• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh persepsi tentang lingkungan kerja fisik tipe kepribadian terhadap agresivitas polisi lalulintas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh persepsi tentang lingkungan kerja fisik tipe kepribadian terhadap agresivitas polisi lalulintas"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

SYARI F H I DAYAT U LLAH JAK ARTA U nive rsit a s I sla m N e ge ri

Oleh:

NURMALIA

NIM: 106070002281

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 07 September 2010 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP.19561223 198303 2 001

Anggota :

Penguji I Penguji II

Gazi Salom, M.Si Ikhwan Luthfi, M.Psi NIP. 19711214 200701 1014 NIP. 19730710 200501 1006

Pembimbing I Pembimbing II

Ikhwan Luthfi, M.Psi Miftahuddin, M.Si

(3)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: NURMALIA NIM: 106070002281

Di bawah bimbingan,

Pembimbing 1 Pembimbing II

Ikhwan Luthfi, M.Psi Miftahuddin, M.Si

NIP: 197307102005011006 NIP: 197303172006041001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nurmalia

NIM : 106070002281

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu lintas” adalah benar karya saya sendiri dan tidak melakukan plagiat. Adapun kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 03 September 2010

(5)

C.Nurmalia

D.Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu Lintas

E. Hal : 102 + lampiran

F. Dalam melaksanakan tugasnya, terkadang polisi lalu-lintas (Polantas) tidak terlepas dari perilaku agresif. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku agresif diantaranya adalah lingkungan kerja fisik yang buruk. Karena bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas, maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap harinya, seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya.

Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan tipe B. Kepribadian tipe A yang ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah tersinggung atau marah, serta agresif. Kepribadian tipe A dianggap memiliki kesamaan dengan ciri para anggota Polantas yang agresif dalam melaksanakan tugas di lapangan dibandingkan dengan kepribadian tipe B yang menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang, ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif.

(6)

lingkungan kerja fisik, skala model likert untuk skala agresivitas, dan skala dikotomi untuk skala tipe kepribadian. Teknik pengolahan dan analisis dilakukan dengan analisis statistik multiple regression atau analisis regresi berganda.

Jumlah item valid untuk skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik adalah 33 item dengan reliabilitas sebesar 0.932, untuk skala tipe kepribadian jumlah item yang valid adalah 27 item dengan reliabilitas sebesar 0.827, sedangkan untuk skala agresivitas jumlah item yang valid 39 item dengan reliabilitas sebesar 0.884. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik multiple regression maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Hal ini berarti variabel persepsi tentang

lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 26.1% terhadap agresivitas Polantas. Adapun tipe

kepribadian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas, yakni memiliki kontribusi sebesar 23.4% dalam mempengaruhi

agresivitas atau lebih besar dibandingkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambahkan faktor-faktor lain seperti frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri. Karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas individu yang kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar.

(7)
(8)

Jangan katakan pada Allah kamu memiliki masalah besar, tapi

katakan pada masalah, bahwa kamu memiliki Allah Maha Besar.

Jalani hidup ini dengan keyakinan karena Allah bersama kita

selalu.

(Mala)

(9)

Ku persembahkan skripsi ini untuk Ayahanda dan Ibunda

Untuk Kakak, Adik

Serta untuk orang-orang yang kucintai

(10)

skripsi. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Jahja Umar, P.hD selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi fakultas Psikologi atas segala bimbingan dan fasilitas yang diberikan.

2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing penulisan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan, petunjuk, nasihat, dukungan, serta waktu luang yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dari awal hingga akhir.

3. Keluarga besar Bapak Manhal, terutama Ayahanda yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat merasakan pendidikan di Perguruan Tinggi. Kakak-kakakku tercinta: bang Anang, bang Mbad, dan ka Dian, terima kasih atas semangat dan dorongannya, Aldy, dan Fitri terima kasih atas tawa dan canda kalian yang mempu menghilangkan penat di kepala.

4. Mas Fikri terima kasih telah meluangkan waktunya untuk penulis dan juga terima kasih atas motivasinya.

5. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2006, khususnya kelas C terima kasih atas kebersamaan yang kita lalui bersama, kini saatnya kita memasuki babak baru yang lebih menantang, SEMANGAT!!!!!

6. Sahabat-sahabatku Nofika Sari, Nur Malasari, dan Marissa yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian dan motivasi serta bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Anggota Sat. Patwal Polda Metro Jaya terima kasih telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(11)
(12)

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring penulis hanturkan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan kepada kita semua sebagai umatnya.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit hambatan, rintangan, dan tantangan yang penulis temui, tetapi dibalik itu, kesuksesan dalam menyusun skripsi ini tidak lepas dari peranan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga semua hambatan, rintangan dan tantangan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu dalam pengantar ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, P.hD dan pembimbing

akademik, Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si yang telah membimbing penulis selama kuliah.

2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi selaku pembimbing 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing II dalam pembuatan skripsi ini yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan-arahan dan masukan-masukan kepada penulis.

3. Ayahanda dan ibunda yang telah banyak membantu dan memberi motivasi baik berupa moril maupun materil, pengorbanan, perhatian serta doa untuk penulis, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Skripsi ini.

4. Ibu Padmi selaku kepala urusan operasional Sat. Patwal dan Bapak Edy selaku staf TAUD Subbag Renmin Ditlantas yang dengan ikhlas dan sabar membantu penulis dalam memperoleh data penelitian.

5. Sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2006, semoga kesuksesan selalu menyertai kita.

6. Semua orang yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat kepada mereka. Penulis berdoa kepada Allah SWT semoga kebaikan mereka semua diterima di sisi-Nya sebagai amal shaleh dan mendapat balasan kebaikan yang berlipat ganda, amin.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun bagi mahasiswa lain, khususnya mahasiswa Psikologi yang membahas tentang materi yang penulis teliti.

Jakarta, 03 September 2010

(13)

Motto ……… iv

Persembahan ……… v

Abstraksi ……….. vi

Kata Pengantar……….. viii

Ucapan Terima Kasih………... ix

Pernyataan Bukan Plagiat ……… x

Daftar Isi………... xi

Daftar Tabel……….. xiv

Daftar Gambar……….. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ……… 1- 15 1.1. Latar Belakang Penelitian ……….. 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 11

1.2.1. Pembatasan Masalah ……… 11

1.2.2. Perumusan Masalah ………. 12

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ………... 12

1.3.2. Manfaat Penelitian ………... 13

1.4. Sistematika Penulisan ……… 15

BAB 11 KAJIAN TEORI ……… 16-63 2.1. Agresivitas ………. 16

2.1.1. Pengertian Agresivitas ………. 16

2.1.2. Teori-teori Agresi ……… 17

2.1.3. Bentuk-bentuk Agresivitas ……….. 26

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas .. 30

2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik……….. 34

2.2.1. Pengertian Persepsi ………. 34

2.2.2. Perubahan Persepsi ………. 35

(14)

2.2.5. Jenis-Jenis Lingkungan Kerja Fisik …………. 38

2.3. Kepribadian ……….... 49

2.3.1. Pengertian Kepribadian ……….... 49

2.3.2. Pola Perilaku Kerpribadian Tipe A & Tipe B .. 50

2.4. Polisi Lalu Lintas ……….. 54

2.4.1. Pengertian Polisi Lalu-lintas (Polantas) …….. 54

2.4.2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas …………55

2.5. Kerangka Berpikir ……….…...57

2.6. Hipotesis ………..……. .63

BAB 111 METODE PENELITIAN ………..……… 64- 80 3.1. Pendekatan Penelitian ……… 64

3.2.Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel...64

3.2.1. Populasi Penelitian ………...64

3.2.2. Sampel Penelitian ………...64

3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ………...65

3.3. Variabel Penelitian ………..………...66

3.3.1. Identifikasi Variabel Penelitian ………...66

3.3.2 . Definisi Operasional Variabel Penelitian…...66

3.4. Pengumpulan Data………...68

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data ………..68

3.4.2. Instrumen Penelitian ………....69

3.5. Uji Instrumen Penelitian ……….73

3.5.1. Uji Validitas ………....73

3.5.2. Uji Reliabilitas ………73

3.6. Hasil Uji Instrumen Penelitian ………...74

(15)

BAB IV HASIL PENELITIAN ………. 81-93

4.1. Gambaran Umum Responden ………. 81

4.1.1. Responden Berdasarkan Usia ……… 81

4.1.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan …. 82 4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 83

4.1.4. Responden Berdasarkan Jabatan/Pangkat ……. 84

4.1.5. Responden Berdasarkan Masa Kerja ……….... 85

4.2. Analisis Deskriptif ……….. 86

4.2.1. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ……. 86

4.2.2. Tipe Kepribadian ……….. 87

4.2.3. Agresivitas ……… 88

4.3. Hasil Uji Hipotesis ……….. 89

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ………. 94-102 5.1. Kesimpulan ……… 94

5.2. Diskusi ………... 95

5.3. Saran ……….. 101

5.3.1. Saran Teoritis ……….. 101

5.3.2. Saran Praktis ………... 101 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(16)
(17)

Lingkungan Kerja Fisik ………. 70

Tabel 3.2. Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ………. 71

Tabel 3.3. Blue Print Try Out Skala Tipe Kepribadian ………. 71

Tabel 3.4. Blue Print Try Out Skala Agresivitas ……….. 72

Tabel 3.5. Penilaian Skala Agresivitas ……….. 73

Tabel 3.6. Kaidah Reliabilitas Guilford ……….... 74

Tabel 3.7. Blue Print RevisiSkala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ……… 75

Tabel 3.8. Blue Print Revisi Skala Tipe Kepribadian ………... 76

Tabel 3.9. Blue Print Revisi Skala Agresivitas ………...….. 77

Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Usia ……….. 82

Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan ……… 82

Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ………. 83

Tabel 4.4.Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat ……… 84

Tabel 4.5. Responden Berdarkan Masa Kerja ………... 85

Tabel 4.7. Kategorisasi Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ……… 87

Tabel 4.8. Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian ………. 88

Tabel 4.9. Kategorisasi Agresivitas ……….. 89

Tabel 4.10. Nilai R Square (Koefisien Determinasi) ... 90

Tabel 4.11. Nilai Uji F (tabel lampiran Anova regresi linear ganda) ……… 91

(18)
(19)

xv i

(Anderson & Bushman, 2002) ……….. 21

Gambar 2.2.Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Penelitian

Sejarah panjang kekerasan (tindakan agresi) aparat kepolisian nampaknya

tidak kunjung usai. Seringkali atas alasan menjaga keamanan dan ketertiban,

Kepolisian menggunakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap masyarakat sipil

baik dalam penanganan kasus kejahatan maupun kasus non-kejahatan (seperti;

demo, sengketa tanah, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain). Polisi sering

berlindung di balik Undang-Undang demi melegalkan tindakan semena-mena dan

kekerasan, yang pada kenyataannya sebagian besar tindakan tersebut terkesan

berlebihan dan dipaksakan. Misalnya, seperti tragedi yang terjadi di kampus

UNAS (Universitas Nasional), dapat dilihat bagaimana polisi menggunakan

pendekatan represif dalam menghadapi dan menangani aksi demonstrasi

mahasiswa yang menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM.

Penggunaan pola pendekatan ini berakhir dengan penyerbuan aparat kepolisian ke

dalam kampus, terjadinya kekerasan terhadap mahasiswa, serta pengrusakan

sejumlah properti milik kampus (Al Araf, 2008).

Begitu pula dengan polisi lalu lintas (Polantas) sebagai bagian dari Polri

juga tidak terlepas dari perilaku kekerasan (tindakan agresi). Misalnya, seperti

seringkali polisi menggunakan kata-kata kasar untuk memberitahukan

(21)

mereka terbawa emosi bila pelanggar mencoba membela diri. Semua itu adalah

kepingan peristiwa yang memperkukuh bahwa praktik brutalitas polisi itu terus

berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa masih kuatnya budaya militeristik di dalam

institusi kepolisian (http://citizennews.suaramerdeka.com).

Menurut Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),

selama tahun 2007 sampai 2008, mencatat ada 180 kasus kekerasan yang

dilakukan oleh aparat Kepolisian. Jumlah ini lebih besar daripada tindakan agresi

(kekerasan) oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang hanya 18 kasus.

Faktanya, tindakan agresi (kekerasan) tidak saja dilakukan antara aparat polisi

dengan warga masyarakat yang harusnya dilindungi, namun juga antara aparat

polisi dengan aparat keamanan lainnya (TNI) (Yuntho, 2008).

Akibat tindakan agresi (kekerasan), tugas utama polisi yang seharusnya

melindungi dan mengayomi masyarakat, namun dalam kenyataannya justru

sebaliknya membuat masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika

bersentuhan langsung dengan aparat kepolisian. Tentunya bukan secara

institusional kepolisian yangbersalah, tetapi keberadaanpersonil yang melakukan

tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencermarkan nama baik

institusi.

Dari fenomena di atas, nampaknya perjalanan satu dasawarsa reformasi

belum cukup mendorong perubahan dan perbaikan kinerja Polri ke arah yang

lebih baik. Keluarnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai bagian dari

(22)

aparat polisi dapat bekerja dengan baik sesuai fungsi dan tugas yang dinyatakan di

dalam UU tersebut. Serta prinsip-prinsip yang seharusnya dijadikan sebagai

landasan kerja Kepolisian, seperti asas profesionalitas, Hak Asasi Manusia

(HAM), dan pendekatan kerja yang lebih humanis, dalam kenyataannya masih

terus diabaikan oleh aparatnya (Mabruri, 2008).

Karena itu, menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap

(Protap) namun masih terjadi tindakan agresi polisi. Hal ini menjadi pertanyaan

apakah Protap yang salah, ataukah ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi

agresivitas polisi?

Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya perilaku kekerasan

(tindakan agresi) yang dilakukan oleh oknum polisi, antara lain: 1) faktor frustasi

(Baron & Byrne, 2005), 2) provokasi (Baron & Byrne, 2005), 3) efek senjata

(Krahe, 2005), 4) kekerasan di media (Baron & Byrne, 2005), 5) alkohol &

obat-obatan (Baron & Byrne, 2005), 6) temperatur (Baron & Byrne, 2005) , 7)

kesesakan (Krahe, 2005), 8) polusi udara (Berkowitz, 1995), 9) kebisingan

(Krahe, 2005), 10) kepribadian (Baron & Byrne, 2005) , 11) hormon (Sarwono,

2002),12) gender (Baron & Byrne, 2005), dan 13) harga diri (Sarwono, 2002).

Dalam penelitian ini, aspek lingkungan kerja fisik dan pengaruh

kepribadian yang menjadi fokus penelitian. Aspek lingkungan kerja fisik penting

untuk melihat kinerja Kepolisian. Karena mengingat, selain tingkat ancaman dari

lingkungan kerja fisik dan resiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24

(23)

2008). Selain itu, hasil studi ilmiah juga membuktikan bahwa kelemahan polisi di

dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat justru disebabkan

karena keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung tugas-tugas Kepolisian

(Tongat, 1997). Memang fenomena yang terjadi di lapangan atau di jalan raya

tidak mencerminkan kenyamanan kerja yang optimal, dikarenakan lingkungan

kerja fisik sangat jauh dari kriteria kenyamanan tersebut, seperti suhu yang terlalu

panas, polusi, dan kebisingan. Dari lingkungan kerja fisik yang ada, menurut

peneliti hanyalah memenuhi batas minimal dimana seseorang hanya bisa bekerja

dengan tanpa kenyamanan yang diinginkan.

Bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas,

maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas

berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap

harinya. Seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila

seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka

kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan.

Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung

pada bagaimana cara individu mempersepsikannya.

Oleh karena itu, mengenai nyaman dan ketidaknyamanan karyawan

terhadap lingkungan kerja fisiknya merupakan keadaan yang sifatnya subjektif

yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan

mengenai apa yang secara nyata diterima oleh karyawan dari lingkungan kerja

fisiknya dengan apa yang diharapkan, diinginkan, dan dipikirkanya sebagai hal

(24)

Kartono (2002) menyatakan bahwa unsur perasaan memang memiliki

peranan yang besar sekali dalam menentukan sikap. Misalnya, keluhan para

karyawan dalam menanggapi kondisi kerjanya seringkali bukan disebabkan

kondisi fisik yang benar-benar buruk dalam perusahaan, tetapi lebih disebabkan

oleh perasaan mereka yang beranggapan bahwa kondisi tersebut tidak seharusnya

demikian jeleknya, tetapi seharusnya bisa lebih baik, atau kondisi yang buruk

tersebut semestinya bisa dihindari. Karena itu, biasanya selain memperhatikan

kondisi fisik dan materil yang baik dalam perusahaan, psikologi perusahaan lebih

menekankan pada masalah-masalah psikologis, misalnya opini, prasangka,

motivasi kerja, emosi, sikap, termasuk persepsi karyawan.

Hal senada juga dinyatakan oleh Lazarus (dalam Bell, Greene, Fisher dan

Baum, 1978) bahwasanya suatu peristiwa dapat dinilai sebagai ancaman atau

tantangan oleh individu tergantung dari persepsi individu. Reaksi terhadap stres

sangat tergantung bagaimana individu menafsirkan atau menilai, baik secara sadar

atau tidak, arti dari peristiwa yang dialaminya. Hal ini berarti tekanan atau

gangguan dari lingkungan, tidak selalu mengakibatkan stres pada setiap individu.

Namun, tergantung pada bagaimana individu menilainya. Oleh karena itu, besar

kemungkinan bahwa tindak kekerasan Polantas terkait erat dengan persepsi

terhadap lingkungan kerja fisiknya yang penuh dengan stres.

Salah satu penelitian mengenai persepsi terhadap lingkungan kerja fisik

dilakukan oleh Syafrika dan Suyasa (2004), melalui studi korelasi mengenai

persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dengan dorongan berperilaku agresif pada

(25)

disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara kebisingan dan polusi

dengan dorongan berperilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

individu mempersepsikan kebisingan dan polusi sebagai sesuatu yang sangat

terasa dan tidak nyaman, maka akan semakin tinggi dorongan berperilaku agresif

individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan kebisingan dan

polusi sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka semakin rendah

dorongan berperilaku agresif individu tersebut.

Dengan demikian, lingkungan kerja yang baik, aman, bersih, dan sehat

akan membuat individu merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan

tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu, kondisi kerja yang memadai akan

menjadi pendorong serta penunjang kegairahan dan efisiensi kerja, sedangkan

kondisi kerja yang melebihi toleransi kemampuan manusia untuk menghadapinya

akan menjadi sebab malapetaka bagi faktor manusianya. Namun, seberapa jauh

akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara

individu mempersepsikannya.

Selain faktor persepsi tentang lingkungan kerja fisik, faktor manusia yang

dianggap turut berperan dalam perilaku agresif adalah faktor kepribadian, karena

kepribadian merupakan salah satu variabel person (variabel masukan) yang dapat

menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Selain itu, kepribadian ini juga dapat

mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori

yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arousal yang dapat

mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Variabel person (kepribadian) dapat

(26)

dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan

pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Carnagey &

Anderson, 2004). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya

akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi,

sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses

dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah

laku di masa yang akan datang.

Dalam teorinya Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004),

menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus

agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam

struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang

memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang

agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki

sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu

dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang

dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak

menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat

menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi

dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya

adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum

pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi

(27)

Steven & Mary (2005) mengatakan bahwa kepribadian bersifat stabil

sepanjang waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu.

Karena bersifat stabil dan konsisten itulah, individu yang memiliki sifat agresif

akan cenderung berperilaku agresif pada setiap situasi. Selain itu, karena sifatnya

yang permanen, maka dapat mempengaruhi keadaan temporer seseorang dalam

hal ini adalah keadaan psikologis individu yang pada akhirnya turut berperan

terhadap kemungkinan terjadi atau tidaknya perilaku agresif.

Hal senada juga diungkapkan oleh Houston & Vavak (dalam Sarafino,

1994) yang menyatakan bahwa kepribadian pelaku agresi merupakan kondisi yang

stabil. Sehingga ketika individu menampilkan perilaku agresif pada suatu situasi,

individu tersebut akan menampilkan perilaku agresif di situasi yang lain. Dari

penelitian longitudional yang dilakukan menunjukkan bahwa remaja yang terlibat

dalam perilaku agresif cenderung terlibat dalam perilaku antisosial pada saat

dewasa (Sarafino, 1994). Karena itu, kepribadian dapat digunakan untuk

menggambarkan, menjelaskan, dan dapat digunakan sebagai prediksi efektivitas

perilaku yang akan datang yang dapat membedakan antara individu yang satu

dengan yang lain (Larsen & Buss, 2005).

Dengan demikian, faktor psikologis tersebut dinilai esensial lebih

mendasar untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan

estimasi efektivitas sikap dan perilaku Polantas saat sekarang dan yang akan

datang. Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema

permasalahan agresivitas Polantas di jalan raya yang dikaitkan dengan faktor

(28)

keterbatasan yang ada mencoba mengungkap hubungan antara kepribadian

dengan perilaku agresif.

Menurut teori kepribadian, kepribadian seseorang mempengaruhi cara

individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan

orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005).

Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam

sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan

pikirannya (Allport, 1960). Dalam teori-teori kepribadian, beberapa tokoh seperti

Morgan (1986) dan Mischel (2004) menyimpulkan bahwa kepribadian itu terdiri

dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait adalah konsistensi

respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah

pengelompokkan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe

memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait. Contoh

dari tipe kepribadian antara lain introvert atau ekstrovert, tipe A atau B, dan

lain-lain.

Dalam perkembangan penelitian perilaku agresif, hasil penelitian Glass

(dalam Baron & Byrne, 2005) menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan

penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang

untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang

memiliki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi

daripada individu dengan kepribadian tipe B. Kepribadian tipe A digambarkan

sebagai individu yang memiliki sifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah

(29)

individu yang ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak

mudah kehilangan kendali. Kepribadian tipe A inilah yang kemudian akan

menjadi fokus peneliti untuk diteliti, disebabkan karena belum banyak peneliti

yang mengkaji pengaruh kepribadian tipe A dengan perilaku agresif.

Penelitian terhadap agresivitas pernah dilakukan oleh Agung (2008)

melalui penelitian kualitatif mengenai agresi pada anggota TNI-AD yang berdinas

di Jakarta. Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling

dominan yang mempengaruhi anggota prajurit TNI-AD melakukan tindakan

agresi adalah provokasi, harga diri, kepribadian, dan proses belajar.

Dengan demikian, dari penjelasan di atas maka penulis ingin mencari tahu

seberapa besar pengaruh faktor kepribadian terhadap munculnya perilaku agresif

pada Polantas. Sehingga penulis memasukkan kepribadian sebagai variabel bebas

untuk menunjang variabel bebas lainnya yaitu persepsi tentang lingkungan kerja

fisik, sehingga dari keduanya dapat dilihat seberapa besar dan signifikankah

pengaruh keduanya terhadap variabel terikat yakni agresivitas Polantas.

Dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam apakah persepsi

tentang lingkungan kerja fisik dan kepribadian tipe A mempengaruhi agresivitas

Polantas. Selain itu, penulis juga tertarik untuk mengetahui lebih mendalam

mengenai perilaku agresif Polisi lalu-lintas, dan tingkat intensitas perilaku agresif

yang dilakukan. Penelitian ini akan dilakukan di kota Jakarta, karena penegakkan

hukum yang dilaksanakan oleh satuan lalu-lintas tidak terlepas dari fenomena

(30)

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan:

a) Persepsi tentang lingkungan kerja fisik yaitu hasil interpretasi atau pandangan

subjek mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi performansi kerja subjek. Dalam penelitian ini, peneliti hanya

membatasi pada suhu, kebisingan, vibrasi atau getaran, polusi dan hygiene atau

kebersihan.

b) Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan

tipe B. Kepribadian tipe A ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan

perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi

terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah

tersinggung atau marah, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B

menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang,

ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif.

c) Agresivitas yaitu segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti

seseorang baik secara fisik maupun mental dengan atau maksud tertentu

(Berkowitz, 1995). Dalam penelitian ini, adapun yang dimaksud perilaku

agresif yang dilakukan oleh Polantas yaitu perilaku agresif yang ditujukan

kepada pengguna jalan raya. Oleh karena itu, peneliti hanya membatasi pada

bentuk agresi fisik, dan agresi verbal yang dilakukan secara langsung. Agresi

(31)

obyek sasaran secara langsung (memukul, menendang). Agresi verbal langsung

dapat berupa memaki, mengancam, yang dilakukan secara langsung.

a) Polantas yaitu badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan

keselamatan lalu lintas.

1.2.2.Perumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara Persepsi tentang Lingkungan

Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas

Polisi lalu-lintas?

2. Seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang Lingkungan Kerja

Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi lalu-lintas?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara Persepsi tentang Lingkungan

Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas

Polisi Lalu-lintas.

2. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang

Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi

(32)

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat teoritis:

Dapat memberikan data empiris yang telah teruji secara ilmiah, sehingga

dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi sosial.

Serta dapat memberikan informasi dalam usaha meningkatkan SDM guna

memperbaiki kinerja Kepolisian Indonesia ke depan.

1.3.2.2. Manfaat praktis:

Diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat, institusi

kepolisian, dan anggota kepolisian lalu lintas khususnya, mengenai gambaran

agresi pada subjek anggota Polantas. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan subjek cenderung melakukan agresi. Sehingga kepada masyarakat

diharapkan untuk lebih berfikir positif terhadap anggota Polantas, dan menjalin

hubungan saling menghormati dan menghargai. Kemudian diharapkan para

anggota Polantas dapat mengontrol emosi dan amarahnya agar tidak ada lagi

kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polantas. Serta kepada institusi kepolisian

diharapkan dalam proses perekrutan dan seleksi calon anggota Polantas agar lebih

ketat dan selektif lagi, sehingga menghasilkan anggota-anggota yang terbaik

sesuai dengan yang diharapkan.

Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

menanggulangi permasalahan tindakan agresi pada Polantas, dengan cara

menambahkan sarana dan prasarana atau dengan memberikan pelayanan

(33)

mengenai pengendalian emosi serta pengendalian dan penilaian bahaya dari

lingkungan kerja fisik seperti kebisingan, temperatur, polusi udara, sehingga

mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik.

1.4. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari 5 bab, yang setiap babnya mempunyai sub-sub

tersendiri dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Merupakan kajian teori tentang agresivitas (pengertian agresivitas,

teori-teori agresi, bentuk-bentuk agresivitas, dan fakto-faktor yang

mempengaruhi agresivitas), persepsi tentang lingkungan kerja fisik

(pengertian persepsi, perubahan persepsi, pengertian lingkungan

kerja fisik, pengertian persepsi tentang lingkungan kerja fisik, dan

jenis-jenis lingkungan kerja fisik), kepribadian (pengertian

kepribadian, dan pola perilaku kerpribadian tipe A & tipe B),

kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.

BAB III Metode penelitian, mencakup: pendekatan penelitian, pengambilan

sampel (populasi, sampel, serta teknik pengambilan sampel),

variabel penelitian (identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel penelitian), pengumpulan data (teknik

(34)

validitas, dan uji reliabilitas), prosedur penelitian, dan teknik

analisa data.

BAB IV Hasil penelitian mencakup : gambaran umum subjek penelitian,

deskripsi data, dan hasil uji hipotesis.

(35)

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Agresivitas

2.1.1 Pengertian Agresivitas

Agresivitas atau agresi merupakan bagian dari keseharian manusia sebagai

individu yang normal. Hampir tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia

memilikinya bahkan bayi pun memiliki sifat agresi tersebut. Namun,

pertanyaannya di sini apakah agresi yang dimiliki setiap individu itu sama

besarnya dan sama intensitas pemunculannya.

Berkowitz (1995) mendefinisikan “perilaku agresif sebagai segala bentuk

perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun

mental dengan atau maksud tertentu”. Jadi tindakan agresi adalah tindakan yang

memiliki tujuan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Myers (2005) bahwa yang dimaksud

dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan

maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Suatu perilaku agresif harus

disertai dengan adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk menyakiti atau

merugikan orang lain, dan jika suatu perbuatan dilakukan karena desakan situasi,

tidak ada pilihan lain, atau tidak sengaja, maka perbuatan tersebut tidak dapat

(36)

Sementara Baron dan Byrne (2005) berpendapat “bahwa agresi adalah

tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan yang menyakiti makhluk hidup lain

yang ingin menghindari perlakuan semacam itu”.

Dari beberapa penjelasan di atas kiranya dapat disimpulkan mengenai

definisi agresi itu sendiri serta istilah-istilah lain yang penggunaannya sering kali

bias, sebagai berikut:

Agresi adalah perilaku yang dimunculkan seseorang untuk mencapai

tujuan tertentu yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis

sehingga tidak dapat diterima secara sosial (agresi sebagai aksi).

Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan internal atau perasaan

ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pelaku terhadap tujuan tersebut yang

kemudian dikeluarkan dalam bentuk agresi. Jadi agresivitas merupakan penyebab

dari tingkah laku agresif (agresi sebagai reaksi).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah diungkapkan di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perilaku seseorang untuk menyakiti,

melukai, merugikan, atau merusak obyek tujuannya baik secara fisik maupun

psikis yang disertai dengan niat, intensi, motif, atau kesengajaan.

2.1.2 Teori-teori Agresi

Untuk menjelaskan mengenai perilaku agresif, peneliti mengemukakan

(37)

1. Teori Bawaan

a. Teori Psikoanalisa (Teori Naluri)

Teori psikoanalisa dari Sigmund Freud yang menyatakan bahwa

dalam diri manusia mempunyai potensi bawah sadar berupa suatu dorongan

untuk merusak diri atau thanatos. Dorongan tersebut awalnya ditujukan untuk

merusak diri sendiri. Namun, dalam perkembangannya dorongan tersebut

ditujukan untuk orang lain.

Teori naluri lainnya adalah yang dikemukakan oleh Konrad Lorenz.

Ethologist merupakan ilmu yang mempelajari tentang naluri dan perilaku

hewan. Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh faktor

insting, dan perilaku agresi tersebut dilakukan dalam rangka adaptasi secara

evolusioner.

b. Teori Biologi

Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses

faal maupun teori genetika. Sebagaimana yang diungkapkan Moyer, bahwa

perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan

susunan syaraf pusat. Teori ini juga beranggapan bahwa perilaku agresi

disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron. Hormon testoteron dalam

hal ini bukan pemicu langsung dari perilkau agresi, sehingga untuk

menimbulkan perilaku agresi perlu adanya pemicu dari luar (Helmi &

(38)

dan kekerasan juga bisa disebabkan karena abnormalitas, misalnya kerusakan

jaringan otak atau abnormalitas kromosom supermale atau XYY.

c. Teori Sosio-biologi dari Wilson

Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi berkembang karena

adanya kompetisi sosial, yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Menurut teori

ini, perilaku agresi adalah sesuatu yang penting untuk adaptasi dalam

kehidupan (Krahe, 2005).

2. Teori Lingkungan

a. Teori Frustasi-Agresi Klasik

Teori yang dikemukakan oleh Dollard dan Miller ini menjelaskan

bahwa frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan

utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek terutama yang

dipersepsikan sebagai penyebab frustasi. Frustasi sendiri adalah hambatan

terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan

pelampiasan dari perasaan frustasi.

b. Teori Frustasi-Agresi Baru

Dalam perkembangannya, kemudian terjadi beberapa modifikasi

terhadap teori Frustasi-Agresi Klasik. Teori ini mensinyalir bahwa tidak setiap

perilaku agresif disebabkan frustasi, karena masih ada faktor lain yang memicu

perilaku agresif. Selain itu, teori ini menyatakan bahwa kekuatan dorongan

(39)

diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi

untuk mencapai tujuannya, akan meningkatlah kecenderungannya untuk

menyakiti orang lain, tergantung:

1. Tingkat kepuasan yang diharapkan,

2. Seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan,

3. Seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan.

3. Teori Belajar Sosial

Teori ini berpendapat bahwa perilaku agresif yang dilakukan oleh individu

diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atau observasi atas perilaku

yang ditampilkan oleh individu-individu yang menjadi model. Teori ini

beranggapan bahwa agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, semakin

sering mendapatkan penguatan akan semakin besar kemungkinan perilaku agresif

dapat terjadi.

4. Teori Kognisi

Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam

membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian,

dan pembuatan keputusan (Sarwono, 2002).

Banyak tokoh berusaha mendapatkan pemahaman tambahan mengenai

faktor-faktor yang memainkan peran dalam kemunculan perilaku agresi. Di

(40)

yang berusaha menjelaskan melalui salah satu pendekatan General Aggression

Model (GAM). GAM merupakan gabungan dari teori-teori agresi terdahulu. GAM

mendeskripsikan proses episodik dari agresi yang terdiri dari beberapa tahapan.

Berikut ini adalah bagan yang dapat menjelaskan tahapan tersebut :

Inputs

Cognition - - - Arousal

Thoughtful

Bagan 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002)

Dari bagan di atas dapat terlihat bahwa terdapat dua variabel input

(masukan) yang dapat menyebabkan terjadinya tingkahlaku agresif. Variabel

person (orang) adalah semua faktor yang dibawa oleh seseorang ke dalam situasi

tertentu (Carnagey & Anderson, 2004), seperti trait yang mendorong individu

untuk melakukan agresi, jenis kelamin, sikap dan belief tertentu terhadap

kekerasan, dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sedangkan variabel situasi

(41)

termasuk faktor-faktor di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi tindakan

seseorang, seperti aggressive cues, provokasi, frustasi, ataupun suhu udara tinggi

yang tidak nyaman. Variabel situasi ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang

berhubungan dengan agresi di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004).

Kedua macam variabel masukan tersebut dapat mempengaruhi hasil akhir

tingkah laku melalui present internal state (keadaan internal saat ini) yang mereka

ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah cognition, affect, dan arousal. Variabel

masukan dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih

mudah diakses di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004). Sifat

pengaksesan konsep agresi ini adalah sementara atau malah menetap. Ketika

sebuah konsep diakses secara terus menerus, waktu pengaktifannya akan

menurun. Hal ini berarti hanya akan dibutuhkan sedikit energi untuk

mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut

menjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu.

Variabel masukan juga dapat mempengaruhi kognisi dengan mengaktivasi

aggressive script (Huesmann, dalam Carnagey & Anderson, 2004). Script

didefinisikan sebagai struktur pengetahuan semantik dan episodik yang besar yang

terakumulasi di memori dan membimbing interpretasi dan pemahaman tentang

pengalaman sehari-hari (Aschraft, 1994). Script agresif akan membuat bias

interpretasi dari situasi dan respon yang mungkin dari situasi dengan cara-cara

yang dapat menimbulkan agresi (Carnagey & Anderson, 2004). Akses yang

(42)

siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di

masa yang akan datang.

Selain mempengaruhi kognisi, variabel masukan juga dapat

mempengaruhi affect seseorang, seperti aggression-related feelings (perasaan

yang berhubungan dengan agresi) tentang anger & hostility (Anderson & Dill,

dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Contohnya, pada orang yang

memiliki sifat sgresif yang tinggi, sedikit situasi yang tidak menyenangkan akan

mengakibatkan kemarahan pada orang tersebut. Keadaan internal yang ketiga

adalah arousal yang juga dipengaruhi oleh variabel orang dan situasi. Beberapa

orang cepat sekali mengalami arousal, dan beberapa faktor situasi dapat secara

sementara meningkatkan arousal.

Tidak hanya variabel masukan dapat mempengaruhi kognisi, afek, dan

arousal, tapi ketiga keadaan internal tersebut juga dapat mempengaruhi satu sama

lain dan merupakan aspek yang saling berhubungan (Anderson & Bushman,

dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Aktivasi pada satu aspek akan

cenderung dapat mempengaruhi kedua aspek lainnya. Cognition dan affect dapat

dilihat sebagai bagian dari memori yang dapat diaktifkan melalui proses

spreading activation, yang jika salah satu terakses, maka akan memudahkan

pengaksesan yang lainnya (Anderson & Bushman, dikutip dalam Carnagey &

Anderson, 2004). Misalnya hostile cognition dapat membuat hostile feeling lebih

(43)

Proses selanjutnya, individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan

kemudian akan memilih tingkah laku yang sesuai sebelum tingkah laku itu

muncul. Appraisal bisa dilakukan secara otomatis (automatic appraisal), yaitu

evaluasi pada lingkungan dan keadaan internal yang dilakukan secara cepat

dengan sedikit kesadaran (Anderson & Dill, dikutip dalam Carnagey & Anderson,

2004). Appraisal yang otomatis ini akan mengakibatkan tindakan yang impulsif.

Misalnya, ketika ditampar maka orang akan secara otomatis menilai lingkungan

tersebut mengancam dan dapat membuat marah. Appraisal juga bisa dilakukan

secara terkontrol (controlled appraisal) yang dilakukan lebih pelan dan lebih

membutuhkan sumber kognitif daripada automatic appraisal. Controlled

appraisal akan menghasilkan tindakan yang lebih dipikirkan. Kedua tindakan

impulsive dan yang dipikirkan bisa menjadi agresif atau tidak agresif.

Tingkah laku agresif atau tidak agresif yang dimunculkan oleh seseorang

kemudian diikuti oleh reaksi dari lingkungan, dimana biasanya berupa respon

orang lain dari tingkah laku tersebut (Carnagey & Anderson, 2004). Social

encounter dapat mengubah variabel masukan tergantung dari respon lingkungan.

Social encounter juga dapat memodifikasi variabel situasi, orang, atau keduanya,

yang kemudian dapat menghasilkan reinforcement ataupun inhibition dari tingkah

laku serupa di masa yang akan datang.

2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas

Berdasarkan sifatnya, Berkowitz (1995) membagi agresi ke dalam dua

(44)

1. Agresi Instrumental

Yaitu agresi yang terjadi pada saat seseorang merasa tersinggung dan ia

berusaha menyakiti orang lain.

2. Agresi Emosional

Yaitu perilaku agresif yang memiliki tujuan lain selain menyakiti

korban, antara lain dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan,

dominasi atau status sosial seorang individu. Menyakiti korban hanyalah

media untuk meraih tujuan-tujuan tersebut.

Sedangkan dari jenisnya, Berkowitz membagi agresi menjadi dua macam:

1) Agresi Langsung

Agresi langsung, yakni melibatkan aksi yang ditujukan secara langsung

kepada target yang memunculkan amarah (baik dalam bentuk agresi fisik

maupun verbal), bentuk agresi fisik langsung yaitu seperti; memukul, atau

menendang, sedangkan agresi verbal langsung, yaitu pernyataan verbal yang

dimaksudkan untuk menyakiti orang yang sedang dievaluasi, seperti; memaki

atau mengancam.

2) Agresi Tidak Langsung

Agresi tidak langsung, yakni melibatkan aksi tidak langsung yang

ditujukan kepada target yang memunculkan amarah, tanpa menyakiti target

(45)

Sementara Freedman & Peplau (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi

menjadi dua macam, yaitu:

1. Agresi Prososial

Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau

disetujui oleh norma sosial, seperti polisi memukul penjahat.

2. Agresi Antisosial

Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain di mana tindakan

itu secara normatif dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang

punya kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak

berdaya.

Senada dengan pendapat Berkowitz, Buss (1973) mengklasifikasikan

perilaku agresif secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau

verbal, secara aktif atau pasif, dan secara langsung atau tidak langsung. Tiga

klasifikasi tersebut masing-masing akan saling berinteraksi, sehingga

menghasilkan delapan bentuk perilaku agresif, yaitu :

1. Agresi fisik aktif langsung, seperti menusuk, menembak, memukul orang lain.

2. Agresi fisik aktif tidak langsung, seperti membuat jebakan untuk mencelakakan

orang lain.

3. Agresi fisik pasif langsung, seperti tidak mau memberikan jalan kepada orang

(46)

4. Agresi fisik pasif tidak langsung, seperti menolak untuk melakukan sesuatu,

menolak mengerjakan perintah orang lain.

5. Agresi verbal aktif langsung, seperti mencaci maki orang lain.

6. Agresi verbal aktif tidak langsung, seperti menyebarkan gossip tentang orang

lain.

7. Agresi verbal pasif langsung, seperti tidak setuju dengan pendapat orang lain,

tetapi tidak mau mengatakan, tidak mau menjawab pertanyaan orang lain.

8. Agresi verbal pasif tidak langsung, seperti menolak untuk berbicara dengan

orang lain.

Dari berbagai bentuk perilaku agresi yang telah diuraikan di atas, maka

secara garis besar bentuk perilaku agresif dapat diklasifikasikan ke dalam tiga

bagian, yaitu:

a. Berdasarkan Arahnya

Berdasarkan arahnya, agresi dibedakan atas agresi aktif dan agresi pasif.

Agresi aktif ditujukan pada pihak lain, seperti menyerang orang lain atau

merusak barang milik orang lain, sedangkan agresi pasif ditujukan pada diri

sendiri seperti melukai atau menyakiti diri sendiri.

b. Berdasarkan Caranya

Berdasarkan caranya, agresi dibedakan atas agresi langsung dan agresi

(47)

dengan jelas atau dapat diamati dan sebaliknya agresi secara tidak langsung

berarti perilaku agresif yang dilakukan secara diam-diam atau tidak tampak.

c. Beradasarkan Macamnya

Berdasarkan macamnya, agresi dibedakan atas agresi fisik, verbal, dan

non-verbal. Agresi fisik dapat dilakukan dengan atau tanpa alat terhadap fisik

lawan atau obyek sasaran. Agresi verbal dapat berupa gunjingan, menyebarkan

gosip, mencela, memaki, mengucapkan kata-kata kasar, dan lain-lain. Adapun

agresi non-verbal adalah bahasa tubuh, seperti mencibir dan merengut.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, untuk mengetahui gambaran

agresivitas, maka penulis mengelompokkan perilaku agresif ke dalam dua bentuk

yaitu : perilaku agresif verbal dan perilaku agresif fisik (non verbal) yang

dilakukan secara langsung. Bentuk-bentuk perilaku agresif tersebut akan dijadikan

dimensi dalam penyusunan skala agresivitas dalam penelitian ini, antara lain :

1. Perilaku agresif verbal

Yaitu segala bentuk perilaku yang dilakukan dengan menggunakan ucapan

atau perkataan yang ditujukan secara langsung kepada target yang

memunculkan amarah. Secara verbal dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk

seperti : berkata kasar, memaki, menghina, mengancam dengan perkataan, dan

(48)

2. Perilaku agresif fisik

Yaitu segala bentuk perilaku yang menggunakan aktivitas fisik yang

ditujukan secara langsung kepada target yang memunculkan amarah. Bentuk

perilaku tersebut antara lain : memukul, menendang, dan meninju.

Adapun dampak perilaku agresif menurut Sarwono (2002) antara lain;

a. Agresi yang dilakukan berturut-turut dalam jangka lama, dapat mempunyai

dampak pada perkembangan kepribadian.

b. Agresi dapat berlanjut dari generasi ke generasi. Ibu yang agresif cenderung

mempunyai anak yang agresif terhadap anaknya pula.

c. Mempunyai harga diri yang rendah.

d. Depresi, setiap orang dapat mengalami kemunduran, ketidakpuasan, dan putus

asa jika perilaku agresif menimpanya.

e. Cacat fisik, perilaku agresif dapat menimbulkan cacat fisik terhadap korban

agresi. Cacat fisik dari perilaku agresif ini dapat berlangsung seumur hidup dan

sulit untuk disembuhkan.

f. Cidera, selain cacat fisik, perilaku agresif juga dapat menimbulkan cidera.

Cidera yang dialaminya tidak sampai seumur hidup, hanya bagian-bagian

tubuh tertentu saja yang mengalami cidera dan dapat disembuhkan.

g. Kematian, perilaku agresif juga bisa mengakibatkan seseorang atau makhluk

(49)

yang sebelumnya mengalami penyiksaan-penyiksaan atau langsung dibunuh

oleh pelaku agresi dengan menggunakan alat atau tanpa menggunakan alat.

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Banyak sekali faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku agresif. Untuk

lebih memahami tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi

seseorang untuk melakukan perilaku agresif. Berikut di bawah ini akan dijelaskan

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas. Adapun beberapa

pandangan dari beberapa tokoh, antara lain:

1. Frustasi

Frustasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam

usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan

untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan tersebut (Baron & Byrne, 2005).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli mengenai

frustasi agresi menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang memiliki

pengaharapan yang tinggi terhadap sesuatu cenderung lebih agresif ketika

mengalami kegagalan dalam usahanya mendapatkan apa yang diharapkannya

(Myers, 2005).

2. Provokasi

Provokasi adalah perkataan atau tindakan yang dianggap menghina atau

mengancam keselamatan individu yang melakukan agresi. Provokasi dapat

(50)

ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya

yang diisyaratkan oleh ancaman itu (Baron & Byrne, 2005).

3. Efek senjata

Dalam penelitian Berkowitz dan LePage (dalam Krahe, 2005) yang

menguji tentang efek senjata terhadap kecenderungan perilaku agresif pada

individu menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang berhubungan dengan

senjata cenderung menjadi lebih agresif dari pada individu yang tidak

berhubungan dengan senjata.

4. Kekerasan di media

Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkan agresi pada anak-anak

atau orang dewasa. Anak-anak yang menonton film dan acara televisi yang

mengandung kekerasan, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau

dewasa. Dengan demikian, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV

makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka

menonton, makin kuat hubungannya tersebut (Baron & Byrne, 2005).

5. Alkohol dan obat-obatan

Percobaan-percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa alkohol

merangsang agresivitas. Gustafson (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan

orang yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi yang cukup untuk membuat

mereka mabuk, ditemukan bertindak lebih agresif, dan merespon provokasi

secara lebih kuat, daripada mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Dengan

demikian, alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf

(51)

6. Temperatur

Suhu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku

sosial berupa peningkatan agresivitas. Sebagaimana penelitian yang dihasilkan

oleh Anderson (dalam Baron & Byrne, 2005) Suhu udara tinggi cenderung

akan meningkatkan agresi. Hal senada juga dinyatakan oleh Grifft (dalam

Sarwono, 2002) bahwa udara yang sangat panas lebih cepat memicu

kemarahan dan agresi.

7. Kesesakan (crowding)

Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif

terutama bila sering timbul kejengkelan, dan frustasi/ afek negatif karenanya

(Krahe, 2005).

8. Polusi udara

Polusi udara, bau tidak enak, dan bahkan pemandangan menjijikan

ternyata meningkatkan hukuman yang diberikan, atau kekerasan yang

ditunjukan terhadap orang lain. Jelaslah, tekanan psikologis juga tidak

menyenangkan, dan hal itu pun bisa menyebabkan agresi (Berkowitz, 1995).

9. Kebisingan

Kebisingan dilaporkan dapat meningkatkan perilaku agresif. Dalam

kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung,

kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah

muncul pada si pelaku. Tetapi, tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang

memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan sering kali

(52)

dipersepsi sebagai dapat dikontrol, maka dampaknya terhadap perilaku agresif

akan berkurang secara substansial (Krahe, 2005).

10. Kepribadian

Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam bereaksi,

berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk

dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Menurut Glass

(dalam Baron & Byrne, 2005) bahwa orang-orang dengan kepribadian tipe A

(yang bersifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif)

cenderung lebih agresif daripada orang dengan kepribadian tipe B (ambisinya

tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan

kendali).

11. Penyebab hormon

Perilaku agresif juga bisa disebabkan oleh meningkatnya hormon

testosteron (Sarwono, 2002).

12. Gender

Peran gender atau jenis kelamin yang dikembangkan oleh Harris (dalam

Baron & Byrne, 2005) yang menyatakan pria secara umum cenderung lebih

banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita.

13. Harga diri

Baumerster, Smart & Boden (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa

harga diri yang tinggi justru memberi peluang lebih besar untuk agresif.

Penyebabnya antara lain adalah karena orang dengan harga diri tinggi merasa

(53)

yang menang, dan bahwa selaku orang yang nilainya lebih tinggi dari orang

lain, ia merasa berhak untuk agresif kepada orang lain.

2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik

2.2.1. Pengertian Persepsi

Robbins (2001) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses seseorang

dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar dapat memberi arti

terhadap lingkungan sekitarnya.

Sedangkan Rakhmat (2000) menyatakan bahwa persepsi adalah

pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi berhubungan

dengan pemberian makna pada stimuli inderawi. Di dalam prosesnya, pemberian

makna terhadap informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga

atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.

Persepsi merujuk kepada cara kita menyadari benda-benda, manusia, dan

peristiwa-peristiwa. Penilaian meliputi semua cara kita menarik kesimpulan

mengenai apa yang telah diamati. Ada dua cara mempersepsi yang amat berlainan

yakni mengamati melalui indera (sensing) dan mengamati melalui perasaan

(intuiting) dan ada dua cara penilaian yang amat berlainan_penilaian melalui

pikiran (thinking) dan penilaian melalui perasaan (feeling). Bila orang berbeda

secara sistematis dalam cara mereka mempersepsi, masuk akal untuk

mempercayai bahwa mereka akan menunjukkan tipe gaya pengoperasian yang

(54)

Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka

dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah hasil dari pengorganisasian dan

pengintegrasian terhadap stimulus-stimulus yang diterima oleh panca indera agar

dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitar.

2.2. 2. Perubahan Persepsi

Menurut Sarwono (1992) persepsi itu bukan sesuatu yang statis, melainkan

bisa berubah-ubah. Proses perubahan pertama disebabkan oleh proses faal

(fisiologik) dari sistem syaraf pada indera-indera manusia. Jika suatu stimulus

tidak mengalami perubahan, misalnya, maka akan terjadi adaptasi atau habituasi,

yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah. Habituasi

menunjukkan kecenderungan faali dari reseptor yang menjadi kurang peka setelah

banyak menerima stimulus. Misalnya, jika seseorang mendekati tempat dimana

banyak timbunan sampah, maka mula-mula ia akan mencium bau busuk sampah

yang sangat menusuk sehingga reaksinya adalah menutup hidungnya. Akan tetapi,

setelah beberapa saat bau itu seolah-olah tidak tercium lagi. Dipihak lain, adaptasi

adalah berkurangnya perhatian jika stimulus muncul berkali-kali. Kalau seseorang

mendengar ketokan palu di ruang sebelah, mula-mula ia akan terkejut dan merasa

bising (di luar batas persepsi optimal). Akan tetapi, kalau ketokan-ketokan itu

berlangsung terus berkali-kali untuk jangka waktu lama, orang itu seakan-akan

tidak memperhatikannya lagi sehingga suara ketokan itu tidak mengganggunya

lagi (masuk dalam batas persepsi optimal karena terjadinya peningkatan ambang

toleransi). Dapat ditambahkan di sini, bahwa stimulus yang muncul secara teratur

(55)

Proses perubahan kedua adalah proses psikologik. Proses perubahan

persepsi secara psikologik antara lain dijumpai dalam pembentukan dan

perubahan sikap. Pada umumnya sikap digambarkan sebagai kesiapan seseorang

untuk bereaksi secara tertentu terhadap suatu objek tertentu. Mc Guire

menyatakan sikap adalah respon manusia yang menempatkan objek yang

dipikirkan ( objects of thought) ke dalam suatu dimensi pertimbangan (dimention

of judgements).

Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang, hal, isu) yang

bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan adalah semua skala

positif-negatif seperti dari baik ke buruk, dari enak ke tidak enak dan seterusnya.

2.2.3. Pengertian Lingkungan Kerja Fisik

Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam bekerja. Salah satu

faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang adalah lingkungan kerja fisik.

Nitisemito (1988) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai segala sesuatu

yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam

menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya pewarnaan, kebersihan,

pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, dan kebisingan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Lianto & Kurniawan (dalan Syafrika &

Suyasa, 2004) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah semua faktor atau hal

(56)

Sedangkan menurut Munandar (2001), lingkungan kerja adalah keadaan

yang memberi kenyamanan atau ketidaknyamanan pada pekerja dalam

menyelesaikan pekerjaannya, seperti ruang kerja dengan peralatan tertentu serta

fasilitas yang digunakan.

Lingkungan kerja fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kinerja seorang karyawan. Seorang karyawan yang bekerja di lingkungan kerja

fisik yang mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan

kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang karyawan bekerja dalam lingkungan

kerja fisik yang tidak memadai dan mendukung dia untuk bekerja secara optimal

akan membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga

kinerja karyawan tersebut akan rendah (Schultz & Sydney, 2006).

Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di

sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang.

2.2.4. Pengertian Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik

Persepsi tentang lingkungan kerja fisik merupakan proses psikologi yang

kompleks yang berhubungan dengan proses penginderaan, pengorganisasian, dan

proses interpretasi serta penilaian terhadap kondisi material.

Definisi persepsi tentang lingkungan kerja yang lebih teoritis dan

operasional dibuat oleh Gibson (dalam Bell, et.al., 1978) yang menyatakan bahwa

(57)

dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi

dan memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan.

Karena itu, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya

sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin

tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin

individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak

terasa dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis.

Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi

terhadap lingkungan kerja fisik adalah hasil dari interpretasi atau pandangan

subjek mengenai segala sesuatu yang ada disekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi performansi kerja subjek.

2.2.5. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Fisik

Banyak hal-hal yang tercakup dalam lingkungan kerja fisik. Munandar

(2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik mencakup setiap hal yang ada di

sekitar tempat kerja dari fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi, dan

rancangan gedung, suhu sampai jumlah cahaya dan suara yang menimpa meja

kerja atau ruang kerja seseorang. Jenis-jenis lingkungan kerja fisik lainnya akan

dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

a. Suhu

Manusia menginderakan suhu di alam sekitarnya. Kondisi suhu di

(58)

(suhu lingkungan) (Sarwono, 1992). Kelembaban, arus udara, dengan jumlah,

ukuran, dan suhu dari obyek dan bahan yang ada di tempat kerja semuanya

mempengaruhi reaksi orang terhadap suhu udara. Perbedaan fisiologis

masing-masing orang dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap persepsi

kenyamanan. Karena begitu banyak variabel yang mempengaruhi persepsi

manusia mengenai suhu, maka salah satu bidang penelitian dalam aspek kondisi

kerja ini diarahkan untuk mendapatkan cara yang dapat diandalkan untuk

mengukur apa yang dinamakan suhu efektif. Suhu efektif adalah suhu yang

dirasakan (bukan suhu dari pembacaan termometer) (Jewell & Siegall, 1998).

Karena reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu tubuh

harus tetap sekitar 37° C. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25° C atau lebih tinggi

dari 55° C, orang akan mati. Karena itu dalam tubuh ada organ tertentu yang

bertugas mempertahankan suhu tubuh ini. Organ itu adalah hypothalamus. Kalau

suhu lingkungan meningkat, hypothalamus akan merangsang pembesaran

pori-pori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi

tubuh lain yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan. Kalau

upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi

hal-hal sebagai berikut;

1) Heat exhaustion: rasa lelah yang sangat kuat akibat panas disertai dengan rasa

mual, mau muntah, sakit kepala, dan gelisah.

2) Heat stroke: delirium (mengigau), koma (tidak sadar), dan akhirnya

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan
Tabel 3.1 Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
Tabel Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
Tabel 3.4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah daerah dalam bentuk pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Sesuai dengan tujuan investor yaitu mengharapkan tingkat keuntungan yang tinggi, investor perlu memperhatikan pengambilan keputusan investasi dan keputusan pendanaan

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (Library Research). Adapun sumber data penelitian ini bersumber dari buku-buku, jurnal, sumber Hukum

Pentingnya layanan BPJSTK Mobile untuk melakukan kegiatan operasional menjadikannya harus dalam kondisi yang optimal, namun kurangnya tata kelola dalam penerapan

Hubungan Kepuasan dengan..., Tresno Sunjaya, Fakultas Ilmu Kesehatan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rakhmat, Hidayah serta Innayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini

(2) Lembar Kontrol Tindak Lanjut Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat sesuai dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur

tempat tinggal, asalkan buku yang dibawa sesuai dengan tema yang telah ditentukan sekolah.. Saat ini, di beberapa desa di Kecamatan Wates, sudah ada perpustakaan