di Dinas Kebudayaan

(1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout mencatat bahwa pada saat vitelogenesis, kandungan kolesterol serum induk yang menerima pakan dengan

• Mampu meneliti dan menyelidiki masalah rekayasa kompleks pada sistem terintegrasi menggunakan dasar prinsip-prinsip rekayasa dan dengan melaksanakan riset, analisis,

emas dari batuan X1 dengan metode bisulfit disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data pada Tabel 3, dari sekitar 6 g sampel X1 yang dilarutkan dalam air raja kemudian direduksi

Dari hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam perilaku struktur jembatan yang diberikan beban gempa rencana berdasarkan SNI 1726-2012terdapat beberapa

[r]

Secara keseluruhan dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Lemongrass Resto merupakan rumah makan yang memiliki standar dari segi Menu,