• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH,

NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK

DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN

DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS

SELAMA KEBUNTINGAN

RIDI ARIF

SKRIPSI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

RIDI ARIF. Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar

Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO

dan WASMEN MANALU.

(3)

ABSTRACT

RIDI ARIF. Red Blood Cell Count, Hematocrit, and Hemoglobin Concentration of Superovulated Ewes Administered Temulawak Extract Plus during Pregnancy.

ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.

(4)

GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH,

NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK

DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN

DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS

SELAMA KEBUNTINGAN

RIDI ARIF

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang - Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skrpisi

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

:

: : :

Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan

Ridi Arif B04070031

Kedokteran Hewan

Disetujui,

Dosen Pembimbing 1

drh. Andriyanto, M. Si NIP. 19820104 200604 1 006

Dosen Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu NIP. 19571220 198312 1 001

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama delapan bulan dimulai pada bulan Mei sampai dengan Desember 2010 yang bertempat di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Skripsi ini berjudul “Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan”.

Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas petunjuk, saran, dan arahan yang telah diberikan oleh semua pihak yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Andriyanto, M. Si selaku dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda (Rohmat) dan ibunda (Parjuni) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman GIANUZZI 44 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Akhirnya, semoga skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ridi Arif. Penulis lahir di Magelang pada tanggal 3 Juni 1988 dari pasangan Bapak Rohmat dan Ibu Parjuni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya ialah lulusan SD 1 Mangunrejo pada tahun 2001, lulusan SMP 1 Wonosobo pada tahun 2004, dan lulusan SMA 1 Wonosobo pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi intrakampus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2010) dan tergabung pula dalam organisasi Himpunan Profesi Satwa Liar (2008-2010).

Penulis telah melakukan penelitian sebagai bahan dalam penyusunan

skripsi yang berjudul “Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan”. Penyusunan skripsi dilakukan di bawah

(10)

DAFTAR ISI 1.3. Manfaat Penelitian ...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba ... 2.2. Sinkronisasi Estrus pada Domba ... 2.3. Superovulasi pada Domba ... 2.4. Permasalahan Superovulasi ... 2.5. Darah ... 2.6. Sel Darah Merah ... 2.7. Profil Ekstrak Temulawak yang diberikan ...

(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah ... 4.2. Hematokrit ... 4.3. Hemoglobin ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTARPUSTAKA ... LAMPIRAN ...

(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan ... Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang

disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ... Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ... Tabel 4 Kadar hemoglobin (gram%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ...

18

22

29

(13)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Domba lokal atau Ovis aries (Anonim 1999) ...

Gambar 2 Bentuk sel darah merah (Anonim 2008) ... Gambar 3 Temulawak atau Curcuma xanthorrhiza (Anonim 2010) ...

(14)

ix

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi

(■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan

kebuntingan ... Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak

plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan

kebuntingan... Grafik 3 Kadar hemoglobin induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak

plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan

kebuntingan...

27

30

(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan pertama ... Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan kedua ... Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai

hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan ketiga ... Lampiran 4 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan keempat ... Lampiran 5 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai

hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan kelima ...

41 48 54

60

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Domba merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan untuk melahirkan anak dengan jumlah lebih dari dua ekor dalam sekali kelahiran. Pengalaman empiris di lapangan menunjukkan bahwa domba yang melahirkan anak dengan jumlah lebih dari dua ekor biasanya memiliki bobot lahir yang rendah dengan tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999;

Andriyanto dan Manalu 2011). Keadaan tersebut merupakan salah satu masalah utama yang membuat rendahnya produktivitas bakalan domba yang dihasilkan.

Performans induk domba sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak domba yang dikandung. Kondisi tubuh induk yang sehat akan mendukung fungsi uterus dalam memelihara kebuntingan. Pertumbuhan dan perkembangan uterus sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan, yaitu progesteron dan estrogen. Selain itu, kedua hormon tersebut juga mempengaruhi proses tumbuh kembang kelenjar ambing. Hormon progesteron dan estrogen merupakan hormon yang dihasilkan oleh folikel ovarium. Hewan betina telah mempunyai ratusan ribu folikel ketika lahir namun hanya sebagian kecil dari folikel tersebut yang akan berkembang dan mengovulasikan sel telur (Gordon 2005).

Salah satu teknologi reproduksi yang telah dikenal untuk meningkatkan kualitas bakalan domba ialah superovulasi. Teknologi ini memungkinkan ovarium untuk melakukan ovulasi lebih dari satu sel telur dalam satu siklus berahi. Menurut Andriyanto dan Manalu (2010), teknologi superovulasi mampu memperbaiki sekresi hormon endogen kebuntingan yaitu progesteron dan estrogen. Teknik superovulasi dapat dilakukan dengan pemberian hormon gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Pregnant Mare

Serum Gonadotropin (PMSG).

(17)

progesteron dalam jumlah yang banyak pula (Manalu et al.1999; Amiridis et al.

2002).

Induk yang disuperovulasi memiliki kondisi yang berbeda dengan induk yang tidak disuperovulasi. Induk yang disuperovulasi memiliki beban metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi sebagai akibat jumlah anak yang dikandung lebih banyak. Induk yang disuperovulasi rata-rata memiliki jumlah fetus lebih dari dua ekor. Induk yang memiliki litter size lebih dari tiga ekor biasanya memiliki bobot lahir yang lebih

kecil dan tingkat kematian yang tinggi (Andriyanto dan Manalu 2011).

Mengingat hal tersebut, maka status fisiologis induk domba bunting hasil superovulasi perlu diamati. Status kesehatan induk tersebut dapat dilihat dari hasil pemeriksaan gambaran darah merahnya. Berbagai variabel penghitungan darah yang terangkum dalam penghitungan darah lengkap dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan induk. Peningkatan kesehatan induk dapat dilakukan dengan memberikan pakan yang berkualitas dan pemberian sediaan ramuan tanaman obat atau formulasi tertentu.

Salah satu jenis tanaman yang dipercaya dapat meningkatkan kesehatan tubuh ialah temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Temulawak memiliki beberapa

manfaat yang dapat digunakan sebagai obat. Manfaat tersebut di antaranya sebagai hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, antiradang, laksansia (pencahar), diuretikum, dan menghilangkan nyeri sendi. Temulawak juga mengandung zat berkhasiat yang dikenal sebagai kurkumin. Senyawa kurkumin memiliki sifat hepatoprotektif dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi hati yang sedang mengalami kerusakan (Marotta et al. 2003).

(18)

1.2.Tujuan

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penerapan superovulasi dan pengaruh pemberian ekstrak temulawak terhadap status fisiologis induk melalui gambaran sel darah merah. Selain itu, tujuan dari penelitian ini ialah untuk meningkatkan performans induk yang tergambar melalui gambaran sel darah merahnya.

1.3.Manfaat Penelitian

(19)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Domba

Domba memiliki nama ilmiah Ovis aries. Secara klasifikasi ilmiah,

domba masuk dalam kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, dan ordo artiodactyla. Selanjutnya, domba masuk di dalam subfamili caprinae, genus Ovis

dan memiliki nama ilmiah Ovis aries (Purbowati 2009). Gambar domba disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999)

Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat yang dimiliki domba ialah bangsa domba. Pengetahuan tentang bangsa-bangsa domba dapat digunakan untuk mengenali sifat dan karakteristik pada domba. Domba yang ada sekarang merupakan hasil domestikasi manusia. Domba diperkirakan diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan

dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) berasal dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis

vignei) yang berasal dari Asia (Anonim 2009).

(20)

ekor gemuk merupakan domba yang berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Madura, Sulawesi, dan Lombok. Domba ekor tipis banyak ditemukan di Jawa Barat.

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia. Domba ini kurang produktif bila dibandingkan dengan jenis domba yang lain karena jumlah karkas yang dihasilkan sangat rendah. Domba jenis ini banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan. Ciri-ciri domba ini di antaranya ialah ukuran badannya kecil, pertumbuhannya lambat, bobot badan domba jantan berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg, warna rambut dan polanya sangat beragam, telinganya kecil dan pendek, domba betina tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk, dan ekornya kecil serta pendek (Cahyono 1998).

2.2.Sinkronisasi Estrus pada Domba

Sinkronisasi estrus atau penyerentakan berahi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama ialah dengan mengeluarkan korpus luteum atau menjadikannya tidak berfungsi sehingga hewan tersebut memasuki fase folikuler dari siklus berahinya. Cara kedua adalah dengan menekan perkembangan folikel ovarium selama fase luteal (Hunter 1995).

Penghilangan korpus luteum dapat dilakukan dengan memberikan preparat hormon yang bersifat luteolisis. Hormon tersebut ialah PGF2α atau analognya. Hormon PGF2α akan membuat korpus luteum yang ada di ovarium mengalami regresi setelah dilakukan injeksi. Sementara itu, penekanan perkembangan folikel ovarium dapat diberikan dengan memberikan preparat hormon progesteron atau progestin sintetik. Pemberian preparat progesteron atau progestin sintetik akan menekan aktivitas ovarium dalam waktu yang singkat sehingga tetap dalam fase luteal (Donald dan Leslie 1980).

Penyerentakan berahi domba dilakukan dengan memberikan injeksi hormon PGF2α. Pemberian injeksi ini harus dilakukan pada fase luteal, yaitu ketika ovarium domba sedang memiliki korpus luteum. Selain itu, injeksi hormon ini dilakukan ketika korpus luteum tersebut telah memasuki masa responsif

(21)

minimal telah berumur tiga hari atau kira-kira hari keempat siklus berahinya. Oleh karena itu, injeksi PGF2α dapat dilakukan pada hari ke 5-16 dari siklus berahinya (Donald dan Leslie 1980). Namun, jika penyerentakan berahi dilakukan pada sekelompok hewan maka teknik manajemen yang dilakukan ialah dengan injeksi

PGF2α sebanyak dua kali. Injeksi PGF2α yang kedua berjarak 8 atau 9 hari dari injeksi yang pertama (Hunter 1995). Menurut Donald dan Leslie (1980), injeksi

PGF2α juga dapat dilakukan dengan rentang waktu antara 10-12 hari setelah injeksi yang pertama.

Regresi korpus luteum atau luteolisis akan cepat terjadi setelah dilakukan

injeksi PGF2α. Hewan akan menjadi berahi maksimal dalam 72 jam setelah injeksi PGF2α dilakukan. Rentang waktu terjadinya berahi biasanya dalam kisaran antara 29-48 jam setelah injeksi PGF2α (Hunter 1995). Hormon PGF2α yang mempunyai sifat luteolisis menyebabkan regresi korpus luteum dengan cara mempengaruhi kerja LH terhadap korpus luteum dan meningkatkan jumlah sekresi oksitosin oleh ovarium. Setelah itu, ovarium akan kembali ke siklus berikutnya dengan perkembangan folikelnya yang baru (James 2003).

2.3.Superovulasi pada Domba

Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang pembentukan folikel dalam ovarium melebihi kemampuan alamiahnya. Melalui superovulasi, jumlah folikel yang tumbuh dan matang lebih cepat akan meningkat. Teknik superovulasi dilakukan dengan menggunakan hormon gonadotropin. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan superovulasi di antaranya jumlah pemberian dosis, preparat hormon yang digunakan, preparat tambahan yang digunakan, dan prosedur pelaksanaan. Aplikasi teknik superovulasi yang dilakukan pada domba memberikan hasil yang sangat bervariasi (Gordon 2005).

(22)

juga dapat ditingkatkan dengan mengubah teknik superovulasi itu sendiri. Penggunaan metode berupa stimulasi superovulasi yang berulang akan memberikan hasil yang lebih baik (Cueto et al. 2010).

Jenis gonadotropin yang sering dipakai dalam penerapan teknik superovulasi ialah FSH dan PMSG. Pemakaian FSH dalam teknik superovulasi mempunyai respons yang sangat baik namun waktu paruh biologinya singkat, yaitu kurang lebih 2 sampai dengan 5 jam sehingga penyuntikan perlu dilakukan berulang kali (Hafez 2000). Hormon FSH dapat diperoleh dari ekstraksi pituitari ataupun dari sintetis secara buatan. Salah satu contoh gondadotropin sintetis ialah analog human hFSH. Hormon analog tersebut memiliki potensi yang mirip dengan FSH ketika diaplikasikan pada domba (Lemke 2008). Hormon PMSG merupakan hormon yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai aktivitas mirip dengan FSH dan LH. Hormon PMSG mencapai kadar tertinggi dalam darah antara hari ke-60 sampai dengan 90 dari masa kebuntingan dan diperkirakan hormon ini merangsang pembentukan korpus luteum tambahan atau folikel berlutein yang diperlukan untuk mempertahankan kebuntingan (Hunter 1995). Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG di antaranya merangsang pertumbuhan folikel, menunjang produksi estrogen, merangsang ovulasi, dan luteinisasi.

Pemberian PMSG dalam dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup untuk merangsang timbulnya ovulasi. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang sangat bervariasi, yaitu dari tidak memberi respons hingga respons yang berlebihan. Pemberian PMSG yang tidak disertai dengan pemberian hormon lain harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus estrus untuk domba (Hunter 1995).

(23)

kadar estrogen dalam darah akan memberikan sinyal untuk menghentikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipotalamus dan hipofise anterior. Kadar estrogen yang berada di atas ambang akan menekan pelepasan FSH oleh hipotalamus dan selanjutnya meningkatkan sekresi LH untuk merangsang proses ovulasi. Pada saat terjadi ovulasi, sel-sel granulosa akan memproduksi inhibin yang berfungsi untuk mengahambat produksi FSH (Hernawan 2003).

Pada kasus superovulasi, produksi hormon estrogen hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin eksogen. Pemberian LH eksogen tidak diperlukan untuk menginduksi terjadinya ovulasi karena lonjakan pelepasan LH endogen akan terjadi secara otomatis akibat superovulasi. Ovulasi merupakan pelepasan sel telur dari folikel yang telah matang. Ovulasi dapat terjadi jika ada sekresi LH secara mendadak dan dalam waktu yang cepat oleh hipofise anterior (Frandson et al.

2009). Pada beberapa spesies hewan tetap diperlukan adanya injeksi LH eksogen setelah pemberian PMSG. Injeksi LH eksogen diperlukan untuk menginduksi ovulasi dari beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya (Donald dan Leslie 1980).

Induksi ovulasi dapat dilakukan dengan melakukan injeksi tunggal LH dalam bentuk hCG atau fraksi hipofise yang kaya akan aktivitas LH. Pemberian preparat hormon tersebut dilakukan dengan injeksi intravena atau intramuskular. Waktu pemberian injeksi hormon dilakukan menjelang munculnya berahi, yaitu ketika terdapat folikel yang matang. Injeksi LH atau hCG harus dilakukan sebelum terjadi perbanyakan sekresi gonadotropin endogen. Jika injeksi LH atau hCG dilakukan terlalu cepat, yaitu ketika folikel belum matang, maka akan muncul efek lain pada hewan. Efek tersebut di antaranya hewan tidak berahi, terjadi ovulasi oosit primer, atau bahkan tidak terjadi ovulasi meskipun luteinisasi folikel dapat dimulai (Hunter 1995).

(24)

fase luteal yaitu beberapa saat menjelang injeksi tunggal preparat luteolisis (Hunter 1995). Menurut James (2003) induksi superovulasi menggunakan injeksi PMSG juga dapat mulai diberikan pada pertengahan siklus estrus. Pemberian induksi superovulasi ditujukan untuk meningkatkan jumlah folikel yang matang yang akan tumbuh menjadi folikel dominan dan untuk mengurangi jumlah folikel yang mengalami regresi.

Masing-masing folikel yang mencapai tahap folikel dominan akan melepaskan satu sel telur. Pada kondisi konsepsi, lokasi pelepasan sel telur tadi akan berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan menghasilkan progesteron yang berfungsi menjaga kebuntingan. Konsentrasi progesteron yang ada di dalam darah dapat digunakan untuk mengetahui jumlah embrio yang sedang berkembang. Semakin tinggi kadar progesteron dalam darah, maka jumlah embrio yang sedang berkembang semakin banyak. Namun, kadar progesteron di dalam darah tidak dapat menjadi ukuran untuk menentukan jumlah korpus luteum yang terbentuk (Amiridis et al. 2002).

2.4.Permasalahan Superovulasi

Penerapan teknik superovulasi memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, akan tetapi memiliki berbagai kendala dalam aplikasinya. Penerapan superovulasi masih terbatas dilakukan pada ternak sapi sedangkan pada domba masih jarang dilakukan. Tujuan utama dilakukan superovulasi pada sapi ialah untuk mendapatkan embrio dengan kualitas baik dan jumlah yang lebih banyak melalui inseminasi buatan dengan pejantan unggul. Selanjutnya, embrio dalam jumlah banyak hasil superovulasi tersebut dapat dipanen untuk kemudian dilakukan transfer embrio. Pada domba, penerapan superovulasi untuk tujuan tersebut tidak dilakukan karena dianggap tidak efektif.

(25)

ketika ternak sedang berada pada fase folikuler, terutama pada periode munculnya gelombang folikuler. Pada teori sebelumnya, gelombang folikel diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus berahi yang sekaligus pertengahan fase luteal sehingga diyakini pada saat tersebutlah waktu yang tepat untuk melakukan program superovulasi. Namun, perlakuan tersebut hanya memberikan hasil yang tidak pasti. Saat ini diketahui bahwa gelombang folikuler tidak terjadi satu kali saja. Gelombang folikuler terjadi bergantung pada fertilitas individu masing-masing sehingga dimungkinkan terjadi satu hingga tiga gelombang folikuler dalam satu siklus berahi (Sumaryadi 1997).

Permasalahan lain yang muncul ketika pelaksanaan program superovulasi ialah tingginya tingkat stres induk. Stres induk tersebut disebabkan oleh tingginya beban metabolisme yang ditanggung dengan banyaknya jumlah fetus yang ada dalam uterus. Selain itu, peningkatan perkembangan folikel akibat superovulasi akan meningkatkan sekresi hormon endogen. Peningkatan sekresi hormon-hormon endogen akan berpengaruh juga pada peningkatan beban metabolisme induk. Dengan demikian, suatu metode perlu diaplikasikan untuk mengurangi stres metabolisme akibat peningkatan beban metabolisme pada induk yang disuperovulasi. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan ekstrak dari tanaman berkhasiat yang diharapkan mampu meningkatkan performans induk yang disuperovulasi.

2.5.Darah

(26)

Darah yang diberi antikoagulan dan kemudian disentrifugasi akan memisahkan bagian darah berdasarkan bobotnya. Sel-sel darah akan mengendap sedangkan plasma darah akan berada di atasnya. Pada darah normal, sel-sel darah akan menempati 0,45 bagian dari volume keseluruhan. Bagian ini disebut hematokrit atau jika dalam unit internasional disebut VPRC (Volume of Packed

Red Cells). Bobot jenis darah bervariasi antara 1,045-1,060 sedangkan bobot jenis

plasma darah antara 1,024-1,028. Viskositas atau derajat kekentalan darah kira-kira 4,5 kali viskositas air.

Bagian cair dari darah disebut plasma darah. Plasma darah mengandung sekitar 90% air. Peranan air dalam darah sangat besar. Air yang terkandung dalam plasma berfungsi sebagai pelarut zat-zat, menjaga tekanan darah, menjaga kondisi osmotik, dan pengaturan panas. Air mempunyai kalor jenis yang tinggi, konduktivitas panas yang tinggi, dan kalor penguapan laten yang tinggi pula. Sifat air tersebut sangat menguntungkan dalam hal pengaturan panas (Poedjiadi 2006).

Salah satu zat terbanyak yang terdapat dalam plasma ialah protein. Kadar protein plasma kira-kira 6 sampai dengan 8% dari plasma. Beberapa protein yang terkandung dalam plasma di antaranya fibrinogen, albumin, dan globulin. Fibrinogen adalah suatu protein yang dapat berubah menjadi fibrin dan menyebabkan terjadinya penggumpalan darah apabila terjadi perlukaan. Fibrinogen memiliki sifat seperti globulin namun berbeda pada beberapa reaksi pengendapan. Fibrinogen dibentuk dalam hati. Pada keadaan peradangan dan kebuntingan, jumlah fibrinogen dalam plasma meningkat. Albumin dan globulin merupakan bagian besar protein yang terdapat dalam plasma. Kedua jenis protein ini berfungsi sebagai zat yang menentukan besarnya tekanan osmosis (Poedjiadi 2006).

(27)

2.6.Sel Darah Merah

Sel darah merah atau eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang. Hemoglobin merupakan zat padat dalam eritrosit yang menyebabkan warna merah pada eritrosit. Eritrosit kurang mengandung air dibandingkan dengan sel-sel lain dalam jaringan. Di dalam eritrosit terdapat lipid, protein, dan enzim. Lipid yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein yang terdapat di dalam eritrosit ialah stromatin, lipoprotein, dan elimin. Beberapa enzim yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzim-enzim dalam sistem glikolisis. Molekul ATP dan ADP merupakan bagian yang penting di dalam eritrosit. Urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa adalah zat organik yang larut di dalam eritrosit. Konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan konsentrasi glukosa dalam eritrosit (Poedjiadi 2006). Gambar dari bentuk sel darah merah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Bentuk sel darah merah (Anonim 2008)

(28)

maka air dari dalam sel akan keluar. Ukuran sel menjadi kecil dan dikenal dengan istilah krenasi.

Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang kemudian dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi dan beredar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Jumlah eritrosit dalam darah relatif konstan. Jumlah eritrosit yang konstan menunjukkan pembentukan eritrosit yang baru memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rusaknya eritrosit yang lama. Sel darah merah dapat bertahan selama 120 sampai dengan125 hari dalam sirkulasi dan kemudian mengalami kerusakan. Sekitar 0,8% dari seluruh eritrosit mengalami kerusakan dan dibentuk setiap hari.

Eritrosit yang rusak menyebabkan hemoglobin keluar dari sel. Hemoglobin tersebut akan mengeluarkan zat besi atau Fe yang terkandung di dalamnya. Fe yang telepas akan bergabung dengan transferin yang kemudian disimpan dan dapat digunakan lagi. Transferin merupakan suatu protein yang terdapat dalam plasma dan mampu mengikat Fe secara reversibel. Kemampuan tubuh untuk menyimpan Fe dan menggunakannya kembali sangat menguntungkan karena usus mempunyai kemampuan yang terbatas dalam melakukan penyerapan Fe yang terkandung dalam makanan.

Kadar Fe dalam tubuh bergantung pada ukuran badan dan tingkat hemoglobin. Fe terdapat dalam hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan sisanya dalam mioglobin. Kandungan Fe sedikit di dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Fe yang terdapat dalam makanan diserap di semua jalur pencernaan makanan namun terbanyak adalah di duodenum. Zat besi diserap dalam bentuk Fe++ dan langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Sebagian Fe akan tersimpan dalam sel hati, limpa, dan sumsum tulang sebagai feritin dan hemosiderin. Feritin merupakan protein yang larut dalam air yang terdiri atas apoferitin dan kompleks ferihidroksidafosfat. Kelebihan Fe yang tidak tertampung oleh feritin akan disimpan sebagai hemosiderin yang tidak larut dalam air. Pemasukan Fe yang terus menerus ke dalam tubuh menyebabkan tertimbunnya hemosiderin dalam hati dan dapat menyebabkan kerusakan hati dan jantung (Guyton dan Hall 1997).

(29)

diglukoronida oleh enzim UDP-glukoronil transferase yang kemudian dibawa ke empedu. Bilirubin diglukoronida akan dikeluarkan bersama cairan empedu ke dalam usus. Di dalam usus glukoronida dipisahkan sedangkan bilirubin direduksi menjadi urobilinogen yang tidak berwarna. Sebagian urobilinogen diserap kembali dan dibawa ke hati. Sebagian besar urobilinogen dikeluarkan bersama feses setelah diubah menjadi urobilin melalui jalur oksidasi.

Kondisi kelainan eritrosit berupa jumlahnya yang tidak mencapai normal disebut anemia. Anemia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pendarahan, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan kekurangan volume darah dalam tubuh sehingga menyebabkan anemia. Plasma darah dapat kembali dalam 24 jam dengan jalan mengambil cairan dari jaringan-jaringan. Sementara itu, dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mengembalikan jumlah sel darah merah yang hilang. Kekurangan Fe dalam tubuh dapat berakibat kurangnya jumlah hemoglobin yang secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi eritrosit. Anemia juga dapat terjadi karena sel darah merah yang mudah rusak. Rusaknya sel darah merah dapat terjadi karena rapuhnya membran sel. Produksi sel yang tidak dapat mengimbangi laju kerusakannya akan mengakibatkan kondisi anemia. Anemia terbagi dalam beberapa jenis sesuai dengan penyebabnya. Pernicious anemia terjadi karena kurangnya asam folat atau vitamin B12 yang menyebabkan produksi sel darah merah berkurang dan ukurannya membesar. Jenis anemia yang lain adalah anemia aplastik. Pada kondisi ini sumsum tulang sama sekali tidak mampu untuk memproduksi sel darah merah. Akibat dari anemia tersebut adalah kurangnya kemampuan darah dalam mengikat oksigen sehingga jaringan-jaringan yang memerlukan oksigen tidak dapat terpenuhi kebutuhannya. Akibat lain yang muncul adalah menurunnya viskositas darah yang pada akhirnya mempengaruhi kerja jantung.

(30)

2.7.Profil Ekstrak Temulawak yang diberikan

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman obat yang

termasuk dalam suku temu-temuan. Menurut klasifikasi ilmiah, temulawak masuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, dan ordo Zingiberales. Selanjutnya, temulawak termasuk dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan memiliki nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza (Rukmana

1995). Gambar dari temulawak disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Temulawak atau Curcuma xanthorrhiza (Anonim 2010)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) mempunyai kandungan utama

protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin. Kurkumin mempunyai manfaat sebagai antiradang dan antihepatotoksik. Senyawa kurkumin memiliki sifat hepatoprotektif dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi hati yang sedang mengalami kerusakan (Marotta et al. 2003). Temulawak memiliki beberapa manfaat yang dapat

digunakan sebagai obat. Manfaat tersebut di antaranya sebagai hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, antiradang, laksansia (pencahar), diuretikum, dan menghilangkan nyeri sendi. Manfaat lainnya ialah dapat meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan melancarkan peredaran darah.

(31)

Staphylococcus aureus, Salmonella typhimurium, dan Vibrio parahaemolyticus

(Lee et al. 2008). Senyawa xanthorizol yang dikenal dengan sesquiterpenoid

alami juga berpotensi sebagai senyawa antimetastasis tumor. Xanthorizol mampu menghambat pembentukan nodul tumor pada jaringan paru-paru dan tumor pada intraabdominal (Choi et al. 2004).

Beberapa jenis vitamin penting yang dibutuhkan oleh tubuh di antaranya vitamin A, vitamin B kompleks, dan vitamin D. Vitamin A memilki beberapa manfaat penting terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi. Manfaat tersebut di antaranya ialah sebagai komponen untuk menjaga fungsi reproduksi normal, mempengaruhi perkembangan normal fungsi ovarium dan plasenta, serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal embrio. Vitamin B kompleks, yang terdiri atas vitamin B1, B2, B6, dan B12, memiliki arti penting sebagai kofaktor berbagai enzim di dalam tubuh. Melalui peran pentingnya sebagai kofaktor tersebut, vitamin B kompleks memiliki fungsi sebagai bahan yang berperan dalam aktivasi berbagai enzim sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Vitamin D memiliki peran penting dalam proses penyerapan kalsium. Ketercukupan vitamin D akan membantu proses metabolisme kalsium di dalam tubuh menjadi lebih optimal. Kalsium memiliki arti yang sangat penting bagi tubuh karena kalsium berperan pada hampir seluruh proses metabolisme tubuh. Beberapa peran penting kalsium di antaranya sebagai

second messenger, berperan dalam kontraksi otot, berperan dalam impuls saraf,

(32)

III. METODE

3.1.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2.Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid, seperangkat alat ultrasonography (USG), tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip,

marker, kertas label, tabung kapiler, alat penghitung, adam mikrohematokrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang, dan mikroskop cahaya.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 16 domba betina, hormon Prostaglandin (PGF2α), hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin

(PMSG) dan humanChorionic Gondadotropin (hCG), pengencer Hayem, alkohol

70%, antikoagulan Ethilen Diamine Tetraasetate (EDTA), kertas saring, sediaan

ekstrak temulawak plus (ekstrak temulawak, vitamin A, vitamin B kompleks, dan vitamin D), dan selang penanda.

3.3.Tahap Persiapan 3.3.1. Hewan Percobaan

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 16 domba betina lokal yang telah dewasa kelamin. Domba-domba tersebut berasal dari Priangan Timur dan memiliki kisaran bobot badan antara 20-25 kg.

3.3.2. Aklimatisasi Domba

(33)

Selama aklimatisasi, domba diberikan antibiotik, antelmintik, dan vitamin B kompleks. Pemberian antibiotik, antelmintik, dan vitamin bertujuan untuk mendapatkan kondisi domba yang sehat dan bebas dari penyakit.

3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah kandang kelompok

dengan konstruksi kandang panggung dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas hijauan dan singkong. Hijauan diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari diberikan singkong. Pemberian air minum dilakukan secara tidak terbatas atau ad libitum.

3.4. Tahap Pelaksanaan 3.4.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2. Faktor pertama ialah superovulasi sedangkan faktor kedua ialah pemberian ekstrak temulawak plus. Selanjutnya, domba penelitian dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan yang masing-masing kelompok terdiri atas empat ekor domba. Rancangan percobaan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan

Perlakuan Tidak disuperovulasi Disuperovulasi

Tidak diberi ekstrak Kontrol (4 ulangan) SO (4 ulangan)

Diberi ekstrak TM (4 ulangan) SO dan TM (4 ulangan)

3.4.2. Superovulasi

(34)

mg/kg bobot . Penyuntikan PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama. Kelompok domba superovulasi (SO) dan kelompok domba yang dicekok ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (TM SO) mendapat perlakuan superovulasi dengan penyuntikan secara intramuskular menggunakan hormon PMSG dan hCG yang disuntikkan sesaat setelah

penyuntikan PGF2α yang kedua.

Dua hari setelah penyuntikan PGF2α yang kedua, domba berada dalam kondisi estrus, semua kelompok perlakuan domba dicampur dengan domba pejantan yang telah dipilih. Pencampuran domba jantan dengan domba betina dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan dilakukan dengan membagi 16 domba menjadi dua kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 8 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah pencampuran dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG.

3.4.3. Pemberian Ekstrak Temulawak Plus

Kelompok yang mendapat perlakuan pencekokan ekstrak temulawak plus ialah kelompok domba yang hanya diberi ekstrak temulawak plus (TM) dan domba yang dicekok ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi (TM SO). Kelompok tersebut mulai mendapatkan perlakuan pencekokan setelah kebuntingan berumur satu bulan. Pencekokan dilakukan sekali seminggu dengan dosis 1 mg per kg bobot badan.

3.4.4. Pengambilan Sampel

(35)

3.4.5. Penghitungan Eritrosit, Hematokrit, dan Hemoglobin

Penghitungan eritrosit dilakukan secara manual dengan metode hemositometer. Metode ini diawali dengan menghisap darah menggunakan pipet eritrosit sampai skala 0,5. Kemudian, pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel menggunakan tisu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer hayem dan menghisap larutan tersebut sampai batas tera 101.

Aspirator dilepas, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen, cairan tetesan pertama dan kedua dibuang. Selanjutnya, hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet eritrosit pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung didiamkan beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Langkah berikutnya, melihat kamar hitung di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung adalah di lima kotak, yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pokok kiri atas dan bawah, serta satu kotak yang tepat berada di tengah. Jumlah sel darah merah ialah jumlah dari penghitungan lima kotak tadi dikalikan dengan 10.000 per mm3.

Penghitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume (PCV) dilakukan

menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan

adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu, tabung mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4-5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Hasil sentrifugasi dibaca menggunakan Adam

Mikrohematocrit Reader.

(36)

3.5. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin.

3.6.Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis General

Linear Model (GLM) multivariate untuk melihat interaksi dari masing-masing

(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah

Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 2. Pada bulan pertama kebuntingan, didapatkan jumlah sel darah merah yang beragam antarkelompok perlakuan meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) menunjukkan nilai jumlah sel darah merah yang paling tinggi dengan jumlah 14,83±0,87 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah terendah ada pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus (kontrol) dengan jumlah sel darah merah 11,50±1,50 x 106/mm3. Satu-satunya faktor yang secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut ialah faktor superovulasi (SO), sedangkan faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan.

Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan

Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda

pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

(38)

tersebut disebabkan oleh lebih banyaknya sekresi hormon kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Selain sekresi hormon kebuntingan yang meningkat, kondisi kebuntingan juga mempengaruhi sekresi hormon lain yang juga mempengaruhi proses metabolisme seperti hormon tiroid (Guyton dan Hall 1997). Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi ialah adanya peningkatan jumlah sel darah merah. Walaupun kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus, akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah. Berdasarkan penghitungan statistik, faktor pemberian ekstrak temulawak plus (TM) dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan.

Pada bulan kedua, didapatkan jumlah sel darah merah tertinggi, yaitu pada kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) dengan jumlah 15,68±0,96 x 106/mm3 dan terendah pada kelompok kontrol dengan jumlah sel darah merah 11,73±1,73 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan pertama. Peningkatan jumlah sel darah merah dari bulan pertama ke bulan kedua dari kelompok domba kontrol adalah sebesar 2%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi memiliki nilai peningkatan yang sama, yaitu sebesar 5,7%. Peningkatan jumlah sel darah merah terbesar ada pada kelompok domba yang disuperovulasi, yaitu sebesar 8,2%. Berdasarkan perhitungan statistik, pada bulan kedua mulai terlihat adanya nilai yang berbeda nyata pada kelompok perlakuan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah pada bulan kedua ialah faktor superovulasi.

(39)

muncul pada bulan ketiga dan bulan pertama hanya terdapat pada peningkatan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Namun, jika dibandingkan pada bulan kedua, hanya kelompok kontrol yang mengalami penurunan jumlah sel darah merah, yaitu sebesar 1,53%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok perlakuan terjadi seiring dengan peningkatan umur kebuntingan.

Faktor pemberian ekstrak temulawak plus mulai memberikan pengaruh pada jumlah sel darah merah pada bulan keempat. Pada bulan keempat, selain faktor pemberian ekstrak temulawak plus, faktor superovulasi juga memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan. Akan tetapi, faktor kombinasi antara superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) belum memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah kelompok domba perlakuan. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak dan disuperovulasi memberikan jumlah tertinggi dibanding kelompok lainnya. Meskipun mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain, kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi sekaligus mengalami penurunan jumlah sel darah merah sebesar 4% dibandingkan pada bulan ketiga.

(40)

jumlah sel darah merah didapatkan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok kontrol maupun kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM). Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibanding kelompok SO maupun kelompok TM dan SO, namun selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah. Pada bulan kelima kebuntingan, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) yang justru mengalami sedikit peningkatan.

Jumlah sel darah merah dalam sistem sirkulasi tubuh diatur secara terbatas sehingga memadai untuk selalu menyediakan oksigen bagi jaringan (Guyton dan Hall 1997). Sel darah merah mempunyai tiga fungsi penting yaitu transportasi oksigen ke jaringan, transportasi karbon dioksida ke paru-paru, dan sebagai penyangga atau buffer ion hidrogen (Meyer dan Harvey 2004).

Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan secara keseluruhan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 x 106/mm3. Nilai tersebut juga bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting.

Selain peningkatan, penurunan jumlah sel darah merah juga terjadi pada setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan jumlah sel darah merah terjadi menjelang kelahiran yang juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Maheshwari et al. (2001). Penurunan jumlah sel darah merah pada bulan kelima

(41)

menjelang kelahiran juga dilaporkan pada penelitian yang dilakukan Iriadam (2007). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba pada pertengahan masa kebuntingan adalah 16,94±0,23 x 106/mm3 sedangkan pada akhir kebuntingan ialah 15,40±0,49 x 106/mm3.

Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Jumlah sel darah merah mengalami kenaikan sampai dengan bulan ketiga dan mengalami penurunan pada bulan keempat menuju bulan kelima. Pada kelompok kambing yang melahirkan anak kembar dan normal akan mengalami peningkatan jumlah sel darah merah sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan (Maheshwari et al. 2001). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian

pada kelompok domba yang disuperovulasi (SO) yang sampai pada bulan keempat kebuntingan terus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah akan mengalami peningkatan pada bulan-bulan awal kebuntingan.

Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus dan perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak memberikan pengaruh sampai bulan ketiga. Pemberian ekstrak temulawak plus baru mempengaruhi jumlah sel darah merah pada masa menjelang kelahiran, yaitu bulan keempat dan kelima sedangkan interaksi antara faktor superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus dalam mempengaruhi jumlah sel darah merah baru terjadi pada bulan kelima. Menjelang kelahiran, terjadi peningkatan stres pada tubuh induk yang mempengaruhi level antioksidan alami tubuh. Jumlah antioksidan tersebut sangat berpengaruh pada umur sel darah merah (Kurata et al.

1993). Salah satu senyawa bermanfaat yang dimiliki temulawak ialah kurkuminoid. Kurkuminoid mampu memperbaiki level dari malonildialdehida (MDA), superoksida dismutase (SOD), dan glutation peroksidase (GSH-Px) (Kalpravidh et al. 2010). Ketiga senyawa tersebut merupakan antioksidan alami

(42)

Jumlah sel darah merah akan mengalami penurunan pada masa akhir kebuntingan atau menjelang kelahiran. Penurunan jumlah sel darah merah tersebut tidak hanya terjadi pada domba namun juga pada hewan bunting lainnya, seperti pada kuda, babi, dan anjing (Jain 1993; Vihan dan Rai 1987). Penurunan jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan menimbulkan efek hemodilusi atau pengenceran darah sebagai akibat dari meningkatkanya plasma darah. Kondisi tersebut juga telah diteliti pada kambing yang sedang bunting (Azab dan Maksoud 1999).

Mekanisme kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah selama kebuntingan sangat terkait dengan proses hormonal. Perlakuan superovulasi sebelum adanya perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, konsentrasi rata-rata hormon estrogen induk, konsentrasi hormon progesteron, jumlah litter size, rata-rata bobot lahir anak, dan produksi susu masing-masing

sebesar 112, 67, 42, 27, 32, dan 35% (Adriani et al. 2007). Selanjutnya, profil

kenaikan dan penurunan dari jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 1.

Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■),

diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan.

(43)

dan estrogen selama kebuntingan maka bobot total lahir anak juga semakin tinggi (Sumaryadi 2004). Total bobot lahir anak menggambarkan proses pertumbuhan yang dialami fetus selama kebuntingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hormon progesteron selama kebuntingan memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1998)

Kelompok perlakuan yang mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus (TM dan TM SO) memiliki jumlah sel darah merah yang lebih tinggi dari kontrol. Kandungan vitamin A, D, dan B kompleks yang terdapat pada ekstrak temulawak plus diduga memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah sel darah merah. Pada manusia, suplementasi vitamin A dilaporkan dapat menurunkan tingkat kematian pada anak yang baru lahir ketika ibunya menderita defisiensi vitamin A (Rotondi dan Khobzi 2010). Pemberian piridoksin (B6) mampu meningkatkan proliferasi sel diferensiasi neuroblast pada saraf (Yoo et al. 2011).

Vitamin D dan K secara sinergis memberikan manfaat pada tulang dan sistem kardiovaskular (Kidd dan Paris 2010). Pemberian suplementasi vitamin D pada induk babi selama kebuntingan dapat memberikan kecukupan kebutuhan mineralisasi tulang fetus (Witschi et al. 2011).

4.2. Hematokrit

(44)

kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus selalu lebih tinggi dari kontrol namun lebih rendah dari kelompok domba yang disuperovulasi dan kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Perbedaan nilai hematokrit yang ada tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan.

Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan

Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM

Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda

pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

Nilai hematokrit bulan pertama dari kelompok yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus, yaitu 26,85±1,30%, memberikan nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus yang juga memiliki jumlah sel darah merah tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Nilai hematokrit pada bulan kedua dari setiap kelompok domba perlakuan mengalami kenaikan dengan pola perbandingan yang hampir sama kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pada bulan kedua, nilai hematokrit tertinggi sebesar 28,20±0,80% ada pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus yang menunjukkan kenaikan nilai hematokrit sebesar 5% dibanding pada bulan pertama. Nilai hematokrit terendah pada bulan kedua sebesar 24,15±1,52% pada kelompok domba kontrol yang menunjukkan kenaikan sebesar 1,5%.

(45)

penelitian secara nyata hanya terjadi pada bulan kedua. Kenaikan nilai hematokrit pada bulan kedua sejalan dengan kenaikan jumlah sel darah merah pada bulan kedua pada setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang dilaporkan oleh Ginting adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat

et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting

adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al.

2006). Kelompok domba perlakuan yang memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai tersebut ialah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi.

Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 2.

Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan.

(46)

merahnya. Hal tersebut terjadi karena nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah. Pola kenaikan nilai hematokrit terjadi pada bulan-bulan awal kebuntingan, sedangkan pada masa menjelang kelahiran mengalami penurunan karena jumlah sel darah merah juga mengalami penurunan. Penurunan nilai hematokrit juga akan terus terjadi sampai dengan periode setelah kelahiran (Azab dan Maksoud 1999).

Secara fisiologis, nilai hematokrit pada hewan bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ketika tidak bunting. Hal tersebut dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah. Selain volume plasma darah, total air tubuh juga meningkat termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Kenaikan volume plasma darah pada

kebuntingan kembar jauh lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh akan menyebabkan pengenceran darah atau dikenal dengan hemodilusi yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 1997). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010).

Kondisi hemodilusi juga memperlancar aliran darah dalam pembuluh darah kapiler plasenta. Aliran pembuluh darah yang lancar pada plasenta akan meningkatkan proses difusi oksigen dan nutrisi pada fetus (Pere et al. 1996).

Kondisi hemodilusi pada akhir masa kebuntingan juga dilaporkan terjadi pada kambing Saanen (Biagi et al. 1988) dan pada kambing Danish landrace (Mbassa

dan Poulsen 1991).

4.3. Hemoglobin

(47)

penelitiannya sebesar 11 gram%. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan Kozat et al. (2003),

yaitu sebesar 12,2±0,7 gram% pada domba tidak bunting dan sebesar 12,3±0,58 gram% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006).

Perbedaan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan secara umum dipengaruhi oleh faktor superovulasi. Pada bulan kedua, kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan hampir memiliki nilai yang sama sehingga tidak didapatkan faktor yang secara signifikan mempengaruhi kadar hemoglobin. Pada bulan kelima, faktor pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh pada perbedaan kadar hemoglobin domba penelitian. Perbedaan kadar hemoglobin yang disebabkan oleh faktor pemberian ekstrak temulawak plus tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merahnya. Data kadar hemoglobin domba penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 4 Kadar hemoglobin (gram%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan

Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM

Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda

pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

(48)

oksigen antara darah induk dan fetus. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan kadar hemoglobin di dalam darah induk dapat menyebabkan penurunan pengangkutan oksigen ke fetus (Guyton dan Hall 1997). Kadar hemoglobin darah baru mengalami perubahan berupa penurunan pada periode setelah melahirkan (Azab dan Maksoud 1999).

Pengamatan jumlah kadar hemoglobin tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Gambar 3.

Grafik 3 Kadar hemoglobin induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan.

(49)

terjadi penurunan baik kadar hemoglobin, hematokrit, ataupun jumlah sel darah merahnya.

Pola kenaikan kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah yang terjadi pada masa-masa awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan,siklus reproduksi, dan kebuntingan (Jain 1993). Kondisi kebuntingan menyebabkan perubahan pada proses metabolisme yang terlihat dari gambaran darahnya. Proses perubahan gambaran darah tersebut merupakan mekanisme fisiologi yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999).

Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi selama periode kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh kenaikan pada periode awal kebuntingan dan penurunan pada akhir masa kebuntingan.

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Pemberian ekstrak temulawak plus selama periode kebuntingan dapat memperbaiki gambaran darah induk domba yang disuperovulasi sebelum kawin. Interaksi nyata antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus terjadi pada akhir periode kebuntingan

Saran

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Adi S, Toha S, Wasmen M, I Ketut S. 2007. Pertumbuhan prenatal dalam kandungan kambing melalui superovulasi. HAYATI J Biosci14(2):44-48.

Amiridis GS, Rekkas CA, Fthenakis GC, Vainas E, Lymberopoulos A, Christodoulou V, Belibasaki S. 2002. Progesterone concentration as an indicator of ovarian responsse to superovulation in Chios ewes. Theriogenol

57(3):1143-1151.

Andriyanto, Manalu W. 2010. Prospek penerapan teknologi perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan pada domba skala peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional. Bagian Reproduksi dan Kebidanan Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm: 125-127.

Andriyanto, Manalu W. 2011. Potency of ethanol extract Curcuma xanthoriza as

natural growth promotor in pregnant ewes with superovulation. Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd International symposium on Temulawak. The 40th Meetingof National Working Group on Indonesian Medical Plant. IICC. Bogor. Hlm:134.

Anonim. 2008. http://elvira.student.umm.ac.id [12 April 2011].

Anonim. 1999. http://publicdomainclip-art.blogspot.com/2007/08/sheep-ovis-aries.html [12 April 2011].

Anonim.2009.http://www.agromaret.com/artikel/474/mengenal_domba_di_indon esia [25 Maret 2011].

Anonim. 2010. http://www-obat-tradisional.blogspot.com/2010/12/obat-tradisional-khasiat-temulawak.html [12 April 2011].

Azab ME, Abdel-Maksoud HA. 1999. Changes in some hematological and biochemical parameters during prepartum and postpartum periods in female baladi goats. Small Rumin Res 34(1)77-85.

Berghella V. 2007. Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa

Healthcare.

Biagi G, Bagliacca M, Leto A, Romagnoli A. 1988. The use of metabolic profile test in a sanen goat herd. Ann Fac Med Vet 41:395-410.

Cahyono B. 1998. Beternak Domba dan Kambing. Jakarta: Kanisius.

(52)

Cueto M, Pereyra B, Silvestre P, Gibbons AE. 2010. Superstimulatory respons with decreasing doses of follicle-stimulating hormone. A single dose of follicle-stimulating hormone-equine chorionic gonadotropin during breeding season in sheep. Rep Fert Dev 22(1):360-360.

Cunningham JD. 1997. Text Book of Veterinary Physiology. Philadelphia: WB

Saunders Company.

Donald Mc, Leslie E. 1980. Veterinary Endocronology and Reproduction 3rd Edition. Philadelphia: Lea&Febiger.

Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals 7th Ed. Iowa: Wiley-Blackwell.

Ginting N. 1987. Gambaran darah ruminansia di Pulau Jawa. Peny Hewan

19(33):30-37

Gordon R. 2005. Reproductive Technologies in Farm Animals. Cambridge: CABI

Publishing.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakara: Penerbit Buku

Kedokteran.

Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelpia.

Hernawan E. 2003. Peningkatan Kinerja Reproduksi pada Phase Kebuntingan melalui Tehnik Superovulasi pada Ternak Domba. Int Sci Phil (PPS 702).

Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan BetinaDomsestik

terjemahan DK Harya Putra. Penerbit ITB. Bandung.

Iriadam M. 2007. Variation in certain hematological and biochemical parameters during the peri-partum period in Kilis does. Small Rumin Res 73:54-57.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger

James SE. 2003. Applied Animal Endocrinology. Cambridge: CABI Publishing.

Kalpravidh RW, Siritanaratkul N, Insain P, Charoensakdi R, Panichkul N, Hatairaktham, Srichairatanakool S, Phisalaphong C, Rachmilewitz E, Fucharoen S. 2010. Improvement in oxidative stress and antioxidant

parameters in β-thalassemia/Hb E patients treated with curcuminoids. Clin Biochem 43(4):424-429.

Kidd, Parris M. 2010. Vitamins D and K as pleiotropic nutrients: Clinical importance to the skeletal and cardiovascular systems and preliminary evidence for synergy. Alt Med Rev 15(3):199-222.

(53)

hematological and some mineral levels in sheep naturally infected with Babesia ovis. Y Y Vet Fak Derg 14:18-21.

Kozat S, YŸksek N, Yasar GOZ, Ihsan K. 2006. Serum iron, total iron-binding capacity, unbound iron-binding capacity, transferin saturation, serum copper, and hematological parameters in pregnant akkaraman ewes infected with gastro-intestinal parasites . Turk J Vet Anim Sci 30:601-604.

Kurata M, Suzuki M, Agar NS. 1993. Antioxidants system and erythrocyte life-span in mammals. Comp Biochem Physicl B 106:477-487

Lee YL, Seok SJ, Yaya R, Kwan HJ. 2008. Antibacterial activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. against foodborne pathogens. J Food Pro 71(9):1926-1930.

Lemke EP. 2008. Single-chain human gonadotropin analogs induce follicle development insheep. Journal of Endocrinology 196(3):593-600.

Lopez V, Bulnes G, Garcia G, Dominguez, Cocero. 2005. The effects of previous ovarian status on ovulation rate and early embryo development in response to superovulatory FSH treatments insheep. Theriogenol 63(7):1973-1983.

Maheshwari H, Isdoni B, Satyaningtijas AS, Ekastuti DR, Kusumorini N. 2001. Gambaran darah kambing yang bunting tunggal dan kembar. Med Pet

24(3):77-82.

Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesterone concentration during pregnancy and lamb birth weight at parturition in javanese thin-tail ewes with different litter size. Small Rumin Res 30:163-169.

Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin Res 33:279-284.

Marotta F, Shield YR, Bamba T, Naito Y, Mineli E, Yoshioka M. 2003. Hepatoprotective efffect of a curcumin compound in experimental severe liver injury. Chin J Dig Dis 4(3):122-128.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation & Diagnosis. Third edition. USA: Saunders.

Pere MC, Dourmad JY, Etienne M. 1996. Variation of uterine blood flow in the sow during gestation. Journées de la Recherche Procine en France

18:371-378.

Podymow T, Phylis A, Ayub A. 2010. Management of renal disease in pregnancy.

Obstet Gynecol Clin N Am 37:195-210.

Poedjiadi A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas

Gambar

Tabel  1   Pembagian kelompok domba perlakuan   .......................................
Gambar 1 Domba lokal atau Ovis aries (Anonim 1999)   ...............................
Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi
Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, superovulasi sebelum perkawinan yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode

Jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin pada anak domba hasil superovulasi dan litter size menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang sama

Asosiasi yang tidak bermakna antara kadar timbel dalam darah terhadap kadar dan abnormalitas hemoglobin dan hematokrit sesuai dengan kajian peneliti lain yang menyatakan bahwa

Sementara itu, superovulasi sebelum perkawinan yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode

Hasil pengamatan data jumlah anak yang dilahirkan, rasio anak per induk, rataan bobot lahir, total bobot lahir per induk, total bobot lahir dari 4 ekor induk pada

Asosiasi yang tidak bermakna antara kadar timbel dalam darah terhadap kadar dan abnormalitas hemoglobin dan hematokrit sesuai dengan kajian peneliti lain yang menyatakan bahwa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil sel darah merah meliputi total eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit pada monyet

Jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin pada anak domba hasil superovulasi dan litter sizemenunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang sama