1 Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan
( Studi Dekskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan )
Oleh:
Jayanty PN Sihombing
110905018
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PERNYATAAN ORIGINALITAS
Perempuan di LembagaPemasyarakatan
( Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juli 2015 Penulis
ii ABSTRAK
Jayanty PN Sihombing, 2015 judul skripsi: “Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ) ”. Skripsi. Progrm Sarjana Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini mendeskripsikan : “Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”. Kajian ini menjelaskan tentang keberadaan sistem hukum dalam proses pembinaan narapidana, dan gambaran kehidupan narapidana perempuan dalam menjalankan masa hukuman yang ditetapkan berdasarkan keputusan pengadilan. Permasalahan yang dikaji pada skripsi ini adalah mengetahui bagaimana koeksistensi berbagai aturan hukum dalam proses pembinaan narapidana.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan aturan-aturan yang digunakan dalam pembinaan narapidana perempuan, mendeskripsikan kegiatan narapidana perempuan dalam menjalani masa hukuman . Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipasi serta memeriksa dokumen-dokumen yang sesuai. Peneliti mencari data dengan ikut langsung mengamati kegiatan informan selama waktu yang tidak ditentukan dengan harapan data yang didapati agar lebih akurat. Peneliti menjadi instrumen penting pada penelitian antropologi yang bersifat kualitatif deskriftif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ideal Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan narapidana dimana dalam proses pembinaan narapidana telah diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan hakim. Proses pembinaan narapidana dilakukan pihak-pihak yang berperan penting seperti instansi penegak hukum (polisi, jaksa), instansi pendukung ( Depkes, Depnaker, Depag, Depdiknas) dan, pihak swasta (LSM). Fakta aktual menunjukkan, Lembaga Pemasayarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana memiliki aturan sendiri dalam melakukan proses pembinaan. Berkoeksistensinya antara hukum negara yang jelas mengatur proses pembinaan dan juga hukum di Lembaga Pemasyarakatan yang dilahirkan sendiri pada saat proses pembinaan menjadi saling mengisi diantara hukum yang ada. Konsekuensi dari hadirnya aturan hukum lain dalam proses pembinaan narapidana menimbulkan harmonisasi ketika hukum yang dimaknai dan direspon tersebut dalam interaksi proses pembinaan narapidana perempuan.
iii KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul ”Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan)” dengan baik. Skripsi ini merupakan rangkaian tugas akhir sebagai mahasiswa dan pelengkap lainnya dalam memenuhi persyarakatn untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang Atropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berisi tentang kajian analisis yang didasarkan pada observasi partisipasi dan wawancara penulis dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan. Secara sistematis kajian ini berfokus pada aturan-aturan sistem hukum yang ada di dalam proses pembinaan narapidana. Selain itu skripsi ini juga mendiskripsikan kehidupan narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan.
Isi dari skripsi penelitian ini adalah pertama Bab I berisi tentang bagaimana latar belakang permasalahannya, bagaimana rumusan masalahnya, tujuan dan manfaat dari penelitian ini, serta metode apa yang digunakan dalam penelitian ini dan juga mengenai bagaimana teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.
Bab II menjelaskan tentang gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan baik dari segi sejarahnya, lokasinya, struktur organisasinya, sarana dan prasarananya. Bab III menjelaskan tentang visi dan misi Lembaga Pemasyarakatan, fungsi, tugas pokok, dan tujuan Lembaga Pemasyarakatan serta bagaimana aktifitas narapidana perempuan berdasarkan aturan-aturan yang ada. Pada Bab IV menjelaskan dan menjawab kembali dari Bab I dan menyempurnakan Bab II dan Bab III yaitu dari pertanyaan Rumusan Masalah dan Tujuan dan Manfaat penelitian serta Kasus-kasus yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan.
iv banyak mengalami kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan masukan, saran maupun kritik dari para pembaca yang bersifat membangun dari memperbaiki skripsi ini ke arah yang lebih membangun. Demikian pangantar dari penulis, semoga bermanfaat.
Medan, Juli 2015 Penulis
v UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, kasih sayang dan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai manusia biasa tentunya tidak terlepas dari banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga penulisan ini masih belum bisa dikatakan sempurna, baik dalam penuturan kata ilmiah yang lazim maupun dalam penyajian data.
Adapun tulisan ini adalah sebagai tugas akhir dari seorang mahasiswa dalam mencapai gelar sarjana khususnya dalam bidang ilmu antropologi, dan dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan)
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan memberikan penghargaan kepada mereka yang membantu.
Skripsi ini saya persembahan terkhusus kepada kebangganku dan semangat hidupku yaitu kedua orangtuaku yang sangat kusayangi, kucintai, dan kubanggakan ayahanda M. Sihombing dan Ibunda R. Hutabarat. Dalam doaku kupanjatkan syukur kepada Tuhan, memiliki orangtua seperti kalian. Terima kasih banyak karena telah mendidikku dari kecil hingga duduk di bangku perkuliahan, terima kasih juga atas dukungan doa, semangat, kesabaran, motivasi, dan materi yang telah diberikan, terlebih kasih sayangnya selama ini. Jika ada kata yang lebih bermakna dari terima kasih akanku sampaikan kepada kalian. Ini bukti dari keringat kalian. Saya sangat bangga memiliki orang tua seperti bapak dan mama.
vi dan sangat banyak meluangkan waktu, memberikan ilmu dan nasehat serta saran-saran selama dalam bimbingan akademik dan bimbingan skripsi, mulai dari awal hingga akhir. Sosok dosen yang juga menjadi kakak, beliau jugalah yang telah membawa saya kelapangan melatih saya menjadi sorang antropolog sehingga banyak pengalaman yang tidak bisa saya lupakan bersama beliau saat di lapangan.
Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas fasilitas dan kemudahan yang diperoleh selama menjadi mashasiswa di Universitas Sumatera Utara. Kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.Bapak Drs. Agustrisno, M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara saya ucapkan terimakasih atas kemudahan yang diberikan.
Dosen penguji saya Dra. Zulkifli, M.A terima kasih atas saran dan masukan yang diberikan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada dosen-dosen di departemen Antropologi sosial, terimakasi atas ilmu yang telah diberikan, ilmu yang diberikan sangat berharga dan berguna bagi masa depan saya.
vii keluarga yang mampu membawa nama Op Goklas Sihombing. Tuhan Beserta kita selalu keluargaku. Saya cinta dan bangga memiliki kalian.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada kawan-kawan dekat saya Jernita, Elisabeth, Okavia, Tika Simajuntak, Dedek Ria Ley , Ezra, Lidya, Adelina, Fitris, Jonas, Hendra, Putra, Reza, Bismar, Ade, Mauli, Sihol terima kasih banyak untuk waktu, tawa dan tangis yang ada dalam persahabatan kita. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Saya juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada kerabat-kerabat penulis stambuk 2011 terkhusus kepada Sri mauliani, Richa Meliza, Rama Shita Husna, Rini Rezeki Utami, Suci Wulandari, Muhammad Rifai, Denny Pratama Putra, Asrul Wijaya Saragih, Nopi Putri, Citra Hareva, Onix, Medy, dan juga kerabat-kerabat lain stambuk 2011 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas hubungan persahabatan yang selama ini telah kita jalani bersama dengan baik di Departemen Antropologi.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada abang dan kakak stambuk 2007/2008/2009/2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Saya mengucapkan terima kasih banyak atas semuanya selama ini. Kepada adik-adikku, Lestari Panjaitan, Febriana, Cece Harianja, Junike Sihombing, Hendra, Rizky Y, Boy, Caroline dan adik stambuk 2012/2013/2014 yang tidak dapat saya ucapkan satu per satu tetap semangat ya, terimakasih untuk segalanya.
viii Terima kasih banyak semuanya. Kiranya Tuhan senantiasa membalas kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis.
Medan, Juni 2015 Penulis
ix RIWAYAT SINGKAT PENULIS
Jayanty PN Sihombing, lahir di Siborongborong Tapanuli Utara pada tanggal 23 Desember 1992 dari pasangan M. Sihombing dan R. Hutabarat. Merupakan anak ke 5 dari 5 bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-anak di TK Swasta Santa Lusia Siborongborong yang kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di tempat yang sama yaitu SD Swasta Santa Lusia Siborongborong. Melanjutkan sekolah menegah pertama di SMP N 1 Siborongborong, dan melanjutkan sekolah menengah atas di SMA N 1 Siborongborong.
Melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi pada perguruan tinggi mengambil program studi Antropologi Sosial di Universitas Sumatera Utara. Penulis ikut aktif dalam organisasi Persatuan Pemuda Pemudi Siborongborong. Alamat e-mail aktif yang bisa dihubungi yaitu jayantysihombing123@gmail.com
Selama perkuliahan pernah mengikuti kegiatan:
1. Peserta dalam kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru Antropologi 2011
di Sibolangit.
2. Peserta Seminar Training Motivasi dan Seminar Beasiswa di Fakultas
FISIP USU tahun 2012.
3. Panitia pelaksana Natal Antropologi 2012.
4. Peserta Seminar Meneguhkan Komitmen Pemenuhan Hak-Hak
x Keadilan dan Pemulihan yang diselenggarakan oleh Komnas
Perempuan dan Aliansi Sumut Bersatu di Medan tahun 2012
5. Penerima Beasiswa yang diberikan Bank BNI pada tahun 2012.
6. Peserta Seminar Penanganan Mendesak Korban Kekerasan Seksual
yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan dan Aliansi Sumut
Bersatu di Medan tahun 2013.
7. Panitia Pelaksana Kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru Antropologi
2013 di Parapat.
8. Peserta Seminar dan Lokakarya yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal
Dewan Ketahanan Nasional dan Universitas Sumatera utara di Medan
tahun 2013.
9. Pesert Training of Facilitator (TOF) Tingkat Dasar Angkatan Ke IV
oleh Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara di
Medan tahun 2013.
10.Peserta Seminar Hari HAM Internasional yang diselenggaralkan di
Universitas Sumatera Utara tahun 2014.
11.Penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun
2013-2014
12.Panitia Pelaksana Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Adat
Sumatera Utara oleh Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia Di
xi 13.Panitia Pelaksana Festival Seni Budaya 425 Tahun Kota Medan oleh
xii
UcapanTerimakasih ... iv
Riwayat Singkat Penulis ... viii
Daftar Isi ... xi
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17
1.5Lokasi Penelitian ... 19
1.6Metode Penelitian ... 19
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data ... 21
1.6.2 Pengalaman Penelitian ... 24
1.6.3 Analisis Data ... 28
BAB II. GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN 2.1 Perkembangan Sistem Lembaga Pemasyarakatan ... 29
2.1.1 Penjara di Indonesia ... 30
2.2 Sejarah Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan... 35
2.3 Letak Geografis ... 37
2.4 Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan ... 38
2.5 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan... 42
2.6 Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan ... 45
2.7 Fungsi, Tugas Pokok dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan 2.7.1 Tugas Pokok Lembaga Pemasyarakatan ... 46
2.7.2 Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ... 46
2.7.3 Tujuan Lembaga Pemasyarakatan ... 46
xiii 3.2 Aktivitas Pembinaan Dan Pengembangan Kreativitas Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan ... 63 3.3 Program Pembinaan Narapidana Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan
... 68 3.4 Wujud Pembinaan Narapidana Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan
... 79 BAB IV. PEREMPUAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
4.1 Perempuan mengaku Laki-laki ... 90 4.2 Balita di Lembaga Pemasyarakatan ... 93 4.3Hubungan Antara Narapidana dan Petugas Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan... 97
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 101 5.2 Saran ... 104 Daftar Pustaka
xiv DAFTAR GAMBAR DAN FOTO
Gambar 1 Denah Lokasi Penelitian ... 17
Gambar 2 Stuktur Organisasi Lembaga pemasyarakatan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan ... 42
Foto 1 Kegiatan Salon ... 81
Foto 2 Produk Kegiatan Memasak ... 83
Foto 3 Produk Kegiatan Menjahit ... 83
Foto 4 Kegiatan Laundry ... 85
Foto 5 Kegiatan Beternak Bebek dan Pembuatan Telur Asin ... 87
xv DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatatan pada
masing-masing Klasifikasi ... 40
Tabel 2 Tingkat Pendidikan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 53
Tabel 3 Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan
Agama ... 54 Tabel 4 Jadwal Kegiaan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 72
ii ABSTRAK
Jayanty PN Sihombing, 2015 judul skripsi: “Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ( Studi Deskriptif : Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ) ”. Skripsi. Progrm Sarjana Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini mendeskripsikan : “Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”. Kajian ini menjelaskan tentang keberadaan sistem hukum dalam proses pembinaan narapidana, dan gambaran kehidupan narapidana perempuan dalam menjalankan masa hukuman yang ditetapkan berdasarkan keputusan pengadilan. Permasalahan yang dikaji pada skripsi ini adalah mengetahui bagaimana koeksistensi berbagai aturan hukum dalam proses pembinaan narapidana.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan aturan-aturan yang digunakan dalam pembinaan narapidana perempuan, mendeskripsikan kegiatan narapidana perempuan dalam menjalani masa hukuman . Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipasi serta memeriksa dokumen-dokumen yang sesuai. Peneliti mencari data dengan ikut langsung mengamati kegiatan informan selama waktu yang tidak ditentukan dengan harapan data yang didapati agar lebih akurat. Peneliti menjadi instrumen penting pada penelitian antropologi yang bersifat kualitatif deskriftif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ideal Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan narapidana dimana dalam proses pembinaan narapidana telah diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan hakim. Proses pembinaan narapidana dilakukan pihak-pihak yang berperan penting seperti instansi penegak hukum (polisi, jaksa), instansi pendukung ( Depkes, Depnaker, Depag, Depdiknas) dan, pihak swasta (LSM). Fakta aktual menunjukkan, Lembaga Pemasayarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana memiliki aturan sendiri dalam melakukan proses pembinaan. Berkoeksistensinya antara hukum negara yang jelas mengatur proses pembinaan dan juga hukum di Lembaga Pemasyarakatan yang dilahirkan sendiri pada saat proses pembinaan menjadi saling mengisi diantara hukum yang ada. Konsekuensi dari hadirnya aturan hukum lain dalam proses pembinaan narapidana menimbulkan harmonisasi ketika hukum yang dimaknai dan direspon tersebut dalam interaksi proses pembinaan narapidana perempuan.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menurut Oakley (dalam Fakih, 2004 ) perempuan1 dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural, dianggap lemah-lembut, emosional, keibuan dan lain
sebagainya. Hal ini juga dijelaskan dalam berbagai literatur bahwa pengertian
gender sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan laki-laki
dan perempuan secara sosial dan kultural. Perempuan dianggap emosional,
keibuan, penuh perasa dan tidak suka kekerasan2
Perkembangan zaman saat ini yang disebut dengan globalisasi,
pengkonstuksian yang diberikan kepada perempuan-perempuan zaman sekarang
mengalami pergeseran. Banyak perempuan dianggap tidak lemah-lembut, tidak
emosional, tidak keibuan, tidak perasa dan lain-lain. Saat ini sangat mudah
menemukan perempuan yang terlibat dengan masalah, mulai dari permasalahan
pribadi hingga yang menyangkut orang banyak. Kondisi tersebut yang . Pengkonstruksian tersebut
masih dapat kita temukan pada saat ini. Contohnya perempuan-perempuan
keraton di Yogyakarta masih memperhatikan perilaku dan perbuatan di depan
masyarakat banyak. Mereka perlihatkan sisi perempuan yang cantik, anggun,
lemah-lembut, keibuaan dan lain-lain.
1
Perempuan adalah sebutan yang umum digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki da perempuan/ wanita/ ibu.
2
2 mengakibatkan terjadi pergeseran penilaian terhadap perempuan secara sosial dan
kultural.
Perempuan banyak terlibat dalam berbagai hal yang berhubungan dengan
permasalahan. Faktanya banyak perempuan yang terlibat dalam dunia kriminalitas
seperti pencurian, pembunuhan, penipuan, pengguna atau pengedar narkotika, dan
banyak kasus lain yang melibatkannya.
Hukum merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat untuk
mengendalikan keadaan yang terjadi. Dengan adanya hukum keterlibatan
perempuan dengan masalah dapat diselesaikan. Hukum menjadi solusi dari
masalah yang dialami perempuan.
Menurut Bronislaw Malinowski, semua masyarakat memiliki hukum
sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang digunakan masyarakat sebagai alat
untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Dahulu hukum
diberikan sebagai sanksi sosial bagi pelanggar peraturan yang telah disepakati
bersama. Contohnya seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
yang telah disepakati akan diberikan sanksi seperti pengasingan dari kelompok,
diberi hukuman gantung oleh ketua kelompok dan lain sebagainya.
Zaman globalisasi saat ini, mendengar kata ‘hukum’ secara otomatis
berfikiran tentang, peraturan-peraturan, sanksi, kasus, polisi, hakim, jaksa.
Leopold Pospisil3
3
Tulisan sulistyowati Irianto tentang sejarah perkembangan antopologi hukum tahun 1994.
memberikan cara untuk mengenali hukum dengan empat
3 1. Otoritas, kekuatan yang dimiliki untuk mematuhinya.
2. Diaplikasikan secara keseluruhan.
3. Ada yang ditawarkan.
4. Sanksi bagi yang melawan.
Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor empat
terbesar didunia4
Untuk provinsi Sumatera Utara, berdasarkan data sensus penduduk jumlah
perempuan di Sumatera Utara lebih banyak daripada jumlah laki-laki.
Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, banyak perempuan yang mengalami
permasalahan hukum, baik itu sebagai pelaku dalam pelanggaran hukum maupun
korban dari pelanggaran hukum tersebut.
juga mengenal istilah pengkonstruksian yang diberikan kepada
perempuan. Contohnya perempuan jawa dikenal sebagai perempuan yang lemah
lembut, perempuan batak dikenal sebagai pekerja keras. Meskipun sudah
memiliki penilaian tersendiri terhadap perempuan-perempuan di Indonesia,
namun mereka tetap terlibat dalam permasalahan termasuk dalam permasalahan
hukum.
Data yang dikeluarkan SDP5
4
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik jumlah penduduk Indonesia berkisar 237.641.326 jiwa yang terdiri dari laki-laki 119.630.913 jiwa dan perempuan 118.010.413 jiwa. Untuk provinsi Sumatera Utara jumlah penduduknya berkisar 12.982.204 jiwa yang terdiri dari laki-laki 6.483.354 jiwa dan perempuan 6.498.850 jiwa.
menyebutkan dari jumlah perempuan yang
ada di Sumatera Utara 811 jiwa, perempuan telah melakukan pelanggaran hukum
5
4 dan telah dilakukan proses hukum6
Bagi pelanggar yang telah diproses secara hukum, maka salah satu sanksi
yang diberikan yaitu hukuman penjara
. Data tersebut terdiri dari 298 tahanan dewasa
perempuan, 3 tahanan anak perempuan, 505 warga binaan dewasa perempuan, 5
tahanan warga binaan anak.
7
. Penjara kemudian dikenal dengan
lembaga pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS)
adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhada
Lembaga Pemasyarakatan bi
(WBP) bisa juga yang statusnya masi
berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh
8
tentang situasi terkini dan monitoring serta evaluasi kinerja. Data terakhir yang diperoleh Februari 2014
6
Proses hukum merupakan serangkian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang perbuatan pidana yang terjadi, guna menemukan tersangkanya. http://hukum.unmuhjember.ac.id/index.php/8-profil/8-proses-dan-mekanisme-penyelesaian-perkara-pidana-menurut-kuhap akses 1 april 2014
7
Penjara yaitu tempat dimana orang-orang yang dikurung dan dibatasi kebebasannya karena melakukan tindakan melawan hukum.
5 Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, menjelaskan
bahwa lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Warga binaan dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sistem pembinaan yang
dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan mencakup pembinaan kepribadian,
kemandirian, asimilasi dan intergrasi warga binaan. Warga binaan
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan melakukan banyak kegiatan semasa
kurunganya, kegiatan itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kualitas intelektual, kualitas sikap dan perilaku,
kualitas profesionalisme/ ketrampilan dan kualitas kesehatan jasmani dan rohani9
Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan bagi warga
binaannya diatur oleh undang-undang sehingga dalam pembinaannya berjalan
dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Aturan itu
tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM no 6 tahun 2013 tentang tata
tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
.
Kesaksian perlawanan Wilson (2005) , mantan tahanan polisi di LAPAS
Cipinang yang divonis 5 tahun penjara dalam catatan harian yang telah
diterbitkan, Wilson menjelaskan bagaimana kondisi para narapidana di LAPAS
Cipinang. Berkumpulnya para narapidana yang sudah terbiasa dengan kekerasan
dalam penjara pastilah bukan keadaan yang mudah dikelola. Penjara dihuni
narapidana dalam blok-blok tertentu yang padat dan terkadang melebihi kapasitas,
6 narapidana yang stress, dan wajah-wajah kosong yang selalu berkeliaran di lorong
sel10
Kondisi terkurung yang jauh dari kebebasan, tidak menyurutkan terjadinya
kekerasan di dalam penjara. Hal-hal kecil dapat menimbulkan perkelahian seperti
saat pembagian makanan dari dapur, hingga perkelahian akibat sebatang rokok
yang diperebutkan. Meskipun ada aturan dari pemerintah yang telah mengatur tata
tertib di LAPAS, dengan adanya kesaksian Wilson seolah-olah aturan yang ada
tidak berpengaruh melainkan ada aturan lain yang berlaku di dalamnya. .
Seperti yang diungkapkan oleh Sally Moore (dalam Ihromi, 1993) yang
menyatakan bahwa dalam sebuah arena sosial ada lebih dari satu hukum yang
mengatur arena sosial tersebut dimana aturan tersebut memiliki kesempatan yang
sama untuk dipilih dalam memenuhi kehidupan dan ada aktor-aktor yang
memiliki kepentingan tertentu dalam arena sosial tersebut. Berdasarkan itu, sesuai
penjelasan Sally Moore, maka Lembaga Pemasyarakatan dapat juga dikatakan
sebagai arena sosial.
Sally Moore (dalam Ihromi, 1993) menjelasakan bahwa dalam bidang
industri pakaian gaun mahal ada kewajiban antar sesama secara hukum dan non
hukum. Dijelaskan bahwa dalam industri gaun mahal tersebut ada aktor-aktor
pelaksana dan melaksanakan tugas sesuai dengan bagiannya dan saling memiliki
hubungan yang baik antar sesama. Ketika ada lebih dari satu hukum yang
mengatur satu arena sosial yang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
10
7 untuk memenuhi kehidupan diarena sosial tersebut maka akan ada koeksistensi
hukum11
Lembaga Pemasyarakatan yang akan dikaji yaitu Lembaga Pemasyarakatn
Kelas II A khusus wanita Tanjung Gusta. Dan penelitian ini berfokus kepada
aturan yang diterapkan dalam proses pembinaan narapidana perempuan dan juga
aktifitas narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan. Perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial tersebut lemah-lembut, keibuan dan emosional itu
menjadi kajian penting untuk diteliti karena tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
Banyak perempuan yang terlibat dalam permasalahan hukum .
. Sama halnya yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan, disaat adanya
undang-undang yang telah dikeluarkan pemerintah dalam mangatur proses
pembinaan yang dilakukan ada aturan lain yang juga dapat mengatur proses
berjalannya pembinaan yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
dalam prosesnya.
Tujuan berbagai kegiatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan
yang diungkap diatas tersebut untuk dapat bertahan hidup baik didalam masa
hukumannnya ataupun sebagai bekal hidup untuk melanjutkan kehidupan setelah
masa hukuman berakhir. Salah satu cara yang sering dilakukan untuk peningkatan
kualitas hidup warga binaan yaitu melalui cara peningkatan kretivitas warga
binaan itu sendiri, melalui program pelatihan keterampilan baik itu dalam bidang
seni, olahraga, maupun melalui pembuatan produk kreativitas. Pelaksanaan
11
8 pengembangan kreativitas warga binaan disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan
bakat dari warga binaan tersebut.
Perkembanagan zaman pada saat ini, banyak pakar memperkirakan bahwa
kreativitas akan menjadi salah satu strategi pribadi dan bisnis terpenting dalam
menunjang kelangsungan hidup dan mencapai sukses. Hari demi hari, dunia
makin kompleks dan masalah kemasyarakatan semakin sulit dipecahkan. Dunia
merindukan penyelesaian kreatif atas berbagai masalah yang terjadi. Kebutuhan
akan pemikiran kreatif menjadi penting agar mampu terus bersaing dan
berkembang.12
Proses pembinaan warga binaan dengan berbagai aturan yang saling
berdampingan dalam pelasanaannya menjadi fokus utama dalam penelitian.
Berbagai kegiatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan, dengan
menggunakan analisis Antropologi Hukum diharapkan penelitian ini dapat
mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tanjung Gusta Medan dalam proses
kegiatan pembinaan yang dilakukan khususnya dalam hal kegiatan peningkatan
kreativitas warga binaan dalam program pelatihan keterampilan di Lembaga
Pemasyarakatan tersebut.
12
9 1.2 Tinjauan Pustaka
Pada kehidupan sehari-hari ketika mendengar kata hukum yang ada di
benak kita adalah sebuah ganjaran yang diberikan kepada seseorang atau lebih
karena kesalahan yang dilakukan dan menimbulkan dampak kepada orang lain.
Definisi hukum tidak jauh dari pemikiran tersebut, yang mengacu pada
tindak-tanduk manusia sebagai makhluk sosial. Hukum merupakan sebuah sistem yang
dibuat manusia untuk membatasi perilaku manusia agar tingkah laku manusia ini
dapat terkontrol dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adalah aspek paling
penting dalam pelaksanaan sebuah rangkaian kekuasaan kelembagaan seperti
kehidupan bernegara13
Soedjono Dirdjosisworo berpendapat, hukum adalah gejala sosial, ia baru
berkembang didalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menserasikan
pertemuan antar kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baik yang sesuai
ataupun yang saling bertentangan. Hal ini selalu berlangsung karena manusia
senantiasa hidup bersama dalam suasana saling ketergantungan .
14
. Sependapat
dengan para ahli hukum atau sarjana hukum yang menyebutkan bahwa hukum
merupakan berbagai aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas yang diperlukan
agar ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan.
april 2014
14
10 Hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum privat dan hukum publik
yang disebut sebagai hukum yang ideal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
tidak hanya kedua hukum tersebut saja yang berlaku bagi masyarakat di
Indonesia dalam mengatur tatanan hidup bermasyarakat Indonesia. Ada
hukum-hukum lain yang berlaku dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.
Seperti yang ditunjukkan oleh Keebet von Benda-Beckmann (2000) dalam
penelitiannya di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam penyelesaian sengketa
yang ada setidaknya ada tiga hukum yang digunakan dalam menyelesaikan
sengketa tersebut yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum negara.
Montesquieu (dalam Rouland : 1960) mengatakan bahwa hukum di dalam
masyarakat tertentu bukanlah pencerminan seperangkat prinsip hukum yang
berlaku secara universal, tetapi merupakan bagian dari kebudayaan bangsa
tertentu. Montesque menjelaskan masyarakat buas dan bar-bar mempunyai
struktur politik dan sistem hukum yang lemah tanpa kekuasaan yang berdaulat
yang telah ditentukan bersama oleh masyarakat buas dan bar-bar tersebut berbeda
dengan masyarakat kerajaan yang memiliki kekuasan yang telah di tentukan
dengan jelas.
Montesquieu menitik beratkan hal penting tentang hukum, menurut
pendapatnya suatu sistem hukum milik masyarakat tertentu tidak dapat
dipindahkan ke dalam masyarakat yang lain. Peraturan yang disusun dengan ciri
11 berbeda kebudayaannya. Dengan demikian dapat dilihat dari kajian antropologi
hukum15
Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup
bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang
hukum selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan
manusia bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum
adat). Tidak ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa
kepentingan , dan juga tidak ada manusia tanpa hukum (aturan) .
16
Antropologi hukum yang dilihat dan dikaji bukan hanya hukum positif
atau hukum yang berlaku disuatu negara tetapi juga melihat hukum yang aktual
atau proses yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Menurut F Benda Beckman
(dalam Ihromi,1993) antropologi hukum melihat hubungan antar perilaku manusia
dengan kekompleksan yang terjadi dalam masyarakat serta perubahan-perubahan
dalam bentuk perilaku manusia. Jadi kemungkinan tidak hanya satu hukum yang
berlaku dalam situasi tertentu.
.
Pendapat Hooker (1975)17
15
Montesquieu dan Rousseau ( Foresunars of Sociology) dalam Bahan Kuliah Pengantar Antropologi Hukum Oleh Prof. N Rouland) 1960 Michigan Press Prancis.
yang menyatakan bahwa pada situasi tertentu,
ada dua atau lebih hukum yang saling berinteraksi atau lebih dikenal dengan
kemajemukan hukum. Situasi kemajemukan ini juga banyak digambarkan para
ahli dalam penelitiannya yang kebanyakan dilakukan di Indonesia antara lain
16
Hilman Hadikusuma , Pengantar Antropologi Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1992
17
12 Aceh, Minangkabau, Sumatera Utara khusunya Batak Toba dan Karo, dan
lain-lain.
Berbicara perempuan, kata perempuan berasal dari bahasa Sansekerta,
muncul dari penggalan kata Per – Empu – An. Kata Per berarti mahluk, Empu
berarti mulia, tuan, mahir dan kata An berarti penunjuk. Jika diartikan menjadi
mahluk mulia, seperti tuan dan memiliki kemampuan (mahir)18. Perempuan
adalah sebutan pada umumnya yang diberikan masyarakat. Yang dikatakan
sebagai perempuan yaitu orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat
mestruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui19
Kehidupan bermasyarakat tentunya manusia tidak terlepas dari individu
lain untuk menjalankan kehidupannya. Sama halnya dengan perempuan
memerlukan individu atau kelompok lain dalam menjalankan kehidupan. Dalam
proses menjalankan kehidupan, perempuan tidak terlepas dari yang namanya
aturan-aturan dalam mengatur kehidupannya. Disamping itu perempuan juga tidak
terlepas dari permasalahan hukum dalam kehidupannya. Misalnya dalam masalah
kedudukan perempuan, dengan latar belakang etnik ras, agama dan kelas yang . Dalam masyarakat
perempuan diidentikan dengan mahluk yang lemah lembut, tidak kasar, memiliki
sifat feminin dalam menjalankan kehidupannya.
19
13 berbeda, ditandai oleh adanya berbagai institusi (pranata) hukum yang saling
tumpang tindih.
Fenomena seperti yang di tunjukkan Sulistyowati (2003) dalam masalah
waris pada masyarakat Batak Toba, ditunjukan melalui adanya berbagai aturan
hukum yang mengatur masalah hak waris yaitu hukum adat, hukum negara dan
kebiasaan sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat Batak Toba masa
kini. Secara normatif hukum adat batak toba tidak memberikan hak waris kepada
anak perempuan maupun janda, baik berupa tanah, rumah maupun benda tidak
bergerak lainnya20
Adanya lebih dari satu hukum yang berada dalam suatu lingkungan sosial
mengindikasikan bahwa adanya kemajemukan hukum. Seperti yang diungkapkan
Griffith (1986) dalam Journal Of Legal Pluralism bahwa “by ‘legal pluralism’ i
mean the presences in a social field of more than an one legal order”
(kemajemukan hukum diartikan sebagai kehadiran lebih dari satu hukum yang
dihadirkan dalam lapangan sosial)
. Hukum yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba tersebut
adalah aturan baik berupa perintah atau larangan yang mengatur masyarakat yang
harus ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
21
20
Sulistyowati Irianto. Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2003
. Sama halnya dengan kehidupan manusia ada
lebih dari satu hukum yang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dalam
proses berlangsungnya kehidupan.
21
14 Menurut Hilman (2004) lembaga hukum adalah tempat yang digunakan
warga masyarakat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul diantara
para warga dan menjadi alat untuk melakukann tindakan balasan terhadap
penyalahgunaan terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk menyelesaikan permasalahan hukum ataupun sengketa tentunya ada
proses hukum yang jalankan pelaku pelanggaran hukum. Salah satu proses hukum
dalam menyelesaian permasalahan hukum adalah hukuman penjara. Hukuman
penjara dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan
adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhada
Menurut Hoarton dan Hunt22, lembaga sosial bukanlah hanya sebuah
bangunan, bukan kumpulan dari sekelompok orang, dan bukan sebuah organisasi.
Lembaga adalah suatu sistem norma23
Surat Keputusan Kepala Diktorat Pemasyarakatan Nomor K.P.10.13/3/1,
tanggal 8 Pebruari 1985, dimana disampaikan suatu konsepsi Pemasyarakatan
sebagai berikut :
untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan
yang oleh masyarakat dipandang penting atau secara formal, sekumpulan
kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia.
Dengan kata lain Lembaga adalah proses yang terstruktur (tersusun) untuk
melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.
akses 15 april 2014
23
15 Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeuntie dimana si warga binaan pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat. sejauh itu warga binaan lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya warga binaan dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasihan (keharmonian) hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif).
Dengan kata lain pemasyarakatan adalah proses pembinaan bagi warga
binaan yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan yang menjurus kepada
kehidupan yang positif, para petugas pemasyarakatan adalah salah satu unsur
yang menjalankan peranan penting sebagai pendorong, penjurus dan pengantar
agar proses tersebut dapat berjalan dengan lancar sehingga mencapai tujuan
dengan cepat dan tepat.
Proses pembinaan (Harsono, 1995) yang dilakukan yaitu untuk
mengembalikan warga binaannya ke dalam masyarakat dengan minimal tidak
melakukan tindak pidana lagi, sebab itu pembinaan yang dilakukan dengan teori
dan teknik pembinaan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti pemberian
latihan-latihan kerja, dan pemberian berbagai ilmu pengetahuan yang berguna
setelah masa hukumannya selesai. Proses pembinaan ini dilakukan agar warga
binaan di Lembaga masyarakat mampu melanjutkan kehidupannya dan mandiri
dalam masalah perekonomian.
Pada saat proses pembinaan berlangsung ada pihak-pihak yang memberi
pengaruh penting, diantaranya bagaimana hubungan internal maupun eksternal
16 dalam proses pembinaan tersebut, tidak terlepas dari adanya pihak-pihak yang
memberi aturan untuk dipilih dan dilaksanakan.
Arena sosial dapat terjadi apabila dalam satu tempat atau dalam
sekelompok masyarakat hukum formal dan hukum non formal berdampingan .
Dimana dalam arena sosial tersebut ada aktor-aktor yang terlibat dan menjalankan
peranan khusus dalam kondisi tersebut. Penelitian Sally Folk Moore (dalam
Ihromi, 1993) dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non
hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai
pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku.
Sally menjelaskan bahwa dalam industri pakaian gaun mahal ada
pemborong yang merancang pakaian untuk diperjual-belikan. Dalam melakukan
perancangan terkadang pemborong membutuhkan kontraktor lain untuk
membantu dalam merancang pakaian. Sehingga antara satu dengan yang lain
saling membutuhkan dan tidak terpisah akan kepentingan masing-masing. Dengan
adanya kepentingan antara satu dengan yang lain sehingga menimbulkan sebuah
tanggung jawab untuk menjalankan tugas yang diberikan.
Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seseorang
pemegang peranan diharapkan dapat bertindak dan juga memberi respon terhadap
peraturan hukum tersebut, sehingga hukum tersebut dapat berjalan sesuai dengan
fungsinya dan memberikan sanksi bagi pelaku pelanggar hukum tersebut. Dalam
17 yang berlaku diterapkan dalam Lembaga Pemasyarakatn khusus perempuan
tersebut dalam proses pembinaannya.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari keseluruhan tulisan diatas, maka penulis
tertarik untuk membahas beberapa pokok permasalahan dalam penelitian yang
akan dilakukan ini. Beberapa pokok permasalahan tersebut, yakni:
1. Bagaimana proses pembinaan narapidana perempuan dalam
Lembaga Pemasyarakatan?
2. Bagaimana kehidupan narapidana perempuan di Lembaga
Pemasyarakatan? Apakah sesuai dengan aturan yang ada?
1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan dan manfaat yang sangat
penting, karena itu melalui tujuan dan manfaat itulah maka suatu penelitian dapat
dimengerti oleh si peneliti maupun ketika nantinya dibaca oleh publik.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan proses pembinaan narapidana khususnya
narapidana perempuan.
2. Mengidentifikasi aturan-aturan yang ada dalam proses pembinaan
18 3. Mendeskripsikan berbagai kegiatan yang diberikan Lembaga
Pemasyarakatan untuk warga binaannya dalam melanjutkan
kehidupan baik dalam masa hukumannya ataupun nantinya sebagai
bekal hidup setelah masa hukuman berakhir.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi masyarakat
baik itu akademisi, mahasiswa, aktivis dan sebagainya, khususnya bagi mereka
yang mengkaji tentang perempuan. Secara praktis peneliti akan menggambarkan
proses pembinaan dan aturan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan.
Penelitian ini juga sebagai rekomendasi bahan masukan bagi mereka yang peduli
terhadap perempuan dan mengkaji tentang perempuan.
1.5 Lokasi Penelitian
Gambar 1
Denah Lokasi Penelitian
19 Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita
Tanjung Gusta Medan. Yang beralamat di jalan Pemasyarakatan Tanjung Gusta
Medan. Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Kelas II A wanita Medan
dipilih Karena Lembaga Pemasyarakatan ini satu-satunya Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Perempuan di Sumatera Utara. Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Wanita Tanjung Gusta merupakan Lembaga Pemasyarakatan yang
menggunakan sistem pemasyarakatan.
1.6 Metode Penelitian
Memperoleh data di lapangan adalah cara untuk menjelaskan rumusan
masalah. Untuk itu langkah yang dilakukan yaitu melalui proses penelitian.
Penelitian adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengungkapkan atau
membuktikan sesuatu yang dilakukan pendekatan ilmiah berdasarkan
konsep-konsep dan teori-teori yang sesuai dengan tujuan dan dengan cara-cara yang
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut disiplin ilmu pengetahuan
masing-masing.24
Penelitian yang dilakukan ini tentunya mempunyai metode yang
digunakan dalam memperoleh data sebanyak mungkin. Metode penelitian adalah
cara-cara atau prosedur yang dilakukan untuk mengumpulkan data secara
bertanggung-jawab sesuai dengan masalah yang diteliti dan disiplin ilmu
20 pengetahuan yang bersangkutan25
Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari
kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna ini
terekspresikan secara langsung dalam bahasa yang banyak diterima dan
disampaikan secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam
setiap masyarakat, tetap menggunakan sistem makna yang komplek ini untuk
mengatur tingkah laku mereka, untuk mamahami diri mereka sendiri dan untuk
memahami orang lain, serta untuk memahami dunia dimana mereka hidup. Sistem
makna ini merupakan kebudayaan.
. Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif, dimana penulis menggambarkan suatu makna
atau proses-proses yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A khusus
wanita Tanjung Gusta Medan. Bentuk dari penelitian ini berbentuk etnografi,
dimana penulis mendeskriptifkan segala fenomena yang ada dilapangan.
26
Menurut James P Spraedley (1997) kebudayaan merujuk pada
pengetahuan yang diperoleh orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan
melahirkan tingkah laku sosial. Etnografi merupakan pengetahuan yang meliputi
dari metode penelitian dengan mengunakan observasi partisipan yang berarti si
peneliti harus tinggal bersama dengan orang yang ditelitinya dengan hal itu, si
penulis akan berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin untuk
menjelaskan pokok permasalahan yang ada. .
25
http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html akses tanggal 05 Februari 2014
26
21 1.6.1 Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data penelitian yang dibutuhkan, peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Teknik observasi
Observasi ataupun pengamatan27
• Observasi tanpa berpartisipasi
dilakukan untuk melihat secara langsung
bagaimana kondisi lapangan yang diteliti. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
wanita Tanjung Gusta menjadi lokasi penting dalam penelitian ini. Dalam
penelitian yang dilakukan ini, peneliti menggunakan dua tehnik observasi, yaitu
Dalam pengamatan ini si peneliti datang langsung ke Lembaga
Pemasyarakatan guna untuk melihat aktifitas yang dilakukan dan
memeriksa kondisi tersebut apakah sesuai dengan dokumen peraturan
yang ada. Dengan observasi seperti ini peneliti memperoleh data yang
dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.
• Observasi berpartisipasi
Dalam hal ini si peneliti terlibat langsung dalam kegiatan warga binaan
di Lembaga Pemasyarakatan, si peneliti ikut serta dalam setiap kegiatan
yang telah dijadwalkan untuk mereka seperti ikut dalam pemberdayanan
rohani ataupun pemberian pelatihan dan pembinaan tentang kreatifitas.
Dengan begitu si penulis membina rapport (hubungan yang baik) . Dengan
27
22 rapport tersebut si penulis mengharapkan keterbukaan dan dengan
keterbukaan tersebut antara penulis dan warga binaan perempuan dapat
memenuhi data yang diperlukan.28
b. Teknik wawancara
Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik
wawancara. Wawancara adalah suatu kegiatan dimana terjadi percakapan yang
telah tersruktur, dimana dipewawancara akan memberikan pertanyaan untuk
dijawab yang diwawancarai. Tujuan melakukan wawancara dalam penelitian ini
adalah untuk untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari informan kita yang
ingin kita ketahui. Melalui wawancara ini si penulis akan mendengarkan semua
apa yang diungkapkan informan.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam penelitian adalah
informan29
Pemilihan dan penetapan informan menjadi penting dalam penelitian.
Meskipun hampir setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang . Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, seorang informan
adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan menggunakan kata-kata,
frasa dan kalimat dalam bahasa atau dialek sebagai sumber informasi. Informan
akan memberikan informasi yang sesuai dengan apa yang diketahui dan menjadi
sumber informasi yang sesuai dengan pemahaman si informan atas pertanyaan
ataupun masalah yang diberikan.
28
J. Vredenbregt. Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia 1984
29
23 dapat menjadi informan yang baik. Yang dimaksud dengan informan yang baik
yaitu informan yang dapat memberikan jawaban ataupun informasi yang
ditanyakan dan dapat membantu menyelesaikan permasalahan dengan informasi
yang diberikan. Pemilihan dan penetapan informan yang tepat dapat membantu
dan mempermudah proses penelitian.
Adapun informan yang saya wawancarai untuk memperoleh data sebanyak
mungkin yaitu:
• Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Khusus wanita sebagai
pimpinan Lembaga Pemasyarakatan yang tentunya memiliki banyak
pengetahuan tentang kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan serta
mengetahui banyak tentang aturan-aturan yang diterapkan.
• Beberapa sipir yang terkait sebagai pendamping narapidana dalam
menjalankan kegiatan rutinitas kesehariannya.
• Narapidana yang tentunya sebagai warga binaan dan menjalankan
aturan-aturan dan masih dalam proses pembinaan.
Wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara mendalam (depth
interview) dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrumen
wawancara, untuk merekam dan mencatat hasil wawancara akan digunakan alat
seperti tape recorder, buku tulis, dan alat tulis lainnya.
Untuk melengkapi data yang diperoleh dilapangan, peneliti juga mencari
tulisan-24 tulisan ilmiah yang berpengaruh dengan rumusan penelitian maupun website yang
berkaitan dengan penelitian ini.
1.6.2 Pengalaman Penelitian
Penelitian yang saya lakukan ini mengharuskan saya terlibat langsung
dengan para narapidana. Sebagian besar penelitian ini saya lakukan sewaktu saya
mengikuti mata kuliah PKL II di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita
Tanjung Gusta.
Pada saat magang banyak orang yang heran mengapa saya mau magang di
Lembaga Pemasyarakatan. Orangtua saya sendiri mempertanyakan kenapa saya
harus di Penjara ( saat ini masyarakat lebih mengenal dengan istilah penjara).
Mereka takut akan terjadi sesuatu hal kepada saya. Kenapa harus ke penjara?Di
sana banyak orang jahat, nanti dimasukkanlah sesuatu ke tasmu diperiksa
petugas jadi masalah nanti kau. Begitulah tanggapan orangtua saya. Orang-orang
disekeliling saya juga banyak yang bertanya mengenai keputusan saya untuk
magang dan melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan. Jay, gak takut
kau kesana?
Saya menjawab pertanyaan orangtua dan orang-orang tersebut dengan
bijaksana, kalau tidak dicoba bagaimana saya mengetahui kondisi Lembaga
Pemasyarakatan karena menurut saya kondisi itu akan baik-baik saja dengan
adanya bantuan para petugas yang bertugas disana.
Setelah masalah surat menyurat dan izin penelitian selesai, sebenarnya ada
25 orang-orang yang bertanya kepada saya. Saya takut apa yang sikatakan itu benar
adanya.
Untuk pertama kalinya setelah surat-menyurat selesai, saya disuruh Ibu
Ratna Manullang30
Selama perjalanan ke ruangan ibu Asmah, saya hanya terdiam dan
mengikuti kakak tersebut yang kemudian saya mengetahui namanya Dewi sambil
memperhatikan kesekeliling ruang demi ruang di Lembaga Pemasyarakatan itu.
Setelah bertemu dengan ibu Asmah saya memperkenalkan diri dan memberi tahu
maksud dan tujuan saya. Ternyata ibu Asmah ingat bahwa ada senior yang juga
pernah melakukan penelitian yang satu jurusan dengan saya namun beliau lupa
namanya.
ditemani seseorang yang menggunakan baju biru tua yang
bertuliskan ‘Warga Binaan Pemasyarakatan’ untuk bertemu Ibu Asmah
Simatupang yang mengatur kegiatan selanjutnya.
Kantor ibu Asmah berdekatan dengan blok-blok narapidana sehingga
banyak juga narapidana yang masuk keruangan beliau. Sebelum memulai
penelitian ini, ibu Asmah mulai bertanya “kenapa mau mengambil penelitian
tentang Lembaga Pemasyarakatan dek? Saya menjawab hanya ingin mengetahui
dunia Lembaga Pemasyarakatan sambil tersenyum dan tertawa. Saya sebenarnya
masih takut dan gelisah sikap saya itu kelihatan dan ibu Asmah pun memberi
penjelasan, “gak usah takut dek, ya beginilah di Lembaga Pemasyarakatan, gak
usah kau pikirkan apa yang dibilang orang-orang diluaran itu. Kau rasakan aja
30
26 nanti, baik-baiknya orang ini kalau ada yang jahat sama mu melapor aja kau
sama kami petugas biar kita hukum lagi orang ini.” Kemudian terdengar suara
tertawa. Dan salah satu dari mereka berkata “janganlah gitu ma , kami udah
baik-baik kok” , kami pun tertawa kembali.
Setelah sekian lama saya melakukan kegiatan penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan, saya sudah mulai terbiasa dengan kondisi ini dan Warga Binaan
Pemasyarakatan disini juga sudah mulai terbiasa dengan saya, sehingga kami
sering berbicara diselah-selah kegiatan yang kami lakukan masing-masing.
Pada jam makan siang, saya ditawari makan oleh ibu Asmah “dek, ayo
makan, inilah yang dinamakan nasi compreng, beginilah menu makanan orang
ini tiap hari, kami pengawai pun jadi ikut-ikutan makan compreng ini”.
Kemudian kami makan bersama meskipun saya membawa bekal. Saya jadi malu
mengeluarkan bekal saya karna semua makan nasi compreng tersebut. Itu menjadi
kesan yang menarik, untuk pertama kalinya saya makan nasi compreng dengan
lauk telur rebus dengan sayur kol ditambah sambal.
Banyak pelajaran yang saya ambil dan pengalaman yang berkesan selama
saya melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan. Saya sering membawa
bekal makan siang dari rumah dan memakannya bersama-sama dengan mereka di
joglo. Di joglo ini juga banyak cerita dan pengalaman yang saya dapatkan.
Saat kami sedang makan dan bercerita tentang pengaaman hidup, saya
hanya bisa mendengar, bertanya, mengamati, dan sesekali mencatat apa yang
27 tempat itu. Tiba-tiba ditengah pembicaraan kami mak butet salah satu Warga
Binaan Pemasyarakatan itu berkata kepada saya “ saya salut sama mu boru
hombing, kau mau datang dan belajar dari kami, kalau dipikir-pikir apalah yang
bisa diambil pelajaran dari kami, kami di penjranya pernah berbuat salah” saya
terdiam mendengar perkataan kakak itu, kemudian masih melanjutkan
perkataannya “taunya kami diluaran sana banyak yang gak suka sama
orang-orang dipenjara, dibilangnyalah yang engak-engak tentang kami, senang kali aku
kalau kau mau belajar dari kami, kau datang kesini udah senang kami” kemudian
saya tersenyum untuk membalas perkataan mereka.
Pengalaman menarik lainnnya, ada kalanya warga binaan pemasyarakatan
yang menjadi informan saya mencurahkan isi hatinya kepada saya memberi
nasehat agar tidak mengikuti jejak mereka dan menyuruh mengambil pelajaran
dari pengalaman yang mereka ceritakan kepada saya.
1.6.3 Analisis Data
Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data yang
dibutuhkan yaitu berbagai aturan hukum yang berlaku dalam proses pembinaan
narapidana serta catatan-catatan wawancara mengenai berbagai kegiatan
narapidana selama menjalani masa hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan.
Pengumpulan data ini dilakukan agar penulis dapat melakukan analisis data.
Data-data yang telah ditemukan dilapangan melalui observasi partisipasi,
wawancara yang mendalam kemudian akan di kelompokkan dan dikategorikan.
28 hubungan-hubungan yang ada dalam data tersebut. Hasil pengkategorian tersebut
dianalisis hubungan kategori yang satu dengan kategori yang lain yang kemudian
hubungan yang didapat tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian dalam
rumusan masalah yaitu menunjukkan bagaimana berbagai aturan hukum dalam
proses pembinaan narapidana dan juga berbagai aturan yang dijalani narapidana
dalam menjalani masa hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan. Analisis data
yang dilakukan akan dibantu oleh bantuan kepustakaan dan buku- buku ilmu
29 BAB II
GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN
2.1 Perkembagan Sistem Lembaga Pemasyarakatan
Pada zaman dahulu belum ada pidana hilang kemerdekaan, sehingga tidak
ada penjara, namun dahulu kala orang-orang yang dianggap melakukan kesalahan
akan dikurung dalam suatu rumah atau ruang kosong untuk sementara waktu.
Konsep ini belum bisa dikatakan sebagai penjara karena orang-orang yang
bersalah tersebut ditahan hanya sementara waktu untuk menunggu keputusan
hakim ataupun orang yang berkuasa untuk dilaksanakannya hukum yang berlaku
yaitu hukum mati berupa gantung atau pun hukum badan berupa cambuk.
Howard Jones dan P.A.F Lamintang ( dalam Dwidja : 2006 ) menjelaskan
tentang pidana penjara. Howard Jones menjelaskan bahwa sejak jaman Raja
Mesir pada tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) dikenal pidana penjara dalam arti
pemahaman selama menunggu pengadilan, dan ada kalanya sebagai penahanan
untuk keperluan lain menurut hukum Romawi. Pada saat itu akhir dari hukuman
itu adalah hukum badan, seperti cambuk, pemotongan tangan, hukuman mati baik
pemenggalan kepala ataupun hukum cambuk.
Sedangkan pidana penjara dikenal menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
30 tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan
sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Pidana penjara selanjutnya dikenal apabila, sesorang yang melakukan
pelanggaran dan telah diputuskan bersalah oleh hakim31
Pada saat bentuk pidana penjara mulai dikenal dalam masa peralihan
ternyata pelaksanaan pidana penjara masih dipengaruhi oleh praktek perlakuan
terhadap pidana badan dan nafsu membalas yang sudah terlalu lama membekas
dalam budaya hukum masyarakat, sehingga memakan waktu yang lama untuk
merubah jalan pikiran yang membedakan antara bentuk pidana penjara dan pidana
badan. Peninggalan cara berfikir masa lalu itu masih nampak bekas-bekasnya dari
sikap masyarakat sebagai penegak hukum ada masa sekarang.
diberikan hukuman
kehilangan kebebasan bergerak kemudian di tempatkan dalam tempat yang
kemudan dikenal penjara yang memiliki aturan-aturan yang harus ditaati. Selama
dalam penjara seseorang yang bersalah tersebut akan melakukan berbagai
kegiatan sesuai aturan yang berlaku hingga masa hukuman yang diputuskan
selesai dijalani.
31
31 2.1.1 Penjara di Indonesia
Sejak zaman Belanda, Indonesia sudah mengenal sistem penjara,32 hal ini
di tandai dengan adanya Reglement33
penjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatu
perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak
pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau
pelaku tindak pidana.
pada tahun 1917. Pasal 28 ayat 1 Reglement
tersebut menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 28 ayat 1 tersebut menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana “dibalas
perlakuannya” sesuai dengan apa yang diperbuat dan “melakukan pembinaan”
kepada pelaku tindak pidana sehingga tidak melakukan tindakan pidana kembali.
Kedua hal tersebut merepakan hal yang berbeda namun harus di lakukan secara
bersamaan pada tempat yang sama.
Seringkali yang dilakukan hanya satu hal saja yaitu pembalasan yang
setimpal atas tindakan pidana yang telah dilakukan tanpa memperhatikan
pembinaan untuk tidak melakukan tindakan pidana itu kembali.
Terjadinya perkembangan atau pergeseran nilai dari tujuan atau inti pidana
penjara tersebut atau disebut dengan eksistensi sebelum menjadi Lembaga
Pemasyarakatan, yang dimulai dari tujuan balas dendam (retalisation) kepada
pelaku tindak pidana kemudian berubah menjadi pembalasan yang setimpal
32
Penjara berasal dari kata jera yang dahulu diartikan tempat untuk menbuat jera pelanggar aturan.
33
32 (retribution) bagi si pelaku tindak pidana yang selanjutnya diikuti dengan tujuan
untuk menjerakan (deterence) si pelaku tindak pidana dan kemudian diikuti juga
pada awal abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, tujuan tersebut tidak
lagi bersangkutan dengan memidana (punitive) melainkan bertujuan untuk
memperbaiki terpidana (rehabilitation) dengan jalur resosialisasi.34
Berbagai macam pengertian tujuan dari pidana penjara tersebut terdapat
banyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia menurut Sudarto, melalui Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ke dalam Reglement Penjara Tahun 1917
memang masih ada yang beranggapan bahwa tujuan dari pidana penjara tersebut
adalah pembalasan yang setimpal dengan mempertahankan sifat dari pidana
penjaranya yang harus diutamakan. Tetapi pada akhir tahun 1963 yang dinyatakan
bahwa pidana penjara adalah pemasyarakatan dan hal tersebut lebih mengarah
atau mengutamakan pembinaan (re-educatie and re-socialisatie). Sebenarnya
secara umum pemasyarakatan tersebut bisa diartikan memasyarakatkan kembali
seseorang pelaku tindak pidana yang selama ini sudah salah jalan dan merugikan
orang lain atau masyarakat dan mengembalikannya kembali ke jalan yang benar
dengan cara membina orang yang bersangkutan tersebut sehingga menguntungkan
atau berguna bagi orang lain atau masyarakat pada umumnya yang telah
dirugikannya pada waktu dulu.35
34
Bachtiar Agus Salim, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini (Medan, Pustaka Bangsa, Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, editor Tan Kamello, 2003).
35
33 Berlandaskan kepada Surat Edaran Nomor K.P.10.13/3/1 tanggal 8
Februari 1965 tentang “Pemasyarakatan Sebagai Proses di Indonesia” maka
metode yang dipergunakan dalam proses pemasyarakatan ini meliputi 4 tahap,
yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu yaitu36
1. Tahap Orientasi / Pengenalan
:
Setiap narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan
dilakukan penelitian untuk segala hal ikwal perihal dirinya ataupun
identitas pelaku kejahatan
2. Tahap Asimilasi dalam Arti Sempit
Jika pembinaan terhadap narapidana telah berjalan kurang dari 1/3
dari masa pidana sebenarnya, narapidana menunjukan
perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecakapan dan lain-lain. Maka
tempat utama untuk proses pembinaan selanjutnya dapat dilakukan
diruang terbuka untuk memperoleh sedikit ruang gerak yang lebih
terbuka. Ditempat baru ini narapidana diberi tanggung jawab lebih
banyak lagi, proses ini diberlakukan hingga masa hukumannya
memasuki 1/2 masa pidana yang sebenarnya.
3. Tahap Asimilasi dalam Arti Luas
Pada tahapan ini narapidana yang telah menjalani masa kurungan
1/2 masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pembina
Pemasyarakatan menyatakan proses pembinaan telah mencapai
36
34 kemajuan yang lebih baik, maka wadah proses pembinaannya lebih
terbuka lagi. Narapidana bisa diikut sertakan dalam
program-program pembinaan seperti sekolah umum, berolahraga dengan
masyarakat dengan pengawasan, bekerja pada badan swasta dan
lain-lain. Proses ini berlangsung hingga masa tahanan dijalani 2/3
masa pidana yang sebenarnya.
4. Tahap Integrasi dengan Lingkungan Masyarakat.
Tahap ini adalah tahap terakhir dalam proses pembinaan. Bila pada
pengamatan Dewan Pengamat Pemasyarakatan, narapidana
melakukan proses observasi, asimilasi dalam arti sempit maupun
asimilasi dalam arti luas, dan integrasi telah dijalankan dengan baik
dan masa pidana telah dijalani 2/3, maka narapidana dapat diberi
pelepasan bersyarat ataupun cuti bersyarat.
Tujuan diselengarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mmelakukan tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam membangun dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab.
Konsepsi pemasyarakatan pada tingkat permulaan merupakan tujuan dari
pidana penjara. Pemasyarakatan sebagai tujuan menurut teori pemidanaan dalam
35 pengimbalan atas perbuatan melanggar hukum pidana, namun tertap diberlakukan
sebagai manusia sekalipun ia telah tersesat sehingga memperoleh kesempatan
yang kedua.
Pidana membatasi kemerdekaan atau pencabutan kemerdekaan atau
menghilangkan kemerdekaan seseorang untuk bergerak, sudah berlaku secara
universal di setiap negara di dunia. Namun makna pidana yang demikian ini
dalam pelaksanaanya dan cara perlakuannya belum ada kesamaan di tiap-tiap
negara, disebabkan oleh besar kecilnya faktor penghambat yang berpengaruh di
sekitar negara yang bersangkutan saling berbeda.
2.2 Sejarah Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Wanita Tanjung
Gusta Medan.
Lembaga masyarakat dahulunya dihuni oleh seluruh narapidana, baik itu
laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Walaupun begitu, tetap ada pemisahan
antara ketiganya. Anak-anak dan perempuan memiliki ruangan tersendiri dan
diawasi oleh pegawai wanita.
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan
merupakan ruang lingkup dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Sumatera Utara yang terletak di Jalan Putri Hijau No. 4 Medan
yang tugasnya dikoordinir oleh Kepala Divisi Pemasyarakatan dan dibantu oleh
Kepala Bidang Pemasyarakatan serta dibantu oleh Kepala Seksi-Seksi lainnya.
36 tahun 1980 dengan kapasitas 150 orang penghuni yang beralamat jalan Lembaga
Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Wanita Tanjung Gusta Medan ini merupakan pindahan dari Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Medan
Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan yang didirikan
dengan 3 (tiga) tahap yaitu
1. Tahap pertama didirikan berdasarkan Dasar Isian Proyek tanggal 12 Maret
1980, No. 69/XIII/3/1980 Tahun Anggaran 1981/1982 dengan
menghabiskan dana sebesar Rp 89.010.000,- (delapan puluh sembilan
jutasepuluh ribu rupiah).
2. Tahap kedua didirikan berdasarkan Dasar Isian Proyek tanggal 11 Maret
1982, No. 53/XIII/3/1982 Tahun Anggaran 1982/1983 dengan
menghabiskan dana sebesar Rp 102.600.000,- (seratus dua juta enam ratus
ribu rupiah).
3. Tahap ketiga didirikan berdasarkan Dasar Isian Proyek tanggal 18 April
1983, No. 93/XIII/4/1983 Tahun Anggaran 1983/1984 dengan
menghabiskan dana sebesar Rp 149.850.000,- (seratus empat puluh
sembilan juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah).
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita Tanjung Gusta resmi
pemakaiannya pada bulan September 1986 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia No. 07.03 Tahun 1985 tertanggal 6 Februari 1985
37 Peraturan Penjara Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi, “Pemisahan antara laki-laki
dan orang-orang perempuan, orangorang dewasa dan anak-anak di bawah umur
atau di bawah 16 (enam belas) tahun”.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
tersebut, para narapidana harus dipisah-pisahkan demi memudahkan
pembinaannya. Sebagai realisasinya pada tahun 1986 Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Klas IIA ini diresmikan pada tanggal 18 Oktober 1986 oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman Sumatera Utara, Radjo Harahap, SH dan pejabat
Pemerintah Daerah setempat. Seluruh penghuni yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan Dewasa tersebut dipisahkan, untuk anak-anak ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II, untuk wanita ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas IIA, sedangkan yang laki-laki dewasa tetap ditempat
yang semula. Pada saat berdirinya LP Wanita Klas IIA terdiri dari petugas
sebanyak 36 orang, beserta anak didik sebanyak 50 orang.
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Medan berdiri diatas tanah
hibah dari Pemerintah Daerah setempat yang sampai saat ini sertifikat tanah masih
bergabung dengan Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Medan. Luas tanah
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Medan yaitu 6.422 m2 dan luas