• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK AIR AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) TERHADAP GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air akar tanaman Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada penelitian ini digunakan sebanyak 25 ekor mencit putih jantan (Mus musculus albinus). Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu 1) kontrol normal, 2) kontrol negatif, 3) ekstrak akar C.fenestratum dengan dosis 0.625 mg/ 25grBB, 4) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 1.25 mg/ 25grBB, dan 5) ekstrak akar C. fenestratum

dengan dosis 3.75 mg/ 25grBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase netrofil pada mencit jantan tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-1 setelah infeksi (58.40%), persentase eosinofil dan monosit tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-7 setelah infeksi (1.66% dan 5.00%), persentase limfosit dan basofil tertinggi yaitu pada dosis 3 hari ke-3 setelah infeksi (57.46% dan 1.00%).

(2)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Sri Uthami Verlitha Sari

NIM B04070009

(4)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK AIR AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) TERHADAP GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air akar tanaman Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pada penelitian ini digunakan sebanyak 25 ekor mencit putih jantan (Mus musculus albinus). Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu 1) kontrol normal, 2) kontrol negatif, 3) ekstrak akar C.fenestratum dengan dosis 0.625 mg/ 25grBB, 4) ekstrak akar C. fenestratum dengan dosis 1.25 mg/ 25grBB, dan 5) ekstrak akar C. fenestratum

dengan dosis 3.75 mg/ 25grBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase netrofil pada mencit jantan tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-1 setelah infeksi (58.40%), persentase eosinofil dan monosit tertinggi yaitu pada dosis 1 hari ke-7 setelah infeksi (1.66% dan 5.00%), persentase limfosit dan basofil tertinggi yaitu pada dosis 3 hari ke-3 setelah infeksi (57.46% dan 1.00%).

(5)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. The Effect of Coscinium fenestratum Root with Water Extract to Profil Leucocyte On Mice Infected Plasmodium berghei.  Under direction of UMI CAHYANINGSIH. 

This research was conducted to determine the effect of Coscinium fenestratum root with water extract to the percentage of differential leucocyte mice that had been infected by Plasmodium berghei. This research used totally 25 male mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three treatment groups. The five groups were 1) negative control group, 2) positive control group, 3) Doses 1 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 0.625 mg/ 25grBB), 4) Doses 2 group extract (C. fenestratum root extract with doses of 1.25 mg/ 25grBB), and 5) Doses 3 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 3.75 mg/ 25grBB). In male mice, highest percentage of neutrophil was doses 1 on 1st day after infection (58.40%), highest percentage of eosinophil was doses 1 on 7th day after infection (1.66%), highest percentage of monocyte was doses 1 on 7th day after infection (5.00%), highest percentage of lymphocyte was doses 3 on 3rd day after infection (57.46%), and highest percentage basophil was doses 3 on 7th day after infection (1%) .

(6)

SRI UTHAMI VERLITHA SARI. The Effect of Coscinium fenestratum Root with Water Extract to Profil Leucocyte On Mice Infected Plasmodium berghei.  Under direction of UMI CAHYANINGSIH. 

This research was conducted to determine the effect of Coscinium fenestratum root with water extract to the percentage of differential leucocyte mice that had been infected by Plasmodium berghei. This research used totally 25 male mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three treatment groups. The five groups were 1) negative control group, 2) positive control group, 3) Doses 1 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 0.625 mg/ 25grBB), 4) Doses 2 group extract (C. fenestratum root extract with doses of 1.25 mg/ 25grBB), and 5) Doses 3 group extract (C.fenestratum root extract with doses of 3.75 mg/ 25grBB). In male mice, highest percentage of neutrophil was doses 1 on 1st day after infection (58.40%), highest percentage of eosinophil was doses 1 on 7th day after infection (1.66%), highest percentage of monocyte was doses 1 on 7th day after infection (5.00%), highest percentage of lymphocyte was doses 3 on 3rd day after infection (57.46%), and highest percentage basophil was doses 3 on 7th day after infection (1%) .

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

SRI UTHAMI VERLITHA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

Nama : Sri Uthami Verlitha Sari

NIM : B04070009

Disetujui

Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS Dosen Pembimbing

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(10)

karunia yang diberikan sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada Februari sampai dengan Juli 2011  dan diberi judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Terhadap Gambaran Leukosit Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei ”.

Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, adik dan keluarga besar yang tak henti-hentinya mendoakan, atas segala kasih sayang, pengorbanan dan dukungan yang diberikan.

2. Dr. Drh. Hj. Umi Cahyaningsih, M.S selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya yang berharga untuk mengarahkan, memberikan motivasi, membagi ilmu dan senantiasa sabar dalam membimbing penulis.

3. Dr. Drh. H. Heru Setijanto, M.Si. PAvet (K) selaku dosen pembimbing akademik (PA) yang selalu memberi semangat dan nasehat kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

4. Pegawai Laboratorium Protozoologi dan Helmintologi yang telah membantu dan memberikan pengarahan kepada penulis selama penelitian berlangsung.

5. Teman-teman sepenelitian (Arif Purwomihardi dan Arni Suryani) yang telah membantu selama penelitian.

6. Teman-teman angkatan 44 (Gianuzzi) sebagai teman seperjuangan di FKH IPB dan teman–teman kosan (dilah, didi, hikmah, feti, ichi, uni, amal, fitri dan anya) yang telah membantu, mendukung penulis.

7. Terima kasih kepada SHINee (terutama Jonghyun oppa) atas lagu-lagunya. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dengan semestinya.

Bogor, Januari 2012

(11)

Penulis dengan nama lengkap Sri Uthami Verlitha Sari lahir di Benteng Selayar pada tanggal 22 September 1989 dari ayah Drs. Gazali MMpd dan ibu Dra. Sri Jayatiningsih. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

(12)

DAFTAR TABEL ... xii

2.3.3.1. Sporozoit dan Fase Pre-eritrosit ... 9

2.3.3.2. Fase Eritrosit ... 10

2.3.3.3. Perkembangan Seksual ... 11

2.3.3.4. Fertilisasi dan Perkembangan Zigot ... 11

2.3.3.5. Perkembangan Ookista dan Sporozoit ... 12

2.4. Mencit ... 13

3.2.3. Persiapan infeksi Plasmodium untuk menghitung persentase leukosit ... 22

(13)

xi  

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Netrofil Mencit ... 25

4.2. Eosinofil Mencit ... 27

4.3. Monosit Mencit ... 30

4.4. Limfosit Mencit ... 31

4.5. Basofil Mencit ... 35

V SIMPULAN DAN SARAN ... 38

7.1. Simpulan ... 38

7.2. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 44

(14)

1. Nilai fisiologis mencit ... 14 2. Rata-rata persentase neutrofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 29 3. Rata-rata persentase eusinofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)……... 29 4. Rata-rata persentase monosit mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 34 5. Rata-rata persentase limfosit mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

pemberian infusa akar kayu kuning (C. fenestratum)... 34 6. Rata-rata persentase basofil mencit yang diinfeksi P. berghei setelah

(15)

1. Habitat dan Morfologi tanaman Kayu Kuning ... 5

2. Plasmodium berghei ... 8

3. Siklus hidup Plasmodium berghei ... 9

4. Netrofil ... 15

5. Eosinofil ... 17

6. Basofil ... 18

7. Limfosit ... 19

8. Monosit ... 21

9. Rata-rata persentase netrofil pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum) dosis bertingkat... 25

10.Rata-rata persentase eusinofil pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 27

11.Rata-rata persentase monosit pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 30

12.Rata-rata persentase limfosit pada mencit yang diinfeksi P. berghei setelah pemberian infusa akar kayu kuning (Cosnicium fenestratum)... 31

(16)

Halaman 1

2

3

4

5

Data perhitungan Tabel 2 untuk rata-rata persentase netrofil ...

Data perhitungan Tabel 3 untuk rata-rata persentase eosinofil ...

Data perhitungan Tabel 4 untuk rata-rata persentase monosit ...

Data perhitungan Tabel 5 untuk rata-rata persentase limfosit ...

Data perhitungan Tabel 6 untuk rata-rata persentase basofil ... 45

47

49

51

53

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi parasit yang merupakan masalah kesehatan di banyak negara di seluruh dunia. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dengan genus Plasmodium. Penyakit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk dari jenis Anopheles. Plasmodium berghei merupakan parasit darah yang termasuk dalam Subkingdom Protozoa dari filum Apicomplexa (Levine 1995).

Plasmodium berghei dapat ditemukan atau dapat menginfeksi hewan rodensia (Thomas 1983). Pada hewan rodensia seperti tikus dan mencit, protozoa ini dapat menyebabkan malaria. Secara analisa molekuler, terdapat persamaan antara parasit malaria pada manusia (P.falciparum) dengan P.berghei pada tikus, sehingga P.berghei sering digunakan sebagai model pada penelitian malaria. Disamping itu, parasit ini analog dengan parasit malaria pada manusia dalam aspek penting seperti struktur, fisiologi dan siklus hidupnya (Carter dan Diggs 1977).

Setiap tahun 300-500 juta kasus malaria menyebabkan 2 juta kematian (WHO 2005). Salah satu negara yang memiliki masalah utama terhadap penyakit malaria adalah Indonesia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita. Penyakit ini pada umumnya menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia (Nuchsan 1994). Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 1.143.024 orang. Jumlah ini mungkin lebih besar dari keadaan yang sebenarnya karena lokasi yang endemis malaria adalah desa-desa yang terpencil dengan sarana transportasi yang sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah (Depkes RI 2010). Penderita yang terinfeksi malaria pada dua dekade terakhir meningkat dua kali, terutama disebabkan oleh munculnya strain P. falciparum

(18)

Menurut Marleta et al. (1996), cara pengobatan yang tidak tepat menyebabkan sensitivitas parasit terhadap obat malaria menurun. Keadaan ekonomi masyarakat yang kurang, pendidikan/pengetahuan yang rendah, serta klorokuin yang mudah didapatkan di toko obat menyebabkan masyarakat melakukan pengobatan sendiri (jika terasa gejala panas dan sakit kepala) dengan cara yang tidak tepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian atau studi mengenai aktivitas antimalaria yang berasal dari tanaman obat sebagai sumber baru obat antimalaria (Mustofa et al. 2007).

Tanaman akar kayu kuning dengan nama ilmiah Coscinium fenestratum

(Gaertn.) Colebr., masyarakat Thailand menyebutnya “Hamm” merupakan tanaman semak yang merambat yang memiliki batang silindrikal, kayu kuning dan getah kuning (Rojsanga dan Gritsanapan 2005). Tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional di sebelah timur laut Thailand. Batang dari tanaman ini disebut sebagai agen detoksifikasi dan dapat digunakan untuk menyeimbangkan tekanan darah, menurunkan gula darah, dan kolesterol dalam darah (Rojsanga dan Gritsanapan 2005). Selain itu, masyarakat Thailand juga menggunakan akar tanaman tersebut dengan cara memotong dan merebus lalu airnya diminum untuk mengobati kolik dan sakit perut (Tran dan Ziegler 2001). Di beberapa daerah di Indonesia, penduduk terutama suku asli telah menggunakannya untuk obat penyakit tertentu, misalnya suku Sakai di Bengkalis (Provinsi Riau) menggunakan akarnya sebagai obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatra Selatan juga menggunakannya untuk pengobatan penyakit kuning, suku Punan Lisun dan suku Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengobati malaria dan sakit pinggang dengan akar tanaman ini (Sangat et al. 2000 dan Rahayu 2005).

(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infusa air akar tanaman Kayu Kuning dilihat dari gambaran diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.

1.3. Manfaat Penelitian

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.) Klasifikasi

Taksonomi tanaman akar kayu kuning menurut Dey (1984 dalam Joy 1998) adalah :

Kingdom : Plantae

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dikotiledonae Sub kelas : Ranunculidae

Ordo : Geraniales

Family : Menispermaceae Genus : Coscinium

Species : Coscinium fenestratum

Akar tanaman kayu kuning merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering digunakan masyarakat sebagai obat tradisional. Akar kayu kuning merupakan tumbuhan liana yang merambat pada pohon atau tumbuhan lain yang ada di sekitarnya. Menurut Forman (1986) tumbuhan akar kayu kuning merupakan liana besar dengan kayu dan getah berwarna kuning. Tumbuhan akar kayu kuning tumbuh merambat dan membentuk kelompok-kelompok pada beberapa pohon rambatan atau tumbuhan lainnya. Sehingga sulit untuk dibedakan antara individu satu dengan lainnya. Tumbuhan ini dapat merambat lebih dari 10 m pada pohon atau tumbuhan lain disekitarnya. Batang tumbuhan ini licin dengan warna abu-abu dan diameter terbesar yang ditemukan adalah 4,6 cm. Kulit bagian dalam berwarna kuning seperti pada Gambar 1. Memiliki daun yang peltate

(21)

Gambar 1 Terlihat bahwa akar kayu kuning merambat pada pohon lain, sedangkan batang berwarna kuning di dalam (Tushar et al. 2008).

Gambar 2Biji berbentuk bulat dan berwarna kecoklatan (Tushar et al. 2008).

Di Indonesia, kayu kuning ditemukan di ekosistem hutan hujan dataran rendah di ketinggian akar kayu kuning kurang dari 1000 m dpl, keanekaragaman paling tinggi, beriklim basah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya (Anonim 2007).

Kegunaan

(22)

menstabilkan tekanan darah, menurunkan kadar gula darah serta kolesterol darah (Dechwisissakul et al. 2000 dan Rungsimakan 2001). Batang dan akar dari tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Contohnya, sebagai tonik pahit untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya sakit kuning (jaundice) dan beberapa penyakit infeksi seperti diare dan abses kulit (Perry and Metzger 1980).

Kandungan Kayu Kuning

Pada tanaman akar kayu kuning ini telah dilaporkan mengandung senyawa berberin, jatrorrhizin dan kolumbamin serta telah diisolasi alkaloid yang disebut shobakunon. Senyawa berberin digunakan sebagai antimalaria karena dapat menghambat pembentukan beberapa jenis enzim dan menghambat sintesis DNA (Silikas et al. 2011). Berdasarkan hasil fitokimia dari penelitian sebelumnya, Kusuma (2011) menyatakan bahwa kandungan akar kayu kuning yang diekstrak dengan pelarut air yaitu alkaloid, flavonoid, fenol hidroquinon, dan triterpenoid. Berdasarkan analisa kimia, Tushar et al. (2008) menyatakan bahwa tanaman ini mengandung berberin yang tinggi seperti halnya tanaman-tanaman dari ordo Menispermaceae lainnya. Berberin merupakan senyawa isokuinolin alkaloid banyak terkandung pada tanaman akar kayu kuning. Senyawa ini memiliki aktifitas biokimia dan farmakologi yang cukup luas, termasuk antidiare dan antitumor.

2.2. Malaria

Dahulu, malaria diduga disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena adanya wabah malaria di sekitar kota Roma. Malaria banyak ditemui di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk sehingga penyakit ini disebut dengan “malaria” yang berasal dari kata “mal area” yang berarti udara busuk (Pribadi 2003). Pada abad ke-19, Laveran melihat “bentuk pisang” dalam darah seorang penderita malaria, kemudian diketahui bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa-rawa (Pribadi 2003).

(23)

Tiap serangan malaria terdiri atas serangan demam yang timbul secara periodik. Menurut Gandahusada et al. (2000) pada semua infeksi malaria, timbulnya demam periodik berhubungan dengan waktu pecahnya skizon matang dan keluarnya merozoit dalam aliran darah. Timbulnya demam tergantung dari banyaknya jumlah parasit dalam darah. Demam dapat bersifat intermiten, remiten atau kontinu. Serangan yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium :

1) Stadium menggigil

Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Pada saat menggigil, seluruh tubuh bergetar, denyut nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari tangan biru serta kulit pucat. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai satu jam yang diikuti dengan peningkatan suhu tubuh.

2) Stadium puncak demam

Penderita yang sebelumnya merasa kedinginan berubah menjadi panas sekali. Wajah penderita merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, frekuensi nafas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala semakin cepat, muntah-muntah dan kesadaran menurun. Suhu badan bisa mencapai 41°C. Stadium ini berlangsung selama dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.

3) Stadium berkeringat

Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya. Suhu badan turun dengan cepat, penderita merasa cepat lelah, dan sering tertidur kemudian penderita akan merasa sehat. Namun sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuh penderitanya. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.

2.3. Plasmodium berghei

Menurut Sinden et al. (2008), Plasmodium berghei pertama kali ditemukan oleh Vincke pada tahun 1946 dari ulasan darah lambung nyamuk

(24)

Menurut LUMC (2011), P. berghei pertama kali ditemukan pada tikus pohon di Afrika Tengah. Selain P. berghei, ada juga spesies Plasmodium lainnya yang menginfeksi rodensia di kawasan Afrika Tengah, yaitu: P. vinckei, P. chabaudi, dan P. yoelli. Plasmodium berghei dapat ditransmisikan kepada hewan laboratorium seperti tikus laboratorium, mencit putih dan hamster. Plasmodium berghei adalah suatu hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil (Dewi dan Sulaksono 1994 dan Uskup 2008).

2.3.1. Klasifikasi Plasmodium berghei

Menurut Levine (1995), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: Kingdom : Protista

Filum : Protozoa

Subfilum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Subkelas : Coccidiasina Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Haemospororina Family : Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium berghei

Gambar 3 Plasmodium berghei.

(25)

2.3.2. Siklus Hidup

Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia atau rodensia adalah sama, yaitu mengalami stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia atau rodensia dan kembali ke nyamuk. Siklus ini terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk Anopheles dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia atau rodensia yang terdiri dari fase eritrosit (erythrocytic schizogony) dan fase yang berlangsung dalam parenkim sel hati (exo-erythrocytic schizogony) (Darlina dan Devita 2008).

Adapun gambaran siklus hidup P. berghei sebagai berikut :

Gambar 4 Siklus Hidup Plasmodium berghei.

Sumber: CDC (2010)

2.3.3 Perkembangan Aseksual 2.3.3.1.Sporozoit dan Fase Pre-eritrosit

(26)

Dalam 51 jam, sporozoit memiliki panjang 12 µm berkembang menjadi skizon hepatik dewasa dengan diameter mencapai 30 µm. Skizon hepatik dewasa berisi kira-kira 8000 merozoit, pemisahan inti dimulai sekitar 24 jam setelah terjadi invasi pada hepatosit yang berarti sedikitnya menjadi 13 inti selama periode 26 jam. Merozoit terbentuk dengan panjang mencapai 1.6 µm dapat dibandingkan dengan ukuran merozoit fase eritrosit. Pola dasar merozoit dapat dibandingkan dengan mengamati skizon eritrosit dan selama multifikasi sporogoni pada nyamuk (LUMC 2011).

Setelah ruptur dari fase skizon pra-eritrosit, merozoit hepatik dilepas kedalam aliran darah untuk menginfeksi sel darah merah. Menurut Jekti et al.

(1996), pada eritrosit yang terinfeksi tampak adanya inti sel parasit dengan sitoplasma yang berwarna ungu kebiruan. Eritrosit yang terserang parasit membentuk trombus yang mengakibatkan terjadinya nekrosis sel, anoreksia dan anemia. Peningkatan persentase eritrosit yang terserang parasit menyebabkan induk semang dapat mengalami kematian (Jekti et al. 1996).

2.3.3.2.Fase Eritrosit

Fase eritrosit dimulai ketika merozoit haploid yang dilepaskan dari skizon di hati menyerang sel darah merah. Plasmodium berghei dapat terlihat pada retikulosit tetapi juga dapat menyerang sel darah merah dewasa. Di dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi tropozoit, yang dikarakteristikkan adanya peningkatan ukuran dan sitoplasma sel. Tropozoit memakan haemoglobin dari sel darah merah kemudian memproduksi Kristal hemozoin coklat yang dapat diamati sebagai karakteristik pigmen granul di dalam sitoplasma (LUMC 2011).

(27)

merozoit-merozoit ini untuk menyerang sel-sel darah merah yang baru (belum terinfeksi) akibatnya terjadi peningkatan parasitemia (presentasi dari sel darah merah yang terinfeksi parasit). Tahapan perkembangan sel darah sel darah merah yang terinfeksi P. berghei pada rodensia laboratorium biasanya asynchronous (tidak sinkron), yang berarti bahwa tahapan perkembangannya berbeda seperti cincin, tropozoit, dan skizon yang secara serempak berada dalam darah selama masa infeksi (LUMC 2011).

2.3.4 Perkembangan Seksual

Pada setiap siklus aseksual, sejumlah kecil dari parasit berhenti melakukan multiplikasi aseksual dan berdiferensiasi menjadi sel-sel seksual yang dinamakan gametosit. Makrogametosit (betina) dan makrogametosit (jantan) haploid merupakan sel prekursor dari gamet betina dan gamet jantan. Pada P. berghei,

merozoit dari skizon organ hati mampu berdiferensiasi langsung menjadi gametosit setelah menyerang eritrosit. Periode perkembangan dari sebuah merozoit menjadi gametosit berlangsung singkat yaitu 26-30 jam (LUMC 2011).

2.3.4.1.Fertilisasi dan Perkembangan Zigot dalam Tubuh Nyamuk

Ketika seekor nyamuk menghisap darah dari inang yang terinfeksi, hanya gametosit dewasa yang dapat mengalami tahapan perkembangan lebih lanjut dalam alat pencernaan nyamuk (usus tengah). Hal ini mengakibatkan keluarnya gametosit dari sel darah merah dan formasi gamet (proses dari gametosis). Gametosit betina berdiferensiasi menjadi gametosit betina tunggal berbentuk bola sedangkan gametosit jantan menghasilkan 8 gamet yang menyerupai sperma. Formasi dari gamet jantan adalah suatu proses yang cepat. Dalam 10 menit, tiga tahap dari replikasi DNA, pemisahan inti, dan pembentukan dari 8 aksonema flagel, berakhir pada produksi 8 gamet motil. Terdapat tiga kondisi lingkungan yang dapat merangsang diferensiasi dari gametosit menjadi gamet yaitu penurunan suhu tubuh dari sel darah inang yang terinfeksi mencapai 5ºC dibawah suhu normal pada inang vertebrata, terjadinya peningkatan pH dari 7.3 menjadi 7.8-8.0 dan kehadiran dari faktor aktivasi gametosit (GAF) (LUMC 2011).

(28)

dengan pemisahan inti, menghasilkan zigot atau ookinet yang berinti satu dalam 2-4 kali jumlah DNA haploid. Kemudian zigot berbentuk bulat ini berkembang menjadi bentuk pisang, ookinet motil terjadi selama periode 18-24 jam. Granul pigmen kecil yang tersebar melalui sitoplasma dari gametosit atau zigot menjadi terbungkus dalam beberapa kelompok ookinet dewasa (LUMC 2011).

2.3.4.2.Perkembangan Ookista dan Sporozoit

Ookista dewasa dan motil melewati epitel usus tengah dengan menginvasi sel epitel dan menetap antara membran sel basal dan lamina basal dari dinding usus tengah. Sangat memungkinkan ookinet P. berghei tidak secara spesifik menyerang sel-sel usus tengah dan ookinet sitoplasma dari beberapa sel usus tengah secara bertahap sebelum memasuki dan migrasi melalui ruangan interselular basolateral untuk mencapai lamina basal. Sel yang terinfeksi akan melakukan apoptosis. Serangan yang terjadi pada sel epitel mengakibatkan ookinet kontak dengannya tetapi tidak mampu untuk melakukan penetrasi ke dalam lamina basal. Di sini parasit secara cepat berkembang mencapai ke tahap ookista. Setelah fase pertumbuhan dari ookista seksual, replikasi mitotik berakibat terhadap pembentukan ookista dewasa yang mengandung ratusan sel anak induk yang dimakan sporozoit. Akibatnya, ookista akan meningkat ukuran diameternya dari 2-3 µm menjadi kira-kira 40 µm dalam 10-13 hari (LUMC 2011).

Beberapa gambaran dari karakteristik infeksi dalam tubuh nyamuk, seperti jumlah dari ookista yang diproduksi dan jumlah dari sporozoit yang ditemukan di dalam glandula saliva tergantung dari spesies Anopheles yang digunakan untuk transmisi P. berghei. Dalam A. stephensi yang terinfeksi oleh strain ANKA dari P. berghei, ditemukan rata-rata 8000 sporozoit per ookista. Ookista yang ruptur dan sporozoit haploid dilepaskan ke dalam hacmococle yang akan menyerang glandula saliva. Telah ditemukan bahwa hanya 2% dari ookista sporozoit mencapai glandula pada A. stephensi. Sporozoit pertama dapat mencapai glandula saliva dalam 13-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi. Sporozoit bermigrasi melalui sel dari glandula dan keluar menuju ruang sekretori ekstraseluler dimana sporozoit dapat bertahan untuk beberapa minggu sebelum diinjeksikan kembali ke dalam tubuh inang yang baru (LUMC 2011).

(29)

menginfeksi. Tiap gigitan dari nyamuk memungkinkan hanya 20-50 sporozoit yang akan dipindahkan ke dalam tubuh inang. Parasit rodensia secara extensive digunakan untuk memberikan suatu pandangan mengenai interaksi antara parasit dengan nyamuk (LUMC 2011).

2.4. Mencit 2.4.1. Klasifikasi

Tikus dan mencit adalah hewan pengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan penggangu di perumahan (Depkes RI 2009). Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit paling banyak digunakan di laboratorium untuk berbagai penelitian, yang sering digunakan adalah mencit albino Swiss (Swiss albino mice) yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat lingkungan hidupnya (Malole dan Pramono 1989).

Menurut Depkes RI (2009), mencit diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia 2.4.2. Sifat dan Morfologi Mencit

Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari, mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Kadang-kadang mencit mempunyai sifat kanibal (Yuwono et al.

2004).

Malole dan Pramono (1989) mengemukakan bahwa nilai fisiologis mencit adalah sebagai berikut:

(30)

Kriteria Nilai

Darah merupakan cairan pembawa berbagai zat penting tubuh, dipompakan oleh jantung melalui suatu sistem pembuluh darah tertutup. Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah putih, sel darah merah dan trombosit yang tersuspensi di dalam plasma. Volume darah total yang beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan. Sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma (Ganong 2002).

2.5.1. Leukosit

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit pertahanan tubuh. Sel darah putih ini sebagian dibentuk dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam organ limfoid seperti timus, bursa fabrisius pada unggas dan limpa (Guyton dan Hall 1996).

(31)

tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit, yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerja sama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memiliki sistem pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit (Ganong 2002).

Leukosit dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit mempunyai granul di dalam sitoplasmanya, sedangkan agranulosit tidak mempunyai granul pada sitoplasmanya (Caceci 1998). Granulosit dibedakan menjadi tiga yaitu netrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit dibedakan menjadi dua, yaitu limfosit dan monosit. Granulosit, monosit dan sedikit limfosit dibentuk dalam sumsum tulang, sebagian limfosit ditambah sel plasma dibentuk di dalam jaringan limfe (Guyton dan Hall 1996).

2.5.2. Netrofil

Netrofil dewasa berdiameter 10-12 µm dengan sitoplasma beraspek kelabu pucat dan terdapat butir-butir halus berwarna ungu serta inti bergelambir (Dellman dan Brown 1992). Gambaran mikroskopis netrofil sebagai berikut:

Gambar 5 Netrofil

Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

(32)

molekul perekat netrofil dari golongan integrin. Tahap berikutnya, sel-sel ini menyusup di antara sel endotelium, menembus dinding kapiler, melalui proses yang disebut diapedesis (Ganong 2002). Sejumlah besar sel yang meninggalkan sirkulasi dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan hilang dari tubuh. Invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan respon peradangan. Sumsum tulang dirangsang untuk menghasilkan dan melepas sejumlah besar netrofil. Interaksi produk bakteri dengan faktor-faktor plasma dan sel menghasilkan zat yang menarik netrofil ke daerah peradangan (kemotaksis) (Ganong 2002). Zat kemotaksis ini, yang merupakan bagian dari kelompok besar kemokin, mencakup komponen dalam sistem komplemen (C5a), lekotrein dan polipeptida dari sel limfosit, sel mast dan basofil. Pengaruh perasangan C5a pada aktivitas kemotaksis diperkuat oleh G-globulin. Membran netrofil mengandung protein tersebut, yang juga berfungsi mengikat dan mengangkut vitamin D di dalam plasma (Ganong 2002). Faktor plasma lainnya bekerja pada bakteri untuk menjadikannya difagositosis (opsonisasi). Opsonin utama yang menyelubungi bakteri adalah immunoglobulin-G (IgG) dan protein komplemen. Bakteri yang telah diselubungi akan berikatan dengan reseptor pada membran sel netrofil. Melalui respon yang diperantai oleh protein G heterotrimerik, tercetus peningkatan aktivitas motorik dalam sel, eksositosis, dan peristiwa yang dinamakan letupan respiratorik (Ganong 2002). Peningkatan aktivitas motorik menyebabkan segera dicernanya bakteri melalui endositosis (fagositosis).

Melalui eksositosis, granula netrofil menuangkan kandungannya ke dalam vakuola fagosit yang berisi bakteri, dan sampai taraf tertentu, juga ke dalam ruang interstisial (degranulasi). Granula yang mengandung beragam protease, serta protein antimikroba yang disebut defensin (Ganong 2002). Netrofil memiliki masa hidup yang singkat, setelah melakukan tugasnya akan mati dan melepas faktor kemotaktik untuk menarik netrofil lain. Netrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama yang bekerja singkat dan cepat lelah. Masa hidupnya beredar di dalam aliran darah kira-kira lima hari (Tizard 1988).

2.5.3. Eosinofil

(33)

lebih besar, berwarna cerah dengan pewarna Wright’s (Sturkie dan Grimminger 1976). Granul pada sitoplasmanya mengambil warna eosinofilik yang kuat. Intinya khas yaitu memiliki dua lobus, tidak multilobus seperti netrofil (Caceci 1998). Eosinofil berukuran 10-15 µm, memiliki granul asidofilik yang berukuran 3-4 µm (Sturkie & Grimminger 1976). Eosinofil sebagai berikut:

Gambar 6 Eosinosil.

Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Eosinofil dibentuk dalam sumsum tulang, bersifat sangat motil tetapi kurang fagositik. Jumlahnya meningkat pada saat terjadi reaksi alergi, shock anafilaksis, dan infeksi parasit (Swenson et al. 1993). Jumlahnya cenderung rendah pada kondisi stress, pelepasan kortikosteroid dan infeksi akut (Jain 1993). Eosinofil dalam darah berdiameter antara 10-15 mikrometer, intibergelambir dua, dikitari butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0,5-1,0 mikrometer dan jangka hidupnya 3-5 hari di dalam sirkulasi darah (Hartono 1995). Eosinofil mengandung suatu komponen enzim yang sama dengan netrofil tetapi tidak memiliki lisosim dan phagositin namun mengandung kadar peroksidase yang tinggi dan histaminase (Rumawas 1989). Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat dalam sirkulasi. Eosinofil akan ditarik ke permukaan sel endotel oleh selektin, dapat berikatan dengan integrin yang akan merekatnya pada dinding pembuluh, dan masuk ke dalam jaringan melalui cara diapedesis, seperti halnya dengan netrofil. Eosinofil melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan. Selain itu, eosinofil mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh (Frandson 1986). Namun respon eosinofil terhadap selektin dan integrin bersifat selektif, demikian pula molekul-molekul pembunuh yang di sekresikannya.

(34)

beredar di dalam sirkulasi akan meningkat pada penyakit alergi, seperti asma serta berbagai penyakit saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal lain.

2.5.4. Basofil

Basofil merupakan leukosit bergranulosit yang bersifat polimofonuklear-basofil. Basofil berdiameter 10-15 µm dengan inti dua gelambir, bentuk inti yang tidak teratur. Granul berukuran 0,5-1,5 µm berwarna biru tua sampai dengan ungu (basofilik), sering menutup inti yang berwarna agak cerah (Dellman dan Brown 1992). Basofil merupakan leukosit granulosit yang paling jarang, jumlahnya sangat rendah yaitu 1-4 % (Swenson et al. 1993), 3,1 % (Sturkie dan Grimminger 1976) atau 0,5-1,5 % (Hartono 1995). Gambaran mikroskopis basofil sebagai berikut :

Gambar 7 Basofil

Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)

(35)

2.5.5. Limfosit

Limfosit adalah leukosit agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie & Grimminger 1976). Limfosit memiliki nukleus yang relatif besar dan dikelilingi oleh sitoplasma (Frandson 1986). Variasi ukuran besarnya terdiri dari limfosit besar, sedang dan kecil. Limfosit kecil berukuran 9 µm, inti besar dan kuat mengambil warna, sitoplasma berwarna biru pucat, inti memiliki sedikit lekuk di satu sisi. Sedangkan limfosit sedang dan besar berukuran 12-15 µm, lebih banyak sitoplasma, inti lebih besar dan pucat dibandingkan limfosit kecil. Limfosit besar berdiameter 12-16 µm dan limfosit kecil 9-12 µm. Gambaran mikroskopis limfosit adalah :

Gambar 8 Limfosit

Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

Limfosit diproduksi di jaringan limfoid seperti daun Payer, limpa, tonsil, timus, dan bursa Fabrisius (Lubis 1993). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekusor yang berasal dari sumsum tulang, setelah mengalami proses di dalam timus atau bursa ekivalen menjadi prekusor sel T atau sel B (Ganong 2002). Limfosit secara aktif bersifat motil dan menunjukkan aktivitas amuboid, tetapi tidak melakukan proses fagositosis. Kebanyakan limfosit dalam jumlah besar bermigrasi menuju saluran pencernaan dan membran mukosa saluran pernafasan (Swenson et al. 1993). Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag. Limfosit tertentu mengikat dirinya pada agen-agen asing dan merusaknya (Guyton dan Hall 1996).

(36)

Limfosit T berperan dalam membantu dalam proses tanggap kebal berperantara sel, jumlahnya diperkirakan sekitar 70-75% dari seluruh limfosit dalam darah. Sedangkan limfosit B berperan dalam respon humoral dengan produksi sekresi utama adalah immunoglobulin (antibodi), jumlahnya hanya sekitar 10-12% (Ganong 1995). Limfosit Null, populasinya mencapai sekitar 10-15% dari total limfosit dalam darah, dan bervariasi pada berbagai spesies. Sel ini memiliki dua jenis sel yaitu cell mediated cytotoxic yaitu natural killer function (sel NK) dan

Antibody Dependent Cellular cytotoxic (Dellman dan Brown 1992). Pada umumnya limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer, sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid.

2.5.6. Monosit

Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran paling besar dengan diameter 15-20 µm dan nukleusnya besar serta memiliki sitoplasma tanpa granul (Dellman dan Brown 1992). Nukleus monosit tunggal berbentuk oval atau tapal kuda. Monosit berasal dari sistem sel retikuloendotelial di limpa dan sumsum tulang (Swenson et al. 1993). Monosit pada jaringan perifer disebut makrofag bebas (Martini et al. 1992). Gambaran mikroskopis monosit sebagai berikut:

Gambar 9 Monosit.

Sumber: Weiss and Wardrop (2010)

(37)

hati, makrofag alveolar paru, dan mikrogilia di otak, seluruhnya berasal dari sirkulasi (Ganong 2002).

(38)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari- Juli 2011 di Laboratorium Protozoologi, dan Laboratorium Helmintologi bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3.2. Metode Penelitian

1. Determinasi Sampel Tanaman

Tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah herbal akar tanaman kayu kuningyang diperoleh dari kawasan hutan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan Oktober tahun 2010 dalam keadaan segar, kemudian dikeringkan terlebih dahulu baru dilakukan ekstraksi. Determinasi herbal dilakukan di Laboratorium Botani, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Kusuma 2011).

2. Penentuan Dosis Uji

Dosis disesuaikan dengan takaran jamu yang digunakan masyarakat yaitu 2 sendok teh diseduh dalam satu gelas air, maka infusa dibuat dengan memanaskan campuran tersebut menggunakan panci khusus untuk membuat infusa. Larutan dipanaskan di atas air mendidih selama 15 menit dengan suhu 90 °C (Depkes RI 1995). Hasil yang diperoleh lalu disaring dan dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, timbang padatan yang tersisa dan digunakan sebagai acuan dosis uji yaitu dosis pada manusia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kalimantan Timur sebesar 0.196 mg/kg berat badan (BB) dewasa. Dosis ini kemudian dikonversi menjadi dosis pada mencit dengan bobot badan 25 gr, dan diperoleh dosis 0.625 mg, 1.25 mg, dan 3.75 mg.

3. Persiapan Infeksi Plasmodium untuk Menghitung Persentase Leukosit

(39)

putih jantan sebanyak 25 ekor dari galur DDY berumur 2-3 bulan dengan berat badan antara 20-30 gram/ekor. Pakan dan air minum diberikan secara adlibitum. Mencit diinokulasi dengan 0.1 ml darah yang mengandung 1×104 P. berghei

secara intra peritoneal. Mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok (3 kelompok perlakuan dan 2 kontrol), masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor mencit, yaitu :

1. Kelompok kontrol negatif, adalah kelompok mencit yang diinfeksi P.berghei

dan diberi larutan PGA 3%

2. Kelompok kontrol positif, mencit terinfeksi dan diobati dengan klorokuin 3. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 0.625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB

(A1)

4. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 1.25 mg/25 gr BB = 50 mg/kg BB (A2) 5. Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 3.75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB

(A3)

Pengobatan dilakukan setelah mencit positif terinfeksi P. berghei.

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan sonde lambung, yang diberikan sekali dalam sehari dengan pemberian dua dosis sekaligus dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pengamatan dilakukan dengan membuat preparat ulas darah tipis yang diambil dari pembuluh darah di ekor pada hari ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-7 (D0, D1,D2, D3, D4, dan D7) setelah pemberian infusa (Tuti

et al. 2007).

4. Pembuatan Preparat Ulasan Darah

Pembuatan preparat darah dilakukan dengan meneteskan 1 tetes darah ke atas gelas obyek, kemudian dibuat sediaan apus darah dengan gelas obyek lain yang membentuk sudut kurang lebih 45°, setelah itu darah dibiarkan sampai kering pada suhu kamar. Sediaan darah tipis difiksasi dalam metanol absolut selama 3-5 menit, kemudian diwarnai dengan Giemsa 5% selama 30 menit, terakhir bilas dengan menggunakan air mengalir.

5. Penghitungan Diferensial Leukosit

(40)

yaitu netrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit. Dilakukan tiga kali ulangan penghitungan. Nilai relatif leukosit yang ditemukan dirata-ratakan dan dinyatakan dalam satuan persen.

3.3. Analisis Data

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut :

Netrofil

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 10, pada kelompok perlakuan A1 hari ke-1 menunjukkan peningkatan persentase netrofil yang nyata jika dibandingkan KN, KP, A2, dan A3 yakni 58.40%. Pada perlakuan AI, hari ke-2, ke-3 dan ke-4 menunjukkan penurunan persentase jika dibandingkan dengan kelompok KN, pada hari ke-7 terjadi peningkatan persentase netrofil jika dibandingkan dengan A2 dan A3. Pada perlakuan A2 hari ke-1 menunjukkan persentase yang lebih rendah dibanding KN, KP, A1, dan A3 yaitu sebesar 46.26%. Pada perlakuan A2, hari ke-2 menunjukkan penurunan persentase netrofil dan pada hari ke-3 terjadi peningkatan netrofil jika dibandingkan dengan KP dan A3. Pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi penurunan persentase netrofil jika dibandingkan KN, KP, A1, dan A3. Perlakuan A3 hari ke-1 menunjukkan peningkatan persentase netrofil, pada hari ke-2 hingga hari ke-7 terjadi penurunan persentase netrofil. Persentase netrofil terendah terjadi pada hari ke-3 dibandingkan dengan A1 dan A2 serta berbeda nyata lebih rendah terhadap KN.

Gambar 10Rata-rata persentase netrofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa

tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya

(42)

Peningkatan persentase netrofil pada perlakuan A1 dan A3 pada hari ke-1 disebabkan oleh fungsi netrofil yang merupakan basis pertahanan pertama dalam menyerang infeksi bakteri/mikroorganisme, trauma jaringan, ataupun respon inflamasi (Kern 2002). Parasit akan mengeluarkan bahan kemotaktik yang dapat menarik netrofil untuk datang dan melakukan fagositosis (Meyer et al. 1992). Kemudian netrofil akan mengalami autolisis setelah proses fagositosis selesai. Histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interlukin) yang dilepaskan setelah lisisnya netrofil akan merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan netrofil sehingga produksi netrofil akan meningkat (Hafizhiah 2008). Netrofil hanya memiliki waktu paruh selama dua hari dan hanya efektif pada hari-hari pertama setelah infeksi parasit (Hargono 1996).

Penurunan jumlah netrofil pada kelompok A1, A2, dan A3 pada hari ke-2 sampai hari ke-7 jika dibandingkan dengan hari ke-1, disebabkan oleh pemberian infusa akar kayu kuning, menurut Rojsanga dan Gritsanapan (2005) tanaman akar kayu kuning mengandung senyawa yaitu berberin. Berberin yang merupakan alkaloid isokuinolon diketahui memiliki aktivitas farmakologi seperti aktivitas antimikrobial terhadap bakteri, fungi dan virus, antimalaria, antiinflamasi, dan antiproliferatif (Tungpradit et al. 2011). Menurut penelitian sebelumnya, akar kayu kuning yang diekstrak dengan pelarut air juga mengandung senyawa flavonoid (Kusuma 2011), menurut USDA (2010) flavonoid dapat meningkatkan aktivitas sebagai antiinflamasi.

(43)

Eosinofil

Hasil pengamatan persentase rata-rata eosinofil mencit yang diinfeksi

P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum), dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 11.

Gambar 11 Rata-rata persentase eosinofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa

tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya

diberi larutan PGA 3%,KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 3 dan gambar 11, pada kelompok KP dan perlakuan AI, A2, dan A3 hari ke-1 persentase eosinofilnya lebih rendah dari kelompok KN. Pada perlakuan A1 hari ke-2 dan ke-3 persentase eosinofil menurun bahkan tidak terdapat eosinofil. Pada perlakuan A1, hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan dan hari ke-7 perlakuan A1 menunjukan persentase yang tertinggi dan berbeda nyata dengan KN, KP, A2 dan A3 yaitu 1.66%. Perlakuan A2, hari ke-2 menunjukkan peningkatan, bahkan persentasenya lebih tinggi dibandingkan KP, A1, dan A3. Perlakuan A2, hari ke-3 terjadi penurunan bahkan tidak terdapat eosinofil. Pada hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan persentase eosinofil, bahkan pada hari ke-7 persentase eosinofilnya lebih tinggi dibandingkan KN dan A3. Pada perlakuan A3, hari ke-2 menunjukkan peningkatan eosinofil jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Perlakuan A3, pada hari ke-3 menunjukkan penurunan bahkan tidak terdapat eosinofil, pada hari ke-4 dan hari ke-7 menunjukkan peningkatan kembali eosinofil. Jadi gambaran eosinofil A2 dan A3 hampir sama.

(44)
(45)

Tabel 2 Rata-rata persentase netrofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 53.89±8.03cdefg 52.44±8.10bcdefg 54.44±6.87cdefg 57.01±8.05efg 59.89±3.83g 61.66±4.71g

KP 55.60±6.62defg 46.20±9.16abcde 41.73±9.03ab 43.00±10.39abc 53.08±10.84cdefg 61.50±4.12g A1 53.60±13.15cdefg 58.40±11.97fg 48.66±1.65abcdef 47.00±6.13abcde 46.33±0.00abcde 54.00±3.06cdefg A2 47.46±4.40abcdef 46.26±4.97abcde 40.73±8.94a 47.25±2.10abcdef 45.41±8.33abcd 44.66±4.02abcd A3 61.53±7.38g 53.93±4.27cdefg 43.20±10.93abc 39.59±11.08a 47.58±3.92abcdef 48.00±2.53abcdef *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625,1.25, 3.75.

Tabel 3 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning. Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 0.44±0.54abcd 0.55±0.49abcd 0.66±0.47bcd 0.55±0.36abcd 0.66±0.47bcd 0.44±0.14abcd

KP 0.40±0.55abcd 0.26±0.43ab 0.53±0.38abcd 0.93±1.03cd 0.25±0.27ab 1.00±0.00d A1 0.00±0.00a 0.13±0.18ab 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.16±0.11ab 1.66±1.17e A2 0.06±0.15ab 0.13±0.18ab 0.66±0.15ab 0.00±0.00a 0.41±0.27abcd 0.89±0.49cd A3 0.00±0.00a 0.13±0.18ab 0.33±0.24abc 0.00±0.00a 0.08±0.14ab 0.66±0.47bcd

(46)

Monosit

Hasil pengamatan persentase rata-rata monosit mencit yang diinfeksi

P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 12.

Gambar 12 Rata-rata persentase monosit pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa

tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum). KN: Kontrol negatif hanya

diberi larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3: ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 4 dan gambar 12, persentase monosit perlakuan A1, A2 dan A3 pada hari ke-1 lebih rendah dibandingkan kelompok KN dan KP. Pada perlakuan A1 pada hari ke-2 mengalami peningkatan, persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan KN, A2, dan A3, tetapi masih rendah dari pada KP. Kemudian pada hari ke-3 dan ke-4 terjadi penurunan persentase monosit. Pada hari ke-7 terjadi peningkatan monosit, persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan KN, A2, dan A3. Persentase monosit A2 pada hari ke-2 lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok KN, KP, A1, dan A3. Pada hari ke-3, ke-4 dan ke-7 terjadi peningkatan, dimana persentasenya lebih tinggi dari pada kelompok perlakuan A3. Pada perlakuan A3 hari ke-2 terjadi peningkatan monosit jika dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi persentasenya lebih rendah dari kelompok KN, KP, dan A1. Kemudian terjadi penurunan persentase monosit pada hari ke-3, ke-4, dan ke-7, dimana persentasenya lebih rendah dari kelompok KN, KP, A1, dan A2.

(47)

bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh sel T, sehingga akan meransang sel-sel fagosit (monosit) untuk melakukan respon fagositosis (Kusmardi et al.

2006). Dengan adanya flavonoid, jumlah monosit di dalam tubuh akan meningkat. Monosit merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun, baik berperan fungsional dalam fagositosis maupun perannya sebagai antigen presenting cells (APC) (Bratawidjaja 2003, Kern 2002). Dengan demikian, pemberian infusa akar kayu kuning dapat meningkatkan jumlah monosit di dalam tubuh. Peningkatan monosit juga disebabkan karena terjadi peningkatan persentase parasitemia, sehingga merangsang tubuh untuk melakukan perlawanan dengan mengeluarkan monosit. Sementara itu, penurunan monosit pada kelompok A3 hari ke-3 sampai hari ke-7 dapat disebabkan oleh penurunan tingkat parasitemia dank arena adanya pengaruh dari kandungan infusa akar kayu kuning yang berfungsi sebagai anti plasmodial.

Limfosit

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit mencit yang diinfeksi

P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum), dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 13.

Gambar 13 Rata-rata persentase limfosit pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi

infusa tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum). KN : Kontrol negatif

hanya diberi larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

(48)

menunjukkan penurunan persentase jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan A2 dan A3. Pada perlakuan A2 hari ke-1 dan ke-2 menunjukkan peningkatan persentase limfosit jika dibanding KN, KP, A1, dan A3 yaitu sebesar 50.73% dan 56.86%. Pada hari ke-3 terjadi penurunan persentase limfosit jika dibandingkan dengan kelompok KP dan A3. Kemudian pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi peningkatan persentase limfosit jika dibandingkan semua kelompok. Persentase limfosit perlakuan A3 pada hari ke-1 lebih tinggi daripada perlakuan A1 tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok A2. Pada hari ke-2 dan ke-3 terjadi peningkatan limfosit, bahkan pada hari ke-3 persentase limfositnya lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, KP, A1, dan A2 yaitu 57.46%. Pada hari ke-4 dan ke-7 terjadi penurunan persentase limfosit jika dibandingan dengan kelompok perlakuan A2, tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan KN, KP, dan A1.

(49)
(50)

Tabel 4 Rata-rata persentase monosit dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning. Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 3.44±1.56abcdef 3.44±1.11abcdef 3.66±1.24abcdef 4.66±0.85defg 4.88±0.68fgh 3.77±1.18abcdef

KP 4.26±1.32cdefg 3.86±0.72abcdef 4.79±1.17efgh 4.20±1.12bcdefg 3.75±1.31abcdef 5.66±0.23gh A1 6.26±2.78h 3.20±1.23abcde 4.16±1.53bcdefg 3.16±0.59abcde 3.66±0.23abcdef 5.00±0.94fgh A2 2.99±1.02abcd 2.80±0.80abc 2.33±0.97a 2.99±0.91abcd 3.08±0.49abcd 4.33±0.81cdefg A3 3.00±0.97abcd 2.53±1.06ab 3.00±0.52abcd 2.66±0.97abc 2.25±0.63a 2.50±0.82ab

*Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KN: Kontrol Negatif; KP: Kontrol Positif; A1, A2, dan A3: Infusa akar kayu kuning dengan dosis 0.625; 1.25; 3.75.

Tabel 5 Rata-rata persentase limfosit dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning. Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 42.22±7.26abcdefgh 43.33±8.38bcdefgh 40.88±6.64abcdefg 37.77±7.43abc 34.44±3.30ab 34.11±5.19ab

(51)

Basofil

Hasil pengamatan persentase rata-rata limfosit mencit yang diinfeksi

P.berghei dan diberi infusa tanaman akar kayu kuning, dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 14.

Gambar 14 Rata-rata persentase basofil pada mencit yang diinfeksi P.berghei dan diberi infusa

tanaman akar kayu kuning (Coscinium fenestratum).KN : Kontrol negatif hanya diberi

larutan PGA 3%, KP : Kontrol positif dengan pemberian klorokuin, A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 gr BB mencit, A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 gr BB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ gr BB mencit.

Berdasarkan tabel 6 dan gambar 14, pada kelompok A1 pada hari ke-1 dan ke-2 menunjukkan nilai nol atau tidak ditemukan basofil. Kemudian mulai pada hari ke-3 sampai hari ke-7 persentase basofilnya meningkat dan menunjukkan persentase yang sama yakni 0.16%. Persentase basofil pada kelompok A2 dan A3 pada hari ke-1 menunjukkan hasil yang sama yakni 0.06%, persentasenya lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, KP, dan A1. Pada hari ke-2 tidak ditemukan adanya basofil pada kelompok perlakuan A2, kemudian pada hari ke-3 sampai hari ke-7 terjadi peningkatan basofil. Persentase basofil pada hari ke-4 lebih tinggi dibandingkan dengan semua kelompok. Kelompok perlakuan A3 pada hari ke-2 dan ke-3 mengalami peningkatan basofil, persentasenya lebih tinggi dari semua kelompok. Pada hari ke-4 terjadi penurunan basofil dan pada hari ke-7 terjadi peningkatan kembali, persentasenya lebih tinggi daripada KN, KP, A1, dan A2, yakni 1.00%.

(52)
(53)

Tabel 6 Rata-rata persentase basofil dari mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa akar kayu kuning. Perlakuan Pengamatan pada Hari ke- (setelah pemberian ekstrak)

0 1 2 3 4 7 KN 0.00±0.00a 0.22±0.13a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.11±0.13a 0.00±0.00a

KP 0.06±0.14a 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.26±0.15a 0.00±0.00a 0.00±0.00a A1 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.16±0.11a 0.16±0.11a 0.16±0.11a A2 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.00±0.00a 0.08±0.14a 0.33±0.40a 0.33±0.40a A3 0.00±0.00a 0.06±0.14a 0.13±0.18a 0.26±0.59a 0.08±0.14a 1.00±0.70b

(54)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Rata-rata persentase netrofil tertinggi dari seluruh kelompok perlakuan yang diberi infusa C. fenestratum yaitu pada kelompok dosis 1 (A1) hari ke-1 setelah infeksi dengan persentase 58%.

2. Rata-rata persentase eosinofil dan monosit tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 1 (A1) hari ke-7 setelah infeksi dengan persentase masing-masing 1.6% dan 5.00%.

3. Rata-rata persentase limfosit tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 3 (A3) hari ke-3 setelah infeksi, dengan persentase 57.46%.

4. Rata-rata persentase basofil tertinggi pada mencit terjadi pada kelompok dosis 3 (A3) hari ke-7 setelah infeksi, dengan persentase 1%.

5.2. Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta : Depkes RI

Anonim. 2007. Peranan Tanaman Obat Dalam Pengembangan Hutan Tanaman. http://www.dephut.go.id/index.php?q=en/node/352

Bratawidjaja KG. 2003. Imunologi Dasar. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.

Caceci T. 1998. Formed Element of Blood. The Cancer Journal II (3): 1742-11826 http://www.cvm.tamu.edu/vaphgii/labotec.html. [23 Juni 2011] [Abstract]. Campbell NA, Jane BR, Lawrence GM. 2004. Biologi. Manalu W, penerjemah;

Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Carter B, Diggs CL. 1977. Parasitic Protozoa. New York: 184-218. Academic Press.

[CDC]. 2010. Malaria life cycle. www.dpd.cdc.gov/dpdx. [23 Juni 2011]

Darlina, Devita T. 2008. Daya Infeksi Plasmodium berghei Stadium Eritrositik yang Diirradiasi Sinar Gamma. http://nbc.batan.go.id. [23 Juni 2011]. Dechwisissakul P, Bavovada R, Thonghoom P. 2000. Pharmacognostic

identification of Hamm. Thai J Pharm Sci; 24 (suppl): 31 [Abstract]. Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner. Ed ke-3. UI Press, Jakarta. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Hari Malaria

Sedunia. http://www.penyakitmenular.info. [22 Juni 2011]

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian Tikus Khusus di Rumah Sakit.

http://www.depkes.go.iddownloads-Pengendalian 20Tikus. Pdf [23 Juni 2011].

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Jakarta : 28-39.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Farmakope Indonesia. Ed ke-4. Jakarta: Ditjen POM.

Dewi RM, Sulaksono E. 1994. Pengaruh Pasase P. berghei pada Mencit strain Swiss. Cermin Dunia Kedokteran Vol. ke-94. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma. Hlm.2. http://www.kalbe.co.id.htm. [23 Juni 2011].

Dewi RM, Harijani AM, Emiliana T, Suwarni, Rabea P.Y. 1996. Keadaan Hematologis Mencit yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Cermin Dunia Kedokteran. No 106.

Forman L.L. 1986. Menispermaceae. Flora Malesiana Series I – Spermatophyta Flowering Plants. 10 (2): 157 – 253. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.

(56)

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fullerton DS.1990. Anti Malaria. Doerge RF, editor. Buku teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Terjemahan: Fatah AM. Ed ke-8. Semarang : IKIP semarang press.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Ed ke-4 Bagian VI. Petrus Andianto, Penerjemah Jakarta: EGC.

Gandahusada S, Herry DI, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3. FKUI. Jakarta : Penerbit Gaya Baru. 171-199.

Ganong WF. 2002. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Penerbir Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE.1996. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hafizhiah NH. 2008. Total Leukosit dan Diferensiasinya pada Kambing Peranakan Etawa (Capra aegagrus hircus) di Cariu, Bogor dan Cipanas-Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hargono D. 1996. Sekelumit Mengenai Obat Nabati dan Sistim Imunitas. Di dalam: Riyanto B, editor. Cermin Dunia Kedokteran. No 108. Jakarta: Group PT Kalbe Farma Tbk. [terhubung berkala]. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_108_obat_tradisional.pdf [25 Juli 2011]

Hartono. 1995. Histologi Veteriner (sitologi dan Jaringan Dasar). Bogor: Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and Febiger. USA.

Jekti RB, Sulaksono E, Sundari S, Marleta R, Subahagio. 1996. Pengaruh pasase terhadap gejala klinis pada mencit strain derived yang diinfeksi plasmodium berghei ANKA. Cermin Dunia Kedokteran No. 106 : 34 -40. Jiao Y, Wen J, Yun. 1999. Influence of Flavonoid of Astragalus Membranaceus’s

Stem and Leaves on the Function of Cell Mediated Immunity in Mice.

Heilongjiang University [terhubung berkala]. http://www.nebi.nlm.nih.gov /pubmed.

Joy PP, Thomas J, Mathew S, Skaria BP. 1998. Medicinal Plants. India: Kerala Agricultural University.

Kern WMD. 2002. Cells and Composition of The Peripheral Blood. PDQ Hematology (March): 1-16.

(57)

Kusumawardhani, Widyawaruyanti, dan Kusumawati L. 2005. Efek Antimalaria Ekstrak Sambiloto Terstandar (Parameter Kadar Andrographolida) pada Mencit Terinfeksi Plasmodium berghei. Majalah Farmasi Airlangga 5 (1): 25-29.

Kusuma PKGT. 2011. Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) sebagai Antimalaria pada Mencit (Mus Musculus) yang Diinfeksi

Plasmodium berghei. [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Levine ND. 1995. Parasitologi veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lubis S. 1993. Diferensiasi Leukosit Pada Interaksi Eimeria tenella dengan Ulasan Darah Tipis. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

[LUMC] Leids Univesitair Medisch Centrum. 2011. Life cycle of Plasmodium berghei [terhubung berkala]. http://www.lumc.nl/con/1040/810280913482 21/810281121192556/811070740182556/811070747452556/ [4 Juli 2011]. Malole MBM, Pramono CSU.1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Marleta R.D, Harijani AM, Sustriayu N, Sekartuti, Tjitra E.1996. Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias, Sumatra Utara. Cermin Dunia Kedokteran 106: 5-9.

Martini F, Ober WC, Garrison CW, Welch K. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs. USA.

Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Interpretation and diagnosis. Philadelphia: WB Saunders Company.

Mustofa, Sholikhah EN, Wahyuno S. 2007. In vitro and in vivo antiplasmodial activity andCytotoxicity of extracts of Phyllanthus niruri l. Herbs traditionally used to treat malaria in Indonesia. Southeast A J Trop Med Public Health 38:4.

Nahrevanian H, Esmaeili B, Kazem M, Nazem H, Amim M. 2010. In Vivo Antimalarial Effect of Iranian Flora Artemisia khorassanica against

Plasmodium berghei and Pharmacochemistry of its Natural Components.

Iranian J Parasitol 1: 6-19, vol 5.

Noerhidayah, Akhmadi A, Priyono. 2008. Proses Perkecambahan Benih Akar kayu kuning (Coscinium fenestratum (Gaertn ) Colebr.). Wahana Benih 2 (2).

(58)

Perry, L.M., Metzger, J. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia. MIT Press, Cambridge, p. 269.

Pribadi W.2003. Parasit malaria.Di dalam Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W, editor. Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3.Jakarta : balai Penerbit FKUI. Rahayu, Y. D. 2005. Kajian Potensi Tumbuhan Obat di Kawasan Malianau

Research Forest (MRF) CIFOR Kabupaten Malinau Kalimantan Timur. (Tesis) Program Pascasarjana Universitas Mulawarman.

Rumawas W. 1989. Patologi umum. Bogor: Jurusan Parasitologi dan Patologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Rungsimakan S. Pharmacognostic property of Khamin Khruea. Chulalongkorn University, Thailand, 2001. [Tesis].

Rojsanga P, Gritsanapan W. 2005. Variation of Berberin Content in Coscinium fenestratum Stem in Thailand Market. Mahidol University Journal of Pharmaceutical Sciences 32(3-4): 66-70 [Abstract].

Sangat H. M., Zuhud E.A.M., Dmayanti E.K. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat di Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Shamma, M. 1972. The Isoquinoline Alkaloids. Academic Press, New York. Silikas N, Mc Call DLC, Sharples D, Watkins W M, Waigh R D, Barber J. 2011.

The antimalarial Activity of Barberine and Some Synthetic Analogues.

Phar & Pharmacol Comm 2 (1) : 55-58

Sinden RE, Butcher GA, Beetsma Al. 2008. Maintenance of the Plasmodium berghei Life Cycle [abstrak]. Di dalam Malaria Methods and Protocols

Methods and Protocols; London Humana Press. Vol 72

http://www.springerlink.com.htm. [23 juni 2011].

Sturkie PD, Grimminger P. 1976. Blood Physical Characteristic. Formed Elements, Haemoglobin and Coagulation dalam: Sturkie P.D. editor. Avian Phisiology 3rd. Springer Veriag New York Heidelberg Berlin.hlm 65.

Sudharshan SJ, Prashith KTR, Sujatha ML. 2010. Antiinflamatory activity of

Curcuma aromatica Salisb and Coscinium fenestratum Colebr : A comparative study. J. Phar Res. 3(1):24-25.

Swenson, Melvin J, William RO. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal.

11th Edition. Conell University Press. Ithaca and London.

(59)

Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Ed ke-3 Hardjosworo S. Penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Diterjemahkan Dari : An introduction to Veterinary Immunology.

Tran, T. A, Ziegler S. 2001. Utilization of Medicinal Plants in Bach ma national Park, Vietnam. Newsletter of The Medicinal Plant Specialist Group of the IUCN Species Survival Commision. Vol 7.

Trape JF, Pison G, Speigel A, Enel C, Rogier C. 2002. Combating Malaria in Africa. Trends in Parasitol 18 (5) : 224-230.

Tushar KV, George S, Remashree AB, Balachandran I. 2008. Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr. A review on This rare, Critically Endangered and Highly Traded Medicinal Species. J. Plant Sci 3: 133-145.

Tungpradit R, Supachok S, Suree P, Weerah W, Shui-Tein Chen. 2011. Antiproliferative Activity of Berberin from Coscinium fenestratum on NCI-H838 Cell Line. Chiang Mai J Sci 38 (1) : 85-94

Tuti S, Rita MD, Natalia K, Ari G. 2007. Pemantauan Efikasi Klorokuin untuk Pengobatan Malaria Falciparum Ringan di Daerah High Case Incidence

(HCI) Banjarnegara, Jawa Tengah. Bul Penel Kes 35 (3) : 97-107

Uskup R. 2008. Plasmodium berghei Pada Penelitian Model Malaria.

http://www.scientistsolution.com [23 Juni 2011].

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2010.

Classification.[terhubung berkala]. http://plants.usda.gov/java/ ClassificationServlet?source=profile&symbol=ARAN3&display=31. [25 Juli 2011].

Weiss DJ, Wardrop KJ, editor. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. Iowa: Blackwell Publishing.

Wongbutdee J. 2009. Physiological effects of Berberin.Thai Pharm Health Sci J

4:78 – 83.

World Health Organization. 2005. Initiative for Vaccine Research, State the Art of Vaccine Research and Development [terhubung berkala]. http://www.who.int/vaccines-document [23 Mei 2011].

(60)

 

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data perhitungan Tabel 2 untuk rata-rata persentase netrofil dengan analisis statistik one way ANOVA dengan menggunakan uji lanjut

duncan

ANOVA Netrofil

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 6110.353 29 210.702 3.836 .000

Within Groups 6591.826 120 54.932

Gambar

Gambar 5  Netrofil
Gambar 6  Eosinosil.
Gambar 7  Basofil
Gambar 8 Limfosit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang publik yang merupakan tempat beraktivitas secara bersama antara orangtua dan anak tidak selamanya aman, untuk mencegah peristiwa yang tak diinginkan

Selain itu, guru hanya menugaskan pada saat istirahat atau setelah pulanh sekolah, dan tidak ada tindak lanjut.Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini

Matlamat sebenar projek ini ialah untuk menghasilkan satu sistem perancangan kewangan Islam yang mampu digunakan oleh perunding kewangan profesional atau separa profesional

Latar belakang penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran Bahasa Inggris kelas III-B MI Da‟watul Khoir Drenges Kertosono Nganjuk masih kurang maksimal, hal ini

Akan tetapi belum bisa berinteraksi dengan user atau pengguna, maka dari itu kita perlu melakukan tahap yang disebut coding atau pengkodean. Langkah-langkah melakukan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar dan tingkat inflasi berpengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Harga

Pengalaman belajar dalam pembentukan akhlak mulia melalui pembiasaan dan pengamalan (diikuti 90% siswa ) dibuktikan dengan data dan dokumentasi foto:.  Mengunjungi

62 Keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus, 63 dan mereka berkata: &#34;Tuan, kami