• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan karang lebar, kepulauan seribu, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan karang lebar, kepulauan seribu, Jakarta"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Padang lamun (seagrass bed) adalah ekosistem yang kompleks di daerah tropis dengan produktivitas dan keanekaragaman yang cukup tinggi. Dalam cakupan wilayah yang lebih besar padang lamun termasuk ke dalam ekosistem pesisir, di samping terumbu karang dan mangrove. Ketiga ekosistem ini membentuk suatu hubungan keterkaitan untuk menopang fungsi pesisir sebagai essential habitat bagi biota akuatik.

Peran lamun secara ekologi adalah sebagai habitat bagi biota akuatik (wilayah pengembalaan, wilayah pemijahan, dan tempat mencari makan), produsen primer, carbon sink, penangkap sedimen dan nutrien, serta penahan gelombang. Ekosistem ini sering dijumpai pada daerah pasang surut pinggir daratan, dekat terumbu karang, dan terkadang menyatu dengan terumbu karang (Tomascik et al. 1997).

Menurut Nagelkerken et al. (2000), kelimpahan dan kekayaan jenis spesies tertinggi biasa ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi mangrove. Padang lamun memegang peranan penting dalam penyediaan stok ikan tangkapan nelayan sekitar. Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kiswara (1994) di Teluk Banten dimana penurunan 35% jumlah padang lamun berakibat langsung pada penurunan jumlah ikan muda. Pernyataan ini diperkuat oleh Kopalit (2010) yang menyatakan bahwa penutupan lamun berkorelasi sangat erat dengan kelimpahan ikan.

(2)

Ancaman pada ekosistem lamun atau yang lebih dikenal dengan nama lokal “samu-samu” di daerah Karang Lebar didominasi oleh pengaruh antropogenik yang diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti penambangan pasir, pembangunan daerah pantai, dan aktivitas perahu dan kapal. Dampak yang nyata dari kegiatan ini berupa peningkatan kekeruhan perairan, yang menjadi faktor pembatas bagi kehidupan lamun. Kerusakan lamun dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan yang berasosiasi dengan lamun, diantaranya baronang (Siganidae) dan lencam (Lethrinidae). Mengingat pentingnya peranan sumberdaya lamun bagi biota yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut, maka diperlukan kajian mengenai keterkaitan lamun terhadap biota laut yang berasosiasi terutama ikan serta pengaruh lingkungan yang dapat memodifikasi keeratan hubungan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Daerah padang lamun di Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini berupa ikan lencam (Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi penurunan kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini diduga terjadi akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun.

Degradasi lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami dan aktivitas manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi lamun di perairan Karang Lebar berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman tersebut meliputi penambangan pasir, pembangunan daerah pantai, serta kegiatan penangkapan dan pelayaran menggunakan kapal motor yang dapat mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan. Peningkatan kekeruhan air dapat mengganggu kesehatan lamun dan fungsi lamun sebagai produsen primer.

(3)

yang telah terjadi di Banten, dan mengganggu fungsi fisik dan ekologis lamun. Untuk itu dirumuskan permasalahan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah Peran Lamun

-habitat biota -produsen primer -penahan arus -penstabil sedimen -fiksasi karbon -sumber nutrien Ancaman Alami

- gelombang pasang -angin topan -siklon -sedimen - predator

Ancaman Manusia -penambang pasir -pembangunan

pantai -pencemaran -aktivitas perahu

Degradasi Padang Lamun

- struktur komunitas ikan - fungsi habitat lamun

(4)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan penutupan lamun, serta komposisi jenis dan ukuran ikan yang berasosiasi dengan padang lamun.

1.4. Manfaat

(5)

2.1. Padang Lamun

Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut, di wilayah perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 40 meter (Kiswara 1997). Tumbuhan ini memiliki struktur morfologi yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji.

Fungsi akar lamun adalah sebagai tempat penyimpanan O2 hasil fotosintesis

dan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Rimpang dan

akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan stabilitas permukaan air di bawahnya, dan saat itu air menjadi lebih jernih karena sedimen halus turun ke bawah, lalu berada diantara akar dan tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak dan arus (Hutomo and Azkab 1987).

Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa lamun. Menurut BTNKpS (2004) in Dwintasari (2009), jenis lamun yang tumbuh di wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan seperti kecerahan dan substrat yang kurang baik, serta adanya masukan pencemaran biasanya memiliki rata-rata kerapatan dan biomassanya yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang bukan pemukiman.

2.2. Faktor Lingkungan

Kecerahan perairan sangat penting bagi ekosistem lamun, karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Campbell et al (2006) in Munira (2010) menyatakan bahwa penyinaran matahari berkorelasi positif dengan standing crop lamun, namun jika terlalu ekstrim dapat mengganggu pertumbuhan (Waycott et al. 2007).

(6)

membutuhkan suhu optimum antara 28-35ºC. Salinitas yang ideal bagi kehidupan lamun senilai ±35‰. Penurunan salinitas akan mengganggu proses pertumbuhan dan menurunkan laju fotosintesis (Waycott et al. 2007) .

Sementara itu ketebalan dan kestabilan substrat akan mempengaruhi pertumbuhan. Semakin tebal substrat maka lamun akan tumbuh baik dengan daun yang panjang dan rimbun, yang disertai dengan pengikatan dan penangkapan sedimen yang tinggi. Peranan ketebalan substrat dan stabilitas sedimen mencakup pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasukan nutrien. Arus pasang dan surut yang kuat mengakibatkan sulitnya lamun untuk menancapkan akarnya, sehingga lamun sulit berkembang biak dengan baik (Susetiono 2004 in Kopalit 2010).

2.3. Distribusi Lamun

Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang memungkinkannya untuk dapat hidup di laut, antara lain : mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal di bawah permukaan air, mempunya sistem reproduksi secara vegetatif dan generatif, mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu bersaing dengan organisme lain di bawah kondisi lingkungan media air asin (Philips and Mendez 1998 in Kopalit 2010). Penyebaran lamun terbilang luas, mulai dari Arktik sampai ke Benua Afrika dan Selandia Baru. Lamun memiliki sebaran yang luas pada habitat litoral berpasir, tapi tetap mampu hidup di semua substrat, mulai dari lumpur hingga bebatuan (Nybakken 1997).

Jumlah spesies lamun di seluruh dunia yang teridentifikasi adalah sebanyak 58 spesies dalam 12 genus, 4 famili, dan 2 ordo (Kuo and McComb 1989 in English et al. 1997). Sedangkan jumlah spesies lamun di Indonesia tercatat ada 12 spesies yang tersebar di beberapa perairan di Indonesia seperti, Selat Flores, Teluk Jakarta, Teluk Banten, Kepulauan Seribu, dan Kepulaun Riau (Kiswara 1997).

(7)

10%. Sedangkan di wilayah subtidal, didominasi oleh Enhalus acoroides yang biasa berkumpul dalam hamparan padang lamun monospesies (Kiswara 1992).

Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997):

1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah. Contoh: Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides.

2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 m. Contoh: Halodule uninervis, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron ciliatum.

3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.

Secara fisik, lamun berfungsi untuk menstabilkan dasar perairan, menangkap sedimen hasil erosi dari daratan (Kikuchi and Peres 1997 in Kiswara 1993). Lamun yang terdapat di hamparan karang juga berfungsi untuk menenggelamkan, menyangga, serta menyaring nutrien dan bahan kimia yang masuk ke lingkungan perairan (English et al. 1994). Peranan padang lamun secara biologis adalah sebagai habitat penting bagi ikan-ikan (spawning, nursery, dan feeding ground), memberikan perlindungan bagi ikan, sumber utama detritus, mendukung rantai makanan, dan juga berfungsi sebagai produsen primer. Sebagai tambahan, padang lamun juga menjadi habitat kritis bagi beberapa spesies yang terancam punah seperti Dugong dugon dan Chelonia mydas (Waycott et al. 2007).

2.4. Fauna yang Berasosiasi dengan Padang Lamun

Untuk suatu kejelasan, Howard et al. 1989 in Tomascik et al. 1997) membagi empat kelompok fauna permanen dan transit yang ada di padang lamun, tanpa melihat alasan ekologis atau biologis tertentu, yaitu :

(8)

2. Motile epifauna (fauna motile yang berasosiasi dengan lapisan permukaan sedimen)

3. Sessile epifauna (organisme yang melekat pada salah satu bagian dari lamun), 4. Epibenthic fauna (fauna yang bergerak dalam jarak yang luas di padang lamun).

Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Mozambique membuktikan bahwa lamun berfungsi sebagai habitat untuk ikan (Kopalit 2010). Lamun yang kaya akan nutrien menjadi sumber makanan bagi ikan muda. Helai daun lamun menjadi tempat perlindungan yang ideal dari ancaman predator dan sengatan matahari serta menjadi tempat penempelan epifit yang menjadi makanan bagi beberapa ikan (Baker and Sheppard 2006). Diduga beberapa ikan muda masuk ke padang lamun saat masa planktonik hingga usia muda. Setelah ikan menjadi berukuran dewasa, lamun tidak lagi menjadi tempat yang baik untuk bersembunyi dari predator.

Peranan padang lamun sebagai tempat mencari makan diperlihatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roblee dan Ziemann (1984) di Tague Bay. Sekitar 15 spesies yang ditemukannya adalah ikan nokturnal yang berpindah tempat di malam hari untuk mencari makan, dan lebih dari 87% pengunjung nokturnal didominasi oleh ikan karang. Tak hanya terbatas pada ikan nokturnal, lamun pun dijadikan sebagai feeding ground bagi juvenile ikan karang yang bermigrasi di siang hari. Dolar (1989) in Kopalit (2010) menyebutkan, keanekaragaman dan kelimpahan spesies ikan di padang lamun berhubungan dengan kelimpahan Crustacea seperti udang. Hal ini dikarenakan beberapa ikan menjadi predator penting bagi juvenile udang yang bermigrasi dari mangrove ke lamun.

2.5. Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun

Hutomo and Martosewojo (1977) in Tomascik et al (1997) membagi asosiasi ikan dengan padang lamun menjadi empat kategori utama, yakni :

1. Penghuni penuh yang memijah dan menghabiskan sisa hidupnya di padang lamun, misalnya Apogon margaritophorus

(9)

3. Penghuni yang menghabiskan tahapan juvenilenya di padang lamun, misalnya Siganus canaliculatus

4. Penghuni berkala atau transit untuk mencari makan dan berlindung.

Berdasarkan karakteristik asosiasi ikan dengan padang lamun, Bell dan Pollard (1989) in Tomascik et al. (1997) mengidentifikasi 7 karakteristik kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun, meliputi:

1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan pada ekosistem lamun lebih tinggi daripada daerah yang berdekatan dengan substrat kosong seperti pasir, pecahan karang, dan lumpur.

2. Lamanya asosiasi ikan dan dengan ekosistem lamun berbeda setiap spesies dan stadia hidupnya.

3. Sebagian besar asosiasi ikan dengan ekosistem lamun berasal dari plankton, sehingga padang lamun merupakan wilayah yang penting bagi pembibitan spesies komersial penting.

4. Zooplankton dan Crustasea epifauna merupakan makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun. Tumbuhan, detirtal, dan komponen infauna dari jaring makanan padang lamun kurang dimanfaatkan oleh ikan.

5. Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi spesies terjadi pada sebagian besar ekosistem lamun.

6. Hubungan yang kuat terjadi antara ekosistem lamun dengan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan pada ekosistem lamun menjadi tergantung pada tipe terumbu karang, estuaria, mangrove.

7. Kumpulan ikan dari ekosistem lamun yang berbeda sering kali akan berbeda pula walaupun dua habitat tersebut berdekatan.

(10)

terumbu karang diperkirakan menyumbang 12% hasil tangkapan dunia, dan menyediakan lebih dari 1/5 perikanan tangkap di negara berkembang (Fortes 1990 in Munira 2010).

Pada daerah subtropis, seluruh produksi tumbuhan di padang lamun digunakan oleh invertebrata sebagai sumber energi. Sedangkan di daerah tropis, aliran energi terletak pada ikan herbivora. Ikan ini berperan sebagai agen penghubung dari produsen primer ke konsumen tingkat tinggi. Menurut Hutomo dan Azkab (1987), ikan-ikan pemakan lamun adalah ikan terumbu diurnal yang meliputi Scarrus sp., Sparisoma sp., dan famili Siganidae.

(11)

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Stasiun pengamatan tersebar pada tiga titik di perairan karang lebar yang dianggap mewakili kondisi penutupan lamun berdasarkan KepMenLH No. 200 tahun 2004. Penelitian dibagi ke dalam tiga tahap yakni, tahap pertama diawali penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pengumpulan dan analisis data serta penentuan titik sampling yang dilaksanakan pada bulan Februari 2011. Tahap kedua adalah pengumpulan data dan informasi berupa studi lapang, studi literatur, dan laboratorium, pada bulan Maret hingga April 2011. Tahap terakhir adalah pengolahan data sesuai analisis data yang telah ditentukan. Analisis laboratorium dilakukan di dua tempat terpisah, meliputi Laboratorium BioMikro untuk analisis kebiasaan makan, sedangkan analisis berat kering lamun dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(12)

3.2. Disain Sampling

Sampling bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian, meliputi data ikan (jenis, jumlah, ukuran, dan kebiasaan makan ikan), data lamun (jenis lamun, presentasi penutupan, kerapatan, dan biomassa lamun), serta parameter lingkungan (kecerahan, kedalaman, suhu, substrat, dan pH). Pengambilan data masing-masing parameter dilakukan pada tiga titik hamparan lamun dengan kondisi persen penutupan lamun yang berbeda. Selain itu, titik sampling juga ditentukan berdasarkan keterwakilan karakteristik lamun di daerah Karang Lebar. Penentuan lokasi pengamatan dengan penutupan yang berbeda mengacu pada Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang status kondisi ekosistem lamun. Penentuan kriteria tertera dalam Tabel 1

Tabel 1. Status padang lamun

Kondisi Penutupan (%)

Kaya/Sehat ≥ 60

Kurang Kaya/Kurang Sehat 30-59,9

Miskin ≤ 29,9

Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004

Sampling ikan dan parameter lingkungan dilaksanakan dalam interval 2 minggu selama 2 bulan. Pengamatan selama 2 bulan dilakukan agar didapatkan repetisi siklus pergantian bulan. Repetisi pergantian siklus bulan ini didasari adanya pengaruh fase bulan dalam aktivitas reproduksi ikan-ikan Siganidae (Munira 2010) yang merupakan salah satu penghuni lamun. Sampling ikan dilakukan dengan cara penangkapan langsung, sementara pengambilan data lamun dilakukan sebanyak satu kali dengan menggunakan transek garis dan transek kuadrat seperti yang disebutkan dalam English et al. (1994).

3.3. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dalam penelitian diperoleh dengan tiga metode yang berbeda. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

3.3.1. Metode observasi langsung

(13)

yang akan diamati. Data yang diambil menggunakan metode observasi ini meliputi : a. Kondisi fisika kimia perairan

Data fisika dan kimia perairan diambil untuk menggambarkan kondisi lingkungan tempat pengamatan dilakukan. Parameter yang diamati beserta metode dan satuan ukurannya dituangkan dalam Tabel 2 .

Tabel 2. Parameter fisika dan kimia perairan.

No Parameter Satuan Alat/Metode*) Pengukuran

FISIKA

1 Suhu ºC Termometer raksa/pemuaian In situ

2 Kedalaman M Tongkat berskala/visual In situ

3 Kecerahan M Secchi disk/visual In situ

4 Tipe Substrat - Visual In situ

5 Salinitas Ppm Refraktometer In situ

KIMIA

1 pH pH universal In situ

b. Lamun

Data lamun yang diambil dengan metode observasi langsung adalah penutupan, jenis lamun, dan jumlah tegakan per spesies. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan sample lamun per spesies untuk analisis laboratorium. Langkah-langkah pengamatan lamun adalah sebagai berikut :

(1) Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan tiga buah transek garis dengan posisi sejajar satu sama lain (Gambar 3). Posisi padang lamun yang telah ditentukan di awal dicatat dalam GPS (Geographic Positioning System) sebagai pedoman dalam sampling selanjutnya.

(14)

(2) Pada tiap transek garis ditempatkan sebuah transek kuadrat dengan ukuran 50 x 50 cm yang disekat menjadi 25 bagian dengan ukuran masing petak 10x10 cm (Gambar 4). Jarak antar transek kuadarat diseragamkan dan disesuaikan dengan luas padang lamun yang diamati.

10 cm

50 cm Gambar 4. Petak pengambilan contoh lamun

(3) Dalam tiap transek kuadrat yang telah ditempatkan, dilihat jenis dan kerapatan lamun. Kerapatan diketahui dengan menghitung jumlah tegakan lamun per spesies yang sama. Selain kerapatan, dihitung pula persen penutupan lamun pada tiap transek kuadrat. Penghitungan persen penutupan lamun dapat dipermudah dengan bantuan kamera bawah air.

(4) Identifikasi jenis lamun berpedoman pada CRC Reef Research Centre (2004) serta McKenzie and Yoshida (2009). Sedangkan penentuan persen penutupan lamun mengacu pada kelas dominansi yang dikembangkan Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994). Kelas dominansi tersaji dalam Tabel 3

Tabel 3. Kelas dominansi penutupan

Kelas Jumlah substrat yang tertutup

% penutupan substrat

Titik Tengah %

(M)

5

1/2 hingga

semua 50 - 100 75

4 1/4 hingga 1/2 25 – 50 37,5

3 1/8 hingga 1/4 12,5 - 25 18,75

2 1/16 hingga 1/8 6,25 - 12,5 9,38

1 < 1/16 < 6,25 3,13

0 Absent 0 0

Sumber: Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994)

(15)

(1994) ini ditujukan untuk meminimalisir kerusakan lamun akibat pencabutan tanaman. Lamun yang telah diambil kemudian dikeringkan dari air dan pasir agar berat basah dapat diketahui. Setelah ditimbang berat basah, lamun disimpan untuk penimbangan berat kering dalam skala laboratorium. Data lamun yang telah didapatkan kemudian diolah menggunakan data analisis yang ditentukan. c. Ikan

Observasi langsung terhadap ikan sebagai makrofauna yang hidup di lamun dilakukan melalui cara penangkapan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 2 cm dan 0.5 cm, lengkap dengan pemberat dan pelampung. Sedangkan jaring kantung yang digunakan adalah jaring halus untuk menangkap larva atau juvenile. Pengamatan dilakukan dua kali sehari (siang dan malam, mengikuti pola pasang surut air). Hal ini dilakukan karena adanya pola dan perbedaan komposisi ikan dalam lamun pada siang dan malam hari. Penangkapan dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

(1) Padang lamun yang telah dipilih sebagai area pengamatan dilingkari menggunakan jaring insang. Pelingkupan dilakukan menggunakan bantuan kapal dan nelayan agar proses pelingkupan lebih cepat dan ikan tidak keluar dari area yang akan dilingkupi.

(2) Area lamun yang telah dilingkari kemudian ditepuk bagian dalamnya. Hal ini dilakukan agar ikan yang terlingkari ketakutan dan menabrak jaring. Khusus ikan berukuran kecil (juvenile), penangkapan dilakukan dengan menggunakan jaring halus.

(16)

3.3.2. Analisis laboratorium a. Biomassa lamun

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis atau jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah. Satuan biomassa dinyatakan dalam gram berat kering/m2 dan gram berat basah/m2. Menurut Fortes (1990) in Kopalit (2010), biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan kerapatan.

Contoh lamun yang telah diambil di lapangan dibersihkan dari pasir dan batuan kemudian ditiriskan menggunakan kertas. Setiap lamun dipisahkan bagian akar, batang, dan daun. Bagian yang telah dipisahkan kemudian dibungkus dengan kertas alumunium foil dan dimasukan ke dalam oven dengan suhu 105º C selama 6-9 jam. Setelah pemanasan selesai, dilakukan penimbangan berat kering lamun.

b. Identifikasi ikan

Identifikasi ikan merupakan awal dari proses pemberian nama ilmiah suatu jenis ikan. Identifikasi awal dilakukan dengan melihat kesamaan morfologi berdasarkan ilustrasi dalam Allen (1999). Ikan sampel yang telah diawetkan diidentifikasi di laboratorium dengan melihat karakteristik morfometrik (ukuran fisik tubuh) dan meristik (bagian tubuh yang dapat dihitung). Ikan sampel diukur panjang total ikan. Sementara untuk melihat karakteristik meristik yang merupakan ciri yang unik dan mudah dipakai, digunakan buku panduan FAO (1999).

c. Kebiasaan makanan

Menurut Effendi (2002), kebiasaan makanan adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Analisis kebiasaan makanan ditujukan untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan, sehingga dapat diprediksi hubungan ekologi antar organisme dalam suatu perairan. Hubungan yang dilihat bisa berupa bentuk pemangsaan ataupun persaingan dalam rantai makanan.

(17)

A

a. Kerapatan Jenis (Di) dihitung dengan rumus (Brower et al. 1998):

Keterangan: Di = Jumlah individu -i (tegakan) per satuan luas

Ni = Jumlah individu -i (tegakan) dalam transek kuadrat A = Luas total amatan

b. Kerapatan relatif (RDi) merupakan perbandingan jumlah spesies dengan jumlah total individu seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan: RDi = Kerapatan relatif

Ni = Jumlah individu –i (tegakan) dalam transek kuadrat = Jumlah total individu seluruh spesies

c. Frekuensi jenis (Fi) merupakan peluang suatu jenis spesies ditemukan dalam titik contoh yang diamati, dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan: Fi = Frekuensi Jenis ke-i

Pi = Jumlah petak contoh dimana spesies-i ditemukan

= Jumlah total petak contoh yang akan diamati

d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan: Rfi = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i

= Jumlah total petak contoh yang akan diamati

(18)

A

e. Penutupan (Ci) adalah luas area yang tertutupi oleh spesies-i, dirumuskan sebagai

berikut :

(kategori Saito and Atobe 1970 in English et al. 1994)

Keterangan: Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i Ai = Luas total penutupan spesies ke-i A = Luas total pengambilan contoh

fi = Frekuensi (jumlah kotak dengan kelas dominansi yang sama)

Mi = Titik tengah % spesies ke-i

f. Penutupan relatif (RCi) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies

ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.

Keterangan: RCi = Penutupan relatif

Ci = Luas area yang tertutupi jenis ke-i

= Penutupan seluruh spesies

g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0-3. INP memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et al. 1998):

(19)

h. Biomassa Lamun (gram/m2) dihitung berdasarkan berat basah dan berat kering. Sebelum dilakukan penimbangan, lamun yang telah didaratkan, disortir dahulu berdasarkan jenis, kemudian ditimbang. Sampel lamun kemudian dibawa ke laboratorium untuk mengukur berat kering. Biomassa dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan: Bi = biomassa rumput laut spesies ke-i (gram/m2) Wi = jumlah total berat spesies ke-i (gram) A = total area studi (m2)

3.4.2. Ikan

a. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

Indeks keragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, maka semakin beragam komunitasnya. Rumus indeks keanekaragaman Shannon (Krebs 1989) :

Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener N = Jumlah total individu seluruh jenis

ni = Jumlah individu jenis ke-i

b. Indeks keseragaman Shannon-Wiener

Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap jenis dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran individu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut (Krebs 1989):

,

Keterangan: E = Indeks Keseragaman Shannon H’ = Indeks keanekaragaman

H’ max = Indeks keanekaragaman maksimum max

' ' H

H

(20)

S = Jumlah spesies c. Indeks dominansi Simpson

Indeks ini digunakan untuk mengetahui jenis yang paling banyak ditemukan. Dominansi dapat diketahui dengan rumus dominansi Simpson:

Keterangan: D = Indeks dominansi Simpson ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu seluruh jenis 3.4.3. Asosiasi ikan dengan lamun

a. Korelasi Pearson

Korelasi adalah istilah statistik yang menyatakan derajat hubungan linier searah antara dua variabel atau lebih. Salah satu teknik korelasi yang umum digunakan adalah korelasi product moment pearson. Variabel yang digunakan adalah variabel berskala interval. Analisa ini digunakan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X dan Y serta mengetahui besarnya sumbangan variabel satu terhadap yang lainnya yang dinyatakan dalam persen.

Variabel X menyatakan kondisi habitat sementara variabel Y menyatakan kondisi ikan. Kondisi meliputi biomassa dan kerapatan lamun diduga mempengaruhi biomassa, kelimpahan individu, dan kelimpahan spesies ikan dalam lamun. Kepadatan lamun merupakan faktor penentu kuantitas ikan yang ada di dalamnya. Biomassa lamun dianalogikan sebagai fungsi dari kepadatan dan penutupan lamun yang akan mempengaruhi jumlah serta biomassa ikan yang berasosiasi.

Hubungan antara variabel X dan Y dinilai dari koefisien korelasi (r). Nilai korelasi terletak antara -1 hingga 1. Semakin mendekati angka -1 maka hubungan antara kondisi lamun dan kondisi ikan berkorelasi sangat erat negatif. Sedangkan semakin mendekati angka 1, kondisi lamun berkorelasi sangat erat positif. Sifat distribusi data dilihat dari nilai P-Value. Nilai P-Value > 0,05 berarti bahwa data yang didapatkan berdistribusi normal.

b. Indeks Konstansi dan Indeks Fidelitas

Data hasil sampling dalam setiap stasiun pengamatan dikonversi menjadi data binari. Hasil data binari digunakan untuk menganalisa tingkat kekonstanan spesies

(21)

ikan pada habitat tertentu. Berdasarkan indeks konstansi dengan rumus (Boech 1977 in Aktani 1990):

Keterangan : Cij = Indeks konstansi

aij = Jumlah kehadiran spesies ikan ke-i pada habitat ke-j

ni = Jumlah elemen pada kelompok spesies ikan ke-i

nj = Jumlah elemen pada anggota kelompok ke-j

kisaran indeks konstansi adalah 0-1, dengan ketentuan:

Cij = 0 , berarti tidak ada satupun spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j

Cij = 1 , berarti spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j

Dari indeks konstansi dapat dilihat tingkat kekhasan/kebenaran spesies ke- i pada habitat ke- j berdasarkan indeks fidelitas (Murphy and Edwards 1982 in Aktani 1990) berdasarkan persamaan:

Keterangan : Fij = Indeks fidelitas kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j

Cij = Indeks konstansi kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j

Kisaran indeks fidelitas adalah sebagai berikut:

Fij ˻ 2 menunjukan preferensi yang kuat antara kelompok ikan ke-i pada habitat ke-j

Fij ˺ 1 menunjukan tingkat ketidaksukaan kelompok ikan ke-i pada habitat ke- j

Fij = 0 menunjukan ketidaksukaan / cenderung menghindari kelompok ikan ke- i

pada habitat ke- j. c. Analisis Biplot

Biplot merupakan suatu alat analisis statistika yang menyediakan posisi relatif objek pengamatan dengan peubah secara simultan dalam dua dimensi. Informasi yang bisa diperoleh dari biplot adalah : hubungan antara peubah bebas, kesamaan relatif dari titik-titik data individu pengamatan, dan posisi relatif antara individu pengamatan dengan peubah. Interpretasi dari biplot adalah :

1. Panjang vektor peubah sebanding dengan keragaman peubah tersebut. Semakin panjang vektor suatu peubah maka keragaman peubah tersebut semakin tinggi. 2. Nilai cosinus sudut antara dua vektor peubah menggambarkan korelasi dua

(22)

positif tinggi korelasinya. Jika sudut yang dibuat tegak lurus maka korelasi keduanya rendah. Sedangkan jika sudut tumpul maka korelasi bersifat negatif. 3. Posisi objek yang searah dengan suatu vektor peubah diinterpretasikan sebagai

besarnya nilai peubah untuk objek yang searah. Semakin dekat letak objek dengan arah yang ditunjuk oleh suatu peubah maka semakin tinggi peubah tersebut untuk objek itu. Sedangkan jika arahnya berlawanan maka nilainya rendah.

4. Kedekatan letak/posisi dua buah objek diinterpretasikan sebagai kemiripan sifat dua objek. Semakin dekat letak dua buah objek maka sifat yang ditunjukan oleh nilai-nilai peubahnya semakin mirip.

d. Analisis Ragam Klasifikasi Dua Arah (Two Way Anova)

(23)

4.1. Keadaan Umum Perairan Karang Lebar

Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil seluas 107.489 ha yang terbentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara sejauh 150 km. Wilayah Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Selat Sunda. Kepulauan Seribu resmi dijadikan sebagai Taman Nasional Laut sejak tahun 1995 dengan empat zonasi (zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan, dan zona pemukiman). Secara administratif, Kepulauan Seribu terbagi dalam dua kecamatan, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pusat pemerintahan dan aktivitas manusia yang tertinggi terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kelurahan Pulau Panggang. Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau kecil, termasuk Pulau Semak Daun.

Perairan Pulau Semak Daun adalah perairan dangkal dengan satu pulau utama dan beberapa goba di sekitarnya. Perairan Pulau Semak Daun termasuk dalam zona pemanfaatan pariwisata. Berdekatan dengan wilayah ini terdapat perairan Karang Lebar yang tidak memiliki pulau utama, sehingga lebih banyak dikenal sebagai bagian dari Perairan Semak Daun. Vegatasi lamun dan terumbu karang tersebar luas di perairan dangkal ini. Perairan Karang Lebar banyak dijadikan sebagai basis penangkapan ikan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar.

Perairan Kepulauan Seribu, khususnya Kelurahan Pulau Panggang termasuk ke dalam zona pemukiman dan pemanfaatan yang rentan terhadap pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan di darat maupun kegiatan di laut. Pencemaran akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi lingkungan tempat biota tinggal. Karakteristik fisika dan kimia suatu lingkungan akan berdampak pada struktur komunitas biota yang tinggal di dalamnya, termasuk lamun dan ikan.

(24)

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.

Kondisi Lamun

Siang malam

suhu pH kecerahan kedalaman

(cm) suhu pH

kedalaman (cm)

Sehat 29 8 100% 40-100 27-29 8 80-165

Kurang

Sehat 28-35 8-9 100% 25-125 27-29 8-9 35-120

Miskin 28-29 8-9 100% 20-80 27-29 8-9 60-100

Kedalaman air berkisar antara 20-165 cm dan kecerahan yang konstan pada tiap pengamatan, yakni 100% menunjukkan penetrasi cahaya matahari masuk hingga ke dasar perairan. Berdasarkan data, terlihat bahwa perairan Karang Lebar merupakan perairan dangkal yang jernih. Kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan lamun dan kapasitas lamun untuk berproduksi sebagai produsen utama di air. Penetrasi matahari yang baik akan memudahkan lamun untuk dapat berfotosintesis dan tumbuh. Nilai kecerahan perairan dipengaruhi oleh kecepatan arus. Arus yang stagnan dan sangat tenang pada jangka waktu yang lama akan menurunkan tingkat kecerahan perairan.

Menurut Waycott et al. (2007), suhu yang diperlukan oleh lamun untuk berfotosintesis berkisar antara 28-35º C. Sedangkan untuk tumbuh, lamun memerlukan suhu optimal antara 28-30º C. Merujuk pada keterangan tersebut, hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu perairan cukup ideal untuk proses fotosintesis, namun kurang mendukung untuk proses pertumbuhan lamun. Hal ini dikarenakan suhu tertinggi yang didapatkan pada salah satu stasiun pengamatan mencapai angka 35º C, melebihi baku mutu (Lampiran 3) yang telah ditetapkan.

Derajat asam (pH) pada tiga stasiun pengamatan berfluktuasi seiringan dengan suhu perairan. Pada saat arus sangat tenang dengan penyinaran matahari yang tinggi, suhu air mencapai 35ºC dan nilai pH naik menjadi 9 di sore hari. Kondisi pH yang terlalu tinggi (basa) tidak mendukung bagi pertumbuhan lamun, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut.

(25)

dikarenakan adanya pengaruh lingkungan seperti tingginya intensitas penyinaran matahari serta arus perairan yang sangat rendah.

4.2. Karakteristik Padang Lamun

4.2.1. Komposisi lamun berdasarkan kepadatan jenis

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa perairan Karang Lebar ditumbuhi oleh 3 jenis lamun yang tersebar pada 3 lokasi pengamatan yang berbeda kondisi (Gambar 5). Pada padang lamun kategori kurang sehat dan miskin ditemukan 3 spesies lamun : Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Sedangkan pada padang lamun dengan kondisi kaya hanya ditemukan 2 spesies yakni Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Spesies lamun yang ditemukan dalam pengamatan sesuai dengan delapan jenis spesies lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu menurut Tomascik et al. (1997).

Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata selalu ditemukan di tiga stasiun pengamatan karena kondisi perairan yang jernih serta terbuka yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan lamun jenis ini. Akar dari kedua jenis ini bersifat kokoh sehingga mampu menyesuaikan diri dengan arus perairan yang kencang dan substrat pasir kasar. Kedua biota yang dominan ini sangat rentan terhadap adanya gangguan berupa kekeruhan perairan. Gambar 5 menggambarkan komposisi lamun di tiga stasiun amatan.

Gambar 5. Kepadatan lamun (individu/m2)

Cymodocea rotundata merupakan spesies pioner yang mendominasi lamun di wilayah intertidal. Sedangkan Thalassia hemprichii sering ditemukan mendominasi

0

(26)

komunitas lamun campuran. Spesies ini mampu hidup di berbagai substrat, mulai dari pasir halus hingga substrat kasar (Tomascik et al. 1997). Menurut Den Hartog (1967) in Kiswara dan Hutomo (1985), spesies yang ditemukan pada wilayah pengamatan termasuk ke dalam kategori lamun Herba dengan percabangan monopodial. Thalassia dan Cymodecea termasuk ke dalam kategori lamun Magnozosteroid yang dapat dijumpai pada berbagai habitat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral.

Halophila termasuk ke dalam kategori lamun Halophilid yang dapat ditemukan hampir di semua habitat dari pasir kasar hingga lumpur yang lunak, mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 90 meter. Spesies Halophila ovalis merupakan spesies berukuran kecil yang terdapat pada dua stasiun amatan dengan jumlah kerapatan yang paling kecil (25-33%). Spesies ini merupakan spesies pioner yang cukup mendominasi di wilayah intertidal dengan bioturbasi yang tinggi.

Bioturbasi merupakan pemindahan atau pengadukan sedimen dan partikel terlarut oleh flora maupun fauna. Bioturbasi dimediasi oleh fauna Annelida, Bivalva, Gastropoda, Holothurian, dan fauna lainnya melalui aktivitas meliang, ingestion dan defecation butiran sedimen, serta tempat tinggal yang ditinggalkan mengakibatkan adanya pertukaran dan aliran kimia antara kolom (Rosa and Bemvenuti 2005)

Halophila ovalis terkadang ditemukan bersama dengan Cymodocea rotundata, dalam suatu komunitas lamun campuran yang terdiri dari asosiasi 2-3 spesies lamun (Tomascik et al. 1997). Biota ini tidak ditemukan pada padang lamun dengan kondisi sehat diduga karena morfologi daun yang kecil dan batang yang rapuh. Pada padang lamun sehat, kerapatan Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata yang tinggi mampu mengurangi intensitas cahaya matahari hingga ke dasar perairan, sehingga Halophila ovalis kurang cocok untuk hidup dan bertahan dalam persaingan ruang di padang lamun ini. Ketiga spesies ini memiliki kesamaan lingkungan hidup yakni pada daerah pasang surut dengan substrat pasir halus dan kedalaman perairan relatif dangkal yang memungkinkan penetrasi cahaya optimum untuk dapat berfotosintesis.

(27)

Sedangkan pada stasiun pengamatan dengan kondisi kurang sehat, diperoleh nilai kerapatan jenis tertinggi dan terendah senilai 528 individu/m2 dan 109 individu/m2 dari spesies Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Pada stasiun amatan dengan kondisi miskin nilai kerapatan berkisar antara 209-115 individu/m2.

Asosiasi lamun campuran yang yang terdiri dari 2 hingga 3 jenis spesies dijumpai pada ketiga stasiun pengamatan. Menurut Hutomo et al. (1988), asosiasi ini biasa ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada daerah berpasir yang terlindung (tidak berlumpur), stabil, dan sedimen yang hampir landai. Dengan kondisi ini, aktivitas meliang dari udang-udangan dan makroinvertebrata lain cenderung berkurang dengan meningkatnya keragaman dan kerapatan lamun. 4.2.2. Komposisi lamun berdasarkan penutupan jenis

Penutupan lamun menggambarkan luasan area yang ditutupi oleh lamun jenis tertentu. Nilai penutupan dipengaruhi oleh kerapatan dan morfologi lamun sendiri. Kerapatan yang tinggi tidak selalu menunjukan nilai penutupan yang tinggi. Nilai kerapatan yang tinggi dengan morfologi daun yang lebar akan menghasilkan nilai penutupan yang tinggi (Gambar 6).

Gambar 6. Penutupan jenis lamun (%)

Persentasi penutupan lamun tertinggi didapat dari spesies Cymodocea rotundata, kecuali pada stasiun lamun kurang sehat yang didominasi oleh Thalassia hemprichii. Nilai penutupan Thalassia hemprichii pada stasiun ini merupakan nilai yang paling tinggi dikarenakan morfologi daun Thalassia hemprichii yang lebar dan

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00

Sehat Kurang Sehat Miskin

P

enutupa

n

(

%)

(28)

berukuran relatif lebih besar daripada Cymodocea rotundata meskipun Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang lebih rendah.

Kedua jenis lamun ini, terutama Thalassia hemprichii dijadikan sebagai tempat persembunyian oleh ikan berukuran kecil untuk menghindar dari predator. Selain itu, lebar daun yang cukup besar memungkinkan banyaknya epifit menempel pada lamun. Sedangkan spesies Halophila ovalis cenderung memiliki penutupan jenis yang lebih kecil dikarenakan morfologi yang lebih kecil dibandingkan jenis lainnya. Daun Halophila ovalis berbentuk bulat elips berukuran kecil dengan batang yang rapuh dan tipis.

4.2.3. Komposisi lamun berdasarkan frekuensi jenis

Frekuensi jenis lamun menunjukan peluang suatu jenis lamun ditemukan dalam wilayah pengamatan. Frekuensi jenis berfluktuasi pada tiap stasiun amatan (Gambar 7). Berdasarkan hasil, frekuensi tertinggi pada tiap stasiun didominasi oleh spesies Thalassia hemprichii kecuali pada stasiun lamun sehat. Hasil yang didapatkan sesuai dengan karakteristik dari Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata sebagai spesies yang mendominasi komunitas padang lamun campuran, serta Halophila ovalis sebagai anggota bagian yang terkadang muncul diantara spesies Cymodocea rotundata.

Gambar 7. Frekuensi jenis lamun

Frekuensi yang tinggi dari Thalassia hemprichii di stasiun lamun miskin tidak diikuti dengan penutupan yang tinggi pada stasiun tersebut. Hal ini dikarenakan

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

Sehat Kurang Sehat Miskin

F

re

k

uens

i

(29)

Thalassia hemprichii ditemukan dalam ukuran yang masih kecil, sehingga penutupan dari spesies ini kurang optimal meskipun berada dalam jumlah kehadiran yang tinggi dibanding jenis lamun lainnya.

4.2.4. Indeks nilai penting lamun

Indeks nilai penting lamun adalah suatu gambaran bersarnya pengaruh atau dominansi suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Nilai INP dipengaruhi langsung oleh kerapatan, penutupan, dan frekuensi lamun (Gambar 8).

Gambar 8. Indeks nilai penting lamun

Nilai INP tertinggi pada tiga stasiun amatan berkisar antara 1,76-1,34 dari spesies Cymodocea rotundata. Biota iniberpengaruh besar bagi jenis lamun lainnya di tiga stasiun amatan, dicirikan dengan frekuensi jenis yang cukup tinggi pada wilayah intertidal stasiun pengamatan. Individu ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan yang cukup signifikan, seperti halnya fauna intertidal yang mampu bertahan terhadap kondisi pasang surut air. Karena kemampuan inilah morfologi Cymodocea rotundata terkadang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain yang karakteristik lingkungannya berbeda. Kelemahan dari biota ini adalah ketidakcocokan untuk hidup di daerah dengan ketinggian air saat surut yang sangat rendah mendekati kering (www.Encyclopedia of Life.com). Thalassia hemprichii seringkali ditemukan bersama dengan Cymodocea rotundata di wilayah yang dekat dengan terumbu karang, seperti dipaparkan oleh Dwintasari (2009) dalam penelitiannya di Pulau Pramuka dan Kiswara et al. (1994) di wilayah Bali dan Lombok.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00

Sehat Kurang sehat Miskin

INP

(30)

4.2.5. Biomassa lamun

Biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan kerapatan lamun. Pengamatan biomassa lamun terdiri dari dua jenis, berat basah dan berat kering. Setiap bagian pengamatan dipisahkan menjadi 3 bagian yakni akar, batang, dan daun. Hasil pengamatan tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5. Biomassa lamun

Lokasi Berat Basah (g/m2) Berat Kering (g/m2)

akar batang daun akar batang daun

Berdasarkan hasil pengamatan berat basah, nilai tertinggi pada ketiga stasiun didominasi oleh bagian batang. Biomassa batang lebih berat dikarenakan batang/rizoma digunakan sebagai tempat menyimpan hasil fotosintesis dan unsur hara. Selisih biomassa di tiga lokasi berbeda tersaji pada Gambar 9

Gambar 9. Persentase selisih biomassa akar Lamun Kurang Sehat

(31)

Biomassa lamun di bawah substrat yang lebih besar daripada biomassa lamun di atas substrat juga dikarenakan lamun banyak menyerap nutrien dari dasar perairan dibandingkan dengan kolom perairan. Berbeda dengan biomassa, produksi lamun di bawah substrat lebih kecil jika dibandingkan dengan produksi lamun di atas substrat. Biomassa dan produksi lamun dipengaruhi oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al. 1997). Selain itu, biomassa dan produksi lamun tergantung pada spesies dan kondisi fisika perairan seperti kecerahan, sirkulasi, kedalaman, suhu, dan angin.

4.3. Kondisi Ikan

4.3.1. Kelimpahan secara spasial dan temporal

Ikan merupakan salah satu fauna yang berasosiasi langsung dengan padang lamun. Kepadatan lamun yang tinggi menyokong tingginya kelimpahan ikan dan biomassanya. Keterkaitan kondisi lamun dan ikan tersaji dalam Gambar 10.

Gambar 10. Jumlah Spesies Ikan

Grafik di atas menggambarkan pengaruh kondisi lamun yang terhadap keragaman ikan. Jumlah spesies yang tertinggi ditemukan pada stasiun pengamatan dengan kondisi sehat. Jumlah spesies pada lamun sehat sebanyak 24 spesies di siang hari dan 18 spesies di malam hari. Perbedaan jumlah spesies ikan di siang hari dan malam hari dikarenakan pergerakan yang dilakukan oleh ikan-ikan peruaya tak menentu, dari dan ke dalam padang lamun. Beragamnya spesies ikan pada lamun dengan kondisi sehat dikarenakan kepadatan dan penutupan lamun yang mendukung bagi kehidupan ikan.

24

18 20

18 21

14

0 5 10 15 20 25 30

siang malam

Juml

ah

s

pe

sies

(32)

Jumlah spesies ikan pada lamun miskin di siang hari sebanyak 21 spesies, lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi spesies di lamun kurang sehat. Pada siang hari kedalaman air di lamun miskin lebih dangkal, sehingga ikan yang berukuran kecil dan menjadi mangsa dari ikan besar masuk ke dalam wilayah ini untuk menghindari pemangsaan yang dilakukan oleh predator berukuran besar. Ketinggian air yang surut di siang hari menyulitkan predator besar untuk masuk ke dalam perairan dangkal (Unsworth et al. 2007). Selain itu, penutupan lamun yang rendah memudahkan hewan diurnal berukuran kecil untuk mencari makan dibandingkan dengan stasiun dengan kondisi sedang yang terlindung oleh daun lamun. Ikan yang hanya ditemukan di siang hari adalah

Berlainan dengan siang hari, pada malam hari jumlah spesies di lamun kurang sehat lebih banyak daripada lamun miskin. Ikan-ikan berukuran relatif kecil menjelang malam akan berpindah dari tempat yang tidak terlindung menuju ke tempat yang lebih terlindung. Ruaya ikan kecil di malam hari bertujuan untuk menghindari predasi dari hewan nokturnal bersifat karnivor. Predator-predator di malam hari bergerak masuk menuju wilayah dangkal di malam hari saat air pasang atau permukaan air menjadi lebih tinggi. Spesies yang aktif dan hanya ditemukan di malam hari meliputi Aetobatus narinari, Apogon fuscus, dan Apogon kallopterus. Selain predasi, penurunan jumlah spesies pada siang ke malam hari karena adanya ikan-ikan yang bukan merupakan penghuni tetap dari lamun. Adanya perpindahan/pergerakan dari dan ke dalam lamun dapat dilihat dari Gambar 11 .

Gambar 11. Jumlah total individu

2018

269

293 254

839

50 0

500 1000 1500 2000 2500

siang malam

Juml

ah

indi

vidu

(33)

Lamun dengan kondisi sehat merupakan habitat yang banyak dipilih oleh biota air. Jumlah ikan yang ada di lamun sehat lebih banyak daripada yang ada pada lamun dengan kondisi kurang sehat dan miskin. Jumlah individu yang didapatkan di lamun dengan kondisi sehat sebanyak 2018 individu pada waktu penangkapan siang hari, dan 269 individu pada waktu penangkapan malam hari. Ikan-ikan hasil tangkapan di siang hari pada lamun dengan kondisi sehat didominasi oleh ikan planktivor, omnivor, dan karnivor kecil. Sedangkan pada malam hari ikan yang tertangkap adalah planktivor dan karnivor berukuran agak besar

Pada malam hari, jumlah individu yang tertangkap di lamun gundul relatif sedikit, hal ini dikarenakan penutupan lamun yang minim. Sebanyak 50 individu ikan ditemukan dan didominasi golongan karnivora. Peluang predasi pada lamun dengan kondisi miskin di malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya. Pada malam hari, kedalaman air selama pengambilan contoh cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan siang hari. Keadaan ini membuat ikan nokturnal yang biasanya hidup pada kedalaman air yang lebih dalam leluasa untuk mencari makan di padang lamun, khususnya dengan kondisi penutupan minim. Hasil pengamatan ini menguatkan fungsi lamun sebagai tempat perlindungan (nursery ground) bagi ikan berukuran kecil yang cenderung memilih lamun agar dapat bersembunyi dari predator (Dollar 1991) serta tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan karnivor (Unsworth et al. 2007).

4.3.2. Komposisi ukuran ikan per stasiun

Ikan yang tertangkap pada setiap stasiun berasal dari ukuran yang berbeda dan fase hidup yang berbeda. Komposisi ukuran didominasi oleh ikan juvenil dan pra dewasa. Hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hajisamae et al. (2006) di perairan dangkal semi tertutup pesisir pantai bagian selatan Teluk Thailand.

(34)

Gambar 12. Komposisi ukuran ikan

Ikan pra dewasa yang banyak ditemukan dalam padang lamun sehat didominasi oleh famili Atherinidae, Labridae, dan Apogonidae. Sedangkan pada lamun kurang sehat ukuran juvenil dan pra dewasa didominasi oleh famili Gerreidae, Nemipteridae, dan Atherinidae.

Juvenil ikan yang banyak ditemukan pada lamun adalah Hypoatherina temminckii dan Gerres oyena. Juvenil dari kedua spesies ini ditemukan dalam kondisi bergerombol. Spesies lain yang ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil berasal dari famili Lethrinidae, Apogonidae, dan Labridae. Juvenil ditemukan di pagi hari dalam kondisi perairan dengan suhu yang relatif rendah, intensitas penyinaran yang rendah, dan pH netral.

Ikan juvenil dan pra dewasa menjadikan padang lamun sebagai wilayah perlindungan dan mencari makan. Penutupan daun lamun digunakan sebagai alat untuk bersembunyi dari predator dan sengatan matahari. Sedangkan penempelan

Juvenil 30%

Pra Dewasa

53% Dewasa

17%

Lamun Sehat

Juvenil 2%

Pra Dewasa

89% Dewasa

9%

Lamun Kurang Sehat

Juvenil 12%

Pra Dewasa

79% Dewasa

9%

(35)

epifit berupa Protozoa, Nematoda, Poliketa, Rotifera, dan Kopepoda pada daun lamun dimanfaatkan sebagai makanan untuk stadia juvenil dan pra dewasa dengan bukaan mulut yang masih kecil.

4.3.3. Bobot total ikan hasil tangkapan

Selain jumlah jenis dan kelimpahan individu, perbedaan kondisi lamun dan juga waktu (siang-malam) berpengaruh pada biomassa ikan di dalamnya. Perbedaan biomassa ikan tersaji di Gambar 13.

Gambar 13. Total Biomassa Ikan

Bobot ikan hasil tangkapan di siang hari yang tertinggi berasal dari lamun kondisi sehat, dengan jumlah berat basah total senilai 8947,6 gram. Sedangkan bobot ikan hasil tangkapan di malam hari yang tertinggi didapat dari lamun kondisi kurang sehat dengan berat total 7717,6 gram.

Pada siang hari ikan berlindung dan mencari makan di dalam lamun sehat, khususnya ikan yang bersifat herbivora dan omnivora. Sehingga bobot total di siang hari terkonsentrasi di stasiun ini. Sumbangan bobot terbesar dalam stasiun ini diperoleh dari spesies Hypoatherina temmincki. Spesies ini masuk ke dalam padang lamun secara bergerombol dalam suatu waktu tertentu. Keberadaan Hypoatherina temmincki dipengaruhi oleh arus dan pasang surut permukaan perairan (sea level-rise) .

Pada malam hari, ikan-ikan nokturnal melakukan pergerakan untuk mencari makan dan menyebar pada keseluruhan stasiun pengamatan. Ikan-ikan karnivora

0

Lamun Sehat Lamun kurang sehat Lamun miskin

(36)

berukuran besar yang mendominasi bobot total di malam hari terdiri dari famili Belonidae, Myliobatidae, dan Dasyatidae. Famili Myliobatidae tidak ditemukan di siang hari karena hewan ini diduga bersifat nokturnal. Sedangkan famili Dasyatidae dan Belonidae pada siang hari ditemukan dalam jumlah yang minim dan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan malam hari. Lamun dengan kondisi kurang sehat dan miskin cenderung dipilih ketiga karnivora berukuran besar ini karena kemudahan dalam mencari makanan di stasiun yang penutupan lamunnya lebih kecil. Karnivora yang lebih kecil seperti Apogon fuscus dan Lethrinus obsoletus memilih padang lamun sehat sebagai feeding ground di malam hari.

4.3.3. Komposisi per-sampling

Komposisi famili ikan hasil tangkapan selama periode penelitian pada setiap waktu dan lokasi pengamatan disajikan dalam Gambar 14-17. Pada sampling pertama (Gambar 14), kelimpahan ikan tertinggi didapat dari lamun dengan kondisi sehat. Total kelimpahan pada sampling pertama di lokasi ini mencapai 68 individu di siang hari dan 67 individu di malam hari. Kelimpahan di tiga stasiun didominasi famili Atherinidae, spesies Hypoatherina temminckii dengan ukuran 5,5-9,3 cm.

Berdasarkan hasil sampling pertama, famili yang hidup tergantung pada lamun adalah Sigannidae, Labridae, dan Scaridae. Ketiga famili ini hanya ditemukan pada stasiun dengan kondisi penutupan yang baik. Famili ini memanfaatkan lamun sebagai makanan langsung ataupun fauna yang menempel pada daun lamun.

Pada sampling kedua (Gambar 15), kelimpahan individu tertinggi pada siang dan malam hari diperoleh dari padang lamun dengan kondisi sehat. Kelimpahan yang diperoleh sebanyak 241 individu dari 11 famili di siang hari, dan 53 individu dari 4 famili di malam hari. Kelimpahan tertinggi di siang hari berasal dari famili Gerreidae, Nemipteridae, dan Lethrinidae yang merupakan golongan karnivor. Pada malam hari famili yang banyak ditemukan adalah Atherinidae dan Lethrinidae.

(37)

Famili

(38)

Hasil pengambilan contoh pada periode kedua tersaji di Gambar 15.

rreidaeLabridaeLethrinidaeTerapontidae Mo

(39)

Hasil tangkapan yang diperoleh dari sampling ketiga tersaji dalam Gambar 16.

(40)

Berdasarkan hasil tangkapan per sampling-3, famili Atherinidae menempati angka kelimpahan individu terbesar. Kelimpahan famili Atherinidae pada lamun sehat sebanyak 1675 individu dan 472 individu pada lamun gundul di siang hari. Famili Atherinidae tidak ditemukan di lamun sedang di siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah yang terbatas pada malam hari.

Famili Atherinidae tidak ditemukan dalam padang lamun kondisi sedang di siang hari dikarenakan letak lokasi pengamatan yang lebih jauh dari rataan terumbu. Hypoatherina temminckii ditemukan dalam jumlah yang besar pada saat yang bersamaan dengan munculnya arus pasang dan surut. Penangkapan di siang hari terjadi saat permukaan air baru mulai naik, sehingga ikan Hypoatherina temminckii bergerak ke daerah yang lebih dangkal dan kaya makanan namun belum tersebar ke wilayah yang lebih jauh dari stasiun sehat dan miskin.

Selain famili Atherinidae, pada stasiun pengamatan juga dijumpai ikan dari famili Labridae dan Apogonidae dalam jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan famili lainnya. Famili Dasyatidae spesies Taeniura lymma bisa ditemukan di siang dan malam hari pada kondisi habitat yang berbeda. Pada malam hari spesies ini cenderung bergerak ke wilayah lamun dengan penutupan daun lebih rendah.

Famili Dasyatidae merupakan karnivora pemakan ikan-ikan berukuran lebih kecil serta krustase yang berada di dasar perairan (benthic crustaceae). Posisi mulut yang menghadap dasar perairan merupakan bentuk adaptasi yang dimiliki oleh famili ini. Dasyatidae akan lebih mudah mencari makan pada daerah yang memiliki persen penutupan lamun yang lebih rendah. Oleh karena, itu Dasyatidae banyak ditemukan pada padang lamun dengan kondisi kurang sehat.

(41)

Famili

(42)

4.3.5. Keanaekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (D)

Indeks keanekaragaman ditentukan oleh jumlah individu setiap jenis ikan dan total individu semua jenis ikan. Nilai ini menunjukkan tingkat kerentanan dan kestabilan ekosistem. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Ikan.

indeks L. Sehat L. Kurang Sehat L. Miskin

siang malam siang malam siang malam

H' 0,3082 1,2841 2,3256 1,0690 0,9563 2,0978

E 0,0970 0,4443 0,7763 0,3698 0,3141 0,7949

C 0,9129 0,4035 0,1363 0,6021 0,6206 0,1840

Indeks keanekaragaman tertinggi senilai 2,3256 diperoleh dari padang lamun kondisi kurang sehat di siang hari. Nilai dominansi pada stasiun ini cenderung rendah, sehingga kondisi ekosistem relatif stabil dan tekanan ekologis minim.

Nilai keanekaragaman terkecil diperoleh dari padang lamun kategori sehat, sebesar 0,3082. Nilai keanekaragaman yang kecil pada habitat ini dikarenakan perbedaan jumlah individu per spesies yang tinggi. Kehadiran Hypoatherina temminckii yang melimpahditunjukan dengan indeks dominansi yang mendekati 1.

Perbedaan waktu penangkapan menghasilkan perubahan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi pada tiap stasiun pengamatan. Perubahan ini diakibatkan adanya pergerakan dari ikan-ikan penghuni berkala dan ikan nokturnal. Selain itu jumlah kelimpahan per spesies di malam hari tidak berbeda signifikan. Pada malam hari, ikan-ikan menyebar ke semua stasiun pengamatan dengan tujuan mencari makan ataupun bersembunyi.

4.3.6. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii

(43)

Selang kelas (cm)

(44)

4.3.7. Kebiasaan Makanan Ikan

Analisis kebiasaan makan ditujukan untuk mengetahui variasi makanan dari ikan di lamun tersaji dalam Gambar 19.

Gambar 19. Presentase makanan Hypoathernia temminckii

Pengamatan dilakukan terhadap ikan dengan kelimpahan yang paling banyak yaitu ikan dari famili Atherinidae dan Apogonidae. Dilihat dari komposisi isi ususnya, ikan Hypoatherina temminckii cenderung bersifat planktivor, sesuai dengan hasil penelitian Unger and Lewis (1983). Komposisi isi usus Hypoatherina temminckii terbanyak adalah Rhizosolenia dan Coscinodiscus.

Sementara itu isi usus Apogon fuscus hanya berisi Crustaceae dengan ukuran mikroskopik. Crustaceae merupakan makanan utama Apogon fuscus. Crustaceae berada dalam jumlah yang melimpah di lamun, karena tidak ditemukan lagi jenis hewan lain dalam usus ikan ini. Apogon dikategorikan sebagai ikan nokturnal yang bersifat karnivor. Berdasarkan jumlah kehadiran dan hasil kebiasaan makan Apogon fuscus, padang lamun diindikasikan sebagai wilayah pencarian makan bagi ikan ini.

4.4. Hubungan Keterkaitan Lamun dengan Ikan 4.4.1. Korelasi Pearson

Perbedaan kondisi habitat berupa kerapatan dan biomassa lamun berpengaruh terhadap kelimpahan individu, kelimpahan spesies dan biomassa ikan di dalamnya. Hubungan keterkaitan antara keduanya tersaji dalam Tabel 7-8.

Tabel 7. Korelasi biomassa lamun terhadap ikan

Kelimpahan individu Kelimpahan spesies

Biomassa lamun r = 0,95 P-Value = 0,2 r = 0,93 P-Value = 0,23 Coscinodisc

us 0.24

Krustase 0.02 Rhizosolenia

(45)

Berdasarkan analisa statistik Pearson, biomassa lamun berkorelasi positif terhadap kondisi ikan di dalamnya. Menurut Azkab (2000), pengaruh biomassa lamun terhadap kelimpahan ikan akan terlihat lebih jelas daripada pengaruh biomassa lamun terhadap biomassa ikan. Biomassa yang merupakan fungsi dari morfologi dan kerapatan lamun terlihat sangat mempengaruhi kelimpahan individu dan kelimpahan spesies ikan. Semakin besar biomassa, semakin banyak ruang yang disediakan ekosistem ini untuk penempelan biota epifit maupun perlindungan ikan dari predator dan sengatan matahari. Banyaknya mikro dan makrofauna selain ikan menjadi daya tarik bagi ikan-ikan untuk masuk ke dalam habitat ini karena beragamnya makanan yang disediakan dari lamun dengan kondisi biomassa yang tinggi.

Tabel 8. Korelasi kerapatan lamun terhadap ikan

Biomassa ikan Kelimpahan individu Kelimpahan spesies

Kerapatan lamun

r = 0,54 P-Value = 0,63

r = 0,79 P-Value = 0,41

r = 0,76 P-Value = 0,44

Nilai korelasi yang didapatkan dari hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan individu dan spesies ikan yang sangat erat dicirikan nilai (r) > 0,7. Hubungan antara kerapatan lamun dengan jumlah individu dan jumlah spesies berkorelasi positif. Tingginya kerapatan lamun akan menghasilkan jumlah individu dan jumlah spesies ikan yang tinggi. Lamun yang rapat memungkinkan aktivitas makan dari golongan herbivor, planktivor, dan juga pemakan epifit. Lamun yang rapat juga menghasilkan sumbangan nutrien dan detritus yang tinggi pada ekosistem sekitarnya seperti terumbu karang.

Selain faktor makanan, beberapa ikan menggunakan lamun sebagai wilayah pemijahan (spawning ground). Fungsi lamun sebagai wilayah spawning ground ditunjukan oleh kehadiran ikan hasil tangkapan yang berukuran lebih besar dan matang secara gonad, yakni Lutjanus ehrenbergii, Tylosurus gavialoides, dan Aetobatus narinari. Ketiga spesies ini hanya bisa ditemukan di malam hari.

4.4.2. Indeks kesamaan sorensen

(46)

seluruh stasiun pengamatan berdasarkan jumlah stasiun yang ada spesies ikan tertentu. Dengan kata lain, anggota spesies yang terbentuk dalam suatu kelompok memiliki kesamaan pemilihan habitat lamun.

4.4.3. Indeks konstansi (Cij), indeks fidelitas (Fij)

Hasil pengelompokan spesies ikan dengan Indeks Sorensen digunakan untuk mengetahui tingkat kekonstanan dan preferensi suatu kelompok spesies untuk berada pada kondisi habitat tertentu. Kekonstanan kelompok spesies tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Indeks Konstansi (Cij) kelompok spesies ikan terhadap habitat

Kelompok Spesies

Habitat

Sehat Kurang

sehat Miskin

1 Apogon crassipiens, Apogon cyanosoma, Apogon fuscus, Cheilodipterus quinquelineatus, Hypoatherina temminckii, Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma, Gerres oyena, Choerodon anchorago, Halichoeres argus, Halichoeres chloropterus, Lethrinus lentjan, Lethrinus obsoletus, Acreichthys tomentosus, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus, Scarus dimidiatus, Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Sphyraena obtusata, Pelates quadrilineatus.

1 0,85 1

2 Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus dactyliophorus, Congridae

0 0 1

3 Halichoeres scapularis, Lethrinus harak 0 1 1

4 Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus 0 1 0 5 Lutjanus ehrenbergii, Aetobatus narinari,

Scolopsis margaritiferus, Scarus ghobban

1 1 0

6 Apogon kallopterus, Apogon

margaritiphorus, Hemirhampus far, Chrysiptera hemicyanea, Syngnathoides biaculeatus

1 0 0

(47)

Kelompok spesies 1 merupakan kelompok spesies yang memiliki tingkat kekonstanan yang tinggi (Cij = 1) pada ketiga habitat. Indeks konstansi kelompok 1

pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,85-1. Kelompok ini terdiri dari 21 anggota spesies yang bisa ditemukan pada ketiga stasiun pengamatan. Anggota spesies kelompok ini meliputi Apogon crassipiens, Cheilodipterus quinquelineatus, Gerres oyena, Choerodon anchorago, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan, Acreichthys tomentosus dan Hypoatherina temminckii. Spesies ini ditemukan dalam jumlah dan frekuensi kehadiran yang cukup tinggi pada ketiga habitat. Indeks kekonstanan kelompok yang tinggi terhadap ketiga stasiun menandakan bahwa kelompok spesies ini merupakan kelompok spesies yang bersifat dinamis, atau mampu melakukan perpindahan antar stasiun dengan tujuan tertentu dari masing-masing spesiesnya.

Kelompok yang memiliki kekonstanan tinggi pada habitat lamun sehat adalah kelompok 5 dan 6. Kelompok spesies 5 beranggotakan biota berukuran besar yang berada pada lamun sehat hanya di siang atau malam hari. Spesies dari kelompok 5 merupakan bukan penghuni tetap lamun, melainkan penghuni berkala atau jenis peruaya yang tiap hari bergerak masuk dan keluar padang lamun. Sementara kelompok 6 beranggotakan spesies yang sangat tergantung dengan penutupan lamun yang tinggi. Beberapa spesies dari kelompok ini merupakan penghuni tetap lamun, seperti Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, dan Syngnathoides biaculeatus. Angota spesies kelompok 5 dan 6 yang aktif pada malam hari meliputi Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Aetobatus narinari dan Lutjanus ehrenbergii. Sedangkan spesies dari kedua kelompok ini yang aktif di siang hari adalah Scarus ghobban dan Chrysiptera hemicyanea.

Gambar

Gambar 9. Persentase selisih biomassa
Gambar 10. Jumlah Spesies Ikan
Gambar 12. Komposisi ukuran ikan
Gambar 14. Hasil sampling 1 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan dengan pemberian

Saluran primer adalah saluran utama dari jaringan irigasi tambak yang berfungsi untuk pemberi atau pembuang.. Saluran sekunder adalah cabang utama dari

Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan klien

seperti melakukan suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan menjaga lingkungan, memberikan beasiswa untuk anak tidak mampu di daerah tersebut,

akan datang kembali ke bumi untuk melawan Dajjal dan kehadirannya merupakan salah satu tanda-tanda dekatnya hari kiamat... Yajuj dan Majuj ini adalah mengenai sekelompok

Aktifitas olahraga merupakan hal yang sangat penting guna menunjang prestasi olahraga adalah seberapa besar tingkat kebugaran jasmani yang dimiliki oleh seorang

Berdasarkan dari hasil tes tingkat kondisi fisik dan kebugaran jasmani anggota UKM Ju- Jitsu Dojo Universitas Negeri Surabaya dapat di simpulkan bahwa yang berjenis

Berdasarkan hasil penelitian tentang Pengaruh Penambahan Egg White Powder terhadap Kualitas Gel Surimi pada Beberapa Jenis Ikan Air Laut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa