• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terjemahan Al-QUr'an H.B. Jassin Bacaan Mulia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Terjemahan Al-QUr'an H.B. Jassin Bacaan Mulia"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Rina Indri Astuti

NIM:106024000946

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATUALLAH

JAKARTA 1431H/2010

(2)

ii   

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

Jakarta, 06 September 2010

(3)

iii   

H.B. JASSIN BACAAN MULIA

(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Rina Indri Astuti

NIM:106024000946

Pembimbing

Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag. NIP: 19570715 198803 1001

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATUALLAH

(4)

iv   

Skripsi yang berjudul ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA (Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta pada hari Senin 06 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai selah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada program studi Tarjamah.

Jakarta, 06 September 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr.Akhmad Saehuddin, M.Ag.

NIP: 19570816 199403 1001 NIP: 1970050 520000 3103

Anggota

Dr. H.A. Ismakun Ilyas, MA. Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.

(5)

v   

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b Be

ت t Te

ث ts te dan es

ج j Je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d De

ذ dz de da zet

ر r Er

ز z Zet

س s Es

ش sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع ، koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

(6)

vi   

ك k Ka

ل l El

م m Em

ن n En

و w We

ـه h Ha

ء ` Apostrof

ي y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

____________ A Fathah

---ِ--- I Kasrah

____________ U Dammah

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ____

ي Ai a dan i

_____

(7)

vii   

harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ___

ا Â a dengan topi di atas

__

ي Î i dengan topi di atas

_

و Û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang dalam yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu لا dialih aksarakan menjadi /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydidi yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( _ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan mengadakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh hururf-huruf syamsyiah. Misalnya, kata ةروﺮﱠﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah.

Ta Marbûtah

Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata siifat (na’t) (lihat contoh 2 ). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ ( lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah

(8)

viii   

Huruf Kapital

(9)

ix   

“Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia; Studi Terhadap Konteks Ayat Tentang Non-Muslim”

Terjemahan Al-Quran merupakan item yang sangat penting bagi masyarakat muslim terutama bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab. Terlebih dari itu maka terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin pun menyuarakan hasil terjemahannya mengenai ayat-ayat non-muslim. Maka, skripsi ini menerangkan tentang analisis terjemahan Al-Quran H.B. Jassin tentang ayat-ayat non-muslim yang sampai saat ini masih terjadi pro dan kontra dikalangan para ulama.

Penulis menarik kesimpulan bahwa terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin tentang ayat-ayat non-muslim dianggap benar berdasarkan perbandingan dengan terjemahan Al-Quran yang lain dan pengkajian tafsir Al-Quran mengenai ayat-ayat non-muslim.

Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif yaitu dengan mengumpulkan data-data aktual, melaksanakan studi kepustakaan dari beberapa literatur tertulis, baik dari buku-buku, artikel, majalah, internet, dan dokumen.

(10)

x   

Alhamdulilahi Rabbil’allamin penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang senatiasa memberikan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada penulis, sehingga karya ini bisa selesai. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada teladan alam semesta, kajeng nabi Muhammad saw beserta keluarganya, para sahabatnya dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan curahan syafaatnya di hari akhir nanti.

Penulis mengucapkan terma kasih yang sebesar-besarnya kepada Civitas academica UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta, terutama kepada Prof.Dr. Komaridin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatuaallah Jakarta. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ketua Jurusan Tarjamah dan Sekertaris Jurusan Tarjamah Akhmad Saekhuddin M,Ag.

Terima kasih yang tak terhingga pula kepada bapak Drs. H. D. Sirojuddin AR, M,Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan serta memotovasi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan bapak.

Kepada Jajaran Jurusan Tarjamah: Drs. Ismakun Ilyas, M.A, Syarif Hidayatullah, M.Hum, Dr. Sukron Kamil, M.A, Irfan Abubakar, M.A, Drs. A. Syatibi, M,Ag, dan lainnya.terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang penulis dapatkan menjadi manfaat dan berkah dikemudian hari. Amin.

(11)

xi   

Merekalah yang menjadi motivasi penulis dalam menggapai semua mimpi serta orang yang mencintai penulis apa adanya.

Terima kasih kepada PDS (Pusat Dokumentasi dan Sastra H. B. Jassin) yang telah berbaik hati memberikan pelayanan berupa buku-buku serta Referensi kepada penulis. Kepada kepala dan karyawan perpustakaan fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan umum Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatuallah Jakarta, perpustakaan UI dan perpustakaan Atmajjaya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengakses berbagai referensi kepada penulis.

Kepada sahabat terbaik dan tersayang penulis Siti Hamidah, dan Leni Helpianti terima kasih untuk semua kebaikannya dan kebersamaannya hingga detik ini masih ada.

(12)

xii   

Semoga skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 06 September 2010

Penulis

(13)

xiii   

PERNYATAAN ……….ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….iii

LEMBAR PENGESAHAN………iv

PEDOMAN TRANSLITERASI……….v

ABSTRAK……… ... ……..ix

KATA PENGANTAR………x

DAFTAR ISI………xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Perumusan masalah………...4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...7

D. Metodologi Penelitian………8

E. Sistematika Penulisan………...8

BAB II LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN A. Gambaran Umum Penerjemahan………...………...10

1. Definisi Penerjemahan………...………..….10

2. Metode Penerjemahan……….………..11

3. Proses Penermahan……….. ... ……..16

B. Gambaran Tentang Al-Qur’an………...………...19

1. Penerjemahan Al-Qur’an……….………..19

2. Pengertian Al-Qur’an………….………....19

3. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an………...21

4. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an………...23

(14)

xiv   

B. Pendidikan H. B. Jassin………...26

C. Karir H. B. Jassin……….………...26

D. Propesi dan prestasi H. B. Jassin……….28

E. Karya Tulis H. B. Jassin………..28

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA; STUDY KONTEKS TENTANG AYAT-AYAT NON-MUSLIM A. Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim…….………...…...30

B. Menelusuri Kebenaran Terjemahan Al-Qur’an Karya H. B. Jassin tentang Ayat-ayat Non-Muslim……….……..40

C. Analisis terhadap kata “Auliya” dalam Konteks tentang Ayat-ayat Non-Muslim…60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….………...67

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan merupakan sesuatu kegiatan yang menjadi penting bagi manusia pada abad

modern ini yaitu kegiatan yang bukan saja di miliki penerjemah, para guru bahasa, dan para

peminat bahasa lainnya, melainkan juga telah memberikan daya tarik bagi para ilmuan lainnya

yang menyadari kekuatan bahasa sebagai salah satu media yang dapat memantau kesepakatan

perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah banyak buku-buku dan artikel-artikel tentang

terjemahan, di tulis para ahli dalam suatu cabang ilmu tertentu dengan pendekatan yang beraneka

ragam sesuai dengan di siplin ilmunya masing-masing.1

Dalam proses menerjemahkan berusaha untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam

bahasa sumber tanpa merubah maksud dan pesan tersebut. Begitu pula dalam membentuk

kalimat ke dalam bahasa sasaran haruslah jelas.2

Dalam masalah penerjemahan perlu kirannya seorang penerjemah memiliki pengetahuan

mengenai tahapan-tahapan penerjemahan, syarat-syarat penerjemahan dan ragam-ragam

penerjemahan, guna mayoritas naskah yang diminati untuk dijadikan sasaran, serta pendekatan

apa yang sebaiknya di ambil. Secara umum ragam terjemahan terdiri dari tiga macam yaitu:

terjemahan kata demi kata, terjemahan harfiyah dan terjemahan bebas.3 Setelah penerjemah

mengenal lebih jauh ragam-ragam penerjemahan akan dapat mengetahui keunggulan dan

      

1

Suhendra Yusuf,Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994) Cet.ke-1,h.7 

2

Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Ende Flores-NTT:Nusa Indah, 1986), h.24 

3

Nurachman ,Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 54-58 

(16)

kekurangan terhadap ragam penerjemahan yang di gunakan. Sehingga penerjemah lebih selektif

dalam memilih dan menggunakan ragam penerjemahan yang sesuai dengan tujuan penulis (Bsu).

Kemampuan menerjamahkan mempunyai peranan yang signifikan untuk menguak apa

saja maksud di balik ayat yang masih di anggap abu-abu oleh para ulama klasik dan modern dan

terkesan mengandung sebuah misteri yang patut untuk di pecahkan. Oleh karenanya, latar

belakang keilmuan seseorang khususnya kemampuan menerjemahkan pada ayat Al-Quran

memberikan dampak dan sudut pandang yang berbeda.

fakta sejarah mengatakan bahwa Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama

ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi

non-muslim dalam konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya

at-Ta’ashshub wa At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam di bina atas

prinsip toleransi, kerja sama dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen

yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, di

lihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka

sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia,

mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas

non-muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam

seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan.4

Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl-Dzimah seringkali mendapatkan perlakuan

yang tidak setara dengan komunitas muslim. Kendati non-muslim dzimi diperbolehkan ibadah

sesuai keyakinannya dan di perbolehkan menerapkan hukum keluarganya, mereka tidak boleh

       4

(17)

menda’wahkan ajaran agamanya. Dalam urusan agama, mereka di pimpin oleh masing-masing

pemuka agama mereka. Namun, dalam urusan publik, semua jabatan admistratip dan politik

haruslah di pegang oleh muslim, mereka tidak bisa menduduki posisi strategis dalam

pemerintahan mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis

permusyawaratan, mereka tidak punya hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.5

Ahl-Dzimah sering kali disebut sebagai kelompok kelas dua dan menurut Muhammad Arkoun,

model toleransi seperti itu adalah model toleransi tanpa peduli. Alasannya karena konsep dzimah

dalam praktek disertai oleh rekayasa untuk mengurangi peran kelompok non-muslim dan

menegaskan keunggulan Islam atas yang lain. Namun bagi Arkoun, konsep ini masih lebih baik

dari pada kondisi kaum muslim dalam masyarakat agama lain.6

Akan tetapi dewasa ini, sering kita lihat khususnya di Indonesia bahwa non-muslim

diberi kebebasan menyebarkan ajarannya walaupun bukan dengan metode dakwah, namun dapat

kita lihat dengan melihat tayang iklan di TV yang substansinya untuk menyebarkan ajarannya.

Begitu juga pada sistem pemerintahan dan kekuasaan pemerintah, yaitu berpengaruh untuk

menentukan kemajuan suatu negara, dapat kita lihat banyak orang-orang non-muslim yang

menduduki jabatan penting di parlemen. Hanya saja persoalan pemimpin (Presiden) dalam hal

ini masih menjadi kontropersi pro dan kontra antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak

setuju, akan tetapi secara garis besar non-muslim sudah menebarkan sayapnya.

Dari pernyataan tersebut menunjukan bahwa adanya perlindungan terhadap kafir dzimmi

di sebabkan mereka telah mengikuti aturan yang dibuat oleh kaum muslim.

       5

 Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, (Jakarta: CSRC, 2007), h. 73 

6

(18)

Hal ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berbunyi:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang

tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya

Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil."(8)7

Lain halnya versi H.B.Jassin yang mengartikan sebagai berikut:

"sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang

memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain)

untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka itulah orang-orang yang zalim."(9)8

Begitu juga perihal apakah non-muslim boleh atau tidak dijadikan pemimpin. Oleh

karenanya Al-Quran memberi solusi dan perintah, yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat 57

yaitu yang berbunyi:

       7

 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag, 1971), h. 924 

8

(19)

“ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang

menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima

kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh

beriman.”9

Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang

kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin.10 Dalam hal ini, tentu

saja maksudnya adalah pemimpin publik.11 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa

Al-Maraghy.12 Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim

untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan

publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim.

Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani

menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi

sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka

       9

 H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152  

10

 Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 

11

 Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafsir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 

12

(20)

sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang dzalim."13

Terlepas dari itu, pandangan kaum muslim bahwa orang-orang non-muslim tidak dibenarkan

untuk menjadi seorang pemimpin adalah berdasarkan ketentuan Al-Quran yang mengatakan

bahwa ajaran-ajaran non-muslim tidak di akui oleh Allah sampai mereka mengikuti ajaran Rosul.

Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 68 :

"katakanlah: Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu

menegakan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu.

Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari tuhanmu akan menambah

kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih

hati terhadap orang-orang kafir itu."14

Penafsiran tersebut tampaknya tidak menjadi masalah pada masa klasik dan pertengahan

Islam, karena pada masa itu agama dan kebiasaan menjadi alasan bagi berdirinya sebuah negara.

Dalam sejarah awal Islam, hal itu bisa dibuktikan dari upaya Nabi Muhammad yang

menciptakan bentuk persaudaraan baru berdasarkan agama (Ukhuwah Islamiyyah) untuk

menjadikan persaudaraan berdasarkan darah, meski Nabi juga membentuk negara multietnis dan

agama, sebagaimana terlihat dalam piagam Madinah. Dalam konteks sistem negara-bangsa

       13

 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 

14

(21)

dewasa ini, dimana kebangsaan atau kewarganegaraan yang menjadi alasan berdirinya sebuah

negara, maka penafsiran seperti diatas adalah problematika, alasannya karena dalam konsep

bangsa-negara, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak di bedakan

berdasarkan agama.

Selain itu, penafsiran tersebut juga menjadi masalah dalam konteks hak-hak sipil yang

diakui oleh hukum internasional yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama yang

dimaksud hukum internasional yang memuat prinsip anti diskriminasi agama. Sebab itulah,

beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana

kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya

yang dijamin sepenuhnya dalam islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan

menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak

kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menunjukan

bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi barat yang

mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam

memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan

anggota dari mayoritas.15

Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan oleh mantan Presiden RI ke-4

KH.Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak penuh,

termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al

Maidah ayat 57, di jadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala

       15

(22)

negara. Alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah “auliya” yang berarti teman

atau pelindung. Bukan “umara” yang berarti penguasa.16

Dari semua uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa tedapat perbedaan pendapat

terhadap ketentuan boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin, dalam hal ini yang

menjadi rujukan adalah keterangan dari Al-Quran surat Al-Maidah ayat 57, kemudian di pertegas

lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mempermasalahkan kata “Auliya”. Maka

jelaslah, tokoh syariah modern tidak berpatokan kepada Syariah klasik, berwawasan lebih liberal,

dan terkesan lebih luas kebijakan terhadap non-muslim.

Dari statement itu perlu adanya kajian yang lebih lanjut terutama konteks terjemahan

pada ayat-ayat non-muslim secara kontemporer sehingga adanya pendalaman terhadap

permasalahan ini. Karena pemahaman konteks kalimat sangatlah dibutuhkan untuk memahami

suatu kalimat.

Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut, sehingga Penulis ingin sekali menganalisa

terjemahan konteks dalam ayat non-muslim. Untuk itu, Penulis mencoba melakukan penelitian

skripsi dengan judul “ ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B JASSIN BACAAN

MULIA; STUDI TERHADAP KONTEKS AYAT-AYAT TENTANG NON-MUSLIM” dengan

asumsi teoritis, bahwa studi terhadap konteks kalimat untuk memahami terjemahan ayat

non-muslim dalam Al-Quran.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

       16

(23)

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta demi menyamakan persepsi agar

kajian yang ditulis tidak melebar pembahasanya, Penulis perlu untuk memberikan batasan dan

rumusan masalah yang akan dikaji.

Berkaitan dengan ayat-ayat non-muslim dalam al-Quran, banyak sekali hal yang dapat di

kaji. Namun dalam penelitian ini, Penulis hanya akan meneliti yaitu dalam Al-Quran, serta

sebagai upaya untuk memahami bagaimana cara H.B. Jassin menerjemahkanm ayat non-muslim

tersebut diatas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini terbentuk pertanyaan sebagai

berikut:

1. Mencoba menganalisis Ayat-ayat tentang non-muslim.

2. Jika dilihat dari konteks ayat tentang non-muslim apakah terjemahan dalam al-Quran

terjemahan H.B. Jassin bacaan mulia sudah benar atau tidak?

3. Menganalisis kata “Aulia” dalam konteks ayat non-Muslim.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Berdasarkan masalah yang Penulis kemukakan, maka yang menjadi tujuan umum dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui terjemahan ayat-ayat non- muslim dalam

al-Quran.

(24)

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui ayat-ayat tentang non-muslim

b. Untuk mengetahui terjemahan Al-Quran oleh H.B. Jassin Bacaan Mulia

c. Untuk mengetahui analisis kata “Aulia” tentang ayat-ayat non-muslim.

D. Metodologi Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

yaitu dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang di teliti, kemudian

mendeskriptifkan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas yang

ada. Di samping itu juga Penulis akan menganalisa dan memberikan perincian terhadap masalah

yang akan diteliti dengan cara memilah-milah antara satu pengertian dengan pengertian yang

lain, untuk memperoleh kejelasan masalah yang akan diteliti. Adapun pencarian data yang

dilakukan adalah dengan langkah-langkah membaca dan mengkaji karya H.B.Yassin Bacaan

Mulia pada bukunya Syariah Islam dan Ham; dampak perda syariah terhadap kebebasan sipil,

hak-hak perempuan, dan non-muslim sebagai bahan pokok (Main Responses) serta dengan buku

lainya yang berkaitan dengan ayat non-muslim sebagai pelengkap (Secondary Responses).

Kajian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Reseach), data-data yang

dikumpulkan dari sumber-sumber kepustakaan berupa buku-buku. Untuk menghindari penulisan

yang keliru maka dalam teknis penulisan, Penulis sepenuhnya berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang diterbitkan oleh CeQDA

(Center For Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(25)

Untuk memudahkan dalam pembahasan, sistematika penulisan skripsi ini Penulis susun dalam

lima bab, yaitu:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,

Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian yang terdiri dari tujuan Umum dan Khusus,

Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.

Bab kedua berbicara seputar kerangka teori penerjemahan dan seputar tentang Al-Quran

yang meliputi: wawasan penerjemahan terdiri dari definisi penerjemahan, Metode-metode

penerjemahan, Proses Penerjemahan, dan Syarat-syarat Penerjemahan. Wawasan penerjemahan

Al-Quran mencakup definisi penerjemahan Al-Quran, Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an,

Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an dan Cara Menerjemahkan Al-Qur’an

Bab ketiga menjelaskan tentang biografi H.B.Jassin, meliputi: Riwayat hidup,

Pendidikan, Karir, Profesi dan Prestasi, serta karya-karya H.B. Jassin.

Bab keempat difokuskan pada Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia;

studi terhadap konteks ayat tentang non-Muslim

Bab kelima yaitu bab penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dari pembahasan proposal

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN

A. GAMBARAN UMUM PENERJEMAHAN

Secara etimologis istilah terjemah itu diambil dari bahasa Arab, Tarjamah. Menurut Didawi,

bahasa Arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia, tarjuman. Kata turjuman

sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu

bahasa ke bahasa yang lain.1 Memasuki dunia penerjemahan sama artinya dengan mengenal

sesuatu yang unik atau menarik. Unik karena sampai saat ini peminat terjemah masih bisa

dikatakan sedikit. Dalam menerjemahkan d butuhkan kerja keras, teliti dan kesabaran untuk

mendapatkan hasil yang maksimal karena yang dihadapi adalah naskah berbahasa asing.

Menariknya, akan banyak hal-hal baru yang ditemui untuk menambah wawasan serta informasi.

Lewat terjemahan, segala sesuatu yang tadinya belum dikenal dan tersingkap bisa segera

terungkap jelas. Menerjemahkan sebagai suatu proses akan membedah misteri tersebut guna

diambil manfaatnya oleh setiap individu, masyarakat dan bangsa.

Berbicara tentang penerjemahan ada baiknya dimulai dari perumusan penerjemahan itu.

Sekilas translation dengan interpretation terlihat sama, nyatanya keduanya sangat berbeda.

Biasanya translation mengacu pada peralihan pesan tertulis. Sedangkan interpretation mengacu

pada pesan lisan saja. Kata penerjemahan dengan terjemahan pun perlu juga dibedakan. Kata

penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya

hasil dari suatu penerjemahan.

      

1

Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia , (Bandung: Humaniora, 2005), h. 7. 

(27)

1. Definisi Penerjemahan

Dalam pengertian yang luas, Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada

proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) kedalam bahasa lain

(sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai

sistem penulisan yang telah baku ataupun belum, baik salah atau keduanya didasarkan pada

isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.2 Seorang teknisi yang sedang memesan

instrumen tertentu seperti apa yang tertera di dalam skema pemasangannya adalah salah satu

contoh kegiatan atau proses penerjemahan. Salah seorang yang sedang merumuskan

gagasan-gagasan yang ada dalam benaknya ke dalam bahasa matematika merupakan contoh terjemah.

Jadi kegiatan terjemahan dalam pengertian yang luas. Adalah semua kegiatan manusia dalam

mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal, dari satu bentuk ke dalam

bentuk yang lainnya.

Sedangkan dalam pengertian yang lebih sempit, terjemah (translation) biasa diartikan

sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat didalam teks bahasa pertama atau bahasa

sumber (source language) dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran

(target languge).3

Penerjemahan merupakan suatu tindakan komunikasi. Sebagai tindakan komunikasi

kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa. Dengan demikian, penerjemahan merupakan

       2

Zuchridin Suryanwinata dan Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, (Jakarta: Kanisius, tth), h. 13 

3

(28)

kegiatan yang melibatkan bahasa, dan dalam pembahasannya tidak dapat mengabaikan

pemahaman tentang konsep-konsep kebahasaan itu sendiri.4

Mengalihkan bahasa atau menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber

ke dalam bahasa sasaran, dilakukan untuk mengetahui makna yang digunakan oleh bahasa

sumber secara tepat agar isinya mendekati asli dan ketika membaca seperti bukan hasil

penerjemahan dan dapat dipahami oleh pembaca.5

2. Metode Penerjemahan

Metode penerjemahan adalah teknik yang digunakan oleh seorang penerjemah saat hendak

memutuskan menerjemahkan suatu Tsu. Banyak metode penejemahan yang dikembangkan oleh

para ahli. Namun, diantara metode yang ada, metode yang ditawarkan Newmark (1988) dinilai

sebagai paling lengkap dan menandai.6 Menurut Newmark, dalam bukunya A Textbook of

Translation, membagi metode penerjemahan ke dalam dua keompok besar, yaitu (1) metode

penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sumber; (2) metode penerjemahan yang

berorientasi kepada bahasa sasaran.7 Adapun Nababan, membagi metode penerjemahan dalam

sepuluh jenis.8 Lain halnya dengan Brislin, ia mengklasifikasikan metode penerjemahan ke

dalam empat jenis.9

      

4

Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Gramedia,2002), h. 17 

5

E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, (Jakarta: Depdikbud, 1985),Cet. Ke-1,h.9  6

Moch. Syarif Hidayaullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Aran-Indonesia,(Tagerang: Dikara, 2009), Cet.III,h.31 

7

P.Newmark, A Textbook of Translation (UK: Prentice Hall International,1988), h.45-47.  

8 Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet ke-1, h. 30-34 

(29)

Berikut ini Penulis akan paparkan beberapa Metode Penerjemahan dari para ahli teori

terjemah yang sering digunakan dan dijadikan rujukan oleh para penerjemah dan pencinta

terjemahan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Penerjemahan Kata Demi Kata (Word for Word Translation)

Metode penerjemahan ini pada dasarnya kata-kata bahasa sasaran diposisikan di bawah

versi bahasa sumber. Kata-kata bahasa sumber diterjemahkan diluar konteks dan sangat terkait

dalam tatanan kata. Penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber ke dalam bahasa

sasaran tanpa mengubah susunan kata bahasa sasaran. Dengan kata lain, penerjemahannya apa

adanya.10

Contoh:

مﺎ

ﻻو

ﻻو

ﻻو

ةﺮ

ﷲا

Terjemahannya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya Bahi:rah, Sa’bah, Wasilah

dan Ham.11

b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Kategori ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber,

seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya.12 Akibat yang sering

muncul dari terjemah kategori ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena

penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal,

keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Hasilnya dapat dengan mudah dibayangkan,

       10

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Perjemahan, h.14 

11

Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15 

12

(30)

yakni bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk di baca

penutur bahasa sasaran (bahasa Indonesia).13

Contoh:

ﻂ ا

آ

ﺎﻬﻄ

ﻻو

ﻰ ٍا

ﺔ ﻮ ﻐ

كﺪ

ﻻو

Terjemahannya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggur pada lehermu dan

janganlah kamu mengulurkannya....

c. Penerjemahan Setia (Faithful translation)

Penerjemahan setia adalah memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh

struktur gramatikalnya dan kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi

penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan, berpegang teguh pada

maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa asing, tidak berkompromi dengan kaidah

Tsa.14

Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah memproduksi makna

kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya

dialih bahasakan, tetapi menyimpang dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia

berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak baku dan terasa asing. Ia tidak

berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal pengalihan.

Contoh:

ﻜ ﺎ ا

ﺬ ا

ﻜ ﺬ

      

13

Ibnu Burdah,Menjadi Penerjemah:Metode dan Wawasan menerjemah teks arab, (Yogyakarta: Tiara kencana, 2004), h.16. 

14

(31)

Terjemahannya: Hendaklah diminta izin kepadamu oleh orang yang dimiliki oleh

tangan-tanganmu.

d. Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)

Dibandingkan dengan penerjemahan harfiah, penerjemahan semantis lebih lentur. Karena

penerjemahan semantis dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran. Selain

itu, penerjemahan semantis masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih

dalam batas kewajaran.15

Contoh:

ا

مﺎ ا

ﻬ ﻮ ا

اذ

ار

Diterjemahkan: Aku lihat si muka dua di depan kelas.

e. Penerjemahan Adaptasi (Adaptation Translation)

Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan

bahasa sasaran. Biasanya metode ini di pakai dalam menerjemahkan drama atau puisi, yaitu yang

mempertahankan tema, karakter dan alur. Ini berarti bahwa unsur budaya dalam teks sumber

disulih (substituted) dengan unsur budaya pembaca TSa. .16

contoh :

ﺮﻬ ا

ﻰ ﺎ

ﺎ ا

مﺪ

ﻮﻄ

ةﺪ

ﺷﺎ

       15

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16  16

(32)

Terjemahannya : Dia hidup jauh dari jangkauan, diatas gemericik air sungai yang terdengar

jernih .17

f. Penerjemahan Bebas (Free Translation)

Metode penerjemahan bebas lebih mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk

teks bahasa sumber. Terjemahan bebas, pada umumnya lebih diterima, ketimbang terjemahan

harfiah, karena dalam terjemahan bebas biasanya tidak terjadi penyimpangan makna maupun

pelanggaran norma-norma BSu. Kekurangan teknik penerjemahan bebas ialah bahwa yang

[image:32.612.71.541.272.492.2]

disampaikan oleh terjemahan bebas ke dalam teks BSu bukan padanan makna teks BSa, tapi

gambaran situasi yang menghasilkan perolehan padanan situasi. 18

Contoh :

ﺎ ا

ﺔ ﺎ

ﺪ ﺪ ا

ﻪ ﻮ ا

Terjemahannya: Pembaruan wilayah pemerintahan Ibukota Baru’ (lama) Jerman-Berlin19.

g. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan

menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak di dapati pada versi aslinya.

Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan kaliber

dunia seperti Seleskovitch menyukai metode penerjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan

“alami” (dalam arti akrab). 20

        

18

Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation the New Millenium Publication (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h.52-53 

19

 Moch.Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, (Jakarta:2007), h.16 

20

(33)

Contoh :

موﺪ ﻻ

ماﺮ ا

لﺎ ا

Terjemahannya : Harta haram tak akan bertahan lama 21

h. Penerjemahan Komunikatif

Metode ini mengupayakan mereproduksi makna kontekstual yang demikian rupa,

sehingga baik dari aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca.

Oleh karena itu versi Tsa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namamya metode ini

memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan.22

Metode ini adalah yang banyak digunakan dalam penerjemahan. Dalam metode ini yang

di pentingkan adalah penyampaian pesannya, sedangkan terjemahannya sendiri lebih diarahkan

pada bentuk yang berterima dan wajar dalam Bsa. 23

Contoh :

ٍﺎ

باﺮ

آ

ﺔﻐﻀ

Terjemahannya : Maka ketahuilah sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah

kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging.24

3. Proses Penerjemahan

Orang yang berusaha memperoleh pengetahuan mengenai penerjemahan paling tidak

harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Proses Penerjemahan. Soemarno mengatakan

      

21

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16 

22

Rochayah, Pedoman bagi Penerjemah, h. 54. 

23

Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5. 

24

(34)

bahwa proses penerjemahan ialah langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah

pada waktu dia melakukan penerjemahan.25 Menerjemahkan bukan hanya sekedar menyadur,

dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan

meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke

dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana).

Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah hendaknya mengetahui pula

proses penerjemahan. 26

Menurut Larson, ketika menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah

penerjemahan idiomatik untuk mengkomunikasikan setiap makna dari teks bahasa sumber ke

dalam bentuk yang natural dari bahasa sasaran. Larson menambahkan, bahwa penerjemahan

berfokus pada pembelajaran leksikal, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks

budaya dari teks bahasa sumber yang dianalisa untuk menentukan maknanya. Pencarian makna

ini kemudian disampaikan kembali secara leksikal dan struktur gramatikal yang sesuai dengan

bahasa sasaran beserta konteks budayanya.27

Bentuk dari teks yang akan diterjemahkan dan hasil penerjemahan ditunjukkan dalam

bentuk yang berbeda antara bujur sangkar dan segi tiga. Bentuk itu menggambarkan bahwa

dalam penerjemahan teks, bentuk dari bahasa sumber dapat berubah ke dalam bentuk yang sesuai

dengan bahasa sasaran untuk mencapai penerjemahan idiomatik.28

       25

 Soemarno, Harimurti Kridalaksana, (Jakarta: 1997). h. 13 

26

 Widyamartaya, h. 14 

27

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15  28

(35)

Adapun salah satu Proses Penerjemahan yang sering dianut oleh banyak teoritisi

penerjemahan adalah Proses Penerjemahan karya Nida (1975: 80).29

Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah

a. Analisis

b. Pengalihan (Transfer)

c. Penyelarasan (Restructuring)30

1) Syarat-syarat penerjemah

Untuk menjadi penerjemah yang baik, seseorang harus membekali diri dengan

syarat-syarat berikut:

a. Penerjemah harus menguasai Bsu dan Bsa

Penguasaan Bsu dan Bsa dimulai dari pembendaharaan kosakata, pola pembentukan kata,

aspek pemaknaan pada masing-masing bahasa. Penerjemah yang hanya mengandalkan

kemampuannya dalam Bsu, tanpa mendalami Bsa, akan menghasilkan terjemahan yang terasa

asing.

b. Penerjemah harus memahami dengan baik isi teks yang akan diterjemahkan

Isi teks yang akan diterjemahkan terkait pokok pikiran yang hendak disampaikan dalam

Tsu. Ini dikaitkan dengan penguasaan penerjemah dalam menyelami apa yang hendak

disampaikan oleh penulis Tsu.

      

29

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5 

30

(36)

c. Penerjemah harus mampu mengalihkan ide atau pesan yang terdapat pada Bsu.

Setelah memahami isi teks yang akan diterjemahkan, penerjemah yang baik harus mampu

mengalihkan ide dan pesan yang berhasil ditangkapnya. Keakuratan ide dan pesan yang berhasil

ditangkap oleh penerjemah, sangat tergantung pada pemahaman dan kepekaan penerjemah saat

menyelami Tsu.

d. Penerjemah harus terbiasa teliti dan cermat.

Seorang penerjemah tidak boleh ceroboh, karena ia bertanggung jawab secara ilmiah dan

moral pada penulisan Tsu agar menyampaikan ide dan pesan penulis dengan sebenar-benarnya.

e. Penerjemah harus mempunyai pengalaman dalam menafsirkan sesuatu.

Ini berarti seorang penerjemah dituntut untuk memiliki kemampuan menganalogikan dan

menganalisis suatu kasus.

f. Penerjemah harus terbiasa berkonsultasi dengan penasehat ahli.

Untuk memastikan pemahaman dan pengalihan pesan Tsu, seorang penerjemah harus

terbiasa mendiskusikan kasus-kasus yang dihadapi dan bertukar teknik baik dalam memahami

maupun dalam menerjemahkan Tsu.

g. penerjemah harus yang benar-benar orang yang menguasai topik yang hendak

diterjemahkan.

Seorang penerjemah yang baik tidak dibenarkan menerjemahkan topik yang tidak

dikuasai, apalagi bila hasil terjemahanya disebarluaskan untuk khalayak pembaca.

(37)

Ini bagian yang membutuhkan proses dan latihan yang tak kenal lelah. Karena, hal ini

terkait dengan penerjemah dalam mengalihkan Tsu, yang lebih sering berbeda struktur dengan

Tsa.

i. Penerjemah harus mengetahui dengan baik karakteristik sang penulis.

Pada titik tertentu, seorang penerjemah harus memahami benar mana yang merupakan

bagian dari gaya bahasa penulis dan mana yang bukan. Ini penting agar penerjemah mengerti

mana aspek dari Tsu yang harus dipertahankan dan mana yang tidak harus dipertahankan.31

Terkait dengan penerjemahan penulis juga akan memaparkan sedikit sekilas tentang al-qur’an,

yaitu sebagai berikut:

B. GAMBARAN TENTANG AL-QUR’AN

1. Penerjemahan Al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke

bahasa lain atau mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa atau alih

bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.32

Muhammad Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur’an berarti

menukilkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain selain bahasa arab.33

Seorang pakar ulama Al-Qur’an dari universitas Al-Azhar Mesir, Muhammad Husayn

Al-Dzahabi memberikan definisi tersendiri mengenai penerjemahan Al-Qur’an. Pertama,       

31

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah,(Jakarta:2007), h.15-16 

32

Departemen Pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997),h.1047  33

(38)

mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain tanpa

menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua, menafsirkan suatu

pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung didalamnya dengan menggunakan

bahasa lain.34 Dari definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa terjemah adalah menyalin atau

mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain, agar inti

pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan dapat dipahami oleh orang awam atau orang-orang

yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.

2. Pengertian Al-Qur’an

Para ulama tafsir al-Qur'an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa

(lughowi atau etimologis) bahwa kata Al-Qur'an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a

yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Makna ini bisa dipadukan menjadi satu,

menjadi “al-Qur'an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”.

Sedangkan makna al-Qur'an secara ishtilaahi ialah “Firman Allah SWT yang menjadi mukjizat

abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam

hati Rasulullah SAW, di turunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca

bernilai ibadah dan berpahala besar” Dari definisi di atas terdapat lima bagian penting:

• Al-Qur'an adalah firman Allah SWT serta wahyu yang datang dari Allah Yang Maha

Mulia dan Maha Agung. Maka firman-Nya (al-Qur'an) pun menjadi mulia dan agung

juga, yang harus diperlakukan dengan layak, pantas, dimuliakan dan dihormati.

• Al-Qur'an adalah mu’jizat. Manusia tak akan sanggup membuat yang senilai dengan

al-Qur'an, baik satu mushaf maupun hanya satu ayat.       

34

(39)

• Al-Qur'an itu diturunkan ke dalam hati Nabi SAW melalui malaikat Jibril AS (QS

26:192). Hikmahnya kepada kita adalah hendaknya al-Qur'an masuk ke dalam hati kita.

Perubahan perilaku manusia sangat ditentukan oleh hatinya. Jika hati terisi dengan

al-Qur'an, maka al-Qur'an akan mendorong kita untuk menerapkannya dan

memasyarakatkannya. Hal tersebut terjadi pada diri Rasululullah SAW, ketika al-Qur'an

diturunkan kepada beliau. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, beliau

menjawab: Kaana khuluquhul qur’an; akhlak Nabi adalah al-Qur'an.

• Al-Qur'an disampaikan secara mutawatir. Al-Qur'an dihafalkan dan ditulis oleh banyak

sahabat. Secara turun temurun al-Qur'an itu diajarkan kepada generasi berikutnya, dari

orang banyak ke orang banyak. Dengan cara seperti itu, keaslian al-Qur'an terpelihara,

sebagai wujud jaminan Allah terhadap keabadian al-Qur'an. (QS 15:9).

• Membaca al-Qur'an bernilai ibadah, berpahala besar di sisi Allah SWT. Nabi bersabda:

“Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf,

miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (al-Hadist). 35

Dari pengertian diatas bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang didalamnya terdapat

banyak sekali terdapat ilmu pengetahuan. Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa arab

dengan bahasa yang indah. Namun, itu semua hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Sebab

adanya perbedaan bahasapun sangat mempengaruhi. Telah kita ketahui Al-Qur’an menggunakan

bahasa arab sedangkan kita menggunakan bahasa indonesia. Inilah salah satu faktor yang

membut kebanyakan orang menjadi sulit mengerti apalagi memahami isi kandungan dalam

Al-Qur’an.

      

35

(40)

Padahal, pada saat yang bersamaan, Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk atau hidayah yang

harus dipahami dengan baik dan benar oleh seluruh umat muslim. Dari permasalahan diatas

terlihat jelas bahwa harus ada yang dapat menghubungkannya. Disinilah betapa pentingnya

penerjemahan Al-Qur’an. Para alim ulama dan cendikiawan selalu berusaha menerjemahkan

serta menafsirkan Al-Qur’an. Karena menerjemahkan Al-Qur’an tidak semudah menerjemahkan

teks selainnya. Penerjemahpun bukan sembarang orang dan harus memiliki kriteria khusus

seperti yang disebutkan pada syarat penerjemah.

Selain syarat yang disebutkan diatas, penerjemahpun sebaiknya memiliki keterampilan

dan kompetensi dalam berkomunikasi secara verbal. Penerjemah juga harus menghargai naskah

aslinya, dengan tujuan jika ingin menyingkatnya, maka pesan inti tidak terlewatkan. Itulah

sebabnya seorang penerjemah harus dapat membedakan mana pesan inti dan mana yang bukan

pesan inti.

3. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an

Kegiatan menerjemah, lebih-lebih menejemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa asing,

bukan merupakan perbuatan yang mudah yang dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Kegiatan menerjemah merupakan pekerjaan berat meskipun tidak berarti mustahil

dilakukan seorang, terutama oleh mereka yang berbakat dan berminat untuk menjadi mutarjim.

Karena untuk dapat penerjemah dengan baik, seseorang penerjemah tidak hanya menguasai

bahasanya saja, tetapi harus mengetahui materinya juga. Lain halnya dengan seorang penerjemah

yang handal dan profesional yang tidak mengalami kesulitan baik dalam menerjemahkan buku,

(41)

Untuk dapat menerjemahkan sesuai dengan maksud tulisan, terlebih lagi menerjemahkan

Al-Qur’an, mutarjim harus memenuhi beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat seperti yang

diungkapkan Al-Dzahabi sebagai berikut:

a. Mutarjim Al-Qur’an pada dasarnya harus memiliki persyaratan yang dikenakan pada

mufassir seperti i’tikad baik, niat yang tulus, serta menguasai ilmu-ilmu seperti ilmu

kalam, fikih usul fikih ,ilmu akhlak, dan lain-lain. Dengan persyaratn ini, seorang

penerjemah Al-Qur’an diharapkan terhindar dari kekeliruan dalam menerjemahkan.

b. Mutarjim Al-Qur’an harus memiliki akidah islamiyah yang kuat dan lurus. Karena orang

yang tidak dibolehkan untuk menerjemahkan dan atau menafsirkan Al-Qur’an, sebab

tidak sejalan dengan tujuan ulama dari turunnya Al-Qur’an itu sendiri yaitu sebagai kitab

petunjuk.

c. Sebelum menerjemahkan Al-Qur’an, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat

Al-Qur’an itu sendiri yang hendak di terjemahkan, kemudian di terjemahkan dan atau di

tafsirkan sekaligus. Selain dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengecek makna

yang sesungguhnya manakala terdapat terjemahan Al-Qur’an yang di ragukan

kebenarannya, terutama dalam rangka mempertahankan otensitas teks Al-Qur’an itu

sendiri.

d. Mutarjim juga harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa

asal yang diterjemahkan dan bahasa terjemahan. Dalam konteks ini, bahasa Al-Qur’an dan

bahasa terjemahan itu sendiri yaitu bahasa Indonesia. Jadi, mutarjim Al-Qur’an kedalam

(42)

Al-Qur’an yang diterjemahkan, tetapi juga harus memahami dalam menggunakan bahasa

Indonesia dengan baik dan benar.36

Ian Finlay seperti yang dikutip Suhendra Yusuf memaparkan beberapa kriteria penerjemah

antara lain:

• Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date

• Memahami materi yang akan diterjemahkan

• Mengetahui terminologi-terminologi padanan terjemahnya di dalam bahasa sasaran.

• Berkemampuan mengekspresikan dan mengapresiasikan serta merakan gaya, irama,

nuaasa serta register kedua bahasa yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran.

4. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an

Secara umum penerjemahan Al-Qur’an dibagi menjadi 2 macam yaitu: terjemahan

harfiyah dan tafsiriyah adalah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, tergantung

dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan ini identik dengan

terjemahan laterlek atau terjemahan lurus, yaitu terjemahan yang dilakukan kata demi kata.

Muhammad Husayn Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiyah ini dalam dua bagian, antara lain:

a. Terjemah harfiyah bi al-mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat

dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.

      

36

(43)

b. Terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan tadi, hanya

saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang

akan di terjemahkan.37

Sedangkan terjemahan tafsiriyah atau lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah

adalah terjemahan yang dilakukan penerjemah (mutarjim) dengan lebih mengedepankan maksud

atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa asal di terjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat

dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan atau biasa disebut dengan

penerjemahan bebas.38

5. Cara Menerjemahkan Al-Qur’an

Cara menerjemahkan Al-Qur’an tentu sangat berbeda dengan menerjemahkan teks biasa.

Seorang penerjemah Al-Qur’an harus memulai dengan beberapa tahapan. Seperti yang

diungkapkan H. Datuk Tombak Alam dalam bukunya burjudul Metode Menerjemahkan

Al-Qur’an Al-Karim 100 kali Pandai, beliau memberikan beberapa proses yang harus ditempuh

seorang mutarjim Al-Qur’an. Adapun tahapannya sebagai berikut

Pertama, yaitu menerjemahkan secara harfiyah dan menurut susunan bahasa Arab yang sudah

tentu tidak cocok dengan susunan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dilakukan pada tahap

pertama agar dalam penerjemahan dapat mengenal kedudukan dan hukum kata itu.

Kedua, membuang kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an kedalam terjemahan.

      

37

Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirin, h.24 

38

(44)

       

Ketiga, yaitu menggeser atau menyusun kalimatnya dalam terjemah untuk mencapai bahasa

Indonesia yang baik, yaitu di awal digeser ke belakang dan yang akhir diletakkan ke muka sesuai

dengan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia (S,P,O,K). Tahap ini boleh dipergunakan jika

diperlukan, akan tetapi jika seorang penerjemah ingin dikatakan hasil terjemahannya itu baik,

maka tahap ini haus dipenuhi.39

 

39

(45)

BAB III

BIOGRAFI H.B. JASSIN

A. Riwayat hidup singkat H.B. Jassin

Beliau lahir di sebuah desa di Gorontalo, Sulawesi Utara pada tanggal 31 juli 1917 dan

meninggal di Jakarta 11 Maret 2000. Nama lengkapnya adalah Hans Bague Mantu Jassin, namun

nama yang biasa digunakan hanya Hans Begue Jassin. Hans adalah nama kedua orang tuanya.

Sedangkan Begue diambil dari nama sang ayah. Guru-guru dan teman sekelasnya di sekolah

biasa memanggilnya dengan sebutan Han’s.1

Sewaktu masih tinggal di Gorontalo, beliau dipanggil dengan sebutan Jamadi. Sifat Jassin

hampir sama dengan Bung Karno dan Buang Hatta. Ia tidak suka menulis title didepan namanya.

Ia cukup menaruh nama aslinya saja yaitu H.B. Jassin dan kependekannya H.B.J.

Dalam dunia sastra, Hans Bague Jassin atau yang dikenal dengan H. B. Jassin, mendapat

predikat paus Sastra Indonesia dan dia mempunyai posisi yang istimewa. Bagai kritikus sastra,

karya-karya Jassin menjadi acuan kalangan sastrawan dan peminat sastra di Indonesia. Selama

puluhan tahun, kehadiran putra gorontalo ini telah member warna dalam kesusastraan Indonesia.

Ia juga disebut sebagai wali penjaga sastra Indonesia yang sesungguhnya.2

Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM

(Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu

meninggalkan kenang-kenang yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya.

Dikota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya

       1

 Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: PT. Jambatan, 1990), edisi baru, h. 73-75 

2

H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, (Jakarta: Harian Media Indonesia, 2003), h. 20 

(46)

Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu

dengan Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sangat terkesan dengan Jassin dan mengirim

surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu berlayar

bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan orang tuanya, ia bekerja di

kantor Asisten Residen Gorontalo antara bulan Agustus sampai Desember 1939, Sebagai tenaga

magang.3

B. Pendidikan

HIS, Balikpapan (1932)

MULO

HBS Medan (1939)

Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1957)

Pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959)

Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975)

Menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman4

A. Karir H.B. Jassin

Pada bulan Agustus 1939 Volontair dikantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian Pada

bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk memenuhi permintaan Sutan

Takdir Alisjahbana. Pada bulan Februari 1940 sampai tanggal 21 Juli 1947, H.B Jassin mulai

       3

 H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, h. 20 

4

(47)

bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi buku di bawah

bimbingan Armin Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji

Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat

sebagai wakil pemimpin redaksi di tahun 1945 sampai dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli

1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka.5

Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus bekerja dalam

lingkungan majalah sastra- budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia ditahun

1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963,

majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964

dan tahun 1967-1969.6

Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka

(1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh

radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah

yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya

(1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International

Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel

Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983,

      

  5

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

6

(48)

anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara

Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991. 7

Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia karena

keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung sejak di larangnya

Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun

1965.

Dalam dua periode memimpin majalah Sastra, H.B. Jassin mengalami masing-masing

satu musibah, cerpen Langit Makin Mendung yang kemudian menyeret H.B. Jassin kedepan

pengadilan. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara

dengan masa percobaan dua tahun. 8

Sejak tahun 1940, H.B. Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan pribadi.

Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat

berguna bagi pendokumentasian buku.9

Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang

menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu

berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki,

jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.10

C. Profesi dan Prestasi

       7

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

8

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.2 

9

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

10

(49)

Profesi :

Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942).

Penasehat Balai Pustaka (1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970),

Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu (1974-1992).

Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran Indonesia(1969-1972).

Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse (editor), Perlenim Reisfeld (1972).

Redaksi penyusun Almanak sastra Indonesia I Daftar Pustaka (1972).

Penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1973-1982).11

Prestasi :

Tokoh Pembukuan Nasional(2 Mei 1996)

Penghargaan dari pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia (17

Oktober 2000)12

D. Karya Tulis

Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),

Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954),

Heboh Sastra 1968 (1970),

Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),

Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983),

Surat-Surat 1943-1983 (1984),

Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993),

       11

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.2 

12

(50)

       

Koran dan Sastra Indonesia (1994),

Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),

Omong-Omong HB. Jassin (1997)13

  13

(51)

BAB IV

ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA; Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim

A. Ayat-ayat tentang non-muslim

Ayat tentang non-muslim tentunya sangat menarik untuk di kupas. Sebab dalam ayat tersebut

telah terjadi pro-kontra terhadap penafsirannya. Telah di singgung di awal bahwa sudah terjadi

perdebatan antara ulama klasik dan modern terhadap penafsiran tentang ayat non-muslim antara

boleh dan tidak membolehkan seorang non-muslim menjadi pemimpin.

Sebut saja Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan

Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi non-muslim dalam

konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’ashshub wa

At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja

sama, dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup

berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, dilihat dari sudut pandang

politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak

kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa

kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-muslim memiliki hak

yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam seperti keadilan dan

persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. Dalam surat

Al-Maidah ayat 57 disebutkan:

(52)

“ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang

menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima

kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh

beriman.”1

Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang

kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. Dalam hal ini, tentu

saja maksudnya adalah pemimpin publik.2 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa

Al-Maraghy. Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim

untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan

publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim.

Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani

sebagai sahabat dan pelindung. Mereka saling melindungi yang satu terhadap yang lain. Dan

      

1

H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 

2

(53)

barang siapa diantara kamu berpaling kepada mereka, ia pun termasuk golongan mereka.

Sungguh, allah tiada memberi bimbingan kepada kaum yang zolim. "3

Dalil penguat terhadap tidak dibolehkannya non-muslim menjadi seorang pemimpin

adalah Surat Ali-Imran ayat 28-30:

“(28) Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan

meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari

pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari

mereka. Dan Allah memperingati kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah

kembali (mu).”4

      

3

H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h. 151 

4

(54)

29) Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu, atau kamu

melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa yang ada di langit dan

apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.5

(30) “Pada hari ketika tiap-tiap dir mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu juga kejahatan

yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan allah

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan allah sangat penyayang kepada hamba-hambanya.6

Sedangkan beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais

sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan

seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi

menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak

memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya

hanya menujnjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi Barat

yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam

memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan

anggota dari mayoritas.

Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan mantan Presiden RI ke-4 KH.

Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak-penuh,

      

5

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 

6

(55)

termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al

Maidah ayat 57, dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala

negara.7

Resistensi negara-negara muslim terhadap presiden non-muslim sangat mungkin

dipengaruhi oleh pemahaman ideologi klasik Islam dalam bidan

Gambar

gambaran situasi yang menghasilkan perolehan padanan situasi. 18

Referensi

Dokumen terkait

9 Ibid., hlm.. beberapa asumsi terkait dengan kemampuan kognitif mitra tutur dan sumber-sumber konteks yang mesti tecermin dalam caranya berkomunikasi, dan secara

Creativity Melalui Grup Telegram/Whatsapp Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal- hal yang telah dipelajari terkait Menjelaskan isi teks yang didengar yang

Pokok-pokok pikiran yang mendasari penyelenggaraan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) XXIV Tingkat Provinsi Papua Tahun 2017, serta informasi lainnya terkait dengan pelayanan,

Creativity Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari terkait Menjelaskan isi teks yang didengar yang berkaitan: Hukum Bacaan Mad 'IwaḌ, Mad

Creativity Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari terkait Menjelaskan isi teks yang didengar yang berkaitan: Hukum Bacaan mad wajib

Creativity Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari terkait Menjelaskan isi teks yang didengar yang berkaitan: Kemajuan

Kontribusi yang didapat oleh peneliti dengan membandingkan skripsi ini dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah skripsi tersebut menjadikan penelitian ini sebagai penemuan baru

Kontribusi yang didapat oleh peneliti dengan membandingkan skripsi ini dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah skripsi tersebut menjadikan penelitian ini sebagai penemuan baru