• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rencana Pemanfaatan Lahan Tidur Berdasarkan Pendekatan Ekosistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Rencana Pemanfaatan Lahan Tidur Berdasarkan Pendekatan Ekosistem"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA PEMANFAATAN LAHAN TIDUR BERDASARKAN PENDEKATAN EKOSISTEM

RAHMAWATY, S. Hut., MSi.

Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam mencukupi pangan penduduk, tantangan yang dihadapi pada masa yang akan datang tidak hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

Disamping itu upaya pemanfaatan lahan dalam rangka pembangunan pertanian khususnya pertanian tanaman pangan dan pemenuhan akan protein hewani tidak saja menggunakan lahan subur ataupun yang mempunyai irigasi tetapi juga telah diarahkan kepada pemanfaatan lahan marginal.

Pengelolaan tanah yang meliputi kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, konservasi tanah dan pemupukan dimulai di lapangan dengan pembukaan hutan, semak ataupun padang alang-alang atau rumput-rumput lainnya (Arsyad,1989). Tindakan tersebut berlangsung selama tanah masih digunakan untuk pertanian. Ketidakmegertian akan pentingnya masalah erosi, pelapukan dan pencucian hara mineral yang intensif dibawah iklim tropika basah telah menyebabkan meluasnya tanah-tanah yang rusak, miskin dan tidak subur di daerah tropika.

Penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah diperlukan untuk mengembalikan fungsi tanah-tanah yang rusak dan menjaga tanah-tanah yang rusak dan tanah yang baru dibuka agar tercapai produksi setinggi-tingginya secara lestari (Hardjowigeno, 1995). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang terdapat pada pasal 7 UU RI no.12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman bahwa pengelolaan lahan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan berdasarkan azas manfaat, lestari dan berkelanjutan. Namun demikian pada akhirnya, keberlanjutan lingkungan merujuk pada kemampuan man usia untuk memelihara lingkungan tersebut agar lestari dalam kehidupannya sehari-hari (Ekins, 1994).

B. Tujuan

(2)

II. PENGERTIAN LAHAN TIDUR

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi pertanian adalah terjadinya konversi lahan subur yang cenderung semakin cepat. Sebagai contoh, lahan sawah yang beralih penggunaannya untuk keperluan non pertanian seperti industri, pemukiman, jalan dan lainlain diperkirakan 30.000 Ha setiap tahun (Adjid, 1994). Padahal wilayah lahan subur tersebut pada umumnya telah tersedia infrastruktur yang memadai sehingga sabgat mempengaruhi produksi pertanian.

Di beberapa lokasi telah terjadi konversi lahan, dan pemanfaatan lahan di lokasi lainnya ternyata masih belum optimal. Data statistik menunjukkan bahwa hingga tahun 1991 masih terdapat 0,7 juta Ha lahan sawah dan 7,8 juta Ha lahan kering yang belum diusahakan secara optimal dan terlantar (Adjid, 1994). Bersamaan dengan itu pada lahan yang telah dimanfaatkan ternyata intensitas pertanamannya masih relatif rendah yaitu di sawah 130% dan di lahan kering 52%.

Lahan-lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif dapat dikategorikan sebagai lahan tidur (Karama dan Abdurrahman, 1994). Sebagai contoh, lahan-lahan yang pernah dibuka untuk pertanian atau diambil kayunya untuk keperluan industri lalu tidak digunakan lagi atau terlantar. Kondisi lahan tersebut umumnya terbuka atau telah ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan yang tidak produktif seperti alang-alang, semak belukar dan lain-lain.

III. TIPE EKOSISTEM

Suatu sistem produksi pertanian yang dirancang dan dikelola sebagai suatu ekosistem, sejauh mungkin berusaha untuk menghindari hilangnya energi dan bahan mentah dan cenderung untuk menyelesaikan siklus-siklusnya mengingat dua tjuan utama yaitu menjamin dikembalikannya residuresidu untuk dipakai lagi dalam sistem produksi dan memperbaiki produktivitas (Bergeret, 1987).

Di lain pihak menurut Jansen (1987) dua konsep yang sangat berbeda terlibat dalam stabilitas yang sering diwarnai ekosistem tropis, yaitu:

a. Disebabkan oleh kekurangan yang nyata pada variasi cuaca tiap tahun dan sedikit variasi dalam iklim dari tahun ke tahun

b. Sistem biologis yang kompleks dari dataran rendah tropis sangat mudah terganggu dan sulit disusun kembali dengan tanaman tepi jalan, hutan-hutan dan hewan.

c. Tanah di daratan rendah tropis sering merupakan tempat penyimpanan hara dengan kapasitas sangat rendah.

Di Indonesia, tanah-tanah yang termasuk subur sebagian besar sudah diusahkan penduduk. Walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya usaha intensifikasi misalnya dengan cara pemupukan, pemeliharaan tanah dan tanaman yang sebaik-baiknya. Tanah-tanah yang belum diusahakan umumnya tinggal tanah kurang baik yang disebut tanah marginal (Hardjowigeno, 1995). Walaupun demikian tanah-tanah ini merupakan sasaran untuk melakukan usaha perluasan areal pertanian (ekstensifikasi) di masa yang akan datang.

Secara garis besar tanah-tanah untuk perluasan areal ini dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

(3)

b. tanah-tanah daerah rawa yang pada umumnya terdiri atas tanah Histosol (tanah gambut, tanah organik) dan tanah sulfat masam (Hardjowigeno, 1995).

Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Jumberi dan Noor (1995) bahwa Podzolik Merah Kuning adalah jenis tanah yang mendominasi lahan kering di Indonesia. Sebagai contoh di Kalimantan, luas lahan kering dengan jenis tanah Podzolik Merah Kuning diperkirakan sekitar 20,7 juta ha (60%), yang umumnya tersebar pada daerah beriklim basah (Partohardjono et al, 1994). Sedangkan secara keseluruhan luasnya diperkirakan mencapai 34,6 juta ha yang sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan Irian Jaya.

Lahan dengan tanah Podzolik Merah Kuning terdapat pada daerah berklim basah maupun kering, dengan curah hujan 2.500 mm per tahun memberikan gambaran bahwa lahan tersebut terdapat pada daerah beriklim basa karena rata-rata curah hujan perbulan lebih dari 200 mm dengan bulan kering sekitar 2 – 3 bulan. Di lain pihak topografi lahan bergelombang adalah lahan dengan kecuraman lereng 8 – 15 % (Arsyad, 1989). Dengan demikian tipe ekosistem yang dikemukakan dalam makalah ini adalah lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan kecuraman lereng berkisar 8 – 15 %.

IV. PENDEKATAN EKOSISTEM

Komunitas dan lingkungan yang tidak hidup, berfungsi bersama sebagai sistem ekologi disebut ekosistem. Ekologi didefinisikan sebagai pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya dan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian struktur dan fungsi alam, dimana telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Samingan, 1996).

Konsep ekosistem merupakan konsep yang luas, fungsi utamanya di dalam pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib, ketergantungan dan hubungan sebab musabab, yaitu perangkaian komponenkomponen untuk membentuk satuan-satuan fungsional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari segi fungsional, ekosistem dapat dengan baik dianalisis menurut segi berikut: 1. sirkuit-sirkuit energi, 2. rantai makanan, 3. polapola keanekaragaman dalam waktu dan ruang, 4. daur-daur makanan (biogeokimia), 5. perkembangan dan evolusi, 6. pengendalian (cybernetics) (Samingan, 1996).

Dengan dasar konsep ekosistem, maka setiap bidang lahan harus digunakan sesuai dengan karakter ekosistemnya agar tidak terjadi kerusakan akibat kesalahan pengelolaan. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan produktivitasnya hingga mencapai optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, kelas kemampuan lahan harus digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan pertanian secara makro.

Selanjutnya, dalam pemilihan komoditas dan teknologi usahatani pada lahan tertentu, kelas kesesuaian lahan harus dipertimbangkan. Penentuan kelas kesesuaian lahan harus sudah didukung oleh data iklim, terutama untuk keperluan perencanaan yang bersifat mikro. Data distribusi curah hujan, misalnya perlu diketahui untuk merencanakan waktu dan pola tanam; data jumlah dan intensitas hujan diperlukan untuk memilih teknologi konservasi.

(4)

hal-hal seperti: 1. besarnya nilai evapotranspirasi jika dibandingkan dengan curah hujan, 2. stem flow, yaitu memperhatikan aliran air dari daun ke batang lalu ke tanah yang nantinya berhubungan dengan bahaya erosi, 3. allelopati dan allelokimia diperhatikan dalam hubungannya dengan jarak tanam, 4. mempertimbangkan tanaman penyelenggara ecologycal niche,5. mendukung keadaan sosial dan budaya masyarakat setempat, 6. tata tanam campuran yang dapat menghindarkan hama dan penyakit, 7. tanaman yang bernilai ekonomi.

Sumberdaya manusia merupakan faktor dominan dalam pembangunan menggunakan pendekatan ekosistem. Dalam penggunaan dan pengelolaan sumberdaya secara bijaksana dalam rangka mengupayakan pembangunan yang berkesinambungan. Untuk itu tingkat pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya kualitas lingkungan hidup merupakan hal penting disamping kepadatan penduduk dan kebudayaan masyarakat.

Dengan demikian pemanfaatan lahan tidur seperti lahan kering Podsolik Merah Kuning beriklim basah dengan topografi bergelombang memerlukan pendekatan ekosistem yaitu adanya interaksi antara beberapa komoditas sehingga keadaan lingkungan tetap baik. Sebagai contoh, laju erosi dapat dikendalikan, mempertahankan kesuburan lahan dan optimasi pemanfaatan lahan melalui penerapan suatu tata tanam tertentu.

V. KENDALA PENGEMBANGAN

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun.

Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.

Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu berproduksi secar optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya untuk itu.

(5)

VI. PROSPEK PENGEMBANGAN

Dari segi luas, lahan kering PMK di Indonesia mencapai 47,6 juta ha, namun demikian berdasarkan kemiringan lerengnya lahan yang potensial untuk produksi pertanian adalah kurang dari 15% atau bergelombang.

Berbagai cara untuk menangani lahan kritis seperti lahan kering PMK adalah melalui program reboisasi dan penghijauan. Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB, 1987 dalam Hakim et al, 1997).

Usaha terpadu tanaman-ternak yang tersiri dari tanaman pangan, ternak dan karet dapat meningkatkan pendapatan petani (Anwarhan dan Supriadi, 1997). Masalah kemasaman tanah dapat diperbaiki terlebih dahulu misalnya menggunakan kapur atau bahan organik sebelum dilakukan pemupukan (Arief dan Irman, 1997). Sedangkan untuk mengurangi erosi, menyuburkan tanah, sumber pakan ternak diperlukan penerapan sistem usaha tani konservasi seperti pertanaman lorong dengan menggunakan tanaman pepohonan sebagai tanaman pagar hidup (Basri, 1997) dan pengurangan masukan sarana produksi dan tata tanam yang tepat (Noorginayuwati et al, 1997).

Tanaman penutup tanah dapat pula ditanam khusus untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah (Arsyad, 1989). Disamping itu, pergiliran tanaman dapat dilakukan dengan cara penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada sebidang tanah. Akhirnya pertanian-hutan (agroforestry dapat pula dijadikan alternatif pemanfaatan lahan kering PMK beriklim basah dengan topografi bergelombang.

VII. RENCANA PEMANFAATAN

Rencana pemanfaatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah beberapa alternatif pola pemanfaatan yang menurut beberapa ahli dapat diterapkan berdasarkan pendekatan ekosistem pada lahan kering PMK beriklim basah dengan topografi bergelombang. Beberapa alternatif tersebut dikemukakan sebagai berikut:

A. Usaha Tani Tanaman-Ternak

(6)

B. Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong

Rotasi tanaman dalam budidaya lorong yang dimaksudkan dalam hal ini adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim (Hakim et al, 1997). Meskipun berdasarkan kaedah konservasi, tanaman semusim tidak dianjurkan, tetapi dapat dilakukan jika bersamaan dengan menanan tanaman tahunan penahan erosi. Cara ini pernah dilakukan di lahan kritis di Sumatera Barat (Desa Belimbing), yaitu dengan penerapan rotasi jagung-kedelei atau jagung-jagung dalam budidaya lorong dan mempunyai pengaruh terhadap kesuburan tanah. Sebagai tanaman pagar, rumput raja (king grass) lebih baik daripada tanaman pupuk hijau karena lebih mampu menekan laju erosi. Sebelum ditanami rumput raja, tanah terlebih dahulu dikapur 2 t CaCO3/ha yang diaduk rata dengan tanah.

Rumput taja ditanam pada garis kontur dengan jarak 1 m. Dengan cara ini akan terbentuk lorong-lorong dengan lebar 4-6 m. Namun demikian cara ini harus pula dibarengi dengan pengusahaan tanaman tahunan yang berwawasan konservasi.

C. Usaha Tani Campuran

Usahatani campuran dalam hal ini adalah sistem pertanaman yang mencakup tanaman pangan, tanaman tahunan, tanaman penahan erosi, dan tanaman pakan ternak, sedangkan serasering dibuat untuk membantu mengurangi bahaya erosi dan memperbaiki tata air (Samingan, 1998). Tanaman tahunan yang ditanam berupa durian dengan jarak tanam 10 x 10 m. Untuk meningkatkan penggunaan cahaya matahari dapat pula ditanam sirsak, manggis atau srikaya, sedangkan jika ditanam pisang atau pepaya jangan terlalu dekat karena sifat allelopatinya.

Di bawah tanaman tahunan ini dapat ditanam kacang panjang atau tanaman kacang-kacangan lainnya. Kemudian untuk menyediakan pakan bagi burung, pada bagian pinggir dapat ditanam pohon salam, sedangkan pada pinggir teras dapat ditanam tanaman kelapa yang dapat menghasilkan secara ekonomi. Pada pinggiran teras dapat juga ditanam tanaman penutup tanah untuk mengurangi laju erosi atau dapat juga ditanam talas. Tanaman sengon misalnya harus dihindari karena secara terus-menerus dapat menurunkan pH tanah sehingga meningkatkan kadar aluminium dalam tanah yang dapat meracuni tanaman. Pemupukan Posphor yang diperlukan pada lahan PMK dapat dilakukan dengan jalan menggunakan kompos yang dapat meningkatkan mikroorganisme dalam tanah dan hal ini akan meningkatkan ketersediaan N meningkatkan P dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Tanaman tahunan lainnya dapat ditanam misalnya nangka, cempedak sehingga dapat menambah pendapatan. Tanaman bambu dapat pula jika akan ditanam dengan tanaman semusim perlu memperhatikan pangkas atau disadap maka jangan lupa harus melakukan pemupukan. Pada bagian lain yang curam dapat ditanam pohon jengkol yang sifatnya toleran terhadap miskin unsur hara.

VIII. KESIMPULAN

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, D.A. 1994. Kebijaksanaan Swasembada dan Ketahanan Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbang Deptan. Hal. 50-64.

Anwarhan, H., dan H. Supriadi. 1997. Pengembangan Teknologi Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Lahan Kering. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1633-1645.

Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Cetakan I. Bogor. 290 hal.

Basri, I.H. 1997. Budidaya Lorong di Lahan Kering Masam. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Balitbangtan. Deptan. Hal. 1687-1697.

Bergeret, A. 1987. Sistem Produksi menurut Pendekatan Ekologis dalam Ekofarming Bertani Selaras Alam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 44-48.

Ekins, P. 1994. The Environmental Sustainability of Economics Processes; A Framework for Analysis; in Toward Sustainable Development: Concept, Methods and Policy, Island Press. Washington D.C. pp. 25-26.

Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1997. Perbaikan Lahan Kritis dengan Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. 233 hal.

Jansen, D.H. 1987. Ekosistem Pertanian Tropis, dalam Ekofarming Bertani Selaras Alam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 1-28.

Jumberi, A. Dan A. Noor. 1995. Penggunaan Bahan Amelioran pada Tanaman Pangan di Lahan Kering Beriklim Basah, Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III Buku I. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 755-765.

(8)

Noorginayuwati., A. Jumberi dan Nurtirtayani, 1997. Perbaikan Sistem Usaha Tani di Lahan Kering Beriklim Basah di Kalimantan Selatan. Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1698-1706.

Pandang, M.S.,dan Subandi. 1997. Sistem Usahatani Konservasi Menunjang Pendapatan Petani Lahan Kering. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III Buku 6. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1676-1686.

Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Samingan, T. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan ini merupakan fasilitas yang mampu mengintergrasikan sistem proses, basis data dan komponen pengetahuan yang terdapat di dalam sistem dengan pengguna

Permasala- han yang dikaji dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh Koperasi Serba Usaha di Kecamatan Gringsing masih rendah atau belum baik, sehingga

Dahulu responden berkerja sebagai nelayan pada saat itu pendapatan nelayan sangat mencukupi pada saat itu karena hasil tangkap yang mereka hasilkan cukup banyak,

Ketidakstabilan keluaran rangkaian pengkuadrat dan pengkali empat diakibatkan karena perbedaan fasa sinyal cos dan –cos hanya 162°.Rangkaian schmitt trigger mengubah

Hasil penelitian menunjukkan: sampai minggu ke-8 dan ke-12, sapi Bali nyata lebih cepat (P<0,05) mengalami kebuntingan dibandingkan dengan sapi PO, dimana level protein

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pertumbuhan dan kandungan pigmen rumput laut merah Kappaphycus alvarezii (Doty) yang

Cakupan tindak pidana Pasal 221 ayat (1) ke-1 KUHPidana yaitu menyembunyikan pelaku kejahatan atau memberi pertolongan kepadanya menghindari penyidikan atau