• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI

DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN

(AGERATUM CONYZOIDES L)

TAUFAN HARI SUGARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri Dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Taufan H. Sugara

(3)

ABSTRACT

TAUFAN H. SUGARA. Characterization Antibacterial Compounds from Ethyl Acetat Fraction of Bandotan Leaf (Ageratum conyzoides L.) Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO and MUHAMMAD HANAFI.

Utilization of Ageratum conyzoides L. leaf for wound healing and digestion disorders are often associated with its antibacterial activities. However, information of this plant as antibacterial agent still limited on the polar and nonpolar fraction. Therefore, the objective of this study was to evaluate and identify the antibacterial activity of semipolar fraction extract of A. conyzoides L. leaves to Staphylococcus aureus and Eschericchia coli. Overall antibacterial activity results of ethyl acetate extract, fractions and subfractions Ageratum

conyzoides L. leaves showed broad-spectrum antibacterial activity because it can

prevent bacterial growth of S. aureus and E. coli. Subfractions 4b has the highest antibacterial activity for S. aureus compared to other subfractions. The minimum inhibition concentration for subfractions 4b against S. aureus was 25 mg/ml and 50 mg/ml for E. coli. Based on UV-Vis spectrophotometer, infra red and gas chromatograpy-mass spectroscopy, this fraction contain coumarin compounds, 2 chromen (prekosen II and 7-methoxy-2,2-dimethyl-6-vinyl-2H-chromene), and 2 derivative palmitic acid (9, 12-heksadecanoic acid and 9,12 octadecanoic acid, neophytadiene and 5,11,14,17-methyl eicosatetraenoate.

(4)

Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO, dan MUHAMMAD HANAFI.

Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.). Tanaman bandotan umumnya digunakan oleh masyarakat untuk obat luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pengembangan penelitian tentang aktivitas antibakteri dari tanaman bandotan sangatlah penting dan dapat dikaitkan dengan pemanfaatannya sebagai obat luka secara tradisional.

Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja sehingga pencarian senyawa aktif dari fraksi semi polarnya perlu dilakukan. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Etil asetat adalah salah satu pelarut semipolar yang paling sering digunakan dan diketahui mampu memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.).

Sebanyak 1,5 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat dan daun bandotan kering diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen terbaik sehingga diperoleh beberapa fraksi.

Masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian difraksinasi dan diuji antibakteri kembali. Subfraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi kemudian ditentukan nilai Minimum Inhibition Concetration (MIC) dan diidentifikasi senyawa aktifnya menggunakan spektrofotometer ultraviolet visible (UV-Vis), spektrofotometer infra merah (IR), dan kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS).

Ekstraksi maserasi daun bandotan menggunakan pelarut heksana dan etil asetat diperoleh ekstrak heksana sebanyak 75,95 g dan ekstrak etil asetat sebanyak 71,50 g. Hasil analsis fitokimia terhadap daun bandotan menunjukkan adanya senyawa-senyawa flavonoid, steroid, p-hidrokuinon, terpenoid dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut juga terdapat pada ekstrak etil asetat, kecuali senyawa tanin yang menunjukkan hasil negatif. Senyawa tanin merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar dan hanya dapat larut dalam pelarut dengan tingkat

(5)

ii

kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat.

Hasil fraksinasi dengan menggunakan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik diperoleh total fraksi sebanyak 8 fraksi. Fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan senyawa tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 mg/ml terhadap S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masing-masing ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya. Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Bakteri Gram negatif memiliki membran phospolipid bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antibakteri.

Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawa-senyawa yang yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan dan semua fraksinya memiliki spektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa fraksi 1-6 tergolong sebagai antibakteri yang memiliki aktivitas kuat karena menghasilkan rata-rata diameter zona hambat diatas 10 mm. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh fraksi 4 karena menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi yaitu sebesar 16 mm untuk S. aureus dan 14 mm untuk E. coli. Meskipun diameter zona hambat yang dihasilkan hampir sama dengan fraksi 3, tetapi diameter zona hambat fraksi 3 terhadap E. coli lebih rendah yaitu sebesar 11,5 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan fraksi 4 sebagai fraksi teraktif.

Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya lebih rendah bila dibandingkan dengan diameter zona hambat dari kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan aktivitas antibakteri kloramfenikol dengan senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi-fraksinya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya diameter zona hambat yang dihasilkan meskipun

(6)

konsentrasi yang digunakan lebih kecil. Efektifitas antibakteri dipengaruhi oleh senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air. Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Mekanisme kerja kloramfenikol adalah dengan mengganggu sintesis protein pada bakteri.

Fraksinasi terhadap fraksi 4 dengan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik menghasilkan lima subfraksi. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap kelima subfraksi menunjukkan bahwa subfraksi 4b memiliki aktivitas tertinggi karena menghasilkan diameter hambat sebesar 14,5 mm terhadap S. aureus dan 10 mm terhadap E. coli. Diameter zona hambat subfraksi 4a terhadap S. aureus sama dengan subfraksi 4b, tetapi daya hambatnya terhadap E. coli lebih rendah yakni sebesar 8 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan subfraksi 4b sebagai subfraksi teraktif.

Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4b-4e lebih rendah bila dibandingkan dengan fraksi 4. Terjadinya penurunan aktivitas antibakteri ini diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada subfraksi 4a-e bekerja secara sinergis dan ditunjukkan dengan besarnya diameter hambat yang dihasilkan pada uji aktivitas antibakteri fraksi 4. Dengan kata lain, pemisahan fraksi 4 menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil menyebabkan senyawa-senyawa yang bekerja secara sinergis sebagai antibakteri menjadi terpisah sehingga daya aktivitas antibakteripun mengalami penurunan.

Penentuan nilai MIC pada subfraksi 4b menggunakan variasi konsentrasi 500, 250, 125, 175, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap kedua bakteri uji. Semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka diameter zona hambat yang terbentuk akan semakin besar. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 25 mg/ml dan nilai MIC untuk E. coli adalah sebesar 50 mg/ml. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terendah dari subfraksi 4b yang dapat menghambat pertumbuhan masing-masing bakteri uji.

Hasil identifikasi subfraksi 4b dengan menggunakan UV-Vis, IR dan GC-MS diperoleh dugaan senyawa yang terkandung pada subfraksi 4b berupa senyawa kumarin, 2 senyawa kromen (prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen), 2 senyawa turunan asam palmitat (asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat), senyawa triterpen (neopitadien) dan senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

(AGERATUM CONYZOIDES L)

TAUFAN HARI SUGARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(9)
(10)

NIM : G451070071

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS

Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS

Anggota Anggota

Dr. Muhammad Hanafi

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Kimia

Prof. Dr. Ir. Purwantiningsih Sugita, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS, dan Bapak Dr. Muhammad Hanafi selaku pembimbing dan telah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran staf Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Puspitek, Serpong dan Laboratorium Kimia Analitik-Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan izin dan membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Istri, dan anakku serta segenap keluarga besar di Kota Bogor dan Kota Mataram atas segala doa dan dukungannya. Tidak lupa juga ucapan terima kasih kepada rekan-rekan di asrama mahasiswa Nusa Tenggara Barat-Bogor serta semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wataala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2010 ini ialah antibakteri. Tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai salah satu tanaman obat Indonesia biasanya digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan tanaman tersebut seringkali dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri. Hingga tahun 2011, penentuan senyawa aktif antibakteri pada daun tanaman bandotan hanya dilakukan pada fraksi polar dan nonpolarnya saja. Dengan demikian, perlu dilakukan penentuan senyawa aktif dari fraksi semipolar daun tanaman tersebut untuk mendukung alasan penggunaannya sebagai tanaman obat tradisional.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sebagai bagian dari proses belajar yang tiada henti. Karenanya penulis sangat mengharapkan kritik, saran, maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2011

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 16 Nopember 1982 dari Bapak H. Hamzah M. Sehab, SH dan Ibu Hj. Yuriwati, S.Pd. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Mataram dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana sains di Universitas Negeri Surabaya pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis menyelesaikan studi pada tahun 2006 dan setahun kemudian diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana IPB di Departemen Kimia.

Selama menempuh program studi S2, penulis pernah mendapat beasiswa pendidikan dari Pemerintah Propinsi NTB. Penulis pernah membuat karya ilmiah berjudul isolasi senyawa pektin dari kulit buah manggis dan disampaikan pada seminar nasional dengan tema “Globalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Mengembangkan Profesionalisme di Bidang Kimia Menuju Kualitas Berstandar Internasional” pada bulan Desember 2007 di Surabaya.

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn) ... 4

Fitokimia Bandotan ... 5

Bakteri Uji ... 7

Antibakteri... 8

Ekstraksi ... 10

Fraksinasi Senyawa Aktif ... 11

Spektrofotometer Ultraviolet ... 13

Spektrofotometer Inframerah ... 14

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) ... 15

BAHAN DAN METODE ... 16

Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

Alat dan Bahan ... 16

Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air ... 16

Ekstraksi Sampel ... 17

Uji Fitokimia ... 17

Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif ... 18

Uji Aktivitas Antibakteri ... 19

Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Ekstraksi Daun Bandotan ... 22

Analisis Fitokimia ... 22

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat ... 24

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi 4 ... 29

Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) ... 32

Identifikasi Senyawa Aktif ... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout... 9 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ... 10 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi ... 14 4 Hasil uji fitokimia simplisia dan ekstrak kasar etil asetat

daun bandotan ... 23 5 Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot

pada eluen kloroform : metanol (9 : 1)... 25 6 Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan

dan fraksi-fraksi yang terkandung di dalamnya ... 27 7 Hasil pengujian spektrofotometer UV-Vis... 34 8 Bilangan gelombang dan gugus fungsi

hasil spektrofotometer FT-IR ... 34 9 Puncak-puncak hasil analisis GC-MS ... 35

(16)

Halaman

1 Tanaman bandotan ... 4

2 Struktur beberapa senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman bandotan ... 6

3 Staphylococcus aureus ... 7

4 Escherichia coli ... 8

5 Hasil analisis KLT pada ekstrak etil asetat daun bandotan ... 24

6 Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat ... 26

7 Rendemen hasil fraksinasi F4 ... 30

8 Aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e ... 31

9 Diameter zona hambat pada penentuan nilai MIC ... 32

10 Struktur senyawa-senyawa yang dihasilkan... 36

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

9 Diagram alir penelitian ... 49

10 Penggabungan fraksi-fraksi hasil fraksinasi ekstrak etil asetat ... 50

11 Penentuan eluen terbaik untuk fraksinasi F4 ... 51

12 Penggabungan subfraksi hasil fraksinasi F4 ... 52

13 Hasil uji aktivitas antibakteri subfraksi F4 ... 53

14 Hasil penentuan nilai MIC subfraksi F4b ... 53

15 Spektrum UV-Vis ... 54

16 Spektrum IR ... 55

17 Kromatogram GC ... 56

(18)

Latar Belakang

Secara turun-temurun masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman yang hidup di alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat-obatan. Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides). Khasiat herba bandotan antara lain untuk pengobatan luka, gatal-gatal, flu, demam, diare, radang usus, dan rematik (Sukamto 2007; Hasim 2005).

Diantara khasiat tanaman bandotan tersebut, yang paling umum digunakan masyarakat adalah untuk pengobatan luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Oladejo et al. (2003) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang terdapat pada kulit dan rongga hidung yang seringkali menjadi penyebab terjadinya infeksi luka pada permukaan kulit (Todar 2002). Seperti halnya infeksi pada luka, gangguan pencernaan juga dapat disebabkan oleh bakteri. Pelzcar & Chan (1986) menyebutkan bahwa bakteri Escherichia coli merupakan salah satu penyebab utama terjadinya infeksi pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala diare. Pengobatan infeksi oleh bakteri secara tradisional dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman.

Tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti terpena, sterol, flavonoid, alkaloid, benzofuran, chromen, chromon, kumarin, minyak atsiri, dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat dan salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Oladejo et al. (2003) menerangkan bahwa pengembangan penelitian tentang alasan pemanfaatan tanaman bandotan sebagai obat luka dan gangguan pencernaan dapat dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri.

Penelitian tentang kajian pemanfaatan tanaman bandotan sebagai antibakteri sebelumnya telah dilakukan dengan memanfaatkan akar, batang dan daunnya. Ekstrak polar dari seluruh bagian tanaman bandotan seperti ekstrak

(19)

2

metanol (Almagboul et al. 1985; Oladejo et al. 2003), ekstrak etanol (Widodo et

al. 2007), dan ekstrak air (Yamamoto et al. 1991; Okwori et al. 2007; Mustafa et al 2005) diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri yang

diujikan. Ekstrak heksana yang merupakan ekstrak nonpolar juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji (Okwori et al. 2008).

Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Berdasarkan prinsip “like disolve like”, senyawa-senyawa metabolit sekunder hanya dapat dipisahkan dari bagian tanaman menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Etil asetat adalah salah satu pelarut semi polar yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar.

Hasil uji pendahuluan diketahui bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan mengandung senyawa fenol, terpena dan sterol yang kemungkinan berpotensi sebagai antibakteri. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan karakterisasi senyawa aktif dari fraksi etil asetat daun bandotan yang berpotensi sebagai antibakteri sekaligus memberikan informasi ilmiah yang dapat mendukung alasan penggunaan daun tanaman tersebut sebagai obat tradisional.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang senyawa aktif dalam fraksi semi polar tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L) yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar.

(20)

2. Mengetahui potensi yang dimiliki senyawa aktif tersebut sebagai antibakteri untuk mendukung alasan penggunaan daun tanaman bandotan sebagai tanaman obat tradisional.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.)

Tanaman bandotanmerupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda, diantaranya di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal sebagai daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto 2007). Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman bandotan

Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, superdivisi Spematophyta, divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L. Tumbuhan ini di berbagai daerah

Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Sukamto 2007). Meskipun tanaman ini sering dipandang sebagai gulma, namun di balik itu Ageratum dapat pula digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan digunakan untuk pupuk dimana dapat meningkatkan hasil produksi tanaman padi (Sukamto 2007).

(22)

Tanaman bandotan sejak dahulu telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Mustafa et al. 2005). Keseluruhan tumbuhan ini bisa dijadikan obat, mulai dari akar hingga bagian di atas tanah (herba). Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan. Herba ini rasanya sedikit pahit dan pedas. Bandotan berkhasiat stimulan untuk mengobati kolik, flu, demam, antidisentri diare, rematik, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik), dan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Ming 1999; Hasim 2005; Anonim 2008). Igoli (2005) menambahkan, tanaman bandotan merupakan tanaman obat tradisional di wilayah Nigeria yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Fitokimia Bandotan

Tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu saja. Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol.

Pada banyak kasus, senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, insekta, dan herbivora (Naim 2004). Tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan, keberadaan senyawa-senyawa metabolit sekunder ini dapat dikatakan sebagai faktor penentu tanaman dapat dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Tanaman bandotan sebagai salah satu tanaman obat tradisional diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008).

(23)

6 O O O HO HO O O N HO O O HO OH O O O O O

Banyaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam bandotan menyebabkan tanaman ini memiliki banyak sekali manfaat. Beberapa peneliti hingga saat ini juga telah berhasil mengembangkan pemanfaatan tanaman bandotan, diantaranya sebagai insektisida alami (Calle et al. 1990; Amelot et al. 2003), biolarvasida (Moehammadi 2005), antimalaria (Ehiagbonare 2007), antijamur (Widodo et al. 2007), dan sebagai antibakteri (Almagboul et al. 1985; Ekundayo et al. 1988; Oladejo et al. 2003; Mustafa et al 2005; Widodo et al. 2007).

Calle et al. (1990) berhasil mengisolasi senyawa golongan kromen (prekosen I dan prekosen II) dari ekstrak petroleum eter A. conyzoides yang dapat menghambat hormon juvenil dalam serangga. Borthakur dan Baruah (1987), diacu dalam Utami dan Robara (2008) berhasil mengisolasi prekosen II dari ekstrak heksana pucuk daun A.conyzoides yang memiliki aktivitas antijamur. Wiedenfeld dan Roder (1991), diacu dalam Ming (1999) telah berhasil mengisolasi 1,2-desipropirrolizidin, likopsamin dan intermedin yang bersifat hepatotoksik.

Berapa senyawa metabolit sekunder lain yang pernah diidentifikasi terdapat pada tanaman bandotan, yaitu senyawa heksametoksiflavon (Horri et al. 1993), 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen (Katepa et al. 1998), β-sitosterol dan stigmasterol (Dubey et al. 1989, diacu dalam Kamboj & Saluja 2008). Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 2.

friedelin β-sitosterol stigmasterol

kumarin heksametoksiflavon likopsamin

7-metoksi-2,2-dimetil prekosen 1 prekosen 2 -6-vinil-2H-kromen

Gambar 2 Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman bandotan

(24)

Bakteri Uji

Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S.

aureus dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah untuk

melihat aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dan masing-masing fraksi terhadap bakteri gram postif dan bakteri gram negatif. S. aureus adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif.

Staphylococus aureus

S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam

kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah (Gambar 3).

Gambar 3 Staphylococcus aureus (www.netwellness.org)

S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam

keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37 0C, pH optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. Bakteri ini diisolasi dari luka bernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Pelczar & Chan 1986).

S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti radang

paru-paru (pneumonia), radang otot, dan pembengkakan otak bagian luar (Todar 2002). Bakteri ini juga bersifat patogen terhadap manusia dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada kulit seperti bisul dan luka gores.

(25)

8

Escherichia coli

E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam

saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik (Alokomi et al. 2000). Bakteri ini memiliki bentuk batang (basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0 nm serta tidak berkapsul (Gambar 4).

Gambar 4 Escherichia coli (www.universitycalifornia.edu)

Bakteri yang kurang rentan terhadap penisilin ini merupakan bakteri fakultatif anaerobik dengan suhu dan pH optimum pertumbuhan yang sama seperti S. aureus. Nama bakteri ini diambil dari nama seorang bakteriologist yang juga berhasil membuktikan bahwa diare dan gastroenteritis disebabkan oleh bakteri E. coli.

Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan atau reproduksi bakteri. Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila antibakteri hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila antibakteri efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu saja (Dwijoseputro 1990). Cara kerja antibakteri ada yang bersifat mematikan

(26)

bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri disebut sebagai bakteriostatik (Shcunack et al. 1990). Kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan pH (Pelzcar & Chan 1986). Stout dalam Maryuni (2008) mengelompokkan antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah, sedang, kuat dan sangat kuat (Tabel 1).

Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout

Aktivitas Diameter Zona Hambat (mm)

Rendah < 5

Sedang 5-10

Kuat 10-20

Sangat Kuat >20

Sumber : Stout dalam Maryuni (2008)

Konsentrasi terendah dari suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri masing-masing dikenal sebagai Minimum

Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration

(MBC). Efektivitas antibakteri semakin baik apabila nilai MIC dan MBC rendah. Efektivitas antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air.

Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial, akaloid, pektin dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil. Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Menurut Pelczar dan Chan (1986), penghambatan aktivitas bakteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat.

(27)

10

Ekstraksi

Dalam proses ekstraksi, hal utama yang harus diperhatikan adalah pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Prinsip yang mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah “like dissolve

like”, yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan

kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey 2000).

Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH, COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya

Pelarut Titik didih (0C) Tetapan dielektrik

Air Asam format Asetonitril Metanol Etanol Aseton Metil klorida Asam asetat Etil asetat Dietil eter Heksana Benzena 100 100 81 68 78 56 40 118 78 45 69 80 80 58 36,6 33 24,3 20,7 9,08 6,15 6,02 4,34 2,02 2,28 Sumber : http://www.usm.maine.edu/newton

(28)

Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non-polar (heksana atau benzena) lalu dengan pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semi polar dan senyawa polar (Hostetmann et al. 1997). Ekstrasi dengan pelarut non-polar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan demikian, ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak (Harborne 1996).

Dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa flavonoid dari bahan tanaman umumnya digunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan metanol. Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut dalam pelarut polar, beberapa senyawa flavonoid juga diketahui dapat dipisahkan dengan pelarut semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat kepolaran dari senyawa tersebut yang cendrung larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah.

Fraksinasi Senyawa Aktif

Pada tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum dilakukan adalah teknik kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan di dalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fasa diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1996; Hostettmann et al. 1997)

Pada saat ini, kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling banyak digunakan untuk tujuan kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. Pemisahan dengan kromatografi dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas, dan volatilitas (Gritter et al. 1991). Keuntungan penggunaan kromatografi antara lain waktunya singkat, cukup efektif dan dapat melakukan pemisahan yang tidak mungkin dilakukan dengan metode lain (Nur & Adijuawana 1989).

(29)

12

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi menyerupai ekstraksi dalam hal partisi di antara 2 fase, tetapi berbeda dalam hal terlibatnya perpindahan senyawa dari fase diam ke fase gerak dan kembali ke fase diam. Senyawa yang terserap lebih kuat pada fasa diam (mempunyai nilai Rf lebih rendah) akan lebih sedikit yang mengalami migrasi sepanjang fasa diam. Pemisahan selektif komponen-komponen dalam suatu senyawa terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut sepanjang fasa diam.

KLT termasuk dalam kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fasa stationer/diam. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa. Komponen fasa gerak dapat berupa larutan murni dan dapat pula gabungan beberapa larutan. Beberapa keuntungan KLT antara lain waktu operasi yang cepat, peralatan sederhana dan mudah disiapkan serta banyaknya parameter percobaan yang dapat divariasikan untuk mendapatkan efek pemisahan yang terbaik.

KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam senyawa. Senyawa-senyawa tersebut antara lain ion-ion anorganik, kompleks senyawa organik dengan anorganik dan senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun hasil sintetik. Fasa gerak biner yang paling sering digunakan pada pemisahan secara KLT dalam berbagai perbandingan yaitu, heksana etil asetat, heksana aseton, dan kloroform etanol. Penambahan sedikit asam asetat atau dietilamina berguna untuk memisahkan berturut-turut senyawa asam dan senyawa basa (Khopkar 1990).

Kromatografi Kolom (KK)

Prinsip dasar dari kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis sama, yaitu partisi komponen-komponen yang merupakan suatu tipe kesetimbangan dimana komponen-komponen akan terbagi diantara fase diam dan fase gerak. Perbedaan dari kedua kromatografi ini terletak pada jumlah sampel yang dapat dipisahkan. Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dengan menggunakan material terpadatkan (adsorben) pada sebuah kolom gelas vertikal. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya sampel yang akan dipisahkan.

(30)

Sampel yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas kolom sambil dialiri eluen terbaiknya. Masing-masing komponen akan teradsorbsi pada fase diam dan bergerak keluar dari kolom secara perlahan. Perbedaan kekuatan adsorbsi komponen-komponen tersebut oleh fase diam berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam kolom. Komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama (Gritter et al. 1991).

Spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible)

Spektrofotometer Ultraviolet digunakan untuk identifikasi senyawa kimia karena banyak senyawa-senyawa kimia menunjukkan sifat khusus pada daerah UV. Spektrum UV senyawa-senyawa kimia dalam tumbuhan dapat ditentukan dengan contoh yang sangat sedikit dan dengan konsentrasi yang sangat encer serta blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan tersebut.

Spektroskopi menggunakan prinsip difraksi dan interferensi untuk memisahkan cahaya yang dihasilkan oleh suatu objek menjadi garis-garis warna berbeda yang dikenal sebagai spektrum. Ketika elektron pada atom mendapatkan energi baik melalui tumbukan dengan elektron lain atau melalui pengaruh gelombang elektromagnetik (seperti cahaya). Energi tinggi yang digunakan pada spektrofotometer UV-Vis menyebabkan terjadinya eksitasi elektron dari energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron-elektron tersebut akan turun kembali dengan cepat ke keadaan awalnya dengan melepaskan energi yang sebanding dengan beda energi antara dua tingkat energi atom dan menghasilkan puncak pada panjang gelombang tertentu. Munculnya puncak-puncak tersebut dapat menggambarkan ikatan-ikatan yang terdapat pada cuplikan molekul sampel uji.

Cahaya ultraviolet mempunyai panjang gelombang 200-400 nm dengan energi 75-150 kkal/mol, sedangkan cahaya tampak menggunakan cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm dan tingkat energi sebesar 37-75 kkal/mol. Spektrum UV-Vis sangat lebar dan umumnya hanya memperlihatkan beberapa puncak saja yaitu pada panjang gelombang maksimum (Hart 2003).

(31)

14

Spektrofotometer Inframerah

Spektrofotometer inframerah merupakan salah satu instrumen analitik yang telah populer digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional suatu senyawa. Disamping itu spektra infra merah dapat memberikan informasi yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Oleh karena itu, kemampuan teknik infra merah dalam analisis kualitatif tidak diragukan lagi asalkan didukung oleh interpretasi data hasil pengamatan dengan benar.

Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kisaran panjang gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1

Gugus Fungsi

(Silverstein et al. 2005). Panjang gelombang radiasi infra merah lebih panjang dibandingkan dengan radiasi UV/tampak yang berkisar antara 200-800 nm. Hal ini menyebabkan energi elektromagnetik infra merah tidak mampu untuk mengeksitasi elektron, tetapi mampu menyebabkan atom-atom atau gugus atom bervibrasi. Keadaan vibrasi memiliki sifat karakteristik dan terkuantisasi, yaitu hanya akan terjadi bila molekul mengabsorbsi energi yang sesuai. Hal ini menyebabkan absorpsi energi tidak terjadi secara kontinyu tetapi sebagai deretan puncak-puncak tertentu.

Spektrum IR pada prinsipnya dihasilkan dengan cara melewatkan radiasi IR ke contoh kemudian diproses dengan menggunakan interferometer. Keadaan ini secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram (Sudjadi 1983). Absorpsi molekul pada daerah inframerah umumnya disebabkan oleh perubahan tingkat energi vibrasi (Nur & Adijuwana 1989). Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi.

Bilangan gelombang (cm-1) C-H aromatik alkana alkena aldehid 3100-2990 3000-2840 3100-3000 2900-2800 C=C alkena aromatik 1667-1640 1600-1475 C=O aldehid keton asam karboksilat 1740-1720 1870-1540 1720-1706

(32)

Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm-1) O-H bebas ikatan hidrogen asam karboksilat 3700-3584 3550-3200 3300-2500 C-N amina (alipatik) amina aromatik) 1250-1020 1342-1266 C-O alkoho, eter, ester, asam karbiksilat 1300-1000 N-H strech

bend

3500-3250 1650-1580 Sumber: Silverstein et al. (2005)

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS)

Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) merupakan salah satu teknik pemisahan dan identifikasi suatu senyawa yang telah berhasil dikembangkan dengan menggabungkan dua instrumen dengan dasar analisis yang berbeda tetapi saling menunjang. Keuntungan dalam penggunaan alat ini adalah dalam menentukan komponen dan komposisi suatu zat menjadi lebih mudah dan sederhana (Agusta 2000). Prinsip dari alat ini adalah menggabungkan dua instrumen dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi.

Teknik spektroskopi massa tidak berdasarkan pengukuran radiasi elektromagnetik, melainkan molekul-molekul ditembak dengan berkas elektron berenergi tinggi dan hasilnya direkam sebagai spektrum dari pecahan-pecahan ion bermuatan positif yang disebut spektrum massa. Terpisahnya pecahan-pecahan ion positif didasarkan pada massanya.

(33)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai November 2010 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB dan Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI-Serpong, karakterisasi senyawa aktif dengan spektrofotometer UV-VIS dan FT-IR dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor, analisis dengan GC-MS dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes-POLRI dan uji antibakteri di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada proses ekstraksi dan fraksinasi adalah peralatan ekstraksi maserasi, rotari evaporator, plat KLT, kolom kromatografi, peralatan untuk uji antibakteri dan peralatan untuk karakterisasi senyawa aktif digunakan spektrofotometer UV-VIS Shimadzu Pharmaspec 1700 Double Beam, spektrofotometer FT-IR Bruker jenis Tensor 37, spektroskopi massa (MS) Agilent 7890A dan Gas kromatografi (GC) Agilent 5975C dengan jenis kolom HP-5MS (panjang 30 m dan diameter 0,25 mm).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba bandotan dengan tinggi ± 40-50 cm yang kemudian diambil daunnya. Herba bandotan diperoleh di sekitar Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pelarut-pelarut organik antara lain heksana, etil asetat (EtOAc), metanol (MeOH), dan kloroform (CHCl3), pereaksi-pereaksi untuk uji fitokimia, bakteri S. aureus

ATCC 25923 dan E. coli ATCC 35022.

Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air (AOAC 1970)

Tanaman bandotan segar dikeringkan dan dipisahkan daunnya dari bagian lainnya. Daun bandotan yang telah kering kemudian digiling/dihaluskan hingga diperoleh serbuk daun bandotan dengan ukuran 100 mesh. Sebelum ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan penentuan kadar air sampel dengan cara 2-3 g sampel kering dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC selama

(34)

30 menit. Setelah itu, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya. Pemanasan sampel diulangan sampai diperoleh bobot yang konstan.

Ekstraksi Sampel

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode umum menurut Harborne (1996), yaitu ekstraksi dan fraksinasi suatu senyawa dari jaringan tumbuhan berdasarkan tingkat kepolaran dengan menggunakan maserasi.

Sebanyak 2 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana (3 x 24 jam) untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat (3 x 24 jam), lalu filtratnya dipekatkan dengan menggunakan vakum penguap putar pada suhu 40oC - 50o

Sebanyak 0,3 g sampel dilarutkan dalam 10 ml kloroform-amonia lalu disaring. Filtrat hasil penyaringan ditambahkan beberapa tetes H

C sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat yang dihasilkan di atas dan sampel sebelum diekstraksi, diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat hasil ekstraksi kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen yang menunjukkan pemisahan yang paling baik sehingga diperoleh beberapa fraksi. Masing-masing fraksi dilakukan uji antimikroba untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian dipisahkan dan dilakukan pengujian antibakteri kembali. Setelah dilakukan beberapa kali fraksinasi dan diketahui fraksi terakhir yang masih memiliki aktivitas sebagai antibakteri, kemudian dilanjutkan dengan elusidasi struktur senyawanya menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR, dan GC-MS.

Uji Fitokimia (Harborne 1987)

Alkaloid

2SO4 2M,

kemudian dikocok sehingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (tidak berwarna) dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan pereaksi Mayer, Dragendorff,

(35)

18

dan Wagner. Hasil endapan putih dengan pereaksi Mayer, endapan merah jingga dengan pereaksi Dragendroff, dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka sampel tersebut positif mengandung alkaloid.

Flavonoid dan Senyawa Fenolik

Sebanyak 0,5 g sampel ditambah metanol 30% sampai terendam kemudian dipanaskan. Filtratnya ditambahkan NaOH 10% dan H2SO4. Warna merah yang

terbentuk karena penambahan NaOH 10% menunjukkan terdapatnya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan terdapatnya senyawa flavonoid (Harborne 1988). Saponin

Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtratnya yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup selama 10 menit, terbentuknya busa yang stabil menandakan adanya saponin.

Tanin

Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat yang dihasilkan pada item 3, ditambahkan FeCl3 1%. Identifikasi tanin yang positif

ditandai dengan adanya warna biru tua atau hijau kehitaman.

Triterpenoid-Steroid

Sebanyak 0,5 g sampel ditambahkan 5 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan eter dan dikocok. Lapisan eter dipisahkan dan ditambahkan pereaksi Liebermenn-burchad (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4

KLT digunakan dalam menentukan eluen terbaik untuk fraksinasi dan penggabungan fraksi hasil fraksinasi. Plat KLT yang digunakan adalah plat alumunium silika gel F

pekat). Adanya warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid.

Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

(36)

pada plat KLT yang telah ditandai garis awal dan garis akhirnya. Pelarut dimasukkan dalam bejana tertutup dan dibiarkan hingga uapnya jenuh, kemudian plat KLT dimasukkan dalam bejana dan ditutup kembali. Setelah pelarut naik dan sampai garis akhir, maka plat KLT segera dikeluarkan dan dikeringkan. Plat KLT yang telah kering kemudian diamati di bawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm.

Penentuan eluen terbaik dilakukan dengan membandingkan jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dari beberapa sistem pelarut yang digunakan. Eluen yang menghasilkan jumlah spot terbanyak dan pola pemisahan terbaik selanjutnya digunakan pada proses fraksinasi. Sedangkan penggabungan fraksi hasil fraksinasi dilakukan dengan melihat kemiripan pola spot yang terbentuk pada masing-masing fraksi tersebut.

Kromatografi Kolom

Sampel sebanyak 2 gram dilarutkan dalam pelarut etil asetat kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Eluen terbaik yang telah ditentukan dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom kromatografi. Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung pada tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Setelah proses fraksinasi selesai, kemudian dilanjutkan pada tahap penggabungan fraksi dengan menggunakan KLT. Fraksi-fraksi dengan pola spot yang sama digabung menjadi satu fraksi. Dengan demikian diperoleh jumlah fraksi total yang terdapat pada sampel.

Uji Aktivitas Antibakteri (Haswirna 2006)

Pembuatan Media Trypton Soy Agar (TSA) dan Persiapan Suspensi Bakteri

Sebanyak 40 g TSA (tryptone soy agar) dilarutkan dalam 1 liter aquades lalu dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik sampai homogen. Setelah homogen larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20 ml, kemudian ditutup dengan kapas. Media disterilkan dengan otoklaf pada tekanan 1,5 atm dengan suhu 121 0C selama 15 menit. Tabung-tabung tersebut dimiringkan sebelum mengeras dan dibiarkan selama 24 jam. Media ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri.

(37)

20

Bakteri diperoleh dari laboratorium mikrobiologi PAU-IPB, yaitu bakteri

S. aureus ATCC 25923 dan E. coli ATCC 35022. Bakteri S. aureus dan E. coli

dibiakkan pada media yang telah disiapkan. Sebanyak 1 ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media yang telah disiapkan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C.

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Biakan bakteri yang diperoleh kemudian diencerkan menggunakan metode Mc. Farland 0,5 hingga diperoleh bakteri uji dengan konsentrasi 1 x 107. Sebanyak 100 µl bakteri yang telah diencerkan, kemudian dituangkan dalam cawan petri yang telah berisi media TSA dan disebar dengan batang kaca penyebar kemudian dibiarkan memadat. Setelah padat, media agar dilubangi dengan pipet berdiameter ± 5,5 mm. Sampel yang telah diencerkan dengan pelarut etil asetat kemudian diteteskan pada sumuran sebanyak 20 µl dengan konsentrasi 300 mg/ml untuk diuji aktivitas antibakterinya.

Media uji selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37 0

Nilai MIC adalah konsentrasi terendah yang mematikan bakteri yang diinokulasikan ke dalam media. MIC ditentukan dengan menggunakan metode

broth dillution menggunakan kaldu TSB (Tryptone Soy Broth). Penentuan nilai

MIC dilakukan setelah diketahui bahwa fraksi etil asetat daun tanaman bandotan memiliki aktivitas antibakteri. Biakan bakteri uji sebanyak 1 ose dimasukkan ke dalam 10 ml media cair TSB lalu diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu 37

C kemudian diamati aktivitas antibakterinya. Ekstrak dinyatakan positif sebagai antibakteri apabila mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan terbentuknya zona hambatan berupa areal bening di sekitar sumuran. Besarnya hambatan dapat diukur dengan diameter area bening dikurangi dengan diameter sumuran dan dibandingkan dengan kloramfenikol dengan konsentrasi 0,4 mg/mL (sebagai antibiotik standar). Semakin besar diameter zona bening yang terbentuk, semakin aktif zat uji tersebut sebagai antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak bakteri yang dihambat pertumbuhannya oleh zat uji tersebut.

Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibition Consentration) (Haswirna 2006)

0

(38)

dalam 20 ml media TSA bersuhu ± 45 0C lalu dibiarkan sampai memadat. Media agar yang telah memadat dilubangi dengan pangkal pipet tetes (diameter ± 5,5 mm). Variasi konsentrasi yang digunakan untuk menentukan MIC adalah 500, 250, 100, 75, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Sebanyak 50 µl sampel dimasukkan pada lubang media TSB yang telah diinkubasi dengan bakteri uji, kemudian diinkubasi kembali selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah inkubasi selesai, dilakukan pengamatan terhadap adanya pertumbuhan bakteri. Konsentrasi fraksi etil asetat tanaman bandotan yang menyebabkan bakteri tidak tumbuh pada subkultur merupakan konsentrasi yang dipilih sebagai nilai MIC.

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Daun Bandotan

Ekstraksi maserasi serbuk daun bandotan kering dengan kadar air 9,52 % menggunakan pelarut heksana dan etil asetat sebanyak tiga kali pengulangan. Rendemen ekstrak heksana diperoleh seberat 75,95 g dan ekstrak etil asetat seberat 71,50 g. Rendemen eksrak etil asetat yang diperoleh hampir sama dengan jumlah rendemen ekstrak heksana. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat semipolar pada daun tanaman bandotan hampir sama dengan kandungan senyawa yang bersifat nonpolar. Perendaman dengan heksana bertujuan untuk memisahkan lemak dan senyawa-senyawa nonpolar pada sampel sebelum diekstraksi maserasi dengan pelarut etil asetat. Adanya lemak dan minyak dalam sampel dapat mengganggu pada saat dilakukan kromatografi dan fraksinasi.

Metode maserasi adalah salah satu cara untuk memisahkan senyawa metabolit sekunder dari sampel tanaman dengan perendaman menggunakan pelarut organik tanpa pemanasan. Metode maserasi dipilih selain karena sederhana dalam perlakuannya juga bertujuan untuk menghindari rusaknya senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam daun bandotan yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Prinsip dasar dari proses ekstraksi adalah “like disolve like”, artinya senyawa non polar yang terkandung dalam sampel tanaman hanya akan larut dalam pelarut non polar dan demikian pula untuk senyawa-senyawa yang bersifat polar dan semi polar (Harborne 1986).

Analisis Fitokimia

Hasil analsis fitokimia terhadap daun bandotan menunjukkan adanya senyawa-senyawa flavonoid, steroid, p-hidrokuinon, terpenoid, dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut juga terdapat pada ekstrak etil asetat, kecuali senyawa tanin yang menunjukkan hasil negatif. Hasil uji fitokimia terhadap daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetatnya disajikan pada Tabel 4.

(40)

Tabel 4 Hasil uji fitokimia daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetat Jenis metabolit sekunder Daun bandotan Ekstrak kasar etil asetat

alkaloid - - Flavonoid ++ ++ p-hidrokuinon ++ ++ Terpenoid ++ + Steroid ++ ++++ Saponin - - Tanin ++++ -

Keterangan: tanda (+) menunjukkan bahwa sampel mengandung unsur senyawa dan tanda (-) menunjukkan sampel tidak mengandung unsur senyawa

Adanya senyawa flavonoid, p-hidrokuinon, terpenoid dan steroid pada daun tanaman bandotan sesuai dengan hasil yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menyebutkan bahwa tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat yang salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Analisis fitokimia dilakukan terhadap serbuk daun bandotan dan ekstrak etil asetat yang dihasilkan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus membandingkan kandungan senyawa metabolit sekunder sebelum dan setelah proses ekstraksi maserasi dilakukan. Perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder dari kedua sampel tersebut terletak pada senyawa tanin. Senyawa tanin merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar dan hanya dapat larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat.

Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif. Analisis ini sangat berguna untuk menentukan golongan utama senyawa aktif dalam sampel tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri. Bioaktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam bahan. Perbedaan kandungan senyawa kimia menunjukkan perbedaan aktivitas farmakologis dari tanaman.

(41)

24

Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat

Fraksinasi Senyawa Aktif

Sebelum proses fraksinasi dilakukan, terlebih dahulu ditentukan eluen yang menghasilkan pola pemisahan terbaik untuk digunakan pada proses fraksinasi. Kombinasi pelarut yang digunakan sebagai eluen adalah kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 dan kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 (Harborne 1986). Sebanyak 1,5 g ekstrak dilarutkan dalam 0,5 ml etil asetat. Larutan ekstrak tersebut kemudian ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 kemudian diletakkan pada masing-masing sistem eluen. Pengamatan terhadap

plat KLT dari masing-masing eluen disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Hasil analisis KLT (a) kloroform : asam asetat : air = 90 : 45 : 6 (b) kloroform : metanol = 9 : 1

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eluen kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 hanya menghasilkan 6 spot dengan pola pemisahan yang kurang baik. Eluen kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 menghasilkan pola pemisahan yang lebih baik dan jumlah spot yang dihasilkan juga lebih banyak, yaitu 8 spot. Jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat kepolaran dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan memiliki tingkat kepolaran yang tidak terlalu tinggi dan sesuai dengan tingkat kepolaran kloroform : metanol. Eluen kloroform : asam asetat : air memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi sehingga menghasilkan jumlah spot lebih

a b spot 2 spot 3 spot 4 spot 5 spot 6 spot 7 spot 8 spot 1

(42)

sedikit dan pola pemisahan yang kurang baik. Nilai Rf dari masing-masing spot untuk eluen kloroform : metanol (9 : 1) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot pada eluen kloroform : metanol (9:1).

Spot Warna pada cahaya tampak Warna pada UV

(λ = 254 nm) Rf 1 Hijau Kehitaman Merah Kehitaman 0,95 2 Hijau Tua Merah Kehitaman 0,84

3 Hijau Muda Hijau Tua 0,73

4 Hijau Muda Hijau Tua 0,59

5 Kuning Muda Hijau Muda 0,44

6 Tidak Berwarna Kuning 0,33

7 Tidak Berwarna Kuning Muda 0,23 8 Tidak Berwarna Kuning Muda 0,10

Spot pertama berwarna hijau kehitaman merupakan spot paling atas pada plat KLT dengan nilai Rf sebesar 0,95. Sedangkan spot terakhir tidak berwarna dan memiliki nilai Rf sebesar 0,10. Perbedaan nilai Rf menunjukkan adanya perbedaan sifat kepolaran dari masing-masing senyawa yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah akan teradsorbsi paling lemah oleh adsorben dan lebih dahulu bergerak naik membentuk spot paling atas (nilai Rf tinggi). Kemudian diikuti oleh senyawa dengan tingkat kepolaran lebih tinggi dan akan membentuk spot yang lebih rendah (nilai Rf rendah).

Setelah diketahui eluen terbaik untuk pemisahan fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan, kemudian dilanjutkan pada proses pemisahan menggunakan kromatografi kolom. Ekstrak kasar etil asetat daun bandotan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi kemudian kolom dialiri eluen yang akan digunakan. Fraksi-fraksi yang keluar dari kolom ditampung pada tabung reaksi dengan jumlah 5 ml untuk tiap-tiap tabungnya.

Jumlah tabung yang diperoleh dari hasil kromatografi kolom adalah sebanyak 150 tabung. Kemudian dilanjutkan penggabungan fraksi-fraksi yang memiliki kesamaan pola spot menjadi satu fraksi (Lampiran 2). Jumlah fraksi yang dihasilkan dari proses penggabungan adalah sebanyak 8 fraksi dengan jumlah rendemen yang berbeda-beda. Bobot rendemen dari masing-masing fraksi disajikan pada Gambar 6.

(43)

26 0,93 1,43 4,50 5,79 20,44 21,19 22,21 15,14 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 1 2 3 4 5 6 7 8 fraksi bobot r endem en ( g)

Gambar 6 Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat Keterangan : Fraksi 1 (tabung 1-10) Fraksi 5 (tabung 65-97)

Fraksi 2 (tabung 11-17) Fraksi 6 (tabung 98-120) Fraksi 3 (tabung 18-37) Fraksi 7 (tabung 121-131) Fraksi 4 (tabung 38-64) Fraksi 8 (tabung 132-150)

Hasil pengukuran bobot rendemen fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan fraksi-fraksi tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi. Secara keseluruhan, bobot rendemen tertinggi diperoleh pada fraksi 2 yaitu sebesar 0,45 mg, sedangkan rendemen terendah diperoleh pada fraksi 8 sebesar 0,02 mg.

Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya dengan

rotavapor dan diuji aktivitas antibakterinya. Setelah diketahui fraksi dengan

aktivitas antibakteri tertinggi, proses pemisahan dengan kromatografi kolom diulangi kembali untuk mendapatkan rendemen yang lebih banyak. Hal ini bertujuan agar jumlah rendemen yang dihasilkan dapat mencukupi hingga tahap akhir proses penelitian.

Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap pelarut etil asetat, ekstrak etil asetat, delapan fraksi yang dihasilkan, dan kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 6 berikut ini.

(44)

Tabel 6 Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi- fraksi yang terkandung di dalamnya pada konsentrasi 300 mg/ml

Sampel

ZONA HAMBAT (mm)

S. aureus E. coli

Pengulangan

Rata-rata Pengulangan Rata-rata

I II I II

Pelarut etil asetat - - - -

Ekstrak Etil asetat 14,0 14,0 14,0 11,0 11,0 11,0 Fraksi 1 12,0 12,0 12,0 11,0 12,0 11,5 Fraksi 2 13,0 12,0 12,5 11,0 11,0 11,0 Fraksi 3 15,0 16,0 15,5 11,0 12,0 11,5 Fraksi 4 16,0 16,0 16,0 13,0 13,0 13,0 Fraksi 5 12,0 12,0 12,0 14,0 14,0 14,0 Fraksi 6 11,0 12,0 11,5 11,0 10,0 10,5 Fraksi 7 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 Fraksi 8 10,0 9,0 9,5 10,0 9,0 9,5 Klroramfenikol (0,4 mg/ml) 18,0 19,0 18,5 20,0 20,0 20,0

Pelarut etil asetat yang diujikan terhadap kedua bakteri uji tidak menunjukkan aktivitas zona hambat. Hal ini membuktikan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri dan bukan pengaruh dari pelarut etil asetat.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat terhadap

S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Besarnya diameter

zona hambat ekstrak etil asetat hampir sama dengan diameter zona hambat ekstrak air, metanol dan heksana. Okwori et al. (2007) menyebutkan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak air, metanol dan heksan daun tanaman bandotan terhadap S. aureus berturut-turut dalam kisaran 7-15 mm, 10-14 mm dan 9-16 mm, sedangkan diameter hambat terhadap E. coli sebesar 6-12 mm, 10-16 mm dan 7-10-16 mm.

(45)

28

Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masing-masing fraksi. Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni (2008), Rahmawati (2008) dan Sisilia (2009) juga menunjukkan bahwa S. aureus lebih sensitif dibandingkan dengan E. coli.

Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Menurut Hodges (2002), bakteri Gram negatif memiliki membran fospolipida bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi

impermeable terhadap senyawa antimikroba. Hal ini menyebabkan dinding sel

bakteri Gram negatif dapat bertindak sebagai penghalang terjadinya difusi dan membuatnya kurang sensitif terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal dengan lapisan peptidoglikon luar yang tidak efektif menahan permeabilitas (Pelczar & Chan 1986).

Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawa-senyawa yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif.

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan dan semua fraksinya memiliki spektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa fraksi 1-6 tergolong sebagai antibakteri yang memiliki aktivitas kuat karena menghasilkan rata-rata diameter zona hambat diatas 10 mm. Stout dalam Maryuni (2008) menjelaskan pengelompokkan antibakteri ke dalam empat kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah (<5 mm), sedang (6-10), kuat (11-20) dan sangat kuat (>20 mm).

Gambar

Gambar 2  Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder         dari tanaman bandotan
Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi.
Gambar 5   Hasil analisis KLT (a) kloroform : asam asetat : air = 90 : 45 : 6   (b) kloroform : metanol = 9 : 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanolik Daun Arbenan ( Duchesnea. indica (Andr.) Focke) Terhadap Staphylococcus aureus Dan

Senyawa fraksi F2.D yang diperoleh dari ekstrak etil asetat tumbuhan paku. Nephrolepis falcata (Cav.)

Fraksi yang prospektif antibakteri (F.etil asetat) difraksinasi dengan kromatografi kolom vakum dan dielusi dengan n-heksana, n- heksana-etil asetat, etil asetat, etil

Berdasarkan penelitian Cahyaningtyas (2014), fraksi etil asetat dari buah namnam memiliki aktivitas antibakteri tertinggi pada konsentrasi 90% dengan zona hambat

Fraksi yang prospektif antibakteri (F.etil asetat) difraksinasi dengan kromatografi kolom vakum dan dielusi dengan n-heksana, n- heksana-etil asetat, etil asetat, etil

Apakah fraksi etil asetat ekstrak etanolik daun Ficus septica mempunyai pengaruh terhadap viabilitas sel kanker payudara T47D.. dan seberapa

Contoh kromatogram hasil KKT sub fraksi semipolar ekstrak etanol herba meniran sub fraksi 1-17 dengan fase gerak n-heksan:etil asetat (3:1)), fase diam Silika GF 254,

Berdasarkan kandungan senyawa flavonoid pada daun jambu biji, pemberian fraksi etil asetat ekstrak etanol daun jambu biji memiliki aktivitas sebagai antioksidan pada kelinci