Laporan Pengantar Tugas Akhir
PERANCANGAN PUSAT GERONTOLOGI SEBAGAI FASILITAS
PENUNJANG REKREASI DAN SOSIAL DI JAWA BARAT
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah DI. 38309 Tugas Akhir
Semester genap tahun akademik 2013/2014
Oleh:
Melissa Anastasya
52009013
PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR
FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
DATA RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Melissa Anastasya
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/ Tanggal Lahir : Bandung, 25 Mei 1991
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen
Tinggi, Berat Badan : 158 cm, 40 kg
Alamat : Gg. Binong Kulon 7 No. 89/126 G, Bandung
No. Telepon : 085315510887
E-mail : naztasyaa@gmail.com
PENDIDIKAN
Tahun Nama Sekolah Kualifikasi
1995 – 1996 TK Ignatius Slamet Riyadi, Bandung -1996 – 2003 SD Ign Slamet Riyadi, Bandung -2003 – 2006 SMP Ign Slamet Riyadi, Bandung
-2006 - 2009 SMA PGRI 2, Bandung Ilmu Pengetahuan Alam 2009 - 2014 Universitas Komputer Indonesia,
Bandung
APLIKASI SOFTWARE YANG DIKUASAI
Google Sketch Up + Vray
3D Max + Vray
Corel Draw
Adobe Photoshop
AutoCad
ArchiCad
Bandung, 10 September 2014
Hormat Saya,
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR SURAT PERSETUJUAN PUBLIKASI LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS KARYA
1.3 Permasalahan Perancangan 6
1.4 Maksud dan Tujuan Perancangan 6
BAB II Tinjauan Teoritis dan Data Perancangan Pusat Gerontologi Sebagai Fasilitas Penunjang Rekreasi dan Sosial di Jawa Barat
2.1 Definisi Manula 8
2.1.1 Manula dalam perspektif
Hukum dan HAM 10
2.1.2 Manula dari Sudut Pandang Psikologi 14
2.2 Definisi Gerontologi 17
2.2.1 Peran Kerja Terapan Gerontologi 18
2.2.2 Layanan Langsung 19
2.3 Fasilitas Untuk Manula 21
vi
2.3.2 Fasilitas Non-Institusional 22
2.4 Pertimbangan Desain untuk Manula 22
2.4.1 Kenyamanan Ruang Gerak 24
2.4.2 Kenyamanan Hubungan Antar Ruang 25
2.4.3 Kenyamanan Kondisi Udara 28
2.4.4 Kenyamanan Pandangan 29
2.4.5 Kenyamanan Kondisi Tingkat
Getaran dan Kebisingan 30
BAB III Konsep Perencanaan Pusat Gerontologi Sebagai Fasilitas Penunjang Rekreasi dan Sosial di Jawa Barat
3.1 Deskripsi Proyek 33
3.2 Pengguna Bangunan 33
3.3 Struktur Organisasi 34
3.4 Alur Sirkulasi 36
3.5 Studi Images 37
BAB IV Konsep Perancangan Pusat Gerontologi Sebagai Fasilitas Penunjang Rekreasi dan Sosial di Jawa Barat
4.1 Tujuan Perancangan 39
4.2 Tema dan Konsep Perancangan 39
4.2.1 Konsep Sirkulasi 41
4.2.2 Konsep Bentuk 42
4.2.3 Konsep Material 42
4.2.4 Konsep Warna 43
4.2.5 Konsep Pencahayaan 43
4.2.6 Konsep Penghawaan 45
4.2.7 Konsep Keamanan 46
DAFTAR PUSTAKA 49
49
DAFTAR PUSTAKA
Halim Kurniawan Deddy, P.Hd. 2005. Pengantar Kajian Lintas Disiplin :
Psikologi Arsitektur. Jakarta: Grasindo
Halim Kurniawan Deddy, P.Hd. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan.
Jakarta: Grasindo
Kementerian Kesehatan RI.Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
2013 ISSN 2088 – 270X. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia
Ernst Neufert. Data Arsitek Edisi 33 Jilid 1.
Reznikoff S.C. 1986. Interior Graphic and Design Standards.Britain: The
Architectural Press Ltd.
http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga mata kuliah Tugas
Akhir ini dapat diselesaikan dengan lancar. Proses panjang ini tidak
akan tercapai tanpa peran serta dan dukungan dari pihak-pihak yang
berperan. Maka dari itu, segala rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya ingin disampaikan kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kebesaran, bimbingan
dan karunia-Nya.
2. Seluruh anggota keluarga yang telah memberikan dukungan
semangat serta doa demi keberhasilan penulis selama ini.
3. Bapak Drs. Hary Lubis yang telah membimbing dengan penuh
kesabaran dan memberikan begitu banyak wawasan lebih
dalam mengenai materi terhadap judul Tugas Akhir yang
diambil oleh penulis.
4. Ibu Tiara Isfiaty, M.Sn., selaku koordinator Tugas Akhir Desain
Interior yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan
dan semangat.
5. Untuk Ita Gunarlita, Adis Andina, Aulia dan Dini sebagai
sahabat-sahabat yang setia mendukung, membantu,
ii
ii
penyusunan Laporan Tugas Akhir ini, serta teman-teman
seperjuangan Tugas Akhir atas kerjasamanya.
Semoga laporan ini dapat berguna di masa yang akan datang
terlepas dari segala kekurangannya.
Agustus 2014,
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Saat ini orang-orang berusia lanjut yakni yang berusia 65 tahun
berkembang dengan pesat jumlah populasinya, bahkan mereka yang berusia 85
tahun pun memiliki kecenderungan yang sama. Menurut WHO (World Health
Organization), yang juga diperkuat oleh Deklarasi Madrid memperlihatkan
peningkatan populasi kelompok usia lanjut secara fantastis dan Usia Harapan
Hidup (UHH) penduduk dunia saat ini adalah 67 tahun. Secara global diprediksi
populasi lansia akan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 dari data
Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa peningkatan populasi lansia
Indonesia di atas 60 tahun berada di urutan ke-4 setelah Rusia, India dan
Amerika yang memiliki jumlah penduduk usia lanjut terbesar di dunia. Pada
tahun 2005 populasi lansia telah menyamai jumlah balita (di bawah 5 tahun),
yakni 8,5% dari total jumlah penduduk atau sekitar 19 juta jiwa dan akan
menjadi 25,5 juta jiwa pada tahun 2020 atau sebesar 11,37% (Kompas, 2002).
Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi dari pada populasi
lansia di wilayah Asia dan global setelah tahun 2050. Dari uraian data berikut,
ledakan jumlah populasi lansia yang meningkat bisa dikatakan sebagai salah
satu indikator keberhasilan pencapaian angka harapan hidup yang semakin baik
2 Gambar 1: Persentase Penduduk Lansia di Dunia, Asia dan Indonesia Tahun 1950 – 2050
Sumber : UN, World Population Prospects: The 2010 Revision
Jika Indonesia yang diprediksi bahwa jumlah populasi usia lanjut akan
meningkat, maka hal tersebut perlu diperhatikan secara khusus. Dalam hal ini
fasilitas penunjang kualitas hidup kaum lansia agar dapat mempertahankan
kesehatan serta kemandiriannya perlu ditingkatkan. Kebanyakan lansia di
masyarakat saat ini memiliki kondisi yang mengalami penurunan fungsi fisiologis
karena mengalami sakit penyakit maupun proses degeneratif (penuaan)
sehingga mereka sangat membutuhkan penanganan, bantuan dan perawatan
khusus dari orang lain, namun tidak sedikit pula yang masih memiliki kondisi
3
Selalu ada tantangan dalam menolong, merawat dan memelihara kaum
lansia. Tidak hanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang, mereka pun
membutuhkan waktu, kesabaran, pengertian dan pengetahuan dari keluarga,
juga lingkungan yang mendukung serta keuangan yang memadai. Tanpa
hal-hal tersebut yang mendukung, maka keluarga atau orang yang merawat mereka
akan mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut bisa menjadi suatu masalah dan
sebuah pondok jompo atau rumah orang tua dapat menjadi salah satu solusi
bagi masalah tersebut. Selain itu banyak manfaat yang bisa diterima kaum
lansia saat mereka hidup dan tinggal di pondok jompo yaitu mereka lebih
leluasa beraktifitas dan berkomunikasi dengan kaum lansia seusianya.
Sudah menjadi suatu kewajiban bahkan sudah menjadi adat dan
kebudayaan yang kental bagi kita orang timur untuk memelihara, merawat dan
menjaga orang tua kita maupun kerabat yang sudah lanjut usia. Di banyak
negara mendaftarkan dan menitipkan orang tua atau kerabat sudah menjadi
suatu gaya hidup. Tetapi, terlepas dari hal tersebut, banyak kaum lansia yang Gambar 3 : Kondisi fisik kaum lansia yang masih aktif Sumber : Buletin Lansia
Gambar 2 : Kondisi fisik kaum lansia yang memerlukan bantuan perawat
4
memutuskan untuk tinggal di sebuah panti jompo ataupun rumah orang tua
karena masih sanggup untuk melakukan aktifitasnya sendiri dan tidak ingin
merepotkan keluarga walaupun sebenarnya pihak keluarga masih sanggup
untuk mengurus mereka atau bahkan karena mereka memang tidak kerasan
tinggal bersama anak-anak maupun kerabatnya.Bagi mereka yang masih
sanggup melakukan aktifitasnya sendiri tentunya tidak harus berada di panti
jompo untuk bisa menikmati masa tuanya, maka sebuah fasilitas pendukung
tidak hanya dalam pelayanan kesehatan, namun pendukung kegiatan dan
hiburan bagi mereka perlu dibuat.
Berdasarkan Data Statistik Indonesia tahun 2013 mengenai jumlah
populasi lansia 60 tahun ke atas berdasarkan kondisi kesehatannya, Jawa Barat
merupakan propinsi yang memiliki jumlah populasi lansia tertinggi ketiga di
Indonesia. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah lansia di
Indonesia khususnya di Propinsi Jawa Barat menjadi acuan dimana sebuah
fasilitas pendukung kesehatan dan kegiatan lansia lain seperti pusat gerontologi
perlu dibangun di Indonesia karena umumnya fasilitas bagi kaum lansia sendiri
hanya panti jompo yang umumnya terfokus pada fungsi sebagai hunian dan
pelayanan kesehatan terhadap lansia saja, namun fasilitas lain seperti sarana
olahraga ataupun rekreasi yang berada dalam satu kawasan masih belum
diterapkan.Fasilitas pendukung tersebut tentunya perlu memiliki pemahaman
5
kegiatan kaum lansia di dalamnya yang jelas membutuhkan banyak perhatian
agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Suatu pusat gerontologi sebagai fasilitas pendukung kesehatan dan
kegiatan lansia perlu memiliki standarisasi bangunan yang sesuai dan standar
tersebut haruslah dapat dicapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan untuk pusat gerontologi sendiri adalah suasana lingkungan
yang nyaman, aman, sehat dan tentunya dapat menunjang segala kegiatan
para lansia. Dalam hal ini faktor psikologi, psikososial dan sosial sendiri juga
perlu dipertimbangkan sehingga fungsi pusat gerontologi sebagai fasilitas
pendukung kesehatan dan kegiatan para lansia bisa tercapai dengan
memperhatikan bagaimana sebuah kenyamanan dapat tercipta dari pengaturan
penghawaan, pencahayaan juga tata letak dalam ruang panti atau pondok,
mengingat pengguna adalah para lansia dimana mereka memiliki kebutuhan
khusus.
1.2. Ide Perancangan
Menciptakan suatu fasilitas penunjang rekreasi dan sosial bagi para
lansia yang bertemakan “hunian segar” dengan konsep penggayaan
6
1.3. Permasalahan Perancangan
Pada umumnya setiap perencanaan sebuah sarana maupun fasilitas tidak akan
terlepas dari masalah-masalah di dalamnya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Meningkatnya kebutuhan akan fasilitas pendukung seperti pusat
gerontologi di Jawa Barat disebabkan oleh ledakan jumlah populasi
kaum lansia.
2. Meningkatnya jumlah pondok jompo sebagai fasilitas penunjang dan
bantuan bagi kaum lansia belum menjadi sebuah jaminan untuk
peningkatan kualitas hidup kaum lansia.
3. Faktor psikososial seperti kesulitan beradaptasi bagi kaum lansia di
dalam pondok jompo sebagai lingkungan baru mereka perlu
ditingkatkan kenyamanan ruangnya agar dapat membantu
memudahkan adaptasi.
4. Penurunan fungsi fiosologis yang diakibatkan proses degeneratif
(penuaan) mempengaruhi fungsi pusat gerontologi sebagai fasilitas
penunjang.
1.4. Maksud dan Tujuan Perancangan
Maksud perancangan:
Merancang sebuah fasilitas hiburan dan sosialisasi bagi kaum lansia
7
langsung serta pengembangan ilmu pengetahuan tentang lanjut usia
kepada masyarakat.
Tujuan perancangan:
Menyediakan wadah bagi para orang tua lanjut usia di yang ingin
menikmati masa tuanya berkegiatan dengan nyaman dan
menyenangkan.
Memberikan solusi bagi keluarga-keluarga di kota besar dengan
kesibukan bertumpuk dalam merawat orang tua. Di Pusat
Gerontologi ini mereka mendapat jaminan bahwa orang tuanya akan
8 BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Definisi Manula
Proses penuaan adalah peristiwa yang normal dan alamiah yang dialami
oleh setiap individu. Hal ini akan dialami seiring bertambahnya umur dan
mempengaruhi kondisi fisik maupun mental seseorang dalam masa lanjut
usia.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata jompo
adalah tua sekali dan sudah lemah fisiknya sehingga tidak mampu mencari
nafkah sendiri dan sebagainya atau tua renta; uzur. Sementara lansia dapat
dilihat pengertiannya dari 3 aspek, yaitu :
1. Aspek Biologis : Lansia merupakan penduduk atau kelompok yang
telahmenjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan
fisik yang ditandai dengan rentannya tubuh terhadap serangan
berbagai penyakit.
2. Aspek Ekonomi : Lansia dianggap sebagai warga yang tidak produktif
lagi dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda. Bagi
penduduk lansia yang masih memiliki pekerjaan, produktivitasnya
sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan usia
produktif. Namun, tidak semua penduduk yang termasuk dalam
9
3. Aspek Sosial : Di negara barat, penduduk lansia memiliki strata sosial
di bawah kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia, seperti
halnya di Indonesia, penduduk lansia memiliki kelas sosial yang tinggi
yang harus dihormati oleh masyarakat usia muda.
Penggolongan lansia menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip dari Azis
(1994), diuraikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Kelompok lansia dini (55-64 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia.
2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari
70 tahun.
Berikut adalah ciri- ciri manula secara fisik adalah:
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin lansia,
meningkatnya usia, seperti kurangnya pendengaran, jarak pandang.
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif.
3. Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai mengalami
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),
misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit keriput, gigi rontok,
10 2.1.1. Manula dalam perspektif Hukum dan HAM
Menurut Dr. Ir. Adhi Santika yang merupakan Ketua Kelompok Kerja
Komnas Lansia, penduduk Indonesia selama kurun waktu 40 tahun sejak tahun
1970 telah mengalami perubahan struktur. Proporsi penduduk usia di bawah 15
tahun mengalami perubahan menjadi menurun walaupun jumlahnya masih
bertambah. Seiring dengan membaiknya kondisi kesehatan, struktur umur
penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan sebagai dampak
meningkatnya angka harapan hidup. Hal ini mempengaruhi jumlah dan
persentase penduduk lanjut usia (lansia) yang terus meningkat.
Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa
konsekuensi bertambahnya jumlah lansia, karena pertumbuhan lansia di
Indonesia akan lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia
diperkirakan mengalami ledakan jumlah populasi lansia pada dua dekade
permulaan abad 21 ini. Hal ini tentunya perlu terus diantisipasi karena akan
membawa implikasi luas dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, lansia perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik lagi dalam
pembangunan nasional.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudi luhur mempunyai ikatan
kekeluargaan yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa,
yaitu menghormati serta menghargai peran dan kedudukan lansia yang memiliki
11 oleh generasi penerusnya. Perwujudan nilai-nilai keagamaan dan budaya
bangsa tersebut harus tetap dipelihara, dipertahankan, dan dikembangkan.
Upaya memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai
budaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lansia yang bertujuan mewujudkan kemandirian dan
kesejahteraan para lansia. Agar upaya peningkatan kesejahteraan sosial
lansia yang bertujuan mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan sosial lansia
dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna serta menyeluruh
dan berkesinambungan, diperlukan Undang-Undang sebagai landasan hukum
yang kuat dan merupakan arahan baik aparatur pemerintah maupun
masyarakat.
Undang-Undang sebagai salah satu landasan hukum, pada kenyataannya tidak
dapat dilepaskan dari hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-undangan. Adapun hierarki yang dimaksud adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
12 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Keberadaan UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
ternyata bukan satu-satunya produk hukum berupa Undang-Undang yang
mengatur lansia, tetapi masih banyak Undang-undang atau hirarki di bawahnya
yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
kesejahteraan lansia, misalnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Secara umum materi yang diatur dalam UU Nomor
13 Tahun 2003, antara lain meliputi:
1. Tugas dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat guna
mewujudkan kesejahteraan sosial lansia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia dilaksanakan melalui
pelayanan:
a. Keagamaan dan mental spiritual;
b. Kesehatan;
c. Kesempatan kerja;
d. Pendidikan dan pelatihan;
e. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasa-
rana umum;
13 g. Perlindungan sosial;
h. Bantuan sosial.
3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi lansia dilaksanakan oleh
pemerintah dan masyarakat.
HAM adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan
kewajiban yang lain. Pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lansia di
Indonesia sudah banyak dilakukan dan seiring dengan hal itu berbagai prestasi
telah banyak diperoleh.Namun keberhasilan yang sudah ada tentunya masih
dapat ditingkatkan dan dipercepat lagi. Percepatan atau akselerasi ke arah
yang lebih baik tentu saja tidak dapat dilakukan oleh hanya satu sektor
pemba-ngunan nasional. Keterkaitan dengan bidang atau sektor lain sangatlah
diperlukan. Demikian pula halnya keterkaitan dengan dimensi Hukum dan HAM
yang akan menjadi landasan yuridis dalam pelaksanaannya.
Peran Hukum dan HAM secara nyata dapat dilakukan dalam perubahan
dan perbaikan substansi atau materi muatan hukum yang sesuai dengan
tatanan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar
kesejahteraan lansia dapat dimiliki dengan sesungguhnya. Peran lain adalah
mencermati kembali tentang apakah materi muatan hukum yang ada dapat
dilaksanakan oleh instansi atau lembaga tertentu, karena mungkin terjadi
bahwa kelembagaan yang diperlukan untuk pelaksanaan hukum ternyata belum
14 kalah pentingnya adalah penerimaan masyarakat dan seluruh komponen
bangsa.
2.1.2. Manula dari Sudut Pandang Psikologi
Dipandang dari sisi psikologi, menurut seorang ahli psikologi Jack
Botwinick yang merupakan Ketua Program Penuaan di Universitas Washington,
St. Louis, warga lansia mengalami penurunan kemampuan dalam beberapa hal,
misalnya menurunnya kecepatan dimana hilangnya sel-sel pada sumsusm
tulang belakang memperlambat gerak refleks. Seseorang yang berusia 80 tahun
berjalan lebih lambat dibandingkan masa mudanya. Penurunan kedua terlihat
pada melambatnya proses berpikir. Pengaruh tersebut dapat dicegah dengan
kebiasaan melatih otak untuk berpikir dalam hal ini adalah menstimulasi
otak.Namun demikian, daya tangkap dan kecerdasan lansia tidak berkurang.
Orang tua yang sehat tidak akan kehilangan kemampuan memberikan
pertimbangan dan berpikir abstrak. Kosakata, keterampilan terhitung, daya
nalar, hasil pendidikan dan pengalamannya akan berfungsi terus, bahkan
kemampuan verbal dapat meningkat sesuai pertambahan usia. Namun, hanya
sedikit orang yang tahu bahwa tidak ada hubungan antara perubahan fisik dan
kondisi psikologis mereka.Sering kali kondisi psikologis mereka terpengaruh
karena merasa terbuang dan penerimaan yang kurang dari keluarga dan
15 Robert Butler yang merupakan seorang ahli psikiatri dan ahli gerontologi
menyatakan bahwa lansia cenderung ingin menegaskan kembali identitasnya
sewaktu ia mengenang peristiwa-peristiwa yang telah dilupakan orang lain,
sehingga sering kali meereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk melihat
foto-foto lama. Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri yang penting
ketika memasuki tahap akhir kehidupannya dan tidak boleh diremehkan dengan
menganggap mereka terbenam di masa lalu dan menghabiskan waktu dengan
tidak produktif.Padahal hal itu dilakukan sebagai suatu usaha penting lansia
untuk menyaring berbagai peristiwa hidupnya dan mencari makna hidup utama
serta mengatasi kebimbangan dan konflik-konflik baru berdasarkan pengalaman
sebelumnya, kemudian juga untuk menyusun kembali identitas dan perannya
dengan membandingkan pengalaman masa lalu dan masa kini.
Dalam buku The Meaning Of Age yang ditulis oleh seorang ahli
gerontologi dari Universitas Chicago, Prof. Bernice L. Neugarten,
menggolongkan kaum lansia menurut kemampuan mereka dalam
menyesuaikan diri yang mencakup 8 macam pola penyesuaian sebagai berikut:
1. Utuh-terbuka. Penyesuaian diri paling berhasil dilakukan oleh pribadi
yang utuh, matang, luwes, dan kehidupan batin yang kaya. Mereka
terbuka terhadap hal-hal baru, tidak emosional, menata kembali pola
hidup, dan mengganti kegiatan lama dengan yang baru. Misalnya,
16 2. Utuh-terfokus. Memperoleh kepuasan dengan memilih satu atau dua
bidang kegiatan saja. Misalnya, menarik diri dari pekerjaan maupun
keanggotaan berbagai perkumpulan, dan menyambut baik kesempatan
untuk hidup dengan penuh bersama keluarga.
3. Utuh-terlepas. Meninggalkan dengan sengaja ikatan-ikatan sosial. Mereka adalah orang yang mampu mengatur dirinya sendiri, tidak
berpikiran sempit, mempunyai perhatian pada dunia sekitar, tetapi tidak
mau terjerat dalam jaringan interaksi sosial.
4. Perisai. Lansia yang bekerja keras, berambisi, dan memiliki sensitivitas terhadap kecemasan serta desakan hati. Bagi beberapa orang di antara
mereka, menua merupakan suatu ancaman, dan kepuasan diperoleh
dengan berpegang pada pola hidup di masa muda mereka.
5. Benteng. Dengan sengaja membatasi interaksi sosial dan tidak mau
mencari pengalaman baru. Strategi ini dilihat sebagai cara yang paling
efektif dan mereka cukup puas dengan tingkat kegiatan yang rendah.
6. Pasif-bergantung. Selalu berusaha mencari pertolongan agar dapat
hidup senang dengan kegiatan berintensitas sedang dan kepuasan yang
cukup selama mempunyai seseorang untuk bersandar.
7. Tidak acuh. Pola pasif dan apatis menandai mereka yang ada di kelompok ini. Mereka malas untuk berbuat sesuatu dan melepaskan
17 8. Tidak utuh. Dengan pola penuaan yang tidak teorganisasi, mereka
sedikit sekali melakukan kegiatan, sedikit memperoleh kepuasan, dan
tidak dapat menguasai perasaan ataupun berpikir secara jernih.
Faktor emosional erat kaitannya dengan kesehatan mental, demikian pula
halnya bagi lansia.Aspek emosional yang terganggu, kecemasan dan stress
berat, dapat secara tidak langsung mencetuskan gangguan terhadap kesehatan
fisik.Begitu juga sebaliknya, gangguan kesehatan fisik dapat berakibat buruk
terhadap stabilitas emosi. Pada lansia, permasalahan psikologis terutama
muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul
sebagai akibat dari proses menua. Rasa tersisih dan tidak dibutuhkan lagi,
ketidakikhlasan menerima kenyataan baru, seperti penyakit yang tidak kunjung
sembuh, kematian pasangan, dan lain-lain merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan “ketidakenakan” yang harus dihadapi lansia dan akhirnya
menimbulkan depresi dan depresi akan semakin memberatkan kehidupan
lansia.
2.2. Definisi Gerontologi
Menurut Departemen Kesehatan RI sebagaimana dikutip oleh Dr.
Zainnudin Sri Kuncoro dalam e-psikologi masalah kesehatan fisik lansia
termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien
18 kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif yaitu yang
bersifat pencegahan, kuratif yaitu pertolongan penyembuhan dan rehabilitatif
yaitu mengembalikan pada keadaan yang sebelumnya serta psikososial yang
menyertai kehidupan lansia.
Geriatrimerupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala
aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis yaitu berkenaan dengan
ilmu biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat
hidup seperti jaringan, organ atau sel, psikologis yaitu berkaitan dengan ilmu
psikologis yang mempelajari proses-proses mental baik yang normal maupun
abnormal dan pengaruhnya terhadap perilaku, sosial, kultural, ekonomi dan
lain-lain.Gerontologi dalam pengembangan keilmuan mempunyai dua pilar yang
saling berhubungan yakni kesehatan di satu sisi dan sosial di sisi yang lain.
2.2.1. Peran Kerja Terapan Gerontologi
Administrasi dan Kebijakan:
Melakukan analisis program yang sedang dilakukan,
Mengkoordinasi kegiatan dalam organisasi atau dengan organisasi
lainnya,
Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan akan
pelayanan kesehatan bagi kaum lansia.
Ruang Lingkup Kerja:
19
Pusat Senior
Pensiunan Masyarakat
Perawatan Hari Tua/ Program Kesehatan
Penelitian
Universitas
Instansi Pemerintah
Fasilitas Kesehatan
Rumah Sakit
Panti Jompo
Diagnostik
Klinik Masyarakat
Departemen Pelayanan Sosial
Pusat Senior
2.2.2. Layanan Langsung
Mengatur dan menyediakan kebutuhan akses klien
Memberikan pelayanan langsung kepada klien yang lebih tua dan
keluarga
Mengkoordinasikan pelayanan dengan instansi dan lembaga
20
Bekerja untuk memastikan klien yang lebih tua dan keluarga
mereka bahwa layanan yang sesuai dan berkualitas tinggi
Mengevaluasi dan memodifikasi layanan yang diperlukan
Melakukan penjangkauan untuk memperluas dan meningkatkan
basis klien
Pendidikan dan Pelatihan
Merencanakan dan melaksanakan program-program pendidikan
untuk orang yang lebih tua, pengasuh dan keluarga mereka
Merencanakan dan melakukan program pendidikan berkelanjutan
untuk para profesional yang tertarik dalam melayani kaum lansia
Program antargenerasi
Perencanaan program kerja, fasilitas dan evaluasi
Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat
Menentukan tingkat dan waktu dari dana yangdiperlukan
Menentukan rencana evaluasi untuk program kelanjutan
Berkonsultasi dengan badan-badan dan program lain
Berkoordinasi dengan program lain
Penelitian
Mengatur dan melaksanakan evaluasi dan studi akademis untuk
21 2.3. Fasilitas Untuk Manula
Pengaturan lingkungan saat ini lebih banyak didedikasikan untuk kaum
muda dan kaum paruh baya, sedangkan keberadaan lansia sepertinya
terabaikan. Rasa terabaikan yang dirasakan kaum lansia tersebut dapat
mempengaruhi aspek psikologis mereka dimana hal tersebut membawa
pengaruh serius bagi kesehetan mental mereka, apalagi kaum lansia pada
umumnya mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi untuk melakukan
aktivitas. Mereka juga tidak mandiri secara sosial dan memiliki gaya hidup yang
terbatas. Dengan mengetahui hal-hal yang diperlukan kaum lansia saja, barulah
dapat dihasilkan perencanaan, program arsitektur, dan desain yang baik untuk
dapat menunjang aktivitas mereka.
kebutuhannya lebih kepada aspek kegiatan.
3. Layanan pendampingan hidup (assisted living), untuk mereka yang
membutuhkan penanganan khusus.
4. Hunian (residential care), untuk mereka yang memutuskan untuk
22 2.3.2. Fasilitas Non-Institusional
Fasilitas non-institusional merupakan salah satu fasilitas pelayanan
dengan bentuk perlakuan khusus untuk memperlancar dan mempermudah
mobilitas kaum lansia, meliputi jasa pelayanan sehari-hari seperti layanan
antaran makanan, pencucian baju bahkan fasilitas untuk berolahraga maupun
hiburan.Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk perencanaan
fasilitas non-institusional bagi lansia.Salah satu faktor penting adalah akses
transportasi yang dapat dijangkau oleh kaum lansia.Tidak hanya itu, fasilitas
gedung didesain khusus dengan mengutamakan keselamatan lansia saat
melakukan aktivitasnya.
2.4. Pertimbangan Desain untuk Manula
Desain fasilitas rumah perawatan bagi lansia juga harus memberikan
pilihan dan kebutuhan akan kontrol. Lokasi fasilitas tersebut harus dapat
dijangkau dan berada dekat dengan masyarakat untuk memudahkan penghuni
memilih beragam fasilitas lingkungan yang tersedia, misalnya toko serbaguna,
gedung pertunjukan, rumah makan, dan lain-lain. Tidak hanya itu, pilihan juga
perlu diberikan sehingga fasilitas hunian memiliki bermacam-macam tipe ruang
yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan khusus, misalnya rekreasi, privasi,
aktivitas dyadic (percakapan berdua) sampai kepada aktivitas kelompok besar.
Untuk memberikan pilihan, kondisi fisik dari fasilitas harus sesuai dan
23 penghuni, misalnya ketika ruang rekreasi yang besar ditempati sedikit penghuni
maka interaksi yang tercipta akan rendah. Desain koridor yang panjang
membuat lansia menjadi malas bergerak untuk menyusurinya.
Hal penting yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam desain
bagi kaum lansia adalah bahwa mereka heterogen dan tidak homogen. Yang
homogen hanyalah usia dan masalah kesehatannya, namun faktanya kaum
lansia memiliki bermacam – macam keluhan dan kebutuhannya. Beberapa kaum lansia mengalami masalah kesehatan seperti pendengaran, penglihatan,
serta kemampuan motorik. Ada juga yang mengalami masalah psikologis
seperti menarik diri, pikun, dan lain-lain dan yang lainnya relatif tidak
bermasalah. Inilah yang menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan melalui
penciptaan desain yang ditinjau kenyamanannya.
Nyaman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah segar; sehat.
Sedangkan kenyamanan adalah keadaan nyaman; kesegaran; kesejukan.Dan
kenyamanan sebuah bangunan diatur dalam Undang- Undang RI No. 28 Tahun
2002 Tanggal 16 Desember 2002, Bagian Keempat Pasal 26 ayat 1 sampai
dengan ayat 7.
Undang- Undang RI No. 28 Tahun 2002 tentang Persyaratan Kendala
Bangunan Gedung, Paragraf 4 pasal 26 yaitu ayat (1) Persyaratan kenyamanan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) sampai
dengan ayat (6) meliputi kenyamanan ruang gerak, dan hubungan antar ruang,
24 kebisingan. Hal- hal tersebut menjadi syarat minimal kenyamanan sebuah
gedung, terlebih bagi sebuah bangunan panti jompo.
2.4.1. Kenyamanan Ruang Gerak
Seperti disebutkan dalam pasal 26 ayat (2) yaitu tentang Kenyamanan
Ruang Gerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kenyamanan
yang diperoleh dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan
kenyamanan bergerak dalam ruang.
Ayat ini menjelaskan bagaimana dimensi ruang yang benar dan tata letak
ruang atau organisasi ruang yang tepat dalam hal ini khususnya ruang kumpul,
sehingga manula sebagai pengguna dapat bergerak dengan nyaman dalam
ruangan. Baik manula dengan kursi roda, dengan alat bantu jalan atau manula
dengan kondisi normal.
Dimensi ruang yang dimaksud diatas adalah berapa lebar, panjang dan
tinggi ruang yang dibutuhkan untuk sebuah ruang agar manula khususnya dapat
bergerak leluasa contohnya untuk kamar tidur untuk satu orang adalah 7m², dan
kamar tidur untuk dua orang yaitu 12m². Menurut Ernst Neufert untuk ruang
kumpul atau ruang duduk dengan aktifitas, nonton, membaca atau melakukan
hobi seperti kerajinan tangan, luas ruang bersama untuk tiap orang
diperhitungkan minimal 1,9 m².
Sedangkan selain dimensi ruang, diatur juga mengenai penataan ruang untuk
25 biasanya terdapat sofa/kursi, meja, dan rak televisi/ buku, maka menurut Julius
Panero jarak yang dibutuhkan antara sofa/kursi dengan meja minimal adalah
45,7 cm dan maksimalnya 91,4 cm agar manula dengan kursi roda dapat
bergerak diantaranya dengan nyaman.
2.4.2. Kenyamanan Hubungan Antar Ruang
Seperti disebutkan dalam pasal 26 ayat (3) yaitu tentang Kenyamanan
Hubungan Antar Ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
kenyamanan yang diperoleh dari tata letak ruang dan sirkulasi antar ruang
dalam bangunan gedung untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
Maksud dari ayat tersebut adalah kenyamanan yang diperoleh dari tata letak
ruang atau organisasi ruang dan kenyamanan yang diperoleh dari kemudahan
mencapai ruang lain atau bangunan lain melalui sirkulasi ruang horizontal
maupun vertikal.
Dalam perencanaan sebuah fasilitas dalam hal ini panti jompo khususnya,
kebutuhan ruang akan menentukan bagaimana organisasi ruang sesuai
kebutuhannya. Contohnya seperti gambar dibawah ini sebaiknya ruang tidur,
kamar mandi, ruang makan, dan ruang kumpul jaraknya tidak terlalu berjauhan.
Karena ruang- ruang tersebut adalah ruang yang sering dipergunakan oleh
26
Gambar 4: Hubungan Antar Ruang di Wisma Panti Jompo
Sumber: Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.II No.2 Tahun 2010/2011 ISSN 2301-6507
Selain masalah organisasi ruang, ayat ini mengatur masalah sirkulasi antar
ruang, yang tersiri dari sirkulasi ruang secara horizontal maupun vertikal. Yang
dimaksud dengan sirkulasi ruang horizontal adalah koridor, landaian atau
tanjakan akses juga tangga. Sedangkan sirkulasi vertikal adalah lift atau
eskalator, fasilitas tersebut khususnya lift dibutuhkan apabila gedung terdiri dari
empat lantai. Menurut Julius Panero, bagi sirkulasi horizontal ukuran yang
dibutuhkan adalah:
1. Lebar minimal koridor yang dibutuhkan untuk satu jalur adalah 91,4
cm, koridor dengan lebar sekian dapat dilalui oleh manula dengan kursi
roda. Sedangkan lebar minimal koridor untuk dua jalur adalah 42 inci
(106,7 cm), sedangkan untuk lebar maksimal adalah 60 inci (152,4 cm),
dengan lebar tersebut dapat dilalui oleh manula dengan kursi roda,
manula dengan alat bantu jalan maupun manula dengan keadaan
normal.
2. Sedangkan dimensi pintu untuk manula dalam berbagai kondisi baik
normal maupun berkursi roda yaitu dengan lebar pintu selebar 32 inci
(81,3 cm), dengan ketinggian 210 cm.
27 3. Untuk ukuran tangga yang diperlukan dengan dua jalur adalah 68 inci
(172,7 cm). Dengan ukuran pelangkah selebar 30 cm, penaik 16 cm dan
pada setiap pinggiran anak tangga diberi garis warna yang berbeda. Juga
dilengkapi dengan reilling dikedua sisi tangga. Untuk tinggi reilling sendiri
yaitu 30-34 inci (76,2-86,4 cm). Sedangkan untuk jarak reilling dengan
dinding minimal 2 inci atau 5,1 cm, dan tebal reillingnya sendiri
berdiameter 1,5 inci atau 3,8 cm.
4. Landaian atau lebih dikenal dengan tanjakan akses sangat diperlukan
untuk akses bangunan bagi orang cacat atau manula. Ramp ini dapat
dilalui oleh manula dengan kursi roda maupun alat bantu jalan. Panjang
maksimal untuk ramp ini adalah 30 kaki atau setara dengan 9 m. Dengan
kemiringan 1:12. Landaian ini juga wajib dilengkapi dengan 2 reilling
dengan ketinggian yang berbeda. Untuk reilling bawah setinggi 18-20 inci
atau setara dengan 45,7-50,8 cm, sedang untuk reilling atas setinggi
33-34 inci atau setara dengan 83,8-86,4 cm. Reiling bagian bawah
diperuntukkan untuk mempermudah manula atau orang cacat dengan
kursi roda.
Penempatan atau pemasangan reilling sangat diperlukan sepanjang jalur
atau ruang yang sering dilalui atau digunakan manula. Selain
kenyamanan, keamanan bergerak pun harus diperhatikan menurut NSA
(National Institute of Aging) jalan yang dilalui manula harus teratur,
28 terekat kuat dilantai dan memiliki tekstur yang kasar dan tidak berjumbai,
hal ini diperlukan untuk mengurangi resiko kecelakaan khususnya
dirumah. Sehingga manula selain nyaman, manula pun aman bergerak
dalam bangunan tersebut.
2.4.3. Kenyamanan Kondisi Udara
Seperti disebutkan dalam pasal 26 ayat (4) yaitu tentang Kenyamanan
Kondisi Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat
kenyamanan yang diperoleh dari temperatur dan kelembaban didalam ruang
untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
Ayat diatas menerangkan tentang suhu dan kelembaban yang tepat agar
mendapatkan kenyamanan. Suhu yang nyaman untuk tubuh kita adalah antara
antara 18° C-25 °C. Sedangkan mengenai kelembapan suatu ruang tergantung
dari derajat kelembapan udara diluar dan tujuan penggunaan ruang itu sendiri.
Kelembapan yang nyaman ada disekitar 40%-70%. Lazimnya pengaturan
kelembaban dalam sebuah rumah tinggal tidak terlalu diperlukan, berbeda
dengan bangunan yang lebih besar seperti pabrik atau perkantoran besar
dimana terdapat banyak orang beraktifitas.
Menurut Ernst Neufert tingkat suhu udara dalam ruang sangat tergantung
pada kegiatan penghuninya dan jenis pakaian yang dikenakan. Juga tergantung
pada kecepatan pergerakan udara dan hembusan udara tersebut. Selain suhu
29 Besarnya ventilasi udara perlu diperhatikan, tapi tentu saja berdasarkan dengan
kegiatan penghuni didalamnya dan lokasi bangunan tersebut apakah terdapat
banyak polusi udara atau bebauan yang dapat berasal dari emisi kendaraan,
asap pabrik, atau asap rokok.
Suhu, kelembapan dan sirkulasi udara perlu sangat diperhatikan karena
hal tersebut dapat berpengaruh pada kesehatan penghuninya.
2.4.4. Kenyamanan Pandangan
Seperti disebutkan dalam pasal 26 ayat (5) yaitu tentang Kenyamanan
Pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kondisi dimana
hak pribadi orang dalam melaksanakan kegiatan didalam bangunan gedungnya
tidak terganggu dari bangunan gedung lain disekitarnya.
Ayat ini menjelaskan bahwa kenyamanan pandangan dapat diwujudkan
melalui gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang dalam dan
ruang luar bangunan, serta dengan memanfaatkan potensi ruang luar
bangunan, ruang terbuka hijau alami atau buatan, termasuk pencegahan
terhadap gangguan silau dan pantulan sinar. Selain itu pemilihan warna dan
material baik terhadap elemen interior seperti dinding, lantai, dan atap maupun
terhadap furnitur, juga pencahayaan dapat menjadi penentu bagaimana
mewujudkan pandangan yang nyaman.
Pencahayaan dapat berasal dari pencahayaan alami (sinar matahari) dan
30 membaca, mengerjakan hobi maupun menonton dibutuhkan 120-250 lux.
Warna dan material pun dapat menjadi penentu pencahayaan sebuah ruang
karena warna dan material dapat memantulkan cahaya. Menurut Mangunwijaya
semakin muda atau mendekati putih warna elemen atau furnitur ,maka
penerangan ruangan semakin baik, karena cahaya yang dipantulkannya
semakin tinggi. Selain itu warna dapat memberikan efek psikologis bagi yang
melihatnya, seperti kesan hangat, dingin, atau segar. Tata letak ruang pun
memiliki andil dalam memberikan kenyamanan pandangan, misalnya apakah
dari ruang tersebut anda dapat melihat ruang lain tanpa terhalang elemen
interior atau furnitur pada ruang tersebut.
2.4.5. Kenyamanan Kondisi Tingkat Getaran dan Kebisingan
Seperti disebutkan dalam pasal 26 ayat (6) yaitu tentang Kenyamanan
Tingkat Getaran dan Kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh suatu keadaan yang tidak
mengakibatkan pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran
atau kebisingan yang timbul baik dari dalam gedung atau lingkungannya.
Ayat tersebut mengatur jangan sampai kebisingan atau getaran gedung
tersebut mengganggu kenyamanan dan kesehatan penghuni lain. Untuk
ruangan dalam rumah normal, sebaiknya tidak melebihi 20-30 db. Sedangkan
31 frekuensi tersebut telah memasuki batas 20-30 Hz, maka getaran
tersebut telah dapat didengar sebagai bunyi.
Tingkat kebisingan dan getaran bangunan dapat dipengaruhi oleh banyak
hal salah satunya lokasi, kegiatan penghuni, juga material yang dapat
menghasilkan atau meredam suara pada bangunan atau ruang tersebut. Selain
ketentuan kenyamanan yang telah dibahas diatas, banyak hal yang perlu
diperhatikan agar dapat menciptakan kenyamanan yang maksimal. Salah
satunya adalah pemilihan warna, material, pola baik pada elemen maupun
furniture, semua hal tersebut butuh perlakuan khusus karena pengguna dari
panti ini adalah manula dengan kebutuhan khusus.
Gambar 5 :Ukuran tubuh manusia dengan semua benda
32 Salah satu contohnya menurut Ernest Neufert, tinggi meja makan untuk
manula yaitu 70 cm, kursi untuk duduk santai agar kaki dapat menapak ke lantai
yaitu berkisar antara 40-43 cm, dengan lebar antara 41-47 cm tinggi lengan
kursi 23 cm dengan sudut kemiringan 28°.
Penjelasan tadi adalah satu dari sekian ukuran furnitur yang didesain khusus
untuk kenyamanan manula. Pemilihan furniture harus sesuai dengan
anthopometri manula, karena tubuh manula tidak sama lagi dengan manusia
yang lebih muda contohnya, hal tersebut disebabkan pengurangan masa otot.
Gambar 6 :Ukuran tubuh manusia dengan semua benda
33 BAB III
KONSEP PERENCANAAN PUSAT GERONTOLOGI
3.1 Deskripsi Proyek
Judul proyek : Pusat Gerontologi Sebagai
Fasilitas Penunjang Rekreasi
dan Sosial di Jawa Barat
Sifat : Fiktif
Pengelola : Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial
Orientasi proyek : Rekreasi dan Sosialisasi
Sasaran pengguna : Warga Lanjut Usia
3.2 Pengguna Bangunan
Pengguna bangunan Pusat Gerontologi di Jawa Barat dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Pengunjung Pusat Gerontologi
Pengunjung Pusat Gerontologi di Jawa Barat umumnya
adalah warga lanjut usiayang memiliki tujuan untuk mendapatkan
pelayanan melalui program-program yang diadakan oleh pusat
gerontologi sendiri seperti Day Care Service, Home Care Service
34 olahraga, restoran, taman maupun hunian sementara layaknya
pondok penginapan.
2. Pengurus Pusat Gerontologi
Kelompok pengurus pusat gerontologi terbagi menjadi dua,
yaitu pengurus di area front office seperti pegawai resepsionis,
pegawai informasi yang berhubungan langsung dengan
pengunjung, dan juga pengurus di area back office yang meliputi
ahli gerontologi, tenaga medis, maupun administrasi.
3.3 Struktur Organisasi Pusat Gerontologi Indonesia
Pembagian Tugas Pengelola Pusat Gerontologi 1. Tugas kepala pusat gerontologi
Melakukan koordinasi manajerial antar bagian atau kelompok
tenaga fungsional dalam organisasi pengelolaan,
Melakukan pembagian tugas kerja,
Kepala Pusat Gerontologi
Bagian Umum Seksi Perawatan
Bagian Medis
Seksi Bimbingan dan Penyaluran
Gambar 7 : Struktur Organisasi
35
Melakukan pembinaan serta pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan pusat gerontologi,
Mengadakan rapat kerja.
2. Tugas bagian medis
Terdiri dari:
Seksi Perawatan, dimana di dalamnya merupakan tenaga
ahli kesehatan seperti ahli gerontologi, dokter, perawat,
maupun psikolog yang bertugas secara langsung
menangani kesehatan fisik maupun mental pasien,.
Seksi Bimbingan dan Penyaluran, bertugas bersama-sama
dengan bagian perawatan dalam mengamati, meneliti serta
mengevaluasi kondisi lansia dalam masa perawatan yang
dilakukannya dan memasyarakatkan program-program di
pusat gerontologi dengan mengikuti kegiatan-kegiatan rutin
yang bersifat sosial baik di dalam pusat gerontologi
maupun di luar.
3. Tugas bagian umum
Mengelola keuangan,kepegawaian dan rumah tangga pusat
gerontologi,
Mencatat segala yang dibutuhkan untuk mendukung program
kerja dalam pusat gerontologi,
Melayani kebutuhan pengguna (lansia/ pengunjung pusat
gerontologi) maupun pengurus dalam melaksanakan aktifitas
36 3.4 Alur Sirkulasi
Alur Sirkulasi Pengelola
Alur Sirkulasi Pengunjung
Main Enterence Side Enterance
Lobby Kantor Ruang Rapat
Ruang Administrasi
Gambar 8 : Alur Sirkulasi Pengelola
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 9 : Alur Sirkulasi Pengunjung
37 Alur Sikulasi Barang
3.5. Studi Image Terkait Gagasan Awal Perancangan
Side Enterance
Ruang Administrasi Ruang
Penyimpanan
Laboratorium (obat-obatan)
Farmasi
Loading Dock
Gambar 11 :Ruang Aktivitas Bersama di Panti Jompo Eben Haezer, Lembang - Bandung
Gambar 12 :Huntersville Oaks Nursing Facility- Huntersville, NC
Gambar 10 : Alur Sirkulasi Barang
38
Gambar 13 : Somers Manor Nursing Home Somers, NY
Gambar 14 : Ruang Rawat PSTW Paku Tandang
39
Gambar 16 : Koridor di PSTW Paku Tandang
40 BAB IV
KONSEP PERANCANGAN
4.1. TUJUAN PERANCANGAN
Tujuan dari perancangan Pusat Gerontologi di Jawa Barat merupakan
sebuah fasilitas kesehatan berupa hunian bagi kaum lansia agar dapat
terlihat lebih nyaman serta fungsional. Untuk menciptakan kesan tersebut
maka diperlukan beberapa faktor, yaitu:
Sirkulasi
4.2. TEMA DAN KONSEP PERANCANGAN
TEMA PERANCANGAN
Tema perancangan yang diambil adalah “HUNIAN SEGAR” dimana kata
kunci segar, hijau, dinamis dan alami/ natural diterapkan pada interior
bangunannya. Tema ini diaplikasikan untuk memberikan rasa tenang, segar
dan nyaman bagi pengunjung Pusat Gerontologi
Gambar 18 : Resort & Spa Maldievs Gambar 19 : Luxurious Resort In Maldievs
41 khususnya kaum lansia sehingga merekapun bisa leluasa merasakan
interaksi langsung dengan alam sekitar.
KONSEP PERANCANGAN
Dari tema yang diambil maka konsep yang diterapkan adalah
Kontemporer, dimana pengaplikasian kata kunci natural ditempatkan untuk
aspek warna pada interiornya dan gaya contemporer merupakan
penggayaan desain yang tidak keras dan kaku, bersih, rapi dan nyaman.
1.2.1. KONSEP SIRKULASI
Pada konsep sirkulasi digunakan beberapa jenis sistem sirkulasi adalah:
Ramp dan elevator untuk kemudahan, kenyamanan dan kelancaran
akses dalam massa bangunan bertingkat.
Tangga dengan tujuan mengajak pengguna untuk meningkatkan
kondisi kesehatan dan memberikan pengalaman ruang yang berbeda.
42 1.2.2. KONSEP BENTUK
Menyesuaikan dengan konsep perancangan, bentuk yang akan diterapkan
atau diaplikasikan adalah bentukan yang mengarah pada bentuk
kontemporer yang tidak keras dan kaku atau dinamis.
1.2.3. KONSEP MATERIAL
Beberapa karakteristik material yang akan diterapkan dalam perancangan
ini:
Bersifat natural yaitu dengan menonjolkan sifat alam yang dimiliki
material tersebut seperti material bambu, batu alam, rotan dan kayu
yang didapat langsung dari alam, yang tidak
Gambar 21 : Ruang Aktivitas Bersama Pusat Gerontologi
43 banyak melalui proses pengolahan, sehingga dapat menampilkan
keindahan ekspresi material
Menggunakan material yang ramah lingkungan
1.2.4. KONSEP WARNA
Untuk mengangkat karakteristik pusat gerontologi dengan tema “Hunian
Segar” dan dengan konsep penggayaan yang kontemporer, maka digunakan
warna-warna yang alami. Warna-warna tersebut diadopsi dari warna-warna
yang berasal dari alam di sekitarnya. Dengan warna tersebut kesan yang
dapat ditimbulkan adalah kesan yang segar dan nyaman bagi penghuninya.
1.2.5. KONSEP PENCAHAYAAN
Konsep pencahayaan yang digunakan tetap perlu disesuaikan dengan
mempertimbangkan kenyamanan penglihatan untuk para lansia. Jenis
pencahayaan dibagi menjadi dua, yaitu :
Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami yang berasal dari cahaya yang berasal dari alam
(sinar matahari), dimaksimalkan penggunaannya pada ruang-ruang
44 dan sistem ini juga merupakan sistem yang paling efektif untuk
menghemat energi.
Pencahayaan Buatan
Pencahayaan buatan diefektifkan pada malam hari dengan
menggunakan jenis cahaya day light untuk mendukung aktivitas
penghuni dan warm light untuk memberikan kesan nyaman dan
tenang yang diterapkan sebagai lampu tidur.
Gambar 23: Hotel Kayu Manis Nusa Dua Bali
Gambar 22 : Jendela Kamar Tidur
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 24: Ceiling Wood Paneling
45 4.2.6. KONSEP PENGHAWAAN
a. Penghawaan Alami
Penghawaan alami akan diterapkan dan diolah secara optimal dengan cara
mengatur bukaan-bukaan antara ruang dalam dan luar, memperlancar aliran
udara dengan membuat ventilasi.
b. Penghawaan Buatan
Sistem penghawaan yang digunakan ialah sistem air conditioning. Sistem ini
diaplikasikan pada area-area private seperti guestroom dan office.
Sedangkan untuk hampir seluruh area digunakan Air Diffuser.
Gambar 25: Como Uma Ubud Resort in Bali
Sumber: b3-bond.com
46 Jenis sistem yang akan dipakai untuk ruangan-ruangan area dapur, toilet dan
binatu, diantaranya :
Exhaust Fan
Digunakan pada area servis yang berfungsi sebagai ventilasi bagi
udara kotor, bau, maupun panas.
Local Fun
Yang berfungsi untuk menukar udara kotor dalam ruangan dengan
udara bersih di luar ruangan
1.2.7. KONSEP KEAMANAN
Konsep Pencegahan Kebakaran
Sistem penanggulangan dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran
47 yang tinggi kepada pengguna hotel terutama pengunjung. Selain itu,
sistem pengamanan ini dapat mengurangi kerugian materil apabila
terjadi kebakaran.
Sistem pencegahan dan pemadaman kebakaran terbagi menjadi dua
bagian :
a) Sistem pencegahan aktif
- Fire hydrant, biasanya diletakkan pada daerah strategis
seperti koridor, daerah publik dan unit-unit kamar
- Fire extinguisher, berupa tabung yang berisi gas
karbonmonoksida, buih yang diletakkan pada koridor dan
daerah publik
- Fire sprinkler, yaitu alat pemadam kebakaran yang bekerja
secara penuh dan otomatis, yang pada suhu tertentu akan
mengeluarkan air yang diletakkan pada hampir semua
ruang di area pusat gerontologi, kecuali ruang genset
- Smoke detector dan fire detector
- Fire alarm, yang diletakkan di koridor
b) Sistem pencegahan pasif
- Tangga darurat dengan pintu yang berbahan tahan api.
Biasanya berjarak maksimal 25 meter dari titik ruang terjauh
- Membuat minimal dua pintu dengan bukaan dua arah pada
ruang pertemuan, serta ruang-ruang pelayanan yang
menampung banyak orang
48 Jenis alat bantu evakuasi antara lain :
- Lampu darurat
- Pintu darurat
- Tangga darurat
- Sistem pengendalian asap
- Komunikasi darurat (alarm, sinyal, sirine, telepon darurat,
dll)
- Penunjuk arah tangga kebakaran (sign system), diletakan di