KORSUES LUMBAN GAOL
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
KORSUES LUMBAN GAOL.Measuring Acoustic Backscattering Strength of Seabed Around Seribu Islands Using Split Beam Echosounder.Supervised by HENRY M. MANIK.
The purpose of this research is to compute the backscattering strength of the seabed by measuring volume backscattering strength (SV), bottom surface backscattering strength (SS), and the echo level (EL) from seabed using split beam echosounder. The research was conducted from 29th January to 3rd February 2011, around the Seribu Islands: Pramuka island, Panggang island, Karya island and Semak Daun island, North Jakarta.
Acquisition of acoustic data was conducted using the SIMRAD EY 60 instrument. Acoustic data obtained from 9 stations simultaneously with sediment sampling. Acoustic processing data was conducted by Rick Towler program with Matlab based. The SV and SS were analyzed Manik et al, model by using.
Sediment sampling station consisted of 9 stations: Pramuka island there are 1 station (Station 1), Karya island there are 2 stations (Station 2, and Station 3), Panggang island there are 3 stations (Station 4, Station 7, Station 9), and Semak Daun island there are 3 stations (Station 5, Station 6, Station 8). Sediment classified based on the sediment texture. Seabed surface sediments were
separated into 3 types, they are: sand, mud, and clay. This analysis showed that the location of the 9 stations observation is dominated by sand fraction with the percentage of 80.85%. Mud and clay fractions had the average percentage value of 18.32% and 0.83%, respectively. The backscattering value (SV) of sand substrate ranged -10.62 to -18.51 dB with the average of -13.91 dB, and the muddy sand substrate ranged from -16.58 to -25.42 dB with the average -20.57 dB.
The value of SS for the sand substrate ranged from -20.70 to -28.58 dB with the average value of -23.98 dB. Muddy sand substrate has a value of SS in the range of -26.64 to -35.49 dB with the average SS of -30.64 dB, from this research, the classification of seabed type using hydroacoustic technology was possible.
iii
Laut di Sekitar Kepulauan Seribu Menggunakan Split Beam Echosounder. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK.
Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai backscattering strength
dari dasar perairan meliputi volume backscattering strength dasar laut (SV),
bottom surface backscattering strength (SS), dan echo level (EL) dasar perairan menggunakan split beam echosounder. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 29 Januari - 3 Februari 2011 di sekitar perairan Kepulauan Seribu, meliputi: perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun, Jakarta Utara.
Akuisisi data akustik menggunakan instrumen SIMRAD EY 60. Data akustik didapat dari 9 stasiun dengan masing-masing sampling data substratnya. Pengolahan data akustik menggunakan perangkat lunak Matlab dengan listing
program Rick Towler. Nilai SVdan SSmenggunakan analisis model Manik et al.
Pengambilan sampel sedimen yang terdapat pada 9 stasiun , yaitu : P. Pramuka terdiri dari 1 stasiun (Stasiun 1), P. Karya terdiri dari 2 stasiun (Stasiun 2, dan 3), P. Panggang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 4, 7, dan 9), dan P. Semak Daun terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 5, 6, dan 8).
Sampling sedimen kemudian diklasifikasikan berdasarkan hasil analisis tekstur sedimen. Sedimen permukaan dasar laut di lokasi penelitian dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau, dan liat. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 9 stasiun lokasi pengamatan secara keseluruhan didominasi oleh fraksi pasir yang memiliki persentase rata-rata sebesar 80,85%. Fraksi lanau dan liat secara berturut-turut memiliki nilai persentase rata-rata sebesar 18,32% dan 0,83. Hasil pengukuran nilai backscattering (SV) tipe substrat pasir berkisar -10,62 sampai -18,51 dB dengan rata-rata -13,91 dB, sedangkan substrat pasir berlumpur berkisar -16,58 sampai -25,42 dB dengan rata-rata -20,57 dB. Nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -20,70 sampai -28,58 dB dengan nilai rata-rata sebesar -23,98 dB. Substrat pasir berlumpur memiliki nilai SS yang berkisar pada -26,64 sampai -35,49 dB dengan rata-rata nilai SS sebesar -30,64 dB, dan dalam penelitian ini, klasifikasi sedimen dasar laut dengan
ii
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN
SPLIT BEAM ECHOSOUNDER
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN
SPLIT BEAM ECHOSOUNDER
KORSUES LUMBAN GAOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
vi
Judul Skripsi : PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU
MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER
Nama Mahasiswa : Korsues Lumban Gaol
Nomor Pokok : C54070067
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T NIP. 19701229 199703 1 00 8
Mengetahui, Ketua Departemen
Tanggal lulus: 28 Desember 2011
67
Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam pada tanggal 30 Januari
1989, dari pasangan Bapak M. Lumban Gaol dan Ibu
T. Sagala. Penulis merupakan anak keenam dari enam
bersaudara. Lulus dari SMA Negeri 7 Siak Sri Inderapura,
Kab. Siak, Riau tahun 2007, penulis langsung melanjutkan
studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur seleksi Beasiswa Utusan Daerah
(BUD). Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani
kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Kelautan (HIMITEKA) periode 2009/2010. Selain itu, penulis juga aktif menjadi
Asisten Praktikum pada mata kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan
2009/2010, dan berbagai kepanitiaan kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik IPB
(KEMAKI IPB). Dalam menyelesaikan studi dan untuk memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi
vii
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasih
dan hikmat yang Dia berikan selalu sehingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi
yang berjudul Pengukuran Hambur Balik Akustik Dasar Laut di Sekitar Kepulauan Seribu Menggunakan Split Beam Echosounder diajukan sebagai salah satu untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orangtua, M. Lumban Gaol dan T. Sagala
2. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T selaku dosen pembimbing, dan pembimbing
akademik
3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Jonson
Lumban Gaol, M.Sc selaku dosen penguji komisi pendidikan ITK
4. ITK 44. Terima kasih atas kebersamaannya selama 4 tahun.
Proud to be part of all of you. God Bless Us, as always.
5. Mega Pratiwi Saragi yang telah memberikan semangatku dan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata,
penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.
Tuhan Memberkati.
Bogor, Februari 2012
viii
2.2 Metode Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan ... 5
2.3 Split Beam Echosounder Simrad EY 60 ... 8
3.2.2 Instrumen Simrad EY 60 Scientific Echosounder System ... 18
3.2.3 Alat Pengambil Contoh Sedimen ... 19
3.3 Pengambilan Data ... 19
3.3.1 Pengambilan Data Akustik ... 19
3.3.2 Pengambilan Sampel Sedimen ... 21
3.4 Analisis Data ... 22
3.4.1 Analisis Data Echogram ... 22
3.4.2 Analisis Komponen Utama Sedimen ... 26
3.4.3 Analisis Sampel Sedimen ... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
4.1 Sedimen Dasar Perairan ... 30
4.2 Komputasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan ... 34
4.2.1 Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan... 35
ix
x
Halaman
1. Ukuran Besar Butir untuk Sedimen Menurut Skala Wentworth ... 4
2. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian ... 18
3. Parameter dan Kalibrasi dari Instrumen Echosounder... 18
4. Komposisi Fraksi Sedimen pada setiap Stasiun ... 34
5. Nilai SV, SS, EL (dB)Dasar Perairan ... 35
6. Beberapa Penelitian AcousticBackscattering Strength Dasar Perairan ... 40
xi
Halaman
1. Diagram Segitiga Shepard ... 5
2. Pantulan Sinyal Akustik terhadap Dasar Perairan yang Heterogen ... 6
3. Pantulan Dasar Perairan First Echo (E1) dan Second Echo (E2) ... 7
4. Hubungan Sudut Datang dan Pantulan Dasar Tipe Dasar Perairan ... 8
5. Skema Transducer Split Beam ... 9
6. Tampilan Layar Echogram ... 11
7. Contoh Jejak Dasar Perairan Kasar dan Lunak pada Perekaman ... 12
8. Bentuk Kurva Dasar Perairan Sedimen Keras dan Lunak ... 13
9. Echo yang menunjukkan Jejak Pulsa dari Dasar Laut ... 14
10. Peta Pengambilan Data Sedimen ... 16
11. Ilustrasi Posisi Paralon terhadap Echogram ... 19
12. Simplikasi Diagram Alir Instrumen Echosounder ... 20
13. Diagram Pengolahan Data pada Echoview 4.0 ... 23
14. Tampilan Contoh Echogram ... 25
15. Diagram Pengolahan Data pada Matlab ... 26
16. Skematik Bagan Alir Penelitian ... 27
17. Peta Stasiun Sebaran Sedimen ... 31
18. Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian ... 32
19. Echogram Tipe Substrat Pasir Berlumpur ... 36
20. Echogram Tipe Substrat Pasir ... 37
21. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir Berlumpur ... 39
22. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir ... 39
23. Perbandingan Nilai Backscattering Strength berbagai Tipe Substrat ... 41
24. Echo Envelope di 9 Stasiun Lokasi Penelitian ... 42
25. Echo Envelope yang mengindikasikan Substrat Pasir Berlumpur ... 44
26. Echo Envelope yang mengindikasikan Substrat Pasir ... 45
27. PCAuntuk Parameter Fisik Sedimen dan Nilai Hidroakustik ... 47
xii
Halaman
1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan... 56
2. Foto Tipe Substrat Dasar Perairan di Lokasi Penelitian ... 57
3. Alat Pengukur Parameter Fisik Sedimen ... 57
4. Listing ProgramMatlab Rick Towler untuk menampilkan SV dan SS ... 58
5. Listing Program Matlab untuk menampilkan Echo Envelope ... 61
6. Gambar Grafik Echogram ... 63
7. Gambar Grafik Pola SV dan SS ... 64
8. Gambar Grafik Intensitas Energi Acoustic Backscattering ... 65
1
1.1.Latar Belakang
Hidroakustik merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan
menggunakan gelombang suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian.
Teknologi hidroakustik memiliki beberapa kelebihan diantaranya, yaitu: informasi
pada areal yang dideteksi dapat diperoleh secara cepat (real time), dan secara
langsung di wilayah deteksi (in situ), serta tidak berbahaya atau merusak objek
yang diteliti pada frekuensi tertentu, karena pendeteksian dilakukan dari jarak jauh
dengan menggunakan suara (underwater sound). Metode ini merupakan
solusi yang cepat dan efektif untuk menduga objek yang ada di bawah air
(Jackson et al. 1986).
Dasar laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan
kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut (Urick, 1983).
Parameter seperti ukuran butiran sedimen, relief dasar perairan, serta sejumlah
variasi lainnya pada dasar perairan mempengaruhi proses hamburan sinyal
akustik (Thorne et al. 1988; Moustier and Matsumoto 1993; Chakraborty et al.
2007).
Pendugaan dasar perairan dengan metode akustik telah dilakukan dan dikenal
sebagai teknik pengklasifikasian sedimen. Penelitian lebih lanjut telah dilakukan
terhadap beberapa parameter sedimen yang berpengaruh seperti, ukuran sedimen
(grain size), densitas, porositas, kompresional dan absorbsi serta kekasaran
permukaan sedimen.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai klasifikasi dasar perairan dengan
berdasarkan nilai surface backscattering strength dengan teknik integrasi echo
dasar dan pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan
quantitative echo sounder di perairan selatan Jawa (Manik et al., 2006).
Selanjutnya informasi pengklasifikasian dasar perairan di Perairan Sumur, Banten
dengan menggunakan nilai kekasaran dan kekerasan juga telah dilakukan oleh
Allo (2008). Penelitian terbaru oleh Manik (2011), yaitu pengukuran dasar laut
menggunakan multi-frekuensi akustik 38, 70, and 120 kHz dalam mengestimasi
respon dari target (sea bottom) berdasarkan backscattering strength (SS) dan
kuantifikasi ikan di pulau selatan Jakarta, Indonesia.
Tipe substrat dasar perairan dipengaruhi oleh adanya pengendapan partikel
sedimen yang disebabkan oleh adanya kecepatan arus dan ukuran butiran partikel
sedimen. Partikel dengan ukuran yang lebih besar akan mengendap terlebih
dahulu seperti kerikil, sedangkan partikel dengan ukuran yang lebih kecil seperti
pasir akan lebih mudah terbawa oleh air dan baru mengendap kemudian.
Dilanjutkan dengan pengendapan sedimen dengan ukuran parikel lebih halus
seperti lanau dan lempung. Proses ini menyebabkan timbulnya tipe-tipe substrat
yang berbeda dan khas di perairan.
Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan
karakteristik dasar perairan yang mengakibatkan sejumlah penelitian lanjutan
mengenai dasar perairan dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar
perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan
karakteristik dasar perairan dengan menggunakan metode akustik.
Penambahan persyaratan untuk perekaman data pantulan pertama (first echo)
karakteristik dari dasar perairan. Berbeda halnya dengan echosounder multibeam,
yang menyediakan area cakupan spasial yang luas, split beam echosounder
memberikan informasi tentang dasar perairan tepat di bawah daerah lokasi
tracking (normal incidence) yang ditimbulkan oleh pulsa akustik.
Penelitian ini mencoba menghitung nilai volume backscattering strength
dasar laut, bottom surface backscattering strength, dan menentukan echo level
dasar perairan tersebut, sehingga memudahkan kita mengestimasi dan
mengklasifikasikan tipe substrat dengan menggunakan program pengolahan yang
berbeda dari penelitian sebelumnya.
1.2.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai backscattering strength
dari dasar perairan meliputi volumebackscattering strength dasar laut(SV),
bottom surfacebackscattering strength (SS), dan Echo level (EL) dasar perairan
untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat mengenai gambaran karakteristik dasar perairan berdasarkan
nilai backscattering strength yang dihasilkan oleh berbagai macam tipe substrat
4
2.1. Sedimen Dasar Laut
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses
hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun
secara horizontal. Seluruh permukaan dasar lautan ditutupi oleh partikel-partikel
sedimen yang diendapkan secara perlahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun
(Garrison, 2005). Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara
yang mudah untuk menetukan klasifikasi sedimen seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Besar Butir untuk Sedimen Menurut Skala Wentworth
Sumber : Wibisono (2005)
Klasifikasi berdasarkan komposisi sedimen juga dapat dilakukan dengan
menggunakan diagram segitiga seperti pada Gambar 1 diagram tersebut
liat (clay) sehingga memudahkan dalam proses klasifikasi. Parameter seperti
ukuran butiran sedimen, relief dasar perairan, serta sejumlah variasi lainnya pada
dasar perairan mempengaruhi proses hamburan sinyal akustik (Thorne et al.
1988; Richardson & Briggs 1993; Chakraborty et al. 2007).
Gambar 1. Diagram Segitiga Shepard (1954)
2.2. Metode Akustik untuk Klasifikasi Dasar Perairan
Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan
perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini medium yang digunakan
adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echocounting dan
echo integration melalui proses pendeteksian bawah air (Manik, 2009).
Teknik echosounder single beam akustik untuk klasifikasi dasar perairan
telah banyak dilakukan, baik menggunakan pengukuran yang berhubungan
dengan tipe substrat khususnya (Siwabessy, 2005). Teknik akustik digunakan
sebagai pelengkap dari sistem berbasis satelit udara, karena ketika didalam
membatasi ruang lingkup penginderaan optik. Banyak penelitian yang
menggunakan sonar untuk memetakan dasar laut dan menentukan sifat fisik dari
sedimen itu sendiri, selain itu sonar dengan frekuensi tinggi mampu mengukur
dan mengetahui relief dasar laut. Side Scan Sonar (SSS) juga digunakan untuk
menggambarkan dasar laut, selain itu dapat pula digunakan mengukur batimetri
dengan menggunakan teknik interferometrik (Jackson and Richardson, 2001).
Metode akustik untuk klasifikasi dasar perairan menggunakan sinyal hambur
balik (acoustic backscatter) untuk memperkirakan kekerasan (hardness atauE2)
dari dasar laut, dan pengukuruan terhadap waktu lamanya echo kembali untuk
memperkirakan kekasaran (roughness atauE1) dasar laut. Jenis echosounder yang
digunakan memiliki beamwidth 12-750 agar mendapatkan informasi mengenai
kekerasan dan kekasaran (Siwabessy, 2005).
Kekasaran permukaan dasar laut merupakan variabel penting dalam
kaitannya dengan intensitas backscatter akustik dengan frekuensi tinggi. Pengaruh
dari kekasaran pada intensitas backscatter bervariasi tergantung tipe, magnitudo,
dan orientasi dari kekasaran dasar perairan (Flood and Ferrini, 2005). Pantulan
sinyal akustik di permukaan dasar laut terhadap dasar perairan yang heterogen
dapat dilihat pada Gambar 2.
Bentuk echo yang dipantulkan akan sangat bergantung dengan kekerasan dan
kekasaran dasar laut. Permukaan sedimen yang kasar akan memantulkan energi
hambur balik yang lebih dibandingkan pada permukaan sedimen yang halus,
sehingga permukaan yang lebih kasar akan menghasilkan puncak yang rendah dan
ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan permukaan sedimen yang halus
dengan komposisi yang sama (Siwabessy, 2005).
Hubungan lain yang dapat dijelaskan antara kekasaran (roughness atauE1)
dan kekerasan (hardness atauE2) dapat memperlihatkan jenis atau tipe sedimen
yang terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka
jenis sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras. Hubungan
kekasaran dan kekerasan pantulan dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pantulan Dasar Perairan First Echo (E1)dan Second Echo (E2) (Hamilton (2001) dalam Siwabessy, 2005)
Adapun hubungan pantulan dasar perairan terhadap tipe dasar perairan yang
Gambar 4. Hubungan Sudut Datang dan Pantulan Dasar berbagai Tipe Dasar Perairan
2.3. Split Beam Echosounder Simrad EY 60
Echosounder bim terbagi (split beam) memiliki transduser yang dibagi
menjadi empat kuadran, yaitu : FP (Fore Port), FS (Fore Starboard), AP (Aft
Port) dan AS (Aft Starboard). Transmisi pulsa pada echosounder ini diterapkan
untuk seluruh transduser tetapi sinyal yang diterima oleh masing-masing kuadran
diproses secara terpisah. Target strength dari objek diestimasikan dari sensitivitas
transduserdalam arah yang relevan.
Sinyal yang terpantul dari target diterima secara terpisah oleh masing-masing
kuadran. Selama penerimaan berlangsung, keempat bagian transduser menerima
echo dari target, dimana target yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat
pada waktu bersamaan. Jika target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu
pusat dari bim suara, maka echo akan diterima lebih dulu oleh bagian transduser
yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan
output dari full beam (MacLennan and Simmonds, 2005).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Simrad EY 60 yang
merupakan echosounder tipesurat terbagi (split beam). Sistem surat terbagi
menggunakan transduser penerima yang memiliki empat kuadran, yakni : fore,
aft,port, dan starboard. Menurut buku manual Simrad (1993), pada prinsipnya
tranducersplit beam terdiri dari empat kuadran, yaitu : Fore (bagian depan), Aft
(bagian belakang), Port (sisi kiri kapal) dan Starboard (sisi kanan kapal)
(Gambar 5).
Gambar 5. Skema Transducer Split Beam (Simrad, 1993)
Split beam merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki
kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam dan dual beam.
Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi
transduser yang digunakan, dimana pada echosounder ini transduser dibagi dalam
empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full beam yang
merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran secara
masing-masing kuadran secara terpisah, output dari masing-masing kuadran
kemudian digabungkan lagi untuk membentuk suatu full beam dengan dua set
split beam. Target tunggal diisolasi dengan menggunakan output dari full beam
sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set split beam.
Selama transmisi, transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian
transduser pada waktu yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target
diterima secara terpisah oleh masing-masing kuadran. Selama penerima
berlangsung keempat bagian transduser menerima gema dan target, dimana target
yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat dari surat suara dan gema dari
target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang
bersamaan. Target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu pusat surat
suara, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian transduser
yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan
output dari surat penuh (full beam) (Simrad, 1993).
Split beam Simrad EY 60scientific echo soundrer system merupakan
instrumen hidroakustik yang paling baru dan merupakan instrument yang bersifat
portable sehingga memudahkan untuk dibawa. Simrad EY 60 memiliki
seperangkat alat yang terdiri dari transducers, general purpose transceiver (GPT),
laptop dan global positioning system (GPS) yang terhubung dan semuanya
disambungkan dengan sumber energi yang berasal dari baterai.
Pantulan sidelobes dari permukaan maupun dari dasar perairan merupakan
masalah utama yang ditemukan pada perairan dangkal saat dilakukan horizontal
bim. Sistem tranducers baru pada Simrad EY 60 memiliki keuntungan dengan
Simrad EY 60 disebut sebagai scientific echosounder karena konsep baru yang
digunakan pada receiver memungkinkan alat ini mencapai rentang dinamis
sampai dengan 160 dB. Sounder dapat beroperasi pada tiga frekuensi sebesar 12,
38 dan 120 kHz. Keunikan lain dari alat ini adalah kemampuannya untuk
mengamati posisi horizontal dari ikan yang berada pada bim, hal ini
memungkinkan peneliti untuk mempelajari tingkah laku ikan. Selain itu memiliki
beberapa keistimewaan diantaranya memiliki tampilan echogram yang baik
dengan sistem multi frekuensi. Alat ini mampu menganalisis dengan lapisan
(layer) yang tidak terbatas sehingga memudahkan untuk analisis biomassa dan
target strength ikan (www.simrad.com).
Gambar 6. Tampilan Layar Echogram
2.4. Sinyal Echo Dasar Perairan
Informasi tentang jenis lapisan dasar perairan dan vegetasi bawah air
disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan diperoleh
secara bersamaan dengan data GPS. Sinyal yang disandikan dan informasi tentang
Proses verifikasi hasil sampling fisik dasar perairan harus ada dan
pengamatan dilakukan oleh penyelam atau kamera bawah air dan data yang
diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan
sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data
dari sinyal echo (Burczynski, 2002).
Parameter sinyal echo selain tergantung pada jenis dasar perairan khususnya
kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) juga dipengaruhi oleh parameter
dari alat, yaitu frekuensi seperti beamwidthtransducer dan lain-lain. Oleh karena
itu, hasil verifikasi akan sah hanya untuk sistem akustik yang digunakan untuk
verifikasi (Burczynski, 2002).
Perkiraan bahwa bagian dasar perairan keras akan menghasilkan echo yang
tajam dengan amplitudo yang tinggi sementara bagian dasar perairan lunak akan
menghasilkan echo yang panjang dengan amplitudo yang lebih rendah. Fenomena
ini dapat diamati pada osiloskop yang ada pada echogram di echosounder selama
survei (Gambar 7).
Gambar 7. Contoh Jejak Dasar Perairan Kasar dan Lunak pada Perekaman Hitam dan Putih (Burczynski, 2002)
Gambar 8 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan
kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan
terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar
perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan
kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak
akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah.
Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi
kumulatif dapat disimpan dalam database. Kemudian untuk jenis yang tidak
diketahui dapat diimplementasikan sebagai curve fitness algorithm dan mengenali
jenis dasar perairan sesuai dengan bentuk kurva energi kumulatif.
Gambar 8. Bentuk Kurva Dasar Perairan dari Dasar Perairan Keras dan Lunak; (a) Amplitudo Sinyal Echo (b) Kurva Energi Kumulatif (Burczynski, 2002)
Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar laut
ditentukan oleh: kekasaran dasar laut, perbedaan densitas antara air dan dasar laut,
dan reverberasi di dalam substrat. Klasifikasi dasar laut memerlukan sistem
akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan
jenis dasar laut dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap
Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan kombinasi
perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data biasanya tergantung pada
ekstraksi fitur karakteristik dari echo dasar laut (Gambar 10). Klasifikasi
memasukkan semacam teknik penyaringan untuk kelompok echo dengan fitur
yang serupa.
Gambar 9. Echo yang menunjukkan Jejak dari Pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari Dasar Laut (Collins dan McConnaughey, 1998)
Durasi echo mempengaruhi berbagai macam fitur yang selain tergantung pada
bentuk echo, juga tergantung pada jenis sedimen dan kedalaman. Nilai amplitudo
backscatter tergantung pada jenis sedimen, grazing angle dan jarak.
Ketergantungan pada grazing angle dan jarak harus dikurangi untuk klasifikasi
15
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3
Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di
sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak
Daun, Jakarta Utara. Wilayah penelitian berada pada koordinat 5 43’729” LU
– 106 36'185" BT. Pengambilan data dilakukan secara stationer di 9 stasiun.
Pengambilan data difokuskan pada beberapa macam tipe substrat yang menjadi
fokus kajian pada penelitian ini, dimana penulis terlibat langsung dalam proses
pengambilan data di lapangan. Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari
nelayan dan masyarakat di sekitar lokasi penelitian serta survei awal yang
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama penelitian untuk pengolahan data adalah meliputi
perangkat keras dan lunak. Perangkat keras (Hardware), meliputi : Simrad EY 60,
Laptop, serta Dongle dari Echoview 4.0 dan Perangkat lunak (Software), yaitu :
Microsoft Office Excell 2000, Software Echoview 4.0, Matlab R2008b, serta
Statistica 6.0.
3.2.1. Kapal
Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan kapal
nelayan setempat. Penempatan komponen Simrad EY 60(Laptop dan GPT) harus
berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan. Penempatan posisi
transduser harus masuk ke dalam air, sehingga transduser diletakkan di sisi luar
kapal tepatnya pada bagian kiri kapal dengan kedalaman transduser 0,5 m.
Transduser diletakkan di sebelah kiri karena perputaran baling-baling kapal
berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini dilakukan karena sinyal-sinyal
pengganggu (noise) yang ditimbulkan oleh baling-baling lebih besar pada satu sisi
kapal dari pada sisi yang lain. Dalam hal ini, sisi kanan kapal memiliki noise yang
besar karena baling-baling kapal berputar ke arah kiri.
Namun pada saat pengambilan data akustik, lokasi pengambilan data hanya
difokuskan pada posisi yang stasioner sehingga mesin kapal dimatikan untuk
mengurangi noise yang mungkin saja ditimbulkan oleh baling-baling kapal. Alat
dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan dapat dilihat
Tabel 2. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian
Alat dan bahan Jenis/keterangan Fungsi
Split beam
echosounder Simrad EY 60 Pengambilan data akustik
GPS Garmin Pengambilan data posisi stasiun
Laptop Hp Compac Pemrosesan dan penyimpanan
data akustik
Kapal Kapal nelayan (panjang dan lebar 6, dan 1,8 m)
Pipa paralon Berdiameter 7,6 cm dan
panjang 10 cm Alat untuk mengambil sampel
Underwater camera Sony DCS-W170 10 MP Dokumentasi objek di bawah air
3.2.2. Instrumen Simrad EY 60 Scientific Echosounder System
Pengambilan data akustik menggunakan perangkat Simrad EY 60scientific
echosounder system. Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan
frekuensi 120 kHz, transmitted power 50 watt, nilai pembatas -130 dB, kecepatan
suara 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk.
Perekaman akustik dilakukan secara stasioner pada titik transek (± 30 menit tiap -
tiap stasiun), selain itu digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan
juga GPS untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude).
Spesifikasi parameter dan kalibrasi Simrad EY 60 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter dan Kalibrasi dari Instrumen Echosounder
Parameter Nilai
Tipe transduser ES120-7C
Frekuensi (Operating frequency) (f) 120 (kHz) Kecepatan suara (Sound speed) (c) 1546.3 (m/s) Daya pancar (Transmission power) (P) 50 (watt) Lama pulsa (Pulse duration) 0.1280 ms
Maximum ping rate 20 pings/sec
Equivalent beam angle (ψ) -21o
Kedalaman transduser 0,5 - 1 (m)
3.2.3. Alat Pengambil Contoh Sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada tiap stasiun pengamatan yang
memiliki data akustik. Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui
penyelaman dengan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm
(3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan.
Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan
tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen yang terdapat dalam sedimen.
Ilustrasi pengambilan contoh sedimen seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Ilustrasi Posisi Paralon terhadap Echogram
pada saat Pengambilan Contoh Sedimen
3.3. Pengambilan Data
3.3.1. Pengambilan Data Akustik
Pengambilan data akustik dilakukan di wilayah perairan Kepulauan Seribu
mencakup Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun.
Pengambilan atau perekaman data akustik dilakukan secara stasioner di setiap
stasiun pada 9 stasiun yang berbeda. Data akustik diambil dengan menggunakan
instrumen echosounder split beam Simrad EY 60. Alat ini dioperasikan secara
Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT). Pengambilan data akustik dilakukan
menggunakan seperangkat echosounder split beamSimrad EY 60, dimana
transduser diletakkan di dalam air sedangkan seperangkat GPT dioperasikan di
atas kapal.
Secara umum akuisisi data diambil dengan menggunakan instrumen
echosounder untuk mengukur bottom acoustic backscattering strength. Diagram
alir akuisisi data ditunjukan pada Gambar 12.
Gambar 12. Simplikasi Diagram Alir Instrumen Echosounder (Manik, 2011)
Pada saat transdusermemancarkan gelombang suara mengenai suatu target di
dasar perairan, maka gelombang suara akan dihamburkan kembali pada
transduser. Sinyal gelombang suara yang dihasilkan oleh transdusermasih lemah,
untuk itu perlu diperkuat sebelum diteruskan ke recorder atau display. Penguatan
gelombang suara ini dilakukan oleh receiver amplifier. Receiver amplifier
bersama time varied gain (TVG) amplifier berfungsi untuk menguatkan sinyal
diperoleh bottom echo computation yang dapat memberikan informasi mengenai
nilai SV, dari nilai SVakan diperoleh nilai SS(Manik, 2011).
Nilai acoustic backscattering volume (Sv) diperoleh dengan menggunakan
software Echoview. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan yang
menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface
backscattering coefficient (Ss) (Manik, 2011) diperoleh nilai SS.
..….. (1)
dimana:
Φ = Instantaneous equivalent beam angle for surface scattering
Ψ = Equivalent beam angle for volume scattering c = Kecepatan suara (m/s)
τ = Pulse length
Peak bottom echo, nilai integrasi Ψ≈ Φ sehingga persamaan (1) menjadi:
..….. (2)
SS [dB] = 10*log Ss ..….. (3)
Nilai echo level (EL) diperoleh dengan persamaan:
EL = SL – 30 log H –2αH + 10 log(πcτ) + BSs(0) ..….. (4)
BSs(0) = Backscattering surface strengthat normal incidence (dB) simbol BSs(0)(Lurton, 2002) ≈ SS(0) (Manik et al. 2006) H = Ketinggian dari sumber suara ke target (m)
α = Koefisien absorpsi (dB/m)
3.3.2. Pengambilan Sampel Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada 9 stasiun. Pengambilan sampel
dilakukan dengan penyelaman secara langsung ke dasar perairan. Pengamat
diambil menggunakan sekop, dan dimasukkan ke dalam pipa paralon dengan
ukuran 50 cm.
Sampel sedimen yang diambil diperkirakan memenuhi setengah atau lebih
dari volum pipa paralon, kemudian pipa paralon ditutup rapat dengan
menggunakan plastik dan karet gelang. Setelah itu sampel dibawa untuk
kemudian dianalisis teksturnya di analisis tekstur sedimen di Balai Penelitian
Tanah Laboratorium Fisika Tanah Bogor.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Analisis Data Echogram
Data yang diperoleh dari instrumen Simrad EY 60split beam echosounder
systems dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diolah menggunakan
software Echoview 4.0, dan dianalisis menggunakan Ms. Excel. Sedangkan untuk
visualisasi echogram menggunakan software Matlab dan Statistica. Proses
integrasi dasar perairan dilakukan pada kedua pantulan akustik dari dasar perairan,
yaitu nilai E1 (energy of the 1st bottom echo), dannilai E2 (energy of the 2nd
bottom echo) pada second bottom. Respon akustik dari dasar perairan dilihat
dengan mengintegrasikan dasar laut dengan ketebalan integrasi 10 cm.
Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) yang digunakan pada proses
integrasi adalah berdasarkan dengan ping number sebesar 10 ping.
Nilai E1 threshold yang digunakan untuk energy of the 1st bottom echo (E1)
minimum sebesar -50 dB dan maksimum 0 dB, sedangkan threshold minimum
untuk energy of the 2nd bottom echo (E2) sebesar -70 dB dan maksimum pada 0
Gambar 13. Diagram Pengolahan Data pada Echoview 4.0
Langkah awal dalam pengolahan data echogram pada softwareEchoview 4.0
adalahpengkalibrasian data terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan secara manual
pada variable properties dengan memasukkan nilai parameter insitu seperti suhu
dan salinitas, selanjutnya akan diperoleh nilai koefisien absorpsi dan nilai
kecepatan suara. Pengolahan data echogram untuk dasar perairan dibagi menjadi
dua langkah, yaitu pengolahan untuk E1 (first bottom) dan pengolahan data untuk
E2 (second bottom). Pengolahan E1 dimulai dengan mengatur tampilan echogram
dengan nilai minimum -50 dan range yang digunakan adalah 50. Setelah itu
dibuat dua buah garis untuk membatasi wilayah integrasi dasar perairan. Garis
sedangkan garis kedua (line 2) dibuat dengan kedalaman 0.1 meter. Kemudian
untuk analisa lebih lanjut dibuat dua buah garis untuk kedalaman yang berbeda
yaitu 0.2 m dari permukaan dasar.
Analisis dilakukan terhadap nilai scattering volume (SV) dasar perairan.
Pengambilan data dilakukan per 10 ping. Setelah garis pertama dan garis kedua
terbentuk, pada echogramvariable properties (F8) pilih analysis, pada exclude
above line masukkan nilai line 1 dan exclude below line masukkan nilai line 2.
Pengekstrakan data dilakukan dengan menggunakan dongle yang kemudian akan
diperoleh nilai integrasi masing-masing ping dalam bentuk Ms. Excel.
Pengolahan selanjutnya adalah untuk E2 (second bottom). Analisis second
bottom hampir sama dengan pengolahan sebelumnya, pembuatan line 1 dilakukan
secara manual mengikuti kontur dasar perairan second bottom, sedangkan garis
kedua secara otomatis akan mengikuti bentuk garis pertama dengan jarak 0,10 m.
Setelah itu data diekstrak dengan menggunakan dongle yang kemudian
ditampilkan dalam bentuk Ms. Excel. Pengolahan data pada echogram pada
Echoview dapat dilihat pada Gambar 13.
Visualisasidata echogram (dalam bentuk raw data) menggunakan perangkat
lunak Matlab R2008b. Program listing yang digunakan adalah program Rick
Towler (Purnawan, 2009). Echogram merupakan hasil rekaman jejak-jejak dari
target yang terdeteksi yang dapat dihasilkan dari sistem akustik dimana sumbu x
merupakan jumlah ping dan sumbu y merupakan range/kedalaman (m). Skala
Gray menunjukkan bahwa nilai raw data dari echogram SV antara -12 sampai
-70 dB. Pengembalian yang tinggi secara akustik menunjukkan pemantulan dari
lemah menunjukkan pembelokan sinyal akustik yang kembali dan dihubungkan
untuk tipe dasar yang halus. Echogram digunakan sebagai fungsi quality control
dan analisa data. Intensitas dari tiap variabel dinotasikan sebagai warna pada tiap
pixel. Visualisasi contoh echogram dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Tampilan Contoh Echogram
Nilai acoustic backscattering volume (SV)diperoleh dengan menggunakan
software Echoview. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan yang
menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface
backscattering coefficient (Ss) (Manik et al. 2006) diperoleh nilai SS. Setelah
diperoleh nilai tersebut, pengolahan data pada echogram pada Matlab untuk
visualisasi echogram (SV, dan SS),sertaintensitas echo dasar perairan (EL) dapat
Gambar 15. Diagram Pengolahan Data pada Matlab
3.4.2. Analisis Komponen Utama Sedimen (Principal Component Analysis)
Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Suatu
korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya
0,50 – 1,00. Parameter yang dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding
terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0,50 sampai dengan -1,00 dan jika
nilainya berada diantara -0,50 hingga 0,50 dianggap tidak mempunyai pengaruh
Hubungan antara parameter fisika sedimen dengan nilai akustik dianalisis
dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), untuk melihat
seberapa besar keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain,
yaitu parameter fisik sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi
(komposisi sedimen), dan parameter akustik.
Adapun secara skematik bagan alir pencapaian tujuan dalam penelitian
dideskripsikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Skematik Bagan Alir Penelitian
Survei akustik dan observasi bawah air dalam pengkarakteristikan dasar
perekaman data yang menggunakan scientific echosounder systemSimrad EY 60
dengan sampling sedimen dasar perairannya.
Sampling sedimen dasar perairan diolah di Balai Penelitian Tanah
Laboratorium Fisika Tanah IPB Bogor untuk mendapatkan analisis sedimen
(grain size). Pengolahan hasil data (raw data) menggunakan Echoview dan Ms.
Excel, visualisasi menggunakan Matlab yang menampilkan nilai SV,SS, dan
intensitas energi backscattering strength atau echo envelope. Hasil analisis
sedimen dan pengolahan data kemudian dihubungkan dan dianalisis parameter
komponennya untuk mendapatkan beberapa kesimpulan mengenai karakteristikan
dasar perairan di perairan Kepulauan Seribu. Analisis parameter komponen utama
menggunakan PCA, yaitu parameter fisika sedimen dengan nilai akustik.
3.4.3. Analisis Sampel Sedimen
Analisis sampel sedimen dilakukan di Balai Penelitian Tanah Laboratorium
Fisika Tanah IPB Bogor. Analisis sampel sedimen dilakukan untuk menentukan
ukuran tekstur dari masing-masing butiran partikel sedimen. Klasifikasi metode
analisis besar butir dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Contoh substrat dari lapangan kemudian timbang dengan timbangan analitik
untuk mendapatkan berat
2. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C sampai
benar-benar kering
3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm
4. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan didiamkan
sampai semua bahan organik habis dengan tidak ada buih lagi. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan bahan organik pada sampel substrat
5. Pisahkan fraksi pasir dari debu dan liat dengan menggunakan ayakan
50 µm. Fraksi debu dan liat kemudian ditampung dalam gelas ukur.
6. Pindahkan fraksi pasir kedalam cawan porselin kemudian keringkan di atas
pemanas. Timbang berat pasir, kemudian diayak dengan menggunakan 5
ukuran saringan berbeda yaitu 50-100 µm, 100-200 µm, 200-500 µm,
500-1000 µm, 500-1000-2000 µm. Sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir
sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir
7. Fraksi lanau dan liat yang dipisahkan kemudian ditambahkan larutan
Na2P2O7.10H2O (Na-hexametafosfat) untuk selanjutnya dianalisis untuk
dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc
8. Untuk menentukan fraksi lanau, larutan didiamkan selama 1-15 menit.
Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan
tersebut didiamkan selama ± 24 jam untuk selanjutnya ditentukan
30
4.1. Sedimen Dasar Perairan
Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan
di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
substrat pasir berlumpur dan pasir. Sampling sedimen tersebut berdasarkan
analisis tekstur dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau dan
liat. Pengambilan sampel sedimen yang terdapat pada 9 stasiun, yaitu : P.
Pramuka terdiri dari 1 stasiun (Stasiun 1), P. Karya terdiri dari 2 stasiun (Stasiun
2, dan 3), P. Panggang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 4, 7, dan 9), dan P. Semak
Daun terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 5, 6, dan 8). Pada lokasi pengambilan
sedimen, stasiun 1 sampai 6 adalah stasiun pasir berlumpur, sedangkan stasiun 1
sampai 9 adalah stasiun pasir. Lokasi pengambilan sedimen dapat dilihat pada
Berdasarkan hasil analisis tekstur sedimen, sedimen permukaan dasar laut di
lokasi penelitian dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau, dan
liat. Fraksi pasir terdapat 5 ukuran mata ayakan 1.000 – 2.000 μm, 500 – 1.000
μm, 200 – 500 μm, 100 – 200 μm, dan 50 – 100 μm), lanau (3 fraksi, ukuran 20 –
50 μm, 10 – 20 μm, dan 2 –10 μm) dan liat (1 fraksi, ukuran 0 – 2 μm). Hasil
analisis menunjukkan bahwa dari 9 stasiun lokasi pengamatan secara keseluruhan
didominasi oleh fraksi pasir yang memiliki persentase rata-rata sebesar 80,85%.
Fraksi lanau dan liat secara berturut-turut memiliki nilai persentase rata-rata
sebesar 18,32% dan 0,83% (Gambar 18).
Rendahnya tingkat persentase lanau dan liat di lokasi penelitian ini salah
satunya disebabkan karena tidak adanya daratan utama yang menjadi sumber
masukan fraksi lanau dan liat yang dapat disebabkan oleh proses sedimentasi yang
terjadi di daratan yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di lautan.
Gambar 18. Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian
Fraksi pasir (sand) yang memiliki kenampakan makroskopis akan lebih cepat
mengendap dibandingkan dengan fraksi lanau atau lumpur (silt) dan liat (clay)
dan liat berukuran sangat kecil (mikroskopis) sehingga masih dapat dibawa oleh
arus ke tempat lain. Sedimen fraksi lanau umumnya mudah terbawa oleh arus dan
mudah teraduk bila terjadi proses turbulensi atau upwelling.
Pengendapan fraksi lanau sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas
dari lapisan permukaan dasar laut. Sedimen fraksi liat merupakan sedimen yang
ukurannya paling kecil sehingga butuh waktu yang lebih lama dari pada lanau
untuk mengalami proses pengendapan di dasar perairan. Istilah lumpur (silt)
biasanya dalam konteks laut diganti dengan istilah yang lebih umum, yakni lanau
agar tidak membingungkan dengan pengertian mud. Menurut Wibisono (2005)
jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan benthos yang
mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen
pebbles dan granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda,
sedangkan untuk jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan
kerang-kerangan (Bivalva) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan
hewan cacing.
Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 8 sebesar
90,26% yang berada pada posisi 5°43,833’ LS dan 106°34,363’ BT pada
kedalaman 5,01 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 72,37% pada posisi
5°44,275’ LS dan 106°36,538 BT yang berada pada kedalaman 4,07 meter.
Persentase komposisi fraksi lanau terbesar terdapat pada Stasiun 2 sebesar 26,81%
dan terendah pada Stasiun 8 sebesar 9,01%, sedangkan untuk fraksi liat tertinggi
terdapat pada Stasiun 6 dengan persentase sebesar 1,28%, dimana stasiun ini
terletak pada posisi 5°43,703’ LS dan 106°34,379’ BT dengan kedalaman 5,60
Tabel 4. Komposisi Fraksi Sedimen pada setiap Stasiun
St. Posisi koordinat Persentasi fraksi (%) Tipe substrat Lintang Bujur Pasir Lanau Liat
4.2. Komputasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan
Hasil ekstrak data menggunakan program Echoview 4,0 dongle version dan
readEYRawMatlab menghasilkan tampilan echogram yang merupakan hasil
penjabaran dari setiap ping dari nilai volume backscattering strength (SV), dengan
unit decibel (dB). Komputasi nilai backscattering (SV dan SS) dari beberapa tipe
substrat dasar perairan diperoleh melalui komputasi echo dasar perairan yang
terekam dalam echogram (Manik, 2011). Echogram adalah hasil perekaman
sinyal atau gambar hasil deteksi dengan menggunakan alat akustik. Echogram
juga dapat memberikan informasi kedalaman perairan, profil dasar perairan dan
mengenai individu ataupun kelompok ikan.
Semakin besar nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan maka
diduga semakin kasar dan keras pula jenis dasar perairan tersebut. Hal ini
disebabkan karena perbedaan material dasar laut. Adapun nilai komputasi SV, SS,
Tabel 5. Nilai SV, SS, dan EL (dB) Dasar Perairan
St. Tipe Substrat Depth (m)
4.2.1. Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan
Hasil kuantifikasi SV echo dasar perairan menunjukkan bahwa dari 2 tipe
substrat yang ditemukan di lokasi penelitian, substrat pasir memiliki nilai SV
(roughness) yang berkisar antara -10,62 sampai -18,51 dB dan substrat pasir
berlumpur memiliki nilai SVyang berkisar antara -16,58 sampai -25,42 dB. Nilai
SVrata-rata untuk substrat pasir adalah sebesar -13,91 dB dan substrat pasir
berlumpur sebesar -20,57 dB. Nilai SV tertinggi untuk substrat pasir terdapat pada
Stasiun 7 sebesar -10,62 dB dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -18,51 dB,
sedangkan nilai SV tertinggi untuk substrat pasir berlumpur terdapat pada Stasiun
6 sebesar -16,58 dB dan terendah pada Stasiun 3 sebesar -25,42 dB (Tabel 5).
Echogram merupakan rekaman dari rangkaian gema. Visualisasi echogram
pada Gambar 19 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir
berlumpur yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir
berlumpur cenderung memiliki kandungan fraksi lanau yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan lanau yang terdapat pada substrat pasir. Visualisasi
Substrat pasir berlumpur pada stasiun 3 dan 4 terdapat tumbuhan lamun, dan
adanya turbulensi, sedangkan untuk substrat pasir pada stasiun 8 dan 9 terdapat
lapisan sedimen yang berwarna merah dan ikan. Visualisasi echogram pada
stasiun 1 dan 7 terdapat lapisan sedimen yang berwarna merah di 2 kedalaman
yang relatif berdeda. Adanya fenomena pada saat perekaman data tersebut
merupakan hal yang mungkin dapat mempengaruhi komputasi nilai
backscattering (SV dan SS) yang dapat dilihat pada visualisasi echogram tiap-tiap
stasiun (Lampiran hal 61).
(a) (b) Gambar 19. Echogram Tipe Substrat Pasir Berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4
Gambar 20 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir yang
mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir yang cenderung
memiliki kenampakan makroskopis memiliki kelebihan untuk memantulkan
kembali sinyal akustik yang ditembakkan ke dasar perairan. Hal ini yang
mengakibatkan second echo yang dihasilkan dari substrat pasir tentunya akan
(a) (b) Gambar 20. Echogram Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Adanya perbedaan nilai SV pada tiap jenis dasar perairan salah satunya
disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yg memiliki
kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang
lebih besar. Selain itu, adanya pori-pori atau ruang yang terdapat antar sedimen
dapat menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi jenis sedimen tersebut dalam
memberikan respon terhadap nilai akustik.
4.2.2. Surface Backscattering Strength (SS) dan Echo Level (EL) Dasar Perairan
Hasil yang diperoleh dari hasil komputasi nilai SV untuk memperoleh nilai
SS didapatkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -20,70 sampai
-28,58 dB dengan nilai rata-rata sebesar -23,98 dB. Substrat pasir berlumpur
memiliki nilai SS yang berkisar pada -26,64 sampai -35,49 dB dengan rata-rata
nilai SS sebesar -30,64 dB. Nilai SS pasir tertinggi terletak pada Stasiun 7 sebesar
-20,70 dB dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -28,58 dB. Substrat pasir
berlumpur, nilai SS tertinggi terdapat pada Stasiun 6 sebesar -26,64 dB dan
Nilai SS diperoleh dari puncak nilai Sv echo permukaan. Hasil pengolahan
SS dengan menggunakan Matlab terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum
SS bervariasi untuk beberapa tipe substrat (pasir dan pasir berlumpur). Hal ini
diduga bahwa nilai SS dipengaruhi oleh impedansi akustik dan kekasaran
(roughness) dari permukaan lapisan dasar perairan. Berdasarkan hasil yang
diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa hal ini sesuai dengan hasil Siwabessy
(2001) yang menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar yang keras (hard)
akan lebih besar dibandingkan nilai backsacttering dari dasar perairan yang lunak
(soft).
Pola perambatan pulsa akustik (SV dan SS) dasar perairan pada Gambar 21
dan Gambar 22 menunjukkan contoh stasiun yang menunjukkan pola perambatan
pulsa akustik yang diukur dalam SV dan SS dari dasar perairan pada kedua tipe
substrat yang di plot berdasarkan hubungan antara kedalaman dan nilai intensitas
acoustic backscattering strength. Pada pola perambatan pulsa akustik yang
diukur, puncak nilai SV atau SS dapat diduga sebagai echo dasar (dasar perairan).
Puncak yang tertinggi merupakan echo pertama dari dasar perairan sedangkan
peak yang selanjutnya (puncak yang lebih rendah) merupakan echo kedua dari
dasar perairan dan seterusnya (Lampiran hal 62).
Nilai terbesar SS tidak jauh berbeda dengan nilai SV dasar perairan yang
didominasi oleh tipe substrat pasir dan pasir berlumpur. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Manik et al. (2006) yang menjelaskan bahwa dengan menggunakan
nilai SS, nilai backscattering strength substrat pasir lebih besar dari pada nilai SS
pada tipe substrat pasir berlumpur. Nilai terkecil SS didominasi oleh tipe substrat
bertambahnya kenaikan diameter partikel dasar laut dan menurun dengan
kenaikan frekuensi akustik yang digunakan yang bermanfaat untuk klasifikasi tipe
dasar laut.
(a) (b)
Gambar 21. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir Berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4
(a) (b) Gambar 22. Pola SS dan SV Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Penelitian terdahulu mengenai nilai backscattering strength dasar perairan
pada beberapa perairan di Indonesia telah dilakukan. Beberapa diantaranya telah
dilakukan oleh Purnawan (2009), Allo (2008), Pujiyati (2008) dan Manik et al.
(2006) dengan menggunakan instrumen scientific echosounder split beam dengan
Tabel 6. Beberapa Penelitian tentang Nilai AcousticBackscattering Strength
Sounder/Matlab Samudera Hindia
Pasir: -18,30
Berdasarkan Gambar 23 dapat melihat bahwa penelitian ini memiliki
nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya
namun nilai tersebut merupakan nilai SV tertinggi. Jika dimasukkan nilai
rata-rata, substrat pasir memiliki nilai SVyang berkisar antara -10,62 dB sampai
-18,51 dB dan substrat pasir berlumpur memiliki nilai SV yang berkisar antara
-16,58 dB sampai -25,42 dB. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini berada
Gambar 23. Perbandingan Nilai VolumeBackscattering Strength
berbagai Tipe Substrat Pasir, Pasir Berlumpur, Lumpur Berpasir dan Lumpur. Penelitian ini Purnawan Allo Pujiyati Manik et al.
Kondisi perairan yang berbeda akan mempengaruhi intensitas nilai
backscattering karena secara tidak langsung berhubungan dengan kecepatan
rambat gelombang suara di perairan yang berkaitan erat dengan kondisi suhu,
salinitas, tekanan dan kedalaman. Selain cepat rambat gelombang suara, panjang
pulsa juga mempengaruhi intensitas nilai backscattering dan ini berkaitan erat
dengan spesifikasi instrumen akustik yang digunakan dalam penelitian.
4.2.3. Normalisasi Energi Echo Dasar Perairan
Visualisasi Gambar 24 menunjukkan hasil normalisasi echo dasar perairan
yang diperoleh dari data echogram untuk melihat tingkat intensitas energi substrat
dasar perairan (pasir dan pasir berlumpur) di 9 stasiun lokasi penelitian.
Lumpur Lumpur
Berpasir
Pasir Berlumpur
Hasil perhitungan nilai echo level, maka pada penelitian ini didapatkan bahwa
nilai echo level untuk substrat pasir memiliki nilai rata-rata sebesar 177,23 ± 8,99
dB dan untuk pasir berlumpur memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 168,08 ±
6,78 dB dengan nilai source level (SL) sebesar 214 dB, dengan nilai µ ± s
berkisar antara 177.23 ± 8.99 dB.
Gambar 24. EchoEnvelope di 9 Stasiun Lokasi Penelitian
Kurva energi substrat pasir berlumpur diwakili oleh stasiun 1 – 6 memiliki
nilai rata-rata echo level sebesar 168,08 ± 6,78 dB, dengan nilai µ ± s berkisar
antara 153.95 – 173.26 ± 2.57 – 4.30 dB. Sedangkan kurva energi substrat pasir
diwakili oleh stasiun 7 – 9 memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 177,23 ±
8,99 dB, dengan nilai µ ± s berkisar antara 161.85 – 179.42 ± 2.76 – 3.61 dB
(Lampiran hal 63).
Dasar perairan cenderung memiliki karakteristik memantulkan dan
permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar
laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga
lempung yang halus serta lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda
(Urick, 1983). Menurut Manik (2011), selain dipengaruhi oleh ukuran partikel,
diduga ada faktor lain yang mempengaruhi nilai backscattering seperti porositas,
kandungan zat organik dan biota yang berada dalam substrat.
Tingkat energi dasar perairan dapat digambarkan berdasarkan hubungan
antara intensitas echo dasar perairan terhadap kedalaman dalam memberikan
respon terhadap sinyal akustik yang mengenai dasar perairan. Hal ini ditandai
dengan adanya anggapan bahwa dasar perairan yang keras akan menghasilkan
intensitas echo yang tajam berupa nilai amplitudo yang tinggi, sementara bagian
dasar perairan yang lunak akan menghasilkan echo yang lemah yang ditandai
dengan rendahnya nilai respon amplitudo yang dihasilkan. Echo envelope dari
intensitas energi ini merupakan interpretasi dari dasar perairan dalam meresponi
sinyal akustik yang memperlihatkan sinyal echo yang berasal dari first bottom
atau E1 dan second bottom atau E2.
Echo dasar perairan ini merupakan nilai backscattering volume (SV) yang
merupakan nilai yang menggambarkan nilai SV tertinggi untuk masing-masing
peakecho, dimana peak pertama diindikasikan sebagai echo yang berasal dari
noise permukaan yang disebabkan proses transmisi sinyal akustik dan gangguan
lainnya seperti angin ataupun gelembung. Peak kedua merupakan gema yang
berasal dari dasar perairan yang langsung diterima transduser, sedangkan peak
tidak langsung kembali ke transduser tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan
atau kapal dan kembali ke dasar perairan dan kemudian kembali ke transduser.
Visualisasi Gambar 25 dan Gambar 26 menunjukkan hasil normalisasi echo
dasar perairan yang diperoleh dari data echogram untuk melihat tingkat intensitas
energi dari beberapa tipe substrat dasar perairan (pasir dan pasir berlumpur) di
lokasi penelitian. Intensitas energi yang mengindikasikan dari tipe substrat pasir
berlumpur diwakili stasiun 3 dan 4 dengan nilai µ ± s sebesar 158.10 ± 2.57 dB,
dan 159.44 ± 2.80 dB. Sedangkan untuk tipe substrat pasir diwakili stasiun 8 dan
9 dengan nilai µ ± s sebesar 161.85 ± 3.49 dB, dan 175.59 ± 3.61dB.
(a) (b)
(a) (b)
Gambar 26. EchoEnvelope yang mengindikasikan Tingkat Intensitas Energi Tipe Substrat Pasir (a) Stasiun 8, (b) Stasiun 9
Kurva energi substrat pasir cenderung memberikan respon backscattering
yang lebih kuat dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur yang ditandai
dengan nilai amplitudo yang tinggi yang terdapat pada substrat pasir. Rendahnya
intensitas energi echo pada substrat pasir berlumpur dikarenakan substrat yang
memiliki kandungan lanau cenderung untuk menyerap gelombang suara yang
ditransmisikan ke dasar perairan sehingga echo yang kembali dari dasar akan
mengalami pelemahan. Hal ini berbeda dengan pasir, karena pasir akan
memantulkan gelombang suara lebih kuat. Hal ini menjelaskan bahwa nilai
hambur balik dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai
hambur balik dasar atau substrat kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lain
seperti porositas ataupun kandungan zat organik dan biota yang berada di dalam
substrat. Namun dalam penelitian ini porositas, zat organik dan biota yang ada di
4.3. Principal Component Analysis (PCA)
Hubungan antara parameter fisika sedimen dengan nilai akustik dianalisis
dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), untuk melihat
seberapa besar keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain.
Parameter fisik sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi komposisi
sedimen (pasir, lanau, dan liat), sedangkan untuk parameter akustik meliputi nilai
SV (E1 dan E2), SS dan EL (Echo Level).
Analisis komponen utamayang dilakukan terhadap data pengamatan di
perairan Kepulauan Seribu dapat menjelaskan keragaman data sampai 82,12%
sehingga interpretasi analisis komponen dianggap mewakili keadaan yang terjadi
tanpa mengurangi informasi yang banyak dari data (Gambar 27).
Sumbu faktor 1 (F1) dan faktor 2 (F2) dipilih untuk menggambarkan
peubah-peubah baru yang akan menjelaskan komponen utama karena kontribusi hasil
penjumlahan antara keduanya lebih besar bila dibandingkan dengan penjumlahan
antara F1 dan F3 atau F2 dan F3. Perlu diketahui bahwa besarnya sudut yang
terbentuk dari dua variabel dalam satu sumbu faktor mengindikasikan besarnya
perbedaan antara kedua variabel tersebut.
Hasil analisis komponen utama (parameter fisik sedimen dan nilai
hidroakustik) terhadap komposisi substrat dan nilai hambur balik dasar perairan
memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap sumbu utama (F1, F2) sebesar
86,70%. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 (F1) yang menjelaskan
64,63% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 22,07% dari ragam total.
Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 negatif meliputi:
sedangkan sumbu 1 positif meliputi partikel lanau, dan liat. Komponen yang
memberikan kontribusi pada sumbu 2 negatif partikel liat, lanau, hambur balik
pertama (E1), hambur balik ke dua (E2), SS dan EL, sedangkan sumbu 2 positif
meliputi partikel pasir.
Analisis komponen utama tipe substrat yang meliputi, PCAuntuk keterkaitan
parameter (fisik sedimen dan nilai hidroakustik) dan penyebaran stasiun
pengamatan pada sumbu F1 dan F2 dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28.
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2)
Gambar 28. Penyebaran Stasiun Pengamatan pada Sumbu F1 dan F2
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 28 maka
Tabel 7. Hubungan antara Parameter Fisika Sedimen dan Nilai Akustik dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA)
Klasifikasi Penyebaran Stasiun
pada Sumbu F1 dan F2 Keterangan
Kelompok 1 Stasiun 1, 2, dan 6
Stasiun substrat pasir berlumpur dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 2, ditandai dengan nilai SV, SS tertinggi, dan memiliki nilai echo level yang besar dari kelompok 2
Kelompok 2 Stasiun 3, 4 dan 5
Stasiun substrat pasir berlumpur dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 1, ditandai dengan nilai SV, SS yang lebih
rendah dari kelompok 1, dan memiliki nilai echo level tinggi
Kelompok 3 Stasiun 7
Stasiun substrat pasir dengan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari kelompok 4 dan liat terkecil ditandai dengan nilai SV, SS dan echo level tertinggi diantara stasiun lainnya
Kelompok 4 Stasiun 8 dan 9
Stasiun substrat pasir dengan komposisi fraksi pasir terbesar diantara stasiun lainnya, ditandai dengan nilai SV, SS,dan echo level