TESIS
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA DAN KEJADIAN
HIPOTENSI AKIBAT ANESTESI SPINAL PADA OPERASI
BEDAH SESAR DENGAN BUPIVAKAIN 0.5% HIPERBARIK 10
MG DAN 15 MG
Oleh :
dr. BASTIAN LUBIS NIM. 097114009
Pembimbing :
dr. CHAIRUL M. MURSIN, SpAn. KAO dr. YUTU SOLIHAT, SpAn. KAKV
DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /
Judul : Perbandingan efek analgesia dan kejadian hipotensi
akibat anestesia spinal pada operasi bedah sesar dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg dan 15 mg
Nama : Bastian Lubis
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Chairul M. Mursin, SpAn.KAO
NIP. 19580811 198711 1 001 dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV
Ketua Program Studi
NIP. 19510423 197902 1 003 Dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC
Ketua Program Magister Dekan
Prof.dr.Chairuddin P Lubis,DTM&H.Sp.A(K )
NIP. 19540220 198011 1 001
Telah diuji pada Tanggal : 28 September 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO NIP. 19520826 198102 1 001
2. dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC
NIP. 19510423 197902 1 003
3. Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA DAN KEJADIAN HIPOTENSI AKIBAT
ANESTESIA SPINAL PADA OPERASI BEDAH SESAR DENGAN BUPIVAKAIN 0.5% HIPERBARIK 10 MG DAN 15 MG
TESIS
Oleh BASTIAN LUBIS
NIM. 097114009
Pembimbing I : dr. CHAIRUL M. MURSIN, SpAn. KAO
Pembimbing II : dr. YUTU SOLIHAT, SpAn. KAKV
Tesis Ini Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS
DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya sampaikan rasa
syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh
spesialis dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan.
Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik isi maupun
bahasanya, namun demikian saya berharap bahwa tulisan ini dapat
menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Efek Analgesia
dan Kejadian Hipotensi akibat Anestesia Spinal pada Operasi Bedah Sesar
dengan Bupivakain 0.5% Hiperbarik 10 mg dan 15 mg.
Pada kesempatan berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan kepada
saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Direktur RSUP. Haji Adam Malik dan RSU Haji Mina Kota Medan yang
telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar,
bekerja dan melakukan penelitian di lingkungan rumah sakit ini.
Dengan penuh rasa hormat, saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Chairul M. Mursin, SpAn.
KAO dan dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV sebagai pembimbing tesis saya,
dimana telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan
sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
Yang terhormat Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO
sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-USU/RSUP H. Adam Malik, dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC sebagai
Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, DR. dr. Nazaruddin
Umar, SpAn. KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif serta dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn. KAKV sebagai
Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah banyak
memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat dan keikhlasan telah mendidik
selama saya menjalani program ini sebagai guru bahkan orangtua, selama
saya mengikuti pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Yang terhormat guru-guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, saya
SpAn. KIC ; dr. Chairul M. Mursin, SpAn. KAO ; Prof. dr. Achsanuddin
Hanafie, SpAn. KIC. KAO ; dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC ; DR. dr.
Nazaruddin Umar, SpAn. KNA ; dr. Akhyar H Nasution, SpAn. KAKV ; dr.
Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP. KMN ; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC ; dr.
Soejat Harto, SpAn. KAP ; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV ; dr. Muhammad
AR, SpAn. KNA ; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn ; dr. Tumbur, SpAn ; dr.
Nugroho Kunto Subagio, SpAn ; dr. Dadik W. Wijaya, SpAn ; dr. M. Ihsan,
SpAn. KMN ; dr. Guido M. Solihin, SpAn ; dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV ;
dr. Rommy F. Nadeak, SpAn ; dan dr. Rr. Shinta Irina, SpAn ; yang telah
banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di Bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan
sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian
maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi
saya di kemudian hari.
Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya
sembahkan kepada kedua orangtua saya yang tercinta, yang mulia
Ayahanda dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP. KMN dan Ibunda Hj. Arneny
yang dengan segala upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing
dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar
menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua, agama, bangsa dan
kedua orangtua saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangi saya semenjak kecil.
Yang terhormat kedua mertua saya, Mustafa Kamal dan Husnawaty
Kamal, serta kedua abang ipar dan adik ipar saya, yang telah memberikan
dorongan semangat kepada saya sehingga laporan penelitian ini dapat
diselesaikan.
Kepada istriku tercinta dr. Putri Amelia, MKed (Ped), SpA dan anakku
tersayang Alisha Putri Lubis dan M. Iqbal Ghazali Lubis yang selalu
menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama ini.
Tiada kata yang lebih indah diucapkan selain ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan
semangat yang tiada henti-hentinya, sehingga dengan ridho Allah SWT
akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
Yang tercinta dan tersayang teman-teman sejawat peserta pendidikan
keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif terutama dr. Rudi Gunawan ; dr.
Fadli Armi Lubis ; dr. Hamonangan Pane; dr. Dody Iskandar; dr. Jeffry; dr.
Arianti Isabella dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan
namanya disini, yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka,
harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.
Kepada seluruh paramedis dan pegawai Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP
H. Adam Malik, RSU Haji Mina Kota Medan yang telah banyak membantu
dan banyak kerjasama selama saya menjalani pendidikan ini.
Dan saya ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pasien yang
secara sukarela berperan serta didalam penelitian ini dan semua pihak yang
telah banyak membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini.
Akhirnya izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga
bantuan dan dorongan serta petunjuk yang diberikan kepada saya selama
mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan maha Penyayang.
Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.
Medan, September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR GRAFIK ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
DAFTAR SINGKATAN ... xix
ABSTRAK ... xx
ABSTRACT ... xxi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Hipotesa ... 7
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan Umum ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
1.5.1 Manfaat Akademis ... 8
1.5.2 Manfaat Praktis ... 8
1.5.3 Pelayanan Masyarakat ... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anastesi Regional ... 9
2.1.1 Anatomi ... 11
2.1.2 Fisiologi ... 14
2.1.3 Indikasi & Kontraindikasi ... 15
2.2 Fisiologi Ibu Hamil ... 17
2.2.1 Bentuk Fisil... 17
2.2.2 Hormonal ... 18
2.2.3 Mekanikal ... 18
2.2.4 Pembuluh Darah dan Hemodinamik ... 18
2.2.5 Aliran Darah ke Ginjal ... 20
2.2.6 Pada Sistem Pernafasan ... 21
2.3 Anestesia Regional pada Ibu Hamil ... 23
2.4 Anestesia Spinal pada Ibu Hamil ... 26
2.4.1 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Spinal ... 36
2.4.2 Teknik Anestesia ... 39
2.4.3 Monitoring ... 40
2.4.4 Vasopresor ... 40
2.4.5 Tinggi Blok dan Faktor Lain ... 42
2.4.6 Komplikasi dari anestesia spinal ... 42
2.5 Anestesia Lokal ... 45
2.5.1 Pembagian Anestesia Lokal ... 45
2.5.2 Sejarah Anestesia Lokal ... 46
2.5.3 Jenis Anestesia Lokal ... 46
2.5.4 Macam Anestesia Lokal ... 47
2.5.5 Patofisiologi ... 49
2.5.6 Regimen Anestesia Spinal ... 51
2.6 Konsep Teori ... 55
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ... 57
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 57
3.2.1 Tempat ... 57
3.2.2 Waktu ... 57
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 57
3.4 Perkiraan Besar Sampel ... 58
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 59
3.5.1 Kriteria Inklusi ... 59
3.5.2 Kriteria Eksklusi ... 59
3.6 Informed Consent ... 59
3.7 Alat, bahan, dan cara kerja ... 60
3.7.1 Alat dan Bahan ... 60
3.7.1.1 Alat ... 60
3.7.1.2 Bahan ... 60
3.7.2 Cara Kerja ... 61
3.7.2.1 Persiapan pasien dan obat ... 61
3.8 Identifikasi Variabel ... 64
3.9 Rencana Manajemen dan Analisa Data ... 65
3.10 Defenisi Operasional ... 65
3.11 Masalah Etika ... 68
3.12 Alur Penelitian ... 70
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Umum ... 71
4.2 Karakteristik Hemodinamik Pre - Operasi ... 75
4.3 Karakteristik tercapainya blokade sensorik setinggi T6 setelah pemberian analgetik ... 77
4.4 Karakteristik nilai VAS durante operasi ... 77
4.5 Karakteristik kejadian hipotensi durante operasi ... 81
4.6 Karakteristik pemberian efedrin durante operasi1 ... 100
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Efek Hipotensi ... 103
5.2 Efek Analgesia ... 105
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 108
6.2 Saran ... 108
Daftar Pustaka ... 109
Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti ... 116
2. Jadwal Penelitian ... 117
3. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ... 118
4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 121
5. Lembaran Observasi Pasien ... 123
6. Rencana Anggaran Penelitian ... 126
8. Lembaran Sebaran Data Subjek Penelitian ... 129
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2-1. Fisiologi anemia pada ibu hamil ... 19
Tabel 2.2-2. Perubahan pembuluh darah selama kehamilan ... 20
Tabel 2.2-3. Perubahan fungsi ginjal pada ibu hamil ... 21
Tabel 2.2-4. Perubahan fungsi paru selama kehamilan ... 22
Tabel 2.2-5. Perubahan anatomi,fisologi dan hal yang didapati selama kehamilan ... 22
Tabel 2.2-6. Penelitian tentang pengosongan lambung selama kehamilan 23 Tabel 2.4-1. Ketinggian blok yang perlu dicapai dalam prosedur operasi ... 28
Tabel 2.4-2. Karakteristik dari sel saraf perifer ... 29
Tabel 2.4-3. Pengukuran kekuatan motorik ... 31
Tabel 2.4-4. Faktor yang mempengaruhi tinggi blok ... 35
Tabel 4.1-1. Karakteristik umum berdasrkan umur, berat badan, tinggi badan dan BMI ... 72
Tabel 4.1-2. Karakteristik umum berdasarkan jenis suku ... 73
Tabel 4.1-3. Karakteristik umum berdasarkan tingkat pendidikan... 74
Tabel 4.2-1. Karakteristik hemodinamik pre operasi ... 75
Tabel 4.3-1. Karakteristik waktu dan skala blokade sensorik ... 77
Tabel 4.4-1. Karakteristik nilai VAS durante operasi ... 78
Tabel 4.4-2. Rerata nilai VAS durante operasi ... 79
Tabel 4.5-2. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 1 ... 82
Tabel 4.5-3. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 3 ... 84
Tabel 4.5-4. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 6 ... 85
Tabel 4.5-5. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 9 ... 86
Tabel 4.5-6. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 12 ... 88
Tabel 4.5-7. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 15 ... 89
Tabel 4.5-8. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 18 ... 90
Tabel 4.5-9. Karakteristik kejadian hipotensi menit ke 30 ... 92
Tabel 4.5-10 Rerata tekanan sistolik dan MAP durante operasi ... 94
Tabel 4.5-11 Rerata perbedaan tekanan sistolik dan MAP durante operasi ... 97
Tabel 4.6-1. Karakteristik pemberian efedrin durante operasi ... 100
Tabel 4.7-1. Gambaran Skala Bromage pada menit ke 120 ... 101
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1-1. Tulang belakang dari samping dan belakang ... 12
Gambar 2.1-2. Tulang belakang secara longitudinal dan transversal ... 14
Gambar 2.1-3. Tulang belakang dilihat dari superior dan lateral... 15
Gambar 2.4-1. Dermatom uterus ... 27
Gambar 2.4-2. Sel saraf bermielin ... 29
Gambar 2.4-3. Aliran posisi dari ruangan subarachnoid ... 31
Gambar 2.4-4. Macam tipe jarum spinal ... 36
Gambar 2.5-1. Pergerakan anestesia lokal melewati membran saraf. ... 51
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.4-1 Karakteristik Nilai VAS Durante Operasi ... 79
Grafik 4.4-2 Rerata nilai VAS durante operasi ... 80
Grafik 4.5-1. Kejadian hipotensi durante operasi ... 82
Grafik 4.5-2 Kejadian hipotensi menit ke 1 ... 83
Grafik 4.5-3 Kejadian hipotensi menit ke 3 ... 85
Grafik 4.5-4 Kejadian hipotensi menit ke 6 ... 86
Grafik 4.5-5 Kejadian hipotensi menit ke 9 ... 87
Grafik 4.5-6 Kejadian hipotensi menit ke 12 ... 89
Grafik 4.5-7 Kejadian hipotensi menit ke 15 ... 90
Grafik 4.5-9 Kejadian hipotensi menit ke 18 ... 91
Grafik 4.5-9 Kejadian hipotensi menit ke 30 ... 93
Grafik 4.5-10 Rerata tekanan sistolik durante operasi ... 95
Grafik 4.5-11 Rerata MAP durante operasi ... 96
Grafik 4.5-12 Rerata perbedaan tekanan sistolik durante operasi ... 99
Grafik 4.5-13 Rerata perbedaan MAP durante operasi ... 99
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti ... 116
Lampiran 2. Jadwal Penelitian ... 117
Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ... 118
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 121
Lampiran 5. Lembaran Observasi Pasien ... 123
Lampiran 6. Rencana Anggaran Penelitian ... 126
Lampiran 7. Randomisasi Blok Sampel ... 127
Lampiran 8. Lembaran Sebaran Data Subjek Penelitian ... 129
DAFTAR SINGKATAN
CSF : Cerebrospinal Fluid
EKG : Elektrokardiografi
ED 50 : Effective Dose 50
ED 95 : Effective Dose 95
ETT : Endotracheal tube
L3-L4 : Lumbal 3 – lumbal 4
C3-C5 : Cervical 3 – cervical 5
Th 10 : Thoracal 10
VT : Ventriculat Tachicardi
VF : Ventricular Fibrilasi
TNS : Transient Neurological Syndrome
iv : Intravena
MAP : Mean Arterial Pressure
PDPH : Post - dural - puncture headache
PS – ASA : Physical Status American Society of Anesthesiologist
VAS : Visual Analog Scale
ABSTRAK
Latar Belakang : Hipotensi merupakan suatu komplikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah sesar. Salah satu cara untuk
mengurangi risiko hipotensi, yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal.
Pada penelitian ini mencoba membandingkan penggunaan 10 mg bupivakain
0.5% hiperbarik dengan 15 mg bupivakain 0.5% hiperbarik dengan harapan
dapat menurunkan efek hipotensi dan mendapat efek analgesia yang
adekuat.
Metode : Sebanyak 48 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu 24 pasien pada kelompok A mendapat 10 mg
bupivakain 0.5% hiperbarik, sedangkan 24 lainnya pada kelompok B
mendapat 15 mg bupivakain 0.5% hiperbarik. Dilakukan pencatatan berkala
mulai dari sebelum hingga 90 menit pasca tindakan spinal terhadap beberapa
variabel antara lain: tanda vital, kejadian hipotensi, dan karakteristik nilai VAS
durante operasi.
Hasil : Sebanyak 41,7 % (10 pasien) dari kelompok A dan 95,8 % (23 pasien) dari kelompok B mengalami hipotensi, dan perbedaannya bermakna
secara statistik. Nilai VAS durante operasi pada kelompok A seluruh subjek
tidak mengalami nyeri, sedangkan pada kelompok B dijumpai nyeri 1 orang
(4,2 %), dan perbedaannya tidak bermakna secara statistik
Kesimpulan : Anestesia spinal menggunakan 10 mg bupivakain hiperbarik 0.5% lebih efektif dibandingkan 15 mg bupivakain hiperbarik 0.5% pada
bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat dan
hemodinamik yang lebih stabil.
ABSTRACT
Background : Hypotension can be a serious threat to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean section. In order to decrease the
incidence of hypotension, we can lower the dose of local anaesthesia. This
study tried to compare the used of 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% with
15 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%, in order to decrease the incidence of
hypotension and got the adequat analgetic effects.
Method : Fourty eigtht patients, who meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 24 patients in group I received 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%,
24 patients in group II received 15 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%. Vital
sign, hypotension, and VAS score during operation.
Result : Hypotension was found in 10 patients (41,7%) in group A and 23 patients (95,8%) in group B. Difference between groups was statistically
significant. The VAS score during operation was not found pain in all
patients in group A, and was found in 1 patient (4,2%) with pain in group B.
Difference between groups was not statistically significant.
Conclusion : Spinal anaesthesia using combination of 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% is more effective compared with 15 mg hyperbaric
bupivacaine 0,5% alone for caesarean section. It has an effective
intraoperative analgesia and more stabile hemodynamic effect.
ABSTRAK
Latar Belakang : Hipotensi merupakan suatu komplikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah sesar. Salah satu cara untuk
mengurangi risiko hipotensi, yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal.
Pada penelitian ini mencoba membandingkan penggunaan 10 mg bupivakain
0.5% hiperbarik dengan 15 mg bupivakain 0.5% hiperbarik dengan harapan
dapat menurunkan efek hipotensi dan mendapat efek analgesia yang
adekuat.
Metode : Sebanyak 48 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu 24 pasien pada kelompok A mendapat 10 mg
bupivakain 0.5% hiperbarik, sedangkan 24 lainnya pada kelompok B
mendapat 15 mg bupivakain 0.5% hiperbarik. Dilakukan pencatatan berkala
mulai dari sebelum hingga 90 menit pasca tindakan spinal terhadap beberapa
variabel antara lain: tanda vital, kejadian hipotensi, dan karakteristik nilai VAS
durante operasi.
Hasil : Sebanyak 41,7 % (10 pasien) dari kelompok A dan 95,8 % (23 pasien) dari kelompok B mengalami hipotensi, dan perbedaannya bermakna
secara statistik. Nilai VAS durante operasi pada kelompok A seluruh subjek
tidak mengalami nyeri, sedangkan pada kelompok B dijumpai nyeri 1 orang
(4,2 %), dan perbedaannya tidak bermakna secara statistik
Kesimpulan : Anestesia spinal menggunakan 10 mg bupivakain hiperbarik 0.5% lebih efektif dibandingkan 15 mg bupivakain hiperbarik 0.5% pada
bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat dan
hemodinamik yang lebih stabil.
ABSTRACT
Background : Hypotension can be a serious threat to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean section. In order to decrease the
incidence of hypotension, we can lower the dose of local anaesthesia. This
study tried to compare the used of 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% with
15 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%, in order to decrease the incidence of
hypotension and got the adequat analgetic effects.
Method : Fourty eigtht patients, who meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 24 patients in group I received 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%,
24 patients in group II received 15 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%. Vital
sign, hypotension, and VAS score during operation.
Result : Hypotension was found in 10 patients (41,7%) in group A and 23 patients (95,8%) in group B. Difference between groups was statistically
significant. The VAS score during operation was not found pain in all
patients in group A, and was found in 1 patient (4,2%) with pain in group B.
Difference between groups was not statistically significant.
Conclusion : Spinal anaesthesia using combination of 10 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% is more effective compared with 15 mg hyperbaric
bupivacaine 0,5% alone for caesarean section. It has an effective
intraoperative analgesia and more stabile hemodynamic effect.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipotensi merupakan efek samping yang terjadi akibat anestesia
spinal.1-5 Tahanan pembuluh darah sistemik yang menurun penyebab
terjadinya hipotensi akibat hambatan simpatis.4,5 Hipotensi ini dapat
membahayakan ibu dan bayi bila tidak ditangani dengan baik.3,5 Hipotensi
pada ibu hamil dapat menyebabkan mual, muntah sedangkan pada bayi
dapat menyebabkan menurunnya aliran darah uteroplasenta yang
mengakibatkan oksigenasi ke bayi terganggu.5 Hipotensi berkaitan dengan
tingginya blok spinal.6 Semakin tinggi blokade spinal, mekanisme kompensasi
akibat hambatan simpatis pun akan semakin ditekan.
Insidensi terjadinya hipotensi masih sangat besar mulai dari 55%
hingga 100%.
6
3 Pada dosis 12 mg di dapati kekerapan hipotensi berkisar
70-85 %.6 Ada juga yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik di dapati
kekerapan hipotensi 42-50%.6 Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah hipotensi ini. Seperti pemberian cairan, ganjal panggul kanan,
dan pemberian vasopresor.4,7,8 Dengan penanganan seperti pemberian
cairan, ganjal panggul kanan, bahkan dengan pemberian cairan hipotensi
masih terjadi hingga 50% sampai 60%.1,3,5 Walaupun demikian anestesia
disebabkan karena efek samping yang ditimbulkannya minimal bagi ibu dan
janin.8 Penggunaan dosis kecil anestesi spinal merupakan salah satu cara
untuk mengurangi hipotensi yang terjadi.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan dosis yang
tepat pada wanita hamil.
9
9 Ada yang menggunakan 8 mg, 10 mg, 12 mg
bahkan ada yang menggunakan adjuvant opiat seperti fentanil, sufentanil,
ataupun morfin.8,9 Hipotensi pada ibu hamil karena bedah sesar dapat
mencetuskan mual, muntah, aspirasi bahkan skor APGAR bayi yang
rendah.1,4 Sedangkan penggunaan dosis kecil dapat mengatasi hipotensi
yang terjadi tetapi menimbulkan efek analgesia yang kurang pada pasien.6
Diharapkan dapat ditemukan dosis yang tidak menimbulkan hipotensi dan
memiliki efek analgesia.6 Penggunaan anestesi lokal dengan dosis yang lebih
kecil tidak memblok serabut saraf simpatis di daerah atas sehingga hipotensi
tidak terjadi.6 Namun, dosis yang rendah akan berpengaruh terhadap
kualitas dan durasi anestesia spinal. Ginosar dkk melakukan penelitian untuk
mencari ED50 dan ED95 dari bupivakain untuk anestesia spinal pada bedah
sesar. Hasilnya didapatkan ED50 dan ED95 adalah sebesar 7.6 mg dan 11
mg.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan dosis dengan
harapan dapat menurunkan hipotensi dan efek analgesia yang baik. Ada
penelitian yang menggunakan anestesi lokal murni dan ada yang
menggunakan adjuvant. Seperti pada penggunaan dosis 12-15 mg menurut
C.Arzola berkisar 80%. Hipotensi terjadi pada anestesia spinal sangat
bervariasi.9 Bintartho A pada tahun 2010 penggunaan dosis buvipakain 12
mg 0.5 % hiperbarik didapati hipotensi 42%.6 Pada tahun 2007 Osama
mendapati hipotensi berkisar 80% pada penggunaan 11.25 mg hiperbarik
ditambah dengan adjuvant fentanil dan morfin.10
Pada tahun 2010 Subedi A melakukan penelitian bupivakain hiperbarik
dosis 11 mg dan 9 mg. Didapati pada kelompok 11 mg hipontesi sekitar
64% dan adekuat analgesia. Sedangkan pada kelompok 9 mg didapati
hipotensi yang menurun hingga 30% dan mendapat efek analgesia yang
adekuat.
11 Pada tahun 2002 SC Yu menggunakan bupivakain 0.5 %
hiperbarik 10 mg pada pasien bedah sesar dan mendapati hipotensi berkisar
55% dan efek analgesia yang adekuat.2 Ada juga yang menggunakan
bupivakain 0.5% hiperbarik 8 mg dan 10 mg didapati efek blok yang adekuat
untuk anestesia spinal pada ibu hamil.6 Sedangkan C.Arzola
merekomendasikan penggunaan bupivakain 0.5% lebih dari 8 mg untuk
bedah sesar untuk menghindari efek analgesia yang tidak adekuat.9 Pada
tahun 2008 Harsoor menggunakan 8 mg hiperbarik bupivakain dengan
adjuvan dapat meningkatkan analgesia setelah operasi.12 P Gautier tahun
2003 membandingkan bupivakain 8 mg hiperbarik dengan adjuvan untuk
bedah sesar dengan hasil efek analgesia yang memuaskan.13 Bahkan
hiperbarik digabung dengan adjuvan sufentanil mendapatkan penurunan
hanya 20% dan efek analgesia yang bagus.
Alan Santos menggunakan bupivakain 0.25% hiperbarik 7.5 mg
hingga 10 mg dan mendapati efek hipotensi yang menurun.
13
14 Mhamed S
Mebazza pada tahun 2010 menggunakan 7.5 mg bupivakain 0.5% hiperbarik
digabung dengan adjuvant fentanil dan didapati efek analgesia yang
adekuat.3 Didapati bahwa pada penggunaan dosis bupivakain 0.5% 8 mg
dengan adjuvant fentanil akan mendapatkan efek analgesia yang adekuat.3
Ada juga yang menggunakan dosis 10 – 12.5 mg memberikan efek analgesia
yang lebih baik dibandingkan 7.5 - 10 mg dan efek hipotensi yang sedikit.6
Brendan Carvalho mendapati penggunaan bupivakain 0.5% 5 mg dan 8 mg
dengan penggunaan fentanil dan morfin dapat menurunkan hipotensi.8 Ada
juga yang menggunakan bupivakain 0.5% hiperbarik 5 mg dengan 25 mikro
fentanil didapati efek hipotensi hingga 24% tetapi efek analgesianya kurang
memuaskan.3 Eldrid Langesaete pada tahun 2008 mendapati pada
penggunaan bupivakain 0.5% 7 mg dengan adjuvan 4 mikro sufentanil dapat
mengurangi hipotensi dan mendapatkan efek analgesia yang adekuat.7
Bintartho A pada tahun 2010 mendapati efek hipotensi dapat berkurang
himgga 24% dan efek analgesia adekuat pada penggunaan bupivakain 0.5%
hiperbarik 7.5 mg dengan adjuvant fentanil.9 CJ Chung mendapati dosis 9 -
10 mg hiperbarik bupivakain 0.5% memiliki efek analgesia yang adekuat dan
membandingkan bupivakain hiperbarik dengan dosis 8 - 11 mg, didapati
penggunaan dosis yang kecil akan mengurangi kejadian hipotensi tetapi
insidensi terjadinya nyeri selama operasi pun bertambah.21 Dengan
penggunaan dosis 10 – 15 mg analgesia pada pasien sangat bagus akan
tetapi efek hipotensi yang terjadi besar.15 P Johanna pada tahun 1999
menggunakan 9 mg dosis bupivakain 0.5% hiperbarik pada bedah sesar dan
mendapati 90% pasien tidak sakit.
Brendan Carvalho tahun 2011 melakukan penelitian anestesia lokal
bupivakain hiperbarik 5 - 11 mg dengan menggunakan adjuvan morpin dan
fentanil. Didapati dosis kurang dari 10 mg tidak direkomendasikan untuk
pemberian anestesia spinal pada ibu hamil.
16
8 Pada penelitian yang sama
dilakukan penelitian anestesia lokal bupivakain hiperbarik dengan dosis 5 -
12 mg dengan adjuvant fentanil dan morfin. Didapati dengan penggunaan
dosis 10 mg operasi bedah sesar sukses dilakukan. Ada juga yang
melakukan pengurangan dosis 12 menjadi 7.5 dapat menurunkan insidensi
hipotensi dari 70% hingga 30%.8 M S Mebazaa pada tahun 2010 melakukan
pengurangan dosis dari 10 – 7.5 mg isobarik dengan penggunaan adjuvant.
Didapati efek analgesia yang baik dan insidensi hipotensi yang menurun.3
Didapati juga penggunaan 8 mg bupivakain hiperbarik dengan opiat setara
dengan 12 mg bupivakain. Penggunaan dosis 10 mg dapat menurunkan
Dari data di atas didapati bahwa penggunaan bupivakain hiperbarik
dengan dosis 12-15 mg memberikan efek analgesia yang memuaskan tetapi
menimbulkan kejadian hipotensi yang besar. Sedangkan pada penggunaan
dosis 5 mg, 7.5 mg, 8 mg bupivakain hiperbarik digunakan adjuvant seperti
fentanil untuk meningkatkan efek analgesianya. Di Rumah Sakit Haji Mina
Medan anestesia spinal pada ibu hamil masih menggunakan anestesia lokal
bupivakain 0.5% hiperbarik 15 mg. Diharapkan dengan penggunaan dosis
yang lebih rendah komplikasi selama operasi seperti hipotensi, mual muntah,
dan skor APGAR bayi rendah tidak terjadi. Diharapkan juga lama rawatan
pasien berkurang. Pada kesempatan ini saya ingin meneliti apakah
penggunaaan dosis 10 mg bupivakain 0.5% hiperbarik tanpa adjuvan akan
mendapatkan efek analgesia yang adekuat dan menurunkan kejadian
hipotensi.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah anestesia spinal dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg akan
memberikan efek analgesia yang adekuat dan lebih mengurangi resiko
hipotensi dibandingkan dengan anestesia spinal dengan bupivakain 0.5%
hiperbarik 15 mg pada operasi bedah sesar.
1.3. Hipotesis
Anestesia spinal dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg akan
memberikan efek analgesia yang adekuat dan lebih mengurangi resiko
hipotensi dibandingkan dengan anestesia spinal dengan bupivakain 0.5%
hiperbarik 15 mg pada operasi bedah sesar.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh alternatif dosis yang tepat pada bedah sesar yang
mengurangi resiko hipotensi tetapi mendapatkan analgesia yang adekuat.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui efek analgesia dosis bupivakain hiperbarik 0.5 % 10 mg
2. Mencari dosis bupivakain lebih rendah yang tidak menimbulkan hipotensi
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Akademis
Bila dengan dosis 10 mg terbukti dapat mendapatkan efek analgesia yang
adekuat dan menurunkan kejadian hipotensi maka dosis ini dapat dijadikan
standar terapi pada pasien bedah sesar yang dilakukan anestesia spinal.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Langkah awal untuk mencari kombinasi penambahan adjuvant pada
anestesia spinal
2. Mengurangi komplikasi anestesia spinal
1.5.3. Pelayanan masyarakat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 REGIONAL ANESTESIA
Regional anestesia sudah dikenal dari abad 19.17,18 Anestesi spinal
lebih aman 16-17 kali dibandingkan anestesia umum.17,18 Anastesia spinal
adalah anestesia yang paling sering digunakan pada bedah sesar.17,19
Teknik ini adalah teknik yang sederhana yang dapat dipelajari dengan tingkat
keberhasilan hingga 90%.20 Hipotensi dan bradikardi merupakan kejadian
yang sering terjadi.20,21 August Bier yang pertama sekali memperkenalkan
anestesia spinal yang dilakukan heinrich quincke.22 Teknik yang dilakukan
quincke ini dilakukan di lumbal 3 dan lumbal 4 agar tidak mengenai medulla
spinalis.22 Kemudian Bier dan Hildebrandt melakukan anestesi spinal pada 6
orang dengan kokain dosis kecil.22 Bahkan Hildebrandt sendiri pun bersedia
dilakukan anestesi spinal. Keberhasilan pun didapat oleh keduannya walau
pun efek samping didapati seperti hipotensi, mual, muntah, dan
PDPH.
Anestesia spinal menjadi pilihan utama pada pasien kebidanan
sekarang ini.
23,24,25,26
8,13,14 Hal ini disebabkan karena efek samping yang
ditimbukannya minimal bagi ibu dan janin.4,8,12,22 Anestesia spinal pertama
sekali ditemukan 5 tahun sebelum orang mengenal lumbal pungsi.22 Dan
ruang subarachnoid. Dia beranggapan penyuntikan kokain secara langsung
dapat berefek pada spinal cord. Hal ini dibuktikannya sendiri dengan
melakukan anestesi spinal pada dirinya sendiri yang dibantu oleh asistennya
Hildebrandt.22 Pada tahun 1900 Tuffer mencoba pada 63 pasien operasi
dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat
dilakukan histerektomi.22 Sedangkan Rudolph Matas menggunakan kokain
hydroclorida 10-20 mg yang hipotonik pada pasien-pasiennya.
Kemudian oleh Smith dan Porter mengetahui bahwa hipotensi
merupakan masalah yang akan dihadapi setelah dilakukan anestesi
spinal.
22
1,2,8 Kemudian digunakanlah prokain sebagai pengganti kokain.
Didapati bahwa hipotensi yang terjadi dikarenakan dibloknya vasomotor di
daerah T2 dan T7 yang mengakibatkan paralisisnya persarafan di splanic
area.22 Diambillah kesimpulan bahwa hipotensi dapat dicegah bila diffusi obat
dicephalad tidak tercapai. Maka dipakailah dektrosa agar larutan menjadi
hiperbarik sehingga penyebaran dari obat dapat dikontrol.22 Untuk
mengkontrol tinggi blok agar tidak terlalu tinggi Baker menggunakan posisi
duduk dengan harapan penyebaran tidak terlalu tinggi.
Anestesi spinal, epidural, dan caudal dikenal dengan nama neuroaxial
block.
22
22,23 Masing-masing teknik ini dilakukan dengan cara penyuntikan atau
dengan kateter sehingga obat dapat diberikan secara intermiten atau
kontinus.22 Neuroaxial teknik sangatlah aman bila dilakukan sesuai aturan
anestesia.8,13,14 Salah satu keuntungan neuroaxial juga adalah manajemen nyeri setelah operasi, baik yang akut maupun kronik. Sebelum kita
melakukan neuroaxial hendaknya kita mengetahui farmakologi obat yang
digunakan, dosis toksik, teknik disinfeksi, dan antisipasi akan hal yang terjadi
sesudah dilakukan tindakan.
Penggunaan neuroaxial tekniknya dapat menurunkan angka mortalitas
dan menurunkan komplikasi yang dapat terjadi seperti aspirasi, emboli paru,
masalah jantung, dan pneumonia.
24
4,8 Pada pasien–pasien kebidanan
neuroaxial sering digunakan karena dapat mengurangi mortalitas dan
komplikasi yang terjadi seperti: aspirasi dan gagal intubasi bila dilakukan
general anestesia.4,8 Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia
pada L3-L4 vertebra lumbalis dengan tujuan memasukkan lokal anestesia
pada ruang subarachnoid sehingga mendapatkan efek analgesia.25 Pada
pasien yang dilakukan anestesi spinal dapat terjadi efek pada sistem
pembuluh darah, paru, pencernaan, kandung kemih serta endokrin dan
metabolik.24
2.1.1 ANATOMI
Tulang belakang kita terdiri dari beberapa segmen. Diantaranya cervical (7),
thoracal (12), lumbal (5), sakral (5), coccygeal (4).22,25 Secara anatomi
anestesi spinal dilakukan pada L3-L4 atau L2-L3. Hal ini dikarena daerah
Hal ini memungkinkan bagi seorang dokter anestesia untuk melakukan
anestesi spinal. Anestesi spinal juga dilakukan L3-L4 atau L2-L3 karena
medulla spinalis menjadi jaras-jaras saraf (cauda equina) di daerah lumbal.
[image:38.612.151.524.222.495.2]Oleh karenanya dipilih daerah lumbal untuk dilakukan anestesi spinal.25
Gambar 2.1-1 Tulang belakang dari samping dan belakang22
Ada beberapa bagian yang perlu dilalui oleh jarum spinal sebelum ke rongga
subarachnoid, yaitu 25 1. Kulit
:
Kulit adalah lapisan pertama yang ditembus oleh jarum
2. Jaringan sub kutan
Jaringan ini sangat tebal sehingga terkadang susah untuk
mengindentifikasi jarak intervertebra khususnya pada orang
gemuk.
3. Ligamentum supraspinosum
25
Ligamentum ini bergabung dengan prosesus spinosum
4. Ligamentum interspinosum
21,24,25
Ligamen ini tipis yang bergabung dengan ligamen antara
prosesus spinosum
5. Ligamentum Flavum
21,24,25
Ligamentum ini cukup tipis yang terdiri dari jaringan elastik.
Ligamen ini berjalan secara vertikal dari lamina ke lamina,
ketika jarum melewati ligamen ini akan terasa sensasi seperti
menembus sesuatu.
6. Ruang Epidural
21,24,25
Ruang ini terdiri dari lemak dan pembuluh darah. Bila keluar
darah dari jarum dan stilet telah dikeluarkan maka pembuluh
darah epidural telah pecah dan carilah tempat yang lain.
7. Dura
21,24,25
Setelah melewati ruang epidural maka kita menembus daerah
8. Daerah subarachnoid
Daerah ini terdiri dari saraf-saraf medulla spinalis yang di
berisikan CSF. Memasukkan lokal anestesia kedalam ruang
subarachnoid akan membuat lokal anestesia bergabung
dengan CSF dan langsung akan memblok saraf disekelilingnya.
[image:40.612.197.467.284.495.2]21,24,25
Gambar 2.1-2. Tulang belakang secara longitudinal dan transversal 27
2.1.2 FISIOLOGI
Tulang belakang manusia berkembang hingga mulai dari masa kandungan
Bagian cervical dan lumbal berbentuk convex dan thoracic dan sacral
berbentuk konvex.
Tulang belakang terdiri dari body, pedicel, lamina, prosesus
tranversus, dan prosesus spinosum.
27
27
Gambar 2.1-3. Tulang belakang dilihat dari superior dan lateral 27
2.1.3 INDIKASI & KONTRAINDIKASI
Indikasi
Indikasi dilakukan anestesi spinal pada operasi–operasi ekstremitas
bawah. Hampir semua operasi yang melibatkan ekstremitas bawah dapat
dilakukan seperti operasi hernia, ginekologi, urologi, dan operasi daerah
perineum dan genitalia.
Kontraindikasi
4,24
Tidak semua pasien dapat dilakukan anestesi spinal. Ada beberapa pasien
• Alat dan sarana yang tidak lengkap
• Tidak diperbolehkan melakukan anestesi spinal bila sarana dan
prasarana tidak lengkap, seperti tidak ada alat intubasi, ETT, dan obat
resusitasi.
4,23,24
• Pasien dengan gangguan hemostasis
4,23,24
• Pasien denga trombosit yang rendah atau pasien yang mendapat
terapi antikoagulan seperti warfarin, heparin beresiko untuk terjadi
perdarahan. Hal ini disebabkan karena sewaktu melakukan anestesi
spinal jarum spinal menempus vena di epidural. Bila fungsi hemostasis
terganggu perdarahan yang seharusnya berhenti lama berhenti atau
tidak berhenti sama sekali. Hal ini menyebabkan penekanan pada
medulla spinalis.
4,21,22,24
• Pasien dengan hipovelemia
4,21,22,24
• Pasien dengan perdarahan, dehidrasi karena muntah-muntah, dan
diare. Pasien harus dilakukan resusitasi sebelum dilakukan anestesi
spinal. Bila tidak dapat terjadi hipotensi yang hebat yang dapat
berakibat vatal bagi pasien.
4,21,22,24
• Penolakan pasien
4,21,22,24
• Bila pasien ingin dilakukan general anestesia dibandingkan dengan
regional anestesia maka dokter harus menghormati keputusan dari
pasien. Kita sebagai dokter boleh menjelaskan apa keuntungan dan
kerugian bila dilakukan regional anestesia akan tetapi bila pasien tetap
ingin dilakukan regional anestesia kita sebagai tenaga medis tidak
boleh memaksakan kehendak kita.
• Pasien dibawah umur
4
• Walau pun regional anestesia sukses dilakukan pada anak, tetapi
dibutuhkan keahlian yang lebih untuk melakukannya.
4,21,22,24
• Pasien dengan kelainan neurologis misalnya pasien dengan trauma
kepala dengan peningkatan tekanan intrakranial kontraindikasi
dilakukan spinal. Dikarenakan dengan tusukan dan penambahan
volume pada ruang subarahnoid akan memperparah tekanan
intrakranial pasien.
4
4,21,22,24
2.2. FISIOLOGI IBU HAMIL
Pada ibu hamil terjadi perubahan-perubahan. Baik dari bentuk fisik,
hormonal, fungsi jantung, fungsi renal, fungsi paru, fungsi hati, dan metabolik.
Perubahan yang terjadi dikarenakan perubahan hormonal ibu.24,25 Kita
sebagai dokter harus mengetahui perubahan ini untuk mengantisipasi
perubahan yang terjadi pada ibu.
2.2.1 Bentuk fisik
24,25
Pada ibu hamil terjadi beberapa perubahan. Hal ini dikarenakan pengaruh
sering berubah adalah tubuh ibu sendiri. Hal ini dikarenakan oleh faktor
hormonal dan perubahan mekanik membesarnya uterus. Perlu diketahui
segala hal yang menyangkut perubahan ibu agar kita dapat mengetahui efek
analgesia dan anestesia yang akan kita berikan.
2.2.2 Hormonal
24,27,31
Estrogen dan progesteron dihasilkan oleh corpus leteum dan plasenta.
Hormon ini mempengaruhi dari fisiologi tubuh ibu yang hamil. Contoh
progesteron mempengaruhi relaksasi otot lurik, vasodilatasi pembuluh darah,
bronkodilatasi, dilatasi sistem kandung kemih, pergerakan saluran cerna
yang melambat, dan konstipasi.
Pada ibu hamil basal temperatur meningkat selama kehamilan. Hal ini
diduga menyebabkan terjadinya proses mual muntah. Pada ibu hamil
minimum alveolar konsentrasi menurun. Dan pada penggunaan lokal
anestesia untuk spinal dan epidural dosisnya dapat diturunkan hal ini
dikarenakan progesteron dapat menguatkan konduksi blok dari saraf.
24,27-31
2.2.3 Mekanikal
24,27-31
Pada ibu hamil uterus akan membesar. Pembesaran hingga ke abdominal
dijumpai pada trimester kedua. Pada kehamilan 20 minggu dijumpai
setentang umbilicus dan pada 36 minggu setentang xiphistemum.24,27-31
2.2.4 Pembuluh darah dan Hemodinamik
Pada sistem cardiovascular dapat terjadi bradikardi dan menurunnya
Hipotensi dapat terjadi akibat vasodilatasi yang terjadi pada pada pembuluh
darah vena yang mengakibatkan menurunnya venus return ke jantung dan
mengurangi sistemik vascular resistence.
Curah jantung pada ibu hamil akan bertambah, diperkirakan sekitar
45% sampai 50% sebelum kehamilan. Dimana sel darah merahnya hanya
15% sampai 20%. Bahkan volume plasma akan lebih meningkat lagi yang
mengakibatkan anemia pada ibu hamil. Hal ini disebut dengan anemia
fisiologi pada ibu hamil.
24,27
Tabel 2.2-1. Fisiologi anemia pada ibu hamil
24,27-31
28
Curah jantung pada ibu hamil akan meningkat. Diperkirakan sekita
45% sampai 50% bahkan akan lebih meningkat lagi pada akhir semester. Hal
ini dikarenakan uterus membutuhkan blood flow yang lebih untuk bayi.
Diperkirakan sekitar 50 ml/menit darah ke uterus pada 10 minggu usia
Tabel 2.2-2. Perubahan pembuluh darah selama kehamilan 28
Tahanan pembuluh darah akan menurun. Hal ini dikaranakan efek
esterogen dan progesteron yang menyebabkan menurunnya tekanan darah
sistolik dan diastolik yang akan mencapai puncak hingga trimester kedua dan
berangsur-angsur akan naik pada trimester ke tiga.
Penekanan Aorta Caval dapat terjadi pada pertengahan dari
kehamilan. Hal ini dikarenakan penekanan pada aorta dan vana cava inferior.
Venus return tergantung dari collateral dari vena azigos dan ovarian. Darah
ke uterus dapat berkurang akibat dari penekanan pada aorta dibandingkan
vena.
24,27-31
2.2.5 Aliran darah keginjal akan meningkat hingga 80% pada kehamilan
trimester kedua. Glomerular filtration rate dan creatinin clearence akan
meningkat hingga 50% selama kehamilan.
24,27-31
Tabel 2.2-3. Perubahan fungsi ginjal pada ibu hamil28
2.2.6 Pada sistem pernafasan Progesteron akan meningkatkan sensitivitas dari central pernafasan ke CO2 yang juga bertindak sebagai stimulasi
pernafasan yang utama. Efek tersebut diperkuat oleh esterogen dan
mengakibatkan peningkatan menit ventilasi hingga 45% sampai 50%.
Functional ressidual capacity menurun hingga 80%. Hal ini dikarenakan
meningkatnya tekanan intraabdominal dan diafragma yang terdorong keatas
dikarenakan pembesaran uterus. Kebutuhan oksigen ibu juga meningkat
hingga 35% .
Pada sistem pernafasan dapat terjadi kesusahan bernafas akibat ikut
terbloknya otot-otot bantu nafas seperti intercostal dan abdominal, pasien
susah untuk batuk dan membersihkan sekret dari saluran nafas. Hal yang
lain dapat terjadi adalah berkurangnya kapasitas vital paru akibat otot bantu
nafas terblok yang berefek pada forced expirasi.
24,27-31
Tabel 2.2-4. Perubahan fungsi paru selama kehamilan 28
Tabel 2.2-5. Perubahan anatomi,fisologi dan hal yang didapati selama
[image:48.612.118.523.500.701.2]2.2.7 Pada sistem pencernaan Tekanan pada lower eosophageal sphinter menurun karena relaksasi dari otot polos efek dari progesteron. Tekanan
intragastrik meningkat akibat pembesaran uterus. Hal ini semua dapat
[image:49.612.117.529.250.468.2]mengakibatkan terjadinya regurgitasi dan aspirasi dari isi lambung.
Tabel 2.2-6. Penelitian tentang pengosongan lambung selama kehamilan
24,27-31 28
Pada sistem pencernaan dapat menyebabkan peristaltik usus
meningkat, aliran darah ke hati juga menurun akibat dari menurunnya
tekanan arteri rerata. Pada sistem urogenital dapat menyebabkan retensi
urine.24,27-31
2.3. ANESTESIA REGIONAL PADA IBU HAMIL
Sekitar 4.3 juta kematian yang berhungan dengan kehamilan ibu terjadi dari
menjadi 1.7 juta. Hal ini berhubungan dengan management anestesia.22 Neuroaxial teknik sangatlah aman bila dilakukan sesuai aturan dibandingkan
dengan komplikasi yang didapat bila pasien dilakukan general anestesia.
Salah satu keuntungan neuroaxial juga adalah post operatif pain
management, baik yang akut maupun kronik. Sebelum kita melakukan
neuroaxial hendaknya kita mengetahui farmakologi obat yang digunakan,
dosis toksik, teknik disinfeksi, dan antisipasi akan hal yang terjadi sesudah
dilakuaan tindakan.
Penggunaan neuroaxial tekniknya dapat menurunkan angka mortalitas
dan menurunkan komplikasi yang dapat terjadi seperti aspirasi, emboli paru,
masalah jantung, dan pneumonia. Pada pasien–pasien kandungan
neuroaxial sering digunakan karena dapat mengurangi mortalitas dan
komplikasi yang terjadi seperti : aspirasi dan gagal intubasi bila dilakukan
general anestesia.
22
22
Efek pada system pembuluh darah seperti Bradikardi, hipotensi,
kontraktilitas jantung menurun merupakan efek yang terjadi pada pembuluh
darah.
Pada anestesi spinal dapat berdampak pada sistem
pembuluh darah,pernafasan, pencernaan,saluran kemih
24 Daerah thorakolumbal Th5 – L1 (mempersarafi arteri vena dan otot
polos) dipersarafi saraf simpatis blok yang terjadi pada daerah thorakolumbal
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan turunnya venus
return.24 Vasokontriksi terjadi pada daerah atas yang tidak terblok sebagai
menyebabkan bradikardi.24 Pada hipotensi yang berat di pengaruhi oleh tingginya blok yang menyebabkan bradikardi, menurunnya kontraktilitas
jantung dan vasodilatasi pembuluh darah. 24
Untuk mencegah terjadinya hipotensi dapat digunakan obat seperti
phenylpherin yang merupakan alfa adrenergic yang menyebabkan
vasokontriksi arterial, meningkatkan tahanan perifer.
24 Atau dengan
penggunaan efedrin yang merupakan beta – adrenergic yang memiliki efek
meningkatkan nadi, meningkatkan kontraktilitas jantung dan vasokontriksi
pembulih darah. Efedrin dapat diberikan.
Efek pada sistem pernafasan dapat memblok otot-otot Bantu nafas
seperti otot intercostalis dan abdominalis.
24
24
Pada sistem pencernaan berupa terbloknya saraf simpatis di daerah
thorakolumbal padasistem pencernaan menyebabkan meningkatkan motilitas
pergerakan usus. Peristaltic pun akan meningkat. Hal ini berbeda darisistem
yang lain.
Maka inspirasi dan ekspirasi
dapat terganggu. Anastesi spinal tidak menyebabkan henti nafas selama
nervus phrenicus dari C3-C5 tidak terblok.
Pada sistem kandung kemih, terbloknya simpatis dan parasimpatis
pada daerah sacrum menyebabkan retensi urin pada saluran kandung kemih.
Hal ini bila di biarkan berlam dapat membahayakan untuk saluran kemih.
Pemasangan kateter adalah salah satu cara penanganannya.
24
Anestesi spinal dilakukan di L1 pada anak dan L3 pada dewasa untuk
menghindari trauma medulla spinalis. Anestesi spinal memiliki efek blok
autonom,sensoris dan motorik. Blok outonom (simpatis dan parasimpatis).
Efek anestesi spinal pada bagian posterior bertanggung jawab terhadap
somatic (sensasi tonus, sensasi sakit) dan sensasi visceral. Pada bagian
anterior bertanggung jawab pada efferent motorik dan autonomic. Blok
sensoris termasuk somatik (sakit dan tonus otot dan visceral). Blok motoris
(relaksasi otot skeletal).24 Pada daerah lumbal dominan saraf simpatis. Efek
simpatis dapat diketahui melalui rangsangan suhu. Blok sensoris dapat
diketahui melalui rangsangan sakit atau benda tumpul (pin prick). Sedangkan
blok motorik dapat diketahui melalui bromage.24
2.4. ANESTESI SPINAL PADA IBU HAMIL
Anestesia spinal pertama sekali ditemukan 5 tahun sebelum orang mengenal
lumbal pungsi. Adalah Corning pada tahun 1885 yang melakukan spinal yang
tanpa disengaja. Adalah Heinrich Quincke yang pertama sekali melakukan
lumbal pungsi, dimana lumba pungsi ini dipakai sebagai salah satu terapi
pada hydrocepalus.
Dan pada tahun 1899 August Bier meneliti pengaruh intrathecal kokain
pada ruang subarachnoid. Dia beranggapan penyuntikan kokain secara
langsung dapat berefek pada spinal cord. Hal ini dibuktikannya sendiri
dengan melakukan spinal pada dirinya sendiri yang dibantu oleh asistennya
Hildebrandt.
Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia pada L3-L4
vertebra lumbalis dengan tujuan memasukkan lokal anestesia pada ruang
subarachnoid sehingga mendapatkan efek analgesia. Pada pasien yang
dilakukan anestesi spinal dapat terjadi efek pada sistem pembuluh darah,
paru, sistem pencernaan, saluran kemih serta endokrin dan metabolik.
.22,23
22,28
Pada anestesi spinal blok yang diharapkan lebih tinggi dari Th 10 untuk
[image:53.612.161.414.377.610.2]menjamin rasa nyeri tidak terjadi.29
Tabel 2.4-1. Ketinggian blok yang perlu dicapai dalam prosedur operasi.25
Anestesia spinal menjadi pilihan utama pada pasien kebidanan
sekarang ini. Hal ini disebabkan karena efek samping yang ditimbulkannya
minimal bagi ibu dan janin.22,28 Anestesia regional dengan spinal banyak
dilakukan pada pasien ibu hamil dengan bedah sesar. Hal ini dipilih karena
mudah, ekonomis, cepat, aspirasi pneumoni lebih sedikit serta efek samping
pada ibu dan anak lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesia.
Pada Anestesi spinal ini juga dapat terjadi Postdural Puncture headache,
hipotensi, dan blok yang tinggi.
Anestesia spinal dan neuroaxial blok pada pasien kebidanan
memerlukan dosis yang akurat karena pada perubahan dosis yang sedikit
saja dapat meningkatkan efek samping. Oleh karenanya dilakukan penelitian
untuk mendapatkan dosis yang tepat untuk intrathecal anestesia pada ibu
hamil.
Tabel 2.4-2. Karakteristik dari sel saraf perifer 33
Gambar 2.4-2. Sel saraf bermyelin
Ketika obat anestesi lokal di suntikkan keruangan subarachnoid maka
obat anestesi lokal akan menghambat konduksi impuls hampir disetiap saraf
yang terkena. Untuk beberapa saraf ada yang mudah terblok dan ada yang
sukar terblok.
33
25 Ada 3 klas saraf : motorik, sensorik dan otonom. Saraf
autonom dan sensorik yang terblok terlebihan kemudian diikuti oleh otonom.
otot-otot akan relaksasi. Saraf sensoris bertanggung jawab sensasi sentuh
sakit. Sedangkan saraf otonom bertanggung jawab atas dilatasi dari
pembuluh darah, nadi,pergerakan usus.
Sel saraf di klasifikasikan berdasarkan ukuran dan diameter myelin.
Menurut Basser dan Erlanger ukuran saraf yang kecil dan tidak bermielin
lebih mudah terblok dibandingkan yang tidak bermyelin dan ukuran yang
besar. Akan tetapi konsep tersebut salah ternyata serabut saraf yang besar
dan bermyelin lebih gampang terblok dibandingkan yang tidak. Hal ini juga
yang menentukan kenapa sensoris lebih cepat terblok.
25
21 Efek anestesi lokal
di pengaruhi oleh ukuran sel,myelin,konsentrasi dan durasi dari kontak. Saraf
spinal terdiri dari berbagai tipe ada yang kecil dan besar. Ada pula yang
bermyelin dan tidak. Pada daerah Th1 ke L2 terdiri dari sel saraf b kecil dan
bermyelin.
Penggunaan stimulator saraf dapat mengetahui secara pasti apakah
saraf tersebut sudah terblok atau tidak. Bila blok sudah didaerah cepalad
kekuatan motorik pun sudah dipengaruhi olehanestesi lokal. Untuk
mengetahui sampai sejauh mana obatanestesi lokal sudah mempengaruhi
motorik biasanya digunakan skala bromage.
24
34 Pinprick merupakan salah satu
cara mengetahui blok sensoris.dan sensasi terhadap dingin dapat juga
digunakan. Blok sensoris lebih dulu terjadi dari blok motoris. Hal ini
berhubungan dengan C, A beta, A gama. Sensasi dingin dapat dilakukan
Tabel 2.4-3. Pengukuran kekuatan motorik 34
Gambar 2.4-3. Aliran posisi dari ruang subarachnoid 3
Dosis adalah massa dari obat yang diberikan keruang subarachnoid
yang mempengaruhi onset, durasi dan penyebaran anestesi.21 Sangatlah
sulit untuk memisahkan ketiga hal ini tanpa mempengaruhi salah satu
diantaranya. Penelitian mengatakan meninggikan dosis akan meningkatkan
penyebaran dari obat. Mengubah dosis akan mengubah konsetrasi dan
volumenya. Pada ibu hamil banyak perubahan fisiologis yang dapat
meningkatkan efek dari lokal anestesia. Diantaranya tulang belakang yang
CSF pada ibu hamil, tekanan intra abdominal yang meningkat pada ibu hamil,
pengaruh progesterone yang meningkatkan sensitifitas saraf.
Bila dosis anestesi ditinggikan maka kepuasan dan durasi anestesi
meningkat.
34
21 Dosis anestesi lokal meruoakan suatu bentuk volum dan
konsentrasi yang sukar untuk di pisahkan.21 Dosisanestesi lokal tidak
berhubungan dengan lama dan penyebaran. Pada dosis 10 mg dan 15 mg
memiliki lama dan penyebaran yang hampir sama21
Lokal anestesi dipengaruhi oleh :
.
1. Kelarutan dalam lemak
21
Kelarutan dalam lemak menentukan potensi anestesi lokal. Hampir 90 %
dari axolema adalah lipid. Semakin larut dalam lipid maka kekuatan blok
semakin besar21
2. Ikatan protein
.
Ikatan protein mempengaruhi lama kerja. Sekitar 10 % dari membran sel
saraf adalah protein. Bilaanestesi lokal memiliki ikatan protein yang kuat
makan dapat menembus axolema dan mengikat ke membran protein lebih
lama21 3. pKa
.
pKa merupakan konsentrasi zat yang terionisasi tidak terionisasi. Semakin
4. Intrinsik aktif vasodilator
Intrinsic aktif vasodilatasi adalah berapa banyak obat yang di absorbsi
oleh saraf dan berapa banyak yang di absorbsi ke pembuluh darah. Hal
ini menentukan potensi dan durasi.
Lama kerja suatu lokal anestesi tergantung pada kelarutan dalam
lemak. Semakin larut dalam lemak maka semakin lama obat itu dapat
betahan dialiran darah.
21
24 Kecepatan kerja suatu obat tergantung pada
banyak faktor termasuk kelarutan dalam lemak, tergantung juga pada bentuk
yang tidak terionisasi larut lemak dan bentuk ionisasi yang larut air yang
digambarkan dengan pKa.24 Anestesi lokal yang pH nya mendekati pH
fisiologis mempunyai konsentrasi basa non ionisasi tinggi yang mana dapat
langsung melewati membran sel saraf dan mempunyai waktu kerja yang
cepat24. Potensi (kekuatan anestesi lokal) berhubungan dengan kelarutan
pada lemak. Didefenisikan sebagai kemampuan molekul anestesi lokal untuk
menembus membran sel dalam lingkungan hidrofobik (sukar larut dalam
air).
CSF merupakan cairan yang isotonis hampir sama seperti cairan di
intestisial. Densitas, grafitas, dan barisitas merupakan hal yang harus
diketahui. Densitas adalah perbandingan massa dari substansi dengan
volume. Grafitas perbandingan densitas substansi dengan standar. Barisitas
adalah sama dengan gravitas tetapi rasio densitas anestesi lokal dan CSF
pada suhu 37 derajat celcius. Densitas CSF pada pria dan wanita berbeda.
Antara wanita hamil dan tidak juga berbeda. Karena perbedaan ini
pergerakan partikel pun berbeda.
Tidak semua sel saraf dapat diblok oleh anestesi lokal. Sensitivitas
blok dipengaruhi oleh diameter axonal, derajat mielinisasi, serta banyak
faktor lain seperti fisiologis dan anatomis.
34
24 Hampir seluruh anestesi lokal
memblok pintu saluran natrium dari dalam sel. Menghalangi masuknya
natrium sehingga tidak terjadi depolarisasi agar konduksi sel menjadi lemah,
berkurangnya potensial aksi, ambang rangsang berkurang hingga tidak
terjadi lagi suatu konduksi.
Barisitas pertama sekali diteliti oleh Barker hampir 100 tahun yang lalu.
Baker secara sistematik mencari faktor apa saja yang mempengaruhi
penyebaran spinal. Melalui model saluran yang berbentuk tulang belakang
dan cairan yang mirip CSF. Menemukan grafitasi dan cekungan dari tulang
belakang dapat mempengaruhi penyebaran obatanestesi lokal. Rata-rata
densitas dari CSF adalah 1,0003 g/ liter. Bila barisitas dibawah 0,999 g/ liter
dikatakan hipobarik dan sebaliknya bila barisitas diatas 1,001 dikatakan
hiperbarik. Hiperbarik lebih disukai dalam penggunaannya karena dapat di
prediksikan ketinggian bloknya karena dipengaruhi oleh gravitasi, sedangkan
isobarik agak lebih sukar untuk diatur bloknya
24
34
Densitas merupakan berat dalam gram dalam 1 ml larutan pada suhu
tertentu
.
21. Barisitas merupakan perbandingan densitas antaraanestesi lokal
merupakan perbandingan dari densitas larutan pada suhu tertentu dengan
densitas air pada suhu yang sama.21
Tabel 2.4-4. Faktor yang mempengaruhi tinggi blok 32
Pada ibu hamil banyak perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan
efek dari lokal anestesia. Diantaranya tulang belakang yang lordosis
membantu penyebaran dari anestesi lokal. Perubahan dari densitas CSF
pada ibu hamil, tekanan intra abdominal yang meningkat pada ibu hamil,
pengaruh progesterone yang meningkatkan sensifitas saraf35. Ketika obat
akan mengahambat konduksi impuls hampir disetiap saraf yang dia kenai.
Untuk beberapa saraf ada yang mudah terblok dan ada yang susah terblok25.
Ada 3 klas saraf : motorik, sensorik dan otonom. Biasanya autonom dan
sensorik yang terblok terlebihan kemudian diikuti oleh otonom. Saraf motorik
bertanggung jawab akan kontraksi dari otot, dan bila diblok otot-otot akan
realax. Saraf sensoris bertanggung jawab sensasi sentuh sakit. Sedangkan
saraf otonom bertanggung jawab atas dilatasi dari pembuluh darah, nadi,
pergerakan usus25.
ALAT ANESTESI SPINAL
Gambar 2.4-4. Macam tipe jarum spinal
25
2.4.1 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN ANESTESI SPINAL
Keuntungan Anestesi spinal
• Harga relatif murah dibandingkan denga General Anestesia atau pun
• Kepuasan pasien terpenuhi karena pasien dapat langsung melakukan aktivitas setelah beberapa jam23,25,28
• Pada pasien denga gangguan paru anestesi spinal tidak
menimbulkanefek yang bermakna kecuali terjadi high blok .
• Jalan nafas pasien tidak menjadi konser utama karena pasien dapat
bernafas sendiri, sehingga masalah obstuksi dan aspirasi dapat di
kesampingkan
23,25,28,29-.
23,25,28,29
• Pada pasien dengan penyakit diabetes kita tidak perlu takut pasien
tidak sadar karena hipoglikemia atau pun hiperglikemia. Karena pasien
sadar dan bila terjadi penurunan kesadaran kita langsung bias
intervensi
.
21,23,25
• Otot pada ekstemitas bawah sangatlah relax hal ini disebabkan oleh
complete motor blok .
23,25,28,29
• Dapat meningkatkan splanic blood flow akibat vasodilatasi yang
terjadi. Hal ini dapat menguntungkan bagi operasi sambung usus .
23,25,28
• Efek dari visceral tone dimana setelah selesai operasi fungsi
pencernaan akan kembali normal setelah efek obat habis .
23,25,28
• Emboli dan thrombosis jarang terjadi pada anestesi spinal
.
23,25,28
• Teknik yang digunakan simple
.
• Cepat dalam melakukan induksi
23,25,28
• Pasien sadar
• Kemungkinan bayi terkena pengaruh obat sangat minimal
21,23,24
21,24
Kerugian Anestesi spinal
Dalam penggunaan anestesi spinal ruang dura susah dicari. Seorang
anestesia haruslah memiliki teknik yang benar dalam melakukan tindakan
anestesia. Bila anestesi spinal tidak dapat dilakukan maka teknik lain akan
digunakan,hal ini dapat merugikan pasien dan dokter anestesia sendiri.
Hipotensi yang timbul akibat anestesi spinal. Seorang anestesia
haruslah bisa menanggulangi akibat hipotensi yang terjadi dengan
melakukan rehidrasi terlebih dahulu dan monitoring ketat. Mual muntah akibat
hipotensi yang terganggu.
21,24
Terkadang ada beberapa pasien yang tidak cocok untuk dilakukan
anestesia dikaranakan ketakutan atau kecemasan pada pasien bila dia tetap
sadar sewaktu dilakukan operasi. Hal ini meharuskan kita memberi penenang
dimana setelah pemberiannya kita harus menjaga jalan nafas pasien.
21,24
Infeksi yang dapat mungkin terjadi akibat melakukan anestesi spinal.
Seperti meningitis. Hal ini dikarena masalah sterilitas alat dan teknik
melakukan anestesi spinal.
23,25
2.4.2 TEKNIK ANESTESIA
Teknik anestesi spinal telah dilakukan mulai dari abad 18. Tujuan dari
anestesi spinal memasukkan obat lokal anestesia keruang subarachnoid.
Sebelum jarum masuk keruang subarachnoid jarum anestesi spinal harus
melewati kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural , baru sampai keruang
subarachnoid. Dalam melakukan dibutuhkan cara dan keahlian.25,28,31 Posisi
pasien sebelum dilakukan spinal bisa left lateral decubitus,atau right lateral
dekubitus, atau sitting position. Posisi pasien menekuk kedua kaki keperut
dan mengekstensikan kepala kedepan21,25,28,31
Hal ini dilakukan agar tulang belakang L3-L4 posisinya terekspos
sehingga jarum spinal dapat masuk kerongga subarachnoid tanpa terkena
oleh tulang belakang. Posisi ini juga memungkingkan ekstensi dari tulang
belakang sehingga jarum spinocan dapat masuk ke ruang subarachnoid.
Teknik disinfeksi janganlah dilupakan karena dapat menimbulkan infeksi post
operasi bila tidak dilakuakn dengan benar .
25,28,31
Dalam melakukan anestersi spinal ada 3 cara. Cara duduk, miring atau
pun telungkup. Cara penyuntikan ada 2 amcam pendekatan. Cara midline
dan paramedian. Midline adalah penyuntikan jarum spinal diantara 2
prosesus spinosum pada L3-4. Sedangkan cara paramedian dilakukan bila
ada kesulitan spinal seperti kiposisi,arthritis. Penyuntikan dilakukan 2 cm arah
lateral inferior dari prosesus spinosum
.
2.4.3 MONITORING
Monitoring dalam melakukan anestesi spinal sangat penting. Banyak hal
yang bias terjadi dalam melakukan spinal anesthesi ini. Seperti hipotensi,
mual muntah, bradikardi, sesak nafas, semua hal ini dapat terjadi. Karenanya
perlu monitoring dan tindakan segera untuk mengatasinya. Seperti preload
cairan 500-1500 sebelum melakukan spinal, ganjal panggul, mengotrol blok
yang tidak terlalu tinggi karena dapat menyebabkan vasodiltasi yang
berlebihan, melakukan head up posisi. Hal ini dapat digunakan untuk
menghindari hipotensi pada pasien. Atau penggunaan obat efedrin,
phenylepherin, epinefrin dapat digunakan untuk mencegah hipotensi23,25
Untuk mencegah mual muntah dapat dilakukan premedikasi terlebih
dahulu seperti pemberian ranitidine atau ondanstron dan menjaga MAP
pasien > 65 mmHg agar tidak tercetus rangsangan muntah. Pemberian suflas
atropin atau scopolamine dapat diberikan untuk menaggulangi bradikardi
pada pasein akibat sudah terbloknya kardiak akselator
.
23,25
2.4.4 VASOPRESSOR
.
Banyak vasopresor yang dapat digunaka untuk mencegah hipotensi pada
spinal anesthesi. Diantaranya phenylephrin, efedrin, methoxamin,
metahraminol, epinefrin, atau norepinefrin. Kesemuanya dapat mencegah
hipotensi. Tetapi yang sering digunakan adalah efedrin atau
Efedrin masih menjadi pilihan. Hal ini disebabkan efedrin
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer, meningkatkan cardiac
out put, meningkatkan laju jantung dan memaksa otot jantung untuk
berkontraksi. Efedrin aman buat ibu hamil dan tidak mengurangi darah ke
plasenta. Dosis dapat diberikan 2.5- 6 mg sesuai dengan hemodinamik
pasien dan dapat dilakukan pengulangan setelah 15 menit25,27
Methoxamine dapat digunakan untuk mencegah hipotensi dengan
cara vasokontriksi. Hati-hati dalam penggunaannya karena dapat
mengakibatkan takikardi. Dosis intravena dapat diberikan 2 mg intravena
atau 5-20 mg intramuscular
.
25,27
Phenylephrin merupakan suatu vasokonstriksi perifer hampir sama
seperti efedrin. Dosis dapat diberikan 1-5 mg. Onsetnya sekitar 2 menit
setelah disuntukkan dan memiliki durasi yang yang lama hingga 20-60
menit
.
25,27
Epinefrin dapat digunakan sebagai obat mencegah hipotensi. Bila obat
yang lain tidak dapat menaikkan tekanan darah maka epinefrin dapat
digunakan. Akan tetapi penggunaannya dengan pengenceran 1: 10.000
dengan pemberian dosis 50 mikro perkali .
25,27
Norepinefrin merupakan vasokonstriktor yang hemat. Dalam satu
ampul (2mg) diencerkan