• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.)"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI

DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN

(AGERATUM CONYZOIDES L)

TAUFAN HARI SUGARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri Dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

ABSTRACT

TAUFAN H. SUGARA. Characterization Antibacterial Compounds from Ethyl Acetat Fraction of Bandotan Leaf (Ageratum conyzoides L.) Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO and MUHAMMAD HANAFI.

Utilization of Ageratum conyzoides L. leaf for wound healing and digestion disorders are often associated with its antibacterial activities. However, information of this plant as antibacterial agent still limited on the polar and nonpolar fraction. Therefore, the objective of this study was to evaluate and identify the antibacterial activity of semipolar fraction extract of A. conyzoides L. leaves to Staphylococcus aureus and Eschericchia coli. Overall antibacterial activity results of ethyl acetate extract, fractions and subfractions Ageratum conyzoides L. leaves showed broad-spectrum antibacterial activity because it can prevent bacterial growth of S. aureus and E. coli. Subfractions 4b has the highest antibacterial activity for S. aureus compared to other subfractions. The minimum inhibition concentration for subfractions 4b against S. aureus was 25 mg/ml and 50 mg/ml for E. coli. Based on UV-Vis spectrophotometer, infra red and gas chromatograpy-mass spectroscopy, this fraction contain coumarin compounds, 2 chromen (prekosen II and 7-methoxy-2,2-dimethyl-6-vinyl-2H-chromene), and 2 derivative palmitic acid (9, 12-heksadecanoic acid and 9,12 octadecanoic acid, neophytadiene and 5,11,14,17-methyl eicosatetraenoate.

(4)

Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO, dan MUHAMMAD HANAFI.

Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.). Tanaman bandotan umumnya digunakan oleh masyarakat untuk obat luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pengembangan penelitian tentang aktivitas antibakteri dari tanaman bandotan sangatlah penting dan dapat dikaitkan dengan pemanfaatannya sebagai obat luka secara tradisional.

Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja sehingga pencarian senyawa aktif dari fraksi semi polarnya perlu dilakukan. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Etil asetat adalah salah satu pelarut semipolar yang paling sering digunakan dan diketahui mampu memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.).

Sebanyak 1,5 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat dan daun bandotan kering diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen terbaik sehingga diperoleh beberapa fraksi.

Masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian difraksinasi dan diuji antibakteri kembali. Subfraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi kemudian ditentukan nilai Minimum Inhibition Concetration (MIC) dan diidentifikasi senyawa aktifnya menggunakan spektrofotometer ultraviolet visible (UV-Vis), spektrofotometer infra merah (IR), dan kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS).

(5)

ii

kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat.

Hasil fraksinasi dengan menggunakan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik diperoleh total fraksi sebanyak 8 fraksi. Fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan senyawa tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 mg/ml terhadap S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masing-masing ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya. Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Bakteri Gram negatif memiliki membran phospolipid bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antibakteri.

Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawa-senyawa yang yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan dan semua fraksinya memiliki spektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa fraksi 1-6 tergolong sebagai antibakteri yang memiliki aktivitas kuat karena menghasilkan rata-rata diameter zona hambat diatas 10 mm. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh fraksi 4 karena menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi yaitu sebesar 16 mm untuk S. aureus dan 14 mm untuk E. coli. Meskipun diameter zona hambat yang dihasilkan hampir sama dengan fraksi 3, tetapi diameter zona hambat fraksi 3 terhadap E. coli lebih rendah yaitu sebesar 11,5 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan fraksi 4 sebagai fraksi teraktif.

(6)

konsentrasi yang digunakan lebih kecil. Efektifitas antibakteri dipengaruhi oleh senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air. Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Mekanisme kerja kloramfenikol adalah dengan mengganggu sintesis protein pada bakteri.

Fraksinasi terhadap fraksi 4 dengan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik menghasilkan lima subfraksi. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap kelima subfraksi menunjukkan bahwa subfraksi 4b memiliki aktivitas tertinggi karena menghasilkan diameter hambat sebesar 14,5 mm terhadap S. aureus dan 10 mm terhadap E. coli. Diameter zona hambat subfraksi 4a terhadap S. aureus sama dengan subfraksi 4b, tetapi daya hambatnya terhadap E. coli lebih rendah yakni sebesar 8 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan subfraksi 4b sebagai subfraksi teraktif.

Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4b-4e lebih rendah bila dibandingkan dengan fraksi 4. Terjadinya penurunan aktivitas antibakteri ini diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada subfraksi 4a-e bekerja secara sinergis dan ditunjukkan dengan besarnya diameter hambat yang dihasilkan pada uji aktivitas antibakteri fraksi 4. Dengan kata lain, pemisahan fraksi 4 menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil menyebabkan senyawa-senyawa yang bekerja secara sinergis sebagai antibakteri menjadi terpisah sehingga daya aktivitas antibakteripun mengalami penurunan.

Penentuan nilai MIC pada subfraksi 4b menggunakan variasi konsentrasi 500, 250, 125, 175, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap kedua bakteri uji. Semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka diameter zona hambat yang terbentuk akan semakin besar. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 25 mg/ml dan nilai MIC untuk E. coli adalah sebesar 50 mg/ml. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terendah dari subfraksi 4b yang dapat menghambat pertumbuhan masing-masing bakteri uji.

Hasil identifikasi subfraksi 4b dengan menggunakan UV-Vis, IR dan GC-MS diperoleh dugaan senyawa yang terkandung pada subfraksi 4b berupa senyawa kumarin, 2 senyawa kromen (prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen), 2 senyawa turunan asam palmitat (asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat), senyawa triterpen (neopitadien) dan senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

(AGERATUM CONYZOIDES L)

TAUFAN HARI SUGARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : G451070071

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS

Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS

Anggota Anggota

Dr. Muhammad Hanafi

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Kimia

Prof. Dr. Ir. Purwantiningsih Sugita, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS, dan Bapak Dr. Muhammad Hanafi selaku pembimbing dan telah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran staf Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Puspitek, Serpong dan Laboratorium Kimia Analitik-Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan izin dan membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wataala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2010 ini ialah antibakteri. Tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai salah satu tanaman obat Indonesia biasanya digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan tanaman tersebut seringkali dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri. Hingga tahun 2011, penentuan senyawa aktif antibakteri pada daun tanaman bandotan hanya dilakukan pada fraksi polar dan nonpolarnya saja. Dengan demikian, perlu dilakukan penentuan senyawa aktif dari fraksi semipolar daun tanaman tersebut untuk mendukung alasan penggunaannya sebagai tanaman obat tradisional.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sebagai bagian dari proses belajar yang tiada henti. Karenanya penulis sangat mengharapkan kritik, saran, maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2011

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 16 Nopember 1982 dari Bapak H. Hamzah M. Sehab, SH dan Ibu Hj. Yuriwati, S.Pd. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Mataram dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana sains di Universitas Negeri Surabaya pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis menyelesaikan studi pada tahun 2006 dan setahun kemudian diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana IPB di Departemen Kimia.

(14)

Halaman

Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn) ... 4

Fitokimia Bandotan ... 5

Bakteri Uji ... 7

Antibakteri... 8

Ekstraksi ... 10

Fraksinasi Senyawa Aktif ... 11

Spektrofotometer Ultraviolet ... 13

Spektrofotometer Inframerah ... 14

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) ... 15

BAHAN DAN METODE ... 16

Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

Alat dan Bahan ... 16

Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air ... 16

Ekstraksi Sampel ... 17

Uji Fitokimia ... 17

Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif ... 18

Uji Aktivitas Antibakteri ... 19

Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Ekstraksi Daun Bandotan ... 22

Analisis Fitokimia ... 22

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat ... 24

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi 4 ... 29

Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) ... 32

Identifikasi Senyawa Aktif ... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout... 9 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ... 10 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi ... 14 4 Hasil uji fitokimia simplisia dan ekstrak kasar etil asetat

daun bandotan ... 23 5 Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot

pada eluen kloroform : metanol (9 : 1)... 25 6 Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan

dan fraksi-fraksi yang terkandung di dalamnya ... 27 7 Hasil pengujian spektrofotometer UV-Vis... 34 8 Bilangan gelombang dan gugus fungsi

(16)

Halaman

1 Tanaman bandotan ... 4

2 Struktur beberapa senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman bandotan ... 6

3 Staphylococcus aureus ... 7

4 Escherichia coli ... 8

5 Hasil analisis KLT pada ekstrak etil asetat daun bandotan ... 24

6 Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat ... 26

7 Rendemen hasil fraksinasi F4 ... 30

8 Aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e ... 31

9 Diameter zona hambat pada penentuan nilai MIC ... 32

10 Struktur senyawa-senyawa yang dihasilkan... 36

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

9 Diagram alir penelitian ... 49

10 Penggabungan fraksi-fraksi hasil fraksinasi ekstrak etil asetat ... 50

11 Penentuan eluen terbaik untuk fraksinasi F4 ... 51

12 Penggabungan subfraksi hasil fraksinasi F4 ... 52

13 Hasil uji aktivitas antibakteri subfraksi F4 ... 53

14 Hasil penentuan nilai MIC subfraksi F4b ... 53

15 Spektrum UV-Vis ... 54

16 Spektrum IR ... 55

17 Kromatogram GC ... 56

(18)

Latar Belakang

Secara turun-temurun masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman yang hidup di alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat-obatan. Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides). Khasiat herba bandotan antara lain untuk pengobatan luka, gatal-gatal, flu, demam, diare, radang usus, dan rematik (Sukamto 2007; Hasim 2005).

Diantara khasiat tanaman bandotan tersebut, yang paling umum digunakan masyarakat adalah untuk pengobatan luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Oladejo et al. (2003) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang terdapat pada kulit dan rongga hidung yang seringkali menjadi penyebab terjadinya infeksi luka pada permukaan kulit (Todar 2002). Seperti halnya infeksi pada luka, gangguan pencernaan juga dapat disebabkan oleh bakteri. Pelzcar & Chan (1986) menyebutkan bahwa bakteri Escherichia coli merupakan salah satu penyebab utama terjadinya infeksi pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala diare. Pengobatan infeksi oleh bakteri secara tradisional dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman.

Tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti terpena, sterol, flavonoid, alkaloid, benzofuran, chromen, chromon, kumarin, minyak atsiri, dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat dan salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Oladejo et al. (2003) menerangkan bahwa pengembangan penelitian tentang alasan pemanfaatan tanaman bandotan sebagai obat luka dan gangguan pencernaan dapat dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri.

(19)

2

metanol (Almagboul et al. 1985; Oladejo et al. 2003), ekstrak etanol (Widodo et al. 2007), dan ekstrak air (Yamamoto et al. 1991; Okwori et al. 2007; Mustafa et

al 2005) diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri yang diujikan. Ekstrak heksana yang merupakan ekstrak nonpolar juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji (Okwori et al. 2008).

Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Berdasarkan prinsip “like disolve like”, senyawa-senyawa metabolit sekunder hanya dapat dipisahkan dari bagian tanaman menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Etil asetat adalah salah satu pelarut semi polar yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar.

Hasil uji pendahuluan diketahui bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan mengandung senyawa fenol, terpena dan sterol yang kemungkinan berpotensi sebagai antibakteri. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan karakterisasi senyawa aktif dari fraksi etil asetat daun bandotan yang berpotensi sebagai antibakteri sekaligus memberikan informasi ilmiah yang dapat mendukung alasan penggunaan daun tanaman tersebut sebagai obat tradisional.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(20)
(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.)

Tanaman bandotanmerupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda, diantaranya di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal sebagai daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto 2007). Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman bandotan

Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, superdivisi Spematophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L. Tumbuhan ini di berbagai daerah

(22)

Tanaman bandotan sejak dahulu telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Mustafa et al. 2005). Keseluruhan tumbuhan ini bisa dijadikan obat, mulai dari akar hingga bagian di atas tanah (herba). Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan. Herba ini rasanya sedikit pahit dan pedas. Bandotan berkhasiat stimulan untuk mengobati kolik, flu, demam, antidisentri diare, rematik, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik), dan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Ming 1999; Hasim 2005; Anonim 2008). Igoli (2005) menambahkan, tanaman bandotan merupakan tanaman obat tradisional di wilayah Nigeria yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Fitokimia Bandotan

Tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu saja. Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol.

(23)

6

Banyaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam bandotan menyebabkan tanaman ini memiliki banyak sekali manfaat. Beberapa peneliti hingga saat ini juga telah berhasil mengembangkan pemanfaatan tanaman bandotan, diantaranya sebagai insektisida alami (Calle et al. 1990; Amelot et al. 2003), biolarvasida (Moehammadi 2005), antimalaria (Ehiagbonare 2007), antijamur (Widodo et al. 2007), dan sebagai antibakteri (Almagboul et al. 1985; Ekundayo et al. 1988; Oladejo et al. 2003; Mustafa et al 2005; Widodo et al. 2007).

Calle et al. (1990) berhasil mengisolasi senyawa golongan kromen (prekosen I dan prekosen II) dari ekstrak petroleum eter A. conyzoides yang dapat menghambat hormon juvenil dalam serangga. Borthakur dan Baruah (1987), diacu dalam Utami dan Robara (2008) berhasil mengisolasi prekosen II dari ekstrak heksana pucuk daun A.conyzoides yang memiliki aktivitas antijamur. Wiedenfeld dan Roder (1991), diacu dalam Ming (1999) telah berhasil mengisolasi 1,2-desipropirrolizidin, likopsamin dan intermedin yang bersifat hepatotoksik.

Berapa senyawa metabolit sekunder lain yang pernah diidentifikasi terdapat pada tanaman bandotan, yaitu senyawa heksametoksiflavon (Horri et al. 1993), 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen (Katepa et al. 1λλ8), β-sitosterol dan stigmasterol (Dubey et al. 1989, diacu dalam Kamboj & Saluja 2008). Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 2.

friedelin β-sitosterol stigmasterol

kumarin heksametoksiflavon likopsamin

7-metoksi-2,2-dimetil prekosen 1 prekosen 2 -6-vinil-2H-kromen

(24)

Bakteri Uji

Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S. aureus dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah untuk melihat aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dan masing-masing fraksi terhadap bakteri gram postif dan bakteri gram negatif. S. aureus adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif.

Staphylococus aureus

S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam

kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 m, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah (Gambar 3).

Gambar 3 Staphylococcus aureus (www.netwellness.org)

S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam

keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37 0C, pH optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. Bakteri ini diisolasi dari luka bernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Pelczar & Chan 1986).

S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti radang

(25)

8

Escherichia coli

E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam

saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik (Alokomi et al. 2000). Bakteri ini memiliki bentuk batang (basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0 nm serta tidak berkapsul (Gambar 4).

Gambar 4 Escherichia coli (www.universitycalifornia.edu)

Bakteri yang kurang rentan terhadap penisilin ini merupakan bakteri fakultatif anaerobik dengan suhu dan pH optimum pertumbuhan yang sama seperti S. aureus. Nama bakteri ini diambil dari nama seorang bakteriologist yang juga berhasil membuktikan bahwa diare dan gastroenteritis disebabkan oleh bakteri E. coli.

Antibakteri

(26)

bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri disebut sebagai bakteriostatik (Shcunack et al. 1990). Kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan pH (Pelzcar & Chan 1986). Stout dalam Maryuni (2008) mengelompokkan antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah, sedang, kuat dan sangat kuat (Tabel 1).

Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout

Aktivitas Diameter Zona Hambat (mm)

Rendah < 5

Sedang 5-10

Kuat 10-20

Sangat Kuat >20

Sumber : Stout dalam Maryuni (2008)

Konsentrasi terendah dari suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri masing-masing dikenal sebagai Minimum Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration

(MBC). Efektivitas antibakteri semakin baik apabila nilai MIC dan MBC rendah. Efektivitas antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air.

(27)

10

Ekstraksi

Dalam proses ekstraksi, hal utama yang harus diperhatikan adalah pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Prinsip yang mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah “like dissolve like”, yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan

kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey 2000).

Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH, COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya

Pelarut Titik didih (0C) Tetapan dielektrik

(28)

Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non-polar (heksana atau benzena) lalu dengan pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semi polar dan senyawa polar (Hostetmann et al. 1997). Ekstrasi dengan pelarut non-polar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan demikian, ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak (Harborne 1996).

Dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa flavonoid dari bahan tanaman umumnya digunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan metanol. Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut dalam pelarut polar, beberapa senyawa flavonoid juga diketahui dapat dipisahkan dengan pelarut semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat kepolaran dari senyawa tersebut yang cendrung larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah.

Fraksinasi Senyawa Aktif

Pada tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum dilakukan adalah teknik kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan di dalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fasa diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1996; Hostettmann et al. 1997)

(29)

12

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi menyerupai ekstraksi dalam hal partisi di antara 2 fase, tetapi berbeda dalam hal terlibatnya perpindahan senyawa dari fase diam ke fase gerak dan kembali ke fase diam. Senyawa yang terserap lebih kuat pada fasa diam (mempunyai nilai Rf lebih rendah) akan lebih sedikit yang mengalami migrasi sepanjang fasa diam. Pemisahan selektif komponen-komponen dalam suatu senyawa terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut sepanjang fasa diam.

KLT termasuk dalam kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fasa stationer/diam. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa. Komponen fasa gerak dapat berupa larutan murni dan dapat pula gabungan beberapa larutan. Beberapa keuntungan KLT antara lain waktu operasi yang cepat, peralatan sederhana dan mudah disiapkan serta banyaknya parameter percobaan yang dapat divariasikan untuk mendapatkan efek pemisahan yang terbaik.

KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam senyawa. Senyawa-senyawa tersebut antara lain ion-ion anorganik, kompleks senyawa organik dengan anorganik dan senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun hasil sintetik. Fasa gerak biner yang paling sering digunakan pada pemisahan secara KLT dalam berbagai perbandingan yaitu, heksana etil asetat, heksana aseton, dan kloroform etanol. Penambahan sedikit asam asetat atau dietilamina berguna untuk memisahkan berturut-turut senyawa asam dan senyawa basa (Khopkar 1990).

Kromatografi Kolom (KK)

(30)

Sampel yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas kolom sambil dialiri eluen terbaiknya. Masing-masing komponen akan teradsorbsi pada fase diam dan bergerak keluar dari kolom secara perlahan. Perbedaan kekuatan adsorbsi komponen-komponen tersebut oleh fase diam berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam kolom. Komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama (Gritter et al. 1991).

Spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible)

Spektrofotometer Ultraviolet digunakan untuk identifikasi senyawa kimia karena banyak senyawa-senyawa kimia menunjukkan sifat khusus pada daerah UV. Spektrum UV senyawa-senyawa kimia dalam tumbuhan dapat ditentukan dengan contoh yang sangat sedikit dan dengan konsentrasi yang sangat encer serta blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan tersebut.

Spektroskopi menggunakan prinsip difraksi dan interferensi untuk memisahkan cahaya yang dihasilkan oleh suatu objek menjadi garis-garis warna berbeda yang dikenal sebagai spektrum. Ketika elektron pada atom mendapatkan energi baik melalui tumbukan dengan elektron lain atau melalui pengaruh gelombang elektromagnetik (seperti cahaya). Energi tinggi yang digunakan pada spektrofotometer UV-Vis menyebabkan terjadinya eksitasi elektron dari energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron-elektron tersebut akan turun kembali dengan cepat ke keadaan awalnya dengan melepaskan energi yang sebanding dengan beda energi antara dua tingkat energi atom dan menghasilkan puncak pada panjang gelombang tertentu. Munculnya puncak-puncak tersebut dapat menggambarkan ikatan-ikatan yang terdapat pada cuplikan molekul sampel uji.

(31)

14

Spektrofotometer Inframerah

Spektrofotometer inframerah merupakan salah satu instrumen analitik yang telah populer digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional suatu senyawa. Disamping itu spektra infra merah dapat memberikan informasi yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Oleh karena itu, kemampuan teknik infra merah dalam analisis kualitatif tidak diragukan lagi asalkan didukung oleh interpretasi data hasil pengamatan dengan benar.

Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kisaran panjang gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1

Gugus Fungsi

(Silverstein et al. 2005). Panjang gelombang radiasi infra merah lebih panjang dibandingkan dengan radiasi UV/tampak yang berkisar antara 200-800 nm. Hal ini menyebabkan energi elektromagnetik infra merah tidak mampu untuk mengeksitasi elektron, tetapi mampu menyebabkan atom-atom atau gugus atom bervibrasi. Keadaan vibrasi memiliki sifat karakteristik dan terkuantisasi, yaitu hanya akan terjadi bila molekul mengabsorbsi energi yang sesuai. Hal ini menyebabkan absorpsi energi tidak terjadi secara kontinyu tetapi sebagai deretan puncak-puncak tertentu.

Spektrum IR pada prinsipnya dihasilkan dengan cara melewatkan radiasi IR ke contoh kemudian diproses dengan menggunakan interferometer. Keadaan ini secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram (Sudjadi 1983). Absorpsi molekul pada daerah inframerah umumnya disebabkan oleh perubahan tingkat energi vibrasi (Nur & Adijuwana 1989). Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi.

Bilangan gelombang (cm-1)

(32)

Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm-1) C-N amina (alipatik)

amina aromatik)

1250-1020 1342-1266 C-O alkoho, eter, ester, asam karbiksilat 1300-1000 N-H strech

bend

3500-3250 1650-1580 Sumber: Silverstein et al. (2005)

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS)

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) merupakan salah satu teknik pemisahan dan identifikasi suatu senyawa yang telah berhasil dikembangkan dengan menggabungkan dua instrumen dengan dasar analisis yang berbeda tetapi saling menunjang. Keuntungan dalam penggunaan alat ini adalah dalam menentukan komponen dan komposisi suatu zat menjadi lebih mudah dan sederhana (Agusta 2000). Prinsip dari alat ini adalah menggabungkan dua instrumen dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi.

(33)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai November 2010 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB dan Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI-Serpong, karakterisasi senyawa aktif dengan spektrofotometer UV-VIS dan FT-IR dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor, analisis dengan GC-MS dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes-POLRI dan uji antibakteri di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada proses ekstraksi dan fraksinasi adalah peralatan ekstraksi maserasi, rotari evaporator, plat KLT, kolom kromatografi, peralatan untuk uji antibakteri dan peralatan untuk karakterisasi senyawa aktif digunakan spektrofotometer UV-VIS Shimadzu Pharmaspec 1700 Double Beam, spektrofotometer FT-IR Bruker jenis Tensor 37, spektroskopi massa (MS) Agilent 7890A dan Gas kromatografi (GC) Agilent 5975C dengan jenis kolom HP-5MS (panjang 30 m dan diameter 0,25 mm).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba bandotan dengan tinggi ± 40-50 cm yang kemudian diambil daunnya. Herba bandotan diperoleh di sekitar Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pelarut-pelarut organik antara lain heksana, etil asetat (EtOAc), metanol (MeOH), dan kloroform (CHCl3), pereaksi-pereaksi untuk uji fitokimia, bakteri S. aureus

ATCC 25923 dan E. coli ATCC 35022.

Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air (AOAC 1970)

(34)

30 menit. Setelah itu, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya. Pemanasan sampel diulangan sampai diperoleh bobot yang konstan.

Ekstraksi Sampel

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode umum menurut Harborne (1996), yaitu ekstraksi dan fraksinasi suatu senyawa dari jaringan tumbuhan berdasarkan tingkat kepolaran dengan menggunakan maserasi.

Sebanyak 2 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana (3 x 24 jam) untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat (3 x 24 jam), lalu filtratnya dipekatkan dengan menggunakan vakum penguap putar pada suhu 40oC - 50o

Sebanyak 0,3 g sampel dilarutkan dalam 10 ml kloroform-amonia lalu disaring. Filtrat hasil penyaringan ditambahkan beberapa tetes H

C sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat yang dihasilkan di atas dan sampel sebelum diekstraksi, diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat hasil ekstraksi kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen yang menunjukkan pemisahan yang paling baik sehingga diperoleh beberapa fraksi. Masing-masing fraksi dilakukan uji antimikroba untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian dipisahkan dan dilakukan pengujian antibakteri kembali. Setelah dilakukan beberapa kali fraksinasi dan diketahui fraksi terakhir yang masih memiliki aktivitas sebagai antibakteri, kemudian dilanjutkan dengan elusidasi struktur senyawanya menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR, dan GC-MS.

Uji Fitokimia (Harborne 1987) Alkaloid

2SO4 2M,

(35)

18

dan Wagner. Hasil endapan putih dengan pereaksi Mayer, endapan merah jingga dengan pereaksi Dragendroff, dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka sampel tersebut positif mengandung alkaloid.

Flavonoid dan Senyawa Fenolik

Sebanyak 0,5 g sampel ditambah metanol 30% sampai terendam kemudian dipanaskan. Filtratnya ditambahkan NaOH 10% dan H2SO4. Warna merah yang

terbentuk karena penambahan NaOH 10% menunjukkan terdapatnya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan terdapatnya senyawa flavonoid (Harborne 1988).

Saponin

Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtratnya yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup selama 10 menit, terbentuknya busa yang stabil menandakan adanya saponin.

Tanin

Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat yang dihasilkan pada item 3, ditambahkan FeCl3 1%. Identifikasi tanin yang positif

ditandai dengan adanya warna biru tua atau hijau kehitaman. Triterpenoid-Steroid

Sebanyak 0,5 g sampel ditambahkan 5 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan eter dan dikocok. Lapisan eter dipisahkan dan ditambahkan pereaksi Liebermenn-burchad (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4

KLT digunakan dalam menentukan eluen terbaik untuk fraksinasi dan penggabungan fraksi hasil fraksinasi. Plat KLT yang digunakan adalah plat alumunium silika gel F

pekat). Adanya warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid.

Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

(36)

pada plat KLT yang telah ditandai garis awal dan garis akhirnya. Pelarut dimasukkan dalam bejana tertutup dan dibiarkan hingga uapnya jenuh, kemudian plat KLT dimasukkan dalam bejana dan ditutup kembali. Setelah pelarut naik dan sampai garis akhir, maka plat KLT segera dikeluarkan dan dikeringkan. Plat KLT yang telah kering kemudian diamati di bawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm.

Penentuan eluen terbaik dilakukan dengan membandingkan jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dari beberapa sistem pelarut yang digunakan. Eluen yang menghasilkan jumlah spot terbanyak dan pola pemisahan terbaik selanjutnya digunakan pada proses fraksinasi. Sedangkan penggabungan fraksi hasil fraksinasi dilakukan dengan melihat kemiripan pola spot yang terbentuk pada masing-masing fraksi tersebut.

Kromatografi Kolom

Sampel sebanyak 2 gram dilarutkan dalam pelarut etil asetat kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Eluen terbaik yang telah ditentukan dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom kromatografi. Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung pada tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Setelah proses fraksinasi selesai, kemudian dilanjutkan pada tahap penggabungan fraksi dengan menggunakan KLT. Fraksi-fraksi dengan pola spot yang sama digabung menjadi satu fraksi. Dengan demikian diperoleh jumlah fraksi total yang terdapat pada sampel.

Uji Aktivitas Antibakteri (Haswirna 2006)

Pembuatan Media Trypton Soy Agar (TSA) dan Persiapan Suspensi Bakteri

(37)

20

Bakteri diperoleh dari laboratorium mikrobiologi PAU-IPB, yaitu bakteri S. aureus ATCC 25923 dan E. coli ATCC 35022. Bakteri S. aureus dan E. coli

dibiakkan pada media yang telah disiapkan. Sebanyak 1 ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media yang telah disiapkan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C.

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Biakan bakteri yang diperoleh kemudian diencerkan menggunakan metode Mc. Farland 0,5 hingga diperoleh bakteri uji dengan konsentrasi 1 x 107. Sebanyak 100 µl bakteri yang telah diencerkan, kemudian dituangkan dalam cawan petri yang telah berisi media TSA dan disebar dengan batang kaca penyebar kemudian dibiarkan memadat. Setelah padat, media agar dilubangi dengan pipet berdiameter ± 5,5 mm. Sampel yang telah diencerkan dengan pelarut etil asetat kemudian diteteskan pada sumuran sebanyak 20 µl dengan konsentrasi 300 mg/ml untuk diuji aktivitas antibakterinya.

Media uji selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37 0

Nilai MIC adalah konsentrasi terendah yang mematikan bakteri yang diinokulasikan ke dalam media. MIC ditentukan dengan menggunakan metode broth dillution menggunakan kaldu TSB (Tryptone Soy Broth). Penentuan nilai

MIC dilakukan setelah diketahui bahwa fraksi etil asetat daun tanaman bandotan memiliki aktivitas antibakteri. Biakan bakteri uji sebanyak 1 ose dimasukkan ke dalam 10 ml media cair TSB lalu diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu 37

C kemudian diamati aktivitas antibakterinya. Ekstrak dinyatakan positif sebagai antibakteri apabila mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan terbentuknya zona hambatan berupa areal bening di sekitar sumuran. Besarnya hambatan dapat diukur dengan diameter area bening dikurangi dengan diameter sumuran dan dibandingkan dengan kloramfenikol dengan konsentrasi 0,4 mg/mL (sebagai antibiotik standar). Semakin besar diameter zona bening yang terbentuk, semakin aktif zat uji tersebut sebagai antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak bakteri yang dihambat pertumbuhannya oleh zat uji tersebut.

Penentuan NilaiMIC (Minimum Inhibition Consentration) (Haswirna 2006)

0

(38)
(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Daun Bandotan

Ekstraksi maserasi serbuk daun bandotan kering dengan kadar air 9,52 % menggunakan pelarut heksana dan etil asetat sebanyak tiga kali pengulangan. Rendemen ekstrak heksana diperoleh seberat 75,95 g dan ekstrak etil asetat seberat 71,50 g. Rendemen eksrak etil asetat yang diperoleh hampir sama dengan jumlah rendemen ekstrak heksana. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat semipolar pada daun tanaman bandotan hampir sama dengan kandungan senyawa yang bersifat nonpolar. Perendaman dengan heksana bertujuan untuk memisahkan lemak dan senyawa-senyawa nonpolar pada sampel sebelum diekstraksi maserasi dengan pelarut etil asetat. Adanya lemak dan minyak dalam sampel dapat mengganggu pada saat dilakukan kromatografi dan fraksinasi.

Metode maserasi adalah salah satu cara untuk memisahkan senyawa metabolit sekunder dari sampel tanaman dengan perendaman menggunakan pelarut organik tanpa pemanasan. Metode maserasi dipilih selain karena sederhana dalam perlakuannya juga bertujuan untuk menghindari rusaknya senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam daun bandotan yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Prinsip dasar dari proses ekstraksi adalah “like disolve like”, artinya senyawa non polar yang terkandung dalam sampel tanaman hanya akan larut dalam pelarut non polar dan demikian pula untuk senyawa-senyawa yang bersifat polar dan semi polar (Harborne 1986).

Analisis Fitokimia

(40)

Tabel 4 Hasil uji fitokimia daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetat

Keterangan: tanda (+) menunjukkan bahwa sampel mengandung unsur senyawa dan tanda (-) menunjukkan sampel tidak mengandung unsur senyawa

Adanya senyawa flavonoid, p-hidrokuinon, terpenoid dan steroid pada daun tanaman bandotan sesuai dengan hasil yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menyebutkan bahwa tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat yang salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Analisis fitokimia dilakukan terhadap serbuk daun bandotan dan ekstrak etil asetat yang dihasilkan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus membandingkan kandungan senyawa metabolit sekunder sebelum dan setelah proses ekstraksi maserasi dilakukan. Perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder dari kedua sampel tersebut terletak pada senyawa tanin. Senyawa tanin merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar dan hanya dapat larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat.

(41)

24

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat

Fraksinasi Senyawa Aktif

Sebelum proses fraksinasi dilakukan, terlebih dahulu ditentukan eluen yang menghasilkan pola pemisahan terbaik untuk digunakan pada proses fraksinasi. Kombinasi pelarut yang digunakan sebagai eluen adalah kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 dan kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 (Harborne 1986). Sebanyak 1,5 g ekstrak dilarutkan dalam 0,5 ml etil asetat. Larutan ekstrak tersebut kemudian ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 kemudian diletakkan pada masing-masing sistem eluen. Pengamatan terhadap

plat KLT dari masing-masing eluen disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Hasil analisis KLT (a) kloroform : asam asetat : air = 90 : 45 : 6 (b) kloroform : metanol = 9 : 1

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eluen kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 hanya menghasilkan 6 spot dengan pola pemisahan yang kurang baik. Eluen kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 menghasilkan pola pemisahan yang lebih baik dan jumlah spot yang dihasilkan juga lebih banyak, yaitu 8 spot. Jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat kepolaran dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan memiliki tingkat kepolaran yang tidak terlalu tinggi dan sesuai dengan tingkat kepolaran kloroform : metanol. Eluen kloroform : asam asetat : air memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi sehingga menghasilkan jumlah spot lebih

(42)

sedikit dan pola pemisahan yang kurang baik. Nilai Rf dari masing-masing spot untuk eluen kloroform : metanol (9 : 1) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot pada eluen kloroform : metanol (9:1).

Spot Warna pada cahaya tampak Warna pada UV

( = 254 nm) Rf

1 Hijau Kehitaman Merah Kehitaman 0,95 2 Hijau Tua Merah Kehitaman 0,84

Spot pertama berwarna hijau kehitaman merupakan spot paling atas pada plat KLT dengan nilai Rf sebesar 0,95. Sedangkan spot terakhir tidak berwarna dan memiliki nilai Rf sebesar 0,10. Perbedaan nilai Rf menunjukkan adanya perbedaan sifat kepolaran dari masing-masing senyawa yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah akan teradsorbsi paling lemah oleh adsorben dan lebih dahulu bergerak naik membentuk spot paling atas (nilai Rf tinggi). Kemudian diikuti oleh senyawa dengan tingkat kepolaran lebih tinggi dan akan membentuk spot yang lebih rendah (nilai Rf rendah).

Setelah diketahui eluen terbaik untuk pemisahan fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan, kemudian dilanjutkan pada proses pemisahan menggunakan kromatografi kolom. Ekstrak kasar etil asetat daun bandotan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi kemudian kolom dialiri eluen yang akan digunakan. Fraksi-fraksi yang keluar dari kolom ditampung pada tabung reaksi dengan jumlah 5 ml untuk tiap-tiap tabungnya.

(43)

26

Gambar 6 Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat

Keterangan : Fraksi 1 (tabung 1-10) Fraksi 5 (tabung 65-97) Fraksi 2 (tabung 11-17) Fraksi 6 (tabung 98-120) Fraksi 3 (tabung 18-37) Fraksi 7 (tabung 121-131) Fraksi 4 (tabung 38-64) Fraksi 8 (tabung 132-150)

Hasil pengukuran bobot rendemen fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan fraksi-fraksi tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi. Secara keseluruhan, bobot rendemen tertinggi diperoleh pada fraksi 2 yaitu sebesar 0,45 mg, sedangkan rendemen terendah diperoleh pada fraksi 8 sebesar 0,02 mg.

Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya dengan rotavapor dan diuji aktivitas antibakterinya. Setelah diketahui fraksi dengan

aktivitas antibakteri tertinggi, proses pemisahan dengan kromatografi kolom diulangi kembali untuk mendapatkan rendemen yang lebih banyak. Hal ini bertujuan agar jumlah rendemen yang dihasilkan dapat mencukupi hingga tahap akhir proses penelitian.

Uji Aktivitas Antibakteri

(44)

Tabel 6 Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi- fraksi yang terkandung di dalamnya pada konsentrasi 300 mg/ml

Sampel

ZONA HAMBAT (mm)

S. aureus E. coli

Pengulangan

Rata-rata Pengulangan Rata-rata

I II I II

Pelarut etil asetat yang diujikan terhadap kedua bakteri uji tidak menunjukkan aktivitas zona hambat. Hal ini membuktikan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri dan bukan pengaruh dari pelarut etil asetat.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat terhadap S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Besarnya diameter

(45)

28

Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masing-masing fraksi. Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni (2008), Rahmawati (2008) dan Sisilia (2009) juga menunjukkan bahwa S. aureus lebih sensitif dibandingkan dengan E. coli.

Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Menurut Hodges (2002), bakteri Gram negatif memiliki membran fospolipida bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antimikroba. Hal ini menyebabkan dinding sel

bakteri Gram negatif dapat bertindak sebagai penghalang terjadinya difusi dan membuatnya kurang sensitif terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal dengan lapisan peptidoglikon luar yang tidak efektif menahan permeabilitas (Pelczar & Chan 1986).

Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawa-senyawa yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif.

(46)

Dari delapan fraksi yang ada, dipilih satu fraksi yang memiliki aktivitas tertinggi untuk dilakukan fraksinasi kembali. Fraksinasi ini bertujuan untuk mengetahui senyawa yang paling berperan memberikan aktivitas antibakteri pada ekstrak etil asetat dan fraksi yang terkandung di dalamnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh fraksi 4 karena menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi yaitu sebesar 16 mm untuk S. aureus dan 14 mm untuk E. coli. Meskipun diameter zona hambat yang dihasilkan

hampir sama dengan fraksi 3, tetapi diameter zona hambat fraksi 3 terhadap E. coli lebih rendah yaitu sebesar 11,5 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan fraksi 4 sebagai fraksi teraktif.

Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya lebih rendah bila dibandingkan dengan diameter zona hambat dari kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan aktivitas antibakteri kloramfenikol dengan senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi-fraksinya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya diameter zona hambat yang dihasilkan meskipun konsentrasi yang digunakan lebih kecil. Menurut Pelczar dan Chan (1986), efektifitas antibakteri dipengaruhi oleh senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air. Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Mekanisme kerja kloramfenikol adalah dengan mengganggu sintesis protein pada bakteri (Schunack 1990).

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi 4

Fraksinasi Senyawa Aktif

(47)

30

digunakan tersebut, jumlah spot terbanyak dengan pemisahan terbaik diperoleh pada eluen kloroform : metanol (9:1) dengan jumlah 10 spot (Lampiran 3).

Setelah diketahui eluen terbaiknya, kemudian dilakukan fraksinasi kembali menggunakan kromatografi kolom. Fraksinasi menghasilkan 96 subfraksi dan setelah dilakukan penggabungan diperoleh subfraksi total sebanyak 5 subfraksi (Lampiran 4). Bobot rendemen dari masing-masing subfraksi disajikan pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7 Rendemen Hasil Fraksinasi F4

Keterangan: Subfraksi 4a (tabung 1-10) Subfraksi 4d (tabung 50-73) Subfraksi 4b (tabung 11-28) Subfraksi 4e (tabung 74-96) Subfraksi 4c (tabung 29-49)

(48)

8

Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap kelima subfraksi yang dihasilkan untuk mengetahui subfraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi. Hasil uji aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran 5.

Gambar 8 Aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan dari masing-masing subfraksi. Subfraksi 4a, 4b dan 4c menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang sama terhadap S.aureus, yaitu sebesar 14,5 mm sampai 13,5 mm, tetapi diameter zona hambat subfraksi 4a dan 4c terhadap E. coli lebih rendah, yaitu 8 mm dibandingkan subfraksi 4b sebesar 10 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4b dibandingkan dengan empat subfraksi lainnya menjadi alasan pemilihan subfraksi 4b sebagai subfraksi teraktif untuk selanjutnya ditentukan nilai MIC dan kandungan senyawa aktifnya.

Kelima subfraksi yang diperoleh memiliki tingkat aktivitas antibakteri dalam kategori kuat, sedang, dan lemah. Subfraksi 4a sampai 4c memiliki aktivitas yang kuat terhadap bakteri S. aureus, sedangkan subfraksi 4d dan 4e memiliki aktivitas dalam kategori sedang. Apabila dilihat aktivitasnya terhadap bakteri E. coli, tingkat aktivitas semua subfraksi yang dihasilkan termasuk dalam kategori sedang kecuali fraksi 4e yang tingkat aktivitasnya lemah.

(49)

32

dalamnya. Terjadinya penurunan aktivitas antibakteri ini diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat subfraksi 4a-e bekerja secara bersama-sama dan ditunjukkan dengan besarnya diameter hambat yang dihasilkan pada uji aktivitas antibakteri fraksi 4. Dengan kata lain, pemisahan fraksi 4 menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil menyebabkan senyawa-senyawa yang bekerja secara sinergis sebagai antibakteri menjadi terpisah sehingga daya aktivitas antibakterinyapun mengalami penurunan.

Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC)

Penentuan nilai MIC pada subfraksi 4b menggunakan variasi konsentrasi 500, 250, 125, 175, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap kedua bakteri uji. Diameter zona hambat dari berbagai konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 6.

Gambar 9 Diameter zona hambat pada penentuan nilai MIC

(50)

bandotan terhadap S. aureus adalah sebesar 100 mg/ml, 50 mg/ml dan 6,3 mg/ml, sedangkan nilai MIC untuk bakteri E. coli sebesar 50 mg/ml, 100 mg/ml dan 12,5 mg/ml).

Nilai MIC yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MIC hasil penelitian yang dilakukan oleh Okwori et al. (2007). Dengan demikian, diketahui bahwa sensitivitas antibakteri pada subfraksi 4b lebih baik bila dibandingkan dengan ekstrak air, metanol dan heksan. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri E. coli juga menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih rentan terhadap subfraksi 4b

dibandingkan dengan bakteri E .coli.

Nilai MIC subfraksi 4b terhadap kedua bakteri uji jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai MIC kloramfenikol. Perbedaan nilai MIC ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tingkat efektifitas dari subfraksi 4b dengan kloramfenikol. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kloramfenikol merupakan senyawa antibakteri dengan efektifitas yang tinggi sehingga pada konsentrasi sangat rendah sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji.

Penentuan nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) bertujuan untuk mengetahui konsentrasi/kadar minimum yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau membunuhnya (bakterisida) dan menentukan dosis yang diperlukan untuk mengendalikan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pada konsentrasi yang tinggi senyawa antibakteri yang bersifat bakteriostatik juga dapat bertindak sebagai bakterisida (Schunack et al. 1990). Nilai MIC suatu antimikroba berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji, hal ini berarti bahwa suatu bakteri dikatakan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu senyawa antimikroba bila memiliki nilai MIC yang rendah. Nilai MIC akan berbeda-beda untuk setiap kombinasi antara mikroba dan antimikroba yang digunakan.

Identifikasi Senyawa Aktif

(51)

34

Hasil Identifikasi Spektrofotometer UV-Vis

Hasil analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis terhadap fraksi 4b menghasilkan 7 puncak serapan (Lampiran 7). Puncak-puncak tersebut muncul pada panjang gelombang 666,0; 604,0; 533,0; 504,0; 429,0; 372,0 dan 266,0 nm (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil Pengujian Spektrofotometer UV-Vis Puncak Panjang Gelombang

(nm) Absorban

Munculnya puncak pada panjang gelombang 266,0 nm menunjukkan adanya eksitasi dari π – π* yang merupakan kromofor yang khas untuk sistem ikatan rangkap yang terkonjugasi (-C=C-C=C-) atau pada cincin aromatik. Munculnya serapan pada panjang gelombang 372 nm menunjukkan adanya eksitasi n- π* yang memperlihatkan adanya konjugasi (-C=C-C=O-).

Hasil Identifikasi Spektrofotometer FT-IR

Hasil pengujian dengan spektrofotometer FT-IR terhadap fraksi 4b diperoleh beberapa pita serapan pada bilangan gelombang sebagai penciri gugus fungsi yang ada (Lampiran 6). Bilangan gelombang dan gugus fungsi hasil spektrofotometer FT-IR disajikan pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Bilangan gelombang dan gugus fungsi hasil spektrofotometer FT-IR

Gugus Fungsi Bilangan

Gelombang Gugus Fungsi

Bilangan Gelombang

OH (stretching) 3402,57 CH2 1461,06

CH (stretching aromatik) 3009,49 CH3 1372,84 CH (stretching alifatik) 2926,29 C-O-C (stretching) 1254,98 CH (stretching alifatik) 2854,04 CH (bending) 1049,57

C=O-OR 1734,77

CH (bending)

aromatik 755,78

(52)

Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1507,32 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C=C aromatik (ring stretching), adanya pita serapan pada 3009,49 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik (stretching) dan munculnya pita serapan pada daerah sidik jari 755,78 cm-1 sebagai CH aromatik (bending). Munculnya pita-pita serapan tersebut menunjukkan bahwa pada subfraksi 4b mengandung senyawa dengan cincin aromatik.

Selain senyawa-senyawa dengan cincin aromatik, pada subfraksi 4b juga diketahui mengandung senyawa alifatik berantai panjang. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya serapan pada bilangan gelombang 2926,29 cm-1 dan 2854,04 cm-1 menunjukkan adanya CH alifatik (stretching), adanya gugus CH alifatik (bending) pada serapan 1049,57 cm1, adanya gugus CH2 (bending) pada

serapan 1461,06 cm-1, adanya gugus CH3 pada serapan 1372,84 cm-1.

Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 3402,57 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH stretching dan adanya out-of-plane bonding dari OH pada serapan 920 cm-1 yang mengindikasikan adanya senyawa turunan asam karboksilat. Serapan pada bilangan gelombang 1734,77 cm-1

Puncak

menunjukkan adanya ikatan C=O-OR dari senyawa ester.

Hasil Identifikasi GC-MS

Dari hasil kromatogram GC-MS fraksi 4b, terdapat 7 puncak dengan waktu retensi berturut-turut pada 7,818; 9,462; 9,638; 10,679; 11,559; 12,675 dan 12,717. Kromatogram hasil analisis GC-MS disajikan pada Lampiran 7 dan 8, sedangkan data puncak-puncak hasil analisis GC-MS dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9 Puncak-puncak hasil analisis GC-MS

Waktu

1 7,817 11,801 2H-1-benzopiran-2-one-(CAS) kumarin 95 2 9,465 14,488 2H-1-benzopiran,

6,7-dimetoksi-2,2-dimetil-ageratokromon

93

3 9,636 8,084 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen 83 4 10,676 6,068 2,6,10-trimetil,14-etil-14-pentadecne

(neopitadien)

94

(53)

36

Puncak yang paling dominan yaitu puncak ke 5 dengan luas 31,618 %, kemudian diikuti puncak-puncak lainnya yang lebih rendah yaitu puncak ke 7, 2, 1, 6, 3 dan 4 dengan luas area 19,579 %; 14,488 %; 11,801 %; 8,362 %; 8,084 % dan 6,068 %. Dari data kromatogram MS diketahui bobot molekul dan pola ionisasi dari masing-masing senyawa yang dihasilkan. Data hasil analisis GC-MS kemudian dibandingkan dengan bobot molekul dan pola pemisahan elektron yang terdapat pada sumber data yang ada untuk memprediksi kemungkinan senyawa yang dihasilkan.

Hasil analisis kromatogram GC-MS menunjukkan bahwa puncak 1 dengan bobot molekul 146 diduga sebagai senyawa 2H-1-benzopiran-2-one-(CAS) kumarin dengan tingkat kemiripan 95 %, puncak 2 dengan bobot molekul 220 sebagai senyawa 2H-1-benzopiran, 6,7-dimetoksi-2,2-dimetil-ageratokromon dengan tingkat kemiripan 93 %, puncak 3 dengan bobot molekul 216 sebagai senyawa 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen dengan tingkat kemiripan 83 %. Puncak 4, 5, 6, 7 dengan bobot molekul 278, 256 280 dan 278 diperkirakan sebagai senyawa 2,6,10-trimetil,14-etil-14-pentadecne (neopitadien), asam heksadekanoat (CAS), asam 9,12-oktadekanoat (CAS) dan metil-5,11,14,17-eicosatetraenoat dengan tingkat kemiripan secara berturut-turut 94 %, 96 %, 97 %, 90 %. Struktur senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 10.

2H-1-benzopiran-2-one- 2H-1-benzopiran, 6,7-dimetoksi (CAS)/kumarin -2,2-dimetil-ageratokromen

7-metoksi-2,2-dimetil 2,6,10-trimetil, 14-etilen -6-vinil-2H-kromene -14-pentadecne (neophitadien)

asam heksadekanoat (CAS) asam 9,12-octadekanoat (CAS)

methyl-5,11,14,17-eikosatetraenoat

(54)

Dugan adanya ketujuh senyawa tersebut diperkuat pula dengan data hasil analisis spektrofotometer UV-Vis dan IR. Senyawa kumarin, ageratochromen dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen merupakan senyawa-senyawa dengan cincin aromatik. Adanya senyawa-senyawa tersebut didukung oleh data hasil analisis IR dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1507,32 cm

-1

menunjukkan adanya ikatan C=C aromatik (ring stretching), adanya pita serapan pada 3009,49 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik (stretching) dan munculnya pita serapan pada daerah sidik jari 755,78 cm-1 sebagai CH aromatik (bending). Serapan pada bilangan gelombang 1254 cm-1 menunjukkan adanya ikatan asimetri C-O-C (stretching) sekaligus memperkuat keberadaan senyawa ageratokromen dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen.

Senyawa asam heksadekanoat (CAS), 2,6,10-trimetil,14-etil-14-pentadecne (neopitadien), asam 9,12-oktadekanoat-(CAS) dan metil-5,11,14,17-eicosatetraenoat merupakan senyawa-senyawa alifatik berantai panjang. Pada data analisis spektrofotometer IR, adanya senyawa-senyawa tersebut ditunjukkan dengan munculnya pita serapan pada panjang gelombang 2926,29 cm-1 dan 2854,04 cm-1 menandakan adanya CH alifatik (stretching), adanya gugus CH alifatik (bending) pada serapan 1049,57 cm1, adanya gugus CH2 (bending) pada

serapan 1461,06 cm-1, adanya gugus CH3 pada serapan 1372,84 cm-1.

Senyawa asam 9,12-oktadekanoat dan asam heksadekanoat merupakan senyawa alifatik berantai panjang yang memiliki gugus asam karboksilat pada salah satu ujung rantainya. Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 3402,57 cm-1 dan 920 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH stretching dan adanya out-of-plane bonding OH dari asam karboksilat. Hal ini memperkuat dugaan

adanya senyawa asam 9,12-oktadekanoat dan asam heksadekanoat. Senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat merupakan senyawa yang memiliki ikatan C=O-OR ester. Adanya ikatan C=O-OR ester dari senyawa eicosatetraenoat ditandai dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1734,77 cm-1

Gambar

Gambar 2  Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder
Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Tabel 3. Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi.
Tabel 4   Hasil uji fitokimia daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fraksi yang prospektif antibakteri (F.etil asetat) difraksinasi dengan kromatografi kolom vakum dan dielusi dengan n-heksana, n- heksana-etil asetat, etil asetat, etil

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk menentukan fraksi etil asetat dan fraksi air dari daun Acanthus ilicifolius memiliki aktivitas estrogenik

Berdasarkan penelitian Cahyaningtyas (2014), fraksi etil asetat dari buah namnam memiliki aktivitas antibakteri tertinggi pada konsentrasi 90% dengan zona hambat

Hasil penelitian diperoleh profil kromatografi fraksi etil asetat daun Libo (Ficus variegata Blume.) aktif sebagai antioksidan terhadap DPPH, dan aktif terhadap bakteri ,

Fraksi yang prospektif antibakteri (F.etil asetat) difraksinasi dengan kromatografi kolom vakum dan dielusi dengan n-heksana, n- heksana-etil asetat, etil asetat, etil

Hasil penelitian dengan metode difusi agar mcnggunakan cylinder czp menunjukkan bahwa fraksi kloroform dan fraksi etil asetat ekstrak etanol Daun Salam memberikan

Berdasarkan kandungan senyawa flavonoid pada daun jambu biji, pemberian fraksi etil asetat ekstrak etanol daun jambu biji memiliki aktivitas sebagai antioksidan pada kelinci

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas fraksi etil asetat dari ekstrak metanol daun kubis putih dalam menurunkan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida pada hamster