• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem deteksi dini untuk manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi bagi petani padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem deteksi dini untuk manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi bagi petani padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS

PENYEDIAAN PUPUK BERSUBSIDI BAGI PETANI PADI

(Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh:

YOGA REGANTORO AGRARISTA

F34062398

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)

Early Warning System for Supply Crisis Management of Subsidized Fertilizers Distribution For Rice Farmers (Case Study in Banyumas, Central Java)

Yoga Regantoro Agrarista

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, Jawa Barat

ABSTRACT

Fertilizer supply crisis in Indonesia occur almost every year. This crisis can be prevented by early detection before the crisis situation occurred. Preventive action would be much better than remedial action. In this research, an Artificial Neural Network (ANN) based decision support for supply crisis of subsidized fertilizer distribution was developed. The Early Warning detection was developed with backpropagation (BP) learning’s methods. The constructing of the data’s input for ANN based on the fundamental parameters of supply crisis of subsidized fertilizer by using Exponential Comparation Method (ECM) and expert’s judgments with Analytical Hierarchy Process

(AHP), consisting of the critical factor causing supply crisis of subsidized fertilizer, so this system be able to assess of intensity of the crisis with more fast, effective and efficient.Based on the “trial and error” test of ANN’s training process, the best network performance for BP learning’s method was obtained. The best network performance for BP was showed by the Mean Square Error (MSE) score of 0.00000000531 (5.31.10-9) at the 38th epoch, when the system used sigmoid bipolar for hidden

layer and linear’s activation function for output neuron, Levenberg-Marquadt’s algorithm training, the momentum score was 0.05, the learning rate score was 0.05, and the minimum error was 0.0000005 with the network architecture of [9 60 30 1], that is, 9 neurons in an input layer, 60 neurons in a first hidden layer, 30 neurons in a second hidden layer and 1 neuron in an output layer. The BP was trained with 66 actual data and tested with 15 actual data, with 87% accuracy rate. From the test shows that the network has been able to recognize patterns of crisis. To get the improved accuracy of detection it is recommended for additional training with the latest data.

(3)

Yoga Regantoro Agrarista. F34062398. Sistem Deteksi Dini untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)Di bawah bimbingan Marimin : 2010

RINGKASAN

Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi hampir berulang-ulang setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk dari lima pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu berada di atas kebutuhan domestik. Kondisi di lapang menunjukan bahwa penanganan kelangkaan pupuk biasanya dilakukan setelah krisis kelangkaan terjadi. Hal ini berpengaruh terhadap nasib petani yang berhubungan langsung dengan komoditi pupuk tersebut, sehingga dalam kasus ini bisa dikatakan bahwa petanilah yang menanggung beban kelangkaan pupuk yang terjadi.

Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk memecahkan banyak masalah, terutama masalah yang kompleks dan sulit dimodelkan. Salah satu masalah yang dapat dipecahkan menggunakan jaringan syaraf tiruan adalah klasifikasi data. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kalasifikasi intensitas krisis kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas.

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah menyusun model kualitatif sistem deteksi dini berbasis jaringan syaraf propagasi balik untuk mengidentifikasi kelangkaan pupuk urea. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data pertanian dari Dinas Tanaman Pangan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini merupakan data-data dari faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk yang telah ditentukan oleh pakar dari hasil wawancara seperti harga pupuk urea, curah hujan, besarnya subsidi, dosis pemakaian pupuk, jumlah pupuk yang hilang dan sebagainya. Indikator yang digunakan untuk mengukur dan mendeteksi kelangkaan ini hanya ditekankan pada parameter tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga. Selain hal tersebut, data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini dibatasi hanya pada data tahun 2006 hingga tahun 2008.

Data yang diperoleh nantinya akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu data yang digunakan sebagai data pelatihan dan juga data yang digunakan sebagai data percobaan atau simulasi. Pembagian data ini dilakukan dengan Rasio 80:20. Artinya 80% untuk data yang digunakan sebagai data pelatihan dan 20% untuk data yang digunakan sebagai data penelitian atau simulasi.

Tahapan penelitian terdiri dari lima tahapan, yaitu identifikasi masalah, pengumpulan data dan informasi lapang, identifikasi faktor krisis, modeling dan pelatihan jaringan syaraf, dan pengujian dan validasi jaringan. Model jaringan syaraf yang digunakan adalah JST tipe backpropagation neural network dengan dua hidden layer dan satu output. Backpropagation merupakan model jaringan syaraf tiruan dengan layar jamak, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa dengan pola yang dipakai selama pelatihan.

Berdasarkan hasil "trial and error" uji proses pelatihan JST, kinerja jaringan terbaik untuk metode pembelajaran Backpropagation telah diperoleh. Kinerja jaringan terbaik untuk BP ditunjukkan dengan nilai MSE 0,00000000531 (5.31.10-9) pada iterasi ke-38. Arsitektur yang digunakan ketika sistem dilatih adalah fungsi aktivasi sigmoid bipolar untuk lapisan tersembunyi dan fungsi aktivasi linear untuk neuron output, algoritma pelatihan Levenbergs-Marquadt, skor momentum adalah 0,05, skor tingkat belajar adalah 0,05, dan toleransi kesalahan minimum 0,0000005 dengan arsitektur jaringan [9 60 30 1], yaitu 9 neuron pada lapisan input, 60 neuron dalam lapisan tersembunyi pertama, 30 neuron dalam lapisan tersembunyi kedua dan 1 neuron pada lapisan output.

(4)

bahwa intensitas krisis di Baturaden berada dalam tingkat bahaya. Tingkat krisis ini sesuai dengan data aktual yang tersedia, yang menyatakan Baturaden dalam kondisi rentan.

Dengan adanya sistem desain JST Deteksi Dini ini diharapkan dapat mendukung pemberlakuan kebijakan yang lebih baik dalam penentuan tindakan sebelum masa kelangkaan pupuk terjadi. Selain itu penggunaan sistem deteksi dini ini diharapkan dapat menentukan level krisis kelangkaan pupuk secara lebih akurat, efisien dan efektif sehingga kebijakan pemerintah tentang tindakan penanganan kelangkaan pupuk dapat segera terwujud. Selain itu, petani juga lebih terbantu dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan produktivitas mereka tanpa harus khawatir tentang kebutuhan pupuk untuk musim tanam selanjunya, sehingga beban petani yang harus mereka tanggung karena harga pupuk yang berada jauh di atas HET dapat dikurangi. Bagi distributor dan pengecer tentunya mereka harus segera memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas proses pengadaan dan penyaluran pupuk secara nyata dalam memenuhi kriteria dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Sebagai saran perlu adanya pelatihan tambahan untuk menilai ulang dan mengukur kinerja jaringan dengan data-data yang lebih baik dan lebih baru agar bisa mengenali pola-pola yang terjadi pada masa ini, karena data yang digunakan pada penelitian ini tergolong data yang kurang up-date

yaitu data tahun 2006-2008. Pelatihan tambahan dengan data yang lebih banyak atau data baru untuk meningkatkan akurasi penilaianya dan untuk mendapatkan sistem peringatan yang lebih baik, pintar, dan lebih efisien.

(5)

SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS

PENYEDIAAN PUPUK BERSUBSIDI BAGI PETANI PADI

(Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

YOGA REGANTORO A

F34062398

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)

Nama : Yoga Regantoro Agrarista

Nim : F34062398

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc

NIP 19610905 198609 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

NIP 19621009 198903 2 001

(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yoga Regantoro Agrarista NRP : F34062398

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)” merupakan karya tulis saya pribadi dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas disebutkan rujukannya.

Penulis,

Yoga Regantoro A

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nganjuk, pada tanggal 25 Juni 1988. Penulis merupakan anak dari pasangan Siswantoro dan Wiwik Hermawati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan di TK Kemala Bhayangkari pada tahun 1992-1994 dan melanjutkan pendidikan di SD Sokanegara 01 pada tahun 1994-2000, SMP Negeri 1 Purwokerto pada tahun 2000-2003, dan pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purwokerto. Pada tahun 2006, penulis berhasil lulus Ujian Saring Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis termasuk orang yang aktif dalam kehidupan organisasi maupun kepanitiaan di kampus IPB. Pada tahun 2007-2008 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai Staf bidang kewirausahaan dan sekaligus sebagai Pengurus Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB sebagai staf Kominfo. Pada tahun 2008-2009 penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (BEM-F) sebagai staf Hubungan Eksternal. Selain itu penulis juga aktif di UKM BETAKO Merpati Putih Kolat IPB Dramaga.

Penulis juga pernah menjadi koordinator praktikum Penerapan Komputer pada tahun 2008-2009 dan asisten praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2008-2009-2010. Penulis juga memiliki kegemaran dalam bidang programming dan desain grafis. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan praktek lapang di Ungaran, Jawa Tengah dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Dan Manajemen Produksi Pada Industri Pengolahan Kopi, Karet Dan Pala Di PTPN IX Kebun Ngobo Ungaran”.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga pelaksaanaan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. Skripsi ini berjudul “Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi Bagi Petani Padi (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah)” dan penelitiannya dilaksanakan dari bulan Juli hingga November 2010.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Terima kasih kepada Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng dan Dr. Ir. Hartrisari.H. sebagai dosen penguji yang telah memberi masukan dalam perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Wargianto, Bapak Anisur dan Bapak Rohman yang telah membantu penulis untuk mengumpulkan data untuk keperluan skripsi ini.

4. Ibu dan Bapak serta keluarga tercinta, yang selalu memberikan dukungan materi, semangat dan juga doa kepada penulis.

5. Seluruh staf dan pekerja Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas atas bantuannya dengan berbagai pengetahuan dan ilmu pengetahuan serta atas segala keramahan dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian.

6. Sahabat-sahabat satu bimbingan Aam, Ratih, Evi, dan Bagus, atas dukungan dan kebersamaannya.

7. Sahabat-sahabatku tercinta, Sukardi, Ajias, Akbar, Dyanza, Ipit, Dina, Norma, Echa, Asto, Ari, Muthi dan Afi, terimakasih atas tawa canda serta indahnya persahabatan ini.

8. Senri Utami atas perhatian, kesabaran, doa dan dukungan langsung kepada penulis selama pelaksanaan Penelitian dan selama penulisan Skripsi.

9. Teman-teman TIN 43 yang telah memberikan dukungan dan masukan yang bermanfaat bagi penulis.

10. Seluruh pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pihak-pihak yang membacanya. Penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan, baik kesalahan pemikiran maupun kesalahan redaksional. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Terima kasih.

Bogor, Januari 2011

Penulis

(10)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

SURAT PERNYATAAN ..………..

RIWAYAT HIDUP.……….

KATA PENGANTAR……….

DAFTAR ISI……….

DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN………...

iii iv v vi viii ix x

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang.………

1.2 Tujuan.………. 1

2

1.3 Ruang Lingkup..………..

1.4 Hasil dan Manfaat Penelitian………... 2

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...………. 4

2.1 Kajian Pupuk Bersubsidi….………...

2.2 Manajemen Krisis dan Sistem Deteksi Dini...………... 4

6

2.3 Identifikasi Faktor Krisis..………...

2.4 Jaringan Syaraf Tiruan……….. 8

10

2.5 Komponen dan Arsitektur Jaringan…….……….………....

2.6 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik……….

2.7 Persiapan Data dalam Jaringan Syaraf Tiruan..…….…...

2.8 Penelitian Terdahulu………

13

15

17

19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...………….………. 21 3.1 Kerangka Pemikiran..………..

3.2 Tahapan Percobaan………...

21

22

3.3 Identifikasi Faktor Kritis……….……… 27

3.4 Arsitektur Jaringan Propagasi Balik...………. 27

3.5 Data Percobaan dan Pelatihan………..

3.6 Waktu dan Tempat Penelitian………... 29

30

3.7 Spesifikasi Sistem………...……..………...

BAB IV. ANALISIS SITUASIONAL DISTRIBUSI PUPUK DI BANYUMAS…..……. 4.1 Profil Daerah………..

4.2 Distribusi Pupuk di Banyumas………...

4.3 Permasalahan Kelangkaan Pupuk……… 30

31

31

32

(11)

vii

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN.……….

5.1 Persiapan Data Analisis Jaringan Syaraf..………...

5.2 Model Jaringan Syaraf………... ………...

5.3 Pelatihan Jaringan Syaraf………..

5.4 Pengujian Jaringan Syaraf ……….………

5.5 Bentuk dan Interface Program EWS………..

5.6 Hasil Verifikasi………...

5.7 Implikasi Menejerial………..

38

38

42

45

46

48

50

51

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 53

6.1 Kesimpulan...………... 53

6.2 Saran..………... 53

DAFTAR PUSTAKA………... 55

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan Kemampuan antara Otak Manusia dengan CPU ... 12

Tabel 2. Arsitektur JST yang akan dikembangkan ... 29

Tabel 3. Daftar Kecamatan di Kabupaten Banyumas ... 31

Tabel 4. Daftar Distributor dan Wilayah tanggung jawabnya ... 34

Tabel 5. Hasil Perhitungan Skor Alternatif dengan Metode MPE ... 39

Tabel 6. Parameter Penentuan Tingkat Kerawanan Berdasarkan Prinsip tiga Tepat ... 42

Tabel 7. Alternatif Penentuan Arsitektur Jaringan ... 44

Tabel 8. Hasil Pengujian Learning Rate, Momontum dan Learning Algorithm ... 44

Tabel 9. Hasil Pengujian Jumlah neuron pada Hidden Layer ... 45

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Rayonisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi ... 6

Gambar 2.Siklus Krisis ... 7

Gambar 3. Struktur Dasar Hirarki AHP... 10

Gambar 4. Arsitektur Syaraf Manusia ... 11

Gambar 5. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan ... 12

Gambar 6. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Bobot ... 13

Gambar 7. Fungsi aktivasi Linear. ... 14

Gambar 8. Fungsi aktivasi Tansig ... 14

Gambar 9. Fungsi aktivasi Logsig ... 15

Gambar 10. Topologi arsitektur backpropagation dengan dua lapisan tersembunyi ... 16

Gambar 11.Skema integrasi data persiapan untuk analisis data jaringan syaraf ... 17

Gambar 12. Posisi Peran EWS yang dikembangkan ... 19

Gambar 13. Konsep Arsitektur Prototipe deteksi dini Manajemen Krisis Penyediaan Pupuk Bersubsidi bagi Petani Padi ... 21

Gambar 14. Tahapan Proses Penelitian dan metode yang digunakan ... 22

Gambar 15. Skema Alur Pendistribusian Pupuk Bersubsidi. ... 33

Gambar 16. Bobot Hasil Penilaian Pakar dengan Metode AHP ... 40

Gambar 17. Pegujian dengan Traingdx dengan Target yang tidak Tercapai ... 44

Gambar 18. Data yang akan dilatihkan pada jaringan ... 46

Gambar 19. Grafik Hasil pelatihan jaringan ... 46

Gambar 20. Grafik hasil Pengujian JST ... 47

Gambar 21. Hasil Pengujian JST dengan pembulatan nilai simulasi ... 48

Gambar 22. Tampilan muka dari EWS kelangkaan Pupuk ... 49

(14)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Arsitektur JST Propagasi Balik Untuk Deteksi Kelangkaan Pupuk ... 59

Lampiran 2. Data Input Jaringan Syaraf Tiruan ... 60

Lampiran 3. Hasil Normalisasi Data Input Jaringan Syaraf Tiruan ... 63

Lampiran 4. Penentuan Tingkat Kelangkaan Pupuk ... 66

Lampiran 5. Perbandingan dan Perhitungan Nilai MSE dan MAPE dari Data Pengujian ... 69

Lampiran 6. Data Bobot Hasil Ujicoba Sistem ... 71

Lampiran 7. Gambar karung Pupuk Bersubsdi ... 73

Lampiran 8. Dokumentasi Sistem ... 74

Lampiran 9. Pseudocode Jaringan Syaraf Tiruan ... 79

(15)

1

I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi hampir berulang-ulang setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk dari lima pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu berada di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1.3 juta ton baik pada tahun 2009 untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan sering terjadi kelangkaan dan lonjakan harga yang dibayar petani di atas HET (Yusdja et al. 2005).

Pupuk sendiri merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam budidaya pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah dilakukan untuk menangani kelangkaan. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja ekonomi pupuk yang meliputi produksi, ketersediaan, tingkat harga dan tingkat penggunaan oleh petani. (Darwis et al. 2004). Sedangkan menurut Deptan (2009), padi merupakan tanaman pangan pokok yang ada di Indonesia dan tanaman pangan mendapatkan 61% kebutuhan pupuk urea yang diproduksi oleh pemerintah setiap tahunnya. Hal inilah yang membuat pupuk urea sangat bernilai strategis bagi petani padi.

Secara umum persoalan kelangkaan (yang merefleksikan ketidaktepatan dosis, jenis, mutu, waktu dan tempat) dan harga yang dibayar petani atas HET, lebih banyak disebabkan pada sistem distribusi yang berjalan tidak efektif dan efisien (Yusdja et al. 2005). Permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi pada dasarnya disebabkan oleh kekurang tepatan pupuk dalam hal jumlah dan waktu dengan berbagai penyebab, diantaranya adalah persoalan kurangnya alokasi, kurang tepatnya perencanaan, adanya perembesan dan belum lancarnya infrastruktur distribusi. Kajian sebelumnya merekomendasikan berbagai hal dalam peningkatan kinerja distribusi pupuk bersubsidi diantaranya adalah perlunya dikembangkan sistem peringatan dini (Early Warning System) dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi (Maksi-PPKS-BPTP 2009). Menurut Eriyatno (1989) Peringatan dini sendiri merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan di masa mendatang, dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan.

(16)

2 Selama ini pemerintah lebih bersifat pragmatis terhadap kasus kelangkaan pupuk yang terjadi di Indonesia. Pemerintah lebih cenderung melakukan tindakan penanganan setelah kasus kelangkaan terjadi bukan sebelum krisis terjadi. Hal ini diharapkan dapat diperbaiki secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis faktor kritis penyebab kelangkaan secara mendalam untuk melakukan deteksi dini terhadap kondisi kelangkaan pupuk yang terjadi di pasar agar pemerintah atau pihak terkait dapat mengambil kebijakan lebih awal. Hal ini berjutuan agar petani tidak terlalu terbebani dengan kasus kelangkaan pupuk tersebut. Salah satu langkah penerapan tindakan preventif ini adalah pembuatan prototipe Sistem Deteksi Dini menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (Yu, Chen dan Wang 2009).

Penggunaan jaringan syaraf tiruan ini dilakukan karena jaringan syaraf tiruan memiliki kelebihan dalam mengolah variabel input yang jumlahnya banyak baik linear maupun nonlinear tanpa mengetahui persamaan matematisnya.

1.2 Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan prototipe model deteksi dini untuk manajemen krisis penyediaan pupuk khusunya bagi petani padi. Sedangkan tujuan antara dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kelangkaan yang paling berpengaruh terhadap kondisi kelangkaan pupuk yang terjadi.

2. Mengidentifikasi kinerja jaringan syaraf tiruan yang telah dibuat sebagai prototipe sistem deteksi dini.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah menyusun model kualitatif sistem deteksi dini berbasis jaringan syaraf propagasi balik untuk mengidentifikasi kelangkaan pupuk urea. Penggunaan jaringan syaraf propagasi balik sebagai sistem deteksi dini disebabkan jaringan syaraf propagasi balik mampu menyelesaikan permasalahan yang sulit dimodelkan dan didefinisikan jika menggunakan metode deteksi dini lainnya seperti regresi linier dengan time series. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data pertanian dari Dinas Tanaman Pangan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data yang digunakan untuk malakukan deteksi dini merupakan data-data dari faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk yang telah ditentukan oleh pakar dari hasil wawancara. Hasil deteksi ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pemerintah dalam melakukan antisipasi kelangkaan pupuk di kecamatan Banyumas dengan melakukan tindakan sebelum kelangkaan itu benar-benar terjadi.

Selain ruang lingkup geografis, indikator yang digunakan untuk mengukur dan mendeteksi kelangkaan ini hanya ditekankan pada 3 tepat yaitu : Tepat Jumlah, Tepat Waktu dan Tepat Harga. Selain hal tersebut data yang digunakan untuk melakukan deteksi dini dibatasi hanya pada data tahun 2006 hingga tahun 2008 karena adanya keterbatasan data.

(17)

3

1.4 Hasil dan Manfaat Penelitian

(18)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kajian Pupuk Bersubsidi

2.1.1 Pupuk

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha tani, terutama dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui adanya korelasi yang nyata antara tingkat pemakaian pupuk dengan tingkat produksi padi. Pupuk sendiri dapat diartikan sebagai bahan yang diberikan ke dalam tanah sebagai penyedia unsur yang diperlukan oleh tanah agar produktivitas tanah meningkat (Pertiwi 2005). Sedangkan menurut Puspita (2002) pupuk adalah bahan yang diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produktivitas atau memperbaiki kualitasnya sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman. Pupuk merupakan senyawa yang mengandung unsur hara yang diberikan pada tanaman.

Pupuk sendiri dapat dikelompokan menjadi pupuk organik dan anorganik. Pupuk UREA, KCL, TSP merupakan contoh pupuk anorganik. Sedangkan kompos, pupuk kandang dan pupuk hijau merupakan contoh pupuk organik.

Berdasarkan hasil penelitian Deptan (1995) ada lima aspek yang dipertimbangkan petani dalam mengkonsumsi pupuk, yaitu :

1. Aspek teknis (jenis tanaman, pola tanam, keadaan lahan)

2. Aspek ekonomis (harga pupuk, harga output, luas lahan, produksi dan modal)

3. Aspek sosial (pengalaman dan pengetahuan usaha tani, saran sesama kelompok tani, dan saran PPL)

4. Aspek kelembagaan (kebijakan penyaluran pupuk, penyaluran kredit usaha tani, efisiensi pemupukan, ketepatan waktu penyaluran pupuk)

5. Aspek ekologis (iklim/cuaca, ketersediaan irigasi)

Di Indonesia telah banyak diperdagangkan berbagai macam jenis pupuk. Sebagian besar jenis pupuk yang diproduksi di Indonesia merupakan hasil produksi 5 perusahaan pupuk BUMN Indonesia. Perusahaan tersebut antara lain PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, dan Pupuk Kalimantan Timur. Dari kelima perusahaan pupuk BUMN itulah di produksi pupuk bersubdi. Adapun jenis pupuk yang disubsidi oleh pemerintah adalah Urea, SP-36, ZA, NPK dan Pupuk Organik.

2.1.2 Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi

Subsidi adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen. Subsidi pada dasarnya adalah penambahan pendapatan bagi produsen, oleh karena itu disebut pajak tak langsung negatif (BPS 2000). Subsidi juga dapat berarti sebuah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengkompensasi produsen agar harga barang atas jasa yang diproduksinya berada di bawah harga pasar (Horner dan Liebster 1980 dalam Ardi 2005).

(19)

5 terlalu bergantung kepada pemerintah, sehingga menghabiskan sumberdaya yang seharusnya dapat lebih berguna di tempat lain (Chishelm dan Marilu 1978 dalam Ardi 2005).

Distribusi adalah proses penyaluran suatu barang dari produsen kepada konsumen dengan tahapan tertentu. Sedangkan menurut SK Menperindag No. 70/2003 distribusi pupuk atau penyaluran pupuk adalah proses penyampaian pupuk dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Distribusi sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan penyaluran suatu barang dari produsen ke konsumen.

Kebijakan pemerintah tentang distribusi pupuk bersubsidi dilakukan dengan pola tertutup. Pelaksanaan pola tertutup yang mulai dilaksanakan pada Januari 2009 ditujukan menghindari terjadinya kelangkaan pupuk dan penyimpangan pendistribusian pupuk ke sektor lain selain pertanian.

Secara umum, teknis distribusi pupuk bersubsidi dengan pola tertutup sesuai Permendag dan Permentan itu cukup tegas mengatur tanggung jawab produsen (Lini I-II), distributor (Lini III), dan penyalur (Lini IV). Dalam hal ini, tanggung jawab produsen yakni menetapkan wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk ke masing-masing distributor yang dicantumkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) atau kontrak. Produsen juga berkewajiban menjamin kelancaran arus barang melalui penyederhanaan prosedur penebusan pupuk, dan dalam penyaluran pupuk bersubsidi itu harus mempertimbangkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Sementara itu, distributor berkewajiban melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai ketentuan yang ditetapkan produsen berdasarkan prinsip enam tepat yakni tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak. Distributor juga wajib menyampaikan daftar pengecer di wilayah tanggung jawabnya kepada produsen yang ditembuskan kepada kepala dinas provinsi/kabupaten dan tim pengawas pupuk provinsi/kabupaten.

Sedangkan tanggung jawab penyalur yakni dalam melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi harus sesuai ketentuan distributor berdasarkan prinsip enam tepat kepada petani atau kelompok tani. Penyalur wajib melakukan pencatatan dan penyusunan daftar seluruh petani yang akan dilayani di wilayah tanggung jawabnya yang disahkan oleh kepala desa atau Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Penyalur hanya dapat melakukan penebusan pupuk bersubsidi dari satu distributor yang ditunjuk, dan hubungan kerja antara distributor dan penyalur juga diatur dengan SPJB (Permendag Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008).

2.1.3 Kriteria Pendistribusian Pupuk

Agar pupuk selalu tersedia di tingkat petani, distributor maupun produsen mendapatkan margin sesuai jasa yang diberikan kepada pihak lain, diperlukan suatu sistem tataniaga pupuk yang berkeadilan (Darwis et al. 2004). Untuk bisa mencapai hal itu, Memperindag mengaturnya dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 yang mengatur kembali pola Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian dengan mekanisme sebagai berikut :

1. Rayonisasi Wilayah Pemasaran

(20)

6 Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya) , PT. Pupuk Kujang, (Jawa Barat), PT. Petrokimia Gresik (Jawa Timur), dan PT.Pupuk Kalimantan Timur (Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan).

Sehingga untuk daerah Banyumas sendiri ketersediaan pupuk menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya karena Banyumas terletak di Propinsi Jawa Tengah.

Gambar 1. Rayonisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi (Pusri 2009)

2. Penjualan Pupuk mulai di Lini III (kabupaten)

Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari lini III (kabupaten), selain dimaksudkan untuk mendekatkan dengan konsumen juga untuk membatasi gerak distributor yang dulunya sangat leluasa. Dengan adanya pengaturan tersebut, baik unit niaga PT. Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual pupuk Urea kepada pengecer atau konsumen resmi yang telah ditunjuk.

3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat

Persyaratan distribusi yang dimaksud adalah pengaturan alokasi dan rayonisasi distribusi. Menurut pengaturan alokasi, produsen pupuk Urea berada di bawah koordinasi PT. Pusri yang berkewajiban mengalokasikan produksinya untuk kebutuhan sektor pertanian. Selanjutnya alokasi sektor pertanian ditentukan secara proposional sesuai rencana produksi masing-masing produsen (Darwis et al. 2004). Sehingga produsen pupuk benar-benar harus memproduksi sesuai kapasitas produksinya untuk pemenuhan kebutuhan daerah yang ditunjuk.

2.2 Manajemen Krisis dan Sistem Deteksi Dini

(21)

7 Fink (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan anatominya terdapat empat tahap dari siklus krisis : (1) Tahap Krisis Prodomal; (2) Tahap Krisis Acute; (3) Tahap Krisis Chronic; (4) Tahap Krisis

Resolution.

Gambar 2.Siklus Krisis (Fink 1986)

Pada tahap prodomal telah terlihat adanya gejala yang mengarah pada keadaan krisis, namun masih sulit untuk diidentifikasi. Pengenalan kondisi krisis pada tahap ini sangat penting guna mencegah terjadinya krisis pada tahap awal dan membuat tindakan untuk menuju titik balik ke keadaan normal. Di tingkat perusahaan, tahap ini merupakan tahapan peringatan bagi manajemen untuk mengambil tindakan. Kondisi yang terjadi umumnya sangat dinamis sehingga bila pengenalan keadaan krisis ini tidak ditemukan pada tahapan ini maka kondisi akan terus berlanjut menuju ke tahapan acute.

Pada tahap acute, fakta akan terjadinya suatu krisis sudah ditemukan, sehingga akan sangat sulit sekali untuk menemukan keadaan sebagai titik balik menjadi keadaan normal kembali, dan umumnya sudah cukup banyak kerugian atau permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perencanaan dalam penanganan tahap acute dan seluruh tindakan harus terkontrol dengan baik sehingga intensitas dan lamanya tahap ini dapat dikendalikan.

Tahap selanjutnya adalah tahap chronic, disebut juga tahap penyembuhan atau pembersihan. Pada tahap ini para pembuat keputusan perlu menerapkan manajeman krisis dengan menganalisis kebenaran dan kesalahan dari langkah atau tindakan yang dijalankan sebelumnya untuk bahan evaluasi dalam mengambil keputusan terbaik selanjutnya.

Tahap terakhir dari suatu siklus krisis adalah tahap resolution, yaitu tahap pemulihan. Penanganan yang dilakukan pada tahapan ini harus yang berhubungan dengan penangaan yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan pananganan tahap resolution ini, pertama mengidentifikasi tahap prodomal dan kedua mengontrol penanganan tahap selanjutnya. Mengingat bahwa tahapan-tahapan di atas merupakan suatu siklus krisis, maka akhir dari tahap resolution ini dianggap sebagai suatu tahap awal dari prodomal. Fink (1986) menyatakan sulit untuk menentukan kapan dimulai dan berakhirnya suatu krisis, mengingat krisis merupakan komplikasi efek reaksi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya.

Deteksi dini merupakan kegiatan pendugaan untuk suatu keadaan di masa mendatang, dengan mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan (Eriyatno 1989). Deteksi dini dapat dipisahkan dalam dua jangka waktu prakiraan, yaitu prakiraan jangka panjang dan prakiraan jangka pendek. Prakiraan jangka panjang kegunaannya lebih ditentukan pada penyusunan strategi, sedangkan untuk penanganan secara rinci didapatkan dari prakiraan jangka pendek yang umumnya digunakan sebagai pedoman bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan. Secara praktis, sistem deteksi dini sangat diperlukan dalam bidang penjadwalan

Krisis

Acute

Chronic Resolution

(22)

8 pemakaian atau pengadaan sumber daya yang dibutuhkan agar dapat dioperasikan se-efisien mungkin (Satria 1994).

Dari segi proses, deteksi dini dilakukan atas dasar dua teknik utama, yaitu : (a) didasarkan atas catatan dengan waktu yang selanjutnya diekstrapolasiakan ke masa yang akan datang dengan menggunkan statistik atau model matematik; dan (b) berdasarkan analisa kuantitatif yang sangat tergantung pada keahlian, pengalaman dan kepandaian penilai. Metode deteksi dini secara kuantitatif dapat dibagi dalam dua metode, yaitu metode deret waktu (time series) dan metode sebab-akibat (causal). Metode ini dapat diaplikasikan bila memenuhi beberapa kondisi, seperti : (a) tersedianya informasi masa lalu (historical data); (b) informasi yang didapatkan bisa dikuantitatifkan; dan (c) asumsi kondisi masa lalu sama dengan kondisi masa mendatang.

Menurut Eriyatno (1998), keberhasilan penerapan sistem deteksi pada organisasi tergantung dari dua hal penting yaitu kemampuan sintesis pengenalan keadaan dan integritas dari para analis yang mengelola unit deteksi dini.

2.3 Identifikasi Faktor Krisis

Pada dasarnya krisis merupakan peubah tidak bebas (dependent variables) yang tergantung pada pertumbuhan parameter dari suatu gugus peubah atau faktor terutama yang bersifat bebas. Nilai dari kelompok peubah untuk kejadian krisis merupakan cerminan parameter lain yang tidak terukur secara langsung. Model pengambilan keputusan kriteria jamak dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor dominan/penting yang dapat memperkirakan kelangkaan atau kelancaran distribusi dan pasokan pupuk bersubsidi bagi petani padi. Model pengambilan yang dimaksud adalah model perbandingan eksponensial. Faktor-faktor penentu tersebut selanjutnya dapat dianalisis tingkat kritikalitas dan keterkaitannya dengan aspek lainnya dengan AHP (Marimin 2004).

2.3.1 Metode Perbandingan Eksponensial

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif keputusan majemuk. Metode ini dikembangkan dengan cara mengubah penilaian kulitatif yang berasal dari subjektifitas mengambil keputusan menjadi nilai kuantitatif (Manning 1984).

Manning (1984) melanjutkan bahwa tahapan atau urutan dalam menggunakan Perbandingan Eksponensial adalah :

1. Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih.

2. Menentukan kriteria atau pertimbangan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi. 3. Menentukan tinggkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria. 4. Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria.

5. Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif.

6. Menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total alternatif masing-masing.

(23)

9 Nilai K

, , , … , , , , … ,

Penentuan urutan prioritas keputusan dilakukan dengan cara mengurutkan nilai skor dari alternatif yang terbesar sampai alternatif yang terkecil.

2.3.2 Metode Analytical Hierarchy Process

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy process – AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty 1980). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya.

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.

Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hierarki), yang dimulai dengan goal atau sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan akhirnya alternatif (Gambar 3). Terdapat berbagai bentuk hierarki keputusan yang disesuaikan dengan subtansi dan persoalan yang akan diselesaikan dengan AHP.

(24)

10 Gambar 3. Struktur Dasar Hirarki AHP (Saaty 1980)

2.4 Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf tiruan adalah sistem proses informasi yang mempunyai beberapa persamaan karakteristik dengan jaringan syaraf biologis. Jaringan syaraf tiruan memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Pola hubungan antar neuron yang disebut arsitektur.

2. Metode penentuan bobot pada hubungan yang disebut pelatihan (training) atau pembelajaran (learning) atau algoritma.

3. Fungsi aktivasi yang dijalankan masing-masing neuron input pada masing-masing output.

Informasi yang diberikan pada jaringan syaraf tiruan akan dirambatkan melalui layer neuron, dimulai dari layer input sampai ke layer output melalui lapisan lainnya. Lapisan ini sering dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer) (Fausett 1994). Definisi lain Jaringan syaraf tiruan adalah kerangka kerja fleksibel untuk pemodelan komputasi berbagai masalah nonlinier (Wong et al. 2000).

Jaringan syaraf tiruan tersusun dari sejumlah besar elemen yang melakukan kegiatan yang analog dengan fungsi-fungsi biologis yang paling elementer. Elemen-elemen ini terorganisasi sebagaimana layaknya anatomi otak, walaupun tidak persis. Jaringan syaraf tiruan dapat belajar dari pengalaman, melakukan generalisasi atas contoh-contoh yang diperolehnya dan mengabstraksi karakteristik esensial input bahkan untuk data yang tidak relevan.

Berbeda dengan metode lain, algoritma untuk jaringan syaraf tiruan beroperasi secara langsung dengan angka sehingga data yang tidak numerik harus diubah menjadi data yang numerik. Dibandingkan dengan cara perhitungan konvensional, jaringan syaraf tiruan tidak memerlukan atau menggunakan suatu model matematis atas permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu jaringan syaraf tiruan juga dikenal dengan sebutan free-estimator.

Jaringan syaraf tiruan memiliki sejumlah besar kelebihan dibandingkan dengan metode perhitungan lain atau metode konvensional, yaitu :

Fokus yang hendak dicapai

Fokus

Faktor

Aktor

Alternatif

Faktor-1

Faktor -2

Faktor -m

Aktor-1

Aktor-2

Aktor-n

(25)

11 1. Kemampuan mengakuisisi pengetahuan walaupun dalam kondisi ada gangguan dan

ketidakpastian. Hal ini dapat disebabkan jaringan syaraf tiruan mampu melakukan generalisasi, abtraksi dan ekstraksi terhadap properti statistik dari data.

2. Kemampuan merepresentasikan pengetahuan secara fleksibel. Jaringan syaraf tiruan dapat menciptakan sendiri representasi melalui pengaturan diri sendiri atau kemampuan belajar (self organizing).

3. Kemampuan untuk memberikan toleransi atas suatu distorsi (error/fault), dimana gangguan kecil pada data dapat dianggap hanya sebagai noise (guncangan) belaka.

4. Kemampuan memproses pengetahuan secara efisien karena memakai sistem parallel, sehingga waktu yang diperlukan untuk mengoperasikannya menjadi lebih singkat.

Dengan tingkat kemampuan yang sangat baik, beberapa aplikasi jaringan syaraf tiruan sangat cocok untuk diterapkan pada :

1. Klasifikasi, memilih suatu input data ke dalam suatu kategori tertentu yang diterapkan. 2. Asosiasi, menggambarkan suatu objek secara keseluruhan hanya dengan sebuah bagian dari

objek lain.

3. Self Organizing, kemampuan untuk mengolah data-data input tanpa harus memiliki data sebagai target.

4. Optimasi, menemukan suatu jawaban atau solusi yang paling baik sehingga dengan meminimalkan suatu fungsi biaya (optimizer).

Walaupun memiliki segudang kelebihan, jaringan syaraf tiruan juga mempunyai sejumlah keterbatasan, antara lain kekurangmampuannya dalam melakukan operasi-operasi numerik dengan presisi tinggi, operasi algoritma aritmatik, operasi logika dan operasi simbolis serta lamanya proses pelatihan yang terkadang membutuhkan waktu berhari-hari untuk jumlah data yang sangat besar (Hermawan 2006).

2.4.1 Perbandingan Antara Otak Manusia dan Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf manusia terdiri atas sel-sel yang disebut neuron. Ada tiga komponen utama

neuron yang fungsinya dapat dianalogikan dengan yang terjadi pada Neural Network, yaitu dendrit,

soma, dan akson. Dendrit akan menerima sinyal-sinyal dari neuron lain. Sinyal tersebut merupakan impuls listrik yang ditransmisikan melalui synaptic gap melalui proses kimia. Sedangkan soma atau badan sel akan menjumlahkan sinyal-sinyal input yang masuk. Jika ada input yang masuk, sel akan aktif dan mentransmisikan sinyal ke sel lain melalui akson dan synaptic gap. Ilustrasi jaringan syaraf manusia disajikan pada Gambar 4.

.

(26)

12 Pada jaringan syaraf tiruan, istilah neuron sering disebut dengan unit, sel, atau node. Setiap node terhubung dengan node-node lain melalui layer dengan bobot (weight) tertentu. Bobot disini melambangkan informasi yang digunakan oleh jaringan untuk menyelesaikan persoalan, dan dapat dianalogikan dengan aksi pada proses kimia yang terjadi pada synaptic gap. Layer adalah suatu tempat dimana node-node tersusun. Jika suatu node berada dalam layer yang sama dengan node lain, biasanya akan memiliki sifat yang sama. Setiap node memiliki internal state yang disebut aktivasi, yaitu fungsi dari input yang diterima. Secara visual gambaran Jaringan Syaraf Tiruan terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan (Hermawan 2006)

Perbedaan lain antara syaraf manusia dan syaraf tiruan adalah bahwa informasi pada syaraf manusia bisa lupa, sedangkan jaringan syaraf tiruan tidak mungkin lupa. Pada manusia data dan informasi disimpan dalam suatu unit sel yang terstruktur dalam otak. Sementara pada jaringan syaraf tiruan data dan informasi tersimpan dalam bobot-bobot dan bisa berbentuk file sehingga kerusakan dapat diantisipasi dengan mem-backup file tersebut.

Selain perbedaan di atas, perbedaan lainnya yang penting dan merupakan salah satu keunggulan jaringan syaraf tiruan adalah kemampuan menyelesaikan masalah yang sama dengan hasil yang sama meskipun masalah tersebut diulang hingga puluhan juta kali. Tidak demikian pada otak manusia, syaraf manusia memiliki keterbatasan pada pekerjaan yang bersifat berulang. Untuk puluhan proses atau pekerjaan mungkin masih akurat, tetapi untuk ratusan atau bahkan ribuan syaraf manusia dapat mengalami keletihan sehingga hasilnya tidak akurat lagi. Perbandingan secara lengkap antara kemampuan yang dimiliki oleh otak manusia dan sebuah CPU konvensional disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Kemampuan antara Otak Manusia dengan CPU

Parameter Otak Manusia CPU

Elemen Pengolah 1011 108 transistor

Ukuran Elemen 10-6m 10-6m

Energi yang Digunakan 30 W 30 W (CPU) Kecepatan Pengolah 100 Hz 109 Hz Bentuk Komputasi Pararel terdistribusi Serial terpusat

Fault Tolerant Ya Tidak

Proses Belajar Ya Tidak

Kepandaian Selalu Tidak (kadang-kadang)

Sumber : Hermawan (2006)

Perpaduan antara otak manusia dan CPU konvensional inilah yang mampu menciptakan jaringan syaraf tiruan sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan masalah dengan meniru kerja otak manusia.

X1

X2

X3

Y

Z1

Z2

Unit Pengolah

W1

W2

W3

(27)

13

2.5 Komponen dan Arsitektur Jaringan

Seperti halnya sebuah arsitektur bangunan, jaringan syaraf tiruan pun memiliki komponen-komponen yang bersusunan untuk menyusun jaringan tersebut. Jaringan syaraf tiruan terdiri dari beberapa neuron. Neuron tersebut akan berhubungan dengan yang lainnya. Neuron ini mengubah informasi yang diterima dan mengirimnya menuju neuron lain. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini disebut bobot.

Input akan dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input diproses oleh suatu fungsi perambatan yang menjumlahkan nilai semua bobot. Hasil penjumlahan kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktifasi setiap neuron. Apabila neuron diaktifkan maka akan menghasilkan output ke semua neuron yang berhubungan.

Jaringan syaraf tiruan terdiri atas beberapa elemen proses yang disebut neuron, units, cells

atau nodes. Setiap neuron berhubungan dengan neuron lainnya dengan bobot yang telah ditentukan. Setiap neuron mempunyai fungsi aktifasi yang mengirimkan nilai aktifasi sebagai sinyal kepada beberapa neuron lainnya pada satu waktu.

Gambar 6. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Bobot (Siang 2009)

Contoh jaringan syaraf tiruan Pada Gambar 6, terdiri atas tiga neuron pada lapisan input dan satu

neuron pada lapisan output. Neuron Y menerima input dari neuron X1, X2, dan X3. Sedangkan nilai W1, W2, dan W3 merupakan bobot masing-masing input. Untuk menghitung nilai output digunakan

persamaan :

_

Nilai aktivasi y dari neuron Y adalah suatu fungsi dari input jaringan, Y=f(Y_in). Fungsi f adalah fungsi linear atau fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks. Fungsi aktivasi pada jaringan propagasi balik terdapat tiga macam fungsi aktivasi, yaitu fungsi aktivasi sigmoid atau logistik, fungsi aktivasi

tangen hiperbola, dan fungsi aktivasi linier.

Fungsi tersebut adalah fungsi umum yang akan digunakan untuk membawa input menuju output yang diinginkan. Fungsi aktivasi inilah yang akan menentukan besarnya bobot. Penggunaan fungsi aktivasi tergantung pada kebutuhan dan desired output (Indrawanto 2008). Berikut adalah penjelasan terhadap masing-masing fungsi aktivasi ini.

X

X

X

Y

W1

W2

(28)

14

1. Linear / Pureline

Fungsi linier akan membawa input ke output yang sebanding. Fungsi ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 7. Fungsi aktivasi Linear (Mathworks Online 2010)

algoritma dari fungsi ini adalah:

2. Tansig

Tansig adalah fungsi sigmoid tangen yang digunakan sebagai fungsi aktivasi

Gambar 8. Fungsi aktivasi Tansig (Mathworks Online 2010)

Fungsi ini akan membawa nilai input pada output dengan menggunakan rumus hyperbolic tangen sigmoid. Nilai maksimal output dari fungsi ini adalah 1 dan minimal -1. Algoritma dari fungsi ini adalah:

3. Logsig

(29)

15 Gambar 9. Fungsi aktivasi Logsig (Mathworks Online 2010)

algoritma dari fungsi ini adalah:

Selain memiliki komponen khusus dan fungsi aktivasi, Jaringan Syaraf Tiruan juga tersusun dengan pola keterkaitan antar layer yang spesifik, keterkaitan ini disebut net architecture. Arsitektur jaringan syaraf tiruan diklasifikasikan sebagai single layer, multilayer dan competitive layer. Untuk menentukan banyak layer yang digunakan, input layer tidak diikutsertakan sebagai layer yang digunakan. Banyaknya layer yang disertakan dalam jaringan syaraf tiruan menunjukkan banyaknya nilai bobot yang berhubungan antar layer tersebut, karena itu nilai bobot merupakan hal yang penting dalam jaringan syaraf tiruan. Perbedaan antara single layer, multilayer dan competitive layer adalah sebagai berikut :

1. Single layer net

Single layer net mempunyai satu layer untuk menghubungkan nilai bobotnya.

Neuron input langsung berhubungan dengan neuron output. Jaringan ini hanya menerima informasi dan langsung mengolahnya menjadi output tanpa melalui hidden layer. Ciri-ciri yang dimiliki single layer net ini hanya mempunyai satu layer input dan satu layer output.

2. Multilayer net

Multilayer net adalah jaringan yang mempunyai tambahan satu layer atau lebih (hidden neuron) diantara layer input dan output. Jaringan dengan banyak layer ini dapat menyelesaikan permasalahan yang lebih rumit dibandingkan jaringan dengan satu layer.

3. Competitive layer net

Competitive layer net terdiri dari dua atau lebih jaringan syaraf tiruan. Arsitektur jaringan ini bisa menghubungkan satu neuron dengan neuron lainnya (Pusparianti 2008).

2.6 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik

(30)

t ( s m d ( b l y a j

terdiri atas lap (output layer)

Pada secara dinamis mengindikasik dasarnya terdap 1. Super sepasa didasa denga Nilai contoh 2. Unsup pelati serupa pembe nilai i Jaring (supervised lea

[image:30.612.173.465.480.672.2]

banyak lapisan lapisan tersemb yang rumit de aplikasi, tetapi jaringan backp

Gambar 10.

pisan masukan (Rich dan Kev saat pembelaja s hingga menc kan bahwa tiap

pat dua metode

rvised learning Supervised

ang kumpulan arkan pada per an targetnya.

Disebut me bobot sudah d h pembelajaran

pervised learni Unsupervis

han tanpa vek a dikelompokk Tujuan dar elajaran ini tid input yang seru

gan Syaraf Pr

arning) dalam n untuk mengu

bunyi. Multilay

ngan akurasi y i satu hidden propagation de

Topologi arsit

n (input layer),

vin 1991). aran dilakukan capai suatu nil p-tiap input te e pembelajaran

g

learning meru n vektor, yait

rbandingan an

etode pembelaj disesuaikan me n ini adalah kla

ing

sed learning m ktor target. JST kan dan diklasi ri pembelajara dak memerluka upa akan dikate

ropagasi balik m jaringan syar

ubah bobot-bob

yer net (dengan yang cukup. L

layer sudah m engan dua lapis

tektur backprop

, lapisan tersem

n pada input y lai yang cukup elah berhubun n yaitu :

upakan suatu m tu vektor pela ntara vektor pe

jaran terawasi enurut algoritm asifikasi.

merupakan

self-T memodifika ifikasikan ke da an ini adalah m an target output

egorikan sebag

merupakan s raf tiruan dan bot yang terhu n satu atau leb Lebih dari satu mencukupi me san tersembuny

pagation denga

mbunyi (hidde

yang berbeda, p seimbang. A ngan dengan o

metode penent atihan dan ve elatihan dan tar

jika output ya ma pembelajara

organizing JST asi bobot sehin alam suatu uni mengelompoka t. Jaringan ini m gai output yang

salah satu alg biasanya digu ubung dengan ih hidden layer

u hidden layer

etode pembelaj yi disajikan pad

an dua lapisan

en layer) dan

maka nilai bo Apabila nilai in output yang d

tuan bobot yan ektor target. P rget sampai ou

ang diharapkan an yang ditentu

T, artinya men ngga vektor-ve it output yang s an input yang mengubah nila g sama dan kon

oritma pembe unakan oleh pe

neuron-neuron

r) dapat memp akan berguna jaran. Topolog da Gambar 10.

tersembunyi (F

lapisan keluar

obot akan diub ni telah tercap diharapkan. Pa

ng menggunak Penentuan bob utput JST sesu

n telah diketahu ukan. Salah sa

ggunakan vekt ektor input yan sama.

serupa. Meto ai bobot sehing nsisten.

elajaran terawa ercepton deng n yang ada pa pelajari pemeta a untuk bebera gi arsitektur da

(31)

17 Pada gambar tersebut, terdapat lapisan masukan (input layer) Xi, lapisan keluaran (output

layer) Yk dan dua lapisan tersembunyi (hidden layer) Z dan ZZ. Bias untuk suatu unit Yk, diberikan oleh wok. Bias pada lapisan tersembunyi Zk dinyatakan dengan uok dan bias pada lapisan tersembunyi

ZZj dinyatakan dengan voj. Bias ini bertindak seolah sebagai bobot pada koneksi yang berasal dari suatu unit atau neuron yang keluarannya selalu 1. Aliran sinyal pada gambar dinyatakan dengan arah panah. Sedangkan pada fase propagasi balik, sinyal dikirim pada arah berawanan. Algoritma

Backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap forward propagation harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat forward propagation, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan. Algoritma dasar backpropagation memiliki tiga fase :

1. Fase feedforward pola input pembelajaran atau pelatihan 2. Fase kalkulasi dan backpropagation error yang didapat 3. Fase penyesuaian bobot

Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedforward pelatihan dilakukan dalam rangka melakukan pengaturan bobot, sehingga pada akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan fungsi kinerja jaringan. Fungsi kinerja yang sering digunakan untuk backpropagation adalah Mean Square Error (MSE). Fungsi ini akan mengambil rata-rata kuadrat error yang terjadi antara output jaringan dan target.

2.7 Persiapan Data dalam Analisis Data Jaringan Syaraf

Salah satu tahapan yang penting dilakukan sebelum merancang model jaringan syaraf adalah mempersiapkan data. Mempersiapkan data merupakan langkah penting dan kritis dalam melakukan analisis data jaringan syaraf tiruan dan memiliki dampak yang sangat besar terhadap analisis data yang kompleks (Hu 2003). Alasan utama perlu dilakukan persiapan data adalah bahwa kualitas data masukan ke dalam model jaringan syaraf sangat mempengaruhi hasil analisis data. Secara umum, data yang disiapkan mudah untuk penanganannya sehingga dapat memudahkan dalam melakukan analisis data menjadi sederhana. Kinerja jaringan syaraf tidak dapat bekerja secara signifikan jika terdapat data yang hilang dan bersifat stabil (tidak bergerak terhadap atribut data yang lain). Selain itu, persiapan data dapat mempengaruhi tingkat mutu data yang dimasukkan. Data dikatakan memiliki tingkat mutu data yang baik jika memenuhi lima aspek berikut, yaitu :

1. Up – to – date (terbaru)

Data yang digunakan sebaiknya merupakan data dalam beberapa tahun terakhir. Terbaru di sini dapat didefinisikan juga sebagai data yang bersifat final dan tidak mengalami

revisi di kemudian hari.

2. Relevan

Data yang bersifat relevan dapat didefinisikan sebagai data yang ada hubungan langsung dengan persoalan yang sedang diteliti.

3. Akurasi

(32)

18 4. Presisi

Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran tersebut.

5. Lengkap

[image:32.612.125.513.212.666.2]

Data yang digunakan untuk keperluan analisis jaringan syaraf tiruan harus memiliki kelengkapan data yang diinginkan. Ketidaklengkapan data dapat mempengaruhi kinerja jaringan syaraf tiruan dalam melakukan peramalan.

Gambar 11.Skema persiapan data untuk analisis data jaringan syaraf (Yu, Chen dan Wang 2009) Masalah Penting

Solusi Masalah Penting

Analisis Data Awal

Solusi Analisis

Kebutuhan

Koleksi Data Seleksi Data Integrasi Data

Masalah Penting

-Seleksi variabel data -Analisis Korelasi

Proses Awal Data

- Sampling data

- Pengumpulan kembali data - Perbaikan data

- Menghilangkan data noise

- Normalisasi data - Menghilangkan trend

- Membedakan - Data yang terlalu banyak

- Data yang terlalu sedikit - Data yang hilang - Data yang noise (outlier) - Data dengan skala yang berbeda - Data trend/musiman

- Data bukan stasioner

Pemeriksaan Data Pengolahan Data

Analisis Data Akhir

Pembagian Data Validasi Data Penyesuaian Kembali Data

Solusi

- Meningkatkan kelompok data - Menurunkan kelompok data - Undefitting

(33)

19 Selain membutuhkan data yang baik dalam mempersiapkan data masukan bagi jaringan syaraf tiruan membutuhkan integrasi data dan persiapan data lebih lanjut. Secara umum skema untuk integrasi data persiapan dapat dilihat pada Gambar 11.

2.8 Penelitian Terdahulu

Hasil Penelitian Evaluasi Distribusi Pupuk Bersubsidi Nasional bagi petani kelapa sawit rakyat (Maksi-PPKS-BPTP 2009) menunjukkan bahwa walaupun pelaku telah berusaha mensukseskan distribusi pupuk bersubsidi, namun kadang masih juga terjadi kekurangtepatan pupuk dalam hal jumlah dan waktu dengan penyebab berbagai hal diantaranya adalah persoalan kurangnya alokasi, kurang tepatnya perencanaan, adanya perembesan dan belum lancarnya infrastruktur distribusi. Kajian ini merekomendasikan berbagai hal dalam peningkatan kinerja distribusi pupuk bersubsidi diantaranya adalah perlunya dikembangkan sistem peringatan dini (Early warning system) dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi.

Salya (2006), melakukan penelitian tentang rekayasa model sistem deteksi dini untuk perniagaan minyak goreng kelapa sawit dengan menggunakan jaringan Syaraf Tiruan. Hasil rekayasa model tersebut digunakan dalam analisis harga minyak goreng yang ada di pasaran berdasarkan harga minyak goreng terdahulu. Hasil analisa ini digunakan sebagai sistem deteksi dini agar dapat mencegah adanya kelangkaan minyak goreng di pasaran.

Seminar et al. (2009) melakukan analisis Sistem Deteksi Dini (Early Warning System/EWS) untuk manajemen krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi cerdas. EWS yang

dikembangkan dalam studi ini adalah EWS yang melakukan deteksi indikasi krisis pada periode awal terjadinya fenomena krisis (occurences) dan pola fenomena (patterns: combination of variables & progress of occurences) hingga terjadinya fenomena chaos (Gambar 12). Perioda dari awal krisis sampai memasuki perioda chaos adalah perioda yang diharapkan masih dapat melakukan tindakan untuk pemulihan dan pencegahan terhadap chaos yang merupakan kelumpuhan akibat krisis yang akut dan tidak mungkin dilakukan pemulihan (Barton dan Wilson 2002). Dengan demikian fungsi EWS adalah mendeteksi fenomena krisis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya chaos.

Gambar 12. Posisi Peran EWS yang dikembangkan (Seminar et al. 2009)

EWS

Detection: Occurrences, & Patterns

Parameter/ indicator

Safe Early Crisis Early Chaos Chaos

(34)

20 Pengembangan sistem isyarat dini (Early Warning System/EWS) dengan simulasi sistem dinamis dan komputasi cerdas menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) tersebut telah dilakukan sampai pada level prototipe software yang telah diuji dan divalidasi pada 28 provinsi dengan jumlah kabupaten sebanyak 265 kabupaten. Data yang digunakan untuk pelatihan sebanyak 167 buah data dan sisanya digunakan untuk pengujian. Akurasi sistem dalam mendeteksi level krisis pangan adalah 96.9%, dengan tingkat error (mean square error /MSE sebesar 0.11).

(35)

21

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Pemerintah akhir-akhir ini sering dihadapkan pada masalah persediaan pupuk bersubsidi yang daya serapnya rendah dan kasus kelangkaan di berbagai lokasi di Indonesia. Lambatnya tanggapan pemerintah terhadap sinyal-sinyal krisis ini menyebabkan kejadian kelangkaan pupuk terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Setelah krisis kelangkaan terjadi barulah pemerintah bertindak untuk menanganinya. Hal ini berpengaruh terhadap nasib petani yang berhubungan langsung dengan komoditi pupuk tersebut, sehingga dalam kasus ini bisa dibilang petanilah yang menanggug beban kelangkaan pupuk yang terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan sistem deteksi dini yang menangkap sinyal-sinyal krisis yang kemungkinan akan terjadi sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan sebelum suatu krisis terjadi. Hal ini tentunya akan membantu pihak petani agar tidak selalu menderita menanggung harga pupuk yang berada jauh di atas harga eceran tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena alasan tersebutlah dibuat kajian khusus tentang sistem deteksi dini bagi petani padi ini.

Kajian ini diawali dengan menganalisis faktor dan variabel penentu dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi dengan menggunakan teknik perbandingan eksponensial dan AHP. Faktor dan variabel penentu ini akan dijadikan sebagai masukan dalam pengembangan sistem deteksi dini distribusi pupuk bersubsidi bagi petani padi. Sementara itu, arsitektur prototipe deteksi dini dirancang untuk mendukung proses pengambilan keputusan sebelum dan sesudah terjadi krisis kelangkaan persediaan pupuk. Prototipe ini mempunyai arsitektur sistem yang secara konseptual menyediakan fasilitas input data dan informasi, model pemrosesan data dan menghasilkan output berupa informasi intensitas krisis dan saran tindak lanjutnya.

Input model berupa data yang didapatkan dari distributor resmi dan kelompok tani secara periodik. Data dan informasi ini sesuai dengan struktur rancangan database model deteksi dini. Model deteksi dini mengolah input data primer dan sekunder yang didapat dari BPS serta instansi terkait . Gambar 13 menjelaskan model konseptual arsitektur prototipe deteksi dini manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi untuk petani padi.

Gambar 13. Konsep arsitektur prototipe deteksi dini manajemen krisis penyediaan pupuk bersubsidi bagi petani padi

(36)

22

3.2 Tahapan Penelitian

[image:36.612.123.490.173.512.2]

Proses dan metode dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan. Kerangka tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 14.

Gambar 14. Tahapan proses penelitian dan metode yang digunakan

3.2.1 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dilakukan dengan turun ke lapang dan melakukan wawancara serta juga studi literatur untuk mendapatkan gambaran umum tentang permasalahan distribusi dan kelangkaan yang terjadi. Pada jaringan syaraf tiruan, identifikasi masalah diperlukan untuk menganalisis hasil yang diharapkan. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah penelitian yang akan dilakukan sehingga hasil yang diharapakan dapat digunakan pada tahap selanjutnya.

3.2.2 Analisis Faktor Kritis Penyediaan Pupuk Bersubsidi

Pada tahap ini dilakukan analisis untuk menentukan faktor-faktor yang mungkin dan relevan yang dapat mengakibatkan kelangkaan pupuk urea yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Dari

faktor-Mulai

Identifikasi Masalah

Analisis Faktor Kritis Penyediaan Pupuk Bersubsidi

Pelatihan JST

Pengujian JST Studi literatur, wawancara, dan survey lapang

- Metode Perbandingan Eksponensial - Analytical Hierarchy Process (Saaty, 1980)

- Artificial Neural Network : Probabilistic & Backward Propogation (Patterson 1996, Seminar

et al 2006)

Uji Model (OK)?

Selesai

Ya

(37)

23 faktor yang didapatkan tersebut dilakukan pengurutan berdasarkan tingkat penyebab utama kelangkaan yang terjadi dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial. Setelah diurutkan faktor penyebab tersebut dianalisis kembali dengan Analytical Hierarchy Process berdasarkan penilaian pakar. Langkah selanjutnya adalah membuang faktor yang diduga bukan merupakan faktor kritis dan mengumpulkan data sekunder dari faktor kritis dari dinas setempat dan juga BPS serta berbagai sumber lain. Setelah data terkumpul, data dinormalisasi ke dalam selang 0.1 dan 0.9 menggunakan persamaan sebagai berikut :

.8 x min x max x min x .

Normalisasi ini dilakukan mengingat salah satu fungsi aktifasi sigmoid yang akan digunakan merupakan fungsi asimotik yang nilainya tidak pernah mencapai nilai 0 ataupun 1 (Siang 2009).

3.2.3 Pelatihan Jaringan

Merujuk dari penelitian sebelumnya oleh Seminar et al. (2009) maka arsitektur yang digunakan adalah Multi-Layer Percepton dengan menggunakan 2 hidden layer dan Algoritma pembelajarannya adalah Backpropagation. Menurut Siang (2009), jaringan dengan satu hidden layer sudah cukup untuk sembarang perkawanan antara masukan dan target dengan tingkat ketelitian yang ditentukan. Akan tetapi penambahan jumlah hidden layer kadangkala membuat pelatihan menjadi lebih mudah. Dalam Algoritma Backpropagtion setidaknya ada 3 langkah penting dalam pelatihan jaringannya, yaitu tahap Fase Maju, Fase Mundur, dan Perubahan Bobot. Berikut adalah tahapan detail dari setiap langkah pelatihan Jaringan Backpropagation.

Langkah 0. Inisialisasi bobot (biasanya digunakan nilai acak yang kecil) set laju pembelajaran

Langkah 1. Selama syarat henti salah, lakukan langkah 2 – 11

Langkah 2. Untuk setiap pasangan pelatihan (masukan dan target), lakukan langkah 3 – 10.

Fase Maju

Langkah 3. Setiap unit masukan (Xi, i=1, ..., n) menerima sinyal masukan xi dan meneruskannya ke seluruh unit pada lapisan di atasnya (hidden units).

Langkah 4. Setiap unit tersembunyi kesatu (Zh, h = 1,…., q) menghitung total sinyal masukan terbobot,

   n i ih i oj

h u xuij

in z

1

_

lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi,

zhf(z_inh) dan mengirimkan sinyal ini keseluruh unit pada lapisan tersembunyi kedua Langkah 5. Setiap unit tersembunyi pada lapisan kedua (ZZj, j = 1,…., p) menghitung total

sinyal masukan terbobot,

   n i hj h oj

j v z v

in zz

1

_

lalu menghitung sinyal keluarannya dengan fungsi aktivasi,

(38)

24 Langkah 6 Setiap unit output (Yk, k= 1,...,m) menghitung total sinyal masukan terbobot,

   p j jk j k

k w zz w

in y 1 , 0 _

lalu menghitung sinyal keluaran dengan fungsi aktivasi

ykf(y_ink)

Fase Mundur

Langkah 7. Setiap unit output (Yk, k=1,…,m) menerima sebuah pola target yang sesuai dengan pola masukan pelatihannya. Unit tersebut menghitung error,

k (tkyk)f'(y_ink) kemudian menghitung koreksi bobot (digunakan untuk mengubah wjk) wjk kzzj

dan menghitung koreksi bias

w0k k serta mengirimkan nilai k ke unit pada lapisan tersembunyi (ZZj, j = 1…….p) Langkah 8. Setiap unit tersembunyi (ZZj, j = 1…….p) menghitung selisih input (dari unit-unit

pada layer di atasnya),

  m k jk k j w in 1 _  

lalu mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung informasi errornya,

j _injf'(zz_inj) selanjutnya menghitung koreksi bobot untuk mengubah vij nanti,

vij jxi dan menghitung koreksi biasnya

v0jj dan mengirim j ke lapisan tersembunyi ke dua (Zh, h=1...q).

Langkah 9 Untuk setiap lapisan tersembunyi (Zh, h=1...q):

Menjumlahkan bobot input dari unit-unit pada layer di atasnya,

  p k hj j h v in 1 _  

lalu mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung informasi errornya,

h_inhf'(z_inh) selanjutnya menghitung koreksi bobot untuk mengubah vij nanti,

uihhxi dan menghitung koreksi biasnya

j j

v 

(39)

25

Perubahan bobot dan bias

Langkah 10. Setiap unit output (Yk, k= 1, ..., m) mengubah bias dan bobot-bobotnya (j=0,...,p);

Gambar

Gambar 10. Topologi arsittektur backproppagation dengaan dua lapisan tersembunyi (FFausset 1994).
Gambar 11. Skema persiapan data untuk analisis data jaringan syaraf (Yu, Chen dan Wang 2009)
Gambar 14. Tahapan proses penelitian dan metode yang digunakan
Tabel 3. Daftar Kecamatan di Kabupaten Banyumas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kajian teori dan didukung dengan analisis variansi serta mengacu pada rumusan masalah yang telah diuraikan di awal, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis penyuntikan hormon GnRH-a 0,5 mL/kg pada induk ikan baung saat proses pemijahan buatan menghasilkan derajat penetasan yang lebih

in vitro dengan sel Difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus Rattus norvegicus menghasilkan jumlah kumulatif glukosamin yang terpenetrasi setelah 8 jam

Deskripsi data tentang keterampilan kepemimpinan kepala sekolah pada penelitian ini dibuat angket yang terdiri dari 13 item pernyataan yang kemudian diukur dengan skor 1

Hal ini melatarbelakangi munculnya dugaan penelitian bahwa selain variabel kompetensi yang disimpulkan penelitian terdahulu mempengaruhi kinerja agen (Ndungu &

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana pengaruh kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, debt covenant dan growth opportunities terhadap

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang di ukur pada posisi.. terlentang atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih. Pengukuran. sekurang kurangnya dua kali pemeriksaan