• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revolusi Pangan Lokal Sebagai Langkah Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Revolusi Pangan Lokal Sebagai Langkah Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

USULAN PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA

REVOLUSI PANGAN LOKAL SEBAGAI LANGKAH MENUJU KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN NASIONAL

BIDANG KEGIATAN :

PKM-GT

Diusulkan Oleh :

AKHMAD RAIHAN R. H34090106 2009

WILAGA AZMAN K. H34090126 2009 FARAH RATIH H34080138 2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

FORMAT HALAMAN PENGESAHAN USUL PKM-GT

1. Judul Kegiatan : Revolusi Pangan Lokal Sebagai Langkah Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI (√)PKM-GT Bidang

Sosial Ekonomi 3. Ketua Pelaksana Kegiatan :

a. Nama Lengkap : Akhmad Raihan Ramadhana

b. NIM : H34090106

c. Jurusan : Agribisnis

d. Universitas/Institut/Politeknik : Institut Pertanian Bogor

e. Alamat Rumah dan No Tel/HP : Jln Dr. Muwardi I no. 14 grogol, Jakarta –Barat

(021) 5658592 / 08561715951

f. Alamat email :

4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 2 orang

5. Dosen Pendamping :

a. Nama Lengkap dan Gelar : Arif karyadi Uswandi

b. NIP : 1978 0210 2005 011004

c. Alamat Rumah dan No Tel/HP : Villa Bogor Indah III blok BC1 no.25 ; 08561289633

Bogor, 2 Maret 2011

Menyetujui,

Ketua Departemen Agribisnis Ketua Pelaksana Kegiatan

(Dr. Ir Nunung Kusnadi, MS) (Akhmad Raihan Ramadhana)

NIP. 19580908 198403 1 002 NIM.H34090126

Wakil Rektor Bidang Akademik dan , Dosen Pendamping Kemahasiswaan

(Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS) (Arif karyadi Uswandi) NIP. 1958228 198503 1003 NIP. 1978 0210 2005 011004

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat limpahan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan penulisan proposal Program Kreatifitas Mahasiswa-Gagasan Tertulis yang berjudul "REVOLUSI PANGAN LOKAL SEBAGAI LANGKAH MENUJU KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL". Konsumsi pangan pokok Indonesia terpaku pada dua jenis komoditi utama, yaitu beras dan tepung terigu. Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi sehingga produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut dan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan melakukan impor. Dewasa ini, dengan adanya perubahan iklim yang ekstrim mengakibatkan penurunan produktivitas pertanian hampir diseluruh dunia. Jika hal ini berlangsung terus menerus, kebutuhan pangan tidak lagi dapat dipenuhi bahkan dengan melakukan impor. Maka, perlu dilakukan upaya-upaya mencari bahan pangan alternatif sebagai solusi ketahanan dan kemandirian pangan secara berkelanjutan.

Kami menyadari dalam penyusunan proposal ini terdapat kekurangan. Saran dan kritik yang membangun kami harapkan sebagai bahan evaluasi penulisan selanjutnya.

Bogor, 2 Maret 2011

Tim Penyusun

(4)

DAFTAR ISI

Format Halaman Pengesahan Usul ……… i

Kata Pengantar ……….. ii

Daftar Isi ……… iii

Daftar Tabel ……….. iv

Ringkasan ……….. v

Pendahuluan Latar Belakang ……… 1

Tujuan ……… 4

Manfaat Program ……….. 4

Gagasan Telaah Pustaka ………. 4

Permasalahan yang dihadapi ………. 5

Gagasan penulis ………. 6

Pihak yang terkait ……….. 8

Langkah-langkah strategis ………. 9

Kesimpulan ……… 9

Daftar Pustaka ……… 10

Daftar Riwayat Hidup Penulis ……… 11

Biodata Dosen Pembimbing………. 12

(5)

DAFTAR TABEL

1 Tabel Pola Konsumsi Pangan 2008-2009

……….

2

i iv

iiii

(6)

RINGKASAN

Sebuah fenomena yang dianggap sederhana dewasa ini, justru menimbulkan masalah di Negara Indonesia ini. Fenomena tersebut adalah “kalau belum makan nasi, belum makan namanya”. Konsumsi pangan Indonesia yang terpaku pada komoditas beras, berdampak kepada tingginnya konsumsi pangan beras di Indonesia. Sayangnya, hal ini justru tidak diimbangi dengan penyediaan pangan beras secara domestik sehingga ketersediaan pangan beras tidak mencukupi permintaan akan beras sendiri. Pemerintah melakukan kebijakan kebebasan bea masuk impor beras untuk mencukupi ketersediaan beras, namun implikasinya kepada para produsen beras,atau disebut juga para petani, semakin melarat. Untuk beberapa kelompok masyarakat yang sadar akan hal ini, mereka akan “berlari” ke arah komoditi pangan terigu, yang juga menjadi momok bangsa Indonesia selain beras. “Pelarian” ke arah komoditi terigu ini tampaknya menjadi alternatif yang kurang tepat karena terigu Indonesia adalah 100% impor, disebabkan iklim Indonesia yang kurang cocok untuk menanam gandum, yang merupakan bahan baku dari terigu. Hal ini bisa dibuktikan dengan statistic, yakni konsumsi pangan beras di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 32,94 juta ton, sedangkan konsumsi terigu di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 3,8 juta ton.

Sebagai solusi dari permasalahan diatas, gagasan yang diajukan adalah dengan mengimplementasikan program yang telah ada dengan lebih intensif, yakni Diversifikasi Pangan, mengingat kearifan lokal yang dimiliki Indonesia begitu melimpah. Untuk menunjang program ini, diperlukan peningkatan pendapatan perkapita dari masyarakat Indonesia, karena sesuai dengan Engel’s Law peningkatan pendapatan masyarakat akan berimplikasi kepada semakin beragamnya konsumsi masyarakat tersebut. Pembukaan sentra budidaya tanaman alternatif lokal menjadi solusi pertama karena akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat dengan cara menyerap tenaga kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan. Pembukaan sentra budidaya tanaman lokal juga berguna untuk mengembangkan potensi kearifan lokal Indonesia sehingga diversifikasi produksi pangan dicapai. Selain itu, diperlukan adanya infrastruktur pengolahan pasca panen tanaman alternatif lokal yang didukung dengan tingkat investasi yang tinggi. Menurut ilmu makroekonomi, hal ini bisa dicapai dengan mengurang konsumsi masyarakat hingga meningkatkan tingkat tabungan masyarakat.

Untuk melakukan solusi diatas, peran intervensi pemerintah sangat diperlukan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan tercapainya gagasan diatas, maka akan terwujud Revolusi Pangan lokal yang akan mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

(7)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Jargon Indonesia sebagai negara agraris selalu bergema di telinga anak-anak negeri. Oleh karena, itu tidak heran banyak anak Indonesia yang hingga kini dengan tegas mengatakan bahwa negeri zamrud khatulistiwa ini adalah negara yang makmur karena kemajuan pertaniannya. Indonesia adalah negeri agraris dengan kekayaan alam melimpah, termasuk dalam hal ini adalah tanaman pangan. Namun, masih terdapat kalangan masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan pangannya yaitu tuga belas persen masyarakat miskin atau sekitar 30 juta masyarakat yang tergolong rawan ketahanan pangan. Perlu diketahui bersama bahwa kondisi ketahanan pangan bersifat dinamis dan berkembang sehingga permasalahan yang dihadapi juga sangat kompleks, seperti penyediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, efektifitas pendistribusian bahan pangan, dan keterjangkauan pangan (food accessibility).

Pada segi konsumsi pangan pokok, sebagian besar masyarakat Indonesia terpaku pada dua komoditi utama, yaitu nasi dan tepung terigu. Indonesia adalah negara konsumen beras terbesar tingkat ASEAN dengan angka konsumsi mencapai 32,94 juta ton beras pada tahun 2010 dan konsumsi sebesar 3,8 juta ton untuk tepung terigu pada tahun 2009. Sedangkan, pada sisi pengadaan atau produksi, Indonesia tidak dapat memenuhi konsumsi dalam negeri sehingga melakukan impor. Sama halnya dengan tepung terigu yang berbahan dasar gandum yang tidak dapat diproduksi di Indonesia. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, volume impor beras Indonesia pada tahun 2011 sebesar 1,75 juta ton atau naik 800 ribu ton pada tahun sebelumnya. Fakta diatas adalah sebuah ironi di negara yang katanya negara agraris.

Secara internasional, ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan tiap individu memiliki akses yang cukup terhadap pangan yang bergizi, sehat, dan aman sehingga dapat menjalankan ativitas kehidupannya dengan optimal. Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman merata dan terjangkau. Menurut Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Program ketahanan pangan akan lebih bermanfaat apabila diperoleh dari kedaulatan pangan karena petani diberdayakan dengan optimal.

Ketahanan pangan menjadi salah satu program prioritas pembangunan nasional Kementerian Pertanian 2010-2014. Salah satu targetnya adalah peningkatan diversifikasi pangan. Usaha diversifikasi pangan adalah usaha untuk

v

(8)

menyediakan berbagai ragam produk pangan baik dalam segi jenis maupun bentuk sehingga tersedia banyak pilihan bagi kosumen. Konsep diversifikasi pangan meliputi tiga hal, yaitu diversifikasi horizontal (mengubah usahatani berbasis padi menjadi tanaman pangan lain), diversifikasi vertikal (pengembangan pangan pasca panen), dan diversifikasi regional (penganekaragaman pangan dengan pendekatan wilayah).

Penganekaragaman konsumsi pangan akan memberi dorongan dan insentif pada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman untuk dikonsumsi termasuk pangan yang berbasis lokal. Dari sisi produksi, hal tersebut mendorong pengembangan beragam sumber pangan terutama sumber karbohidrat, protein, dan zat penting lainnya. Dari sisi konsumsi, dampak langsung yang diharapkan adalah menurunnya konsumsi beras per kapita tiap tahunnya pada tingkat rumah tangga, walaupun disadari bahwa banyak hal yang mempengaruhi tingkat konsumsi suatu produk.

Tabel Pola Pangan Harapan tahun 2008 dan 2009 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras lebih tinggi daripada bahan pangan sumber karbohidrat alternatif, yaitu umbi-umbian. Konsumsi pangan ideal untuk padi-padian adalah 275 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2009, konsumsi padi-padian hingga 314,4 gram dan pada 2008 adalah 326 gram. Meskipun jumlah konsumsi beras menurun, namun secara bersamaan konsumsi bahan pangan lainnya juga ikut menurun. Bahan pangan sumber karbohidrat alternatif, yaitu umbi-umbian, dari jumlah konsumsi pangan idealnya yaitu 100 gram per kapita per hari, pada tahun 2009 hanya 40,2 gram dan pada tahun 2008 hanya 51,7 gram. Hal ini mengindikasikan program diversifikasi pangan masih belum terjadi sesuai yang diharapkan.

Ditinjau dari agroekologinya, Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan pangan non beras, seperti jagung dan umbi-umbian. Menurut data Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Deptan, ketersediaan jagung pada tahun 2010 sebesar 15.911.539 ton, ubi jalar sebesar 1.824.920 ton, dan ubi kayu 20.172.865 ton. Ketersediaan yang melimpah ini, apabila dikelola dengan baik, mulai dari pembudidayaan, pengolahan, hingga pada pemasarannya , maka program diversifikasi pangan, terutama dari segi diversivikasi produksi pangan yang diharapkan akan terpenuhi.

(9)

N o

Kelompok

Pangan Th. 2008 Th. 2009 PPH NASIONAL

Gr a m En erg i % AK G Skor PPH Gr a m Ene rgi % AK G Skor PPH Gr a m En erg i % AK G Skor PPH

1.

Padi-padian 32 6, 0 12 81 64,

1 25,0 31 4, 4 123 5,8 61, 8 25,0

27 5

10

00 50, 5,0

2.

Umbi-umbian 51

,7 62 3,1 1,6

40 ,2

47,

7 2,4 1,2

10 0

12

0 6,0 2,5

3. Pangan

hewani 90

,0 15

7 7,8 15,7 84

,8 148

,0 7,4 14,8 15

0 24

0 12,

0 24,0

4. Minyak

dan lemak 22 ,8 20 4 10,

2 5,0

21 ,8

195

,1 9,8 4,9 20

20 0

10,

0 5,0

5. Buah/biji berminyak

7,

6 42 2,1 1,0

6, 8

37,

3 1,9 0,9 10 60 3,0 1,0

6.

Kacang-kacangan 24

,4 62 3,1 6,2

22 ,4

57,

5 2,9 5,7 35

10

0 5,0 10,0

7. Gula 25

,8 94 4,7 2,4

23 ,8

87,

0 4,4 2,2 30

10

0 5,0 2,5

8. Sayur dan buah

24 1, 7

10

0 5,0 25,1 19

9, 5

84,

0 4,2 21,0 25

0 12

0 6,0 30,0

9. Lain-lain 51

,9 36 1,8 0,0

53 ,6

35,

1 1,8 0,0 - 60 3,0 0,0

Total 20

38 10 1,9 192 7 96, 4 20 00 10 0

[image:9.595.113.512.111.473.2]

Skor PPH 81,9 75,7 100

Table 1: Tabel Pola Pangan Harapan 2008-2009

Sumber : Susenas 2008 dan 2009; BPS, diolah pusat BKP

Seperti yang diungkapkan Badan Ketahanan Pangan bahwa pangan yang tersedia dan dikonsumsi masyarakat harus memenuhi kaidah 3 B, yakni beragam yang merupakan konsep dasar diversifikasi, bergizi, dan berimbang. Dari berbagai studi tentang perkembangan diversifikasi konsumsi pangan, antara lain yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004), Manoewoto dan Martianto (2002), Hartoyo dan Martianto (2000) diperoleh hasil bahwa ketergantungan konsumsi pangan sumber karbohidrat khususnya beras sangat tinggi yaitu lebih dari 60 persen, sebaliknya umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani masih sangat rendah. Disamping itu, terjadi peningkatan kontribusi pangan impor seperti terigu dan produk olahannya. Upaya peningkatan nilai pangan lokal (umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lainnya) yang didukung pengembangan teknologi sederhana terbukti mampu meningkatkan preferensi konsumsi pangan lokal.

(10)

pengolahan pasca panen untuk komoditas alternatif diversifikasi pangan yang menghambat proses diversifikasi produksi. Sebagai solusi atas permasalahan diatas, terdapat 2 gagasan yang akan dipaparkan dalam paper ini, yakni pembuatan sentra budi daya tanaman alternatif lokal, serta peningkatan tingkat investasi guna dialokasikan ke arah infrastruktur pengolahan pasca panen tanaman alternatif. Kedua gagasan yang akan dipaparkan ini diharapkan akan memberikan dorongan dan insentif pada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman untuk dikonsumsi termasuk produk berbasis sumber daya lokal.

Tujuan Penulisan

Penyusunan gagasan ini bertujuan :

1. Mengurangi ketergantungan pangan masyarakat Indonesia terhadap beras dengan mendayakan potensi lokal.

2. Menjadikan diversifikasi pangan sebagai langkah memperkuat ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional

3. Menjadi salah satu solusi dari permasalahan pangan Indonesia.

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan wawasan kepada pembaca bahwa dengan mendayagunakan potensi lokal sebagai penganekaragaman pangan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional.

GAGASAN

Telaah Pustaka

(11)

1,1 g protein, 0,5 g lemak, dan 88,2 karbohidrat. Sementara nasi, yang dewasa ini kuota impor semakin meningkat, mengandung 180 kkal, 3 g protein, 0,3 lemak, dan 39,8 karbohidrat. Tepung terigu mengandung 333 kkal, 9 g protein, 3,9 g lemak, 73,7 g karbohidrat. Dari perbandingan tersebut, dapat kita lihat singkong sebagai salah satu contoh sumber pangan lokal, kandungan zat gizi tidak terlalu jauh berbeda dengan nasi dan tepung terigu. Maka, salah satu solusi menanggulangi permasalahan tingginya permintaan beras dan tepung terigu adalah penganekaragaman konsumsi pangan atau diversifikasi pangan.

Presiden Republik Indonesia pada tangga 6 Juni 2009 telah mengeluarkan Peraturan Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Melalui kebijakan ini diharapkan mampu memberikan daya ungkit yang kuat bagi penyediaan dan permintaan aneka ragam pangan secata nyata, yang secara stimultan dapat mendorong terwujudnya peneydiaan aneka ragam pangan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal. Selain itu, sebagai tidak lanjut dari Peraturan Presiden tersebut telah ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian no.43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pagan Berbasis Sumber Daya Lokal. Pada 25 Febuari 2010 telah ditetapkan pula Peraturan Menteri Pertanian no.25 Tahun 2010 mengenai Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan.

Permasalahan yang dihadapi

Hubungan pola konsumsi utama dengan tingkat pendapatan direperesentasikan oleh Engel’s Law, yaitu proporsi anggaran rumah tangga yang dialokasikan untuk membeli pangan akan semakin kecil seiring dengan peningkatan pendapatan. Sebagai contoh, Jepang dengan pendapatan perkapita mencapai US$37.800 hanya mengonsumsi beras sekitar 60 kg, sedangkan Indonesia dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 2.591,1 mengonsumsi beras sekitar 132 kg pada tahun 2010. Penurunan konsumsi beras per kapita di Jepang dikarenakan dengan pendapatan yang tinggi, masyarakat Jepang dapat semakin mudah kebutuhan pangan yang lebih beragam, seperti daging, ikan, dan buah-buahan. Kondisi konsumsi beras di Jepang keadaannya sangat kontras dengan negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004, konsumsi beras per kapita di Laos sebesar 179 kg dan Myanmar 190 kg. Sedangkan Indonesia sebesar 142 kg. Dapat kita ambil kesimpulan sesuai dengan Engel’s Law, semakin tinggi pendapatan perkapita suatu negara akan menurunkan konsumsi pangan utamanya, yaitu dalam hal ini beras. Peningkatan pendapatan per kapita di Indonesia merupakan langkah pertama untuk mendukung diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia.

(12)

karya, belum ditunjang dengan infrastruktur yang baik sehingga produktivitasnya masih sedikit. Padahal, bahan pangan lokal cenderung dikonsumsi produk turunannya, seperti tepung, kemudian diolah menjadi mie, kue, dan lain sebagainya. Masalah ini menyebabkan distribusi produk pangan lokal tidak seluas produk pangan impor. Peningkatan efisiensi dan efektivitas industri pengolahan pasca panen bahan pangan lokal, baik menjadi barang setengah jadi maupun barang yang mempunyai nilai tambah perlu dilakukan sebagai kunci untuk mensukseskan diversifikasi produksi pangan.

Gagasan Penulis

Gagasan penulis untuk diversifikasi produk pangan lokal mengacu kepada teori pertumbuhan ekonomi model pertumbuhan Solow. Menurut teori pertumbuhan ekonomi model pertumbuhan Solow (Solow Growth Model) menyebutkan, dengan asumsi angkatan kerja dan teknologi adalah tetap, akumulasi modal atau persediaan modal salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan akan menambah persediaan modal. Depresiasi mengacu pada penggunaal modal dan menyebabkan persediaan modal berkurang. Pengurangan dua variabel ini akan menyebabkan fluktuasi (meningkat atau bertambah) pada persediaan modal hingga persediaan modal pada kondisi mapan, yaitu ketika persediaan modal sama dengan nol atau dengan kata lain semua sumber daya telah digunakan (full employment). Ketika keadaan telah mencapai full employment, maka angkatan kerja yang bekerja mencapai titik optimum. Efeknya pada rumah tangga, akan terjadi pemerataan lapangan pekerjaan sehingga pendapatan yang diterima rumah tangga dan kesejahteraannya meningkat.

Pertumbuhan perekonomian Jepang dapat dijadikan contoh untuk kasus pertumbuhan yang berhasil. Meskipun pada dewasa ini Jepang merupakan salah satu negara adidaya ekonomi, dalam keadaan kalah perang pada tahun 1945 kondisi perekonomian Jepang dalam kondisi buruk. Kondisi perekonomian Jepang jatuh karena perang telah menghancurkan sebagian persediaan modal, sehingga persedaan modal Jepang turun dibawah kondisi mapan. Dengan persediaan modal yang jatuh, maka output yang dihasilkan juga ikut jatuh. Pada fungsi permintaan output yang jatuh, Jepang memertahankan jumlah investasi dan mengurangi jumlah konsumsi sehingga persediaan modal lebih banyak ditambahkan oleh variabel investasi dibanding dikurangi oleh variabel depresiasi. Pertumbuhan persediaan ini dipertahankan hingga Jepang kembali pada kondisi mapannya dan hasilnya dewasa ini pendapatan per kapita Jepang mencapai US$ 37.800 pada tahun 2010.

(13)

agraris, maka pengolahan pasca panen adalah kunci penganekaragaman pangan, maka investasi tersebut dialokasikan untuk membangun infrastruktur pengolahan pasca panen. Dengan pembangunan infrastruktur tersebut, maka selain meningkatkan kesejahteraan pekerjanya, masyarakat konsumen dapat memeroleh hasil olahan pangan berbahan baku lokal dengan mudah sehingga harga terjangkau dan cita rasa yang tidak kalah bersaing dengan beras dan tepung terigu dan produk turunannya. Pada jangka panjang, diharapakan selera konsumen Indonesia dapat menerima bahan baku lokal sebagai pilihan bahan pangan konsumsi utama selain beras dan tepung terigu dan pada sisi lain, karena pendapatan per kapita dapat meningkat karena pemerataan pemerolehan pekerjaan, maka pilihan konsumsi pangan masyarakat dapat beranekaragam sesuai Engel’s Law.

Selain pengalokasian investasi untuk subsistem hilir, yaitu pengolahan pasca panen, dengan iklim tropis dengan tanah subur yang hampir merata diseluruh negeri, subsistem budidaya adalah bagian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Salah satunya yaitu dengan pembukaan sentra-sentra budidaya untuk bahan pangan lokal dengan merata diseluruh daerah. Pembukaan sentra budidaya ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang kemudian sehingga pendapatan per kapita menyebar merata. Pembuatan sentra budidaya tanaman lokal sebagai langkah peningkatan pendapatan perkapita di Indonesia perlu menjadi pertimbangan pemerintah mengingat masih banyak lahan kosong yang subur di Indonesia tertutama di luar pulau Jawa yang masih belum dimanfaatkan secara menyeluruh. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat akan berimplikasi kepada pola konsumsi masyarakat yang beraneka ragam, sehingga diversifikasi konsumsi masyarakat bisa diwujudkan dalam jangka panjang. Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Harry Azhar Aziz, 2010). Konsep ini adalah adapatasi dari program Revolusi Hijau dibawah Bimbingan Nasional dengan komoditi utama beras. Sedangkan gagasan Revolusi Pangan Lokal yang kami ajukan fokus pada beranekaragam bahan pangan lokal, seperti singkong, garut, ubi ungu, dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian, diharapkan ketahanan pangan Indonesia diperoleh dari hasil bumi sendiri, yaitu kedaulatan pangan.

Pihak yang Terkait

(14)

Menurut Gregory Mankiw dalam buku Makroekonomi I, tingkat investasi adalah determinan penting untuk menentukan tingkat kesejahteraan negara, apakah suatu negara kaya atau miskin. Tingkat tabungan dipengaruhi oleh bermacam-macam variabel, salah satunya stabilitas politik. Tingkat investasi cenderung rendah pada negara-negara yang sering mengalami perang, revolusi, dan kudeta. Investasi juga cenderung rendah di negara-negara dengan lembaga politik yang buruk, yang diukur dengan estimasi korupsi para pejabatnya. Pada waktu belakangan ini, penyelenggaraan pemerintahan Indonesia indentik dengan korupsi dan sepertinya permasalahan ini tidak terlalu menjadi fokus pemerintah. Padahal, selain mengancam stabilitas politik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan diatas, tingkat investasi dan tabungan Indonesia memburuk. Pendek kata, program diversifikasi pangan tidak akan berjalan seperti teori-teori peraturan-peraturan pemerintah yang telah dibuat, seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan lain sebagainya. Jangankan untuk pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, penyediaan pangan Indonesia akan semakin bergantung pada negara lain dan ketahanan pangan tidak akan terpenuhi karena pemerintah terlalu sibuk berpolitik.

Pelaku kunci untuk program penganekaragaman pangan dan program-program lain untuk kesejahteraan penduduk Indonesia seperti yang telah dijanjikan di Undang-Undang Dasar 1945 adalah kesadaran pemerintah untuk berpolitik dan bernegara secara sehat. Politik dan politisasi bukan untuk keuntungan sebagian golongan tertentu saja. Kebjikan politik akan sangat berpengaruh pada gagasan yang kami ajukan, yaitu kebijakan makroekonomi Indonesia yang tentu diputuskan oleh pemerintah.

Gagasan yang kami ajukan terdapat berbagai macam disiplin ilmu yang terintegrasi. Maka, pelaku kunci selanjutnya adalah civitas akademika lembaga dan institusi pendidikan tinggi sebagai katalisator kebijakan pemerintah dengan data empiris yang akan dilaksanakan oleh pelaku-pelaku pertanian. Pelaku pertanian di Indonesia masih identik dengan kalangan masyarakat kelas dua dengan pengetahuan berdasarkan data pengalaman yang diturunkan turun-temurun dan pada beberapa kondisi, prakteknya tidak mendapatkan hasil yang optimal. Lembaga dan institusi pendidikan tinggi, khususnya yang bergerak dibidang ilmu pengetahuan alam, pertanian, dan ekonomi dapat mendorong dan mengarahkan pelaku pertanian mendapatkan hasil yang optimal.

Sejarah telah membuktikan besarnya peran dan kontribusi dalam perubahan dan pembangunan negara. Pergerakan yang nyata pemuda dari semua golongan menjadi kunci penting program penganekaragaman pangan.

Langkah-langkah strategis

(15)

diversifikasi baik dari segi produksi maupun konsumsi. Peningkatan pendapatan perkapita yang memang berkolerasi erat dengan pola konsumsi pangan masyarakat dapat dicapai apabila tingkat kemiskinan serta pengangguran di negeri ini berkurang. Hal ini dikarenakan, rendahnya pendapatan perkapita Indonesia dikarenakan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Untuk mencapai peningkatan pendapatan perkapita, dapat dilakukan dengan pembukaan sentra budidaya tanaman pangan lokal sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran. Selain itu, pembukaan sentra budidaya pangan lokal dapat menunjang program diversifikasi produksi pangan lokal.

Pencapaian tingkat investasi untuk dialokasikan ke arah pembangunan infrastruktur pengolahan pasca panen dapat dilakukan dengan peran langsung dari pemerintah. Edukasi dan sosialisasi adalah dua hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan tingkat investasi dengan meningkatkan tabungan negara serta menurunnya tingkat konsumsi. Peningkatan tabungan, sesuai dengan model pertumbuhan Solow (Solow Growth Model) akan berimplikasi terhadap peningkatan tingkat investasi negara, yang dapat dialokasikan ke pembangunan infrastruktur pengolahan pasca panen tersebut.

KESIMPULAN

Simpulan dari gagasan diatas adalah bagaimana mengimplementasikan program diversifikasi pangan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Peningkatan pendapatan perkapita yang merupakan langkah untuk mengubah pola konsumsi masyarakat menjadi lebih beragam dapat dicapai dengan pembuatan sentra budidaya tanaman lokal. Meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat akan berdampak pada pola konsumsi masyarakat yang semakin beragam sehingga diversifikasi konsumsi masyarakat dapat tercapai.Selain menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran, pembuatan sentra budidaya tanaman lokal ini juga mendukung diversifikasi produksi pangan lokal sehingga ketersediaan akan komoditi lokal alternatif akan meningkat.

Industri pengolahan bahan pangan lokal alternatif juga merupakan hal yang berhubungan dengan diversifikasi pangan. Pembangunan infrastruktur pengolahan pasca panen adalah hal vital yang dapat dicapai dengan mengalokasikan investasi ke arah pembangunan tersebut. Sesuai dengan model pertumbuhan solow (Solow Growth Model) peningkatan investasi dipengaruhi oleh peningkatan tabungan dan penurunan konsumsi masyarakat.

Peran pemerintah dalam mendukung program diversifikasi pangan adalah vital hukumnya. Edukasi dan sosialisasi adalah langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Masyarakat yang teredukasi mencerminkan sumber daya manusia yang maju, seperti yang terjadi di Negara Jepang. Dengan begitu, pola konsumsi masyarakat akan sesuai dengan kearifan lokal yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Mankiw, N Gregory. 2006. Makroekonomi. Jakarta: Erlangga

(16)

Mahmudi, mien K dkk.2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Mardianto, Sudi, Mewa ariani. 2004. Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Agricultural Policy Analysis Volume 2 Nomor 4, Desember 2004

Pranadji, Tri. 2004. Perspektif Pengembangan Nilai-Nilai Sosial-Budaya Bangsa. Agricultural Policy Analysis Volume 2 Nomor 4, Desember 2004

Aziz, Harry Azhar. 2010. Pertanian, Pengangguran dan Kemiskinan. Artikel JER - No.105/4.[terhubung berkala]

http://www.ekonomirakyat.org/_artikel.php?parameter=101&id=4. [diakses tanggal 3 Maret 2011]

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

1. Nama : Akhmad Raihan Ramadhana NIM : H34090106

(17)

TTL : Jakarta/ 23 Maret 1992 Departemen : Agribisnis

Fakultas : Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Karya Ilmiah : INDONESIAN PAE (Pai Denghe) sebagai inovasi dalam dunia pangan (2010)

2. Nama : Wilaga Azman Kharis NIM : H34090126

TTL : Bogor/ 14 Desember 1991 Departemen : Agribisnis

Fakultas : Fakultas Ekonomi dan Manajemen Karya Ilmiah : -

3. Nama : Farah Ratih NIM : H34080138

TTL : Jakarta/ 24 November 1991 Departemen : Agribisnis

Fakultas : Fakultas Ekonomi dan Manajemen Karya Ilmiah : PKM-M

Penghargaan : Juara Perak PKM-M PIMNAS ke 23

Biodata Dosen Pembimbing

Nama : Arif Karyadi Uswandi

(18)

NIP : 1978 0210 2005 011004

Alamat Rumah : Villa Bogor Indah III blok BCI no.25

Gambar

Table 1: Tabel Pola Pangan Harapan 2008-2009

Referensi

Dokumen terkait

Ada pengaruh strategi komunikasi interpersonal guru Pendidikan Agama Islam terhadap pembentukan karakter peserta didik pada aspek jujur di SMK Negeri 2 Tulungagung. Ada

Di dalam novel “Di Kaki Bukit Cibalak” karya Ahmad Tohari (1977) dan “Romo Rahadi” karya Romo Mangun (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya; 1981), kedua sastrawan

Dengan demikian pekerjaan untuk menyatukan semua peraturan yang beraspek pidana dalam suatu kodifikasi justru dapat mengundang masalah baru, misalnya:

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif dan sigifikan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar

Proses penangananoleh penyidik yang menyerahkan berkas perkara atau hasil laporan tersebut ternyata tidak benar (palsu) ke kejaksaan maka jaksa dapat melakukan

merupakan suatu keharusan bagaimana cara untuk meformulasi hukum berorientai pada tipolog hukum responsif, dan otonom sehingga keberpihakan hukum determenan pada

Tujuan penyusunan Rencana Strategis ini adalah sebagai acuan dalam memberikan arahan mengenai srategi pembangunan, sasaran-sasaran strategis, kebijakan umum, program dan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan generalisasi matematis siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto ditinjau dari gaya berpikir. Subyek penelitian