• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan studi perkembangan fetus menggunakan ultrasonografi sebagai dugaan kebuntingan dini pada domba garut (Ovis aries)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan studi perkembangan fetus menggunakan ultrasonografi sebagai dugaan kebuntingan dini pada domba garut (Ovis aries)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

   

RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF

DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN

ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN

DINI PADA DOMBA GARUT (

Ovis aries

)

BAGUS SETIAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRACT

BAGUS SETIAWAN. The Responses of Estrous to PGF2α Injection and The Study of Fetus Development through Ultrasonography used as a Diagnosis of Early Pregnancy in Garut Sheep (Ovis aries). Under direction of Amrozi.

This study was done to observe estrous characteristic after PGF2αinjection and to determine the earliest day of pregnancy diagnosis in garut sheep (n=3) using transrectal ultrasonography. The sheep were estrous induction was done by injection of PGF2α on luteal phase. The onset and duration of estrous were observed by using a teaser. Pregnancy was determined by isoechogenic or hyperechogenic visualization surrounded by hypoechogenic which is fetus implantation. Onset of estrous was 35±28.7 hours and duration of estrous was 33±13.6 hours. Early pregnancy was detected on days 22 (22.3±0.6 days). Development of fetus was followed by increasing the diameter and thickness of uterus. The Diameter of uterus increased from days 22 (1.8±0.7 cm) until days 42 (5.6±1.1 cm), and the thickness of uterus increased from days 22 (0.8±0.1 cm) until days 42 (2.1±0.5 cm). The placentom appeared on days 34 (0.8±0.2 cm) and developed significantly until days 56 (2.7±0.5 cm; P<0.05). It could be concluded that the earliest pregnancy diagnosis showed positive sign on days 12 and the fetus was observed on days 22.

Keywords: garut sheep, pregnancy, transrectal ultrasonography.

(3)

RINGKASAN

BAGUS SETIAWAN. Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi Perkembangan Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries). Dibimbing oleh AMROZI.

Domba garut merupakan ternak yang sangat potensial sebagai bagian dari sektor usaha peternakan nasional. Domba ini mempunyai keunggulan dalam kemampuan adaptasi, memiliki bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya, dapat melahirkan anak lebih dari satu (prolific) dan tidak mengenal musim kawin. Domba garut jantan yang baik performansinya digunakan sebagai domba seni ketangkasan, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi.

Manajemen peternakan domba di Indonesia masih dilakukan secara tradisional khususnya pada pemeriksaan kebuntingan. Hal ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggu-tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak. Kehilangan waktu untuk menghasilkan anak menunjukan potensi reproduksi domba tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin. Diharapkan dengan induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut dengan ultrasonografi dapat memberikan informasi yang lebih baik dan akurat dalam penentuan status kebuntingan, sehingga mampu meningkatkan populasi domba di Indonesia.

(4)

ultrasonografi, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). Panjang fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor. Diameter dan ketebalan dinding uterus serta diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Panjang fetus, diameter uterus, tebal uterus dan diameter plasentom diuji dengan one sample t-test (SPSS 16.0).

Hasil pengamatan induksi estrus menunjukkan bahwa onset estrus berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2αdan lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam. Pada hasil pengamatan ultrasonografi kebuntingan domba garut, vesikel embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20. Berdasarkan hasil pengamatan, awal ditemukannya fetus pada hari ke-22 kebuntingan (22,3±0,6 hari). Hasil pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah ditentukan selama periode kebuntingan, menunjukkan pola yang cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus, dan tebal uterus. Diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus. Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan fetus saat kebuntingan. Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm), dan tebal uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Plasentom teramati pada kebuntingan ke-34, plasentom menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai akhirnya pertumbuhannya tidak signifikan (relatif konstan) setelah hari ke-56. Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56 (2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm).

Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal fetus terdeteksi pada umur kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

   

RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF

DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN

ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN

DINI PADA DOMBA GARUT (

Ovis aries

)

BAGUS SETIAWAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Respon Estrus Setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi

Perkembangan Fetus Menggunakan Ultrasonografi Sebagai

Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries)

Nama : Bagus Setiawan

NIM : B04070051

Disetujui

drh. Amrozi, Ph.D Ketua

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2010 ini ialah reproduksi,

dengan judul Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2αdan Studi Perkembangan

Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada

Domba Garut (Ovis aries).

Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Amrozi, Ph.D selaku

pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta

seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Agustus 1989 dari ayah

Sunarwoto dan ibu Isnaeni Wahyuningsih. Penulis merupakan putra pertama dari

dua bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gadingrejo dan pada tahun

yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota UKM Uni

Konservasi Fauna IPB tahun 2007-2009, tahun 2008/2009 menjabat sebagai wakil

ketua UKM Bola Voli IPB, tahun 2009/2010 menjabat sebagai ketua umum

Himpunan Minat Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, menjadi

asisten mata kuliah Ektoparasit tahun ajaran 2010/2011 dan menjabat sebagai

pengurus Sorcherry Riding Club tahun 2009/2010.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ……….... 1

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4

Domba Garut ………... 4

Induksi Estrus ………... 6

Pemeriksaan Kebuntingan ……….…...………... 6

Ultrasonografi (USG) ……….. 8

BAHAN DAN METODE ……… 10

Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 10

Hewan Percobaan ……….... 10

Peralatan ……….. 10

Induksi Estrus ……….. 10

Pengamatan Estrus dan Perkawinan ……… 10

Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus ………….... 11

Analisis Data ……… 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 13

Pengamatan Estrus dan Perkawinan ……… 13

Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus ………….... 14

KESIMPULAN ………....………...… 19

DAFTAR PUSTAKA ……….. 20

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Domba garut jantan dan domba garut betina ……….. 4

2 Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendes- kripsikan gambar pada sonogram ……… 8

3 Metode pengamatan ultrasonografi ………. 12

4 Ultrasonografi korpus luteum ……….. 14

5 Hasil gambaran ultrasonografi kebuntingan domba ………... 15

6 Rataan perkembangan dari panjang fetus, diameter uterus, dan tebal uterus pada domba garut selama kebuntingan ………. 16

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba garut yang kita kenal sebenarnya adalah hasil persilangan antara

domba lokal, domba merino dari Australia dan domba kaapstad dari Afrika

(Setiadi 2010). Domba ini banyak dipelihara oleh masyarakat petani di pedesaan

Jawa Barat. Domba ini banyak dipelihara karena mempunyai kemampuan

adaptasi yang baik dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga domba ini cocok

untuk dikembangkan di tempat lain, termasuk di luar Pulau Jawa. Domba ini

merupakan domba yang memiliki tingkat produktifitas tinggi yaitu dapat

melahirkan anak lebih dari satu (prolific) setiap siklus kelahirannya, apalagi

domba ini juga tidak mengenal musim kawin sehingga dapat melakukan

perkawinan sepanjang tahun. Keunggulan lain dari domba ini adalah memiliki

bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. Herman (1993)

menyebutkan bahwa domba garut dengan pakan baik bobotnya dapat mencapai 60

sampai 80 kg pada domba jantan dan 30 sampai 40 kg pada domba betina. Selain

itu, orientasi pasar domba garut juga mengarah ke pasar kesenangan atau hobi

yang memunculkan sebuah arena seni ketangkasan domba garut. Mulyono (2003)

menyatakan bahwa domba garut jantan yang baik performansinya digunakan

sebagai domba seni ketangkasan. Adanya seni ketangkasan ini menjadi ajang

kompetisi sekaligus untuk menyeleksi bibit domba unggulan, sehingga domba ini

mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lain.

Saat ini, situasi yang terjadi adalah semakin berkurangnya populasi domba

garut. Penurunan populasi ini merupakan akibat dari laju pemotongan yang tidak

terkendali, termasuk juga adanya pemotongan domba betina produktif (Setiadi

2010). Walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan

seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut (Priatna 2011). Dinas

Peternakan Jawa Barat juga mencatat populasi domba pada tahun 2008 sekitar

5.311.836 ekor dari 9.605.000 ekor total populasi domba di Indonesia (BPS

2009). Sutian (1990) menyebutkan bahwa aspek ekonomi dari usaha peternakan

(14)

ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi

ditunggu-tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak.

Melihat potensi yang ada pada domba ini, pengembangan peternakan domba

tentunya dapat ditingkatkan. Peningkatan populasi domba ini diharapkan juga

dapat mengurangi impor daging sapi dan bisa membuka peluang untuk memenuhi

permintaan pasar luar negeri. Setiadi (2010) menyebutkan bahwa beberapa negara

tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Thailand ingin mengimpor domba ini

karena banyak keunggulan yang dimiliki.

Efisiensi waktu perkawinan dan informasi sedini mungkin mengenai status

kebuntingan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan

pengembangbiakan domba garut. Penelitian reproduksi domba garut di Indonesia

masih sangat terbatas khususnya mengenai pemeriksaan kebuntingan dini

menggunakan ultrasonografi. Haibel (1990) yang diacu dalam Ali dan Heyder

(2007) menyatakan bahwa estimasi dari diagnosa kebuntingan dan umur

kebuntingan penting dalam mencapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Pada

negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik

ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi

yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin (Sutian

1990). Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum

sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez dan Hafez 2000) atau kebuntingan

yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981).

Dengan mengetahui kebuntingan sedini mungkin, maka domba yang tidak

bunting dapat segera dikawinkan kembali, sehingga potensi reproduksi domba

dapat dimanfaatkan secara optimal. Manfaat lain yang bisa diperoleh diantaranya

pemberian pakan terhadap domba bunting dapat tercukupi, sehingga tingkat

kelangsungan hidup anaknya lebih terjamin serta pemotongan terhadap domba

bunting dapat dihindari. Induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini

menggunakan ultrasonografi diharapkan mampu meningkatkan populasi domba

garut.

Melihat permasalahan dan potensi yang ada pada pengembangan reproduksi

domba garut, mengetahui manfaat penggunaan ultrasonografi dalam bidang

(15)

pemeriksaan kebuntingan dini domba garut maka dilakukan penelitian untuk

mengamati respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan pemeriksaan

kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut (Ovis aries) dengan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Garut

Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum

Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan

spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak

54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan

antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika)

(Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba

priangan (Mulyono 2003).

Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi

panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak

lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala

pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar

melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri

kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk

biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih, Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan

domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung serta memeliki mata yang kecil.

a

(17)

cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang

pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping

pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada

domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah

boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010).

Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara

tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak

kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki

adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba

betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus.

Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan

waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus

estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini

masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi

hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu

metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan

kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan

pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh

lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode

ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan

penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan.

Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati

dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih

memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara

siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode

koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam

sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila

ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga.

Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus

estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu

(18)

Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya

pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu

dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan

untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki.

Induksi Estrus

Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen

perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis

induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari

adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran

korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan

pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai

dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α

(PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor

dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis

melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat

menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan

bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi

estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan

bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase

luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh

DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2αberfungsi dalam melisikan CL.

Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan

adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk

menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau

tidak.

Pemeriksaan Kebuntingan

Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum

sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan

yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba

normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi

bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap

(19)

bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi

juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan.

Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan

CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap

bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez

dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan

kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta.

Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui

proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan

plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan

pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere

1977).

Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak

di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi

per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam

mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang

dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah

melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik

radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi

keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode

pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah

ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan

kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan

beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau

tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak

memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan

untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan

ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta

mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya.

Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan

kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.)

(20)

Gambar 2  

pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang

tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali.

Ultrasonografi (USG)

Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang

sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan

ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari

jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek

piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk

atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard

1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz

dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi

5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan

oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser

dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan

Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih

tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan

kedalaman jaringan dan metode yang digunakan.

Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode,

yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980,

Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan

gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini

menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta

memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).

Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu

hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)

(21)

menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan

yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral,

isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan

gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic

menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang

memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna

yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang

suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang

suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang

dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti

tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara

(22)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011

di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hewan Percobaan

Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan

siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang

terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan

konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas.

Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ultrasonografi (Aloka

SSD-500 real time, B-Mode, Japan) yang dilengkapi dengan linier probe 7,5 MHz

(Aloka, UST-588U-5, Japan). Probe dimodifikasi dengan menambahkan tangkai

sehingga dapat digunakan secara transrektal dan memungkinkan digerakkan dari

luar. Hasil pengamatan berupa foto dicetak dengan printer termal (Aloka, Tokyo,

Japan).

Induksi Estrus

Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost,

Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Fase luteal ditentukan

melalui pengamatan USG pada ovarium domba yang ditandai dengan adanya CL.

Pengamatan Estrus dan Perkawinan

Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik

setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan

mempelajari tingkah laku estrus domba. Hasil pengamatan dikuantitaskan dalam

skor, yaitu: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan; skor 2 domba

menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan

pejantan; dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali

(Toliehere 1977). Onset estrus dimulai dari skor 2 sampai 3 dan lamanya estrus

dimulai dari onset estrus sampai hilangnya gejala-gejala estrus yang ditunjukkan

(23)

Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika

pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba

dikawinkan secara alami.

Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus

Pengamatan USG dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam

kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat

mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi

mukosa rektum dan memperoleh gambaran USG yang baik probe dilumuri

dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk

mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan

untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan

mengamati gradasi warnanya. Kebuntingan dini ditentukan berdasarkan waktu

paling awal fetus teramati menggunakan ultrasonografi yaitu pada saat fetus

menempel (implantasi) pada dinding uterus. fetus dikatakan menempel

(implantasi) apabila posisinya telah difiksir dan kontak fisik dengan organ induk

(uterus) telah terjadi (Toelihere 1977).

Pada monitor USG, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan

warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan

lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). DesCoteaux et al.

(2006) mendeskripsikan gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih

(hyperechogenic), abu-abu (isoechogenic) dan hitam (hypoechogenic). Panjang

fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor, metode ini sama dengan yang

dilakukan Ali dan Hayder (2007). Diameter dan ketebalan dinding uterus serta

diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Penelitian Doize et al.

(1997) juga mengukur plasentom berdasarkan sumbu terpanjangnya.

Pengamatan USG pertumbuhan fetus dimulai pada hari ke-12 setelah

perkawinan. Motode ini dilakukan sesuai dengan pendapat Toelihere (1977) yang

menyatakan permulaan perkembangan serta pertautan blastosis domba terjadi

secepat-cepatnya pada hari ke-10 dan masih dapat digoyahkan ke luar dari uterus

16 sampai 17 hari sesudah perkawinan dan sekitar 11 sampai 16 hari (Hafez dan

(24)

Peng dari kebun kemudian fisik dan hari sekali Analisis D Panj dengan on Gambar gamatan US ntingan dini untuk men

stres saat p

i.

Data

jang fetus,

ne sample t- 3 Metode in

pengamat kebunting

SG dilakuk

i dapat dite

nghindari te

pengamatan

diameter u

-test (SPSS

nduksi estrus tan estrus dan gan dan pertum

kan 2 hari s

ntukan. Set

erjadinya ke

, selanjutny

uterus, tebal

16.0).

s dengan pen n perkawinan mbuhan fetus

ekali sampa

telah itu pen

ematian fet

ya pengama

l uterus dan

nyuntikan PGF (H-4-H0) dan

mulai H+12 s

ai fetus tera

ngamatan d

tus karena p

atan dilakuk

n diameter

F2α (H-5) pa

n pemeriksaan sampai H+77.

amati dan w

dilakukan 10

pengaruh k

kan 4 hari d

plasentom

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Estrus dan Perkawinan

Hasil pengamatan induksi estrus (Tabel 1) menunjukkan bahwa onset estrus

berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2αdan lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa onset estrus terjadi

16,22±9,18 jam (Herdis 2005) dan pada hari ke-2 setelah penyuntikan PGF2α

menurut Partodihardjo (1979). Perbedaan onset estrus dapat terjadi karena

perbedaan bobot badan domba pada setiap penelitian. Penelitian Tambayong

(1993) yang diacu dalam Hastono dan Bintang (2008) didapatkan bahwa domba

garut dengan tubuh kurus onset estrusnya lebih singkat dibandingkan dengan

domba yang bertubuh sedang. Onset estrus pada domba dengan tubuh kurus yang

lebih singkat, diduga karena masa hidup korpus luteum tidak selama pada domba

yang bertubuh sedang. Bobot badan juga memberikan korelasi terhadap lamanya

estrus. Hasil penelitian Hastono dan Bintang (2008) menyatakan bahwa lama

estrus mengalami peningkatan sesuai dengan besarnya bobot badan. Sesuai

dugaan yang diambil dari penelitian Hastono dan Bintang (2008), hal ini dapat

terjadi karena pelepasan estrogen pada domba yang bertubuh sedang lebih lama

dibandingkan dengan domba yang bertubuh kurus. Hafez dan Hafez (2000)

menuliskan lamanya estrus normal pada domba sekitar 24-36 jam dan hasil

penelitian Herdis (2005) berkisar 24-31 jam.

Tabel 1 Induksi estrus pada domba garut

Domba Onset Estrus (jam) Lama Estrus (jam)

A 24 38

B 68 18

C 14 44

Waktu perkiraan 35±28 jam 33±13 jam

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan USG terlebih dahulu pada

(26)

mengamati keberadaan CL. Dengan diketahuinya fase luteal, penyuntikan PGF2α

berhasil memunculkan estrus sehingga aplikasinya lebih efesien dari metode

sebelumnya yang melakukan dua kali penyuntikan PGF2α dalam induksi estrus

domba karena tidak diketahuinya fase dari siklus estrus (Wildeus 2000).

Induksi estrus menggunakan PGF2α akan efektif apabila dilakukan pada fase

luteal siklus estrus domba, karena PGF2α menyebabkan regresi CL. DeJarnette

(2004) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam induksi estrus tidak efektif

jika bukan pada fase lutel.

Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus

Pada hasil pengamatan USG kebuntingan domba garut (gambar 5), vesikel

embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20, serta

fetus baru terlihat pada hari ke-22. Tanda awal dari kebuntingan adalah adanya

cairan embrionik di dalam uterus. Buckrell (1988) menyatakan bahwa visualisasi

hipoechogenic mulai terlihat dalam vesikel embrionik pada kebuntingan 14-19

hari.

Berdasarkan hasil pengamatan, fetus ditemukannya pada hari ke-22

kebuntingan (22,3±0,6 hari). Romano & Christians (2008) menyatakan bahwa

diagnosa positif dari kebuntingan domba suffolk terlihat pada hari ke-16 dan

sensitifitas maksimal serta prediksi negatif terlihat pada kebuntingan 20 hari.

Penelitian Ali dan Hayder (2007) mendapatkan fetus dan vesikel amnion domba

ossimi pertama kali pada hari ke-25,38±1,2. Pada ultrasonografi deteksi

kebuntingan dini kambing boer dapat dipercaya saat umur 26 hari setelah UT 

FL  CL 

Gambar 4 Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada ovarium domba garut. CL memberikan gambaran isoechogenic, folikel (FL)

(27)

perkawinan (Rivas et al. 2005). Fetus pertama terlihat pada kebuntingan antara 25

hari sampai 30 hari kebuntingan, adakalanya lebih awal (Kahn 2004). Hasil ini

juga sesuai dengan penelitian Ishwar (1995) bahwa kebuntingan dini domba dan

kambing dapat dideteksi pada umur 25 hari. Fetus terdeteksi pada kebuntingan

domba 20 hari, tatapi lebih akurat pada hari ke-25 (Schrick dan Inskeep 1993).

Dengan metode yang sama hasil diagnosa positif kebuntingan dini domba

garut lebih cepat beberapa hari dibandingkan dengan beberapa penelitian yang

dilakukan sebelumnya, hal ini diduga karena perbedaan waktu implantasi antar ras

atau spesies. Menurut Forrest et al. (1975) yang diacu dalam Sugana (1988)

disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fetus adalah sifat

keturunan, konsumsi nutrisi induk, umur kebuntingan atau umur fetus, hormon

yang dihasilkan oleh plasenta, serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya

terlihat cairan hypoechogenic dari vesikel embrionik (V). Keberadaan fetus (F) baru terlihat pada hari ke-22 dari tampilan isoechogenic sampai

hyperechogenic dikelilingi oleh tampilan hypoechogenic cairan embrionik.

Uterus berada di atas hyperechogenic dasar pelvis (P). Hari ke-24 fetus masih berkembang, hari ke-34 mulai terlihat amnion (A) mengelilingi fetus seperti lapisan tipis isoechogenic, dan hari ke-38 umbilikal (U) hyperechogenic

terlihat seperti penggantung fetus. Hari ke-42 gambaran fetus tidak begitu jelas karena posisinya semakin ke abdomen. Kemudian pada hari 49 dan hari ke-56 plasentom (PT) mulai mendominasi lumen uterus, plasentom yang berbentuk konkaf ditemukan menghadap ke fetus.

12 hari 14 hari 16 hari 18 hari

20 hari 22 hari 24 hari 34 hari

38 hari 42 hari 49 hari 56 hari

V V

V

P

F A

U PT PT

V

V F

F

(28)

kelembaban nisbi. Pada metode yang berbeda yang dilakukan Haibel dan Perkins

(1989) yaitu menggunakan pengamatan transabdominal USG didapatkan hasil

bahwa fetus domba suffolk diketahui umur kebuntingannya pada hari ke-43

sampai hari ke-96. Hasil diagnosa positif kebuntingan dini menggunakan metode

ini jauh lebih lama, karena memang fetus baru akan menuju ke bagian bawah

abdomen sekitar umur kebuntingan 42 hari (gambar 5).

Pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah

ditentukan selama periode kebuntingan (Gambar 6), menunjukkan pola yang

cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus dan tebal uterus. Pada

saat kebuntingan dini diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan,

tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus.

Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari

ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Martinez et al. (1998)

mendapatkan bahwa panjang fetus kambing awal terdeteksi saat berukuran

0,53±0,3 cm dan mencapai 3,42 cm di hari ke-40 kebuntingan. Evans dan Sack

(1973) yang diacu dalam Kahn (2004) menyatakan bahwa panjang fetus domba

dan kambing mencapai 4 cm pada hari ke-40.

Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter

uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm) dan tebal

uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Kahn (2004)

menyatakan bahwa vesikel dari uterus terus meningkat dari hari ke-20 (1 cm)

‐2 0 2 4 6

22 24 34 38 42

Ukuran (cm)

Waktu pengamatan setelah perkawinan (H0)

Rataan perkembangan dari panjang fetus (bulat), diameter uterus (kotak) dan tebal uterus (segitiga) pada domba garut (n=3) selama kebuntingan, hari ke-22 merupakan awal fetus terdeteksi. Diameter uterus mengalami perkembangan yang signifikan (P<0,05), sedangkan panjang fetus dan tebal uterus perkembangannya tidak signifikan.

 

(29)

hingga hari ke-30 (2 cm). Kemudian Toelihere (1977) menuliskan bahwa sesudah

implantasi massa jaringan uterus bertambah besar secara progresif dan selama

periode pemuaian uterus, pertumbuhan uterus berkurang sedangkan isinya

bertambah secara cepat.

Plasentom mulai teramati pada kebuntingan ke-34 (Gambar 7), plasentom

menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai

umur kebuntingan ke-56 hari, selanjutnya pertumbuhannya tidak signifikan lagi

(relatif konstan) sampai hari ke-77 yang diduga bertujuan untuk memberikan

ruang yang cukup untuk pertumbuhan fetus pada pertengahan kebuntingan yang

ukurannya semakin membesar.

   

Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56

(2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm). USG transrektal dalam pengukuran

plasentom, ukurannya meningkat sangat cepat selama umur kebuntingan 70

sampai 90 hari pada domba dan kambing (Doize et al. 1997). Plasentom

ukurannya terus bertambah sampai hari 82.73 ± 7.7(Ali dan Hayder 2007).

Fetus yang terus berkembang akan sulit teramati menggunakan metode

transrektal USG. Hal ini disebabkan letak fetus yang semakin ke bawah karena

pertambahan bobot fetus. Kahn (2004) menjelaskan bahwa selama pertengahan

kebuntingan plasentom menjauh dari fetus dan mendominasi pada gambaran

USG. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

34 38 42 49 56 63 70 77

ukuran (cm)

Waktu Pengamatan (hari)

(30)

Pengamatan USG secara transrektal dapat digunakan hanya untuk

mendiagnosa umur kebuntingan dini, selanjutnya umur kebuntingan ditentukan

(31)

KESIMPULAN

Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba

garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus setelah penyuntikan PGF2α

berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Hayder M. 2007. Ultrasonographic assessment of embryonic, fetal and placental development in Ossimi sheep. Small Rumin Res 73: 227-282.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Populasi Ternak 2000-2008. http://www.bps.go.id. (25 Juni 2011).

Bartlewski PM, Beard AP, Rawlings NC. 2000. Ultrasonographic study of ovarian function during early pregnancy and after parturition in the ewe. Theriogenology 53: 673-689.

Buckrell BC. 1988. Applications of ultrasonography in reproduction in sheep and goats. Theriogenology 29: 71-84.

Dennis R et al. 2010. Handbook of Small Animal Radiology and Ultrasound: Techniques and Differential Diagnoses. Edinburgh: Elsevier. hlm 341-347.

DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: a reproductive management tool. http://www.selectsires.com (13 Agustus 2011).

DesCoteaux L, D Carriere P, Durocher J. 2006. Ultrasonography of the reproductive system of the cow: basic principles, practical uses and economic aspects of this diagnostic tool in dairy production. http://www.ivis.org. (13 April 2006).

Doize F, Vaillancourt D, Carabin H, Belanger D. 1997. Determination of gestational age in sheep and goat using transrectal ultrasonographic measurement of placentomes. Theriogenology 48: 449-460.

Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford: Cab International. hlm 1-4.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals Ed Ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hlm 110-111; 172-180; 395-404.

Haibel GK, Perkins NR. 1989. Real-time ultrasonic biparietal diameter of second trimester Suffolk and Finn sheepfetuses and prediction of gestational age. Theriogenology 32: 863-869.

Hastono, Bintang IAK. 2008. Hubungan antara bobot badan dengan onset berahi dan lama berahi pada kambing kacang. Anim Prod 10: 147-150.

(33)

Herman R. 1993. Perbandingan pertumbuhan, komposisi tubuh dan karkas antara domba priangan dan ekor gemuk [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 4-9.

Ishwar AK. 1995. Pregnancy diagnosis in sheep and goats: a review. Small Rumin Res 17: 37-44.

Kahn W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography. Hannover: Schlutersche Verlacsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm 187-266.

Manan D. 1981. Pengembangan metoda diagnosa kebuntingan dini pada domba secara mini laparotomi dan palpasi intra abdominal [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 1-2.

Martinez MF, Bosch P, Bosch RA. 1998. Determination of early pregnancy and embryonic growth in goats by transrectal ultrasound scanning. Theriogenology 49: 1555-1565.

Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Bogor: Penebar Swadaya. hlm 8-12.

Partodihardjo. 1979. Beberapa aspek penggunaan prostaglandin dalam penelitian reproduksi domba priangan [abstrak]. Di dalam: Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan; Bogor, 5-8 Nov 1979. Bogor: Lembaga Penelitian Peternakan. hlm 5. Abstr no 260-269.

Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook Ed Ke-3. US: Iowa State University Pr. hlm 261-264.

Priatna R. 25 April 2011. Domba garut plasma nutfah indonesia. Dalam: Kompas.

Rivas PGR, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by real-time ultrasonography in Boer goat. Small Rumin Res 58: 87-92.

Romano JE, Christians CJ. 2008. Early pregnancy diagnosis by transrectal ultrasonography in ewes. Small Rumin Res 77: 51-57.

Schrick FN, Inskeep EK. 1993. Determination of early pregnancy in ewes utilizing transrectal ultrasonography. Theriogenology 40: 295-306.

Setiadi AR. 2010. Saya Untung Anda Untung. Yogyakarta: Lily Publisher. hlm 1-8; 17-21.

(34)

Sutian W. 1990. Diagnosa kebuntingan dini dan perkiraan jumlah fetus pada domba dengan ultrasonografi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. hlm 1-3; 65-67.

Toelihere MR. 1977. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Jakarta: UI-Pr. hlm 184-185; 187-191; 260-264; 266-267; 275-276.

(35)
(36)

Lampiran 1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus

Domba A Waktu Pengamatan

(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30

1 1 1 3

2 3 3 3

3 3 1 1

4 1 1 1

Domba B Waktu Pengamatan

(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30

1 1 1 1

2 1 1 1

3 1 3 3

4 3 1 1

Domba C Waktu Pengamatan

(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30

1 3 3 3

2 3 3 1

3 1 1 1

4 1 1 1

Parameter pengamatan estrus: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan, skor 2 domba

menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan pejantan dan

skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali (Toelihere 1977). Pengamatan

(37)

Lampiran 2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS

Pertumbuhan Kotiledon hari ke-34 sampai hari ke-56

Test Value = 0

t df

Sig.

(2-tailed)

Mean

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

diameter

kotiledon 8.132 3 .004 38.00000 23.1297 52.8703

Pertumbuhan Kotiledon hari ke-56 sampai hari ke-77

Test Value = 0

t df

Sig.

(2-tailed)

Mean

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

diameter

kotiledon 3.413 2 .076 6.33333 -1.6521 14.3187

(38)

ABSTRACT

BAGUS SETIAWAN. The Responses of Estrous to PGF2α Injection and The Study of Fetus Development through Ultrasonography used as a Diagnosis of Early Pregnancy in Garut Sheep (Ovis aries). Under direction of Amrozi.

This study was done to observe estrous characteristic after PGF2αinjection and to determine the earliest day of pregnancy diagnosis in garut sheep (n=3) using transrectal ultrasonography. The sheep were estrous induction was done by injection of PGF2α on luteal phase. The onset and duration of estrous were observed by using a teaser. Pregnancy was determined by isoechogenic or hyperechogenic visualization surrounded by hypoechogenic which is fetus implantation. Onset of estrous was 35±28.7 hours and duration of estrous was 33±13.6 hours. Early pregnancy was detected on days 22 (22.3±0.6 days). Development of fetus was followed by increasing the diameter and thickness of uterus. The Diameter of uterus increased from days 22 (1.8±0.7 cm) until days 42 (5.6±1.1 cm), and the thickness of uterus increased from days 22 (0.8±0.1 cm) until days 42 (2.1±0.5 cm). The placentom appeared on days 34 (0.8±0.2 cm) and developed significantly until days 56 (2.7±0.5 cm; P<0.05). It could be concluded that the earliest pregnancy diagnosis showed positive sign on days 12 and the fetus was observed on days 22.

Keywords: garut sheep, pregnancy, transrectal ultrasonography.

(39)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba garut yang kita kenal sebenarnya adalah hasil persilangan antara

domba lokal, domba merino dari Australia dan domba kaapstad dari Afrika

(Setiadi 2010). Domba ini banyak dipelihara oleh masyarakat petani di pedesaan

Jawa Barat. Domba ini banyak dipelihara karena mempunyai kemampuan

adaptasi yang baik dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga domba ini cocok

untuk dikembangkan di tempat lain, termasuk di luar Pulau Jawa. Domba ini

merupakan domba yang memiliki tingkat produktifitas tinggi yaitu dapat

melahirkan anak lebih dari satu (prolific) setiap siklus kelahirannya, apalagi

domba ini juga tidak mengenal musim kawin sehingga dapat melakukan

perkawinan sepanjang tahun. Keunggulan lain dari domba ini adalah memiliki

bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. Herman (1993)

menyebutkan bahwa domba garut dengan pakan baik bobotnya dapat mencapai 60

sampai 80 kg pada domba jantan dan 30 sampai 40 kg pada domba betina. Selain

itu, orientasi pasar domba garut juga mengarah ke pasar kesenangan atau hobi

yang memunculkan sebuah arena seni ketangkasan domba garut. Mulyono (2003)

menyatakan bahwa domba garut jantan yang baik performansinya digunakan

sebagai domba seni ketangkasan. Adanya seni ketangkasan ini menjadi ajang

kompetisi sekaligus untuk menyeleksi bibit domba unggulan, sehingga domba ini

mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lain.

Saat ini, situasi yang terjadi adalah semakin berkurangnya populasi domba

garut. Penurunan populasi ini merupakan akibat dari laju pemotongan yang tidak

terkendali, termasuk juga adanya pemotongan domba betina produktif (Setiadi

2010). Walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan

seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut (Priatna 2011). Dinas

Peternakan Jawa Barat juga mencatat populasi domba pada tahun 2008 sekitar

5.311.836 ekor dari 9.605.000 ekor total populasi domba di Indonesia (BPS

2009). Sutian (1990) menyebutkan bahwa aspek ekonomi dari usaha peternakan

(40)

ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi

ditunggu-tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak.

Melihat potensi yang ada pada domba ini, pengembangan peternakan domba

tentunya dapat ditingkatkan. Peningkatan populasi domba ini diharapkan juga

dapat mengurangi impor daging sapi dan bisa membuka peluang untuk memenuhi

permintaan pasar luar negeri. Setiadi (2010) menyebutkan bahwa beberapa negara

tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Thailand ingin mengimpor domba ini

karena banyak keunggulan yang dimiliki.

Efisiensi waktu perkawinan dan informasi sedini mungkin mengenai status

kebuntingan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan

pengembangbiakan domba garut. Penelitian reproduksi domba garut di Indonesia

masih sangat terbatas khususnya mengenai pemeriksaan kebuntingan dini

menggunakan ultrasonografi. Haibel (1990) yang diacu dalam Ali dan Heyder

(2007) menyatakan bahwa estimasi dari diagnosa kebuntingan dan umur

kebuntingan penting dalam mencapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Pada

negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik

ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi

yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin (Sutian

1990). Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum

sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez dan Hafez 2000) atau kebuntingan

yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981).

Dengan mengetahui kebuntingan sedini mungkin, maka domba yang tidak

bunting dapat segera dikawinkan kembali, sehingga potensi reproduksi domba

dapat dimanfaatkan secara optimal. Manfaat lain yang bisa diperoleh diantaranya

pemberian pakan terhadap domba bunting dapat tercukupi, sehingga tingkat

kelangsungan hidup anaknya lebih terjamin serta pemotongan terhadap domba

bunting dapat dihindari. Induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini

menggunakan ultrasonografi diharapkan mampu meningkatkan populasi domba

garut.

Melihat permasalahan dan potensi yang ada pada pengembangan reproduksi

domba garut, mengetahui manfaat penggunaan ultrasonografi dalam bidang

(41)

pemeriksaan kebuntingan dini domba garut maka dilakukan penelitian untuk

mengamati respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan pemeriksaan

kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut (Ovis aries) dengan

(42)

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Garut

Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum

Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan

spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak

54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan

antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika)

(Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba

priangan (Mulyono 2003).

Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi

panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak

lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala

pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar

melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri

kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk

biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih, Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan

domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung serta memeliki mata yang kecil.

a

(43)

cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang

pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping

pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada

domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah

boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010).

Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara

tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak

kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki

adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba

betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus.

Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan

waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus

estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini

masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi

hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu

metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan

kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan

pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh

lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode

ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan

penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan.

Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati

dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih

memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara

siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode

koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam

sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila

ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga.

Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus

estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu

(44)

Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya

pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu

dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan

untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki.

Induksi Estrus

Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen

perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis

induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari

adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran

korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan

pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai

dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α

(PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor

dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis

melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat

menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan

bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi

estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan

bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase

luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh

DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2αberfungsi dalam melisikan CL.

Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan

adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk

menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau

tidak.

Pemeriksaan Kebuntingan

Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum

sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan

yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba

normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi

bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap

(45)

bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi

juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan.

Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan

CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap

bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez

dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan

kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta.

Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui

proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan

plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan

pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere

1977).

Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak

di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi

per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam

mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang

dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah

melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik

radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi

keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode

pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah

ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan

kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan

beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau

tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak

memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan

untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan

ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta

mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya.

Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan

kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.)

(46)

Gambar 2  

pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang

tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali.

Ultrasonografi (USG)

Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang

sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan

ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari

jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek

piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk

atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard

1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz

dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi

5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan

oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser

dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan

Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih

tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan

kedalaman jaringan dan metode yang digunakan.

Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode,

yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980,

Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan

gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini

menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta

memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).

Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu

hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)

(47)

menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan

yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral,

isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan

gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic

menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang

memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna

yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang

suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang

suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang

dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti

tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara

(48)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011

di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hewan Percobaan

Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan

siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang

terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan

konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas.

Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ultrasonografi (Aloka

SSD-500 real time, B-Mode, Japan) yang dilengkapi dengan linier probe 7,5 MHz

(Aloka, UST-588U-5, Japan). Probe dimodifikasi dengan menambahkan tangkai

sehingga dapat digunakan secara transrektal dan memungkinkan digerakkan dari

luar. Hasil pengamatan berupa foto dicetak dengan printer termal (Aloka, Tokyo,

Japan).

Induksi Estrus

Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost,

Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Fase luteal ditentukan

melalui pengamatan USG pada ovarium domba yang ditandai dengan adanya CL.

Pengamatan Estrus dan Perkawinan

Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik

setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan

mempelajari tingkah laku estrus domba. Hasil pengamatan dikuantitaskan dalam

skor, yaitu: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan; skor 2 domba

menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan

pejantan; dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali

(Toliehere 1977). Onset estrus dimulai dari skor 2 sampai 3 dan lamanya estrus

dimulai dari onset estrus sampai hilangnya gejala-gejala estrus yang ditunjukkan

(49)

Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika

pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba

dikawinkan secara alami.

Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus

Pengamatan USG dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam

kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat

mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi

mukosa rektum dan memperoleh gambaran USG yang baik probe dilumuri

dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk

mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan

untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan

mengamati gradasi warnanya. Kebuntingan dini ditentukan berdasarkan waktu

paling awal fetus teramati menggunakan ultrasonografi yaitu pada saat fetus

menempel (implantasi) pada dinding uterus. fetus dikatakan menempel

(implantasi) apabila posisinya telah difiksir dan kontak fisik dengan organ induk

(uterus) telah terjadi (Toelihere 1977).

Pada monitor USG, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan

warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan

lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). DesCoteaux et al.

(2006) mendeskripsikan gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih

(hyperechogenic), abu-abu (isoechogenic) dan hitam (hypoechogenic). Panjang

fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor, metode ini sama dengan yang

dilakukan Ali dan Hayder (2007). Diameter dan ketebalan dinding uterus serta

diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Penelitian Doize et al.

(1997) juga mengukur plasentom berdasarkan sumbu terpanjangnya.

Pengamatan USG pertumbuhan fetus dimulai pada hari ke-12 setelah

perkawinan. Motode ini dilakukan sesuai dengan pendapat Toelihere (1977) yang

menyatakan permulaan perkembangan serta pertautan blastosis domba terjadi

secepat-cepatnya pada hari ke-10 dan masih dapat digoyahkan ke luar dari uterus

16 sampai 17 hari sesudah perkawinan dan sekitar 11 sampai 16 hari (Hafez dan

(50)

Peng dari kebun kemudian fisik dan hari sekali Analisis D Panj dengan on Gambar gamatan US ntingan dini untuk men

stres saat p

i.

Data

jang fetus,

ne sample t- 3 Metode in

pengamat kebunting

SG dilakuk

i dapat dite

nghindari te

pengamatan

diameter u

-test (SPSS

nduksi estrus tan estrus dan gan dan pertum

kan 2 hari s

ntukan. Set

erjadinya ke

, selanjutny

uterus, tebal

16.0).

s dengan pen n perkawinan mbuhan fetus

ekali sampa

telah itu pen

ematian fet

ya pengama

l uterus dan

nyuntikan PGF (H-4-H0) dan

mulai H+12 s

ai fetus tera

ngamatan d

tus karena p

atan dilakuk

n diameter

F2α (H-5) pa

n pemeriksaan sampai H+77.

amati dan w

dilakukan 10

pengaruh k

kan 4 hari d

plasentom

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Estrus dan Perkawinan

Hasil pengamatan induksi estrus (Tabel 1) menunjukkan bahwa onset estrus

berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2αdan lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa onset estrus terjadi

16,22±9,18 jam (Herdis 2005) dan pada hari ke-2 setelah penyuntikan PGF2α

menurut Partodihardjo (1979). Perbedaan onset estrus dapat terjadi karena

perbedaan bobot badan domba pada setiap penelitian. Penelitian Tambayong

(1993) yang diacu dalam Hastono dan Bintang (2008) didapatkan bahwa domba

garut dengan tubuh kurus onset estrusnya lebih singkat dibandingkan dengan

domba yang bertubuh sedang. Onset estrus pada domba dengan tubuh kurus yang

lebih singkat, diduga karena masa hidup korpus luteum tidak selama pada domba

yang bertubuh sedang. Bobot badan juga memberikan korelasi terhadap lamanya

estrus. Hasil penelitian Hastono dan Bintang (2008) menyatakan bahwa lama

estrus mengalami peningkatan sesuai dengan besarnya bobot badan. Sesuai

dugaan yang diambil dari penelitian Hastono dan Bintang (2008), hal ini dapat

terjadi karena pelepasan estrogen pada domba yang bertubuh sedang lebih lama

dibandingkan dengan domba yang bertubuh kurus. Hafez dan Hafez (2000)

menuliskan lamanya estrus normal pada domba sekitar 24-36 jam dan hasil

penelitian Herdis (2005) berkisar 24-31 jam.

Tabel 1 Induksi estrus pada domba garut

Domba Onset Estrus (jam) Lama Estrus (jam)

A 24 38

B 68 18

C 14 44

Waktu perkiraan 35±28 jam 33±13 jam

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan USG terlebih dahulu pada

(52)

mengamati keberadaan CL. Dengan diketahuinya fase luteal, penyuntikan P

Gambar

Gambar 4 Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada ovarium domba garut. CL memberikan
Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya
Gambar 4 Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada ovarium domba garut. CL memberikan
Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi penjualan mengupayakan agar penyajian informasi yang dibutuhkan oleh Toko Sepeda Sederhana ini menjadi lebih cepat, akurat dan efektif

Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan analisis pajanan tekanan panas dan tingkat keluhan akibat pajanan panas yang dirasakan secara subjektif oleh pekerja di

dilakukan oleh Gybert Saselah, Winsy Weku,Luther Latumakulita yang mengambil kesimpulan [3] bahwa Penerapan gaussian filter dengan nilai σ = 1 menghasilkan citra digital yang

Sumber hara berpengaruh sangat nyata (p &lt; 0,01) terhadap bobot kering akar kudzu terkolonisasi G. Bobot kering akar terkolonisasi tertinggi sebesar 1279 mg dihasilkan

Gambar 6 menggambarkan rasio BOD/COD yang terjadi pada 40 hari running.Rasio ini didapatkan dengan membagi antara konsentrasi BOD hasil dan COD hasil selama pengukuran

Napi/Tahanan Pada Rumah Tahanan Negara Klas IIB Enrekang, dan mengingat evaluasi yang telah dilaksanakan oleh panitia Pengadaan Bahan Makanan Napi/Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas

Beberapa aktivitas kegiatan yang diselenggarakan di Laboratorium Agama UIN Sunan Kalijaga, Masjid Syuhada, dan Masjid Jogokaryan merupakan bentuk kegiatan inovatif dan kreatif

Ventilasi kelas yang buruk Pengeluaran yang besar Berpartisipasi dalam diskusi kelas Harapan orang tua yang besar Berbicara di kelas Khawatir terhadap masa depan Dosen