KAJIAN HISTOPATOLOGI DAN IMUNOLOGI AYAM PEDAGING
YANG DIVAKSIN NEWCASTLE DISEASE STRAIN LA SOTA DAN
DITANTANG DENGAN VIRUS NEWCASTLE DISEASE STRAIN
VELOGENIK INDONESIA (VND/Tasik/M13/2009)
NURYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Histopatologi dan
Imunologi Ayam Pedaging yang divaksin Newcastle Disease strain La Sota dan ditantang
dengan Virus Newcastle Disease strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) adalah
benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun.
Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
oleh penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
ABSTRACT
NURYANTO. Histopathology and Immunology Studies of Broiler Obtained La Sota Strain of Newcastle Disease Vaccine that Being Challenged with the Velogenic Indonesian Strain
Newcastle Disease Virus (VND/Tasik/M13/2009). Under the supervision of AGUS SETIYONO and EKOWATI HANDHARYANI
Newcastle Disease (ND) is a highly contagious and very virulent avian disease in all age of poultry. The aims of this study were to investigate the protective level of antibody, clinical signs, histopathology, and immunohistochemistry analyses of selected internal organs of broiler which obtained La Sota Strain of ND Vaccine and then being challenged with local strain of velogenic ND virus. Eighty birds used and divided into 4 groups @ 20 birds. The treatment birds were vaccinated with live and killed ND vaccine on 4th days old. Two groups were challenged at 25th days of age intramuscularly with 104 EID50 /0.1 ml/bird of
velogenic virulent ND virus. Sera were collected at 1, 18, 22, 28, 30, and 32 days of age. Three birds from each group were examined for protective antibody level using Hemaglutination inhibition (HI) test and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) at 3, 5, and 7 days post inoculation with virulent ND virus. The HI test result at 28th and 32nd days old showed that antibody level of birds obtained vaccination and followed by virus challenging were higher than those the vaccinated birds but not be challenged. The unvaccinated group showed clinical signs such as anorexia, sleepy, weakness, greenish diarrhea, and death on 3rd days onward after infection. Histopathological lesions indicated hyperemia, haemorrhages, hyperplasia, mononuclear cells infiltration, oedema, and necrosis of proventriculus and intestines. Neuronal necrosis, gliosis, vasculitis, perivascular infiltration with mononuclear cells, and endothelial hypertrophy were also observed in the brain. Immunohistochemically, ND virus antigen was detected in the endothelial cells of brain, lung, kidney, and cryptae of duodenum, but negative immunoreactivities in proventriculus. All unvaccinated birds and then challenged with ND virus were died within 7 days post challenge.
RINGKASAN
NURYANTO. Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam pedaging yang Divaksin Newcastle Disease Strain La Sota dan Ditantang dengan Virus Newcastle Disease Strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009). Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan EKOWATI
HANDHARYANI
Newcastle disease (ND) merupakan penyakit unggas dan sangat menular yang menyerang unggas berbagai umur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat protektivitas, gejala klinis dan histopatologi; dengan metode imunohistokimia pada beberapa organ interna pada ayam pedaging yang divaksinasi dengan vaksin ND strain La Sota dan ditantang dengan virus ND strain velogenik Indonesia. Delapan puluh ekor ayam dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 ekor. Dua kelompok ditantang pada umur 25 hari secara intra muskular virus ND velogenik lapangan dengan dosis 104 EID50/0.1
ml/ekor. Kelompok perlakuan divaksinasi dengan vaksin live dan killed strain La Sota pada umur 4 hari. Serum diambil pada hari 1, 18, 22, 28, 30 dan 32 hari. Tiga ekor ayam dari masing-masing kelompok dievaluasi tingkat kekebalan dengan metode HI dan ELISA. Paru-paru, proventrikulus, usus, ginjal dan otak dievaluasi secara histopatologi pada 3, 5 dan 7 hari pasca infeksi, dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia. Hasil menunjukkan bahwa titer antibodi dengan uji HI pada kelompok yang divaksinasi dan ditantang mempunyai tingkat kekebalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang divaksinasi tidak ditantang pada 3 dan 7 hari pasca infeksi. Kelompok yang tidak divaksinasi menunjukkan gejala klinis berupa anoreksia, lemah, diare hijau keputihan serta kematian mulai 3 hari pasca infeksi. Lesi histopatologi yang diperoleh berupa hiperemi, hemoragi, hiperplasia, infiltrasi sel radang mononuklear, edema serta nekrosis pada proventrikulus dan duodenum. Nekrosis neuron, gliosis, vaskulitis, perivascular cuffing dengan sel mononuklear dan hipertrofi endotel juga ditemukan pada otak. Pemeriksaan imunohistokimia mampu mendeteksi antigen virus NDV pada otak, paru-paru, ginjal, dan kripta duodenum tetapi tidak ditemukan di proventrikulus.Semua unggas kontrol yang tidak divaksinasi dan ditantang, mati pada 7 hari pasca uji tantang.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam pedaging yang Divaksin
Newcastle Disease Strain La Sota dan Ditantang dengan Virus Newcastle
Disease Strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009)
Nama : Nuryanto
NRP : B-351100011/IBH
Mayor : Ilmu Biomedis Hewan
Disetujui, Komisi Pembimbing
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Biomedis Hewan,
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Histopatologi dan
Imunologi Ayam Pedaging yang divaksin Newcastle Disease strain La Sota dan ditantang
dengan Virus Newcastle Disease strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) ini
dilaksanakan sejak Juni 2011 hingga Januari 2012.
Dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dorongan, bantuan dan bimbingan dari
semua pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak drh. H.
Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu drh. Ekowati
Handharyani, MS, Ph.D, APVet selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan saran serta bimbingan selama pelaksanaan
penelitian dan penulisan. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Effendy Kusmawijaya selaku pimpinan Satwa Utama Group yang telah memberikan
kesempatan berharga kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan Program Magister,
serta Bapak Jonas Jahja dan Bapak Peter Yan sebagai pimpinan PT Medion yang banyak
memberikan support dan bantuan fasilitas selama penelitian. Penulis sampaikan terima kasih
kepada seluruh staf Research and Development PT Medion, dosen dan tenaga kependidikan
Bagian Patologi FKH IPB serta seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana
Mayor Ilmu Biomedis Hewan dan Biologi Reproduksi. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Teguh Prajitno, Ph.D atas diskusi dan masukan selama penulisan.
Ungkapan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua, istri serta seluruh
keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2012
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 23 November 1976. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Prawira Sumarta dan
Ibu Sumirah.
Penulis menyelesaikan pendidikan SMA tahun 1994 di SMA Taman Madya Ibu
Pawiyatan Tamansiswa, Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2001 penulis
menyelesaikan program profesi di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program
magister pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tahun 1997 hingga 1998 penulis pernah bekerja di PT Kertanegara Group di
Jogjakarta. Sejak tahun 2001 penulis bekerja di PT. Agrinusa Unggul Jaya hingga tahun 2002
dan setelahnya bekerja di Satwa Utama Group hingga saat ini. Penulis saat ini anggota
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Perhimpunan Dokter Hewan
DAFTAR ISI
Halaman
KESIMPULAN ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Beberapa contoh strain virus yang dipakai sebagai seed vaksin aktif ... 14
2 Contoh aplikasi program vaksinasi ND pada ayam broiler ... 14
3 Data perbandingan titer antibodi (GMT) ND dengan HI test dan ELISA ... 24
4 Data rerata feed intake (FI), body weight (BW) dan FCR
(Feed Conversion Rate) ayam broiler per minggu tiap kelompok ... 29
5 Pengamatan gejala klinis yang muncul per hari pasca uji tantang tiap
kelompok ... 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambar penampang virus ND yang mengandung protein F dan HN ….. 5
2 Siklus hidup virus ND dan tahapan infeksi virus ND ke dalam
sel hospes ……….. 6
3 Grafik perbandingan pola titer antibodi pada pengujian dengan
metoda HI dan ELISA ……… 26
4 Hasil karakterisasi protein dengan SDS PAGE dan Western Blot 27
5 Gejala klinis ayam kelompok K2 ………. 33
6 Perubahan Patologi Anatomi organ kelompok K2 yang ditantang
dengan virus velogenik isolat lokal ……….. 34
7 Perubahan histopatologi proventrikulus dengan pewarnaan HE ………. 36
8 Perubahan histopatologi duodenum dan otak dengan pewarnaan HE … 37
9 Perubahan histopatologi duodenum dengan pewarnaan
Imunohistokimia ……….. 40
10 Perubahan histopatologi paru-paru, ginjal dan otak dengan pewarnaan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Newcastle Disease (ND) adalah penyakit viral yang sangat menular dan menyerang
unggas segala umur. Virus ND menyebabkan penyakit pada lebih dari 250 jenis unggas dan
endemik di banyak negara. Spesies yang biasa terinfeksi antara lain ayam, kalkun, merpati
dan bebek. Newcastle Disease bersifat zoonosis dan menyebabkan konjungtivitis pada
manusia (Alexander & Senne 2008). Nama Newcastle Disease pertama kali menjadi
perhatian internasional karena kejadian penyakit pertama kali dilaporkan di Jawa Barat,
Indonesia dan diidentifikasi oleh Prof. Kranevelt di laboratorium yang sekarang dikenal
sebagai Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor pada tahun 1926 dan di daerah
Newcastle, Inggris oleh Doyle tahun 1927. Nama Newcastle Disease sendiri baru digunakan
oleh Doyle setelah tahun 1935 (Samal 1997).
Di Inggris, ND dapat menyebabkan angka kematian unggas yang terkena lebih dari
90 %. Wabah ND terbaru di California, Nevada dan Texas, Amerika Serikat menyerang lebih
dari 3,4 juta ekor unggas dan memerlukan biaya lebih dari US $ 5 Milyar untuk pengendalian
penyakit. Kejadian lain di Australia, pada beberapa tahun terakhir ini juga membuat panik
kalangan industri perunggasan, karena dampak secara ekonomi sangat tinggi. Kerugian
berupa kematian, pengendalian penyakit serta penghentian import dari negara-negara yang
terserang wabah ND (Brown et al. 1999).
Kegagalan program vaksinasi di peternakan ayam (pembibitan, petelur dan pedaging)
menunjukkan frekuensi yang meningkat. Penampilan fenotip ayam akibat perbaikan genetika
secara progresif, akan menyebabkan peningkatan stress fisiologis dalam tubuh ayam (internal
physiological stress). Akibatnya respon imunitas terhadap program vaksinasi menurun dan
reaksi pasca vaksinasi (post reaction vaccination) terutama vaksinasi aktif akan meningkat.
Pemanasan global juga berperan dengan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan
secara signifikan, dimana suhu dan kelembaban menjadi sangat fluktuatif. Fluktuasi suhu
dan kelembaban yang tinggi menyebabkan perubahan kondisi fisiologi virus, stress eksternal
dan penurunan respon terhadap vaksinasi. (Hsiang-Jung Tsai et al. 2004).
Program vaksinasi yang pelaksanaannya sangat ketat, terutama di peternakan petelur
maupun pembibitan (breeding farm) dapat menjadi faktor predisposisi perubahan
karakterisasi virus ND di lapangan. Paramyxovirus tergolong dalam 1 serotipe, namun virus
kecepatan tinggi untuk bereplikasi pada tubuh ayam. Hidden immunosuppressive akibat
mikotoksikosis juga dapat menyebabkan penurunan respon terhadap vaksinasi (Henning et
al. 2008).
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penyangga produksi ternak ayam
pedaging nasional. Sentra produksi ternak ayam pedaging di Provinsi Jawa Barat antara lain
di Kabupaten Bogor dan Bandung disamping beberapa kabupaten yang lain seperti
Tasikmalaya, Ciamis, Purwakarta serta Subang. Sebagai sentra produksi peternakan, maka
provinsi Jawa Barat bertanggung jawab terhadap penyediaan hasil produksi yang sehat dan
aman untuk dikonsumsi. Kesehatan ayam yang terjaga menjadi kunci dari hal tersebut.
Banyak kasus-kasus penyakit menular pada unggas yang studi kasusnya dilakukan di Jawa
Barat. Upaya pemantauan penyakit, pencegahan serta penanganan dilakukan untuk tujuan
yang lebih luas. Sebagai pendukung maka sistem produksi, sistem pemeliharaan serta
sistem pemasarannya akan sangat menentukan kualitas hasil produk yang sampai ke
konsumen.
Merebaknya kasus ND selama dua tahun terakhir ini sangat mengagetkan kalangan
praktisi perunggasan, karena selama ini vaksin yang ada dianggap cukup protektif melindungi
ayam, pada kenyataannya banyak peternakan mulai dari sektor peternakan komersial hingga
peternakan pembibitan terserang ND. Kejadian ini sangat mempengaruhi jumlah day old
chick (DOC) yang dihasilkan hingga menjadi sangat berkurang dan berimbas pada harga
DOC yang membumbung tinggi. Di sisi lain pemeliharaan di peternakan komersial yang
terindikasi ND meningkat angka mortalitasnya hingga penurunan kualitas produk yang
dihasilkan.
Berbagai jenis vaksin ND yang beredar di Jawa Barat baik yang berasal dari produsen
lokal maupun import mengklaim bahwa jenis vaksin yang digunakan adalah yang paling
tepat. Pemanasan global (global warming) serta perubahan micro environment yang terjadi
pada individu ayam menyebabkan variasi hasil dalam pelaksanannya. Penggunaan teknologi
sequencing maupun antibodi monoklonal berhasil menunjukkan variasi genetik virus ND di
lapangan dan dapat dibuat phylogenetic tree untuk melihat kekerabatan isolat virus tersebut
(Alexander & Senne 2008).
Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kualitas kesehatan produk yang
dihasilkan akhir-akhir ini, membuat masyarakat menginginkan produk yang dikonsumsinya
aman serta menyehatkan. Studi khusus harus dilakukan untuk mengamati perubahan lesi
patologi maupun genetik virus ND dilapangan guna mengevaluasi daya perlindungan
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tingkat proteksi ayam yang divaksinasi strain La Sota dan ditantang
dengan isolat virus ND velogenik isolat lokal
2. Mengetahui perbedaan performa bobot badan, feed intake serta feed conversion rate
(FCR)
3. Mengetahui gejala klinis ayam pedaging yang ditantang dengan isolat virus ND
velogenik isolat lokal
4. Mengetahui perubahan patologi anatomi dan histopatologi organ otak, usus halus dan
proventrikulus ayam pedaging yang divaksin strain La Sota dan ditantang dengan
virus ND velogenik isolat lokal, diidentifikasi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin
(HE) dan imunohistokimia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi program
vaksinasi ND yang dilakukan di lapangan; dengan mengetahui relevansi dan daya protektif
vaksin terhadap isolat lapangan.
Kerangka Pemikiran
Beberapa kesamaan serologik telah dibuktikan antara virus ND dan serotipe
Paramyxovirus lainnya, yang paling mirip adalah PMV-3. Selama ini galur virus ND dan
berbagai isolatnya disimpulkan mempunyai grup serologik yang homogen dan kenyataan ini
dijadikan sebagai dasar pelaksanaan program vaksinasi pada ayam pedaging di berbagai
negara di dunia. Dengan asumsi tersebut, beberapa strain vaksin yang dipakai di lapangan
akan memberikan tingkat proteksi yang relatif baik dan sama dengan strain virus yang lain
(Henning et al. 2008).
Akhir-akhir ini praktisi perunggasan sering kali dihadapkan pada kasus ND di
lapangan baik di sektor komersial maupun breeding farm. Timbul pertanyaan mendasar,
apakah program vaksinasi yang selama ini dijalankan di lapangan masih relevan dan masih
memberikan proteksi yang cukup bagi ayam. Ada beberapa pertanyaan yang muncul sebagai
konsekuensi kejadian-kejadian ND di lapangan; yang pertama adalah kecocokan vaksin yang
digunakan dengan isolat lapangan. Yang kedua adalah kemungkinan telah terjadi perubahan
genetik virus ND di lapangan, sehingga berubah juga sifat antigenik dan virulensinya. Hal ini
semakin menarik setelah dikembangkannya antibodi monoklonal, maka dapat dibuktikan
dapat membedakan antar galur virus ND, tetapi juga antar subpopulasi dari virus tersebut. Uji
serologik dengan metode netralisasi virus ataupun Agar Gel Presipitasi (AGP) juga
menunjukkan adanya variasi yang bersifat minor dari isolat virus ND (Alexander &Senne
2008).
Hipotesis
Ayam yang divaksin dengan vaksin ND strain La Sota mampu melindungi ayam dari
TINJAUAN PUSTAKA
Newcastle Disease
Etiologi
Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit tetelo, pseudofowl pest, avian
distemper, avian pneumo encephalitis, pseudo poultry plague dan ranikhet disease. ND
merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang
melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta
burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi antara 80-100% (Alexander 1991).
Newcastle Disease disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae,
genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negatif,
panjangnya 15-16 kb dan mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter
13-18 nm (Fenner et al. 1995). Genom virus ND total berjumlah 16.000 nukleotida dan
menyimpan kode-kode genetik (codon) 6 buah protein penting dari partikel virus ND yaitu
L (large RNA-directed RNA polymerase), HN (hemaglutinin neuraminidase), F (fusion
protein), NP (nucleocapsid protein), P (phospoprotein), dan M (matrix) (Beard &Hanson
1984). Replikasi virus berlangsung di dalam sitoplasma sel inang (Alexander 1991). Masa
inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian infeksi oleh virus ND
terutama terjadi secara inhalasi (Alexander 1991).
Gambar 1 Gambar penampang virus ND, permukaan protein F (Fusion) dan HN (Hemaglutinin Neuraminidase) (Samal, 1997).
Pada penelitian karakteristik biologis virus ND, ternyata protein F0 (prekusor F
glycoprotein) dapat terpecah menjadi ‘trypsin-like enzyme’ yang dapat memediasi fusi antara
virus dengan membran sel inang target. Enzim ini membantu virus masuk ke dalam sel induk
semang tersebut (Samal 1997). Hal itulah yang menyebabkan protein F mempunyai peranan
infeksi terjadi. Bila membandingkan susunan asam amino protein F dan atau mencermati
hasil data perbandingan material genetik melalui ‘DNA sequencing’ antara virus La Sota
(strain lentogenik) dan isolat lapangan (strain velogenik) yang virulen tentu akan berbeda.
Protein HN berperan penting sebagai immunoprotective glycoprotein (immunogenic
determinant) yang merupakan antigen permukaan pada permukaan amplop partikel virus ND
(Samal 1997). Protein HN juga bertanggung jawab pada beberapa fungsi esensial partikel
virus ND dalam mekanisme infeksi antara lain :
1. Merupakan sisi perlekatan partikel virus dengan reseptor asam sialat pada sel induk
semang (attachment phase)
2. Bertindak sebagai fasilitator saat aktifitas fusi dari protein F terhadap membran sel
target induk semang (entry phase)
3. Bertanggung jawab untuk menghilangkan asam sialat pada saat terjadinya pelepasan
progeny partikel virus dari sel induk semang yang terinfeksi (release phase)
Gambar 2 Siklus hidup virus ND dan tahapan infeksi virus ND ke dalam sel hospes (Samal 1997).
Dengan demikian protein HN selain bertanggung jawab untuk menentukan sel tropisma dari
jaringan yang akan diinfeksi, juga berkontribusi untuk menentukan keganasan virus tersebut
(Feener 1995). Tekanan penggunaan vaksin ND yang sangat intensif dalam industri
perunggasan modern terbukti dapat mengakibatkan pergeseran codon pada material genetik
virus vvND di lapangan. Akibatnya terjadi perubahan manifestasi pada susunan asam amino
Sifat-sifat fisik virus ND antara lain virus ND mempunyai kemampuan untuk
mengaglutinasi dan melisiskan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu
mengaglutinasi eritrosit mamalia dan reptilia (Beard dan Hanson 1984). Virus ND bila
dipanaskan pada suhu 56°C akan kehilangan kemampuan untuk mengaglutinasi eritrosit,
karena protein HN (hemaglutinin) rusak, sehingga daya infeksi dan imunogenitasnya juga
menurun (Samal 1997).
Sebuah vaksin baru untuk ND pada unggas telah dikembangkan oleh Departemen
Pertanian AS (USDA) menggunakan teknologi reverse genetic, vaksin baru dibuat dari
bagian dari virus yang mirip dengan virus Newcastle Disease (NDV) tipe lapangan yang
beredar di lingkungan saat ini. Hal ini akan mengurangi angka kematian, gejala serta jumlah
penyebaran virus. Para peneliti menemukan bahwa teknologi reverse genetic memungkinkan
untuk menghasilkan vaksin baru dengan mempertukarkan gen dari vaksin asli dengan gen
serupa dengan virus yang beredar saat ini. Vaksin untuk ND kini digunakan secara luas pada
unggas komersial dan melindungi unggas yang divaksinasi dari penyakit (Aldous &
Alexander 2008).
Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis yang muncul secara umum meliputi gangguan pada sistem saraf,
sistem pernafasan, sistem gastrointestinal dan juga sistem reproduksi. Morbiditas biasanya
tinggi dan mortalitas bervariasi antara 0-100 %. Mortalitas yang lebih tinggi terlihat pada
bentuk yang velogenik pada ayam-ayam yang tidak divaksinasi (Calnek et al. 1997). Empat
manifestasi klinis ND menurut Beard dan Hanson (1984), diidentifikasikan sebagai berikut : Velogenic Viscerotropic ND (VVND) - kadang disebut tipe 'asiatic' atau eksotis. Jenis
ini sangat virulen untuk ayam, dan kurang virulen pada kalkun. Tipe ini menyebabkan
tanda-tanda gangguan pernafasan parah, penyebaran cepat dan menyebabkan
kematian sampai 90 %.
Neurotropik Velogenic ND (NVND) - bersifat akut dan fatal pada ayam segala usia,
menyebabkan gangguan neurologis dan gangguan pernafasan, serta adanya lesi pada
usus.
Mesogenic ND- menyebabkan kematian mendadak dan tanda-tanda gangguan syaraf
pada unggas dewasa. Virus ini kadang-kadang digunakan sebagai vaksin pada unggas.
Tipe ini menyebabkan batuk, mempengaruhi kualitas dan produksi telur serta
Lentogenic ND –bersifat ringan, kadang-kadang subklinis. Dapat mempengaruhi
hewan pada segala usia. Strain ini dapat dikembangkan sebagai vaksin, menghasilkan
tanda-tanda ringan dengan mortalitas diabaikan.
Tanda-tanda yang sangat bervariasi akan tergantung pada sifat dari virus yang
menginfeksi, dosis infektif dan tingkat imunitas dari paparan sebelumnya atau vaksinasi.
Gejala pertama biasanya terdiri dari gangguan pernapasan dan serak diikuti 1 atau 2 hari
berikutnya dengan kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher (Kommers et al. 2002). Pada
unggas dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan gangguan pernapasan serta
kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi. Tanda-tanda lain mencakup tanda-tanda
gangguan pernapasan (terengah-engah, batuk), tanda-tanda syaraf (depresi, tremor otot, sayap
terkulai, torsi kepala dan leher, berputar-putar serta kelumpuhan), pembengkakan jaringan
sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan, kualitas telur yang kasar atau tipis dan berisi
albumen encer serta produksi telur berkurang (Charlton 2006). Dalam kasus akut, kematian
sangat mendadak pada awal wabah, namun tanda-tanda gangguan pernafasan dan pencernaan
adalah ringan dan progresif, diikuti setelah 7 hari dengan gejala saraf khususnya tortikolis.
Penularan
Penyebaran ND secara umum bisa melalui kontak langsung dengan unggas yang
terinfeksi atau melalui sekresi khususnya tinja unggas yang terinfeksi, pakan yang
terkontaminasi, air, alat serta pakaian pekerja yang terkontaminasi (Charles 2000). Selain
itu juga bisa melalui aerosol (virus diekskresikan dalam pupuk dan bertiup keluar ke udara),
burung, fomites, serta pembawa lainnya. Secara umum penularan bersifat horizontal tapi
anak ayam dapat terinfeksi pada tempat penetasan yang tertular dari cangkang yang
terkontaminasi (Fenner et al. 1995). Pada suhu 23-29 ºC, APMV-1 mampu bertahan hidup
selama 10-14 hari, dan pada suhu 20 ºC mampu bertahan hingga 18 hari dalam tanah.
Patologi Anatomi dan Histopatologi
Beberapa lesi post-mortem antara lain : airsacculitis, tracheitis, nekrotik plak di
proventrikulus, petechiae di proventrikulus dan submukosa gizzard, nekrotik-hemoragi usus,
enteritis parah di duodenum, sekum dan perdarahan di proventrikulus. Lesio pada usus
terutama terjadi pada bentuk ND tipe viscerotropic (Jordan 1990). Diagnosis dapat dilakukan
berdasarkan dugaan pada gejala klinisnya yaitu dengan lesio post-mortem, peningkatan titer
serta teknologi sequence (Alexander and Senne 2008). Sebagai diagnosa pembanding antara
lain : infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis, coryza menular, Avian Influenza,
EDS-76, encephalomyelitis, encephalomalacia serta intoksikasi.
Lesio mikroskopik utama ND adalah encephalomyelitis nonpurulent, vaskulitis,
nekrosis limfoid (bursa, limpa, timus dan jaringan limfoid mukosa usus), trakheitis,
pneumonia, salpingitis, nekrosis hati, infiltrasi selular pankreas, dan konjungtivitis. Beberapa
kajian melaporkan tentang pembentukan encephalomalacia dan pankreatitis nekrotik pada
ND.
Menurut Nakamura et al. (2008), infeksi virus velogenik ND pada kasus ayam
pedaging yang divaksinasi di Jepang memiliki lesio karakteristik: ensefalitis nonpurulen
dengan malasia dan pankreatitis nekrotik. Mereka mengevaluasi perubahan patologi dan
pewarnaan imunohistokimia dalam rangka untuk mengevaluasi patogenesis ensefalitis
nonpurulen dengan malasia serta pankreatitis nekrotik diamati pada ayam pedaging yang
menderita ND. Gambaran histopatologi yang ditemukan antara lain ensefalitis nonpurulen di
otak besar, otak kecil, dan medula oblongata, tetapi tidak pada lobus optikus. Ditemukan
pula malasia dalam parenkim otak yang terkena dampak parah, perivascular cuffing,
proliferasi glial, infiltrasi sel radang dan degenerasi neuronal. Ditemukan juga degenerasi
yang luas, nekrosis, dan menipisnya sel-sel asinar di pankreas. Proliferasi makrofag di
paru-paru teramati selain nefritis tubulointerstitial, nekrosis hepatosit dengan trombi dalam
sinusoid, fokus nekrosis miokardium, limfositik deplesi degenerasi dan nekrosis epitel
kelenjar ampela, trakheitis, nekrosis fibrinoid pembuluh darah, nekrosis jaringan limfoid di
proventrikulus, proliferasi makrofag dalam lamina propria usus, dan epikarditis.
Antigen virus ND terdeteksi dalam lesion pada berbagai organ, terutama di
sitoplasma, dan jarang dalam inti sel. Virus ND berada pada sel-sel di dalam wilayah malasia
medula dan sel saraf di otak nekrotik, sel-sel asinar mengalami nekrotik pada pankreas,
folikel nekrotik dari bursa kloaka, sel epitel dan makrofag bronchiolar lapisan dan dinding
atrium di paru-paru, sel epitel trakhea, sel-sel epitel kantung udara, nekrosis sel epitel ginjal
dan jaringan limfoid nekrotik dari lamina propria usus. Kadang-kadang juga ditemukan sel
mesotel dari epikardium itu positif untuk antigen ND, serta saraf perifer lapisan otot usus dan
proventrikulus, atau dalam jaringan ikat di sekitar trakhea tanpa lesi histologis jelas dalam
organ. Antigen virus ND terlihat juga pada sel-sel epitel skuamosa esofagus berdekatan
dengan proventrikulus (Nakamura et al. 2008).
Menurut Mohammadamin dan Qubih (2011), perubahan pada proventrikulus pada 3
papila proventrikular, dan difusi infiltrasi dari limfosit di mukosa. Pada hari ke-7 pasca
infeksi terlihat infiltrasi limfositik pada folikel limfoid dan pemendekan papilla
proventrikular. Sedangkan perubahan pada usus pada 3 dan 7 hari pasca infeksi pada
duodenum teramati penipisan dan penumpukan villi usus.
Menurut Rahaju dkk (1991), serum antibodi terhadap virus ND pada uji
haemaglutination inhibition (HI) yang rendah ditemukan pada unggas yang terinfeksi. Dalam
percobaannya semua ayam specific pathogenic free (SPF) diinokulasi dengan virus ND mati
pada 3 hari setelah pasca inokulasi.Secara klinis, ayam-ayam menunjukkan tanda-tanda klinis
yang jelas kecuali depresi. Perubahan secara makroskopik, ayam-ayam menunjukkan
perdarahan di konjungtiva. Secara histologi, ayam mengalami nekrosis limpa, trombi
sinusoidal hepatosit, nekrosis limfositik serta deplesi dalam jaringan limfoid (bursa, timus,
dan seka tonsil), serta perdarahan dan nekrosis pembuluh darah pada konjungtiva. Tidak
ditemukan lesio pada sistem saraf pusat atau pancreas (Gohm et al. 2011).
Bhaiyat et al. (1994), melaporkan lesi yang paling sering diamati pada kasus ND
adalah pada organ otak. Perubahan yang sering diamati adalah encephalomyelitis
nonpurulent dengan degenerasi neuronal, perivascular cuffing, dan hipertrofi sel endotel
otak. Lesi pada otak selalu diamati pada ayam-ayam yang terinfeksi dengan patotipe
velogenikneurotropik walaupun kadang juga ditemukan pada tipe viserotropik dan patotipe
mesogenik. Pada umumnya, lesi histologi dari sistem saraf pusat ditemukan pada medula,
otak kecil, otak tengah, dan sumsum tulang belakang dan jarang ditemukan dalam otak besar.
Menurutnya, pada ayam yang telah divaksinasi dengan vaksin ND sulit untuk mendeteksi
adanya antigen virus ND dalam setiap lesi dengan metode imunohistokimia dengan
menggunakan antibodi monoklonal terhadap protein hemaglutinin-neuramidase dari virus
ND. Lokalisasi antigen virus ND pada sel saraf nekrotik dalam malacia menunjukkan bahwa
malacia dapat disebabkan oleh infeksi virus langsung pada sel-sel saraf.Selain itu, malasia
mungkin juga disebabkan karena gangguan sirkulasi darah dengan kerusakan vaskular parah
pada otak ayam yang terinfeksi virus ND, secara umum virus ND dapat menyebabkan
kerusakan vaskular (pembuluh darah).
Deteksi dengan menggunakan imunohistokimia untuk antigen virus ND pada saraf
tepi belum pernah dilaporkan. Lokalisasi antigen ND virus di saraf berkorelasi dengan lesi
dan antigen dalam jaringan limfoid dari usus dan dalam sel epitel trakea (Gohm et al. 2011).
Oleh karena itu, antigen virus ND di saraf mungkin dari jaringan-jaringan limfoid mukosa
atau sel epitel. Hal ini merupakan temuan menarik dan harus dipelajari secara detail di masa
nekrosis fokal pada sistem saraf pusat dengan nodul glial dan pankreatitis nekrosis ringan
yang diamati dalam HPAI dari ayam. Namun, ensefalitis non purulent parah dan necrotizing
pancreatitis yang diamati lebih sering di HPAI. Ayam dari kasus yang sekarang menjadi
resisten terhadap virus ND velogenik karena vaksinasi, dan kemudian mengalami ensefalitis
berat dan pankreatitis.
Pencegahan dan Pengobatan
Penyakit ini tidak dapat diobati, antibiotik hanya dipakai untuk mengendalikan infeksi
sekunder bakteri. Pencegahan dilakukan dengan cara biosekuriti ketat, pemeliharaan
all-in/all-out, serta pelaksanaan vaksinasi. Oleh karena itu ayam yang sudah terserang sebaiknya
cepat dimusnahkan karena dapat menulari ayam yang lain. Pengendalian terbaik adalah
dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan La Sota. Hal ini umum untuk memantau
respon terhadap vaksinasi, terutama di peternakan unggas dengan menggunakan pemantauan
serologis rutin. HI dan ELISA telah digunakan secara luas. Program vaksinasi harus
menggunakan vaksin dengan potensi tinggi, yang secara memadai disimpan dan
memperhatikan kondisi lokal setempat (Mitruka 1981). Penggunaan aplikasi spray dianjurkan
tetapi perlu diterapkan dengan hati-hati untuk mencapai perlindungan yang baik dengan
reaksi minimal. Untuk mencegah atau mengurangi reaksi pasca vaksin di ayam muda penting
agar ayam memiliki titer antibodi maternal yang seragam. Reaksi pasca vaksin dapat berupa
konjungtivitis, snicking, dan kadang-kadang terengah-engah atau gasping. Di beberapa
negara telah rutin dilakukan pemberian preparat antibiotik propilaktik untuk menekan
gangguan Mycoplasma gallisepticum yang dapat mengurangi efektifitas vaksinasi, dan
mengurangi resiko reaksi pasca vaksinasi (King 2008).
Indonesia sebagai salah satu daerah endemik ND, program vaksinasi ND pada ayam
broiler yang dilakukan sedikitnya dilakukan 2 kali. Pada program klasik ayam pedaging
dilakukan pada umur 4-5 hari dan boosting pada umur 17-18 hari, sedangkan pada program
inovatif dilakukan aplikasi vaksin aktif dan inaktif pada umur 4-5 hari saja ataupun dilakukan
boosting lagi pada umur 17-18 hari. Vaksinasi dinyatakan berhasil apabila tidak muncul
tanda-tanda klinis ND seperti muyung (tidak aktif, bulu sekitar kepala berdiri, leher
memendek), pilek, mata berair, diare, tortikolis dan berujung kematian. Apabila virus ND
lapang bersifat ganas, mungkin saja organ dalam ayam tidak rusak, akan tetapi ayam akan
mengekskresikan virus melalui feses dan virus sempat berkembang dalam tubuh ayam
tersebut. Strain La Sota merupakan salah satu strain vaksin lentogenik yang dipakai di
air minum. Strain La Sota sangat baik diberikan saat kekebalan induk mulai menurun dan
kekebalan internal mulai berkembang (Shafqat 1996).
Untuk isolasi rutin NDV dari ayam, kalkun, dan burung lainnya, sampel diperoleh
dengan swabbing trakea dan kloaka.Virus ini juga dapat diisolasi dari paru-paru, otak, limpa,
hati dan ginjal. Sebelum pengiriman sampel harus disimpan pada 4°C (kulkas) dan dikirim
dalam kontainer khusus. Kejadian infeksi virus ND pada manusia sangat langka dan
biasanya terjadi hanya pada orang yang memiliki kontak langsung dengan unggas yang
terinfeksi, misalnya pekerja pengolahan unggas, dokter hewan atau staf laboratorium. Virus
hanya menyebabkan gangguan ringan, konjungtivitis jangka pendek atau gejala seperti
influenza.
Upaya pemberantasan penyakit dalam praktek internasional berupa : depopulasi
semua unggas yang kemungkinan terpapar virus secepat mungkin, membuang setiap produk
yang terinfeksi, kontrol karantina yang ketat, dekontaminasi virus yang tersisa, pelacakan dan
pengawasan untuk menentukan tahapan infeksi serta zonasi daerah berisiko dan daerah bebas
penyakit (Alexander 1991). Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah strategis
dalam upaya penanggulangan ND, antara lain:
a. Depopulasi
b. Stamping out, langkah yang efektif dan cepat untuk menghilangkan agen penyebab
penyakit secara tuntas.
c. Biosekuriti dan desinfeksi yang ketat
d. Pengawasan lalu lintas atau tindakan karantina yang ketat untuk mencegah meluasnya
penyebaran penyakit dari daerah yang terkena
e. Surveilans dan pelacakan untuk memantau penyebaran penyakit ND
f. Vaksinasi serta monitoring pasca vaksinasi
g. Public awareness untuk membangun kepercayaan masyarakat melalui edukasi,
informasi dini dan komunikasi melalui media
h. Restrukturisasi dan konsolidasi stake holder peternakan
i. Penguatan peraturan perundang-undangan
Vaksinasi
Vaksinasi adalah suatu proses kegiatan memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh
hewan baik berupa material hidup maupun mati dengan harapan agar menggertak antibodi
infeksi agen penyakit lapangan. Ayam pedaging yang dipelihara secara intensif rentan sekali
terkena infeksi menular. Salah satu penyakit infeksi yang paling penting adalah ND. Penyakit
ini menyebabkan kerugian bukan hanya performa produksinya yang menurun, akan tetapi
juga mempunyai dampak politis dan ekonomi dimana biaya penanggulangannya sangat
tinggi. Penyakit ND dapat dikendalikan dengan pelaksanaan vaksinasi yang teratur dan
termonitor dengan baik. Ada banyak strain virus ND yang dapat dipergunakan sebagai seed
vaksin. Macam-macam sistem kekebalan yang ada di dalam tubuh dapat berupa :
1. Circulating antibodies (antibodi yang beredar dalam sirkulasi darah atau antibodi
humoral)
2. Secreted antibody producing mucosal immunity (kekebalan mukosa)
3. Cell mediated immunity (sel imunitas atau antibodi seluler)
Secara umum vaksin ada dua jenis, yaitu vaksin live (aktif atau hidup) dan vaksin
killed (inaktif atau mati). Vaksin live (aktif) ini dibuat dari virus yang masih hidup dan
mampu menginfeksi sel. Strain virus yang digunakan biasanya strain yang mempunyai
virulensi rendah. Vaksin killed (inaktif) adalah vaksin yang berisi virus yang telah mati.
Kemampuan virus untuk menginfeksi sel telah dihilangkan dengan proses
kimiawi, radiasi atau panas. Vaksin ini hanya dapat menggertak respon circulating
antibodies (Alexander 1991). Strain virus ND telah diklasifikasikan menjadi empat
pathotypes sebagai berikut:
1. Avirulen
2. Lentogenic (virulensi rendah)
3. Mesogenic (virulensi sedang)
4. Velogenic (virulensi tinggi dengan mortalitas tinggi)
Vaksinasi dilakukan dengan harapan replikasi virus tantang menjadi tidak leluasa
dalam tubuh ayam yang kebal. Dengan demikian kuantitas cemaran virus ND yang ganas di
lapangan akibat adanya viral shedding dari ayam yang terinfeksi akan menjadi minimal. Hasil
titer antibodi yang didapat pada pemeriksaan HI maupun ELISA terhadap ND bukan hanya
membaca angka demi angka saja, akan lebih bermakna apabila dikaitkan dengan umur ayam,
jenis vaksin dan program vaksinasi yang digunakan serta riwayat kasus di peternakan
tersebut. Titer antibodi yang terbaca merupakan penjumlahan dari titer antibodi maternal
Tabel 1 Beberapa contoh strain virus yang dipakai sebagai seed vaksin aktif
Strain Penjelasan
F Lentogenik. Digunakan pada ayam muda tapi juga cocok untuk digunakan sebagai vaksin pada ayam dari semua umur
B1 Lentogenik. Digunakan sebagai vaksin pada ayam untuk semua umur La Sota Lentogenik. Sering menyebabkan reaksi pasca vaksinasi
tanda-tanda pernapasan, sering digunakan sebagai vaksin booster V4 Avirulen. Digunakan pada ayam untuk semua umur
V4-HR Avirulen. Termostabil, yang digunakan pada ayam semua usia I-2 Avirulen. Termostabil, digunakan pada ayam dari semua umur. Mukteswar Mesogenik. bersifat invasif, digunakan sebagai vaksin booster.
Dapat menyebabkan reaksi post vaksinal (pernapasan terganggu, kehilangan berat badan, penurunan produksi telur dan kematian) . Biasanya diberikan melalui suntikan
Komarov Mesogenik. Kurang patogen dibanding Mukteswar, digunakan sebagai vaksin booster. Biasanya aplikasi secara injeksi.
Sumber : Munner et al. 2006
Tabel 2 Contoh Aplikasi Program Vaksinasi ND pada Ayam Broiler
Program Umur Vaksin Strain Aplikasi
Klasik 4 hari ND live La Sota Tetes mata
Hatchaery 1 hari ND live Apathogenic Enterotropic Spray
1 hari ND Kill La Sota Inj. Sub cutan 1 hari IBD live IBD Immune Complex Inj. Sub cutan
Sumber : Shafqat 1996
Strain La Sota adalah salah satu strain vaksin klasik yang sudah dipakai oleh kalangan
praktisi perunggasan dalam kurun waktu yang lama. Strain ini dipilih karena sifatnya yang
lentogenik dan mempunyai daya imunologik yang cukup tinggi. Dalam aplikasinya strain ini
bisa diberikan secara aktif melalui tetes mata, tetes mulut, tetes hidung, melalui air minum
(per oral) maupun secara inaktif dengan cara injeksi sistemik ke dalam tubuh ayam. Selama
memberikan hasil protektif (Fred et al. 2008). Beberapa contoh aplikasi program vaksinasi
ND pada ayam broiler dapat dilihat pada tabel 2.
Program kontrol terhadap penyakit ND merupakan interaksi antara 3 hal yaitu status
kekebalan, bibit penyakit dan lingkungan ayam. Meminimalkan konsentrasi dan keganasan
bibit penyakit dengan meningkatkan biosecurity dan meminimalkan stress eksternal akan
memberikan rasa nyaman bagi ayam terutama pada saat rawan seperti kualitas litter yang
turun, kepadatan serta ventilasi yang kurang baik. Syarat keberhasilan suatu program
vaksinasi adalah status ayam harus optimal dan diikuti dengan penerapan program yang tepat
dan aplikasi yang baik. Menurut Dawson et al. (2006), ada 3 hal utama yang berhubungan
dengan efektifitas program vaksinasi pada ayam pedaging, yaitu :
1. Kekebalan dari Induk
Antibodi maternal peranannya sangat penting terutama pada awal kehidupan ayam,
untuk memaksimalkannya diperlukan pemberian vaksin ND live sesegera mungkin
untuk menggertak kekebalan lokal karena kekebalan ini tidak diturunkan secara
vertikal dari induk ke DOC. Adanya kekebalan induk menyebabkan tingkat proteksi
yang digertak oleh vaksin ND live di awal pemeliharaan akan lebih cepat turun akibat
adanya proses netralisasi, karenanya kadang diperlukan program booster ataupun
vaksinasi dengan vaksin in aktif. Kekebalan induk juga menyebabkan vaksin inaktif
bekerja lebih lambat, sehingga diperlukan konsentrasi yang tinggi dan kemampuan
pelepasan antigen yang lambat (slow release) untuk meminimalkan efek interferensi
tersebut.
2. Aplikasi Vaksinasi
Ada beberapa pilihan aplikasi program vaksinasi dengan vaksin live (aktif) yaitu
secara spray, tetes mata dan air minum. Saat pemberian dengan air minum harus
dikontrol kualitas air minum yang dipakai, antara lain kandungan logam. Hal ini
dapat mengganggu efikasi penggunaan vaksin aktif.
3. Reaksi Pasca Vaksinasi
Reaksi pasca vaksinasi seringkali menjadi masalah tersendiri dalam aplikasi vaksinasi
aktif, baik sebagai priming maupun boosting. Pemilihan vaksin strain La Sota
diperlukan karena kemampuan spreading strain ini yang baik terutama melalui tetes
mata maupun air minum, walaupun strain ini mempunyai efek post vaksinal yang
tinggi. Untuk meminimalkan efek negatif akibat reaksi pasca vaksinasi tersebut,
penyakit pernafasan dan immunosuppresi. Kualitas udara harus lebih diperhatikan
baik kadar amonia, debu dan kualitas litter dalam kandang tersebut. Mengoptimalkan
ventilasi udara terutama setelah vaksinasi atau pada saat sheeding virus terjadi (3-7
hari pasca vaksinasi). Keseragaman asupan partikel vaksin antar individu pada saat
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011 hingga Januari 2012. Pemeliharaan
ayam, vaksinasi dan pelaksanaan uji tantang serta pengamatan gejala klinis pasca uji tantang
dilakukan di kandang Biosafety Level-2 (BSL-2) milik PT Medion, Bandung, Indonesia.
Pembuatan preparat histopatologi, pewarnaan HE dan imunohistokimia dilakukan di Bagian
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Materi Penelitian Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 80 ekor day old chick (DOC) ayam pedaging strain
Lohmann sebagai obyek penelitian, dipelihara dalam 4 lokal kandang SPF dengan diberikan
pakan standard two feed system, pakan starter dan grower (SMS 1 dan SMS 2; SUG), air
diberikan secara ad libitum dan menggunakan program medikasi standard. Selain itu
digunakan 3 ekor kelinci strain White New Zealand yang berumur 2 bulan yang dipelihara
dengan pemberian pakan dan minum secara ad libitum.
Bahan Penelitian
Beberapa bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
Vaksin strain La Sota (MEDIVAC ND® dan MEDIVAC ND EMULSION ®)
Material pewarnaan organ dengan HE atau imunohistokimia (IHK) Material uji titer antibodi dengan uji HI dan ELISA
Isolat virus velogenik lokal Indonesia (VND/Tasik/M13/2009)
Consumable pembuatan poliklonal antibodi, Complete Freund Adjuvant (CFA),
Incomplete Freund Adjuvant (ICFA)
Metoda Penelitian
Pembuatan Antibodi Poliklonal
Pertama-tama kita siapkan kelinci strain New Zealand White yang berumur 2 bulan
sebanyak 3 ekor. Masing-masing dilakukan pemeliharaan dengan program feeding yang
parasit dengan pemberian anti parasit. Setelah melewati masa adaptasi kelinci tersebut
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan 2 ekor, dan kelompok kontrol 1
ekor.Kelompok perlakuan masing-masing kelompok diinjeksi virus ND lapang
(VND/Tasik/M13/2009) dosis tunggal secara sub cutan (1 dosis mengandung virus dengan
konsentrasi 106 EID50 (Egg Infectious Dose50). Injeksi antigen ND pada hari ke-7
menggunakan antigen ND yang telah dicampur dengan adjuvant CFA. Kelinci tersebut
dipelihara hingga 3 minggu berikutnya dan dilakukan boosting dengan cara menginjeksikan
virus ND lapang (VND/Tasik/M13/2009) tersebut sesuai dengan kelompoknya. Injeksi
antigen hari ke-28 dilakukan dengan menginjeksi antigen ND yang telah dicampur dalam
adjuvant secara intra muscular. Setelah 3 minggu pasca boosting kemudian dilakukan
pengambilan serum darah guna pemeriksaan antibodi terhadap ND dengan metoda Bradford
serta dilakukan boosting berikutnya dengan menginjeksikan virus ND lapang yang sama yang
telah dicampur dengan adjuvant PBS secara intra muskular.
Setelah boosting kedua, maka dapat dilakukan pemanenan antibodi poliklonal dari
kelinci tersebut. Pemanenan dilakukan setelah hasil screening antibodi dalam serum diukur
tingkat konsentrasinya dengan metoda Bradford menggunakan alat spektrofotometer. Bila hasil konsentrasi yang didapat cukup tinggi maka dapat dilakukan pemanenan dan tidak
diperlukan boosting berikutnya. Pemanenan serum dilakukan melalui vena marginalis
telinga. Sebelumnya hewan dihandling dan dipreparir sehingga telinga terlihat jelas dan
mudah untuk dilakukan pengambilan darah. Darah diambil seperlunya dan disimpan dalam
kontainer khusus dan ditempatkan dalam refrigerator hingga terbentuk serum. Untuk
Kelompok kontrol pada hari ke-7 hanya diinjeksi dengan PBS.
Karakterisasi protein dengan metoda Western Blot
Secara umum ada 3 tahapan utama dalam proses karakterisasi dengan metoda ini yaitu
preparasi sampel, elektroforesis dan transfer protein serta pewarnaan. Dalam preparasi
sampel beberapa tahapan yang dilalui antara lain lysis buffer, penghambatan enzim protease
dan phosphatase, persiapan lisat, penentuan konsentrasi protein serta persiapan sampel untuk
loading ke dalam gel. Tahapan elektroforesis meliputi preparasi SDS-PAGE (Sodium
Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis), kontrol positif, penentuan bobot
molekul, loading sample dan running gel, serta penggunaan loading control. Tahapan yang
terakhir dari metoda ini yaitu transfer protein dan pewarnaan meliputi visualisai protein
dalam gel, transfer, visualisasi membran protein dilanjutkan dengan blocking membran,
ada dapat dilihat berapa berat molekul (kDa) dan konsentrasi protein (mg/ml) dalam serum
tersebut untuk menentukan apakah antigen yang digunakan benar benar murni virus ND.
Pemeliharaan Ayam
Sebanyak 80 ekor DOC dipelihara secara berkelompok dalam beberapa area terpisah
di kandang BSL-2 milik PT Medion, Bandung. Secara umum dikelompokkan menjadi 2
kelompok besar, yaitu ayam yang divaksinasi pada umur 4 hari dan ayam yang tidak
dilakukan vaksinasi. Pada kelompok ayam yang dilakukan vaksinasi, pada umur 4 hari,
ayam-ayam tersebut dilakukan vaksinasi dengan memberikan vaksin live dan killed strain La
Sota secara tetes mata sebanyak 1 tetes dan injeksi vaksin inaktif Medivac Emultion® secara
sub cutan sebanyak 0.2 ml/ekor. Kemudian ayam-ayam tersebut dipelihara dengan program
pemeliharaan yang standard secara terpisah sesuai kelompok masing-masing perlakuan
hingga umur 22 hari.Pakan yang digunakan adalah pakan starter dan grower (SMS 1 dan
SMS 2; SUG), two feed system, dan menggunakan program medikasi standard yang
diterapkan di Satwa Utama Group (SUG). Guna pemeriksaan titer, maka dilakukan
pengambilan darah pada umur 1, 18, dan 22 hari. Sampel darah tersebut diuji dengan metoda
Hemagglutination inhibition (HI).
Infeksi Virus Tantang
Setelah ayam berumur 20 hari maka ayam dikelompokkan ke dalam 4 kelompok
yaitu:
Kelompok ayam yang tidak divaksin dan tidak ditantang sebagai kontrol negatif (K1)
Kelompok ayam yang tidak divaksin tapi ditantang dengan virus lapang, sebagai
kontrol positif (K2)
Kelompok ayam yang divaksinasi dan ditantang dengan virus lapangan (P1)
Kelompok ayam yang divaksinasi tapi tidak ditantang (P2)
Masing-masing kelompok ayam dipelihara dalam area yang terpisah. Pada umur 25 hari
ayam dalam kelompok yang ditantang, dilakukan infeksi dengan menginjeksikan virus ND
velogenik isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009) secara intra muscular (Tran Dinh Tu et al.
1998) dengan dosis 104 EID50 (sesuai standard BPMSOH dan FOHI). Setelah diinfeksi, maka
dilakukan pengamatan dan pencatatan gejala klinis hingga 7 hari pasca infeksi (Loke et al.
Pengamatan Gejala Klinis, Penghitungan Asupan Feed Intake (FI), Penentuan Body weight (BW) dan Feed Conversion Rate (FCR)
Pengamatan gejala klinis dilakukan selama penelitian, yang meliputi perubahan
tingkah laku, penurunan nafsu makan, kesiagaan (alert) dan kematian. Setiap pukul 06.00
pagi dilakukan pemberian pakan sesuai standard, dan pada jam yang sama dilakukan
penimbangan sisa pakan yang masih terdapat di dalam tempat pakan. Dari perlakuan
tersebut dapat diketahui asupan pakan harian masing masing individu dalam satu kelompok
perlakuan. Penimbangan bobot badan dilakukan rutin setiap minggunya. Penimbangan
bobot badan juga dilakukan terhadap masing-masing individu ayam sehingga didapatkan data
bobot badan mingguan. Data yang ada kemudian dikumpulkan dan dihitung secara statistik
sehingga didapatkan data rata-rata dalam setiap kelompok. Konversi pakan dapat dihitung
apabila data bobot badan dan asupan pakan sudah tersedia. FCR merupakan nilai
perbandingan konversi pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg daging.
Pemeriksaan Patologi Anatomi Otak, Duodenum dan Proventrikulus dan Pembuatan Preparat Histopatologi
Selama penelitian dilakukan pencatatan perubahan gejala klinis dan apabila terdapat
ayam yang mati maka segera dilakukan nekropsi guna mengetahui perubahan patologi
anatomi dari ayam tersebut dan mengambil beberapa organ guna pemeriksaan lebih lanjut
(Bell et al. 1995). Apabila ayam masih dalam keadaan hidup maka dilakukan nekropsi pada
hari ke 3, 5 dan 7 pasca infeksi masing-masing 3 ekor tiap kelompok guna dilihat perubahan
patologi anatomi serta pengambilan organ guna pemeriksaan lebih lanjut. Organ yang diambil
dimasukkan dalam kontainer khusus dan difiksasi dengan larutan buffer neutral formalin
(BNF) 10 %, kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol tissue processor melalui
alkohol dan xylene bertingkat (Mohammadamin & Qubih 2011). Setelah itu preparat
direndam dalam media parafin cair sebelum dibuat blok parafin. Proses selanjutnya adalah
embedding dalam parafin serta didinginkan pada suhu kamar, sehingga menjadi blok parafin.
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 3-4 µm. Potongan organ
diletakkan pada gelas obyek yang sebelumnya telah dilapisi gelatin dan CrK(SO)4.
Selanjutnya dilakukan proses deparafinasi dan rehidrasi untuk proses pewarnaan HE dan
Pewarnaan Imunohistokimia
Sesuai dengan metoda yang dianjurkan oleh perusahaan pembuat kit
imunohistokimia, maka dilakukan unmasking antigen retrieval dan kemudian dilanjutkan
dengan mengunakan DAB (3,3-diamino benzidine) kit. Blocking aktifitas endogenous
dengan preparat H2O2 3 % selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan PBS
tween dan kemudian direndam dalam susu skim 0.1 % selama 30 menit, kemudian dicuci
kembali dengan PBS tween. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi poliklonal yang
dipanen dari kelinci yang diinjeksi dengan virus ND isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009).
Inkubasi selama 24 jam pada suhu 4º C, kemudian preparat dibilas dengan PBS tween dan
ditambahkan antibodi sekunder. Preparat diinkubasi selama 1 jam. Setelah antibodi
sekunder dibilas dengan distillated water (DW), dilakukan pewarnaan dengan DAB sebagai
kromogen. Sebagai counterstain digunakan Lillie Mayer hematoksilin agar mendapatkan
wara kebiruan sebagai latar belakang serta antigen yang telah terwarnai dengan kromogen
akan berwarna kecoklatan. Hasil preparat yang telah terwarnai kemudian diamati di bawah
mikroskop. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila dalam pembacaan preparat ditemukan
antigen yang terwarnai kecoklatan dan dinyatakan negatif apabila preparat semua penampang
tampak kebiruan dan tidak ditemukan antigen yang terwarnai kecoklatan sama sekali.
Analisa Statistika
Data data tentang perbedaan bobot badan, FCR, titer antibodi akan ditabulasikan
dalam bentuk rataan, standard deviasi, koefisien variasi dan disajikan dalam bentuk tabel.
Data hasil pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan HE dan immunohistokimia
dianalisa secara deskriptif dan kualitatif. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan untuk
mengetahui signifikasi perbedaankadar titer antibodi, FCR, feed intake dan bobot badan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Proteksi
Antibodi maternal pada saat DOC umur 1 hari memperlihatkan hasil yang seragam.
Antibodi maternal merupakan kekebalan yang diturunkan oleh induk kepada keturunannya
sebagai bekal awal masa perkembangan. Hasil koefisien variasi yang hanya 13.3%
menunjukkan keseragaman antibodi yang baik, karena koefisien variasi yang kecil (dibawah
35%) menunjukkan masing-masing individu seragam dan variasinya kecil. Selain itu
menunjukkan bahwa kekebalan yang didapat dari induk juga baik dan seragam. Vaksinasi
rutin pada induk dilakukan guna menjaga titer antibodi berada dalam tahap protektif (Liang et
al. 2002). Kekebalan maternal 35.2 (GMT) yang didapatkan dalam penelitian ini, masih
cukup baik dan protektif.
Mayoritas DOC komersial di Indonesia mempunyai titer antibodi dengan uji HI
terhadap ND dari induk umumnya berkisar antara 20-25 (Rahaju dkk 1991). Titer antibodi
induk yang bersirkulasi dalam darah DOC tersebut sangat bergantung kepada tiga faktor
utama, yaitu status kekebalan induk (parent stock), kondisi umum DOC sendiri serta
manajemen pemeliharaan. Pada kasus stress hebat, maka absorbsi antibodi induk dalam sisa
kuning telur menjadi tidak optimal. Penanganan brooding yang kurang baik akan
menyebabkan terjadi persistensi kuning telur akibat penyerapan yang kurang sempurna
sehingga menyebabkan antibodi induk yang terdapat pada sisa kuning telur tidak akan
terserap sempurna. Jika DOC tidak divaksinasi setelah menetas, maka titer antibodi dari
induk akan berangsur-angsur menurun dan mendekati titer nol pada saat ayam berumur 14-21
hari tergantung status kekebalan ayam tersebut. Waktu paruh titer antibodi terhadap ND
pada ayam kurang lebih 4.5 hari (Brown et al. 1999). Ini berarti setiap 4.5 hari titer antibodi
yang ada akan turun menjadi separuhnya. Titer antibodi induk yang cukup selama minggu
pertama akan memberikan proteksi terhadap kasus ND di lapangan.
Pada umur 18 hari hasil titer menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang tidak
divaksinasi (K1 dan K2) mempunyai kadar titer yang rendah, sedangkan pada kelompok
perlakuan yang divaksinasi (P1 dan P2) titer meningkat. Antibodi yang terukur lebih
merupakan reaksi dari vaksin aktif yang diberikan mampu menggertak kekebalan lokal di
glandulla harderian mata dan sekitar mulut dan hidung yang menyebabkan pembentukan
antibodi dengan cepat (Rauw et al. 2010). Aplikasi vaksinasi menurut Loke (2005), sangat
mata akan menggertak kekebalan lokal untuk memproduksi antibodi di saluran respirasi
bagian atas dan organ pencernakan serta mencegah infeksi pada permukaan mukosa dan
mereduksi replikasi virus pada bagian tersebut, sedangkan secara parenteral akan mengiduksi
kekebalan humoral, produksi antibodi lokal dan sedikit atau tanpa adanya respon seluler
(Rauw et al. 2010). Vaksin killed mulai bekerja setelah 18 hari ketika antibodi yang
dihasilkan oleh vaksin aktif mulai menurun, kemudian diganti dengan pelepasan secara
perlahan lahan vaksin in aktif akibat material vaksin yang terlarut dalam oil adjuvant.
Pada Tabel 3, teramati kadar titer antibodi antara kelompok perlakuan (P1 dan P2)
sebelum dilakukan uji tantang yaitu pada pemeriksaaaan titer 22 hari, hasilnya tidak berbeda
signifikan. Hal ini diakibatkan belum ada perbedaan perlakuan antar kelompok tersebut.
Perbedaan terlihat pasca uji tantang umur 25 hari, dimana pada pemeriksaan titer antibodi
antara kelompok P1 dan P2 hasilnya berbeda signifikan. Kelompok P1 pada umur 25 hari
dilakukan uji tantang dan pada pemeriksaan titer antibodi umur 28 hari mempunyai kadar
yang lebih tinggi dibanding P2.
Pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang (umur 28 hari) titer kelompok P1yang ditantang
dengan virus velogenik ND jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2. Hal ini
karena inisiasi antigen virus tantang mampu memberikan respon yang dapat menggertak
pembentukan antibodi yang lebih tinggi dan terbaca pada pemeriksaan uji HI (Roy
&Venugopalan 1999). Menurut Shafqat (1996), titer tertinggi akan didapatkan 3-5 mingu
pasca vaksinasi, dimana makrofag-makrofag yang ada akan bekerja menangkap antigen virus
tantang.
Kadar titer humoral pada pemeriksaan HI test kelompok P1 mulai menurun bila
dibandingkan dengan P2 pada 5 hari pasca uji tantang. Turunnya kadar titer 5 hari pasca uji
tantang kelompok P1 kemungkinan karena turunnya antibodi humoral akibat multiplikasi
virus tantang dan dibawa secara sistemik ke semua organ (Brown 1999), sedangkan
kelompok P2 lebih tinggi menunjukkan penyerapan material vaksin yang lebih lambat
akibat tidak adanya virus tantang. Vaksin inaktif yang terlarut dalam emulsi dengan minyak
mineral yang diberikan secara intra muscular ataupun sub cutan akan menginduksi
kekebalan humoral dan sedikit atau tanpa respon seluler (Rauw et al. 2010). Pemeriksaan
antibodi humoral kelompok P1 pada 7 hari pasca uji tantang didapatkan titer yang turun
hingga mencapai 18, begitu pula dengan kelompok P2 yang titer antibodinya juga menurun
(12). Hal ini menunjukkan pada pengujian dengan HI test model aplikasi vaksinasi yang
digunakan mempunyai masa rawan setelah umur 32 hari, dimana titer antibodi sangat rendah
(2008), bila titer HI di atas log 23 dan ini akan melindungi unggas dari infeksi NDV dan bila
titer HI di atas log 21 dinyatakan sebagai seropositif.
Vaksinasi pada umur 4 hari menurut Shafqat (1996) sangat penting mengingat
beberapa alasan antara lain :
a. Kekebalan permukaan (surface immunity) sistem pernafasan pada saat menetas tidak ada, padahal saluran pernafasan pada ayam menjadi pintu masuk (port d’ entry) virus ND ke dalam jaringan tubuh yang lain
b. Proses pembentukan antibodi terhadap ND yang aktif dan cukup memerlukan waktu
beberapa hari. Sebagai contoh untuk vaksin ND aktif antara 1-2 minggu pasca
vaksinasi, sedangkan vaksin in aktif memerlukan waktu 2-4 minggu pasca vaksinasi.
c. Maternal antibody yang masih beredar dalam jaringan tubuh ayam, sehingga apabila diberikan vaksinasi sedini mungkin akan menyebabkan reaksi pasca vaksinasi yang
lebih ringan dan perkembangan organ tubuh serta pertumbuhan ayam tidak terganggu.
Pada pengujian ELISA (Tabel 3) pola titer antibodi hampir sama dengan uji HI
sampai pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang dimana didapatkan data kelompok Kontrol (K1
dan K2) memiliki titer yang rendah selama pemeriksaan. Kelompok P1 mempunyai hasil
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2 yang tidak dilakukan uji tantang
pada pemeriksaan 3 dan 7 hari pasca uji tantang. Hal ini memberikan gambaran bahwa
antigen virus tantang juga ikut menggertak peningkatan antibodi kelompok ayam perlakuan.
Kelompok P2 pada 5 hari pasca uji tantang mempunyai kadar antibodi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan P1. Hal ini bisa disebabkan karena aktifitas sistem imun dan makrofag
pada kelompok P2 tidak terganggu oleh adanya infeksi dan memberi gambaran pelepasan
partikel vaksin secara pelan-pelan akibat adjuvant minyak (Panshin et al. 2002).
Perbedaan pola terlihat pada Gambar 3, dimana pemeriksaan titer antibodi umur 30
dan 32 hari pada pengujian dengan HI test berbeda dengan hasil titer antibodi pada pengujian
dengan metode ELISA. Pada pengujian HI test teramati titer antibodi menurun drastis setelah
30 hari, akan tetapi pada pemeriksaan ELISA titer antibodi justeru meningkat. Hal ini
menurut Tiwari et al. (2003) kemungkinan disebabkan sensitivitas yang tinggi pada
pengujian ELISA yang dapat mengamplifikasi beberapa komponen protein yang mirip
sehingga terbaca positif (positif palsu). Menurut Tiwari et al. (2003), pemeriksaan titer
antibodi terhadap ND, metode HI lebih baik dibandingkan ELISA karena respon antibodi
hanya dengan glikoprotein eksternal tetapi juga glikoprotein internal. Kejadian mutasi secara
spontan lebih bertanggung jawab dalam perubahan variasi antigenik NDV dibanding
tekanan imunologi (Panshin et al, 1997). Berbeda dengan hal itu, menurut Henning et al.
(2008), uji ELISA memberikan gambaran hasil yang lebih mendekati kenyataan, karena sifat
uji ini yang lebih spesifik dan bersifat mikromolekuler atas dasar ikatan antigen-antibodi dan
diukur derajat warnanya dengan intensitas warna kromogen.
Gambar 3 Grafik perbandingan pola titer antibodi pada pengujian dengan metoda HI dan ELISA
Keseragaman titer masing-masing individu yang diperiksa sangatlah penting untuk
menghasilkan respon yang seragam. Beberapa faktor yang dapat membuat penyimpangan
hasil titer antara lain efikasi strain vaksin yang dipilih, faktor penghambat seperti tingginya
maternal antibodi dan kemampuan vaksin aktif ND untuk menghasilkan stress serta infeksi
sekunder (Shafqat 1996). Uji ELISA terhadap ND sangat jarang diaplikasikan baik di
lapangan maupun di laboratorium. Pemeriksaan titer antibodi dalam penelitian ini
dilakukan dengan dua metode pengujian untuk melihat pola hasil titer antibodi
masing-masing metode.
Guna menentukan konsentrasi antigen atau antibodi dapat digunakan metoda
Bradford, dimana dilakukan elektroforesis selama 15 menit, kemudian dipanaskan dan
dibaca pada spectrophotometer pada panjang gelombang (λ) 595. Kombinasi karakterisasi
antigenik dengan analisa phylogenetic akan memberi gambaran banyaknya strainvirus ND