• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Kegiatan Tahun Remaja di HKBP Kedaton dari Perspektif Teori James Fowler T1 712011022 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Kegiatan Tahun Remaja di HKBP Kedaton dari Perspektif Teori James Fowler T1 712011022 BAB II"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. PERKEMBANGAN IMAN JAMES FOWLER

Teori perkembangan iman (Faith Development Theory) salah satu istilah kunci

adalah Faith yang berarti kepercayaan eksistensial pribadi atau iman. Menurut

Fowler, kepercayaan eksistensial merupakan suatu kegiatan universal manusia dan

setiap manusia memiliki kesadaran akan sejumlah kondisi pembatas dan situasi batas

dalam hidupnya seperti kesadaran akan kematian, konfrontasi eksistensial dengan

batas-batas dan perasaan akan keterbatasannya, pengalaman akan beban pilihan yang

harus dijatuhkan dalam situasi yang tidak menentu. Pada hakikatnya, Fowler

memandang kepercayaan eksistensial sebagai suatu kegiatan “relasional” sebagai

“berada dalam relasi dengan sesuatu”. Sebab cara pemberian arti dalam kepercayaan

itu utama berakar dalam suatu relasi rasa percaya antarpribadi yang bahkan

mengandung sebuah orientasi nilai bersama. Kepercayaan eksistensial bukan sekedar

kegiatan pemberian arti itu sendiri tetapi sebuah proses yang terwujud dalam urutan

sejumlah tahap perkembangan kepercayaan. 1

Dengan penekanan pada aspek “perkembangan” tersebut Fowler mengangkat

salah satu ciri yang sangat khas dalam mentalitas dinamika abad kedua puluh ini.

Istilah proses yang akhirnya berfokus pada metafor “perkembangan” sangat sesuai

pula untuk memahami hidup kepercayaan kita. Maka Fowler memusatkan perhatian

kepada dinamika proses pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup

kepercayaan orang. Karena itulah Fowler berniat menyelidiki apa yang dewasa ini

kita sebut “perkembangan kepercayaan”. Di samping kata faith dan development, judul psikologi agama Fowler mengandung istilah theory. Setiap ilmu pengetahuan

menciptakan teorinya yaitu seperangkat hipotesis yang saling berhubungan secara

koheren dan terintegrasi. Kata theory oleh Fowler dimaksudkan sebagai sebuah teori

ilmiah yang psikologis atau lebih khas lagi suatu “ teori perkembangan” yang cocok untuk memahami dan merumuskan seluruh seluk beluk perkembangan kepercayaan“.

Teori perkembangan kepercayaan merupakan suatu usaha ilmiah yang mau

menguraikan (secara empiris) dan mengerti (secara teoritis) seluruh proses

transformasi kepercayaan yang hidup. 2

2.1. Teori Perkembangan Iman

Fowler membagi perkembangan imannya dalam tujuh tahapan dan dapat

dikenali dalam kemampuan beriman manusia yang berkembang. Fowler menegaskan

1

James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 24-25

2

(2)

bahwa setiap tahap memiliki integritas miliknya sendiri. Tahap- tahap perkembangan

iman tersebut antara lain:

1. Tahap 0 : Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith)

Tahap ini merupakan tahap awal atau pratahap (per-stage, yaitu masa orok, bayi,

0-2 atau 3 tahun). Kepercayaan ini disebut juga pratahap kepercayaan yang belum

terdeferinisiasi karena :

a). Ciri disposisi preverbal si bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan

disadari sebagai hal terpisah dan berbeda dari dirinya;

b). Daya- daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cita belum

dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu

sama lain dalam suatu keadaan yang samar-samar. Pola kepercayaan ini disebut

elementer karena tahap ini mendasari dan meresapi secara positif dan negatif

dengan menunjang atau menodai segala hal yang timbul kemudian selama

perkembangan eksistensial. Rasa percaya elementer ini timbul sebagai

kecondongan spontan yang bersifat pralinguitis sebelum munculnya kemampuan

berbahasa untuk mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan

lingkungan sekitar terutama orang-orang yang secara tetap, teratur, setia

mengasuh dan memelihara (orang tua terutama ibunya).3

2. Tahap Iman Intuitif – Proyektif (Intuitive- Projective Faith)

Anak yang berumur antara usia 4-8 tahun dimana makna dibuat dan

kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Tahap ini memberi

tekanan besar pada orang –orang lain yang penting dalam hidup anak-anak terutama orang tua dan anggota keluarganya. Anak-anak juga berpedoman pada

orang tua sebagai sumber otoritas dalam masalah-masalah agama. Pada tahap ini,

anak – anak mengalami kesulitan dalam menentukan sebab dan akibat melepaskan kenyataan dari khayalan dan memahami berbagai urutan peristiwa.

Misalnya ketika berfantasi dan imajinasi yang bebas di mana gambaran-gambaran

dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama dibentuk. Sebagai contoh: Allah

adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat melakukan apa saja.

Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul dan kemampuan mengambil

peran orang lain mulai ada dalam bentuk yang paling dasar.4

3. Tahap Mitis- Harafiah (Mithic-Literal faith)

3

James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 27

4

(3)

Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua dan tahap ini terjadi

antara usia 7 – 12 tahun. Gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat pada tahap ini namun muncul pula operasi-operasi logis baru yang

melampaui tingkat perasaan dan imajinasi tahap sebelumnya. Operasi-operasi

tersebut bersifat konkret, tetapi sudah memungkinkan suatu daya pikir logis

menggunakan kategori sebab akibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab akibat itu

dimengerti secara jelas dan dunia spasial-temporal di susun menurut skema linear

serta sifat dapat diramalkan. Gaya berpikir baru ini memungkinkan suatu bentuk

tafsiran dan penyusunan yang sadar dan lebih mantap terhadap arus pengalaman

dan arti sehingga bentuk berpikir seperti episodis. Anak mulai membedakan

antara perspektif sendiri dengan orang lain serta memperluas pandangannya

dengan mengambil alih pandangan orang lain sehingga sanggup memeriksa dan

menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya

sendiri.5

Pada tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk

mengumpulkan berbagai arti menurut sifat keterkaitannya dan membentuk

pendapatnya. Cerita mendahului dan mempersiapkan suatu sintesis refleksi yang

baru kemudian akan dikembangkan. Cara menggunakan simbol dan

konsep-konsep dalam cerita sebagian besar masih konkret dan harafiah karena itu cerita

dan bahasa dengan gaya kisah menjadi sarana paling cocok untuk menangkap

makna hidup.6

Tahap ini merupakan tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan

lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau

komunitas iman. Maka tahap ini disebut juga iman “yang bergabung” seseorang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, mengambil ceritanya,

simbolnya, mitenya dan ajarannya dan memahami mereka secara harfiah.

Kata-kata dari orang tua lebih penting, berkuasa atas Kata-kata- Kata-kata dari teman sebayanya.

Kemampuan empatinya bertambah tetapi hanya bagi mereka “yang seperti kami”

yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.

4. Tahap Sintetis-Konvensional

5

Dacey,J.S & Travers, J.F, Human Development:Across The Lifespan, ( New York: The McGraw-Hill Companies, 2004), 68

6

(4)

Tahap ketiga ini dimulai ketika berumur 12 tahun -18 tahun. Di sekitar

umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam

caranya memberi arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru yaitu operasi

- operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang

lain menurut pola pengambilan perspektif antarpribadi secara timbal balik.

Karena munculnya operasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara

kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi diri sendiri dan

yang dicari adalah suatu sintesis baru atas berbagai arti yang pernah dialami

dalam hidup. Dengan demikian remaja berjuang mencari keseimbangan antara

tuntutan menciptakan identitas diri berdasarkan dayanya sendiri dan identitas

sebagaimana diharapkan dan didukung oleh orang lain yang dipercayainya.

Pada tahap ini remaja menyusun gambaran yang personal mengenai

lingkungan akhir. Allah yang “personal” merupakan seorang pribadi yang

mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan diri saya sendiri.

Apabila rasa kedirian memang berasal dari seluruh jaringan hubungan dan peran

yang penting. Maka gambaran Allah personal dan akrab sangat penting bagi

upaya menyusun identitas diri yang koheren pada seorang remaja. Pada tahap ini

juga disebut tahap ‘menyesuaikan diri’, dimana tahap ini seseorang ingin sekali merespon dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan orang lain yang

penting. Maka pada tahap ini, ada penambahan rasa percaya pada pendapatnya

sendiri melebihi tahap kedua tetapi hanya digunakan untuk memilih di antara

otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan

ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Lebih tepatnya memilih dan

menyeimbangkan pelbagai pengharapan konvensional dari pelbagai dunia orang.

7

5. Tahap Individual –Reflektif (Individuative- Reflective faith)

Tahap kepercayaan individual – reflektif muncul pada umur 20 - 35 tahun (awal masa dewasa). Pola kepercayaan eksistensial ini ditandai oleh lahirnya

refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai (agama) lama. Pribadi

sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem

kemasyarakatan tetapi juga yakin bahwa diri sendirilah yang memikul tanggung

jawab atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan

7

(5)

baginya untuk mengikat diri dengan cara menunjukkan kesetian pada seluruh

hubungan dan panggilan tugas.8

Perubahan ke tingkat empat memungkinkan mereka mulai memandang

iman yang menjadi milik sendiri. Selanjutnya iman itu tidak hanya lebih personal

tetapi menghantar untuk ungkapan iman yang konstan dan koheren. Mereka

mulai mempertanggungjawabkan ungkapan iman yang masuk akal dan logis.

Orang muda pada tahap ini telah mencapati tahap ditantang untuk merenungkan

secara kritis hidup dan makna hidup mereka. Tahap ini menyediakan bagi mereka

bimbingan yang dibutuhkan akan orientasi ideologis dan keagamaan dan juga

tanggung jawab etis dan politis. Meskipun ungkapan iman yang utuh belum

terbentuk pada masa inilah tuntutan untuk mencapai tahap keempat muncul.

6. Tahap Iman Konjungtif

Munculnya tahap kelima sekitar umur 35 tahun ke atas. Tahap ini muncul

dari pengalaman hidup yang makin mendalam yang mencakup penderitaan,

kehilangan dan ketidakadilan. Tahap kelima mengandaikan pengetahuan tentang

diri sendiri yang semakin mendalam. Jika ditahap keempat, pribadi muncul

sebagai individu dan bertanggung jawab. Sekarang, orang harus menguraikan lagi

susunan iman yang dulu secara tergesa-tergesa terbentuk, kemudian menyusun

lagi sistem iman yang lebih bermakna, yang memperhitungkan penemuan baru

tentang diri mereka.

Pada tahap ini, apa yang diterima sebagai berharga diperiksa tidak hanya

dengan hal-hal luar seperti Injil, pendapat para ahli dan semacamnya, tetapi juga

dengan batin yang berhubungan dengan yang transenden. Orang menyadari

dimensi yang semakin dalam dari persahabatan, loyalitas. Mereka juga menyadari

kebutuhan mereka untuk bermasyarakat yang semakin luas, masyarakat tempat

mereka menemukan arti. Mereka sadar bahwa berhubungan dengan yang

transenden itu menuntut keterlibatan tertentu. Tetapi mereka juga menyadari

bahwa keterlibatan tersebut belum memadai, hingga mereka harus terbuka

terhadap masa depan yang tidak menentu. Dalam bahasa sehari-hari kehidupan

tidak lagi dilihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup

bersama ambiguitas-ambiguitasnya. Iman tahap kelima melibatkan pemakaian

kembali pola-pola komitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau.

(6)

Sebaliknya hal tersebut merupakan memperoleh kembali “kebenaran- kebenaran

lama” dengan cara yang baru, mengafirmasi secara pribadi kebenaran yang ada di dalam kebenaran lama mengambil kekuatan mereka tetapi menolak

pembatasan-pembatasan mereka.9

7. Tahap Iman yang mengacu pada Universalitas

Tahap terakhir paling baik digambarkan lewat pribadi-pribadi yang berhasil

mencapai tahap itu, misalnya: Bunda Teresa, Martin Luther King, Jr. Pribadi yang

telah mencapai tahap ini memperlihatkan semangat besar dan keterlibatan untuk

tuntutan cinta dan keadilan. Jika di dalam tahap kelima orang sering dikecam oleh

pertimbangan kebutuhan mereka sendiri dan kesejahteraan orang lain, maka

ditahap keenam ini orang dikecam oleh keinginan tanpa henti untuk melayani

orang lain. Fowler mengatakan bahwa mereka ini orang yang kecil perhatiannya

kepada diri sendiri dan seringkali dapat menjadi martir.

Fowler menambahkan bahwa ada unsur transenden dalam iman dan

“model” iman manusia hanya berguna untuk menjelaskan hubungan dengan yang

transenden itu. Tahap keenam ini sulit untuk dikemukakan dalam bahasa

percakapan sehari-hari kita yang konkret. Orang yang berada pada tahap keenam

tinggal di dunia sebagai orang yang hadir untuk mengubah (transform).10

Pandangan Fowler mengenai kepercayaan dipupuk oleh dua sumber inspirasi.

Pertama, kepercayaan sebagai suatu proses dan dinamika, dalam perspektif

sosiologis dan etis. Kedua, bahwa sepanjang sejarahnya manusia selalu menyadari

akan adanya transendensi dan senantiasa mencari kebenaran paling akhir yang

dapat mencakup seluruh eksistensi manusia. Berdasarkan kedua sumber ilham

tersebut Fowler mengatakan bahwa “perkembangan kepercayaan” merupakan satu

ciri universal khas manusia. Ternyata kepercayaan tidak harus dimengerti sebagai

“kepercayaan religius”, tetapi terutama sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensial”. Singkatnya, bagi Fowler, kepercayaan bersifat universal artinya siapa saja manusia dalam agama apa pun mempunyai potensi

untuk mempercayai.11

9

Charles M Shelton, Spritualitas kaum muda, 58

10

James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya karya penting James W Fowler, 202-303

(7)

2.2 Perkembangan Remaja

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “ tumbuh untuk mencapai kematangan”.

Kematangan mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik dan

menurut Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah usia di

mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak

tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua

melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Masa remaja, menurut Mappiare

(1982) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita

dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat

dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun

adalah remaja awal dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah

remaja akhir.12

Teori perkembangan iman Fowler tidak terlepas dari pendekatan

psikososial Erick Erikson dan sktrukturalisme genetis oleh Piaget dan Kohlberg.

Oleh karena itu, penulis juga melihat sudut pandang dari ketiga teori yang lain.13

Menurut psikologi perkembangan, anak usia remaja dimana pada usia ini

anak memasuki tahapan kematangan intelek atau dalam istilah Psikologi,

perkembangan intelektual dikenal Psikologi Kognitif (Jean Piaget). Mereka mulai

mampu berpikir jauh melebihi dunia nyata dan keyakinannya sendiri yaitu

memasuki dunia ide-ide. Tahap ini merupakan tahap awal berpikir

hipotesis-deduktif yang merupakan cara berpikir alamiah. Contohnya, mereka dapat

memakai pendekatan sistematis untuk memecahkan masalah dengan tidak hanya

mendasarkan diri pada meniru orang lain. Mereka juga dapat berpikir mengenai

konsep, berpikir menggunakan proporsi dan perbandingan mengembangkan teori

dan mempertanyakan hal-hal yang bersifat etis.14

Jean Piaget membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan

yaitu: tahap sensori-motoris (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap

operasional konkret (7-11 tahun), tahap operasional formal (11 tahun ke atas).

Remaja berada pada tahap operasional formal di mana anak telah mampu

mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari

12 Mohammad Ali, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 9 13

James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 25

14 Diana E Papalia dan Ruth Duskin Feldman, Menyelami Perkembangan Manusia, (Jakarta: Salemba

(8)

berpikir logis. Menurut Piaget, karakteristik tahap ini adalah diperolehnya

kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik

kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat

memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala

sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di

antaranya..15

Menurut Erik Erikson, dalam tahap perkembangan psikososialnya dan ia

membagi menjadi delapan tahapan yaitu: Tahap 1 (percaya vs tidak percaya)

terjadi pada umur 0 sampai 18 bulan, tahap 2 ( otonomi vs malu dan ragu-ragu)

terjadi pada umur 18 bulan sampai dengan 3 tahun, tahap 3 (inisiatif vs rasa

bersalah) terjadi pada umur 3 sampai 5 tahun, tahap 4 (tekun vs rendah diri)

terjadi pada umur 6 tahun sampai dengan 11 tahun, tahap 5 (identitas vs

kebingungan identitas) terjadi pada masa remaja yakni umur 10 sampai dengan

20 tahun, tahap 6 ( keintiman vs keterkucilan) terjadi selama masa dewasa awal

yakni umur 20 tahun sampai 30 tahun, tahap 7 (bangkit vs stagnan) terjadi selama

masa pertengahan dewasa pada umur 40 tahun sampai dengan 50 tahun dan tahap

yang ke 8 (integritas vs putus asa) terjadi selama masa akhir dewasa sekitar umur

60 tahun.

Remaja berada pada tahap yang kelima yaitu masa identitas vs kebingungan

identitas dimana remaja mulai mengekplorasi kemandirian dan membangun

kepekaan dirinya. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana

mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya? (menuju

tahap kedewasaan). Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status

sebagai orang dewasa - pekerjaan dan romantisme misalnya, orangtua harus

mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam

suatu peran khusus. Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara

yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan

dicapai. Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak

secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak

dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang

menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan

mandiri dan kontrol dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak

(9)

yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan

bingung terhadap diri dan masa depannya.16

Seperangkat tingkat perkembangan lain yang harus dilewati oleh anak

menuju kedewasaan adalah apa yang disebut oleh Kohlberg dengan istilah

“perkembangan moral atau perkembangan pemikiran”. Proses ini hampir sama

dengan tingkat-tingkat perkembangan mental yang dikemukakan oleh Piaget.

Kohlberg menemukan bahwa semua manusia pasti melalui tingkat-tingkat ini

dalam urutan yang tetap dan tidak mungkin ada orang yang dapat melompati

suatu tingkat tertentu. Kohlberg mengidentifikasikan 3 level dan enam tingkat

dari perkembangan moral manusia sebagai berikut: Stage : 0 , 0-2 tahun,

Level I, MoralitasPra-Conventional

Tingkat 1 : Orientasi ketaatan dan hukuman Usia 2-6 tahun

Tingkat 2 : Individualisme dan exchange Usia 6-10 tahun

Level II, Moralitas Conventional

Tingkat 3 : Hubungan antar pribadi yang baik Usia 9-13 tahun

Tingkat 4 : Menjaga tatanan sosial Usia 11-15 tahun

Level III, Moralitas Pasca Conventional

Tingkat 5 : Kontrak sosial dan individu

Tingkat 6 : Prinsip-prinsip universal Usia remaja 14

tahun dst

Remaja melihat moralitas bukan sekedar perjanjian atau ideal yang

sederhana, mereka percaya bahwa seharusnya menaati ekspektasi keluarga dan

juga komunitas dan berperilaku yang baik berarti memiliki motif yang baik dan

perasaan antar pribadi seperti kasih,empati, trust dan keperhatinan terhadap orang

lain.17

Wayne Rice dalam bukunya Junior High Ministry mengemukakan bahwa

kunci untuk memahami remaja adalah menyadari bahwa masa remaja merupakan

masa transisi dari kanak-kanak menuju pada kedewasaan dalam berbagai hal. 18

Sebelum anak berusia 11 dan 12 tahun, pemahaman anak terhadap realitas pada

dasarnya tergantung pada apa yang ia alami. Tetapi begitu seseorang memasuki

16 F.J Monks, Knoers,A.M.P & Hadinoto S.R.. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai

Bagiannya. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001). 156

17 Bahan Kuliah Pendidikan Agama Kristen (PAK) Kategorial Pdt Mariska Lauterboom,MATS.

(Salatiga: Fakultas Teologi, 2014)

18 Wayne Rice, Junior High Ministry: A Guide Book for leading and teaching of early adolescents.

(10)

pubertas, maka terjadi perubahan kualitatif dalam cara berpikir dan hal ini tidak

sekedar menjadi lebih intelligent atau intelegensi tetapi remaja mengembangkan

kemampuan bernalar (reasoning) secara lebih berpikir konseptual atau abstrak.19

Dimensi spiritual dalam kehidupan remaja tidak dapat dipisahkan dari

aspek kehidupannya yang lain. Iman seseorang menyentuh semua aspek dalam

kehidupannya baik fisik, sosial, mental dan lainnya. Injil bukan hanya

mempengaruhi seseorang tetapi jiwa kita. Pada saat seseorang berkembang secara

fisik, sosial, mental maka perubahan ini akan mempengaruhi juga kehidupan

spiritualitasnya. Sejumlah besar remaja akan menolak sekurang-kurangnya

meragukan kepercayaan agamawi yang telah mereka anut sebelumnya. Dalam usia

anak-anak, mereka percaya kepada Tuhan oleh karena orang tua mereka pun

percaya kepadaNya, dengan demikian iman yang dimilikinya adalah warisan.20

Namun ketika anak memasuki usia remaja, iman warisan seperti ini tidak

dapat diterima begitu saja sebab ada gejolak pemikiran rasional yang mulai

mempertanyakan dan meragukan iman. Bagi remaja yang lain, iman kepada Allah

semakin lemah oleh karena pikiran yang semakin berkembang dan dipengaruhi

oleh pandangan dunia yang baru bahwa iman tidak dapat dibuktikan secara empiris

atau tidak masuk akal. Bisa saja si anak tiba-tiba tidak mau ke gereja, padahal dulu

ia adalah seorang anak yang rajin ikut ibadah remaja. Hal ini membuat

kekhawatiran para orang tua, jika anaknya tersesat dan meninggalkan iman kristen

untuk selamanya. Hal ini merupakan bagian dari proses perkembangan

kemampuan berpikir asbtrak dan membangun identitas dirinya sendiri. 21

Persoalan terbesar yang dialami oleh remaja ialah bagaimana mengatasi

kegagalan dan banyak remaja melihat kegagalannya sebagai petunjuk iman mereka

juga sedang merosot. Banyak kesalahan dan pengajaran yang terjadi selama masa

kanak-kanak dan remaja misalnya pengajaran yang melihat kegagalan untuk hidup

sesuai dengan standar Alkitab, Gereja dan orang tua disamakan dengan telah

melakukan dosa dan contoh yang konkret ketika remaja mengalami ‘mimpi basah’ maka itu dianggap sebagai dosa.

Meskipun remaja berada ditengah-tengah pergumulan, kegagalan dan

keraguan, idealisme mereka dapat menjadi sangat ekstrim dan ini merupakan

19 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja,60 20 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja,87

(11)

bagian dari parodoks remaja. Mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk

committed terhadap suatu hal dan menjadikan mereka hidup berarti. Mereka sedang

mengembangkan atau membangun semacam perasaan kuat tentang benar dan

salah. Misalnya cita-cita untuk mendaftarkan diri bagi pelayanan seperti dokter,

perawat, pekerja sosial dan lainnya.

Maka remaja diberi sebanyak mungkin kesempatan untuk melayani dan

menggunakan karunia-karunia yang sudah Allah berikan kepada mereka. Idealisme

mereka meskipun sangat kuat selama masa remaja namun makin lama akan

menjadi pudar bila tidak diberi ekspresi dan mengambil bentuk dalam kehidupan

yang tidak diinginkan serta menghancurkan. 22

2.3. Panggilan Gereja tentang pelayanan Remaja berdasarkan Buku Panduan Tahun Remaja HKBP 2014

Gereja adalah persekutuan orang percaya yang lahir oleh pekerjaan Roh

Kudus. Kehadiran Gereja di dalam dunia dalam rangka mengabarkan shalom Allah

bagi dunia, karena Allah mengasihi dunia dan segenap ciptaan-Nya. Sejak awal

berdirinya gereja mendapatkan tugas dari Allah untuk mewartakan kabar

keselamatan Allah kepada semua orang supaya mereka mengenal Allah dan

menjadikan mereka murid-murid Allah (Matius 28:19-20, Markus 16:15-16).23

Beberapa teolog mendefinisikan arti kata Gereja sebagai berikut: (1) Kata Gereja

berasal dari kata dalam bahasa Portugis “igreja”, yang berasal dari kata Yunani

ekklesia” yang berarti: mereka yang dipanggil. Mereka yang pertama dipanggil

oleh Yesus Kristus ialah para murid dan sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke surga

dan turunnya Roh Kudus pada hari pentakosta, para murid itu menjadi “rasul”,

artinya “mereka yang diutus” untuk memberitakan Injil sehingga lahirlah Gereja.24 (2) Istilah Yunani “ekklesia” dibentuk dari kata ‘ek’ = dari dan ‘kaleo’ (=memanggil), yaitu ‘mereka yang dipanggil keluar’. Kata ‘ekklesia’ dalam

Perjanjian Baru mempunyai arti (1) kaum yang dipanggil keluar dari kehidupan

yang lama dan keluar dari kuasa Iblis, dipanggil Allah sendiri, dipindahkan ke

dalam kerajaan Allah-terjadi perubahan status dan pola hidup. (2) kaum yang

dipanggil keluar dari hidup bagi diri sendiri dan dipanggil untuk hidup bagi Tuhan,

22

Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja, 89-90

23

Avery Dulles, Model-Model Gereja, (Ende: Nusa Indah, 1990), 92.

24

(12)

beribadah kepada Tuhan dan melayani Tuhan-perubahan tujuan hidup dan

pandangan dasar

Kehadiran Gereja di dunia tidak sebatas sakramental dan yuridis, tetapi

mencakup kandungan misteri didalamnya.25 “Gereja adalah misteri, Ia adalah

realitas yang diresapi dengan kehadiran Allah yang tersembunyi. Oleh karena itu,

rahasia kehadiran Allah berada dalam hakikat Gereja itu sendiri yang membuatnya

terbuka terhadap penjelajahan yang baru dan yang semakin luas.” 26 Oleh sebab itu,

untuk menjelaskan misteri dan hakikat Gereja tersebut, Kitab Suci hampir selalu

berbicara dengan menggunakan gambaran-gambaran yang hampir semua jelas

bersifat kiasan (metafora).27 Sebagai contoh Dalam Perjanjian Baru terdapat

bermacam-macam gambaran atau metafora mengenai Gereja, umpamanya sebagai

umat Allah (Why 21:3), sebagai bait Allah (1 Kor.3:16), sebagai bait Roh Kudus (1

Kor.6:19), sebagai bangunan Allah (1 Kor. 3:9), sebagai kawanan domba Allah (1

Ptr. 5:2) dan sebagainya.28

Gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi tentang Yesus Kristus

di dunia ini (band Kis 1: 8). Gereja terpanggil untuk melaksanakan amanat agung

Kristus (Mat 28:16-20; Markus16:15). Menjadi saksi Kristus adalah tugas gereja

dan warganya yang berlaku sepanjang masa dan bukan hanya bersaksi (Marturia),

tapi juga bersekutu (Koinonia) dan melayani (Diakonia). Inilah yang disebut tri

tugas gereja. Gereja terpanggil untuk memberitakan berita kesukaan dari Allah

bagi semua orang agar percaya dan diselamatkan. Gereja harus terbuka,

dinamis,dialogis pada situasi perkembangan di masyarakat dengan sikap

positif,kristis,kreatif dan realistis. Gereja kelihatan sebagai gereja apabila gereja

tersebut nampak sebagai satu segitiga sama sisi yang terdiri dari segi

persekutuan,kesaksian dan pelayanan yang ketiganya tidak dapat dipisahkan.29

Dalam menjalankan tugas panggilannya, Gereja harus tanggap dengan

masalah-masalah yang dihadapi oleh warganya dalam hal ini adalah remaja. Gereja

berhadapan dengan pengaruh zaman. Globalisasi dengan trend-trend baru

ditawarkan dan sering membuat Gereja sulit mempertahankan apa yang sudah baik

25 Merliza Akatastasia Makienggung. Manajemen Konflik Dalam Gereja : Suatu tinjauan ekklesiologis

terhadap model manajemen konflik dalam Gereja menurut Hugh F. Halverstadt (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana), 8.

26 Avery Dulles, Model-Model Gereja,18. 27 Avery Dulles, Model-Model Gereja ,19.

28 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 370.

29

(13)

yang ada di dalam dirinya sendiri. Tantangan zaman sangat terasa dalam kehidupan

generasi muda dan menghempas serta mengombang-ambingkan kehidupan

generasi muda bahkan menyebabkan krisis identitas dan penyimpangan perilaku

sosial. Tantangan zaman yang dihadapi oleh para remaja turut serta menjadi

kesulitan bagi pekerja Gereja untuk melaksanakan tugasnya. Mengajari remaja

menjadi sebuah pekerjaan yang sulit tidak seperti mengajari anak-anak yang

menerima apa saja yang diberikan kepada mereka tanpa mereka banyak bertanya

apakah pengajaran ini benar atau tidak ?.

Tahun Remaja HKBP 2014 mengambil Tema “Mempersiapkan

Generasi Muda Menghadapi Tantangan Zaman” (bnd. Kolose 4:2-6) dan Sub

Tema : “Melalui Revitalisasi Pelayanan, Pembinaan dan Pewadahan, akan Nyata

Peran Remaja menjadi Transformator Gereja, Masyarakat dan Bangsa”.30

Dengan memperhatikan perkembangan zaman dan tantangan yang

dihadapi oleh remaja maka gereja tidak boleh menganggap sepele terhadap

pelayanan kepada remaja. Gereja perlu untuk memperbaharui pelayanannya.

Adapun tujuan tahun remaja HKBP 2014 antara lain:

a). Menghidupkan kembali motto NHKBP: Masitangiangan (saling mendoakan),

masihaposan (saling percaya) dan masiurupan (saling mendoakan).

b). Mempersiapkan remaja menghadapi masa depan

c). Mendorong remaja untuk memahami pentingnya sebuah pendidikan iman dan

melibatkan diri dalam pelayanan untuk meneruskan apa yang mereka terima

kepada anak-anaknya kelak

d). Memperkuat jejaring remaja untuk lintas budaya, agama dan oikumene tingkat

nasional dan internasional

e). Memperlengkapi remaja dan pemuda menghadapi isu-isu politik.

f). Memperlengkapi remaja Gereja HKBP untuk memahami liturgi dan musik

gereja HKBP

g). Remaja dapat mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung

h). Diharapkan melalui kegiatan ini dapat membangkitkan kembali kegiatan

Remaja di Gereja

i). Kegiatan ini menghasilkan komunitas remaja yang memiliki jejaring yang baik.

30

(14)

Dasar Alkitabiah Tahun Remaja HKBP terdapat dalam Ulangan 6. Dalam

pasal ini Musa memaparkan kepada Bangsa Israel tentang intisari perintah -

perintah Tuhan yang harus diajarkan kepada anak-anak. Mereka harus

mengajarkan perintah - perintah tersebut dan perintah Tuhan yang harus diajarkan

kepada anak-anak ialah “apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau

sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun

(ayat 7). Perintah untuk menaati Allah bukanlah sekedar sesuatu yang diajarkan

secara formal kepada para pendengar yang pasif. Sebaliknya, menaati perintah

Tuhan adalah menjadi proses yang terus menerus memakai kejadian sehari-hari

dalam kehidupan anak-anak (Amsal 22:6).31

31

Referensi

Dokumen terkait