• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)

KAMARUZZAMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami : Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2008

Kamaruzzaman

Nrp. A.253050261

(3)

Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya). Dibimbing oleh MAHMUD A. RAIMADOYA dan DARMAWAN.

Sebagai kota yang pernah mengalami bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada Desember tahun 2004 yang lalu, Kota Banda Aceh telah mengalami perubahan land use seiring dengan terjadinya migrasi penduduk dari kawasan pesisir ke kawasan yang semakin jauh dari pantai, sebagai akibatnya telah terjadi pergeseran dan perubahan struktur pusat-pusat pelayanan. Salah satu dampak pergeseran tersebut adalah aktivitas pembangunan Kota Banda Aceh mengarah ke wilayah sub urban yaitu kawasan di bagian Selatan kota: Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya. Metode penelitian ini menggunakan analisis spasial berbasis SIG, menggunakan citra satelit IKONOS tahun 2006, analisis skalogram dan anilisis hirarki proses dengan menggunakan software CDP ver.3.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ruang di Kecamatan Ulee Kareng: ruang terbangun 30% dan ruang terbuka 70%; di Kecamatan Lueng Bata: ruang terbangun 52% dan ruang terbuka 48%; di Kecamatan Banda Raya: ruang terbangun 55% dan ruang terbuka 45%. Kemudian dari analisis skalogram dan AHP menunjukkan bahwa penentuan lokasi pengembangan wilayah Kota Banda Aceh cenderung mengarah ke Kecamatan Lueng Bata.

(4)

After Tsunami in Banda Aceh (A Case Study in Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, and Banda Raya). Advisors: MAHMUD A. RAIMADOYA and DARMAWAN.

Banda Aceh, a city which was hit by earthquake and Tsunami In December 2004. It has caused the change of land use. Moreover, community migrates from coastal area to area which is far from seashore. As the result, the structure of service centers has moved and changed. One of the movement impacts is the development activity of Banda Aceh has been directed to sub urban area which is at the Southern part of the city: Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, and Banda Raya. This research applied analysis method of Spatial-Based GIS, Satelite Image of IKONOS 2006, Scalogram Analysis, and Process Hierarchy analysis by using CDP ver.3.0 software. The result of research shows the land uses are as follows. In Kecamatan Ulee Kereng there are 30% constructed area and 70% opened area; in Kecamatan Lureng Bata there are 52% constructed area and 48% opened area; in Kecamatan Banda Raya there are 55% constructed area and 45% opened area. Furthermore, Scalogram and AHP analysis shows that the location determination for area development in Banda Aceh tends toward Kecamatan Lueng Bata.

(5)

RINGKASAN

Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan locatural rent

(Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain di sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama pemukiman cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi kota (Branch, dalam Sobirin 2001).

Bencana alam, gempa dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 merupakan peristiwa yang sangat dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang menimpa pulau Sumatera di bagian pesisir utara dan barat, menghancurkan infrastruktur, perekonomian dan sosial masyarakat serta menelan korban manusia yang sangat besar. Salah satu wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh.

Peristiwa ini memberikan pelajaran/masukan di dalam perencanaan wilayah bahwa seharusnya mitigasi bencana sudah dipikirkan dan dikaji sehingga kejadian/peristiwa bencana dapat diantisipasi secara dini dan diambil tindakan untuk mengurangi ancaman kematian dan kehancuran di kemudian hari ketika bencana alam tersebut terjadi.

Bencana tersebut membuat kota Banda Aceh mengalami perubahan land- use, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan dari daerah lain yang diikuti pula terjadi perubahan struktur pusat-pusat pelayanan, bergeser semakin menjauh dari pantai. Dampaknya adalah pergeseran aktivitas pembangunan kota Banda Aceh yang mengarah ke wilayah selatan kota yang merupakan wilayah pinggiran atau

Sub Urban.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) penggunaan lahan/ruang di kawasan Sub Urban Kota Banda Aceh, (2) mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas, dan (3) menentukan arah pengembangan wilayah Sub Urban kota Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, analisis skalogram dan analisis hirarki proses (AHP). Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penggunaan, lahan untuk kegiatan budidaya. Metode skalogram digunakan untuk mengetahui sebaran sarana-prasarana yang terdapat di kawasan Sub Urban Kota Banda Aceh didalam menentukan hirarki pusat aktivitas di masing-masing kecamatan penelitian Metode pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan untuk mengetahui kebijakan tata ruang, maka dapat dipilih alternatif dari arahan pengembangan wilayah di Sub Urban kota Banda-Aceh.

(6)

%, kebun sebesar 14.45 %, rawa sebesar 5.27 %, dan lain-lainnya. Ruang terbangun sebesar 52.30 % dan ruang tidak terbangun/terbuka sebesar 47.70 %.

Penggunaan lahan di Kecamatan Banda Raya dominan adalah penggunaan lahan permukiman sebesar 49.57 %, sawah sebesar 29.18 %, kebun sebesar 10.99 %, rawa sebesar 2.70 %, dan lainnya. atau ruang terbangun sebesar 54.80 % dan ruang tidak terbangun/terbuka sebesar 45.20 %.

Hasil analisis skalogram berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana maupun berdasarkan indeks perkembangan kecamatan menunjukkan bahwa secara kumulatif Kecamatan Lueng Bata berada pada hirarki I, Kecamatan Banda Raya berada pada hirarki II sedangkan Kecamatan Ulee Kareng berada pada hirarki III. Dengan demikian dikatakan bahwa Kecamatan Lueng Bata secara realistis menjadi pusat berbagai aktifitas yang memiliki berbagai fasilitas umum yang secara relatif lebih baik

Dari hasil analisis AHP dengan menggunakan sofware CDP Ver.3.0 terlihat bahwa Kecamatan Lueng Bata memiliki sumberdaya wilayah yang lebih baik, dibanding Kecamatan Banda Raya maupun Kecamatan Ulee Kareng, sedangkan bila ditinjau dari faktor sosial fisik wilayah Kecamatan Banda Raya lebih unggul di banding Kecamatan Lueng Bata dan Kecamatan Ulee Kareng. Bila dilihat dari sudut faktor ekonomi wilayah maka kecamatan Ulee Kareng lebih unggul dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Secara kumulatif, dari ketiga kecamatan yang dianalisis yang menjadi penentu di dalam menentukan lokasi pengembangan wilayah adalah Kecamatan Lueng Bata sebesar 0.458, Kecamatan Banda Raya sebesar 0.298 dan Kecamatan Ulee Kareng sebesar 0.244. Ini berarti bahwa penentuan lokasi pengembangan wilayah di Sub Urban kota Banda Aceh adalah Kecamatan Lueng Bata memiliki bobot sebesar 45.8 %, Kecamatan Banda Raya sebesar 29.8 % dan Kecamatan Ulee Kareng sebesar 24.4 %. Jadi lokasi yang menjadi arahan perkembangan wilayah kota Banda Aceh adalah mengarah ke Kecamatan Lueng Bata.

Arahan pemanfaatan ruang di BWK Selatan (Bahagian Wilayah Kota) di Kota Banda Aceh, berfungsi sebagai pusat kegiatan olah raga (sport center), terminal AKAP dan AKDP, perdagangan dan jasa serta pergudangan. Kemudian Pusat BWK Selatan ditetapkan di koridor Batoh (Kecamatan Lueng Bata) hingga Lampeunereut (Kabupaten Aceh Besar). sebagai pusat pelayanan di Kota Banda Aceh yang arahan rencana sistem pelayanan berada di Batoh dan Lamdom (Kec. Lung Bata) berfungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi NAD yang baru, pusat perdagangan dan jasa dan permukiman.

Sedangkan Kecamatan Ulee Kareng sebagai pusat BWK Timur yang merupakan pengembangan kota ke bagian Timur, berfungsi sebagai pusat pelayanan sosial kota seperti pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lain yang komplementer dengan kedua kegiatan tersebut. Selain itu juga berfungsi sebagai perdagangan dan jasa serta permukiman.

(7)

© Hak cipta milik I P B, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(8)

(Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)

KAMARUZZAMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Raya)

Nama : KAMARUZZAMAN

NIM : A 253050261

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Mahmud A. Raimadoya, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(10)

Tesis ini aku persembahkan buat :

Ibunda Aisyah dan Ayahanda Muhammad Umar (alm)

Mertuaku Ibunda Zaida (almh) dan Ayahanda Araby Ahmad (alm) yang selalu mendukung ananda dalam suka maupun duka.

Kepada Istriku tercinta Dzarnisa Araby yang tak pernah lelah mendampingiku, terima kasih, Juga kepada anakku :Muhammad Rizki Alfihusni dan Nur Rizka Alfirahusna si kembarku, anakku Rizna Annisa Marzatilla serta Muhammad Chairul Rizqullah, terimakasih atas do’a kalian.

Allah Always Answer your requesr,

Maybe not always with “a yes” but with “the best”.

Sebuah SUKSES

Lahir bukan karena Kebetulan

Atau

Keberuntungan Semata

Sebuah SUKSES terwujud

karena di Ikhtiarkan, melalui

Target yang Jelas,

Perencanaan yang matang,

Keyakinan,

Kerja Keras, Keuletan

dan

Niat Baik

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat serta

ridho-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian adalah Arahan

Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh

Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata dan

Ulee Kareng).

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada : Bapak Ir. Mahmud A.Raimadoya, M.Sc selaku

ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.Sc sebagai anggota

komisi pembimbing, atas arahan, bimbingan dan kesediaannya meluangkan waktu

di antara jadwal kerjanya yang sangat padat, Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, serta Bapak Dr.Ir. Setia

Hadi, M.S sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan yang berguna, dan

juga segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan

Wilayah.

Ucapan terimakasih disampaikan juga kepada sahabat-sahabat PWL kelas

reguler angkatan 2005: Ni Made Esti Nurmani, Lilis, Suci Rachmawaty, Mesriany

Hudiya, Arman, Samy dan Nina Nidiana Darojati atas segala bantuan dan

dukungan serta kerjasamanya. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu

persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga

dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Kiranya karya ini ada manfaatnya

bagi kita semua.

Bogor, Juni 2008

Kamaruzzaman

(12)

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

pada tanggal 5 Januari 1967 sebagai anak ke tiga dari tujuh bersaudara, dari

pasangan Muhammad Umar (alm) dan Aisyah

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Banda Aceh dan pada tahun

yang sama melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Pertanian Jurusan

Peternakan Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK dan lulus pada tahun

1993. Pada tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

Tahun 1996, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten

Pidie dan pada tahun 2000 pindah ke Kota Banda Aceh hingga sekarang, dan di

tempatkan pada Bappeda Kota Banda Aceh.

(13)

DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………

xv xvi xvii

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ……….………..…... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….…..…... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 1.4. Tujuan Penelitian ………... 1.5. Manfaat Penelitian ... 3 5 5 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami ……….……….. 6

2.1.1. Penyebab tsunami …..……….…..…... 6

2.1.2. Perambatan tsunami dan rayapan tsunami di daratan ... 7

2.2. Penataan Ruang ... ..……….……….. 8

2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ……… 10

2.4. Kota dalam Pengembangan Wilayah ……….. 13

2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan ... 17

2.6. Hirarki Pusat Aktivitas ………... 23

2.7. Citra Satelit Resolusi Tinggi... 27

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Studi ... ………. 29

3.2. Data dan Sumber Data ...………. 29

3.3. Motode Pengolahan dan Analisis Data ….………... 30

3.3.1. Analisis penggunaan lahan ………... 32

3.3.2. Analisis pusat aktivitas dengan skalogram.…...………. 34

(14)

4.1.2. Topografi...

4.1.3. Hidrologi...

4.1.4. Klimatologi...

4.1.5. Geologi ...

4.2. Jumlah Penduduk...

4.2.1. Kepadatan penduduk……….

4.3. Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya………..

4.4. Sosial Ekonomi………. 38

39

39

40

40

41

43

44

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penggunaan Lahan………....………... 45

5.1.1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng ...…... 47

5.1.2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata …...….…… 47

5.1.3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya ……….……… 48

5.2. Penentuan Hirarki Pusat Aktivitas …...…... 50

5.3. Keterkaitan Hirarki Pusat Aktivitas dengan Prasarana Jalan……….. 53

5.4. Kebijakan Arah Perkembangan Wilayah Kota Banda Aceh..………. 55

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan …. ……….………... 60

6.2. Saran ……….... ……….……….. 61

(15)

Halaman

1 Spesifikasi Citra Ikonos...……... 28

2 Jenis Data, Aspek dan Sumber Data yang Digunakan ...……... 30

3 Matrik Tujuan, Analisis, Variabel, Data dan Keluaran... 31

4 Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh... 38

5 Nama Sungai di Kota Banda Aceh dan Luas Daerah Resapannya... 39

6 Jumlah Penduduk Pasca Tsunami di Kota Banda Aceh ... 40

7 Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Pasca Tsunami ... 43

8 Nama Desa / Kelurahan... 44

9 Jenis Penggunaan Lahan di Tiga Kecamatan Penelitian... 45

10 Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng tahun 2006... 47

11 Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata tahun 2006... 48

12 Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya tahun 2006... 49

13 Pemanfaatan Ruang Terbangun dan Ruang Terbuka ... 49

(16)

Halaman

1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran ...…...………... 4

2 Peta Lokasi Penelitian ………. ...………….…..…. 29

3 Bagan Alir Pendekatan Penelitian...…..…. 32

4 Grafik Jumlah Penduduk Sebelum dan Sesudah Tsunami ……… 41

5 Grafik Penurunan Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami………. 43 6 Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian.…..………... 46

7 Peta Jaringan Jalan Daerah Penelitian... 54

(17)

Halaman

Lampiran 1 Struktur AHP... 65

Lampiran 2 Kuisioner ……… 66

Lampiran 3 Hasil AHP Arah Pengembangan Wilayah ……… 81

Lampiran 4 Penentuan Lokasi Pengembangan Wilayah……… 82

Lampiran 5 Hasil Kontribusi Pengembangan Wilayah………. 82

(18)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara

spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978).

Seiring dengan perjalanan waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat

dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budaya serta interaksi

dengan kota-kota lain di sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat

dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan

yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama pemukiman cenderung

semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan

sosial dan ekonomi kota (Branch, 1996 dalam Sobirin, 2001).

Gempa dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 merupakan peristiwa

bencana alam yang sangat dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia

yang menimpa pulau Sumatera di bagian pesisir utara dan barat. Bencana ini

telah menghancurkan infrastruktur, perekonomian dan sosial masyarakat serta

menelan korban manusia yang sangat besar. Salah satu wilayah yang mengalami

kerusakan terparah adalah ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu

Kota Banda Aceh dengan penduduk berjumlah 230.774 jiwa (BPS, 2004) dan

pasca bencana jumlah penduduk Kota Banda Aceh 178.380 jiwa (BPS, 2006).

Peristiwa ini memberikan pelajaran/masukan di dalam perencanaan wilayah,

bahwa mitigasi bencana semestinya sudah dipikirkan dan dikaji sehingga setiap

bencana dapat diantisipasi secara dini dan diambil tindakan untuk mengurangi

ancaman kematian dan kehancuran di kemudian hari ketika bencana alam terjadi.

Mitigasi perlu dilakukan karena pada umumnya penduduk kembali membangun

bangunan di atas lahan yang telah hancur akibat bencana, namun sulit untuk

meyakinkan masyarakat bahwa bahaya/bencana tersebut sewaktu-waktu bisa

terjadi lagi.

Akibat bencana gempa dan tsunami kota Banda Aceh mengalami perubahan

land use, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan dari daerah lain yang diikuti

pula terjadi perubahan struktur pusat-pusat pelayanan, bergeser semakin menjauh

(19)

Aceh yang mengarah ke wilayah selatan kota yang merupakan wilayah

pinggiran atau sub urban.

Yunus (1987) mengatakan bahwa salah satu tanda terjadinya pemekaran

kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering up yaitu pergantian

pemukiman-pemukiman lama dengan pemukiman-pemukiman baru yang kondisi

ekonominya lebih baik. Selanjutnya Hammond, (1979) dalam Daldjoeni, (1987)

mengemukakan bahwa tumbuhnya daerah pinggiran kota karena (1) Adanya

peningkatan pelayanan transportasi kota yang memudahkan orang bertempat

tinggal pada jarak yang jauh dari tempatnya bekerja; (2) Berpindahnya sebahagian

penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran kota dan masuknya

penduduk baru yang berasal dari perdesaan; serta (3) Meningkatnya taraf

kehidupan masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Struktur kota Banda Aceh sebelum bencana tsunami berpusat pada Mesjid

Raya Baiturrahman dan Pasar Aceh yang menjadi pusat pemerintahan, budaya,

agama serta pedagangan. Kemudian pada kawasan permukiman perkotaan

terdapat permukiman dan pusat pelayanan baru. Kawasan ini dalam pemanfaatan

ruang masih beragam. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Banda Aceh pun

tumbuh hampir tidak terencana dengan baik, dengan konsentrasi kepadatan di

pusat kota, di sekitar mesjid Baiturrahman dan memanjang hampir linier

mengikuti jalan utama yang relatif sejajar pantai dan melebar ke arah pantai

Pengembangan kota Banda Aceh di masa mendatang, seharusnya struktur

pusat kota dalam bentuk multi center dengan satu atau dua pusat kota dan

didukung oleh beberapa sub pusat pengembangan. Pusat-pusat tersebut

dihubungkan dengan jaringan jalan melingkar dengan utilitas lainya sehingga

tuntutan terhadap pengembangan pusat-pusat pelayanan semakin dirasakan sangat

dibutuhkan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan kota di masa yang

akan datang. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka memberikan efesiensi dan

efektifitas pelayanan. Dengan adanya pengembangan dan pembangunan fisik di

bagian Selatan Kota Banda Aceh, sehingga adanya perluasan pembanguan

(20)

perubahan penggunaan lahan. Adapun permasalahannya dapat dirumuskan

sebagai berikut : (1) Bagaimana arahan penggunaan ruang/lahan sudah sesuai

dengan Revisi Rencana Tata Ruang di kawasan sub urban kota; (2) Bagaimana

sebaran sarana dan prasarana di kawasan sub urban kota dalam

kaitannya dengan hirarki wilayah (3) Apa kebijakan pemerintah kota Banda

Aceh dalam pengembangan wilayah di sub urban Kota.

1.3. Kerangka Pemikiran

Salah satu tahapan dari penataan ruang adalah perencanaan, yang

menghasilkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dokumen ini

merupakan acuan yang sah dalam melaksanakan pembangunan/pemanfaatan

ruang, sehingga penataan ruang merupakan acuan dalam menentukan peluang dan

batasan dalam pembangunan/pengembangan wilayah.

Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang

yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dapat tercapai

dengan upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang,

kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu

mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek

kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi akhir tahun 2004 yang lalu

telah menyebabkan tingkat kehancuran yang sangat tinggi di Kota Banda Aceh.

Walaupun demikian, kota ini hingga saat kini pun masih memiliki peran, fungsi

dan kedudukan yang strategis dalam konteks pelayanan regional. Akibat bencana

yang terjadi tersebut, pergeseran penggunaan lahan yang terjadi pasca bencana

cukup besar, terutama untuk kawasan permukiman. Kawasan permukiman

bergeser ke kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah pinggiran Kota Banda

Aceh. Pada dokumen Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota

Banda Aceh tahun 2006 – 2016, arahan pola ruang wilayah dengan tegas

mengarahkan pengembangan wilayah lebih ke arah Selatan Kota Banda Aceh,

sementara wilayah Utara kota yang merupakan kawasan pesisir/pantai diarahkan

(21)

yang terjadi di lapangan, kecenderungan perkembangan Kota Banda Aceh adalah

ke sebelah Selatan kota. Dengan menggunalan analisis spasial dapat diketahui

pemanfaatan lahan di kawasan sub urban Kota Banda Aceh. Potensi dari wilayah

sub urban itu harus diketahui, yaitu dengan menggunakan kriteria penggunaan

lahan untuk berbagai kegiatan (permukiman, industri, perdagangan, jasa,

pertanian dan lain-lain).

Metode skalogram digunakan untuk mengetahui sebaran sarana-prasarana

yang terdapat di kawasan sub urban kota Banda Aceh di dalam menentukan

hirarki pusat aktivitas di masing-masing kecamatan penelitian. Metode

pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan untuk mengetahui kebijakan

tata ruang, sehingga dapat dipilih alternatif dari arahan penentuan pengembangan

wilayah di sub urban Kota Banda-Aceh.

Kerangka pemikiran dapat di lihat pada ( Gambar 1 ).

(22)

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui penggunaan lahan/ruang di kawasan sub urban Kota Banda Aceh

2. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas

3. Menentukan arah pengembangan wilayah Kota Banda Aceh

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memberi masukan

bagi pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tsunami

Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu “tsu” berarti

pelabuhan dan “nami” berarti gelombang/ombak. Kedua kata tersebut

digabungkan dan dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan yang besar”.

Pengertian ini diambil dari akibat gelombang raksasa yang sering menyebabkan

kematian dan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan dan pedesaan yang terletak di

pantai Jepang (Diposaptono, 2005).

2.1.2. Penyebab tsunami

Tsunami dapat ditimbulkan oleh berbagai gangguan yang memindahkan

massa air yang besar secara vertikal dari posisi kesetimbangannya. Gempa dengan

patahan vertikal, baik patahan naik atau patahan turun yang terjadi secara

mendadak di kedalaman ribuan meter, dapat memicu terjadinya tsunami.

Keberadaan tersebut juga bisa terjadi akibat letusan gunung berapi bawah laut

atau lingkungan laut, dimana gaya impulsif yang dihasilkan oleh letusan

memindahkan kolam air dan menciptakan tsunami. Fenomena tersebut pernah

terjadi di Indonesia pada saat gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus

1883, yang telah memicu timbulnya gelombang tsunami setinggi lebih dari 30

meter. Selain disebabkan oleh peristiwa alam yang bersumber dari bawah laut,

tsunami dapat pula terjadi akibat longsoran gunung es seperti yang terjadi di

Alaska pada tahun 1958 ( Diposaptono, 2005).

Menurut Diposaptono (2005), kejadian tsunami di Aceh akhir tahun 2004

disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa tektonik

berkekuatan 9.0 SR, pada kedalaman 4 km di dasar laut. Disamping menyebabkan

gempa, pergeseran tersebut menyebabkan patahan dan memicu dua gempa besar

lainnya di kepulauan Andaman dan Nikobar (India) dengan kekuatan 6.3 dan 7.3

SR yang mengganggu keseimbangan air laut sehingga menimbulkan pergolakan

air yang dahsyat dan menyebabkan kerusakan serta korban jiwa di daerah pantai

(24)

2.1.3. Perambatan dan rayapan tsunami di daratan

Di tengah lautan, ketinggian gelombang tsunami tidak lebih dari 3 meter,

terlihat seperti gelombang laut normal pada umumnya, walaupun wujud fisik

tsunami tidak kelihatan di permukaan laut dalam, sebenarnya kecepatan rambatan

tsunami bisa mencapai 1000 km/jam di laut dalam, ia akan mengalami perubahan

kenampakan gelombang ketika meninggalkan perairan laut dalam dan merambat

ke perairan yang lebih dangkal di pesisir. Pada saat gelombang mencapai perairan

yang dangkal, kecepatan tsunami akan berkurang tetapi energi total dari tsunami

konstan sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai ketinggian lebih dari 15

meter atau lebih. Pada kedalaman laut 4.000 meter, tsunami merambat dengan

kecepatan 720 km/jam, sedangkan pada kedalaman laut 90 meter kecepatannya

berkurang menjadi sekitar 25 – 100 km/jam.

Terkadang tsunami bisa saja musnah jauh sebelum mencapai pantai. Namun

bila mencapai pantai, tsunami dapat terlihat sebagai gelombang pasang naik

maupun pasang turun yang meningkat drastis, rangkaian gelombang besar, atau

bahkan sebuah bore yang menerjang hingga ke pedalaman (daratan) yang secara

normal tidak pernah terjangkau oleh gelombang laut. Bore adalah gelombang

yang mirip tangga dengan dengan sisi yang curam, yaitu ujung gelombang pasang

yang mendesak air sungai ke hulu yang terjadi pada saat pasang laut naik, disebut

juga tidal bore. Sebuah bore dapat terjadi apabila tsunami bergerak dari perairan

dalam ke perairan teluk dangkal atau sungai. Terumbu karang, semenanjung,

muara-muara, kenampakan-kenampakan bawah laut dan kelerengan pantai

kesemuanya itu membantu untuk memodifikasi tsunami pada saat mencapai

pantai.

Tsunami yang bergerak naik ke daratan umumnya merayap dengan

kecepatan sekitar 70 km/jam merupakan kekuatan yang sangat besar yang bisa

mengangkat pasir di pantai, mencabut pepohonan dan menghancurkan bangunan

apalagi manusia dan kapal-kapal tidak berdaya melawan turbulensinya. Kualitas

air yang dibawa ke daratan mampu membanjiri daerah luas yang biasanya kering

(dry land). Rayapan akibat gelombang tsunami dapat menimbulkan genangan

(25)

2.2. Penataan Ruang

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang

lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan mahluk hidup

lainnya melakukan kegiatan serta kelangsungan hidupnya. Menurut UU No. 26

tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Perencanaan tata ruang adalah proses untuk menentukan struktur ruang dan pola

ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan

ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai

dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta

biaya, sementara itu pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk

mewujudkan tertib tata ruang.

Lebih jauh lagi pada pasal 2 undang–undang ini menyatakan bahwa

penataan ruang berasaskan : a) Keterpaduan; b) Keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan; c) Keberlanjutan; d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;

e) Keterbukaan; f) Kebersamaan dan kemitraan; g) Perlindungan kepentingan

umum; h) Kepastian hukum dan keadilan; dan i) Akuntabilitas.

Menurut Rustiadi et al. (2005), penataan ruang pada dasarnya merupakan

perubahan yang disengaja. Dalam pemahamannya sebagai proses pembangunan

melalui upaya-upaya perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan

ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai

tiga urgensi, yaitu : a) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip

produktivitas dan efesiensi); b) Alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip

pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) dan c) Keberlanjutan (prinsip

sustainabilitas).

Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia

usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akan tetapi merupakan alat untuk

mencapai tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti

dengan diperda kannya rencana tata ruang kabupaten/kota, tetapi penataan ruang

(26)

masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto,

2000).

Menurut UU 26/2007, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam

suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan

peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang

sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan

merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus

menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan

istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan,

posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan

aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi,

setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat

penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004).

Pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran

atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan

pedesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas

pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan

dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan

pemukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan

pedesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas pemukiman,

industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan dan peta penutupan lahan adalah

bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang

ada (Rustiadi 2004).

Hutabarat (2005), menyatakan bahwa dewasa ini penyelenggaraan penataan

ruang senantiasa dikaitkan dengan upaya mewujudkan good governance, baik

dalam konteks pembangunan wilayah administrasi maupun kawasan fungsional.

Penerapan prinsip-prinsip good governance seperti keberlanjutan, keadilan,

efesiensi, trasparansi, akuntabilitas, kepatian hukum, dan pelibatan masyarakat

secara keseluruhan juga merupakan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang.

Dalam kata lain instrumen penataan ruang dapat dimanfaatkan oleh pengelola

wilayah administrasif ataupun kawasan fungsional dalam pelaksanaan kegiatan

(27)

didukung oleh pelayanan sosial-ekonomi yang baik bagi kesejahteraan

masyarakat.

Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang

merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan

transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang

berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya:

(1) Pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya

permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari

peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) Adanya

pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer

(sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas

sektor-sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).

2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Wilayah menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang

merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang

batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek

fungsional. Sedangkan menurut Winoto (1999), wilayah sebagai area geografis

yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk

berlokasi dan berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan

digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut, namun ciri

dan kandungan area geografis yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah

merupakan hal yang masih diperdebatkan.

Dalam memahami wilayah, terdapat juga pengertian wilayah sebagai

wilayah nodal. Wilayah nodal merupakan bentuk spesifik dari wilayah fungsional

dan dianggap sebagai suatu sel yang terdiri dari satu inti (center) dan dikelilingi

oleh plasma (hinterland). Inti merupakan daerah center of excellence dan

memiliki sifat lebih majemuk daripada daerah hinterland. Inti atau pusat berfungsi

sebagai tempat konsentrasi penduduk, pusat pasar, pusat perdagangan, pusat

pelayanan masyarakat, pusat industri dan inovasi. Hinterland mempunyai fungsi

spesifik sebagai pemasok bahan mentah, tenaga kerja dan sebagai tempat

(28)

penyeimbang ekologis. Pola hubungan yang terjadi antara pusat dan daerah

hinterland adalah hubungan fungsional yang berjenjang (hirarki) sehingga timbul

ketergantungan hinterland kepada inti. Selanjutnya Winoto (1999), menjelaskan

bahwa peubah-peubah yang digunakan untuk membatasi wilayah nodal adalah

kepadatan penduduk, jenis dan jumlah sarana pelayanan serta sirkulasi kapital.

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua

kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan

kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah.

Dalam tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam ( 3 )

tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2)

wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau

programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi

berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor yang dominan pada wilayah

tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor yang tidak dominan dapat beragam.

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah,

secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor

alamiah yang dapat menyebakan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan

lahan, iklim, dan berbagai faktor lainya. Sedangkan homogenitas yang bersifat

artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan

aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial

adalah wilayah homogen dasar kemiskinan (peta kemiskinan).

Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi

sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut

Rustiadi et al., (2004), wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan

sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama

yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat

sesuai denga permasalahan masing-masing wilayah. Konsep wilayah nodal

didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu sel

hidup yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat

pelayanan/pemukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang

(peripheri/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai

(29)

Konsep wilayah perencanaan, merujuk pada wilayah yang dibatasi

berdasarkan kenyataan terhadap sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang

bersifat alamiah maupun artifisial dimana keterkaitannya sangat menentukan

sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu

daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan

matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral.

Perencanaan wilayah (regional planning) pada dasarnya merupakan upaya

intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan

wilayah memiliki tiga tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan

antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi

masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan pengembangan wilayah (regional

development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi,

mengurangi kesenjangan antar wilayah, tujuan utamanya adalah menyerasikan

berbagai kegiatan pembangunan sektoral dan wilayah, sehingga pemanfaatan

ruang dan sumberdaya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan

kehidupan masyarakat (Riyadi, 2002).

Menurut Rustiadi et al. (2005) perencanaan pengembangan wilayah

merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu yang

saling berkaitan didalam menjawab permasalahan-permasalahan pembangunan

serta aspek-aspek proses politik, manajemen dan administrasi perencanaan

pembangunan yang berdimensi ruang dan wilayah. Proses kajian perencanaan dan

pengembangan wilayah memerlukan pendekatan-pendekatan yang mencakup : (1)

aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami

fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi. Oleh karena itu diperlukan

pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model

sistem untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan

wilayah; (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah,

teknik-teknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan; dan (3) aspek kebijakan,

mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses

pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial

pembangunan. Bidang kajian ini tidak saja menjawab pertanyaan mengapa

(30)

bangun. Oleh karenanya mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat

spasial (spatial planning), tata guna lahan (land use planning) hingga perencanaan

kelembagaan (Structural planning) dan proses perencanaan.

Sebagai suatu ilmu yang mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan dan

mencakup aspek sumberdaya serta interaksi dan interelasi antar wilayah, maka

kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memiliki sifat: (1) berorientasi

kewilayahan; (2) futuristik; dan (3) berorientasi publik. Secara umum perencanaan

pengembangan wilayah ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu: (1) inventarisasi,

klasifikasi dan evaluasi sumberdaya; (2) aspek ekonomi; (3) aspek kelembagaan

(institusional) dan; (4) aspek spasial/lokasi.

Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua

sisi yang saling berkaitan. Disisi sosial-ekonomi, pengembangan wilayah adalah

upaya memberi kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, misalnya

menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana, dan

sebagainya. Disisi lain secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan

untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan

manusia terhadap lingkungan.

Berkembangnya suatu wilayah sangat terkait oleh tingkat pemanfaatan dari

tiga sumberdaya yakni sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi.

Kemudian Prod homme (1985), dalam Triutomo (2001), menyatakan bahwa

pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari

semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan

kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah.

2.4. Kota dalam Pengembangan Wilayah

Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan

pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,

pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan

kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis,

dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses

(31)

Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi

(restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan

sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk

mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan

pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Desain urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun, desain urban akan

sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan

yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses

yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai

dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termasuk kepada

kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada

aspek lokal (Martokusumo, 2006).

Menurut Budiharjo (1997), kota adalah kumpulan orang-orang yang

berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan

nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya.

Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya

memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan

membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-nilai yang

dianut masyarakatnya.

Kota dari pandangan yuridis administrasi dapat didefinisikan sebagai suatu

daerah tertentu dalam wilayah negara, dimana keberadaannya diatur oleh

undang-undang (peraturan tertentu) daerah, dimana dibatasi oleh batas-batas administratif

yang jelas yang keberadaannya diatur oleh undang-undang/peraturan tertentu dan

ditetapkan berstatus sebagai kota dan berpemerintahan tertentu dengan segala hak

dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya (Yunus, 2005).

Sementara itu menurut Sujarto (1970), yang dikutip Yunus (2005), kota adalah

suatu wilayah negara/suatu areal yang dibatasi oleh batas-batas administrasi

tertentu, baik berupa garis yang bersifat maya/abstrak ataupun batas-batas fisikal,

misalnya sungai, jalan raya, lembah, barisan pegunungan dan lain sebagainya

yang berada di dalam wewenang suatu tingkat pemerintahan tertentu yang berhak

(32)

Kota di tinjau dari morfologi kota, dapat didefinisikan sebagai suatu daerah

tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan

sebagian besar tertutup oleh bangunan baik bersifat residensial maupun non

residensial, kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan

jalan yang kompleks, dalam satuan permukiman yang kompak dan relatif lebih

besar dari satuan permukiman kedesaan di sekitarnya. Sementara itu daerah yang

bersangkutan sudah/mulai terjamah fasilitas kota (Yunus, 2005).

Kriteria Umum Kawasan Perkotaan menurut Kepmen Kimpraswil 327/2002

adalah: (1) memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih

dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan; (2) memiliki jumlah

penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa; (3) memiliki kepadatan penduduk

sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; (4) memiliki fungsi sebagai pusat koleksi

dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana

pergantian moda transportasi.

Budiharjo (1997), mengatakan bahwa fungsi kota sebagai pusat pelayanan

(service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh

kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman.

Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) memenuhi kebutuhan masyarakat

akan tempat berusaha dan tempat tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas;

dan (2) memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa

aman, damai, tenteram dan sejahtera.

Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk

lebih meningkatkan produktifitas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor

perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan

ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan

sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan

perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang

berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap

lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga

diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin

pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik

(33)

Menurut Rustiadi et al. (2005) dilihat dari konsep keruangan (spasial) dan ekologis, urbanisasi merupakan gejala geografis yakni; a) adanya perpindahan

penduduk keluar wilayah ; b) gerakan/perpindahan penduduk yang terjadi

disebabkan adanya salah satu komponen dari ekosistem kurang/tidak berfungsi

secara baik sehingga terjadi ketimpangan dalam ekosistem setempat; c) terjadinya

adaptasi ekologis yang baru bagi penduduk yang pindah dari daerah asal ke

daerah yang baru, dalam hal ini kota. Sehingga urbanisasi dapat dipandang

sebagai suatu proses dalam artian : (1) meningkatkan jumlah dan kepadatan

penduduk kota menjadi lebih menggelembung; (2) bertambahnya kota dalam

suatu negara atau wilayah akibat dari perkembangan ekonomi, budaya dan

tehnologi baru; (3) merubah kehidupan desa atau nuansa desa menjadi suasana

kehidupan kota.

Yunus (2006), ada dua dimensi dalam membahas urbanisasi yaitu; (1)

dimensi fisiko-spasial dan (2) dimensi non fisikal. Dalam dimensi fisiko-spasial,

urbanisasi berarti berubahnya kenampakan fisiko spasial kedesaan menjadi

kenampakan fisiko-spasial kekotaan. Jadi urbanisasi merupakan proses

berubahnya ketiga elemen morfologi kekotaan (land use characteristics; building

characteristics dan circulation characteristics). Sedangkan dimensi non fisikal

merupakan berubahnya keseluruhan dimensi kehidupan manusia (perilaku

ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi) dari sifat kedesaan menjadi bersifat

kekotaan.

Sub-urban diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman

baru dan juga kawasan industri di pinggir wilayah perkotaan, terutama sebagai

perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk

kegiatan industri. Sub urban telah melahirkan fenomena yang kompleks di

wilayah sub urban yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian di perkotaan,

spekulasi lahan dan lain-lain.

Proses sub urbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang

semakin menonjol dan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan

ruang disekitar wilayah perkotaan (Rustiadi et al., 2005). Disatu sisi proses ini

dipandang sebagai perluasan wilayah ke wilayah pinggir kota yang berdampak

(34)

dinilai sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya selalu diiringi

dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat prodiktif.

2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan

Menurut Hanafiah (1989), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai

kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai

kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat

yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan

kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata.

Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred

Weber pada tahun 1909 (Tarigan, 2005). Apabila Von Thunen menganalisis

lokasi kegiatan pertanian, maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri atas

prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan

asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang

homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat aktifitas, dan kondisi

pasar adalah persaingan sempurna.

2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia di

mana-mana dalam jumlah yang memadai (ubiquitous).

3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu

dengan jumlah terbatas.

4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi

dengan mobilitas yang tetap.

Teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah:

1. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja.

Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara

fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya

transportasi berbanding lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan

tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi

(35)

2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi (aglomerative and deglomerative

force). Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut

menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam

suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan

cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal

ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar

lokal yang ditandai oleh dis-economic of scale, dan ini akan mengakibatkan

menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya.

Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung

akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber

menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi

lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional

dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor

yang dapat memodifikasi lokasi.

Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya

input, dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adalah

termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen

tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda,

sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum,

yaitu lokasi di mana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh

Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah (1989). Dalam konsep teori

lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi:

1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga

kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen

2. Kepadatan penduduk yang seragam dan dengan selera yang konstan.

3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan.

Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat

persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat

memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat

berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari

(36)

mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang

menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar.

Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut

Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar

(Tarigan, 2005).

Menurut Isard (1960), dalam Tarigan (2005), masalah lokasi merupakan

masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada

suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi

sangat dipengaruhi oleh faktor dasar: (a) biaya input atau bahan baku; (b) biaya

transportasi; dan (c) keuntungan aglomerasi.

Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isaard pada

tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah:

1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu

perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu

lokasi.

2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok

perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan

produksi total pada suatu lokasi.

3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi

semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebagai konsekuensi kegiatan

ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk,

tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat.

Secara alamiah, terdapat kecenderungan pada setiap individu penduduk dan

perusahaan untuk memilih lokasi pada daerah-daerah yang relatif sudah

berkembang atau daerah-daerah yang menjadi pemusatan di dalam wilayah yang

bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan

oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan

perusahaan atau aktifitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah

tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan

(37)

Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang

diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri

secara keseluruhan pada suatu daerah di mana terjadi pemusatan kegiatan.

Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya

pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktifitas sosial ekonomi,

ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi

dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta.

Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, di mana pusat-pusat

aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang

lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi

atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas

oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah

tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi,

kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas

perhubungan.

Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif sekaligus.

Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan

menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan

menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi

terbatas. Apalagi dengan adanya aktifitas lembaga pemerintahan yang berhirarki

lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah

tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya.

Dusseldorp (1971), diacu dalam Prakoso (2005), mengemukakan bahwa

konsep dasar teori pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas

ambang dan hirarki. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti akan

berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan sekaligus menobatkan

daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat

pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain:

1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada

tidak dipusatkan;

(38)

3. Mengoptimalkan fungsi kelembagaan dan social capital masyarakat.

Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi

fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang

cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya

pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen.

Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang

bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan

perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi.

Hakimi (1964), diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bagaimana

menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang

tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu

simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan

memiliki kriteria bobot yang ditetapkan.

Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini

merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan

permasahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan.

Hakimi mengatakan, bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan

jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu di

mana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut.

Pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah akan

menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis

barang, jasa, dan pelayanan terbaik yang juga tersebar di berbagai lokasi yang

dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat

dijangkau memiliki banyak pilihan dan masyarakat akan memilih yang berada

pada posisi most accessible bagi mereka.

Suatu lokasi dapat dikatakan most accessible apabila mempunyai kriteria

berikut (Rushton 1979):

1. Kriteria jarak rata-rata minimum, yaitu jarak total dari semua penduduk yang

akan dilayani ke pusat pelayanan terdekat adalah minimum, disebut juga jarak

(39)

2. Kriteria jarak maksimal, yaitu apabila jarak terjauh dari tempat penduduk yang

akan dilayani ke pusat pelayanan adalah minimum yang disebut dengan jarak

minimax;

3. Kriteria penetapan berdasarkan kesamaan, yaitu apabila jumlah penduduk

yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat

selalu sama dengan jumlah yang ditentukan;

4. Kriteria ambang batas (population treshold), yaitu apabila jumlah penduduk

yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat

selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan; dan

5. Kriteria kapasitas atau daya tampung, yaitu apabila jumlah penduduk yang

akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan teredekat selalu

lebih kecil dari jumlah yang ditentukan.

Rushton (1979), mengungkapkan permasalahan lokasi yang terjadi di

negara berkembang, yaitu:

1. Belum berkembangnya sistem transportasi. Sistem transportasi yang ada

belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga

sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan.

2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi fasilitas

yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang,

sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu

permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan.

3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial. Perlunya perbaikan pada

sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering

menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan

datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan

sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu.

4. Ketidakmerataan tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerataan

kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga

perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat

mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan

(40)

Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar

menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat

keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut

berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada

penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan

lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada

pada tempat sentral.

2.6. Hirarki Pusat Aktivitas

Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang

sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola

spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von thunen dari suatu pemikiran

sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi

dari perbedaan harga produksi pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya

produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya

biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa : (1) biaya

hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap

homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme suplai dan demand

yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to

trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat

menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi.

Kemudian Christaller (1966), dan Losch (1954), dalam Smith (1976),

dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa

dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas. Menurut Christaller

(1966), setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga

aktivitasnya akan menjadi efesien apabila jumlah konsumennya mencukupi.

Karena itu lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujuakan untuk melayani

wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan

demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung

kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk

memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya trasport dan frekwensi

(41)

Lokasi di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand

konsumen yang mencakupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut

dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini

fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi

spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya.

Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat

pelayana hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. Sementara dari sisi

karakteristik demand, produk yang sifatnya inelastis dan frekwensi

penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I,

sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimalisasi jumlah

konsumen yang harus dilayani.

Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan

top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah atau

bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi.

Christaller (1966), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan

top down. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama akan menjadi

semakin besar dan meyebar daripada lokasi pusat yang lebih rendah. Lokasi pusat

utama ini akan menyediakan barang dan jasa utama, yaitu barang dan jasa yang

dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya tinggi, dan sekaligus

menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang

dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang

dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen

dengan treshold-nya rendah ingin medapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari

treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah

hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah.

Sedangakan Losch (1954), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi

melalui pendekatan bottom up. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat

utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat

yang lebih rendah hanya akan meyediakan barang dan jasa yang lebih rendah.

Menurut Smith (1976), pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti,

(42)

empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan

barang dan jasa utama saja.

Pada perkembangan selanjutnya, Isard (1975), mulai mempertanyakan

kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya

yang kurang realistis. Berkaitan dengan teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang

dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan

sempurna antara produsen/suplier, lokasi produsen/suplier hanya didasarkan pada

treshold, hanya ada satu produsen/suplier pada satu pusat, dan konsumen

melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja.

Berdasarka hasil temuan empiris, produsen/suplier selain menyediakan jasa

untuk konsumen, pada dasarnya juga menjadi konsumen bagi produsen/suplier

yang lain. Karena itu antara produsen/suplier pun saling terkait dalam kerangka

sistem supply dan demand. Dengan demikian sebenarnya para produsen/suplier

akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut.

Menurut Isard (1975), teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya

konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah

yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya.

Selain itu, berdasarkan hasil temuan empiris konsumen biasanya akan

membeli lebih dari satu jenis barang dan jasa dalam satu kali perjalanan. Karena

itu ketersediaan jenis barang dan jasa yang beragam akan mendorong konsumen

untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa

konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat

asumsi bahwa lokasi produsen/suplier hanya ditentukan oleh treshold-nya menjadi

tidak realistis. Apabila produsen/suplier memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa

melayani wilayah konsumen yang lebih luas. Tetapi karena bagi konsumen

membeli berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport

menjadi lebih murah, maka produsen/suplier yang berbeda akan memilih lokasi

yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen.

Selanjutnya menurut Smith (1976), teori lokasi pusat ini akan sangat

membantu dalam menganalisa sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di

lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem

Gambar

Tabel 1. Spesifikasi Citra Ikonos.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian.
Tabel 2. Aspek, Variabel, Jenis Data, dan Sumber Data yang Digunakan.
Tabel 3. Matrik Tujuan, Analisis, Variabel, Data dan Keluaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka Pejabat pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan Sumber Dana DAU APBD T.A 2013 menyampaikan Pengumuman Pemenang Pada Paket Tersebut diatas.

Sementara Imām Ibnu Qudāmah sebagai pengikut Mażhab Ḥanbali, dimana salah satu syarat saksi nikahnya tidak memperbolehkan anak atau ayah mempelai (garis keturunan ke atas

Caranya dengan menyumbangkan pasangan elektronnya.Reaksi oksidasi didefinisikan sebagai suatu reaksi kimia yang memberikan elektron dari suatu zat ke oksidator,

PER PERME MENKE NKES S NOM NOMOR OR 51 510$ 0$ME MENKE NKES$P S$PER$ ER$%II %II$20 $2009 09 TTG TTG PEM PEMBER BERIAN IAN KUA KUASA SA DAN DAN PENDEEGASIAN KE&ENANGAN

Lembaga Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LKS adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk

(2005) Metode Jensen Kinerja reksa dana saham yang terdaftar di Bapepam akan memberikan hasil yang lebih baik dari kinerja pasar Objek penelitian merupakan reksa dana

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id.. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Hasil penelitian ini program seleksi tenaga kerja, training kerja dan penghargaan terhadap kinerja karyawan ini didukung peneliti sebelumnya yang sama-sama