• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pendapatan Dan Harga Pangan Terhadap Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga Di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pendapatan Dan Harga Pangan Terhadap Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga Di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGA DI PROVINSI JAWA BARAT

ASTARI MIRANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pendapatan dan Harga Pangan terhadap Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)
(5)

ASTARI MIRANTI. Pengaruh Pendapatan dan Harga Pangan terhadap Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan HARIANTO.

Isu pangan, termasuk isu ketahanan pangan, merupakan salah satu permasalahan pertanian yang terus berusaha dicapai oleh masyarakat Indonesia. Pemerintah global dan institusi terkait pangan tidak hanya memperhatikan masalah kelaparan namun juga masalah kelaparan tersembunyi. Defisiensi mikronutrien memberikan beban yang besar pada penderitanya dan masyarakat, yaitu berupa biaya kesehatan dan dampak negatif pada sumber daya manusia dan mengurangi produktivitas ekonomi. Adapun cara yang paling efektif untuk mencegah kelaparan tersembunyi adalah dengan meningkatkan diversifikasi pangan.

Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak yang masuk kategori rawan pangan dan sangat rawan pangan adalah Provinsi Jawa Barat, yaitu masing-masing mencapai 15 554 636 dan 7 919 360 orang penduduk (BKP 2015). Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis pola alokasi pengeluaran pangan rumah tangga; (2) mengestimasi tingkat diversifikasi pangan rumah tangga; (3) menganasilisis pengaruh pendapatan rumah tangga dan harga pangan terhadap tingkat diversifikasi pangan rumah tangga; dan (4) menganalisis permintaan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data SUSENAS Konsumsi dan Pengeluaran tahun 2015. Data tersebut dianalisis menggunakan indeks Berry dan linear Almost Ideal Demand System (LA/AIDS).

Penelitian ini menemukan bahwa pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat masih rendah, sebab rata-rata food share mereka masih lebih dari 60.00 persen. Rumah tangga di perkotaan paling banyak mengeluarkan konsumsi pangan untuk kelompok makanan dan minuman jadi, sedangkan rumah tangga perdesaan pada kelompok padi-padian. Pengeluaran untuk kelompok padi-padian dan tembakau & sirih pada rumah tangga perdesaan lebih tinggi daripada rumah tangga perkotaan. Sebaliknya, pengeluaran untuk kelompok ikan, daging, buah, dan makanan & minuman jadi rumah tangga perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Secara umum, rata-rata indeks Berry rumah tangga perkotaan dan perdesaan tidak jauh berbeda. Hasil ini dapat diinterpretasikan kedua rumah tangga tersebut mengonsumsi kelompok pangan yang sama. Indeks Berry akan meningkat seiring peningkatan pendapatan, namun setelah tingkat pendapatan per kapita tertentu nilai indeks Berry akan menurun yang diakibatkan oleh informasi dari data yang tidak lengkap. Meskipun berdasarkan pengeluaran pangan rumah tangga telah memiliki diversifikasi pangan yang tinggi, namun sumber kalori mereka masih didominasi oleh beras.

Pangan yang secara umum memengaruhi tingkat diversifikasi pangan adalah harga beras. Rumah tangga perkotaan memiliki tingkat diversifikasi pangan yang lebih tinggi daripada perdesaan disebabkan harga beras rata-rata di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaan. Perubahan pendapatan dan harga pangan tidak memengaruhi permintaan pangan secara signifikan, karena hampir semua variabel yang digunakan merupakan barang pokok (barang inelastis) bagi rumah tangga di Provinsi Jawa Barat.

(6)

Diversification Level in Province of West Java. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and HARIANTO.

Food issue, including food security issue, is a part of agriculture concern, which has been continuously strived to achieve for Indonesian people. Global governments and food-related institutions are not concern just about people starvation, but also hidden hunger. Micronutrient deficiency gives big burden to the affected persons and societies, both in terms of health costs and negatively impacts in lost human capital and reduced economic productivity. Therefore hidden hunger must be prevented, such as by diversify their daily diet. How household decides their food diversification depends on their food share allocation pattern and food demand.

West Java is the province in Indonesia with the largest population categorized as food insecure and very insecure, which respectively reached 15,554,636 and 7,919,360 people (BKP 2015). The objectives of this research are (1) to analyze household food share allocation pattern in West Java Province; (2) to estimate household’s food diversification level; (3) to analyze the influence of household income and food prices on household food diversification level in Province of West Java; and (4) to analyze household food demand in West Java Province. This research use SUSENAS (National Socio-Economic Survey) Consumption and Expenditure 2015’s data. The data were analyzed using Berry index and linear Almost Ideal Demand System (LA/AIDS).

This study found that household income is still low because their food share are still more than 60.00 percent. Urban households most consume products of cooked food and beverage group, while rural households most consume the grain group. The expenditure on the groups of cereal and tobacco & betel on rural households was higher than urban households. In contrast, spending on groups of fish, meat, fruits, and cooked food & beverage on urban households was higher than rural households.

In general, the average Berry index of households in urban and rural areas are not much different. This result can be interpreted as both households consummate the same kind of foods/food groups. Berry index will increase with the increase in revenue, but after a certain income per capita level it will decline as a result of incomplete information on the data. Based on food expenditure households in West Java province has had high food diversification, but their source of calories is still dominated by rice.

Food price which generally affects the level of food diversification is the price of rice. Urban households had higher level food diversification than rural households because the average price of rice received by urban households is lower than rural households. Based on LA/AIDS model changes in income and food prices will not significantly affect the household's demand for food, because almost of all variables are basic commodities (inelastic goods) for households in West Java province.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

PENGARUH PENDAPATAN DAN HARGA PANGAN

TERHADAP TINGKAT DIVERSIFIKASI PANGAN RUMAH

TANGGA DI PROVINSI JAWA BARAT

ASTARI MIRANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi Pembimbing : Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS

(11)
(12)

NIM : H453140021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Dr. Ir. Harianto, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

(13)
(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 sampai Agustus 2016 ini ialah diversifikasi pangan rumah tangga, dengan judul Pengaruh Pendapatan dan Harga Pangan terhadap Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat dan Bapak Dr. Ir. Harianto selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran terkait perbaikan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Tiyas Ambarsari dari Badan Pusat Statistik yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga dan teman atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(15)
(16)

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Perumusan Masalah 3

1.3.Tujuan 6

1.4.Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Ekonomi Ketahanan Pangan Rumah Tangga 8

2.2.Ekonomi Diversifikasi Pangan 9

2.3.Faktor-Faktor Determinan Diversifikasi Pangan Rumah Tangga 13

2.4.Model AIDS & Elastisitas Permintaan 14

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1.Kerangka Teoritis 16

3.1.1. Hukum Engel & Hukum Bennet 16

3.1.2. Teori Permintaan & Elastisitas Permintaan 17

3.1.3. Perilaku Konsumen 18

3.2.Kerangka Operasional 20

4. METODOLOGI PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian 22

4.2.Jenis dan Sumber Data 22

4.3.Metode Analisis Data 23

4.3.1. Analisis Pola Alokasi Pengeluaran Pangan Rumah

Tangga 23

4.3.2. Analisis Derajat Diversifikasi Pangan Rumahtangga 23 4.3.3. Elastisitas Pengeluaran dan Elastisitas Harga Produk

Pangan 25

5. GAMBARAN UMUM 29

6. HASIL & PEMBAHASAN

6.1.Pola Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat 31 6.2.Tingkat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat 39 6.3.Pengaruh Pengeluaran dan Harga Pangan terhadap Diversifikasi

Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat 45

6.4.Perubahan Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Akibat

Perubahan Pengeluaran dan Harga Pangan 49

7. SIMPULAN & SARAN

7.1.Simpulan 56

7.2.Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 58

(17)

1. Tingkat inflasi oleh bahan makanan & total inflasi Indonesia

tahun 2014-2015 5

2. Jumlah & persentase penduduk miskin di Indonesia 6 3. Sasaran Pola Pangan Harapan (PPH) Tahun 2010-2015 10

4. Kode golongan per kapita sebulan 23

5. Nilai energi dari 1 kg bahan makanan 24

6. Sebaran harga pangan di perkotaan Povinsi Jawa Barat tahun 2015 29 7. Sebaran harga pangan di perdesaan Povinsi Jawa Barat tahun 2015 30 8. Rata-rata pengeluaran per bulan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat

tahun 2013-2015 (Rupiah) 31

9. Gini ratio Provinsi Jawa Barat & Indonesia tahun 2013-2015 32 10. Rata-rata food share rumah tangga sebulan di Provinsi Jawa Barat

tahun 2013-2015 (%) 32

11. Rata-rata food share sebulan dan kalori harian rumah tangga

berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan di Provinsi Jawa

Barat tahun 2015 33

12. Jumlah persentase rumah tangga berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan dan asupan kalori per hari tahun 2015 34 13. Rata-rata food share rumah tangga berdasarkan kelompok pangan 35 14. Rata-rata nilai indikator berdasarkan kelompok golongan

pengeluaran per kapita sebulan dan Berry index rumah tangga Provinsi

Jawa Barat tahun 2015 40

15. Share pengeluaran pangan rumah tangga perkotaan Provinsi

Jawa Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan 41 16. Share pengeluaran pangan rumah tangga perdesaan Provinsi

Jawa Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan 42 17. Perbandingan nilai Berry index (BI) dengan Berry index yang

dimodifikasi (MBI) 43

18. Share asupan kalori harian rumah tangga perkotaan Provinsi

Jawa Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan 43 19. Share asupan kalori harian rumah tangga perdesaan Provinsi

Jawa Barat berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan 44 20. Hasil regresi model pengaruh pengeluaran dan harga pangan

terhadap tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi

Jawa Barat (variabel tidak bebas adalah BI) 46

21. Hasil regresi model pengaruh pengeluaran dan harga pangan terhadap tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi

Jawa Barat (variabel tidak bebas adalah MBI) 48

22. Nilai elastisitas sendiri dan elastisitas silang model persamaan

double log 50

23. Nilai elastisitas sendiri dan elastisitas silang (berdasarkan parameter

LA/AIDS) 51

24. Nilai elastisitas pengeluaran (berdasarkan parameter LA/AIDS

(18)

1. Perkembangan konsumsi energi dan kualitas konsumsi pangan

penduduk Indonesia tahun 2010-2014 4

2. Siklus kelaparan tersembunyi, kemiskinan dan terhentinya

pembangunan 12

3. Ilustrasi Hukum Bennet 17

4. Pilihan barang pangan dan non pangan bagi konsumen 19 5. Efek pendapatan dan efek substitusi dari penurunan harga q1 20

6. Diagram alir penelitian 21

7. Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat untuk

konsumsi produk kelompok padi-padian 36

8. Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat untuk

konsumsi produk kelompok daging 37

9. Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat untuk

konsumsi produk kelompok buah-buahan 38

10. Persentase share rata-rata rumah tangga di Provinsi Jawa Barat untuk

konsumsi produk kelompok tembakau & sirih 38

11. Tingkat Berry index berdasarkan golongan pengeluaran per kapita

rumah tangga perkotaan dan perdesaan Provinsi Jawa Barat 40

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji ekonometrika model regresi dengan SPSS 21 65

2. Syntax model LA/AIDS dengan SAS 9.1 67

3. Hasil parameter model LA/AIDS tanpa restriksi 72

(19)
(20)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup. Selain untuk bertahan hidup, pangan juga memiliki peran dari sisi budaya, agama, kesehatan, bahkan stabilitas politik dan keamanan suatu negara. Pentingnya pangan bagi manusia menyebabkan ketersediaan dan keterjangkauannya menjadi perhatian dunia. Akibat kurangnya ketersediaan dan/atau sulitnya keterjangkauan (akses) pangan akan menyebabkan terjadinya kelaparan. Untuk mengatasi dan mengurangi jumlah kelaparan, pemerintah di seluruh dunia terus melakukan berbagai upaya untuk mencapai ketahanan pangan.

Jumlah penduduk yang kurang gizi di Indonesia pada periode rata-rata 2014-2016 mencapai 19.4 juta orang (FAO 2015). Tingginya tingkat kelaparan akan menyebabkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial budaya, politik, dan keamanan suatu negara. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, setiap negara akan mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Pemenuhan kecukupan pangan bukan hanya merupakan kewajiban, baik secara moral, sosial, maupun hukum termasuk pemenuhan hak asasi manusia, tetapi juga merupakan investasi pembentukan sumberdaya manusia yang lebih baik di masa datang. Pemenuhan kecukupan pangan merupakan prasyarat bagi pemenuhan hak-hak dasar lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya (BKP [tahun terbit tidak diketahui]). Rumah tangga merupakan unit terkecil pemenuh gizi keluarga, dalam usaha mencapai ketahanan pangan. Timmer et al. (1983) menyatakan bahwa pola konsumsi pangan rumah tangga merupakan variabel primer untuk merumuskan kebijakan pangan guna meningkatkan status nutrisi individu dalam rumah tangga. Prihatin et al. (2012) menyatakan bahwa target akhir dari indikator keberhasilan program kebijakan ketahanan pangan semestinya diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat individu atau rumah tangga sebagai unit terkecil kumpulan individu. Sehingga tidak hanya ketahanan pangan regional dan nasional saja yang perlu ditingkatkan, namun ketahanan pangan rumah tangga pun perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

Permasalahan pangan, termasuk isu ketahanan pangan, juga merupakan bagian dari permasalahan pertanian. Permasalahan pangan nasional hanya dapat diselesaikan dengan dilakukannya perubahan yang terintegrasi dalam sistem pangan nasional. Menurut Subejo et al. (2014) perubahan berbagai komponen pembangunan pertanian yang cepat dan mendasar tersebut secara ringkas diwujudkan melalui revolusi pertanian. Revolusi pertanian ini terdiri atas revolusi sistem produksi, revolusi sistem distribusi pertanian, dan revolusi pola pangan nasional. Salah satu strategi dalam revolusi pola pangan nasional adalah melakukan diversifikasi pangan.

(21)

tangga, yang akan memengaruhi kemampuan rumah tangga untuk melakukan diversifikasi pangan. Jackson (1984) dalam Thiele & Weiss (2003) menyatakan bahwa jumlah produk pangan yang dibeli meningkat seiring dengan peningkatan pengeluaran pangan rumah tangga. Dengan menggunakan asumsi pengeluaran sebagai proxy pendapatan rumah tangga, maka hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi diversifikasi pangan rumah tangga. Selain itu, harga pangan turut memengaruhi pendapatan riil rumah tangga untuk mengonsumsi pangan. Hal ini mengimplikasikan bahwa semakin tinggi harga pangan, pendapatan riil rumah tangga akan menurun dan diversifikasi pangan rumah tangga akan rendah.

Rachman & Ariani (2008) menemukan bahwa rata-rata kualitas konsumsi pangan di Indonesia masih rendah dan kurang terdiversifikasi, masih didominasi pangan sumber karbohidrat, terutama dari padi-padian. Padahal manusia membutuhkan lebih dari 40 jenis zat gizi untuk dapat hidup aktif dan sehat dan tidak ada jenis pangan yang dapat memenuhi semua kebutuhan zat gizi tersebut. Defisiensi mikronutrien memberikan beban yang besar pada penderitanya dan masyarakat, yaitu berupa biaya kesehatan dan dampak negatif pada sumber daya manusia dan mengurangi produktivitas ekonomi. Hal ini dikarenakan defisiensi mikronutrien mengganggu pertumbuhan fisik dan belajar, membatasi produktivitas, dan akhirnya melanggengkan kemiskinan di suatu siklus yang berkelanjutan. Adapun cara yang paling efektif untuk mencegah kelaparan tersembunyi adalah dengan meningkatkan diversifikasi pangan (IFPRI 2014). Oleh sebab itu, diversifikasi konsumsi pangan merupakan hal penting untuk dilakukan.

Diversifikasi pangan merupakan bagian dari ketahanan pangan, yang selama ini terus diupayakan agar tercapai pada masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan diversifikasi dan ketahanan pangan akan secara langsung memengaruhi gizi dan kesehatan manusia, dan secara tidak langsung memengaruhi sektor ekonomi, ketahanan nasional, serta pembangunan nasional. Oleh sebab itu, Timmer et al. (1983) menyebutkan bahwa isu gizi semakin sering digunakan sebagai tuas untuk memobilisasi upaya pembangunan untuk menangani kemiskinan dan kebutuhan dasar masyarakat miskin.

(22)

golongan miskin, sebab komoditas intervensi hanya dikonsumsi oleh kelompok target (Timmer et al. 1983). Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui pola konsumsi pangan dan pengaruh pendapatan & harga pangan terhadap diversifikasi pangan di Provinsi Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan pangan merupakan permasalahan utama yang menjadi perhatian pemerintah. Tidak terpenuhinya ketersediaan, akses, dan stabilitas terhadap pangan dapat menimbulkan permasalahan ekonomi, sosial-budaya, bahkan dapat mengancam stabilitas negara. Berdasarkan Global Food Security Index oleh The Economist, pada tahun 2015 Indonesia menempati peringkat ke 74 dari 109 negara, dengan skor 46.7/100. Skor tersebut merupakan peningkatan dari skor tahun 2014 sebesar 0.1 (The Economist Intelligence Unit 2015). Rendahnya skor tersebut menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih rendah, sehingga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.

Salah satu sumber permasalahan pangan di Indonesia adalah terlalu bergantungnya masyarakat pada komoditas beras. Berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) Tahun 2012 diketahui bahwa ketersediaan beras untuk kebutuhan pangan Indonesia per kapita mencapai 162.92 kg/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan jenis pangan lainnya. Secara umum ketersediaan pangan lainnya tidak mencapai 20 kg/tahun. Bahkan sumber protein hewani rata-rata tersedia dibawah 1 kg/tahun (BPS 2015). Hal ini menunjukkan bahwa masih terbatasnya konsumsi pangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Ruel (2003) mendefinisikan diversitas pangan sebagai jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi dalam periode waktu tertentu. Konsep ini menunjukkan bahwa untuk mencapai hidup dengan gizi seimbang, rumah tangga harus mengonsumsi beragam pangan dan tidak boleh bertumpu hanya pada sumber karbohidrat saja. Namun, pengertian diversitas pangan di Indonesia bias pada pangan pokok (umumnya sumber karbohidrat), sehingga kebijakan dan program pemerintah menjadi lemah dan terbatas pada diversifikasi pangan pokok saja (Ariani 2010). Oleh sebab itu, penelitian ini akan membahas diversifikasi pangan yang mencakup keseluruhan pangan yang dikonsumsi di Indonesia, tidak hanya terbatas pada pangan sumber karbohidrat saja.

Diversifikasi pangan merupakan salah satu indikator kuantitatif yang dapat menggambarkan ketahanan pangan rumah tangga (Alexandri et al. 2015). Hal ini juga membuktikan bahwa seharusnya upaya mencapai ketahanan pangan tidak hanya berfokus pada komoditas beras, namun juga harus tetap memperhatikan jenis sumber pangan lainnya.

(23)

Sumber: BKP (2015)

Gambar 1 Perkembangan konsumsi energi dan kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia tahun 2010-2014

Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Ariani 2010). Kecukupan konsumsi energi dan protein akan tercapai jika rumah tangga melakukan mengonsumsi berbagai macam pangan (melakukan diversifikasi pangan). Oleh sebab itu, tingkat diversifikasi pangan rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan pemerintah.

Rendahnya diversifikasi pangan dapat menyebabkan permasalahan “kelaparan yang tersembunyi”. Kelaparan tersembunyi, atau defisiensi mikronutrien, salah satunya disebabkan oleh pola makan yang buruk. Hal ini dapat memberikan dampak yang merugikan, menyebabkan gangguan mental, rendahnya kesehatan, produktivitas rendah, bahkan kematian (IFPRI 2014). Hal ini akan menyebabkan besarnya social cost di masa depan. Biaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan seperti itu dapat meningkat tajam jika yang dilakukan adalah pendekatan kuratif (Timmer et al. 1983). Tingkat kelaparan tersembunyi relatif lebih rendah pada negara yang tidak mengandalkan hanya satu pangan pokok saja, seperti di Amerika Latin dan Karibia (IFPRI 2014).

Selain itu, terdapat kerugian ekonomi lain dari ketergantungan konsumsi terhadap beras. Produksi beras yang bersifat musiman menyebabkan harga beras selalu berfluktuatif. Di sisi lain, terjadi peningkatan permintaan terhadap beras sehingga harga beras domestik semakin meningkat dan menyebabkan besarnya sumbangan inflasi oleh pangan (Tabel 1). Untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap beras tersebut dan mengendalikan harga pangan, maka pemerintah melakukan impor beras yang cukup besar sehingga menguras devisa negara. Kerugian ekonomi ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan melakukan

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0

(24)

diversifikasi pangan, sehingga konsumsi pangan rumah tangga tidak bergantung pada komoditas beras saja.

Tabel 1 Tingkat inflasi oleh bahan makanan & total inflasi Indonesia tahun 2014 - 2015

Bulan 2014 2015

Bahan Makanan Total Bahan Makanan Total

Januari 2.77 7.32 0.60 -0.46

Februari 0.36 2.39 -1.47 -1.45

Maret -0.44 1.10 -0.73 1.77

April -1.09 0.39 -0.79 2.76

Mei -0.15 1.40 1.39 3.42

Juni 0.99 3.07 1.60 3.70

Juli 1.94 6.89 2.02 6.42

Agustus 0.36 4.10 0.91 4.02

September -0.17 1.94 -1.07 1.23

Oktober 0.25 3.39 -1.06 0.07

November 2.15 9.57 0.33 1.48

Desember 3.22 16.38 3.20 5.90

Sumber: BPS (2016)

(25)

Tabel 2 Jumlah & persentase penduduk miskin di Indonesia

Tahun Jumlah penduduk miskin (juta orang)

Persentase penduduk miskin (%)

Jawa Barat Indonesia Jawa Barat Indonesia

2010 4.77 31.02 11.27 13.33

2011 4.65 30.02 10.65 12.49

Mar-12 4.48 29.13 10.09 11.96

Sep-12 4.42 28.59 9.89 11.66

Sep-13* 4.38 28.55 9.61 11.47

Sumber: BPS (2013), *: BPS Jabar (2016)

Selain itu, faktor harga pangan turut memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga dalam jangka pendek. Harga pangan menentukan pendapatan riil masyarakat, secara positif bagi net seller pangan dan secara negatif bagi net buyer, yang akan memengaruhi distribusi pendapatan dan investasi pada modal alam, manusia, dan fisik, sehingga memengaruhi terjadinya kemiskinan yang juga berpengaruh pada kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan (Matz et al. 2015).

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang penduduk rawan pangan terbanyak di Indonesia (BKP 2015). Penelitian Wiranthi et al (2014) menyatakan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi urutan ke-3 yang memiliki jumlah rumah tangga terbanyak dengan per adult-equivalent calorie intake di bawah rata-rata referensi dewasa, setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Per adult-equivalent calorie intake merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga. Jumlah rumah tangga yang memiliki nilai per adult-equivalent calorie intake di bawah rata-rata referensi dewasa di Jawa Barat mencapai 10% dari jumlah total rumah tangga. Perbedaan keadaan pembangunan ekonomi daerah akan menyebabkan perbedaan rumah tangga untuk melakukan diversifikasi pangan di Provinsi Jawa Barat, yang dapat dilihat antar tipe wilayah (perkotaan vs perdesaan), dan antar golongan/strata pendapatan rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola alokasi pengeluaran pangan dan tingkat diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat?

2. Bagaimana pengaruh pendapatan dan harga pangan terhadap diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat?

1.3 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis pola alokasi pengeluaran pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat;

(26)

3. Menganalisis pengaruh pendapatan dan harga pangan terhadap diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat; dan

4. Menganalisis perubahan permintaan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat yang terjadi akibat perubahan pendapatan dan harga pangan.

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini mencakup diversifikasi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu data SUSENAS Modul Konsumsi & Pengeluaran 2015. Diversifikasi pangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua jenis komoditas pangan yang dikonsumsi di Indonesia dan tercakup dalam data SUSENAS 2015 (112 komoditas). Adapun keterbatasan dalam penelitian ini antara lain:

1. Komoditas pangan yang digunakan pada penelitian ini dibatasi pada beberapa komoditas pangan saja, yaitu beras, tepung terigu, ketela pohon/singkong, mujair, ikan air laut diawetkan, daging sapi, daging ayam ras, daging diawetkan, telur ayam ras, susu kental manis, sayur sop/capcay, cabe merah, tahu, tempe, jeruk, pepaya, mie instan, dan rokok kretek filter, sedangkan komoditas lainnya dihitung sebagai kelompok sesuai pengelompokkan yang dilakukan oleh BPS;

2. Total pendapatan rumah tangga yang digunakan pada penelitian ini menggunakan pendekatan total pengeluaran rumah tangga, sehingga mengakibatkan underestimation terhadap pendapatan rumah tangga;

3. Harga komoditas pangan yang digunakan pada penelitian ini merupakan nilai implisit yang didapatkan dari pembagian jumlah barang dengan nilai-nya. 4. Analisis permintaan dengan menggunakan model AIDS menggunakan data

(27)

2.

TINJAUAN

PUSTAKA

2.1.Ekonomi Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Peraturan Pemerintah 2015). Ketahanan pangan terwujud ketika semua orang, pada setiap waktu, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet dan preferensi pangan mereka untuk kehidupan yang aktif dan sehat (FAO 2015).

Ketahanan pangan merupakan konsep yang berbeda dengan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Perbedaan tersebut menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Subejo et al. 2014) adalah sebagai berikut:

 Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangan;

 Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, terutama dari kearifan lokal; dan

 Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat.

Kelaparan (hunger) merupakan masalah seorang individu berkaitan dengan distribusi pangan dan pendapatan dalam suatu negara, dan merupakan permasalahan nasional dan internasional yang berkaitan dengan distribusi geografis pangan, pendapatan, dan populasi. Variasi produksi pangan tahunan merupakan masalah yang serius, sebab menyebabkan bencana kelaparan (famine) berkala di satu negara, terutama ketika permasalahan produksi terjadi akibat pergolakan politik atau perang yang menghambat upaya bantuan internasional. Variasi produksi menyebabkan fluktuasi harga (price swing) yang mengurangi ketahanan pangan bagi jutaan orang yang berada di marjin ‘dapat membeli makanan’ (Norton

et al. 2010).

Asumsi utama dalam ketahanan pangan adalah penyediaan kemampuan rumah tangga untuk mencapai kebutuhan pangan mereka, baik kuantitas dan kualitas, tanpa menimbulkan share pendapatan untuk pangan yang besar. Aspek ini dikondisikan melalui instrumen yang membantu meningkatkan dan pemerataan pendapatan, serta biaya relatif pangan. Usaha untuk mengurangi biaya pangan dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas pertanian berdasarkan teknik lingkungan dan sosial yang tepat, mengurangi tingkat kerugian dan pemborosan, menyelesaikan permasalahan bottleneck pada infrastruktur transportasi dan penyimpanan, serta pendekatan produsen dan konsumen di pasar regional (Costa et al. 2013).

(28)

dan tenaga kerja, serta memperburuk gizi. Selain itu, berdasarkan berfluktuasinya hasil panen, usaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan hanya dengan mengandalkan produksi domestik akan mengakibatkan penduduk terpaksa untuk bertahan menghadapi kurangnya pasokan musiman, dan bagi petani, surplus produsennya (Norton 2004).

Ketahanan pangan dapat dievaluasi pada berbagai tingkat, umumnya dilakukan pada tingkat dunia, tingkat nasional, dan tingkat perekonomian mikro, seperti pada tingkat rumah tangga dan individu (Alexandri et al. 2015). Banyak definisi dan konsep model yang menyetujui karakteristik kunci dari ketahanan pangan rumah tangga adalah terjaminnya akses cukupnya pangan setiap saat (Maxwell & Frankenberger 1992).

Konsep ketahanan pangan pada tingkat nasional menekankan pada ketersediaan pangan nasional. Namun, adanya ketersediaan pangan tidak menjamin akses pada pangan, sebab permasalahannya berkaitan dengan distribusi pendapatan masyarakat sehingga memengaruhi akses pada pangan dan ketahanan pangan rumah tangga secara implisit. Hasilnya ketahanan pangan dianggap sebagai permasalahan pada tingkat keluarga dan individu (Alexandri et al. 2015).

Rumah tangga adalah sekelompok manusia yang tinggal bersama dan terlibat dalam ekonomi rumah tangga yang umum, dimana melibatkan hasil produksi berupa kesejahteraan materi beserta pertukaran, distribusi, dan konsumsinya. Rumah tangga, dalam konteks ekonomi, dinilai berhubungan dengan kategori ekonomi lainnya, seperti manufaktur, pertukaran, distribusi, dan konsumsi (Shedenova & Beimisheva 2013).

Prihatin et al. (2012) menyatakan bahwa target akhir dari indikator keberhasilan program kebijakan ketahanan pangan semestinya diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat individu atau rumah tangga sebagai unit terkecil kumpulan individu. Sehingga tidak hanya ketahanan pangan regional dan nasional saja yang perlu ditingkatkan, namun ketahanan pangan rumah tangga pun perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

2.2. Ekonomi Diversifikasi Pangan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (2015), penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Adapun Ruel (2003) mendefinisikan diversitas pangan sebagai jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi dalam periode waktu tertentu. Konsep ini menunjukkan bahwa untuk mencapai hidup dengan gizi seimbang, pangan rumah tangga harus mengonsumsi beragam pangan dan tidak boleh bertumpu hanya pada sumber karbohidrat saja, serta untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang ada.

Peraturan Pemerintah (2015) menjelaskan bahwa penganekaragaman pangan dicapai untuk mencapai tujuan: (1) memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman, (2) mengembangkan usahan pangan, dan/atau (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha penganekaragaman pangan ini akan dilakukan melalui:

(29)

3. Pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pengolahan pangan lokal;

4. Pengenalan jenis pangan baru, termasuk pangan lokal yang belum dimanfaatkan;

5. Pengembangan diversifikasi usahatani dan perikanan;

6. Peningkatan ketersediaan dan akses benih dan bibit tanaman, ternak, dan ikan; 7. Pengoptimalan pemanfaatan lahan, termasuk lahan pekarangan;

8. Penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang pangan; dan 9. Pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal.

Penetapan kaidah penganekaragaman pangan dilakukan dengan berpedoman pada: (1) prinsip gizi seimbang, (2) berbasis sumber daya dan kearifan lokal, (3) ramah lingkungan, dan (4) aman (Peraturan Pemerintah 2015). Diversifikasi pangan merupakan hal penting yang penting untuk dipahami dikarenakan beberapa alasan, yaitu (Thiele & Weiss 2003):

1. Variasi pangan penting bagi nutrisi dan untuk melindungi diri dari penyakit kronis;

2. Mempelajari variasi konsumsi pangan dapat mengungkapkan pola konsumsi yang berguna untuk pemasaran;

3. Peningkatan variasi konsumsi berperan penting dalam proses pertumbuhan dan pembangunan jangka panjang (sudut pandang makroekonomi).

Tabel 3 Sasaran Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010 – 2015

Kelompok pangan 2010 2011 2012 2013 2014 2015

(30)

dan/atau konsumsi pangan) (Subejo et al. 2014). Sasaran PPH tahun 2010 sampai 2015 dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua orang dalam populasi (97.5 persen) menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu (Subejo et al. 2014). Pencapaian proporsi AKG yang mencapai dan tidak melebihi nilai sasaran PPH menunjukkan sudah baiknya konsumsi pangan masyarakat. Selain dari sudut pandang gizi, pencapaian sasaran PPH juga mencerminkan kesejahteraan masyarakat, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi. Acuan yang selama ini dipakai adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke IX pada tahun 2008, yaitu angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) masyarakat Indonesia adalah 2.000 kalori/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari (Ariani 2010). Namun setelah diselenggarakannya WNPD X pada tahun 2012, terjadi peningkatan nilai AKE dan AKP menjadi 2 150 kkal dan 57 gram protein per kapita per hari (Subejo et al. 2014).

Rachman & Ariani (2008) menemukan bahwa beras dan mie lebih popular daripada panganan pokok lokal. Rata-rata kualitas konsumsi pangan di Indonesia masih rendah dan kurang terdiversifikasi, masih didominasi pangan sumber karbohidrat, terutama dari padi-padian. Padahal manusia membutuhkan lebih dari 40 jenis zat gizi untuk dapat hidup aktif dan sehat dan tidak ada jenis pangan yang dapat memenuhi semua kebutuhan zat gizi tersebut.

Defisiensi mikronutrien, atau biasa disebut dengan kelaparan tersembunyi, merupakan suatu bentuk kurang gizi (undernutrition) yang terjadi ketika asupan atau penyerapan vitamin dan mineral terlalu rendah untuk menjaga kesehatan & perkembangan pada anak dan fungsi fisik & mental yang normal pada orang dewasa. Hal ini dapat disebabkan oleh pola makan yang buruk, penyakit, atau tidak tercukupinya kebutuhan mikronutrien saat hamil dan menyusui (IFPRI 2014).

Defisiensi mikronutrien memberikan beban yang besar pada penderitanya dan masyarakat, yaitu berupa biaya kesehatan dan dampak negatif pada sumber daya manusia dan mengurangi produktivitas ekonomi. Hal ini dikarenakan defisiensi mikronutrien mengganggu pertumbuhan fisik dan belajar, membatasi produktivitas, dan akhirnya melanggengkan kemiskinan di suatu siklus yang berkelanjutan (Gambar 2). Biaya ekonomi dari semua bentuk defisiensi mikronutrien sangat besar, dapat mengurangi GDP sebesar 0.7 – 2.0 persen di negara-negara berkembang. Adapun cara yang paling efektif untuk mencegah kelaparan tersembunyi adalah dengan meningkatkan diversifikasi pangan (IFPRI 2014).

(31)

pengembangan sisi suplai aneka ragam pangan melalui pengembangan bisnis pangan. Adapun pada Tahap II difokuskan pada penguatan kampanye nasional diversifikasi konsumsi dan pendidikan gizi seimbang di sekolah dan masyarakat sejak usia dini (Rachman & Ariani 2008).

Sumber: IFPRI (2014)

Gambar 2 Siklus kelaparan tersembunyi, kemiskinan, dan terhentinya pembangunan

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk mewujudkan diversifikasi pangan rumah tangga, namun kebijakan dan program tersebut masih memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan diversifikasi konsumsi pangan masa lalu (Ariani 2010) adalah:

1. Distorsi konsep ke aplikasi, diversifikasi konsumsi pangan bias pada aspek produksi/penyediaan;

2. Penyempitan arti diversifikasi konsumsi pangan bias pada pangan pokok dan energi politik untuk komoditas beras sangat dominan;

3. Koordinasi kurang optimum, tidak ada lembaga yang menangani secara khusus dan berkelanjutan;

Individual:

•Ibu yang kelaparan dan malnutrisi melahirkan anak dengan berat badan kurang pada siklus hidup malnutrisi

•Menurunnya kapasitas fisik dan mental

•Kesehatan terganggu

•Prestasi sekolah buruk

•Miskin, terbatasnya sumber daya ekonomi

•Dialami oleh lebih dari 2 milyar orang di dunia

Angkatan Kerja:

•Mengurangi kapasitas kerja

•Tidak punya pekerjaan atau diupah rendah

•Hilang produktivitas

•Menurunkan ekspektasi hidup

•Menurunkan penerimaan seumur hidup

Pembangunan Ekonomi Nasional:

•Terhambat atau menurunkan pembangunan ekonomi

(32)

4. Kebijakan antara satu departemen dengan departemen lainnya kontra produktif terhadap perwujudan diversifikasi konsumsi pangan;

5. Kebijakan sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi pangan lokal;

6. Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-Bali, fokus pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat;

7. Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat parsial, tidak berkelanjutan, dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama; 8. Kurangnya kemitraan dengan swasta/industri dan LSM; dan

9. Ketidakseimbangan perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk alternatif dengan beras.

Alexandri et al. (2015) meneliti ketahanan pangan rumah tangga pertanian subsisten di Romania, Uni Eropa. Salah satu aspek penelitian yang dilakukan adalah mengevaluasi keragaman pangan responden penelitian, yang diukur menggunakan indeks Berry. Pada rumah tangga pertanian di Romania, akses pada pangan tidak hanya bergantung pada pendapatan rumah tangga, namun juga pada sumberdaya pertanian yang rumah tangga miliki. Hal ini terjadi karena banyak pertanian miskin di Romania berukuran kecil, sulit terkoneksi dengan pasar, dan mayoritas produksi mereka untuk konsumsi sendiri. Aspek diversifikasi pangan di pedesaan ternyata lebih rendah daripada di perkotaan, yang ditunjukkan dari lebih rendahnya konsumsi daging, buah dan sayuran segar di masyarakat pedesaan.

Penelitian Torlesse et al. (2003) menunjukkan hubungan antara harga beras dengan diversifikasi pangan rumah tangga di Bangladesh. Beras merupakan makanan pokok utama di Bangladesh, yang harganya berfluktuasi dipengaruhi oleh masa panen, kondisi cuaca, dan kebijakan pemerintah. Ketika harga beras menurun, rumah tangga akan terus mengonsumsi beras dalam jumlah tetap, sehingga pengeluaran mereka untuk beras akan menurun. Hal ini menyebabkan rumah tangga dapat mengeluarkan lebih banyak uang pada pangan non-beras, sehingga mereka mengonsumsi pangan non-beras lebih sering dan mendiversifikasi gizi mereka.

Penelitian Matz et al. (2015) menunjukkan perbedaan antara rumah tangga di perdesaan dan perkotaan dalam melakukan diversifikasi pangan saat terjadi perubahan harga pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga di perkotaan akan meningkatkan konsumsi gula dan sayuran atau menurunkan konsumsi produk susu dan buahan ketika harga bijian meningkat. Sedangkan rumah tangga di perdesaan akan mendiversifikasi gizi mereka dengan pangan yang tidak normal mereka konsumsi, dimana pangan tersebut memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan teff (makanan pokok masyarakat Ethiopia). Selain itu, rumah tangga yang merupakan net seller akan mendapatkan keuntungan dari harga pangan yang meningkat, yaitu peningkatan pendapatan sehingga mampu mendiversifikasi pangan mereka dengan pangan yang lebih mahal/mewah, dan sebaliknya rumah tangga yang merupakan net buyer akan mengalami penurunan pendapatan riil sehingga harus mengonsumsi pangan yang lebih murah.

2.3. Faktor-Faktor Determinan Diversifikasi Pangan Rumahtangga

(33)

berumur < 40 tahun, rumahtangga dengan kepala rumahtangga petani, dan rumahtangga di daerah pedesaan, meningkatkan diversifikasi gizi rumahtangga. Sebaliknya, semakin berpendidikan kepala rumahtangga dan rumahtangga yang hanya mengonsumsi pangan produksi sendiri memiliki permintaan diversitas pangan yang lebih rendah.

Penelitian Thiele & Weiss (2003) menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Diversifikasi pangan rumahtangga dipengaruhi oleh variasi pendapatan, jumlah anak berumur 7-17 tahun, jenis kelamin dan status (pria lajang membeli produk pangan dengan jenis lebih sedikit), dan daerah tinggal (pangan lebih terdiversifikasi pada rumahtangga di kota besar).

Taruvinga et al. (2013) menemukan bahwa berdasarkan status diversifikasi gizi rumahtangga di perdesaan, diversifikasi gizi yang rendah didefinisikan dengan pangan pokok berpati (biji-bijian, bumbu) dengan mengorbankan sumber protein (daging, ikan, telur, sayuran). Berdasarkan hasil empiris diketahui bahwa faktor yang berpengaruh positif dalam mencapai diversifikasi gizi yang tinggi adalah partisipasi dalam skema irigasi, gender, pendidikan, pendapatan, kepemilikan kebun di rumah dan hewan ternak kecil.

2.4.Model AIDS & Elastisitas Permintaan

Penelitian Kumar et al. (2011) mengestimasi pengaruh pendapatan dan harga pangan terhadap diversifikasi pangan rumah tangga melalui elastisitas permintaan rumah tangga. Analisis ini dilakukan menggunakan model ekonometrika Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) dengan kerangka anggaran multi-tahap dan model non ekonometrika Food Characteristic Demand System (FCDS). Hasil efek harga dan pendapatan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan inflasi harga pada padi-padian akan menyebabkan peningkatan padi-padian kasar (barang inferior) untuk kebutuhan pangan akan meningkat. Efek harga akan lebih mendominasi dibandingkan efek pendapatan, sehingga inflasi harga murni (jumlah dari elastisitas pendapatan dan harga) akan negatif untuk hampir semua komoditas pangan bergizi tinggi. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan inflasi harga pangan berpengaruh pada diversifikasi pangan komoditas pangan non padi-padian dan menyebabkan konsumen yang kurang gizi.

(34)

Penelitian Musyoka et al. (2014) dilakukan untuk menganalisis dampak kesejahteraan akibat pengurangan tarif impor biji-bijian di Kenya dengan menggunakan QUAIDS. Studi ini menemukan bahwa di perdesaan pangan yang bersifat elastis adalah pangan kelompok kacang-kacangan, susu, dan sorgum & jawawut, sedangkan pangan kelompok daging termasuk barang inelastis. Adapun di daerah perkotaan pangan dengan elastisitas harga sendiri tinggi adalah pangan kelompok sorgum & jawawut, susu, buah, dan gula. Peneliti menemukan bahwa rumah tangga di perkotaan dan perdesaan akan meningkatkan konsumsi gandum sebesar 1.04 persen dan daging sebesar 1.02 persen jika pengeluaran pangan meningkat sebesar 1.00 persen. Komoditas pangan lebih responsif terhadap harga sendiri (own price elasticities) daripada harga barang lain. Pengurangan tarif impor akan menguntungkan rumah tangga perkotaan, terutama bagi rumah tangga yang miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan akan lebih diuntungkan daripada rumah tangga miskin di perdesaan, diduga diakibatkan tingkat partisipasi di pasar yang lebih tinggi. Pengurangan tarif impor jagung, gandum, dan beras tidak hanya meningkatkan konsumsi jenis biji-bijian tersebut, namun juga akan mengakibatkan peningkatan konsumsi daging dan ikan, serta buah-buahan dan sayur-sayuran, di segmen perdesaan dan perkotaan.

(35)

3. KERANGKA

PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian dan merupakan landasan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam dalam penelitian. Kerangka teoritis dalam penelitian ini terdiri yaitu Hukum Engel & Hukum Bennet, Teori Permintaan & Elastisitas Permintaan, dan Perilaku konsumen.

3.1.1 Hukum Engel & Hukum Bennet

Berdasarkan dua tulisan yang telah diterbitkannya pada tahun 1855 dan 1857, Engel menyimpulkan bahwa semakin miskin suatu keluarga, maka akan semakin besar proporsi total pengeluarannya yang digunakan untuk keperluan pangan (provision of food). Pernyataan ini kemudian dikenal sebagai Hukum Engel (Chakrabarty & Hildenbrand 2009). Semakin kaya suatu rumah tangga, share

pengeluaran mereka untuk pangan akan menurun hingga mencapai titik ‘jenuh’ setelah permintaan pangan hampir tidak responsif terhadap peningkatan pendapatan lagi (Cirera & Masset 2010). Engel menjelaskan bahwa hukum ini tidak sepenuhnya berlaku di setiap keadaan jika diaplikasikan pada satu rumah tangga, namun berlaku jika diaplikasikan pada kelompok rumah tangga (Chakrabarty & Hildenbrand 2009).

Hukum Engel mengacu pada pendapatan atau total pengeluaran dan share anggaran untuk pangan (food share) pada rumah tangga yang berbeda dalam suatu populasi tertentu, pada suatu periode waktu tertentu dan tidak berubah (berbeda) pendapatan rumah tangga tertentu. Food share dapat didefinisikan sebagai pengeluaran konsumsi pada harga sekarang (current prices) untuk barang pangan dibagi dengan pendapatan, serta sebagai pengeluaran konsumsi untuk barang pangan dibagi dengan ‘total pengeluaran’, dimana ‘total pengeluaran’ didefinisikan sebagai pengeluaran pada suatu kelas besar konsumsi barang dan jasa (Chakrabarty & Hildenbrand 2009).

Food share dapat digunakan sebagai indikasi tidak langsung dari kesejahteraan. Sehingga jika terdapat dua rumah tangga yang memiliki besaran food share sama maka harus memiliki tingkat pendapatan riil yang sama, terlepas dari perbedaan ukuran rumah tangganya (Deaton & Muellbauer 1983). Semakin kecil food share suatu rumah tangga maka menunjukkan semakin baik perekonomian rumah tangga tersebut, sebab jika terjadi kenaikan harga pangan rumah tangga tersebut tidak akan mengurangi atau menyubstitusi pangannya ke pangan yang kurang disukai (barang inferior).

Terdapat hukum ekonomi lain yang terkait dengan konsumsi pangan, yaitu Hukum Bennet. Hukum ini menyatakan bahwa semakin kaya suatu masyarakat, mereka akan mengubah pola konsumsi mereka, yang awalnya didominasi oleh simple starchy plant berubah menjadi lebih bervariasi, yaitu mengonsumsi sayuran, buah, produk susu, dan terutama daging1. Ilustrasi Hukum Bennet dapat dilihat pada Gambar 3.

(36)

Produk pangan yang secara proporsional konsumsinya meningkat lebih kecil daripada pendapatan disebut dengan “barang pokok”, sedangkan produk pangan yang secara proporsional konsumsinya meningkat lebih besar daripada pendapatan disebut “barang mewah”. Pada contoh rumah tangga, share pengeluaran pangan yang kecil untuk daging merupakan contoh dari perbedaan selera atau kemiskinan rumah tangga. Sehingga jika persentase share pengeluaran pangan untuk daging meningkat lebih besar daripada persentase peningkatan pendapatan, maka daging dapat dikategorikan sebagai barang mewah (Cirera & Masset 2010).

Sumber: Cirera & Masset (2010)

Gambar 3. Ilustrasi Hukum Bennet

Konsekuensi logis dari hukum Engel adalah bahwa elastisitas pendapatan dari permintaan untuk makanan-kurang dari satu rata-rata untuk masyarakat-kemungkinan akan relatif besar bagi konsumen berpenghasilan rendah dan menurun ke tingkat yang sangat kecil untuk konsumen berpenghasilan tinggi. Hukum Bennett menunjukkan bahwa pola tersebut akan lebih tajam untuk makanan pokok tepung karena dua alasan. Pertama, hukum Bennett mengacu sumber kalori, asupan yang dibatasi oleh psikologi manusia (untuk tingkat aktivitas dan berat yang stabil tertentu). Kedua, hukum Bennett mencerminkan keinginan yang universal untuk variasi dalam diet dan protein berkualitas tinggi dan gula halus (Timmer et al. 1983).

3.1.2 Teori Permintaan & Elastisitas Permintaan

Fungsi permintaan Marshallian atau ordinary demand function menujukkan jumlah komoditas yang akan dibeli sebagai fungsi dari harga komoditas dan pendapatan konsumen. Ciri penting dari fungsi permintaan ini yaitu (1) permintaan untuk masing-masing komoditas merupakan fungsi nilai-tunggal dari harga dan pendapatan; dan (2) fungsi permintaan adalah homogen derajat nol pada harga dan pendapatan, yaitu jika semua harga dan pendapatan berubah dengan proporsi yang sama maka jumlah yang diminta akan tetap/tidak berubah. Adapun fungsi permintaan konsumen dikompensasi (fungsi permintaan Hicksian) menunjukkan kuantitas komoditas yang dibeli sebagai fungsi dari harga komoditas di bawah kondisi kondisi meminimalkan pengeluarannya dan memenuhi tingkat utilitas tertentu (Henderson & Quandt 1980).

(37)

negatif: semakin rendah harga maka semakin tinggi barang yang diminta. Beberapa kasus tertentu hubungan yang sebaliknya dapat terjadi (Henderson & Quandt 1980). Elastisitas harga sendiri untuk permintaan Q1 (ε11) didefinisikan sebagai laju

proporsional dari perubahan q1 dibagi dengan laju proporsional dari perubahan

harga barang itu sendiri, dengan harga barang lain, p2, dan pendapatan y0 konstan

(Persamaan 1). Nilai elastisitas yang besar menunjukkan bahwa kuantitas barang tersebut secara proporsional sangat responsif pada perubahan harga. Komoditas yang memiliki elastisitas tinggi (ε11 < -1) sering disebut dengan barang mewah,

sementara komoditas dengan elastisitas rendah (ε11 > -1) sering disebut dengan

barang pokok. Elastisitas ε11 bernilai negatif jika kurva permintaan yang digunakan

downward sloping. Pengeluaran konsumen untuk Q1 akan meningkat oleh p1 jika ε11 > -1, tidak berubah jika ε11 = -1, dan menurun jika ε11 < -1 (Henderson & Quandt

1980).

� = � �� � = � ……….. (1)

Elastisitas permintaan harga silang untuk ordinary demand function berhubungan dengan perubahan proporsi satu kuantitas barang terhadap perubahan proporsi harga barang lain (Persamaan 2). Elastisitas harga silang dapat bernilai positif atau negatif.

� = � �� � = � ……….. (2)

Adapun elastisitas pendapatan untuk ordinary demand function adalah perubahan proporsi dalam pembelian suatu komoditas secara relatif akibat peubahan proporsi pendapatan dengan harga konstan (Persamaan 3). Elastisitas pendapatan dapat bernilai positif, negatif, atau nol, namun secara normal diasumsikan bernilai positif (Henderson & Quandt 1980).

� =� �� � = �� , , ……… (3)

3.1.3 Perilaku Konsumen

Konsumen diasumsikan untuk memilih diantara alternatif yang tersedia sedemikian rupa sehingga kepuasan didapatkan dari mengonsumsi komoditas sebesar mungkin. Hal ini berimplikasi bahwa konsumen sadar adanya alternatif yang harus ia hadapi dan mampu untuk mengevaluasi alternatif tersebut. Semua informasi yang berkaitan dengan kepuasan konsumen yang berasal dari berbagai komoditas dimuat dalam fungsi utilitasnya. Postulat rasionalitas tersebut membutuhkan kemampuan konsumen untuk mengurutkan (rank) komoditas sesuai preferensinya dengan ukuran utilitas ordinal (Henderson & Quandt 1980).

Pada kasus sederhana dimana konsumen hanya membeli dua komoditas, maka fungsi utilitas marjinalnya adalah:

U = f (q1, q2)

dimana q1 dan q2 adalah jumlah dari dua komoditas Q1 dan Q2 yang dikonsumsi.

Diasumsikan f (q1, q2) kontinyu, memiliki turunan pertama dan kedua yang

(38)

Lokus kombinasi semua komoditas yang menunjukkan kepuasan konsumen yang sama membentuk kurva indiferens (Gambar 4). Adapun peta indiferens adalah kumpulan kurva indiferens yang menunjukkan tingkat kepuasan yang berbeda (Henderson & Quandt 1980).

Gambar 4 menggambarkan dua pilihan barang, yaitu pangan (food) dan non pangan (nonfood). Teori konsumen mengasumsikan konsumen yang rasional akan selalu memilih bundle B daripada bundle A jika diberikan pilihan yang bebas dan tidak dibatasi, karena mengonsumsi lebih banyak lebih baik. Pada setiap ray meningkat dari titik asal, misalnya OAB, semakin jauh titik dari asal akan semakin disukai daripada poin yang lebih dekat ke titik asal.

Sumber: Timmer et al. (1983)

Gambar 4. Pilihan barang pangan dan non pangan bagi konsumen

Pilihan yang tersedia bagi konsumen “didikte” oleh pendapatan konsumen – garis anggaran- dan harga barang yang tersedia untuk dibeli oleh konsumen. Jika konsumen menghabiskan semua pendapatannya untuk barang pangan dan non pangan, diasumsikan tabungan merupakan bagian non pangan, maka garis anggaran CD melewati titik A mencerminkan dua kendala yang berbeda bagi konsumen, yaitu total pendapatan yang tersedia dan harga relatif dari komoditas yang dapat diperjual-belikan. Garis CD adalah batas luar dari pilihan yang tersedia untuk konsumen tertentu dalam menghadapi harga relatif makanan untuk non makanan.

Preferensi konsumen ditunjukkan dengan bentuk kurva indiferens. Untuk mencari tingkat kepuasan yang paling maksimal dari mengonsumsi barang pangan dan non pangan dengan kendala anggaran CD, konsumen akan mencari kemungkinan kurva indiferens yang paling tinggi. Kemungkinan kepuasan tertinggi konsumen ditunjukkan pada titik singgung, yaitu pada titik A (Timmer et al. 1983). Peningkatan pendapatan konsumen secara alami dapat diperkirakan bahwa jumlah masing-masing barang yang dibeli akan meningkat pula. Berdasarkan besar proporsi perubahan permintaannya, q1/y dan q2/y jika bernilai positif ketika pendapatan meningkat menunjukkan bahwa q1 dan q2 merupakan barang normal. Sebaliknya, barang dengan nilai negatif merupakan barang inferior, yaitu untuk kenaikan dalam pendapatan dalam kisaran yang diperlihatkan maka jumlah barang yang dipilih berkurang (Nicholson 1995).

(39)

perubahan marginal rate of substitution (MRS). MRS menunjukkan tingkat dimana seorang individu akan rela melepaskan sejumlah tertentu dari satu barang (q2) jika ia dikompensasi dengan menerima satu unit tambahan untuk barang lainnya (q1). Ketika harga berubah terjadi dua pengaruh yang berbeda, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi terjadi ketika konsumen mempertahankan pendapatan “riil” (yaitu utilitas) tetap konstan, sehingga pola konsumsi akan dialokasikan ulang untuk menyamakan MRS. Adapun efek pendapatan timbul karena perubahan harga mengubah pendapatan “rill” seseorang sehingga konsumen tersebut tidak akan tetap berada dalam kurva kepuasan/indeferen yang semula. Jika q1 merupakan barang normal konsumen akan meminta lebih banyak sebagai tanggapan terhadap peningkatan daya beli (Nicholson 1995).

3.2. Kerangka Operasional

Dalam indeks ketahanan pangan global Indonesia merupakan ranking ke 74 dari 109 negara, dengan skor 46.7/100. Skor tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih harus memperbaiki kondisi pangannya agar masyarakat makin tahan pangan. Salah satu indikasi ketahanan pangan rumah tangga adalah diversifikasi pangan.

Salah satu yang memengaruhi diversifikasi pangan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka semakin terdiversifikasi pangan yang dikonsumsi rumah tangga tersebut, dan sebaliknya rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah maka hanya akan mengonsumsi beberapa produk pangan tertentu saja. Diversifikasi pangan tidak hanya berkaitan dengan nutrisi rumah tangga, namun juga dengan pola konsumsi yang akan memengaruhi pemasaran dan pembangunan ekonomi, sehingga perlu dipelajari agar dapat dirumuskan kebijakan dan strategi yang tepat. Kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Jumlah q

2

Jumlahq

1

U U2

1

Efek Substitusi

Efek Pendapatan Peningkatan Total dalam q

1 Sumber: Nicholson (1995)

(40)

Sumber: Penulis (2016)

Gambar 6. Diagram Alir Penelitian Ketahanan Pangan

Provinsi Jawa Barat rendah

Ketergantungan pada Beras

Diversifikasi Pangan

Berkaitan erat dengan Pendapatan dan Harga

Pangan (Aspek Akses Pangan)

Permasalahan Ekonomi:

 Harga beras tinggi

 Inflasi oleh pangan tinggi

 Tingginya impor beras sehingga menguras devisa

 Defisiensi mikronutrien yang berdampak pada angkatan kerja dan pembangunan ekonomi di masa depan

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di

Provinsi Jawa Barat

Analisis Derajat Diversifikasi Pangan Rumah

Tangga di Provinsi Jawa Barat

Analisis Pengaruh Perubahan Pendapatan dan Harga Pangan thdp

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat

Analisis Pengaruh Pendapatan dan Harga Pangan thdp Diversifikasi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat

(41)

4.

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang menggunakan data Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) yang memiliki data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2016.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini membutuhkan data sekunder berupa data cross section. Data sekunder yang dibutuhkan merupakan data SUSENAS Konsumsi dan Pengeluaran 2015. Data ini mencakup 22 847 rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

SUSENAS merupakan kepanjangan dari survei sosial ekonomi nasional. Susenas merupakan kegiatan survei untuk mengumpulkan informasi/data di bidang kependudukan, kesehatan, pendidikan, Keluarga Berencana, perumahan, serta konsumsi dan pengeluaran. Susenas didesain memiliki tiga modul, yaitu Modul Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga, Modul Sosial, Budaya, dan Pendidikan, dan Modul Perumahan dan Kesehatan.

Sejak tahun 2011 pengumpulan data Susenas konsumsi pengeluaran rumah tangga dilaksanakan secara triwulan, namun mulai tahun 2015 pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dua kali setahun. Pengumpulan data tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Maret untuk pengumpulan data kor dan konsumsi pengeluaran rumah tangga, dan bulan September untuk pengumpulan data Modul dan konsumsi pengeluaran rumah tangga. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data, khususnya mengenai angka tingkat kemiskinan, yang lebih akurat.

Besaran sampel Susenas dalam satu tahun kegiatan mencakup 300 000 rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi dan 511 kabupaten/kota di Indonesia. Data konsumsi/pengeluaran yang dikumpulkan pada Susenas 2015 dibagi menjadi dua kelompok, yaitu konsumsi makanan dan bukan makanan. Terjadi perubahan jumlah komoditas makanan, pada tahun 2014 berjumlah 215 komoditas berkurang menjadi 111 komoditas pada tahun 2015. Pengumpulan data tersebut masih mencakup data banyak dan nilainya.

(42)

4.3.Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif. Pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS 21, SAS/ETS 9.1, dan Ms. Excel 2013.

4.3.1. Analisis Pola Alokasi Pengeluaran Pangan Rumah Tangga

Pola alokasi pengeluaran pangan rumah tangga menggambarkan perilaku umum kelompok rumah tangga dengan karakteristik tertentu dalam mendiversifikasi konsumsi pangan mereka. Analisis ini akan dilakukan secara deskriptif. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung nilai food share rumah tangga yaitu:

ℎ =� � ... . (4) Keterangan:

Xi : total pengeluaran pangan rumah tangga sebulan EXPi : total pengeluaran rumah tangga sebulan

Analisis akan dilakukan berdasarkan penggolongan tipe daerah dan pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan. Tipe daerah adalah berdasarkan daerah perkotaan dan perdesaan. Penggolongan berdasarkan pengeluaran rumah tangga per kapita dilakukan mengikuti penggolongan yang digunakan oleh BPS dan diberikan kode untuk memudahkan analisis, sebagai berikut:

Tabel 4 Kode golongan per kapita sebulan Golongan Pengeluaran per Kapita

Sebulan (Rupiah)

Kode

100 000 - 149 999 G-1

150 000 - 199 999 G-2

200 000 - 299 999 G-3

300 000 - 499 999 G-4

500 000 - 749 999 G-5

750 000 - 999 999 G-6

1 000 000 dan lebih G-7

4.3.2. Analisis Derajat Diversifikasi Pangan Rumah Tangga

Diversifikasi pangan merupakan aspek kuantitatif penting terkait pangan. Evaluasi diversitas pangan rumah tangga diukur menggunakan Indeks Berry (Alexandri et al. 2015). Thiele & Weiss (2013) menyebutkan meskipun terdapat beberapa index untuk mengukur variasi dalam konsumsi pangan, namun alternatif yang paling tepat adalah indeks Berry. Indeks Berry dapat dirumuskan sebagai berikut:

� = − ∑�

= ... . (5) Keterangan:

BI : Indeks Berry untuk rumah tangga i

(43)

Indeks Berry bernilai antara 0 hingga 1. Bila nilai BI = 0, berarti rumah tangga tersebut hanya membeli satu produk pangan, dan bila BI = 1 berarti rumah tangga tersebut membeli semua jenis produk pangan yang termasuk dalam SUSENAS (112 komoditas).

Analisis mengenai tingkat diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan melakukan pengelompokkan terlebih dahulu. Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan analisis, selain dikarenakan tidak adanya besaran tertentu untuk menilai indeks Berry. Pengelompokkan tingkat diversifikasi pangan dilakukan berdasarkan data yang termasuk nilai pencilan/outlier (K-1) dan data yang normal dibagi dua berdasarkan nilai median-nya (K-2 dan K-3). Kelompok tersebut dibagi menjadi kelompok Berry index (BI) < 0.6740 (K-1, diversitas rendah), 0.6741 ≤ BI ≤ 0.8299 (K-2, diversitas sedang), dan BI > 0.8230 (K-3, diversitas tinggi).

Tingkat diversifikasi pangan juga dapat dilihat melalui sumbangan share kalori harian dari masing-masing komoditas yang dikonsumsi. Hal ini akan diestimasi menggunakan persamaan 5 yang dimodifikasi, yaitu:

� � = − ∑�

= ... (6) Keterangan:

MBI: Modifikasi indeks Berry untuk rumah tangga i

kij : Share kalori untuk produk j pada anggaran makan rumah tangga i

Nilai kalori yang digunakan didapatkan berdasarkan jumlah komoditas pangan yang dikonsumsi per kapita per hari dikalikan dengan nilai konversi energi masing-masing komoditas tersebut. Nilai konversi energi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai energi dari 1 kg bahan makanan

Jenis Pangan Energi per 1 kg bahan makanan (kkal)

Nilai MBI yang didapatkan dengan persamaan 6 dapat dibandingkan dengan target Pola Pangan Harapan (PPH) 2015. Jika target PPH 2015 dimasukkan dalam persamaan (6) maka didapatkan nilai MBI sebesar 0.7116. Demi kepentingan pembandingan nilai BI dan MBI maka persamaan (6) akan dikonversi sehingga persamaannya menjadi:

� � = ( − ∑�

Gambar

Tabel 1 Tingkat inflasi oleh bahan makanan & total inflasi Indonesia tahun
Tabel 2  Jumlah & persentase penduduk miskin di Indonesia
Tabel 3  Sasaran Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010 – 2015
Gambar 2  Siklus kelaparan tersembunyi, kemiskinan, dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan penelitian yang kedua mempromosikan sekolah dengan menampilkan informasi dan bangunan sekolah yang masih utuh lewat animasi 3D, sedangkan dalam perancangan ini

Dengan demikian kemampuan representasi free body diagrams siswa kelas X Darel Hikmah berada pada kategori sangat rendah.Sehubungan dengan kesimpulan hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian probiotik dengan dosis tertentu yang ditambahkan pada pakan, media pemeliharaan dan interaksi dari kedua

Jumlah undangan yang hadir pada saat kegiatan pembentukan forum tersebut adalah 34 orang dari 62 orang. Hal ini disebabkan oleh sebagian dari undangan ada yang

Sementara itu faktor kader senior di internal partai juga menjadi sebuah pertimbangan untuk seseorang dijadikan calon anggota legislatif, sebab dari pengalaman mereka yang cukup

Selanjutnya fleksibilitas siswa berkemampuan matematika sedang dalam menyelesaikan soal open ended dengan dengan membuat menunjukan tiga cara penyelesaian yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah – Nya sehingga kita masih diberikan kesehatan serta kesempatan agar penulis

Melihat permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka penulis menggunakan pendekatan (metode analisis) deskriptif/komparatif yaitu suatu analisis yang menguraikan