• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Hukum Humaniter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tugas Hukum Humaniter"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS HUKUM HUMANITER

Pendekatan Restorative Justice dan Penyelesaian Pelanggaran Hukum Humaniter Dalam Mewujudkan Keadilan Transisi di Aceh

Oleh :

Ranu Rahman Akhtar 10 410 476

Dosen Pengampu : Dr. Sefriani, SH., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam sejarah peradaban manusia, perang atau konflik bersenjata seringkali timbul dan tak dapat dipungkiri keberadaannya. Sejarah pula yang mencatat betapa dari bangsa dan kebudayaan manapun telah berupaya mengatur pembatasan-pembatasan perilaku dalam melakukan hubungan permusuhan atau yang biasa disebut dengan perang. Pembatasan-pembatasan itu biasanya berasal dari nilai-nilai agama atau perkembangan filosofi-filosofi militer. Seperti dalam Islam yang mengenal Concept of just war (Konsep hanya berperang) diatur dalam surat Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 190: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Atau juga dalam suatu karya sastra di Tiongkok yang ditulis oleh Sun Tzu 2500 tahun lalu. Yang beberapa bagiannya mempengaruhi perkembangan hukum kejahatan perang, bagian kedua, dimana bagian ini mengatur cara memperlakukan musuh, “Para Prajurit musuh yang tertangkap harus diperlakukan dengan baik dan dijaga.”1 Dan banyak lagi pengaturan-pengaturan terkait etika dalam berperang, seperti di wilayah Mediterania, kitab pengaturan perang itu dinamakannya The Manu Smirit Atau Code Of Manu, dan diwilayah Amerika Serikat dinamakan

Lieber code yang digunakan untuk mengatur pertempuran antara pasukan konfederasi pada waktu terjadinya perang sipil (Sipil War) dan masih banyak lagi contoh kitab atau manuskrib lainnya peninggalan sejarah peradaban manusia di dunia. Dari situlah kemudian hukum humaniter internasional muncul dan berkembang, yang pada esensinya bertujuan untuk melindungi korban perang dan membatasi senjata serta metode perang itu sendiri, terlihat dari kofigurasi yang dibangun pada konvensi Jenewa 1949—yang kemudian dilengkapi dengan protocol tambahan 1977—dan konvensi Den Haag 1899 dan 1907, yang ingin menjadikan perang agar lebih manusiawi (make war more human being).

Namun sebelum jauh masuk kedalam pokok bahasan, ada baiknya membahas terlebih dahulu makna dari kata “Perang atau konflik bersenjata” itu sendiri. Suatu kajian teoritis telah panjang memperdebatkan apakah keduanya memang merupakan istilah yang mempunyai

(3)

pengertian yang sama. Dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa perang adalah permusuhan (pertikaian) dengan menggunakan angkatan bersenjata yang terjadi antara bangsa-bangsa, negara-negara, atau penguasa-penguasa, atau warga-warga dalam satu bangsa atau satu negara.2 Sedangkan arti perang dalam Dictionary of The Internasional of Armed Conflict diartikan sebagai permusuhan (pertikaian) bersenjata antara dua atau lebih negara yang melibatkan angkatan bersenjata masing-masing dan diatur oleh hukum internasional.3 Yang pada pokoknya sebenarnya pengertian antara kedua literature tersebut sesungguhnya menyebut dua unsur esensial dari perang yaitu, pertama adanya situasi pertikaian (permusuhan) dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan kedua adanya pihak-pihak yang bersengketa—entah itu skala internasional maupun non-internasioanal, yang pembahasan ini akan dikemukakan dibawah.

Dalam perang atau konflik bersenjata ini kerap terjadi dalam ranah yang bersifat internasional maupun non-internasional atau konflik internal. Perbedaan pokok antara konflik internasional dan konflik non-internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam konflik internasional, kedua pihak memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara. Sedangkan dalam konflik non-internasional, status ke dua pihak tidak sama, yaitu pihak yang satu berstatus negara, sedangkan pihak lainnya adalah satuan bukan negara (non-state entity).4 Hal itu diatur lengkap dalam 2 macam perjanjian, yaitu dalam konvensi Jenewa 1949 pasal 3, dan dalam protocol tambahan II 1977. Hal inilah yang akan menjadi relevan dalam pembahasan makalah ini, karena akan mengkaji perang non-internasional lebih dalam, dengan konteks pendekatan restorative Justice yang akan menuju pada keadilan transisi terhadap kasus konflik bersenjata non-internasional di Aceh, Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antaralain :

a) Apa yang sesungguhnya terjadi di simpang KKA (Kertas Kraft Aceh), Aceh?

2 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 26.

3 Ibid.

(4)

b) Apakah negara sudah berupaya menyelesaikan kasus tersebut dan sudahkah keadilan transisi tercapai disana?

BAB II PEMBAHASAN

Disini akan dibahas terkait kronologis dan fakta atas peristiwa di Simpang KKA terjadi pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.5 Peristiwa ini diawali sebelumnya oleh isu hilangnya anggota TNI Detasemen Rudal 001/Lilawangsa pada 30 April 1999, diduga bernama Edityawarman ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang diselenggarakan warga Cot Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut kemudian disikapi anggota pasukan militer dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke tempat aktivitas warga pada tanggal 2 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang melaksanakan kenduri untuk peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat melakukan kekerasan yang mengakibatkan sekitar 20 orang warga mengalami kekerasan; dipukul, ditendang dan diancam, bahkan ada warga yang ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh terlibat dengan hilangnya Edityawarman.

Kemudian pada tanggal 3 Mei 1999, warga yang tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta Koramil untuk membebaskan warga yang ditangkap oleh aparat dan mendesak agar tidak ada aparat TNI lagi yang datang ke Desa Cot Murong untuk melakukan intimidasi. Aksi ini juga diikuti oleh ibu-ibu yang berdiri di barisan paling depan. Aksi kemudian dilanjutkan ke Simpang KKA, Aceh Utara, tidak jauh dari kantor Koramil. Saat itu ratusan orang juga sudah berkumpul di tempat tersebut.

Warga juga menutup akses jalan raya Aceh – Medan yang berada di depan Simpang KKA sehingga tidak ada satu kendaraan pun yang dapat lewat dan mengakibatkan para penumpang kemudian turun dari kendaraan dan mendekat ke arah kerumunan warga. Di tempat tersebut juga kemudian datang sekitar 10-15 orang aparat Yonif 113/Jaya Sakti bersenjata lengkap beserta truk reo yang berbaris di sisi kanan jalan. Koramil sempat bernegosiasi lagi dengan massa dan Camat,

(5)

Marzuki Amin namun gagal. Warga meminta agar TNI tidak datang lagi ke Cot Murong. Suasana semakin memanas, aparat tersebut kemudian dikelilingi oleh massa aksi. Sementara beberapa massa aksi masih terus berorasi menuntut Bupati Aceh Utara, Ketua DPRK Aceh Utara, MPU Aceh Utara dan perangkat lainnya untuk hadir ke Simpang KKA.

Sekitar pukul 12.30, salah satu aparat yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah belakang truk reo sambil membawa HT dan menembak ke udara sebanyak 2 kali. Ketika warga mencoba mengejar aparat tersebut, tiba-tiba dari arah sebelah kiri (Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang truk reo berisikan puluhan aparat bersenjata menembak ke arah korban. Sebagian dari mereka turun dari truk dan berjalan ke arah kerumunan massa sambil menembak secara acak, sebagian lagi menembak dari atas truk

Massa mendengar saat itu ada orang berteriak “tiarap“ namun tidak semua orang mengerti apa maksud kata tiarap tersebut sehingga akhirnya tertembak oleh peluru aparat. Satu persatu jatuh tertembak dan berlumuran darah tetapi aparat terus menembak ke arah massa. Beberapa warga juga sempat disiksa dan diteriaki “anjing“, “babi“. “mampus kau GPK“ (Gerakan Pengacau Keamanan) oleh aparat. Peristiwa penembakan itu berlangsung sekitar 20-30 menit sebelum akhirnya aparat pergi dari Simpang KKA. Warga yang selamat dari tembakan karena melarikan diri atau pura-pura mati kemudian perlahan bangun dan kembali ke lokasi untuk menyelamatkan para korban yang tertembak. Korban kemudian dibawa ke beberapa rumah sakit, seperti RS PMI, RS. PT. Arun, RS Cut Meutia dan yang mengalami luka parah kemudian dibawa ke RS di Banda Aceh

(6)

membantu melakukan pengawalan dan berjaga di RS agar tidak ada korban yang diculik dan dibawa pergi oleh aparat

Sebagian korban penembakan kemudian dikeluarkan secara diam-diam dari RS oleh mahasiswa karena diduga akan diculik oleh aparat dan disembunyikan di tempat yang aman. Ada yang bersembunyi di rumah saudaranya di Banda Aceh, ada pula yang lari hingga ke hutan dan baru kembali 3 bulan setelah peristiwa. Tidak ada pemda setempat yang datang untuk melayat para korban atau memberikan uang duka/bantuan kepada keluarga korban. Bantuan yang diterima korban hanya melalui BRA (Badan Reintegrasi Aceh) namun tidak semua korban mendapatkan bantuan tersebut

Korban termuda yang menjadi sasaran penembakan adalah Saddam Husein yang saat itu masih berusia 7 tahun, namun diberitakan oleh media bahwa Saddam berusia 17 tahun dan merupakan anggota GPK. Pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), penyiksaan, intimidasi dan terror, penculikan (untuk peristiwa tanggal 2 Mei 1999).

Analisis kasus

Walaupun deklarasi perang dari pemerintah Indonesia kepada Aceh yang terlihat dari penetapan atas “Daerah Operasi Militer” itu pada tahun 1990 – 1998 (yang disebut operasi jaring merah), yang merupakan operasi kontra-pemberontak, melawan gerakan aceh merdeka (GAM), dan telah dihentikan BJ. Habibie, presiden RI kala itu, pada tanggal 22 Agustus 1998. Tetap saja yang terjadi pada kasus simpang KKA di Aceh adalah ekses dari konflik sebelumnya yang terjadi pada 1990 – 1998. Dimana hilangnya anggota TNI Detasemen Rudal 001/Lilawangsa pada 30 April 1999, yang bernama Edityawarman TNI mengira telah diculik oleh GAM. TNI disini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh, dalam konteks hukum humaniter. Operasi itu disebut sebagai penumpasan separatis paling kotor di Indonesia.6

Karena dalam pasal 2 ayat 2 Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949, mengimplikasikan bahwa setiap permusuhan yang dilakukan dengan penggunaan senjata di antara dua atau lebih negara ataupun non-state entity menjadikan berlakunya pasal 2 ini tanpa

(7)

memandang adanya pernyataan perang formal. Penegasan ini perlu digarisbawahi karena miskonsepsi masih sering terjadi dalam praktik negara-negara yang mensyaratkan adanya deklarasi (pernyataan formal) perang agar suatu pertikaian bersenjata mempunyai konsekuensi hukum.7

Respon negara Terhadap peristiwa ini, pada tahun 2000 telah dilakukan penyelidikan dan pengkajian oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999. Dalam laporannya, komisi menyebutkan sebanyak 39 warga sipil tewas (termasuk seorang anak berusia 7 tahun), 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang. Sementara itu, anggota Komisioner Komnas HAM periode 2002 – 2007, MM. Billah pernah melakukan investigasi ke Simpang KKA dan bertemu dengan para korban. Namun tidak ada tindak lanjutnya hingga kini. Peristiwa ini juga sudah dilaporkan ke Komnas HAM perwakilan Aceh namun belum ada upaya konkrit yang dilakukan untuk mengusut peristiwa tragedi Simpang KKA.8

Telah diindentifikasi juga pelaku dari aparatur negara yang bertanggung jawab atas kasus ini ialah Kol. Inf Jhony Wahab sebagai mantan Danrem Lilawangsa, Letkol Inf Bambang Haryana sebagai Komandan Yonif 113/Jaya Sakti, Mayor Art Santun Pakpahan sebagai Komandan Datasemen Rudal 011/1, Letnan Art Ismail sebagai Danki Datasemen Rudal dan terakhir adalah Komandan regu masing-masing.9 Adapun kejahatan perang yang terjadi dan telah diatur dalam Statuta Roma 1998; Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan, diantaranya adalah

Pertama, telah dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya segala jenis pembunuhan, pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam dan penyiksaan, yang kedua, Menahan sandera, dan yang ketiga, secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan.

Menuju keadilan transisi

Dalam sebuah konflik yang mengakibatkan ekses-ekses demikian—memakan korban warga sipil yang tidak berdosa—ada suatu idea atau gagasan yang idealnya diterapkan dalam setiap

7 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hal. 122.

8 Sumber: Laporan Investigasi KontraS (Komisi Untuk Orang HIlang dan Korban Tindak Kekerasan), 2013.

(8)

penuntasan kasus pelanggaran HAM, khususnya kejahatan perang. Ide atau gagasan itu bernama keadilan transisi atau Transastional Justice. Ide ini berangkat dari sebuah pendekatan atau upaya dalam merespon penyelesaian pelanggaran yang sistematis atau luas, yang terjadi di masa pemerintahan otoritarian.10 Dan juga dimana transformasi politik yang sejati dari masa rezim otoritarian menuju pemerintahan yang demokratis membutuhkan pengakuan atas kesalahan dan kejahatan di masa lalu untuk memenuhi hak – hak korban, membangun demokrasi dan penegakan hukum [rule of law], untuk penekanan akuntabilitas negara dan pemenuhan hak korban.

Keadilan transisi ini memiliki kerangka dengan unsure yang harus terpenuhi keseluruhannya dan bersifat komplementer dari unsure satu ke unsure yang lain. Unsur kerangka keadilan transisi ini diantaranya adalah11:

1. Pengadilan untuk memenuhi hak untuk mendapatkan keadilan (Right to Justice);

2. Pengungkapan kebenaran atau (Right to know) dengan dibentuk nya komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dll;

3. Pemulihan (Right to reparation), dimana negara harus memastikan korban mendapatkan restitusi, rehabilitasi, kompensasi dan jaminan kepuasan serta tidak berulang kembali; 4. Reformasi institusi (Instituional reform).

Namun sampai sekarang tidak pernah sekalipun digelar penyelidikan pro justisia lebih lanjut untuk mengungkap motif peristiwa pelanggaran HAM (Kejahatan perang) yang terjadi di Simpang KKA, termasuk peristiwa yang terjadi sebelumnya dan memicu terjadinya penembakan tersebut, bahkan penyelidikan terkait tuduhan hilangnya anggota Detasemen Rudal bernama Edityawarman di Desa Cot Murong tidak pernah dilakukan, kebenarannya pun diragukan. Dampak yang terjadi disana yang masih membekas tentu masih dialami korban, korban masih merasa takut dan trauma atas peristiwa yang terjadi 14 tahun lalu, apalagi jika melihat aparat berpakaian militer.

Lalu banyak juga korban memilih untuk pindah rumah atau menghindari agar tidak melintas di Simpang KKA akibat trauma dengan peristiwa tersebut, para korban juga mengalami luka fisik permanen di tubuhnya akibat tertembak peluru aparat, bahkan ada korban yang di kepalanya hingga kini masih bersarang proyektil peluru dan masih harus berobat secara rutin setiap

10 Yati Andriyani, “Keadilan Transisi,” (SeHAMa (Sekolah HAM untuk Mahasiswa) VI, KontraS, Jakarta, 12-31 Agustus, 2014)

(9)

bulannya. Serta anak-anak korban peristiwa Simpang KKA tidak dapat melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya akibat kepala keluarga (orangtua) meninggal.

BAB III KESIMPULAN

Dalam hukum internasional mengenai tanggung jawab pidana, telah terjadi suatu perkembangan baru. Jika awalnya hanya negara saja yang dapat dituntut pertanggungjawaban di muka pengadilan internasional, maka kini individu juga dapat dikenai tanggungjawab. Hal itu termakhtub dalam Statuta Roma 1998 yang melahirkan pembentukan ICC (International Criminal Court ) atau Mahkamah pidana internasional. Tanggung jawab pidana secara individual yang berlaku dalam hukum internasional ini dimaksudkan untuk memutus rantai impunitas karena sistem hukum nasional terkadang tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan perang.12

Artinya bahwa hal tersebut dapat menjadi landasan untuk menjerat pelaku kejahatan perang yang berada di Aceh, sesuai dengan tanggung jawab komando dan tindakan yang dilakukan. Karena dalam undang-undang nasional kita yaitu undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM terlihat hanya lebih mengedepankan topic daripada substansi, karena tidak termuatnya kejahatan perang sebagai salah satu yurdiksi ratione materie. Pengadilan hanya mencantumkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dalam yuridiksi ratione materie -nya.Undang-undang nasional kita tidak dapat digunakan untuk menggelar pengadilan terkait kejahatan perang.

(10)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari metode Sharpe terdapat dua reksa dana yang kinerjanya positif yaitu Danpac-Kuo dan GMT Dana Pasti, dari metode Treynor terdapat dua reksa

Partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa dimana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan yang lainnya. Pasal

penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas secara hukum adat oleh suku Dani3. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang telah mengakibatkan kerugian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode dan tekhnik penelitian study literatur deskriptif analisis, yaitu study penelitian berdasarkan literatur-literatur yang

ABSTRAK PENGARUH IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI PT PLN PERSERO KANTOR DISTRIBUSI JAKARTA RAYA DAN TANGERANG Oleh: Benny Sanjaya Penelitian ini

Sterilisasi sebelum inkubasi efektif dalam membunuh mikroba epifit atau mikroba yang menempel dibagian permukaan daun, sehingga koloni yang tumbuh pada permukaan

Sumber: PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk, PEFINDO Sumber: PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk, PEFINDO Riset dan Konsultasi – Divisi Valuasi Saham & Indexing Riset dan Konsultasi

Libby dan Frederick (1990) juga berpendapat bahwa auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan