• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan hukum terhadap profesi dokter terkait dugaan malpratek medik: tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan hukum terhadap profesi dokter terkait dugaan malpratek medik: tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana islam"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SAFROWI NIM: 106045101516

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI KEDOKTERAN TERKAITT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah.

Jakarta, 2 September 2010 Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………...)

NIP. 197210101997032088

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………...)

NIP. 197102151997032002

Pembimbing : Prof. Dr. H.M. Abduh Malik (………...)

NIP. 150094391

Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (………...) NIP. 195505051982031012

Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………...)

(3)

(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SAFROWI

106045101516

Dibawah Bimbingan

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik

NIP. 150094391

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 September 2010

Safrowi

(5)

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya.

Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. HM. Abduh Malik, selaku Dosen Pembimbing skripsi.

5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pengalaman karir kepada penulis.

(6)

6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.

7. Orang tua: Abah kayan dan Umy Maleha yang sampai detik ini selalu memberikan pelajaran hidup yang paling berharga bagi penulis yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata.

8. Kakak (Iyu) Rokayah, Hozaimah, Muhdalifah; Adik Novi & Ma’ruf…terima kasih atas dukungan moril, terlebih materiil yang tak terhingga kepada penulis. Mamas Witono & Sutikno, terutama untuk terkasih, motivator, dan inspirasiku: Zaidan Fathur Rahman, Zihan Azkiyah, dan Najwa Kholisatussholiha, ini semua kupersembahkan untuk kalian.

9. Sahabat berbagi dikala suka dan duka, diwaktu siang maupun malam Annisa Luthfiah yang tak lekang oleh waktu (walau kau bukan milikku lagi)

10.Sahabat PMII, Komisariat PMII, DPP PPM, BEM FSH, BEMJ FSH besrta jajarannya, KKN ‘Online’ 2009, teman angkatan 2006, 2007, 2008, 2009 FSH; Muamalat, SAS, SJS, PMH, dan Ilmu Hukum, untuk Milki Barokah dan Abdul Khoir, yang telah memberikan sedikit petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini, makasih!

11.Terima kasih untuk keluarga besar PI ‘Power’ Annisa Tri Hapsari, Mahpudin, dan Faris SA, yang sudah menyelesaikan studinya, untuk Wismoyo, Rangga, Isa,

(7)

Rahman, Guruh, Rifqi, Rahmatul Hidayat, kebersamaan kita selama ini memberikan banyak pelajaran berharga. Tetap semangat dalam menggapai cita-cita kalian. Maaf! saya pamit duluan.

12.Untuk semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan semuanya yang selama ini membantu mulai dari awal penulis mengemban pendidikan sampai sekarang yang telah banyak memberikan pelajaran berharga dalam hidup ini, pengalaman serta kasih sayang semua yang tak terhingga. Teima kasih!

Akhir kata, penulis sangat menyadari, apa yang penulis telah capai masih jauh dari sempurna, karena tanggapan, saran, dan kritik membangun sangat diharapkan. Tidak lupa untuk Bangsa dan Negara tercinta. AMIN!

Jakarta, 2 September 2010

Safrowi

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ... 15

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan .... 18

C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32

BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT A. Tinjauan Tentang Malpraktek... 46

B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)... 55

C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ... 61

(9)

v

MEDIK

A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif ... 66 B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Islam... 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran ... 91

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ... 15

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan 1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit ... 18

2. Tanggungjawab Dokter... 22

a. Tanggungjawab Etik Profesi ... 23

b. Tanggungjawab Hukum ... 24

C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32

BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT A. Tinjauan Tentang Malpraktek ... 44

1. Pengertian... 44

(11)

v

4. Pertanggung Jawaban hukum yang bersifat Malpraktek ... 51 B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)... 52 C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ... 58

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI

KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK

MEDIK

A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif ... ... 63 1. Konsep Perlindungan Hukum ... 63 2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik 68 B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum

Pidana Islam ... ... 74 1. Pelanggaran Disipilin Etika Kedokteran ... 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran... 88

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar

mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik dapat

tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas mengunjungi

dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang penderitaan

tentang jasmani, maupun rohani agar mendapatkan pengobatan yang sesuai.1

Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari

kelalaian dan kealpaan2. Perasaan takut atau khawatir itu yang dapat menjadi

salah satu sebab penting, bahwa dalam masyarakat terdapat banyak orang sakit

yaitu karena mereka segan berobat.3 Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan

tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktek medis.4 Sementara

dalam masyarakat terdapat pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja

menarik dokter untuk berperkara.5

1

Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter, (Jakarta; Erlangga, 1991), h. 223.

2

M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009)

3

Ibid., h, 224

4

Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009).

5

Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter (Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006), h. 5

(13)

Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik

mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus

sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai subyek hukum

mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan jika

perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka dokter

tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.6

Malpraktek dalam prakteknya terkadang dikaburkan dengan apa yang

disebut dengan resiko medik. Sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah

bekerja dengan sangat profesional yaitu telah sesuai dengan standar profesi

medik, standar pelayanan medis, serta Standar Operating Procedure (SOP) masih dituntut dengan tuduhan telah melakukan malpraktek.

Praktek kedokteran sebagai salah satu aktifitas yang melibatkan manusia,

kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter. Mudah dimengerti

karena dokter yang melakukan praktek kedokteran, bukan saja ia adalah manusia

dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang terpenting lagi adalah

karena praktek kedokteran merupakan kegiatan suatu yang komplek. Praktek

kedokteran betapa pun berhati-hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan

kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya berupa kesalahan

atau kelalaian yang dimaksud.7

6

Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen, (Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007)

7

(14)

3

Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami

aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan

profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.8 Dimana dalam era

globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi

yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya

kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu

menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya

kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan

pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan.9

Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan

suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap

pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap

masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya

kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan

masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya

penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang

dilakukan berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu

peengetahuan dan teknologi yang dimilkinya hanya unuk penyembuhan, dan

8

Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta; Widya Medika, 1997), cet. ke-I. h. VII

9

(15)

kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan

dalam tindakan.10

Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tidaklah semulus

dengan apa yang dicita-citakan oleh para pengembang profesi kesehatan saat ini.

Ancaman pidana menghantui harapan mulia tersebut, sehingga beberapa

diantaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdian sebagai seorang

dokter.11

Sorotan masyarakat terhadap profesi kedokteran merupakan salah satu

tanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan

pengabdian profesi tersebut. Pada umumnya ketidakpuasan pasien atau

keluarganya terkait masalah sengketa pasien tindakan medik, yaitu dugaan adanya

malpraktik medik seperti:12

1. Perbuatan tercela (actus rheus)

2. Perbuatan dengan sikap batin yang buruk (mens rhea) yang terdiri atas:

a. perbuatan sengaja (intenstional) berupa aborsi tanpa indikasi medik (Pasal 349 KUHP jo Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP), Euthanasia (Pasal 344

KUHP), Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 332 KUHP), Tidak

menolong orang yang membutuhkan (Pasal 332 KUHP), Surat keterangan

10

Ibid, h. 6

11

Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V

12

(16)

5

dokter yang tidak benar (Pasal 378 KUHP), Memberi keterangan yang

tidak benar di depan pengadilan.

b. kecerobohan (recklessness) berupa tindakan medik yang tidak sesuai prosedur (lege artis) dan tanpa informed consent (persetujuan).

3. Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien.

Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian (Pasal 359 KUHP).

Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan

bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa

dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari

perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat

individual.

Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari

makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No.

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat

dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran.

Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam

(17)

Perlindungan hukum terhadap profesi dokter yang diduga melakukan

tindakan malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran,

MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil

Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak

pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau kepada

pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka

pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan

malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum.13 Di mana yang

tercantum dalam etika kedokteran ini hak untuk membela diri yaitu: dalam hal

menghadapi keluhan pasien yang tidak pernah puas terhadapnya, atau dokter

bermasalah, maka dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam lembaga

dimana ia berkerja (Rumah Sakit) dalam perkumpulan dimana ia menjadi anggota

(IDI, misalnya), atau pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.

13

(18)

7

Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara, dan melindungi

kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan

IPTEK. Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak

ayat Al-qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan

memelihara jiwa manusia (hifd al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.14

Kajian tentang hukum Islam yang menyangkut isu-isu kedokteran yang

bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi

bagian penting dalam substansi hukum Islam. Muhammad Tahir Azhari

menyatakan bahwa masalah-masalah kontemporer, seperti hukum kedokteran,

lingkungan, dan lain-lain melalui ijtihad dapat substansi hukum Islam,15

Hukum Islam mengkategorikan tindak pidana malpraktek medik ini dalam

jarimah al-khata’ atau tindak pidana karena kesalahan. Jarimah al-khata’ adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud

untuk berbuat maksiat tetapi karena kesalahannya baik dalam kesalahan perbuatan

maupun dalam persangkaan perilaku jarimah tesebut.

Terdapat tiga unsur dalam Jarimah al-khata’: 1. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;

14

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- III, h. 69

15

(19)

2. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan;

3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan matinya

korban.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dari segi hukum Pidana Islam

ditempuh dengan dua cara;16 (1). Menetapkan Hukuman berdasarkan Nash, dan (2). Menyerahkan penetapannya kepada penguasa (Ulul Amri). Oleh karena itu seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak melenyapkan tanpa kehendak

dan aturan Allah sendiri.

Dalam hal ini ajaran Islam memberikan petunjuk bahwa tidak ada yang

sia-sia dari sebuah usaha, bahkan Allah menilai usaha seseorang daripada hasil.

Kewajiban berusaha dengan terus memberikan pengobatan kepada si pasien

mendapatkan legitimasi yang jelas dalam Islam, dimana telah diriwayatkan dalam

sebuah Hadits:

ًءﺎ ﺷ

لﺰْا

ﻻإ

اًءاد

لﺰْﻳ

ْ

ﷲا

نﺈﻓ

ْوواﺪﺗ

)

ﻦ إ

ﺪ ﺣأ

اور

دﻮﻌﺴ

(

Artinya:

“Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud)

Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat

menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti

mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi

16

(20)

9

melarang berobat kepada yang bukan ‘ahlinya’, bahkan mengancam ‘siapa yang mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien’.17

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam

KUHP.18 Dimana dalam pembatasan masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana

ketentuan-ketentuan pidana yang diatur menurut KUHP, dan menurut tinjauan

hukum Islam khususnya. Dimana yang dimaksud dengan ketentuan pidana yaitu

hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan pidana

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum, dan UU.

No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran khususnya, serta dalam ketentuan

undang-undang Bidang kesehatan

Adapun perumusannya dalam masalah ini ialah:

1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan Hukum dalam ketentuan hukum

positif dan hukum Islam?

17

Hadits tersbut adalah: ﻦ ﺎﺿﻮﻬﻓﻚ ذ ْﻗ ْ ْﻌﻳْ و ﺗْﻦ

18

(21)

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam

upaya pelayanan medis?

3. Apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa medik atau dugaan

malpraktek di lingkungan Rumah Sakit?

Beralih kepada pembatasan dan perumusan masalah diatas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap dokter yang terkait

dugaan malpraktek medik ini?

2. Bagaimana mekanisme dan tahapan yang akan dilakukan terkait dengan

adanya dugaan malpraktek terhadap profesi kedokteran, yang mengacu pada

Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran?

Berdasarkan dari ketentuan permasalahan diatas, maka penulis membatasi

ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya pada masalah perlindungan hukum

saja terhadap dokter, dan sanksi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan menurut

KUHP, Undang-undang, dan hukum Islam.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk menemukan penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien

di Rumah Sakit

2. Untuk menemukan seberapa jauh pertanggungjawaban dokter terhadap pasien

(22)

11

3. Untuk memahami secara spesifik ketentuan sanksi pidana dalam bidang

medik.

Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi

masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan

keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para

dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.19

D. Tinjauan Pustaka

Dari beberapa penelitian yang terdapat di Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum terdapat penelitian tentang Perlindungan

Hukum bagi profesi dokter, akan tetapi ada beberapa penelitian (skripsi) yang

sekiranya senada dengan penelitian ini yaitu tentang “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek Menurut Hukum Positif

Dan Hukum Islam20” tetapi dari hasil penelitiannya hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak malpraktek saja menurut perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam, dan tanggung jawab dokter yang melakukan

malpraktek medik

Kemudian diantara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam

penelitian ini ialah UU. No. 29 tahun 2004, tentang Praktek Kedokteran. Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Buku yang berjudul; “Penyelesaian

19

“Malpraktek” Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007.

20

(23)

Hukum Malpraktek Kedokteran” yang membicarakan tentang sebab musabab

terjadinya kasus malpraktek kedokteran (medikal malpractice), pada lingkungan profesi kesehatan di Rumah Sakit serta sejauh mana tanggung jawab hukum

Rumah Sakit terhadap dokter yang mengalami kasus tersebut. Disamping dalam

kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjaddi literatur dalam penelitian ini,

yang secara spesifik membicarakan segala macam tindak pidana (jarimah)

klasifikasi, dan sanksi dalam pandangan hukum Islam (fiqh jinayah.)

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Deskriftif Analisis yaitu

menggambarkan dan memaparkan secara sistematis apa yang akan menjadi objek

penelitian.21

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Penelittian Hukum

Normatif Doktriner, yaitu penelitian hukum yang berupa norma-norma, objek

kajiannya adalah bahan-bahan dasar hukum primer yang terdiri dari

perundang-undangan catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-perundang-undangan (hukum normatif) dan putusan hakim.22

Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, yaitu

diperoleh secara langung dari masalah-masalah yang akan diteliti dan data yang

21

Jhonny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung; Bayu Media, 2006), Cet. ke-II

22

(24)

13

diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, diamana dalam

masalah ini perundang-undangan merupakan bahan utama yang dijadikan acuan

dalam rangka membatasi masalah yang dihadapi.23

Sedangkan data skunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan yang member penjelasan mengenai sumber data primer, dengan

mempelajari berbagai buku-buku atau jurnal, artikel majalah atau koran yang

dijadikan rujukan dalam penelitian ini, literatur, peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen resmi dan seterusnya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku

pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2008.24

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian karya ini, tidak jauh berbeda dengan

penelitian-penelitian yang lainnya, dimana ada beberapa bab dan sub bab, yaitu

sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

23

Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI Press, 1986), cet. ke-3

24

(25)

BAB II: Tanggung Jawab, dimana dalam bab ini meliputi: makna Tanggung

Jawab secara Yuridis, diamana dalam hal ini akan dijelaskan

bagaimana tanggungjawab menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Jenis-Jenis Tanggung Jawab dalam lingkungan profesi Rumah Sakit,

yaitu: Tanggung Jawab Rumah Sakit, Dokter, dan Perawat. Kemudian

dalam sub bab ini akan dijelaskan tanggungjawab menurut syariat

Islam.

BAB III: Penyebab Terjadinya Dugaan Malpraktek Kedokteran di Rumah Sakit.

Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian dan tinjauan

tentang malpraktek. Kedua, faktor penyebab terjadinya malpraktek.

Kemudian yang ketiga, pembuktian kesalahan malpraktek.

BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Profesi Kedokteran terkait

Dugaan Malpraktek Medik, Dimana hal ini terkait dengan Hukum

Pidana positif dan Hukum Islam.

(26)

BAB II

TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN

A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis

Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran. Peraturan ini bertujuan agar

dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan

meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada

masyarakat, dokter dan dokter gigi.1 Pada bagian awal, Undang-Undang No.

29 Tahun 2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik

kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi

kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter yang telah

dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil

Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas

Kesehatan Kota atau Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan

sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan

melaksanakan ketentuan etika profesi.2

Istilah dan pengertian tanggungjawab bukan tumbuh secara tiba-tiba, akan

tetapi muncul dari mata rantai pengalaman krisis dunia akibat peperangan dan

1

Penjelasan Undang-undang RI. No. 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran

2

Budi Sampurna, S.Pf, “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran”, Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74

(27)

kesepakatan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab di dunia untuk mengangkat

martabat manusia.3

Pengertian tanggungjawab, memang terkadang seringkali terasa sulit untuk

menerangkannya dengan tepat. Adakalanya tanggungjawab dikaitkan dengan

keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan

kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan, banyaknya bentuk

tanggunjawab ini menyebabkan terasa sulit untuk merumuskannya dalam bentuk

kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti, tetapi kalau kita amati lebih

jauh, pengertian tanggungjawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan,

kesediaan untuk melakukan dan kemampuan untuk melakukan4

Dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia, makna tanggungjawab

merupakan istilah yang menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah:

“Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagianya)”

Kemudian dalam istilah lain disebutkan, tanggungjawab mengandung arti:

keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala suatu akibat perbuatan, yang

mana dari pengertian tanggungjawab tersebut harus memiliki unsur:

1. Kecakapan

2. Beban kewajiban

3. Perbuatan

3

Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magisrer Hukum Kesehatan, 2007

4

(28)

17

Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa, unsur kewajiban mengandung

makna yang harus dilakukan, dan tidak boleh tidak dilakukan, jadi sifatnya harus

ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan mengandung segala sesuatu yang

dilakukan, dengan demikian tanggungjawab adalah keadaan cakap menurut

hukum baik orang atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban atas

segala sesuat yang dilakukan.5

Dalam pengertian hukum, tanggungjawab berarti keterikatan. Tiap manusia, mulai dari saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai

hak dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter,

dalam melakukan suatu tindakan harus bertanggungjawab sebagai subjek hukum

pengemban hak dan kewajiban.6

Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan

masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan

dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Begitu

pula tanggung jawab hukum seorang dokter, dan dapat pula merupakan

tanggungjawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya.7

5

Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 22

6

Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Snaksi Bagi Dokter,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), cet. Ke-I, h. 2

7

(29)

Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam

menjalankan profesinya merupakan tanggungjawaab yang harus dipenuhi dokter

yang pada dasarnya meliputi 2 (dua) pertanggungjawaban, yaitu:

1. Bidang administrasi, yang mana hal ini terdapat dalam pasal 29, pasal 30 dan

pasal 36 jo. 37, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

2. Ketentuan pidana, dimana perumusan pasal-pasal mengenai tanggungjawab

praktek kedokteran tercantum dalam pasal 75 s/d 80, UU. No. 29 Tahun

2004.8

B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan.

1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit

Rumah Sakit merupakan suatu organisasi yang sangat unik, karena

berbaur antara padat teknologi, padat karya, dan padat moral, sehingga

pengelolaan Rumah Sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang

mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia

dalam organisasi.9

Difenisi Rumah Sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 983

Tahun 1992, Rumah Sakit adalah:

8

Tidak mengikatnya beberapa ketentuan pidana dalam UU. No. 29 tahun 2004, berdasarkan putusan MK, pada hari selasa 19 Juni 2007 yang dimohonkan oleh Anny Isfandyarie, SH, dkk.

9

(30)

19

”Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”.

Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna

tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Dalam keterangan lain, difinisi Rumah Sakit dijelaskan dalam

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dalam konsiderannya

dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu

dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya.

Dalam keterangan pasal 1, UU. No. 44 Tahun 2009 dalam pasal ini yang

dimaksud dengan Rumah Sakit adalah:

“Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”.

Rumah Sakit diseenggarakan berdasarkan Pancasila, dan didasarkan

kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas. Sesuai dengan UU. No. 44/

(31)

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial”

Berdasarkan uraian diatas, maka guna meningkatkan pelayanan kesehatan

yang efisien dan efektif diperlukan suatu mutu pelayanan kesehatan, ada beberapa

poin yang terkait dengan penjelasan pasal diatas, diantaranya:10

1. Nilai kemanusiaan yaitu penyelenggaraan manajemen Rumah Sakit dilakukan

dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak

membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

2. Etika dan Profesionalitas, bahwa propfesionalitas dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang memiliki etika profesi, sikap profesional, serta mematuhi etika

Rumah Sakit.

3. Nilai Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka memprtahankan

dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

4. Nilai keadilan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan

pelayanan yang adil dan merata, kepada setiap orang dengan biaya yang

terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.

5. Persamaan hak dan Anti Diskriminasi dikatakan bahwa pelayanan Rumah

Sakit membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari

semua lapisan.

10

(32)

21

6. Nilai Pemerataan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus

menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

7. Nilai Perlindungan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya

memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan

peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan

keselamatan pasien.

8. Keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit selalu

mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen

risiko klinik.

9. Fungsi Sosial adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap

Rumah Sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari Rumah Sakit dalam

membantu pasien khususnya yang kurang/ tidak mampu untuk memenuhi

kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

Manajemen Rumah Sakit harus mengedepankan nilai-nilai yang terdapat

pada penjelasan pasal diatas, bahwasanya, UU. 44/ 2009 Tentang Rumah Sakit,

Bagian Ke-7 mengenai Tanggung Jawab, Pasal 46 menyebutkan bahwa: ’’Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit’’.

Dengan demikian sesungguhnya dalam pelayanan kesehatan wajib

menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya dengan tidak

(33)

2. Tanggungjawab Dokter

Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat diakukan oleh siapa

saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran

tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan mendapatkan

izin dari instutusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar

profesionaisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi.11

Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan selalu berkaitan dengan

sifat melawan hukum, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggunjawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat

menginsafi makna yang sebenarnya dilakukan olehnya, dapat menginsafi

perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masayarakat dan mampu

menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatannya tersebut.12

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab

seorang dokter adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan tugas fungsi sesuai dengan keilmuan melalui pendidikan yang

berjenjang;

2. Sesuai dengan kompetensi yang memenuhi standar tertentu;

3. Mendapat izin dari institusi yang berwenang;

4. Bekerja sesuai dengan standar profesi.

11

Nusye, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, h. 31

12

(34)

23

Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat (11) UU. No. 29

Tahun 2004, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang besifat melayani masyarakat”.

Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang

yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan

keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran

sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah

sebagai berikut:

a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi

Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan

oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu:

1) Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya,

masyarakat, dan pemerintah.

2) Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), merupakan etika kedokteran untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap

tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi

(35)

Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya,

sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan tindakan koreksi

berupa teguran dan bimbingan. Secara maksimal hanyalah memberikan saran

kepada lembaga terkait untuk melakukan tindakan administratif, sebagai tindakan

langkah pencegahan terhadap kemungkinan penanggulangan pelanggaran yang

sama kemudian hari atau pencegahan akan kemungkinan semakin besarnya

intensitas pelanggaran tersebut.

Akan tetapi disinilah letak perbedaan antara etika dan hukum. Sanksi

etika ditetapkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut,

sedangkan sanksi hukum ditetapkan melalui wewenang pemerintah. Hukum lebih

tegas menunjukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, sedangkan

etika lebih mengendalkan itikad baik dan kesadaran moral para pelakunya.

b. Tanggungjawab Hukum

Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu ’keterikatan’ dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.13 Keterikatan dokter

terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan

tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi

pertanggungjawaban, yaitu:14

13

Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, T.Tp.tt, h. 150

14

(36)

25

1) Tanggung Jawab Perdata

Pada mulanya, tanggung jawab seorang dokter apabila melakukan

kesalahan dalam menjalankan profesinya hanya terbatas pada tanggung jawab

yang timbul sebagai akibat adanya hubungan kontrak yang terjadi antara

kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasiennya. Dengan demikian,

tanggung jawab yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum

perdata (misalnya, pertanggung jawaban yang timbul karena wanprestasi atau

perbuatan melawan hukum).

Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul

apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar

ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien.15

a) Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata)

b) Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata)

c) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366

KUHPerdata)

d) Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367

KUHPerdata).16

Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter

melakukan malpraktek dan pasien mengalami suatu cidera, dapat

menimbulkan tanggung jawab perdata bagi seorang dokter, dengan dasar

15

Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bima Aksara, T.Tt), h. 5

16

(37)

gugatan melakukan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, kelalaian

sehingga mengakibatkan kerugian, dan melalaikan pekerjaan sebagai

penanggung jawab, yang sanksinya lazim berupa ganti kerugian (materi)

kepada pasien (korban).

2) Tanggung Jawab Pidana

Dari dasar hukum pidana maka masalah malpraktek lebih ditekankan

pada masalah consent atau persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasif

khususnya, haruslah didasarkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya

persetujuan pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis tersebut

dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan, terlebih

lagi dalam tindakannya itu juga dilakukan pembiusan.

Sebenarnya secara yuridis-formil seorang dokter melakukan tindakan

invasif, misalnya pembedahan, telah dapat dipersalahkan melakukan tindak

pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP, namun

pasal 351 ini, tidak dapat diberlakukan terhadap dokter yang melakukan

tindakan medis bila dipenuhi syarat:

a) Adanya indikasi medis;

b) Adanya persetujan pasien;

c) Sesuai dengan standar profesi medik.17

Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya

kesalahan profesional biasanya dihubungkan dengan adanya masalah:

17

(38)

27

a) Kelalaian (negligence), dan

b) Persetujuan dari pasien yang bersangkutan.18

Berkaitan dengan adanya kesalahan profesional yang berupa kelalaian

(neligence), harus dilihat dengan adanya kelalaian tersebut berakibat pertanggung jawaban pidana, terutama pertanggung jawaban pidana akibat

dari pelanggaran Informed consent.

Istilah kelalaian dalam hukum pidana identik dengan kealpaan. Untuk

mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian atau kealpaan dalam konteks

malpraktek, kita harus melihat pada hukum pidana umum.

Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi:

a) Kealpaan ringan (culpa levissma), dan b) Kealpaan berat (culpa lata).

[image:38.612.111.534.126.652.2]

KUHP tidak menyebutkan apa arti dari kelalaian, tetapi memperoleh

gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana ialah:

a) Bertentangan dengan hukum

b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan

c) Akibat sebenarny adapat dihindarkan

d) Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.19

18

Nanik Marianti, Op. cit., h. 8

19

(39)

Dari uraian tentang unsur kelalaian yang dikemukakan oleh Jonkers

tersebut jika diterapkan dengan adanya pertanggung jawaban pidana terutama

tentang malpraktek:

a) Tidak adanya persetujuan tindakan medik terhadap pasien yang dimintakan

oleh dokter, jelas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan, artinya bahwa tanpa adanya

persetujuan tersebut seharusnya dokter dapat membayangkan akibatnya

(mislnya: pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut)

c) Akibat sebenarnya dapat dihindarkan, artinya sebenarnya dokter dapat

meminta persetujan terlebih dahulu kepada pasien. Hal tersebut untuk

menghindari sesuatu yang merugikan pasien.

d) Perbuatan dapat dipersalahkan kepadanya, artinya bahwa dengan adanya

pelanggaran kentuan informed consent maka perbuatan dokter tersebut dapat dipersalahkan dan dimintai pertanggung jawaban.

Arrest Hoge Raad, tanggal 3 februari 1913 merumuskan definisi kelalaian sebagai suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau kelalaian berat.20

Van Hamel menyatakan bahwa kelalaian atau kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu:

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

20

(40)

29

Dalam praktek menentukan kelalaian atau kealpaan, dan harus dituduhkan

dan dibuktikan oleh jaksa adalah syarat kedua (tidak mengadakan penghati-hati

sebagaimana yang diharuskan oleh hukum). Sesungguhnya kalau syarat kedua ini

sudah ada maka pada umumnya syarat pertama juga sudah ada. Barang siapa

dalam melakukan suatu perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang

seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang

tertentu itu karena kelakuannya.

Alasan ini dipahami, karena syarat yang kedua objek penilaiannya

terletak pada apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa itu sendiri

(hubungan lahir). Sedangkan syarat pertama lebih menitik beratkan pada

hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul karena perbuatannya,

sesuatu hal yang sukar untuk dibuktikan oleh jaksa. Hubungan batin diperlukan

untuk dapat mempertanggungjawabkan terhadap akibat yang dilarang.

c) Tanggung Jawab Administrasi

Mengenai tanggung jawab dokter dalam segi hukum administrasi dalam

kaitannya dengan pelaksanaan informed consent maka dengan tegas telah

dinyatakan dalam pasal 13 Permenkes Nomor 585 tahun 1989 yaitu:

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik atanpa adanya persetujuan dari pasien tau keluarganya dapat dimintakan sanksi aministratif berupa pencabutan surat izin praktek”.21

Selain ketentuan dalam pasal 13 permenkes tersebut, diperkuat lagi

dengan ketentuan pasal 11 UU. No 6 tahun 1963 yaitu:

21

(41)

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan

perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan

tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut:

a) Melalaikan kewajiban

b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh

seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupu

mengingat sumpah sebgai tenaga kesehatan.

c) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang.22

Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktek karena

pelanggaran informed consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan administratif tersebut setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik

Kedoktean (MKEK).

Diantara beberapa penjelasan tentang tanggungjawab dokter, maka

tidak akan lepas dari penjelasan tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya

dokter, antara lain:23

1) Meakukan praktek kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter

(SID) dan Surat Izin Praktek (SIP).

2) Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau

keluarganya tentang penyakitnya,

22

Husen Kerbala, Op, cit., h 95

23

(42)

31

3) Bekerja sesuai dengan standar profesi.

4) Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika,

hukum, agama, dan, hati nurani.

5) Menolak pasien yanga bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam keadaan

gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya

6) Menerima imbalan jasa

7) Hak membela diri

Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara

benar dan patut menurut standar profesi, standar prosedur operasional, maka

meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidak melahirkan

malpraktek kedokteran dari sudut hukum, namun apabila setelah perlakuan medis

terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan)

atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya karena perlakuan medis dokter yang

menyalahi standar profesi, maka dokter dianggap melakukan malpraktek

kedokteran. Tentu dengan beberapa syarat, yakni, tidak sembuh atau lebih parah

penyakitnya setelah perlakuan medis dari sudut standar profesi, standar prosedur,

dan prinsip-prinsip umum kedokteran.

Dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causal verband)

dari sebuah perlakuan medis oleh dokter. Jika dua syarat ini ada, berarti dokter

telah termasuk melakukan malpraktek kedokteran sehingga pasien berhak

menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut.

(43)

atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP) maka pertanggungjawaban pidana yang

wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh jadi pemidanaan.24

C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran Menurut Syariat Islam

Kedokteran atau sejenis kedokteran dalam bahasa Arab disebut al-Thibb.

Ungkapan ini sudah dikenal sejak zaman Nabi, dapat dijumpai dalam sejumlah

teks Hadits. Secara praktis al-Thibb berarti pengobatan fisik (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Arti kata al-Thibb adalah keahlian atau kepakaran dalam berbagai bidang, maka dalam setiap pakar atau orang yang ahli dalam pekerjaan atau

sesuatu disebut Thabib. Dari sinilah maka pakar, praktisi, atau ahli kedokteran disebut al-Thibb atau al-Thabb, jamaknya attibba’ (untuk jumlah banyak),

attibbat (untuk jumlah sedikit).25

Secara terminologis, Ibn Rusyd (w. 595 H.) mendefinisikan ‘ilm al-Thibb

sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan badan manusia dari segi

sehat atau tidaknya.26 Ibn Sina27 (980-1036 M.) mendefinisikan sebagai

24

Adami Chazawi, SH, Malpraktek Kedokteran; Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), cet. Ke-I, h. 46

25

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), h. 553-554

26

Muhammad al-Mukhtar, Ahkam al-Jirahat al-Thibbiyyat wa al-Atsar al-Mutarattibat ‘alaiha, dalam Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan Modern, (Thaif: Maktabat al-Shiddiq, 1993), h. 30

27

(44)

33

pengetahuan tentang keadaan tubuh manusia yang menyangkut kesehatan dan

gangguannya, tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan dan memulihkannya

kembali kesehatannya seperti sedia kala.28

Dalam perspektif Islam mengenai masalah tanggungjawab terdapat

beberapa hadits Nabi SAW, yang berkenaan dengan tanggungjawwab profesi

terutama profesi Kedokteran diantaranya:29

نأ

ﷲا

لﻮ ﻳ

ﻌ ﺳ

لﻮﺳر

ﷲا

ص

.

م

لﻮ ﻳ

:

ﻜ آ

عار

ﻜ آو

لوﺆﺴ

ر

مﺎ ﻹا

عار

و

لوﺆﺴ

ر

و

لﺎﺟﺮ ا

عار

هأ

ﻮهو

لوﺆﺴ

ر

ةﺁﺮ او

ﺔ ر

ﺎﻬﺟوز

و

ﺔ ﺆﺴ

ﺎﻬ ر

مدﺎ او

عار

لﺎ

و

لوﺆﺴ

ر

لﺎﻗ

:

و

لﺎﺟﺮ ا

عار

لﺎ

أ

و

لوﺆﺴ

ر

و

ﻜ آ

عار

و

لوﺆﺴ

ر

)

اور

يرﺎ ا

(

Artinya:

“Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya, Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan bertanggungjawab tentang kepemimpinannya. Khadam (pembantu) itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Kata Abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda: “Laki-laki itu pemimpin bagi harta-harta ayahnya, dan bertanggunggjawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruh adalah pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari)

28

Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb, (Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.), h. 3

29

(45)

Dalam sunan Ibn Majah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia

bertanggungjawab atas kesalahannya, sebab ia menganggap tubuh seorang dengan

kebodohannya. Sebagaimana dalam riwayat:

لﺎﻗ

ﺪﺟ

أ

ﻌﺷ

وﺮ

:

ص

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎﻗ

.

م

ﻦ ﺎﺿ

ﻮﻬﻓ

ﻚ ذ

ﻌﻳ

و

)

ﻦ ا

اور

ﺟﺎ

(

Artinya:

“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)

Menurut al-Khattibi,30 berkenaan dengan masalah tanggungjawab profesi kedokteran yang mengatakan:

ﻳﺮ ا

يﺪﻌﺗ

اذإ

ﺎﻌ ا

ﺔﻓ

أ

ا

لﺎﻗ

ﺪﻌ

ﻓﺮﻌﻳ

و

ﺎﻌ او

ﺎ ﺎﺿ

نﺎآ

ﺪ ﻮﺗ

اذﺈ

ﻚ ﺬ

ﺪ ﺴﻳ

دﻮ ا

و

ﺔﻳﺪ ا

ﻦ ﺿ

ا

ﻌﻓ

ﻗﺎ

ﺔ ﺎ

لﻮ ا

ا

ﺔﻳﺎ ﺟو

ﻳﺮ ا

نذإ

نود

Artinya:

“Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya tanggungjawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun begitu berpengalaman (ia melakukan terapi tanpa menimbulkan korban) maka ia dikenai tanggungjawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum qisash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri,

30

(46)

35

melainkan dasar persetujuan si pasien. Menurut kebanyakan ahli ilmu, tanggungjawab dokter (berupa diyat) dibebankan kepada keluarganya.”

Anjuran belajar ilmu kedokteran secara khusus, juga tercakup dalam

perintah Nabi اوواﺪﺗ (berobatlah).31 Juga dalam Hadits yang artinya: “Setiap penyakit ada obatnya”. Untuk mengetahui obat suatu penyakit jelas perlu dicari tahu dan dipelajari, dan untuk itu perlu belajar imu kedokteran yang atau

sejenisnya. Juga tersirat dalam Hadits, ketika Nabi ditanya tentang manfaat ilmu

kedokteran, dijawabnya oleh Nabi: “Allah yang menciptakan penyakit dan obatnya”.32

Dalam konteks bahasa Indonesia,33 istilah tabib dan dokter dibedakan.

Tabib di fahami sebagai orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara trdisional, sedangkan dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya.

Dalam konteks literatur Islam tentang pengertian dari profesi

kedokteran, dijelaskan bahwa kata dokter (ﺐﻴﺒﻄﻟا), merupakan bentuk kata tansitif

31

Misalnya Hadits: ﻦ ﺪ ﺣا اور)واواﺪ ﻓءاوﺪ ا ءاﺪ ا ﺣ ﺟوﺰ ﷲانا

ا

( “Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, mengetahui orang yang mempunyai pengetahuan tentang itu, dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tidak menggetahuinya.” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dengan redaksi berbeda namun maksud sama, lihat pula Ahmad Ibn_Hanbal, op. cit., j. I, h. 377, 413, 443, 446, j. IV, h. 270.

32

Misanya Hadits: (ﺮ ﺎﺟﻦ آﺎ اونﺎ ﺣﻦ او ﺴ وىرﺎ ا اور)ءاوادءاد ﻜ Ahmad, op. cit., j. III, h. 156

33

(47)

و

ﺎﻬ

فرﺎﻌ ا

و

رﻮ ﻷﺎ

قدﺎ ا

ﻮه

ﻷا

ا

ﻳﺮ ا

ﺎﻌﻳ

يﺬ ا

ا

Artinya:

“Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap, atau ahli dalam bidang segala permasalahan, dan mengetahui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang sakit”

Sedangkan menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan dokter adalah:

قدﺎﺣ

ﺮهﺎ

آ

وأ

ا

ﺣﺎ

Artinya:

Dokter adalah sesorang yang memiliki keahlian dibidang medis (pengobatan), dapat juga diartikan orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya”

Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, memberikan definisi dari dokter

sebagai berikut:35

قدﺎ ا

ﺮهﺎ ا

ﻮه

ا

“Dokter ialah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya”

1. Pertanggungjawaban Etika

34

Ibn al-Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Kairo: Daar al-Hadits, 1423 H/ 2003 M.), Juz IV, h. 556

35

(48)

37

Etika pengobatan dalam literatur Islam dikenal dengan Adab. Adab yang dalam literatur Hadits dan literatur awal pasca-Islam berarti: cara yang layak, etika yang baik, dan tata cara yang benar. Banyak karya mengenai etika pengobatan. Buku-buku tersebut mencoba menanamkan nilai moral yang baik dan

praktis disertai dengan etika profesional dalam bidang masing-masing. Amal yang

praktis dan akhlak yang terpuji ditekankan dalam semua profesi. Kendati

al-Ghazali mengatakan bahwa kesalehan bukan menjadi syarat untuk menjadi ahli

hukum seperti ini, menurutnya, merupakan pekerjaan intelektual, kesalehan dan

akhlak terpuji membantu dalam penerimaan secara umum pendapat ahli hukum

tersebut, sedangkan akhlak akan mengurangi nilainya.36

Kesalehan dan keikhlasan seorang dokter dikenakan dikalangan

pengobatan Yunani, yang dianggap sebagai penjaga tubuh dan jiwa. Dalam hal

ini, etika dalam literatur Islam menjadi sangat penting, yaitu:

1) Menyangkut tanggungjawab etis seorang dokter terhadap pasien yang

memiliki dua dimensi dalam Islam, antara lain:

a) Hubungan antara dokter dengan pasien; keramahan, kesabaran, perhatian

serta keyakinan profesional yang diperlihatkan kepada pasien;

b) Keyakinan kuat bahwa jika dokter itu bukan orang baik dan etis, maka

pengobatan tidak akan berjalan efektif dengan mengabaikan pertimbangan

bahwa dokter yang tidak etis tentu saja akan bereputasi buruk sehingga

tidak akan berhasil.

36

(49)

2) Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya

jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa

merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan

moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung.37

2. Pertanggungjawaban Secara Disiplin

Pengertian disiplin kedokteran Islam adalah sejumlah aturan yang harus

diaplikasikan oleh sang dokter bila dalam penerapan keilmuanya harus patuh

terhadap sistem keilmuan kedokteran yang sudah diatur.38

Dalam pelaksanaannya para dokter harus bisa menjalankan tugasnya

dengan kompetensi, penuh rasa profesional, dan harus mengedepankan ajaran

akhlak dalam perilaku kepada pasien yang membutuhkan bantuan pengobatannya.

Pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter akan mendapatkan sanksi yang

harus diterima oleh dokter mulai dikenakan denda hingga dicabut izin praktek

oleh sejumlah ahli kedokteran yang memang ditunjuk untuk menilai perilaku dari

para dokter yang melaksanakan tugasnya.

3. Pertanggungjawaban Secara Hukum

37

Ibid., h. 133

38

(50)

39

Pengertian pertanggungjawaban sendiri dalam hukum Islam ialah:

pembebasan seorang bersama hasil perbuatan yang telah dikerjakannya dengan

kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari

perbuatannya itu.39

Adapun pertanggungjawaban dalam fikih jinayah dilandasi atas tiga

prinsip, yaitu:40

1) Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang

diwajibkan;

2) Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dengan kata lain bahwa

pelaku memiliki pelihan yang bebas untuk melakukan atau meninggalkan

perbuatan tersebut;

3) Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan.

Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa

yang bisa terbebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang

berakal fikiran dewasa dan berkemauan sendiri.

Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang

diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang

mempunyai Ahliyat al-Ada’. Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat, artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)

39

Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. Ke-IV, h. 154

40

(51)

ا

ﻓر

ﻆ ﺴﻳ

ﻰ ﺣ

ﺋﺎ ا

ﻦ و

ﻎ ﻳ

ﻰ ﺣ

ﻰ ا

ﻰ ﺣ

نﻮ

ا

ﻦ و

42

Artinya:

“Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar”43

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas

orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang

mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum

dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.

Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan

tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.

Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash

terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi

kemaslahatan manusia sendiri.

41

Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155

42

Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-Syafi’I, (Daar al-Fikr, Juz II), h. 267

43

(52)

41

)

أﺮﺳﻹا

/

17

:

36

(

Artinya:

“Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36)

Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu

kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung

jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.

Dalam sebuah riwayat Hadits:44

لﺎﻗ

ﺪﺟ

أ

ﻌﺷ

وﺮ

:

ص

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎﻗ

.

م

ﻦ ﺎﺿ

ﻮﻬﻓ

ﻚ ذ

ﻌﻳ

و

)

ﻦ ا

اور

ﺟﺎ

(

Artinya:

“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)

Ja’far Khadim45 menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat

kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib

44

Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), juz IV, h. 198

45

(53)

memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi

bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah (keluarga atau ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal,

menimbulkan dua pendapat: (1) dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri

atau (2) dengan gugurnya diyat.

Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,

ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak.

Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi, membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat

beberapa resiko hukum.46

Pertama, dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan

pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama

berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu

Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat.

Kedua, dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter

tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,

dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali

menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah

46

(54)

43

khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada baitulmal.

Ketiga, dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru

dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal. Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun

bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluar

Gambar

gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana

Referensi

Dokumen terkait

Beberаpа kаrаkteristik dаri mаskаpаi low cost cаrrier (LCC) аtаu penerbаngаn berbiаyа murаh аdаlаh stаndrаtisаsi pаdа kаbin dаn аrmаdа pesаwаt, menghilаngkаn

Pada era globalisasi ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya kesehatan melalui pengkonsumsian makanan-makanan sehat yang diharapkan akan memberikan efek lebih baik

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan

Home Industri Nata De Coco “QUEEN” dan Home Industri Nata De Coco “LARIS“ menjadi/ sebagai mitra dari program IbM ini, yang mana akan mengikutsertakan 12 ( lima

Untuk merancang unsur-unsur pengendalian intern yang diterapkan dalam sistem penjualan kredit, unsur pokok pengendalian intern yang terdiri dari organisasi, sistem

(2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa Koefisien Respon Laba perusahaan yang diaudit oleh KAP besar dengan spesialisasi industri lebih tinggi dari pada perusahaan yang

Pengamatan saya lakukan di kelas IV saat mata pelajaran Matematika dengan materi mengenai perkalian dan pembagian. Perencanaan pembelajaran direncanakan dengan

Selain itu perihal pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, hanya akan memberikan kemaslahatan serta kebaikan bagi pelaku tindak pidana ini, namun masyarakat yang